8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Dan Hasil Penelitian

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Teori Tentang Hasil Belajar Afektif
a. Pengertian Belajar
Kehidupan manusia sehari-harinya pasti tidak lepas dari kegiatan belajar.
Belajar adalah kata kunci yang paling penting dalam setiap usaha dalam
pendidikan, sehingga pendidikan tidak akan pernah ada bila tanpa belajar.
Belajar menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah” perubahan yang relatif
permanen dalam perilaku atau potensi sebagai hasil dari pengalaman” (KBBI,
2008). Banyak ahli pendidikan mengemukakan pengertian belajar yang berbeda
antar satu dan yang lain, tetapi semua pengertian yang ada selalu mengacu pada
prinsip yang sama yaitu mengalami perubahan pada orang yang melakukan
proses belajar.
Ada beberapa teori yang berpendapat bahwa proses belajar pada
prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta
prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi
subjek didik (Sardiman, 2004:20). Teori semacam ini boleh jadi diterima, dengan
suatu alasan bahwa dari struktur kognitif dapat mempengaruhi perkembangan
afeksi ataupun penampilan seseorang.
Menurut Slavin, dalam Anni (2004:2) menyatakan bahwa belajar
merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman. Pengalaman
yang dimaksud adalah seperti dalam teori belajar persepsi yang dikembangkan
oleh Arthur Comb dalam Sutarto, dkk (1999:44) menyatakan bahwa belajar
dipengaruhi oleh cara-cara individu dalam menerima dirinya sendiri dengan
lingkungannya. Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20) mengatakan “Learning is
a change in performance as a result of pratice”, belajar adalah perubahan dalam
penampilan sebagai hasil praktik.
8
9
Santrock (2008) mengungkapkan bahwa “belajar adalah perubahan yang
relatif permanen pada perilaku, pengetahuan dan kemampuan berpikir yang
diperoleh karena pengalaman”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Slameto
(2010) bahwa “belajar adalah satu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan”.
Sementara menurut W.S. Wikel (1999:53) “Belajar atau yang disebut
dengan Learning adalah perubahan yang secara relative berlangsung lama pada
perilaku yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman. Belajar pada manusia
merupakan suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan dan pemahaman, ketrampilan dan sikap”.
Belajar berasal dari kata ajar yang berarti mencoba (trial) yaitu kegiatan
mencoba sesuatu yang belum atau tidak diketahui (Idris, 2009:01). Berdasarkan
definisi diatas, belajar pada dasarnya suatu kegiatan untuk mengetahui sesuatu
dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu perubahan yang baik dari segi
pengetahuan, ketrampilan dan sikap.Perubahan tingkah laku atau penampilan
dengan
serangkaian
kegiatan
misalnya
dengan
membaca,
mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.
Sementara itu Belajar menurut (Riyanto, 2009: 6) adalah suatu proses
untuk mengubah permormansi yang tidak terbatas pada ketrampilan, tetapi juga
meliputi fungsi-fungsi, seperti skill, persepsi, emosi, proses berpikir, sehingga
dapat menghasikan perbaikan performansi. Sedangkan, Winkel mengemukakan
bahwa dalam belajar kognitif didapatkan dua aktivitas kognitif, yaitu mengingat
dan berpikir (Riyanto, 2009: 48). Dalam psikologi, apa yang dipelajari tidak
harus benar atau adatif (kita bisa mempelajari kebiasaan baik dan kebiasaan
buruk), tidak harus dengan sadar atau sengaja (salah satu kelebihannya adanya
pembimbing kiata dalam menguasai ketrampilan tertentu adalah karena
keberadaannya membuat kita menyadari kesalahan apa yang telah kita pelajari
10
secara tidak sadar), dan tidak harus melibatkan tindakan lahiriah (sikap dan
emosi bisa kita pelajari sebagaimana pengetahuan dan keterampilan).
Wayan Seregeg (Riyanto, 2009: 53) hendaknya dalam belajar
pengetahuan perlu mengkonseptualisasikan informasi yang baru dengan konsep
yang telah dimiliki, agar belajar anak (siswa) menjadi penuh bermakna (meaning
verbal learning).Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosio
menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya (Suprijono, 2013: 3).
Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan. Perolehan dan upaya
penambahan pengetahuan hanyalah salah satu bagian kecil dari keciatan
terbentuknya kepribadian yang utuh. Sedangkan menurut Witherington
(Purwanto, 2013: 84) belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang
menyatukan diri sebagai pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Pengertian belajar diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa belajar
merupakan sebuah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan
perubahan tingkah laku dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Perubahan yang
terjadi dalam proses belajar diperlihatkan dalam bentuk peningkatan di berbagai
hal seperti pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan dan daya
pikir.Perubahan tingkah laku dari seseorang merupakan pencerminan dari hasil
belajar.
b. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah
mengalami aktivitas belajar, perolehan aaspek-aspek perubahan perilaku tersebut
tergantung pada yang dipelajari oleh pembelajar (Anni, 2004:4). Sedangkan
menurut Gagne dan Briggs menyatakan bahwa “Hasil belajar merupakan
kemampuan internal yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang itu melakukan
sesuatu (Haryati, 2007:36).
11
Sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar indikator-indikatornya
adalah sebagai berikut ; (1) Penguasaan materi pelajaran yang dibelajarkan
mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun secara kelompok; (2)
Perilaku yang disebutkan dalam tujan pembelajaran khusus dapat dicapai oleh
siswa, baik secara individu maupun secara kelompok.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan maupun kegagalan siswa dapat
digunakan acuan patokan, misalnya :
a) Istimewa, apabila seluruh materi pelajaran dikuasai siswa;
b) Baik sekali: 85% sampai dengan 94% materi pelajaran dapat dikuasai;
c) Baik: 75% sampai dengan 84% materi pelajaran dikuasai siswa;
d) Kurang: apabila materi pelajaran kurang dari 75% dikuasai siswa.
(Sutikno, 2013:25)
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperolah anak setelah melalui
kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang
berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perilaku yang relatif menetap. Hasil
belajar dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Keller dalam Abdurrahman
(1999:38) memandang hasil belajar sebagi keluaran dari suatu pemrosesan dua
kelompok masukan yang berupa informasi, yaitu kelompok masukan pribadi dan
kelompok masukan yang berasal dari lingkungan. Masukan pribadi terdiri dari
.motivasi, harapan untuk berhasil, inteligensi dan penguasaan awal, evaluasi
kognitif terhadap kewajaran, masukan dari luar yaitu rancangan dan pengeloaan
motivasional, rancangan dan pengeloaan kegiatan belajar, rancangan dan
pengeloaan ulangan penguatan.
