keabsahan tanda tangan elektronik pada perjanjian perdata di

advertisement
KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA
SKRIPSI
OLEH :
SYAHRIATUR RAHMAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2016
KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
OLEH :
SYAHRIATUR RAHMAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2016
KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA
NAMA
: SYAHRIATUR RAHMAH
NPM
: 12120041
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DITERIMA OLEH :
DOSEN PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.
Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat
mencapai gelas Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Wijaya putra Surabaya.
Surabaya, Agustus 2016
Tim Penguji Skripsi :
Ketua
: Andy Usmina Wijaya, S.H, M.H
(………………………)
(Dekan)
Sekretaris
: Andy Usmina Wijaya, S.H, M.H
(………………………)
(Pembimbing)
Anggota
: 1. Dr. H. Taufiqurrahman, S.H, M.Hum
(………………………)
(Dosen Penguji I)
2. Musa, S.H, M.H
(Dosen Penguji II)
(………………………)
ORANG-ORANG HEBAT DI BIDANG APAPUN BUKAN
BARU BEKERJA KARENA MEREKA TERINSPIRASI,
NAMUN MEREKA MENJADI TERINSPIRASI KARENA
LEBIH SUKA BEKERJA. MEREKA TIDAK MENYIANYIAKAN WAKTU UNTUK MENUNGGU INSPIRASI.
(ERNEST NEWMAN)
MOTTO
JIKA KESEMPATAN TIDAK PERNAH DATANG,
BUATLAH!
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah s.w.t
karena berkat limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “KEABSAHAN TANDA TANGAN
ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA” sebagai syarat
untuk memenuhi tugas akhir Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas
Wijaya Putra Surabaya.
Penulisan skripsi ini tidak dapat saya selesaikan tanpa adanya pihakpihak terkait yang memberikan motivasi baik itu riil maupun spiritual. Oleh karena
itu saya banyak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua saya yang selalu memberikan semangat dan do’a tulus di
dalam ibadahnya.
2. Mirza Viandri, SE selaku suami saya yang juga selalu sabar menemani saya
mengerjakan skripsi sampai malam dan memberikan semangat serta do’a
kepada saya.
3. Bapak Budi Endarto, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra
Surabaya.
4. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum, selaku Wakil Rektor Universitas
Wijaya Putra Surabaya.
5. Bapak Andy Usmina Wijaya, S.H., M.Hum, selaku Dekan dan Kepala
Program Studi Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus Dosen
Pembimbing Skripsi saya.
i
6. Bapak / Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya.
7. Ibu Adisti selaku HRD saya di IBIS Budget Surabaya HR Muhammad yang
sudah sangat baik dan sabar memberikan saya waktu untuk cuti maupun
sering pulang awal demi kelancaran skripsi saya.
8. Santi Meilina, selaku teman seangkatan saya di Fakultas Hukum Universitas
Wijaya Putra yang sudah sangat baik juga bersedia meminjamkan laptop
kepada saya ketika laptop saya rusak.
9. Dewi Ristiyaningrum selaku teman seangkatan saya di Universitas Wijaya
Putra yang tidak membantu apa-apa namun sangat dekat dengan saya.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal ibadah dan amal perbuatan yang diberikan kepada penulis
senantiasa mendapatkan pahala dan berkah dari Allah s.w.t.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis megharapkan saran, kritik, masukan
yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan skripsi. Dengan demikian,
skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai lebih dan manfaat yang besar bagi
semua pihak untuk menambah wawasan dan pengetahuan di dunia pendidikan
di Indonesia yang akan datang.
Surabaya, Agustus 2016
Terimakasih
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2 Rumusan masalah .................................................................................
5
1.3 Penjelasan Judul.....................................................................................
5
1.4 Alasan Pemilihan Judul ...........................................................................
6
1.5 Tujuan Penelitian ....................................................................................
7
1.6 Manfaat Penelitian ..................................................................................
8
1.7 Metode Penelitian ...................................................................................
8
1.8 Sistematika Pertanggungjawaban ...........................................................
11
BAB
II
PENGATURAN
TANDA
TANGAN
ELEKTRONIK
MENURUT
KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA ........................................................
13
2.1 Pengertian Perjanjian .............................................................................
13
2.2 Pengertian TandaTangan .......................................................................
21
2.3 Latar Belakang Munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi danTransaksi Elektronik ................................................................
23
2.4 Pengertian Kontrak Elektronik .................................................................
25
2.5 Jenis dan Bentuk Kontrak Bisnis secara Elektronik .................................
26
2.6 Pengertian Tanda Tangan Elektronik .....................................................
28
2.7 Tujuan Tanda Tangan Elektronik ...........................................................
35
2.8 Klasifikasi Tanda Tangan Elektronik ......................................................
36
2.9 Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik ...................
37
iii
2.10 Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik .......................
38
2.11 Atribut Tanda Tangan Elektronik ..........................................................
39
2.12 Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik ...................................................
40
BAB III KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN
PERDATA DI INDONESIA ..........................................................................
44
3.1 Keabsahan Tanda Tangan Elektronik ....................................................
44
3.2 Aspek Perlindungan Konsumen dalam penggunaan Tanda Tangan Elektronik
.....................................................................................................................