Salah satu indikator tercapai atau tidaknya suatu proses pembelajaran
adalah dengan melihat hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil belajar
merupakan cerminan tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan dari proses
belajar yang telah dilaksanakan yang pada puncaknya diakhiri dengan suatu
evaluasi. Hasil belajar diartikan sebagai hasil ahir pengambilan keputusan
tentang tinggi rendahnya nilai siswa selama mengikuti proses belajar mengajar,
12
pembelajaran dikatakan berhasil jika tingkat pengetahuan siswa bertambah dari
hasil sebelumnya (Djamarah, 2000: 25). Sedangkan menurut Terry Overton
(2008) mengemukakan bahwa :
Test is a method to determine a student’s ability to complete certain tasks
or demontstrate mastery of a skill or knowledge of content. Some types
would be multiple choice tests or a weekly spelling test. While it
commonly used interchangeably with assesment, or even evaluation, it
can be distinguished by the fact that a test is one form of an assesment.
Tes adalah suatu metode untuk menentukan kemampuan siswa
menyelesaikan sejumlah tugas tertentu atau mendemonstrasikan penguasaan
suatu keterampilan atau pengetahuan pada suatu materi pelajaran. Beberapa tipe
tes misalnya tes pilihan ganda atau tes mengeja mingguan. Seringkali
penggunaannya tertukar dengan asesmen, atau bahkan evaluasi (penilaian), yang
mana sebenarnya tes dapat dengan mudah dibedakan berdasarkan kenyataan
bahwa tes adalah salah satu bentuk asesmen.
Hasil belajar merupakan bagian dari hasil komponen pembelajaran salah
satunya pada ranah kognitif. Siswa dikatakan berhasil dalam belajar jika siswa
benar-benar mengerti materi
yang dipelajari. Pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan pada ranah kognitif dapat diukur melalui beberapa aspek,
salah satunya aspek yang di dasarkan pada taksonomi Bloom yang meliputi C1
(hafalan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4 (analisis), C5 (sintesis) dan C6
(evaluasi), (Rustaman 2005). Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak
terlepas mempelajari fakta, konsep dan prinsip kewarganegaraan. Hasil belajar
yang diukur pada penelitian ini lebih ditekankan pada ranah kognitif.
Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan yang dicapai oleh murid
dalam mengikuti program belajar mengajar, sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:3), hasil belajar merupakan
hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Sedangkan hasil
belajar menurut Arikunto (2001:63) sebagai hasil yang telah dicapai seseorang
setelah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi
dari proses belajar yang dilakukan.
13
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar dapat
dikatakan tuntas apabila telah memenuhi kriteria ketuntasan minimum yang
ditetapkan oleh masing-masing guru mata pelajaran dan sebagai suatu
pencapaian dari apa yang seseorang pelajari sehingga mengalami adanya
perubahan pemikiran yang lebih maju. Perubahan tersebut sebagai umpan balik
dalam upaya memperbaiki kegiatan belajar mengajar.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Abu Ahmadi
(2013: 138) antara lain :
1. Faktor jasmaniah, meliputi penglihatan, pendengaran, struktur tubuh
dan sebagainya.
2. Faktor psikologis, terdiri dari: (a) Faktor intelektif meliputi, faktor
potensial yaitu kecerdasan dan bakat; serta faktor kecakapan yaitu
prestasi yang telah dimiliki. (b) Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur
kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan,
motivasi, emosi, penyesuaian diri.
3. Faktor kematangan fisik dan psikis, meliputi: (a) Faktor sosial,
meliputi lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok. (b)
Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi,
kesenian. (c) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas
belajar, iklim.
4. Faktor lingkungan spritual atau keamanan.
Sedangkan, menurut Purwanto (Ketut Dharma, 2008: 159), faktor yang
menyebabkan rendahnya hasil belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Disamping itu, menurut Purwanto (2013: 107) menjelasakan masih ada faktor
lain yang mempengaruhi proses dan hasil belajar yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Faktor luar
a. Lingkungan, meliputi alam dan sosial.
b. Instrumental, meliput kurikulum/bahan ajar, guru/pengajar, sarana
dan fasilitas, adminstrasi./manajemen.
2. Faktor dalam
a. Fisiologi, meliputi kondisi fisik dan panca indera.
b. Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan
kemampuan kognitif,
14
Proses belajar mengajar dipengaruhi beberapa faktor yang yang
mempunyai indikasi terhadap prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut digolongkan
menjadi dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. “Faktor intern adalah suatu
faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Contohnya adalah
faktor jasmaniah yang terdapat dalam tubuh misalnya kondisi kesehatan, cacat
tubuh, minat dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Sedangkan faktor ekstern
adalah faktor yang berasal dari luar individu”. Contohnya adalah faktor
lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal siswa dan faktor keadaan
masyarakat. (Djamarah, 2002:142).
Menurut Slameto (2003), prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh bentuk
nilai. Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor intern
dan faktor ekstern. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah
faktor intern yang meliputi faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh) dan
faktor psikologi intelegensi, (bakat, minat, motif, kematangan, dan kelelahan).
Sedangkan faktor ekstern meliputi faktor keluarga (cara mendidik orang tua,
relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga dan
keperluan keluarga), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa siswa, disiplin sekolah dan alat pelajaran), dan faktor
masyarakat (kegiatan siswa dengan dalam masyarakat, media masa, teman
bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat).
Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang
dipelajari Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang
dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Salah satu usaha untuk mencapai hal
itu adalah dengan pengembangan prinsip belajar tuntas atau “mastery learning”.
Maksud utama belajar tuntas adalah usaha dikuasainya bahan oleh siswa yang
sedang mempelajari bahan tertentu secara tuntas” (Nasution, 2000:36).
15
d. Ranah Afektif
Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, penghargaan,
proses internalisasi, pembentukan karakteristik diri, dan emosi serta derajat
penerimaan atau penolakan suatu obyek dalam kegiatan belajar mengajar.
Kartwohl & Bloom (Dimyati & Mudjiono, 1994; Syambasri Munaf, 2001)
membagi ranah afektif menjadi 5 kategori yaitu
1. Penerimaan (receiving)
Jenjang ini adalah pembuka alat indera seseorang terhadap dunia luar.
Ada tiga proses untuk jenjang penerimaan ini, pertama adanya kesadaran
tentang apa yang sedang terjadi kita sadar adanya sejawat yang datang, orang
berbicara, acara televisi, dan sebagainya. Kedua adalah kesediaan menerima
apa yang terjadi tersebut sebagai stimulus. Ketiga adalah kemauan kita untuk
mengontrol atau memilih stimulus mana yang akan kita perhatikan lebih
lanjut.
2. Penanggapan (responding)
Penanggapan adalah jenjang kedua dan lebih tinggi dari jenjang
penerimaan. Penanggapan ini yang ditekankan adalah keinginan yang
bersangkutan dan bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu kewajiban yang
harus dilakukan.
3. Penghargaan (valuing)
Penghargaan adalah jenjang ketiga. Jenjang ini aktivitas efektif lebih
tinggi
dari
jenjang
pemberian
penanggapan.
Kalau
dalam
jenjang
penanggapan orang yang melakukannya baru menunjukkan rasa senang dan
gembira dapat memberikan penanggapan, dalam jenjang penghargaan ini
sudah sampai pada rasa keterikatan atau memiliki terhadap suatu stimulus.
Jenjang penghargaan terbagi atas tiga kategori pula yaitu penerimaan suatu
nilai, kecenderungan (preferensi) akan suatu nilai, dan keterikatan
(commitment) akan suatu nilai tertentu.
16
4. Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian adalah jenjang keempat. Pengorganisasian terjadi
apabila seseorang berada dalam situasi dimana terdapat lebih dari satu nilai
atau sikap. Kesamaan antara pengorganisasian dengan sintetis dalam kognitif.
Keduanya berhubungan dengan berbagai jenis dan kelompok stimulus.
Perbedaannya, dalam sintetis hasil dari proses yang diperhatikan dan dianggap
sebagai hasil kemampuan intelektua, afektif hal yang diutamakan adalah
proses dan kecenderungan yang diperhatikan dalam berhubungan dengan
stimulus.
5. Penjatidirian (characterization)
Penjatidirian adalah jenjang tertinggi afektif. Jenjang ini nilai dan sikap
sudah menjadi milik seseorang. Jadi, nilai dan sikap bukan saja diterima,
disenangi, dihargai, digunakan dalam kehidupan, serta diorganisasikan dengan
nilai dan sikap lainnya, tetapi sudah mendarah daging pada dirinya.
Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan,
emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan
atau penolakan terhadap sesuatu. (Yamin, 2003: 32) Sedangkan menurut
Anderson (1981) dalam buku (Winarno, 2013:194) bahwa karakteristik
manusia meliputi cara yang tipikal berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal
berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan
ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah
afektif tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam
bidang pendidikan. Dimana sikap adalah salah satu ranah yang amat
menentukan keberhasilan seseorang dalam proses pembelajaran.
e. Definisi Konseptual Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu pencapaian yang diperoleh oleh siswa dalam
proses
pembelajaran
yang
dituangkan
dengan
angka
maupun
dalam
pengaplikasian pada kehidupan sehari-hari atas ilmu yang didapat. Hasil belajar
seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subjek belajar, tujuan,
17
motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang
dipelajari.
f. Definisi Operasional Hasil Belajar Afektif Siswa
Dari definisi konseptual tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi
operasional hasil belajar afektif yaitu sebagai berikut :
1) Sikap rela berkorban atau patriotisme
(a). Peduli terhadap sesama.
(b). Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.
2) Menjaga persatuan
(a). Saling menghargai.
(b). Menahan diri.
(c). Menerima perbedaan.
3) Tanggung jawab
(a). Kesadaran dan kewajiban.
(b). Cinta produk dan menghargai budaya asli.
(c). Prestasi.
18
19
20
3. Tinjauan Organisasi Siswa Intra Sekolah
Organisasi sekolah secara umum adalah kelompok kerjasama antara
pribadi yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal ini
dimaksudkan satuan atau kelompok kerjasama para siswa yang dibentuk dalam
usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mendukung terwujudnya pembinaan
kesiswaan.
Secara Organisasi OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang
sah di sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi
Siswa Intra Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris
dengan OSIS di sekolah lain dan tidak menjadi bagian / alat dari organisasi lain
yang ada di luar sekolah. Secara sematis di dalam Surat Keputusan Direktur
Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1993 disebutkan
bahwa organisasikesiswaan di sekolah adalah OSIS. Kepanjangan OSIS terdiri
dari, Organisasi, Siswa, Intra, Sekolah: Masing-masing mempunyai pengertian:
1) Organisasi, secara umum adalah kelompok kerjasama antara pribadi
yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal
ini dimaksudkan satuan atau kelompok kerjasama para siswa yang
dibentuk dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu
mendukung terwujudnya pembinaan kesiswaan.
2) Siswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
3) Intra adalah berarti terletak di dalam dan di antara. Sehingga OSIS
berarti suatu organisasi siswa yang ada di dalam dan di lingkungan
sekolah yang bersangkutan.
4) Sekolah adalah satuan pendidikan tempat menyelenggarakan kegiatan
belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan.
Ada berbagai macam organisasi yang umumnya terdapat di lingkup
sekolah, menurut Jamal Mamur Asmani (2011: 77-78) setiap sekolah Negeri
wajib mempunyai organisasi sekolah sebagai berikut:
21
1) Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)
Secara sistematis di dalam Surat Keputusan Direktur Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1993
disebutkan bahwa organisasi kesiswaan di sekolah adalah OSIS.
Dan peran OSIS antara lain sebagai berikut:
a) Sebagai wadah
OSIS merupakan salah satu wadah kegiatan para siswa di Sekolah
bersama dengan jalur pembinaan yang lain untuk mendukung
tercapainya tujuan pembinaan kesiswaan. Oleh sebab itu OSIS
dalam mewujudkan fungsinya sebagai wadah untuk berekspresi,
latihan kepemimpinan,ekstrakurikuler,dan wawasan wiyatamandala
bagi siswa.
b) Sebagai Penggerak / Motivator
OSIS akan tampil sebagai penggerak apabila para pembina,
pengurus mampu membawa OSIS selalu dapat menyesuaikan dan
memenuhi kebutuhan yang diharapkan, yaitu menghadapi
perubahan, memiliki daya tangkal terhadap ancaman,
memanfaatkan peluang dan perubahan, dan yang paling penting
memberikan kepuasan kepada anggota.
c) Peranan yang bersifat preventif
OSIS dapat menggerakan sumber daya yang ada secara eksternal,
OSIS mampu mengadaptasi dengan lingkungan, seperti :
menyelesaikan persoalan perilaku menyimpang siswa dan
sebagainya. Dengan demikian secara preventif OSIS berhasil ikut
mengamankan sekolah dari segala ancaman yang datang dari dalam
maupun dari luar. Peranan Preventif OSIS akan terwujud apabila
peranan OSIS sebagai pendorong lebih dahulu harus dapat
diwujudkan.
2) Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera)
Peran Paskibra antara lain:
a) Untuk memperdalam sikap nasionalisme siswa
b) Untuk penanaman, pemantapan dan pembentukan nilai-nilai
kepribadian pada diri siswa.
c) Untuk penanaman sikiap kedisiplinan melalui kegiatan baris
berbaris serta latihan kepemimpinan dan bela negara.
3) Rohis
Rohis yaitu suatu organisasi sekolah yang berhubungan dengan
pelayanan rohani siswa. Rohis dibentuk agar siswa tidak hanya
mendapatkan pendidikan duniawi tetapi juga pendidikan agama
sebagai bekal mereka dalam berkehidupan yang sesuai dengan syariat
Islam. Peran Rohis antara lain:
a) Meningkatkan keimanan siswa.
b) Menambah ilmu tentang keagamaan.
c) Membentengi diri siswa dari pengaruh negatif lingkungan.
22
4) Pramuka
Pramuka merupakan organisasi pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di
Indonesia. Pramuka merupakan singkatan dari Praja Muda Karana,
yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pramuka
bertujuan untuk:
a) Membentuk pribadi yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
b) Membentuk pribadi yang berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin,
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa,
c) Membentuk pribadi yang memiliki kecakapan hidup sebagai kader
bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia,
d) Membentuk pribadi yang mengamalkan Pancasila,
e) Membentuk pribadi yang melestarikan lingkungan hidup (Jamal,
2011: 77-78)
23
4. Teori Tentang Nilai-nilai Kebangsaan Siswa
a. Klasifikasi Nilai
Menurut Linda secara garis besar “Nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu
nilai-nilai nurani dan nilai-nilai memberi” (Zaim Elmubarok, 2008: 7).
Berikut merupakan penjelasan dari kedua kelompok tersebut:
a) Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian
berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang
termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai,
keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian.
b) Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang
kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada
kelompok ini adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka,
tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.
Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu: “a)
Nilai Material, b) Nilai Vital, c) Nilai Kerohanian” (Kaelan, 2004: 89).
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Nilai Material adalah sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia,
atau kebutuhan material ragawi manusia.
b) Nilai Vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c) Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:
(1) Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta).
(2) Nilai keindahan atau nilai estetis, yaitu nilai yang bersumber pada unsur
perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
(3) Nilai religius, yaitu nilai yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan
mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
24
Notonagoro berpendapat bahwa:
Nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetap nilai-nilai
kerohanian yang mengaku adanya nilai material dan nilai vital.
Dengan demikian, nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik
nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai
estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang
sistematis-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai dasar sampai pada sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia sebagai tujuan (Kaelan, 2004: 90).
Nilai-nilai menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 7-8)
diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini: “1) Agama, 2) Pancasila, 3)
Budaya, 4) Tujuan Pendidikan Nasional”.
Penjelasannya sebagai berikut:
1) Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama
dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada
nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilainilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai
dan kaidah yang berasal dari agama.
2) Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut
dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan,
kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai
warga negara.
25
3) Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna
terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat
itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa.
4) Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki
setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan
pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat
berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional
dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Berikut ini akan dikemukakan delapan belas nilai karakter menurut
Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9), antara lain sebagai berikut:
“Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai
prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab”.
Penjelasannya sebagai berikut:
1) Religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2) Jujur, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3) Toleransi, yakni sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4) Disiplin, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
26
5) Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6) Kreatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau
hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8) Demokratis, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9) Rasa ingin tahu, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.
11) Cinta tanah air, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12) Menghargai prestasi, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
serta menghormati keberhasilan orang lain.
13) Bersahabat/Komunikatif, yakni tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14) Cinta damai, yakni sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15) Gemar membaca, yakni kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
27
16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17) Peduli sosial, yakni sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
Demikianlah ke delapan belas nilai karakter yang dicanangkan Kementerian
Pendidikan Nasional dalam upaya membangun karakter bangsa melalui
pendidikan di sekolah/madrasah.
Sebagai contoh nilai, dalam buku bahwa Direktoral Pendidikan Lanjutan
Pertama, Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Bahan Pendamping Guru Sekolah Swasta
Tradisional (Islam) telah menginventarisasi Domain Budi Pekerti Islami sebagai
nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh warga sekolah Islam sebagaimana disampaikan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 1. Domain Budi Pekerti Islami Menurut Al-Qur’an dan Hadits
Terhadap
Tuhan
1. Iman dan
taqwa
2. Syukur
3. Tawakal
4. Ikhlas
5. Sabar
6. Mawas
diri
7. Disiplin
8. Berfikir
jauh ke
depan
9. Jujur
10. Amanah
Terhadap Diri
Sendiri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Adil
jujur
Mawas diri
Disiplin
Kasih sayang
Kerja keras
Pengambil
resiko
8. Berinisiatif
9. Kerja cerdas
10. Kreatif
11. Berfikir jauh
ke
depan
/bervisi
Terhadap
Keluarga
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Adil
Jujur
Disiplin
Kasih
sayang
Lembut
hati
Berfikir
jauh ke
depan
Berfikir
konstukt
if
Bertang
Terhadap
Orang lain
Terhadap
Masyarakat
dan Bangsa
1. Adil
1. Adil
2. Jujur
2. Jujur
3. Disiplin 3. Disiplin
4. Kasih
4. Kasih
sayang
sayang
5. Lembut 5. Kerja
hati
keras
6. Bertang 6. Rendah
gung
hati
jawab
7. Berinisiatif
7. Bijaksan 8. Kerja
a
keras
8. Menghar 9. Kerja
gai
cerdas
Terhadap
Alam
Lingkungan
1. Adil
2. Amanah
3. Disiplin
4. Kasih
sayang
5. Kerja keras
6. Berinisiatif
7. Kerja keras
8. Kerja
cerdas
9. Berfikir
jauh
ke
depan
10. Berfikir
28
11. Pengabdi 12. Berfikir
an
matang
12. Susila
13. Bersahaja
13. Beradab 14. Bersemangat
15. Berfikir
konsturktif
16. Bertanggung
jawab
17. Bijaksana
18. Cerdik
19. Cermat
20. Dinamis
21. Efisien
22. Gigih
23. Tangguh
24. Ulet
25. Berkemauan
keras
26. Hemat
27. Kukuh
28. Lugas
29. Mandiri
30. Menghargai
kesehatan
31. Pengendalian
diri
32. Produktif
33. Rajin
34. Tekun
35. Percaya diri
36. Tertib
37. Tegas
38. Sabar
39. Ceria/perian
g
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
gung
jawab
Bijaksan
a
Hemat
Menghar
gai
kesehata
n
Pemaaf
Rela
berkorba
n
Rendah
hati
Setia
Tertib
Kerja
keras
Kerja
cerdas
Amanah
Sabar
Tenggan
g rasa
Bela
rasa/emp
ati
Pemurah
Ramah
tamah
Sopan
santun
Seportif
Terbuka
9. Pemaaf
10. Rela
berkorba
n
11. Rendah
hati
12. Tertib
13. Amanah
14. Sabar
15. Tenggan
g rasa
16. Bela
rasa
17. Pemurah
18. Ramah
tamah
19. Sopan
santun
20. Sportif
21. Terbuka
10. Berfikir
jauh
ke
depan
11. Berfikir
konstruktif
12. Bertanggu
ng jawab
13. Bijaksana
14. Mengharga
i kesehatan
15. Produktif
16. Rela
berkorban
17. Setia/loyal
18. Tertib
19. Amanah
20. Sabar
21. Tenggang
rasa
22. Bela rasa
23. pemurah
24. Ramah
tamah
25. Sikap
hormat
konstruktif
11. Bertanggun
g jawab
12. Bijaksana
13. Mengharga
i kesehatan
dan
kebersihan
14. Rela
berkorban
(Sumber. Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 48)
Dari contoh tersebut di atas dapat dilihat betapa banyaknya nilai karakter
asli bangsa Indonesia yang dapat digali dari khazanah budaya Indonesia.
Sementara itu, dalam Desain Induk Pendidikan Karakter antara lain
diutarakan bahwa:
Secara subtantif terdiri atas 3 (tiga) nilai operatif (operative value), nilainilai dalam tindakan, atau tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling
berkaitan dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing,
aspek kognitif), perasaan berlandaskan moral (moral feeling, aspek afektif),
dan perilaku berlandaskan moral (moral behavior, aspek psikomotor)
(Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 49).
29
Karakter yang baik (good character) terdiri atas proses-proses yang
meliputi:
Tahu mana yang baik (knowing the good), keinginan melakukan yang baik
(desiring the good), dan melakukan yang baik (doing the good). Kecuali
itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan pikir (habit of
the mind), kebiasaan kalbu (habit of the heart), dan kebiasaan tindakan
(habit of action) (Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 49).
Nilai-nilai karakter atau nilai budi pekerti yang identik dengan moral,
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk ditanamkan kepada
masyarakat/warga negara. Penanaman nilai-nilai karakter ini perlu ditanamkan
dan akan sangat efektif, apabila ditanamkan kepada masyarakat/warga negara
sejak dini, karena karakter anak pada masa itu belum terpengaruhi dengan
karakter-karakter yang tidak baik. Sehingga akan dapat membentuk karakter
anak yang bermutu dan berkualitas, yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang terkandung di dalam Pancasila.
b. Pengertian Kebangsaan
Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” atau “nation” secara pengertian
politik diartikan sebagai “Masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan yang tertinggi ke
luar dan ke dalam” (Moerdiono, 1995: 39).
Pandangan tentang bangsa dan kebangsaan sering dihubungkan dengan
pendapat Ernest Renan, yang menyatakan bahwa :
Keberadaan atau ketidakberadaan suatu bangsa tergantung pada kehendak
individu: penduduk dari suatu wilayah yang muncul secara historis, yang
memandang dirinya sebangai sebuah bangsa dan kewarganegaraan itu
disamakan dengan kebangsaan (Ali Masykur, 2011: 60).
Kehadiran suatu nation adalah hasil kesepakatan untuk hidup bersama
demi tercapainya kepentingan bersama. Pengertian bangsa atau nation adalah
sebagai berikut:
Nation adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual. Nation adalah suatu
kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang
telah dibuat di masa lampau dan yang oleh manusia-manusia yang
30
bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nation mempunyai masa
lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu
kenyataan yang jelas, yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan
dengan nyata untuk terus hidup bersama (Ali Masykur, 2011: 61).
Gagasan tentang hidup bersama yang menjadi dasar terbentuknya nation
dikemukakan oleh Otto Bauer yang mendefinisikan, “Bangsa sebagai persamaan
perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Ali Masykur, 2011: 61).
Semangat hidup bersama atas dasar nasib dan perangai itulah yang melahirkan
niat, semangat, dan tujuan yang sama dalam mengarungi kehidupan bersama
menuju masa depan. Semangat kebangsaan yang lahir karena sejarah yang sama
telah membuktikan keampuhannya dalam gelombang sejarah kemanusiaan
sehingga mampu menempatkan manusia secara adil antara dua kutub kebebasan
dan keterikatan dalam tatanan dunia.
Mengenai hubungan antara agama dengan nasionalisme, Barbara dan Ann
J.Rieffer (2003: 1) menjelaskan bahwa :
Some of the most prominent authors, including Erness Gallner, Benedict
Anderson and Eric Hobsbawm, have all largely neglected the role of
religion in their discussions of the rise of nationalism by focussing on
economic factors. A proper understanding of the development of
nationalism should incorporate the direct and inderect influences of
religion. Ultimately, the type of religious nationalism affect what type of
nation state develops. The stronger the religious influence on the national
movement, the greater the likehood that discrimination and human right
violations will occur.
Maka dapat disimpulkan bahwa beberapa ahli terkemuka seperti Erness
Gallner, Benedict Anderson, dan Eric Hobsbawm telah melalaikan peranan
agama dalam nasionalisme. Perkembangan nasionalisme harus diakui bahwa itu
juga berasal dari agama. Nasionalisme yang didasarkan pada kekuatan agama
akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan nasional negara, seperti tidak
akan ada diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia seperti peperangan.
31
Moerdiono (1995: 39) menyatakan bahwa “Negara kebangsaan adalah
suatu komunitas politik yang dirancang, dibangun dan beroperasi berdasar
wawasan kebangsaan”.
Lebih lanjut Moerdiono (1995: 37) menyatakan bahwa:
Wawasan kebangsaan tumbuh dan berkembang melalui proses
komunikasi antara unsur-unsur bangsa, yang bukan saja akan
menimbulkan rasa saling percaya mempercayai, tetapi juga akan
memungkinkan dirumuskannya sasaran masa depan yang cara-cara untuk
mencapainya.
Dengan demikian, proses kristalisasi wawasan kebangsaan yang tumbuh
di berbagai kalangan dan golongan serta individu telah berjalan secara alami dan
spontan, maka wawasan kebangsaan mampu menjadi penggerak lahirnya suatu
negara, yaitu kesatuan. Rasa ingin bersatu itu muncul karena perasaan yang sama
antar individu yang merasa sependeritaan, senasib dan sepenanggungan.
Secara konsepsional, Siswono menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
kebangsaan, adalah sebagai berikut: “1) Rasa kebangsaan, 2) Paham kebangsaan,
3) Semangat kebangsaan, 4) Wawasan kebangsaan” (Ali Masykur, 2011: 65).
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, kesadaran untuk bersatu
sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, aspirasi
perjuangan masa lampau, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan
sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu dan masa kini, serta kesamaan
pandangan, harapan, dan tujuan dalam merumuskan cita-cita bangsa untuk
waktu yang akan datang.
2) Paham kebangsaan adalah aktualisasi dari rasa kebangsaan yang berupa
gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang bersifat nasional, di mana suatu bangsa
secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan tujuan
nasional yang jelas dan rasional.
32
3) Semangat kebangsaan adalah kerelaan dalam berkorban demi kepentingan
bangsa dan tanah air. Semangat tersebut terbentuk dari tumbuh dan
berkembangnya rasa kebangsaan dan paham kebangsaan.
4) Wawasan kebangsaan adalah cara pandang terhadap suatu masalah yang
didasari oleh rasa kebangsaan, mengikuti alur berfikir paham kebangsaan dan
dilakukan dengan semangat kebangsaan.
Unsur-unsur kebangsaan yang terdiri dari rasa, paham, semangat, dan
wawasan kebangsaan tersebut terjalin dalam satu kesatuan, sehingga akan
membentuk suatu karakter kebangsaan di dalam diri masyarakat yang tinggal
bersama. Karakter kebangsaan berisi nilai-nilai yang menyebabkan utuh dan
bersatunya bangsa. Nilai tersebut berkembang dari rasa peduli terhadap
bangsanya, merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, bangga
terhadap bangsanya, setia dan cinta terhadap bangsanya, yang bermuara pada siap
berkorban demi bangsanya.
Persoalannya jelas, bahwa kebangsaan adalah sebuah nilai bukan materi
semata. Pendidikan nilai (afektif), dalam arti internalisasi nilai pada diri seseorang,
tidak harus berupa suatu program atau pelajaran khusus, melainkan suatu dimensi
dari seluruh usaha pendidikan. Atas dasar ini, maka pendidikan kebangsaan bisa
mengambil tempat pada bidang studi lain, diantaranya Pendidikan Agama Islam
(PAI). PAI berwawasan kebangsaan bukan berarti materinya berisikan Pancasila,
UUD 1945 atau GBHN, melainkan:
Jiwa, semangat dan rasa cinta tanah air yang memang tidak bertentangan
bahkan paralel dengan norma agama Islam, diintegrasikan baik lewat
materi, metode, maupun suasana pendidikannya. Di antara materi pelajaran
yang relevan adalah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fiqh dan Akhlak
(Rachman Assegaf, 2005: 247).
Materi Sejarah Kebudayaan Islam dikembangkan tidak hanya mengungkap
biografi Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in, melainkan sesuai dengan
kasus Indonesia, semisal perjuangan tokoh muslim, ulama dan pemimpin nasional,
setelah dikonstektualkan dengan masa kini. Apa yang terjadi kurikulum sekarang
33
justru sebaliknya, bila mengungkap perjuangan pahlawan terdahulu, konteksnya
lepas mengungkap perjuangan pahlawan terdahulu, konteksnya lepas sama sekali
dengan urgensi masa kini, sehingga menjadikan jiwa patriotisme dan semangat
kebangsaan menyejarah. Materi fiqh-syari’ah yang dengan pembahasan ibadahmu’amalah, bisa diperluas dengan merepresentasikan kajian fiqh-ssyasah, secara
lebih memadai. Baik Al-Qur’an maupun Hadits, keduanya mengandung prinsipprinsip kebangsaan yang amat membantu tujuan ini. Materi akhlak yang terfokus
pada kajian perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama, diri-sendiri, serta
lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab,
kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila bangsa itu meremehkan
akhlak akan menjadi punah bangsa tersebut. Maka dari itu, nilai-nilai Islami sangat
penting untuk ditanamkan kepada peserta didik di sekolah.
Peningkatan penguatan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air di sekolah
saat ini juga bisa dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini
diselenggarakan oleh sekolah yang merupakan kegiatan di luar jam pelajaran.
Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik, salah satu
dari kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan Pramuka. Pengertian pendidikan
kepramukaan dalam Keppres No. 34 Tahun 1999 Pasal 8 Ayat (1) menjelaskan
“Pendidikan kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan
hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
kepramukaan”.
Kepramukaan mempergunakan 10 nilai yang menjadi kode kehormatan.
Kode kehormatan mempunyai makna suatu norma (aturan) yang menjadi ukuran
kesadaran mengenai akhlak yang tersimpan dalam hati yang menyadari harga
dirinya, serta menjadi standar tingkah laku pramuka di masyarakat. 10 nilai
tersebut bernama Dasa Dharma yang tercantum di dalam Keppres No. 34 Tahun
1999 Pasal 13 Ayat (5), yang berbunyi:
1) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.
34
3) Patriot yang sopan dan kesatria.
4) Patuh dan suka bermusyawarah.
5) Rela menolong dan tabah.
6) Rajin, terampil dan gembira.
7) Hemat, cermat dan bersahaja.
8) Disiplin, berani dan setia.
9) Bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
10) Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan
Gerakan Pramuka sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang
pendidikan non formal diharapkan mampu menjadi suatu kekuatan perubahan
sosial nasional. Peran besar gerakan pramuka dalam pembentukan pribadi generasi
muda dalam bidang karakter kebangsaan hendaknya dapat diwujudkan dalam
praktik kehidupan sehari-hari.
Cara untuk melihat perkembangan semangat kebangsaan atau nasionalisme
pada generasi muda di Indonesia, menurut Kementerian Pendidikan Nasional
(2010: 40) menyatakan keterkaitan nilai, jenjang kelas, dan indikator semangat
kebangsaan antara lain:
1) Turut serta dalam upacara peringatan hari pahlawan dan Proklamasi
Kemerdekaan.
2) Menggunakan bahasa Indonesia ketika ada teman dari suku lain.
3) Menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu-lagu wajib dan lagu-lagu
perjuangan.
4) Mengagumi banyaknya keragaman bahasa di Indonesia
5) Turut serta dalam panitia peringatan hari pahlawan dan Proklamasi
Kemerdekaan.
6) Menyukai berbagai upacara adat di Nusantara.
7) Mengemukakan pikiran dan sikap mengenai ancaman dari negara lain
terhadap bangsa dan negara Indonesia.
8) Mengemukakan sikap dan tindakan yang akan dilakukan .
9) Mengemukakan pikiran dan sikap terhadap pertentangan antara bangsa
Indonesia dengan negara lain.
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 27) indikator sekolah dan
indikator kelas dari semangat kebangsaan sebagai berikut:
1) Indikator Sekolah:
a) Melakukan upacara rutin sekolah.
35
b) Melakukan upacara hari-hari besar nasional.
c) Menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan nasional.
d) Memiliki program melakukan kunjungan ke tempat bersejarah.
e) Mengikuti lomba pada hari besar nasional.
2) Indikator Kelas:
a) Bekerja sama dengan teman sekelas yang berbeda suku, etnis, status
sosial-ekonomi.
b) Mendiskusikan hari-hari besar nasional.
Peserta didik yang memiliki karakter kebangsaan khususnya sikap
nasionalisme, maka peserta didik tersebut akan sangat memiliki rasa perhatian
terhadap bangsa dan negaranya serta selalu ikut serta dalam suatu kegiatan yang
mendorong untuk kemajuan bangsa.
Penguatan karakter kebangsaan khususnya sikap nasionalisme dapat
dilakukan melalui upacara bendera, seperti halnya yang disampaikan oleh Ali
Hamzah, beliau menyatakan bahwa:
Upacara bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan
bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saatsaat tertentu atau saat yang telah ditentukan, misalnya pelaksanaan
upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada
hari Senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah.
Upacara bendera pada hari Senin juga menjadi kewajiban yang harus
dilaksanakan tiap sekolah atau madrasah di Indonesia, selain untuk
menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera
juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya
para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanaan
upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau
cinta
terhadap
bangsa
Indonesia
(Ali
Hamzah.
2012.
http://smpn1pohjentrek.blogspot.com/2012/08/memupuknasionalisme).
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara
bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol
martabat bangsa. Di mana para generasi penerus bangsa dibekali dengan
kecintaannya terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945,
yaitu:
36
1) Nilai demokrasi: mengandung makna bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat, setiap warga negara memiliki kebebasan yang bertanggung
jawab terhadap penyelenggaran pemerintahan.
2) Nilai kesamaan derajat: setiap warga negara memiliki hak, kewajiban
dan kedudukan yang sama di depan hukum.
3) Nilai ketaatan hukum: setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib
mentaati setiap hukum dan peraturan yang berlaku.
(Safran Sofyan. 2014. http://www.lemhannas.go.id/portal/daftarartikel/2010-implementasi-nilai-nilai-kebangsaan-generasi-muda-dalamera-demokrasi.html)
Berdasarkan uraian nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal UUD
1945 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan perumusan
pasal-pasal UUD 1945 telah mengakomodasi segala aspek dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya bangsa Indonesia saat itu. Nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal
tersebut sampai saat ini masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi
kehidupan bangsa Indonesia walaupun adanya pengaruh globalisasi. Sehingga
diharapkan nilai-nilai tersebut untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nilai‐nilai kebangsaan yang bersumber dari semboyan bangsa Bhinneka
Tunggal Ika dapat ditemukan ada 3 (tiga) nilai yang terkandung, yakni: “1) Nilai
Toleransi, 2) Nilai Keadilan, 3) Nilai Gotong Royong/Kerjasama” (Uki hary.
2011.http://ukiehary.wordpress.com/2011/05/24/nilai%E2%80%90nilai
kebangsaan-yang-bersumber-dari-semboyan-bangsa-bhinneka-tunggal-ika/).
Hal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Nilai Toleransi, merupakan satu sikap yang mau memahami orang lain
sehingga komunikasi dapat berlangsung secara baik.
2) Nilai Keadilan, merupakan satu sikap mau menerima haknya dan tidak mau
mengganggu hak orang lain.
3) Nilai Gotong Royong/Kerjasama, merupakan satu sikap untuk membantu
pihak/orang yang lemah agar sama‐sama mencapai tujuan. Ada sikap saling
37
mengisi kekurangan orang lain, hal ini merupakan konsekuensi dari manusia
dan daerah yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam konteks otonomi
daerah.
Bila diterjemahkan lebih jauh, nilai‐nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai
nilai yang menjadikan rakyat/warga negara dapat hidup dan menata kehidupan
bersama dengan harmonis, bersatu sebagai kekuatan pembangunan negara, pada
dasarnya tidak berbeda dan justru sangat relevan dengan nilai‐nilai kebangsaan
yang
dipersepsikan
dari
sila‐sila
Pancasila,
yaitu
(Uki
hary.
2011.
http://ukiehary.wordpress.com/2011/05/24/nilai%E2%80%90nilai-kebangsaanyang-bersumber-dari-semboyan-bangsa-bhinneka-tunggal-ika/):
1) Kesederajatan
5) Kekeluargaan
2) Kebebasan
6) Keseimbangan
3) Non‐diskriminasi
7) Kepedulian
4) Pengorbanan
8) Produktivitas
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
semangat kebangsaan adalah suatu sikap yang tertanam di dalam jiwa individu
yang mempunyai perhatian, cinta atau bangga terhadap bangsanya atau tanah
airnya, dan individu tersebut selalu mengutamakan kepentingan bangsanya
daripada kepentingan pribadinya (mempunyai perasaan fanatic terhadap
bangsanya).
38
5. Perbedaan Hasil Belajar Afektif Antara Siswa Yang Aktif Dan Tidak
Aktif Dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah
Menurut
Wahjo
Sumidjo
kegiatan
ektrakulikuler
adalah
untuk
memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa dalam arti memperkaya dan
mempertajam serta memperbaiki pengetahuan para siswa yang berkaitan dengan
mata
pelajaran
sesuai
dengan
programkulikuler
yang
ada.
Kegiatan
ekstrakulikuler ini juga merupakan seperangkat pengalaman belajar yang
memiliki nilai-nilai manfaat bagi pembentukan kepribadian siswa. Adapun tujuan
secara umum dari pelaksanaan ekstrakulikuler disekolah menurut Direktorat
Pembinaan Kesiswaan (Depdikbud), yang dikutip dalam buku Suryosunroto
adalah sebagai berikut:
1) Kegiatan ektrakulikuler dapat meningkatkan kemampuan siswa beraspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2) Mengembangkan bakat dan minat siswa dalam upaya pembinaan pribadi
menuju pembinaan seutuhnya.
3) Dapat mengetahui, mengenal, serta membedakan antara hubungan satu
pelajaran dengan pelajaran lainnya.
Menurut Syambudiarti kegiatan ekstrakulikuler adalah suatu kegiatan
yang dilakukan diluar jam pelajaran sekolah (dilakukan termasuk hari libur) yang
bertujuan memperluas pengetahuan siswa,menyalurkan bakat dan minat serta
melengkapi
upaya
pembinaan
seutuhnya
dan
ikut
dinilai.
Kegiatan
ekstrakulikuler dilakukan diluar untuk memperkaya dan memperluas wawasan
pengetahuan atau peningkatan nilai atau sikap, dalam rangka penerapan
pengetahuan dari kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran
dalam kurikulum. Oleh karena itu kegiatan ekstrakulikuler perlu dikembangkan
untuk menunjang hasil belajar afektif siswa.
39
OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di sekolah.
Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah
lain dan tidak menjadi bagian/ alat dari organisasi lain yang ada di luar sekolah.
Penyelenggaraan OSIS merupakan bagian dari program pembinaan
kesiswaan. Terdapat berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam OSIS. Secara
umum dapat dikatakan bahwa tugas dan kewajiban OSIS adalah membantu
dalam usaha melancarkan pelaksanaan program pengajaran dan pembinaan
generasi muda di sekolah. Usaha ini hampir seluruhnya dilaksanakan melalui
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler atau ekstra kelas.
Peran serta dan partisipasi aktif siswa dalam kepengurusan OSIS dan
berbagai kegiatan di dalamnya diharapkan memberikan manfaat positif bagi
siswa. Hal itu merupakan pendorong bagi siswa sebagai salah satu sarana untuk
dapat meningkatkan hasil belajar. Dengan partisipasi dan berbagai pengalaman
yang diperoleh, diantaranya peningkatan kepercayaan diri, peningkatan
kemampuan mengemukakan pendapat, dan lainnya, partisipasi siswa dalam
kegiatan belajar juga menjadi lebih baik. Siswa dapat mengaplikasikan
pengalaman-pengalaman tersebut dalam kegiatan pembelajaran, misalnya
bertanya pada guru mengenai materi yang belum dapat dipahami. Sehingga
terdapat peluang nilai akademik siswa menjadi lebih tinggi, dan secara umum
hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Meskipun keaktifan siswa dalam OSIS
bisa juga berimbas negatif, terutama bila siswa tidak dapat memanajemen
waktunya dengan baik, dan terlalu sibuk dalam kegiatan OSIS yang membuat
waktunya untuk belajar berkurang.
40
6. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang mirip atau
menyerupai dengan penelitian yang kita lakukan. Pada umumnya suatu penelitian
tidak berasal dari penelitian murni, akan tetapi ada penelitian terdahulu yang
memiliki persamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang relevan
untuk penelitian ini antara lain :
1.Yuliariska Lutfitasari, 2009, dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh
aktivitas dalam organisasi siswa intra sekolah (osis) dan kedisiplinan siswa
terhadap prestasi belajar pengurus osis periode 2008/2009 dalam mata
pelajaran pkn di tingkat sma-ma se kecamatan subah kabupaten batang”.
Dalam penelitian ini mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara aktifitas dalam OSIS dan kedisiplinan terhadap prestasi belajar
pengurus OSIS sebesar 71,8% dan sisanya 28,2% disebabkan oleh faktorfaktor lain. Faktor lain tersebut seperti faktor dari lingkungan keluarga baik
langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil
belajar peserta didik, faktor lingkungan sekolah, keadaan sekolah yang
memenuhi syarat akan menimbulkan semangat belajar, hal ini akan
berpengaruh terhadap prestasi belajar, faktor guru juga mempunyai pengaruh
dalam peningkatan prestasi belajar, ini terlihat dalam hubungan guru dengan
siswa pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung yaitu cara guru
menyampaikan materi pelajaran dan saat siswa menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru.
4) Fajar Kurniawan, 2014, dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh
keaktifan siswa dalam organisasi siswa intra sekolah (osis) dan kemampuan
berpikir kreatif terhadap prestasi belajar (Studi Pada Siswa Smk Negeri 2
Pengasih Tahun Ajaran 2013/2014)”. Tidak terdapat pengaruh signifikan
antara variabel keaktifan siswa dalam OSIS terhadap prestasi belajar siswa
SMK Negeri 2 Pengasih tahun ajaran 2013/2014. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai rhitung (0,178) yang lebih kecil dari rtabel (0,334). dengan probabilitas
41
0,307 > 0,05, sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Dapat disimpulkan bahwa
keaktifan siswa dalam OSIS tidak memiliki pengaruh yang berarti bagi
peningkatan prestasi belajar siswa di SMK Negeri 2 Pengasih tahun ajaran
2013/2014.
B. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir pada dasarnya merupakan arahan penalaran untuk bisa
pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan oleh penulis.
Pembentukan watak atau sikap seorang siswa dirasa penting dan berpengaruh
dalam perilaku mereka sehari-hari. Apabila dilihat dalam kenyataannya siswa
cenderung mengenyampingkan aspek afektif dan lebih mengutamakan aspek
kognitif atau pengetahuan.Sikap siswa secara langsung akan membentuk
kesadaran dan disiplin belajar. Kesadaran dan disiplin belajar ini akan
berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar siswa yang akhirnya akan diperoleh
prestasi belajar. Dari hal itu model pembelajaran pengembangan moral kognitif
diharapkan mampu membentuk sikap siswa yang mampu menampilkan peran
serta budaya politik partisipan, sehingga antara aspek kognitif dan afektif
berjalan secara beriringan.
Berdasarkan uraian diatas kerangka berfikir dari penelitian ini dapat
digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut :
Nilai-Nilai
Kebangsaan
Aktif
OSIS
KBM di kelas,
Ekstrakulikuler,
Lingkungan
masyarakat
Hasil belajar afektif
Gambar 1: Skema Kerangka Berfikir
Tidak Aktif
OSIS
42
C. Hipotesis
Menurut Sugiono ( 2011:96 ), “Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan massalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Sedangkan Suharsimi Arikunto
(2006:71) mengartikan: “Hipotesis sebagai suatu jawaban sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul”
Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis diartikan sebagai suatu jawaban
yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti
melalui data yang terkumpul. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang
diajukan, hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan
hasil belajar afektif antara siswa yang aktif dan tidak aktif dalam organisasi siswa
intra sekolah (OSIS) ditinjau dari aspek nilai-nilai kebangsaan.
Download