48
3.3 Perbedaan Pendapat dalam menanggapi Keabsahan Informasi, Dokumen
dan Tanda Tangan Elektronik sebagai alat bukti ..........................................
54
BAB IV PENUTUP ......................................................................................
59
4.1 Kesimpulan ............................................................................................
59
4.2 Saran .....................................................................................................
60
Daftar Bacaan ..............................................................................................
61
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan jaman saat ini sangatlah pesat bila dibandingkan sepuluh
tahun yang lalu. Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan yang ada sudah
cukup berkembang apalagi dengan hadirnya era internet. Kebutuhan akan
dunia yang serba praktis ini mendukung semakin berkembanganya dunia
maya. Semua orang saat ini butuh sesuatu yang serba cepat. Untuk mencari
sesuatu didalam jaringan Internet semua orang bisa mengakses dan
mendapatkan informasi dengan mudah.
Informasi sangat mudah didapat pada saat era internet seperti saat ini.
Mulai dari anak kecil sampai orang tua sering menggunakan layanan jaringan
internet. Setiap infomasi yang mereka butuhkan sangat cepat dan mudah
didapat. Hanya menggunakan tombol klik saja maka informasi yang mereka
inginkan bisa didapat di dalam jaringan internet. Dunia maya memastikan
untuk kita berhubungan dengan banyak orang. Informasi yang kita peroleh
pun juga bertambah banyak. Cara kita memperoleh informasi inilah sekarang
dilindungi melalui suatu peraturan perundang-undangan yang ada di UU No.
11 Tahun 2008. Begitu banyak cara kita memperoleh informasi di dalam
dunia maya. Informasi mengenai apa saja dapat dicari di jaringan internet
dunia maya.
Banyak orang yang sering menyalahgunakan penggunaan informasi
secara elektonik ini oleh karena itu dibutuhkan sesuatu aturan perundang –
undangan untuk melindunginya. Selain untuk mencari informasi maka kita
dapat juga melakukan trasaksi melalui jaringan Internet. Transaksi elektronik
2
saat ini sudah sering dilakukan karena orang begitu ingin praktisnya.
Ditengah
globalisasi
komunikasi
yang
semakin
terpadu
(global
communication network) dengan semakin populernya internet seakan telah
membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin
memudarkan
batas-batas
negara
berikut
kedaulatan
dan
tatanan
masyarakatnya. Ironisnya, dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru
tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat
informasi, seolah masih tampak prematur untuk mengiringi perkembangan
teknologi tersebut.
Pola dinamika masyarakat Indonesia seakan masih bergerak tak
beraturan
ditengah
keinginan
untuk
mereformasi
semua
bidang
kehidupannya ketimbang suatu pemikiran yang handal untuk merumuskan
suatu kebijakan ataupun pengaturan yang tepat untuk itu. Meskipun
masyarakat telah banyak menggunakan produk-produk teknologi informasi
dan jasa telekomunikasi dalam kehidupannya, namun bangsa Indonesia
secara garis besar masih meraba-raba dalam mencari suatu kebijakan publik
dalam membangun suatu infrastruktur yang handal (National Information
Infrastructure) dalam menghadapi infrastruktur informasi global (Global
Information Infrastructure).1
Indonesia yang berada dalam era globalisasi ditandai dengan era
teknologi informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace, virtual
world) melalui jaringan internet, komunikasi dengan media elektronik tanpa
kertas. Melalui media elektronik ini maka seseorang akan mememasuki dunia
1
Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan,
Kanisius, Jakarta, 1998, hal. 25.
3
maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan tempat dan waktu.2
Masyarakat Indonesia yakin bahwa peran informasi berperan untuk memberi
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu
kemajuan teknologi informasi juga mempengaruhi kondisi sosial pada masa
yang akan datang, seperti sistem pelayanan medis, sistem pelayanan
pendidikan, sistem pelayanan administrasi pemerintahan dan berbagai aspek
kehidupan lainnya.3
Setiap orang dapat memberikan informasi tentang segala hal, termasuk
juga pemberian informasi terhadap penjualan suatu barang atau jasa dengan
menggunakan teknologi informasi ini, dari informasi tersebut, apabila
seseorang tertarik untuk memiliki suatu produk barang atau jasa yang
ditawarkan tersebut, maka akan terjadi suatu transaksi elektronik.
Kedudukan sederajat antara perlindungan hukum, kehandalan dan
keamanan teknologi informasi akan menciptakan suatu “kepercayaan”
kepada para penggunanya, tanpa kepercayaan ini perdagangan elektronik
dan pemerintahan elektronik yang saat ini digalakkan oleh pemerintah
Indonesia tidak akan berkembang. Kepercayaan ini dapat diperoleh dengan
memberikan pengakuan hukum terhadap tulisan elektronik.
Hingga hari ini hukum positif Indonesia menentukan bahwa hanya satu
cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap suatu
akta, yaitu dengan tanda tangan manuskrip. Namun, dalam praktek
perdagangan khususnya, tanda tangan manuskrip sudah kian tergeser
dengan penggunaan tanda tangan elektronik yang melekat pada akta
2
Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber ( Cyber Law ) di
Indonesia, Pidato Purna Bhakti, Medan, 13 Nopember 2001, hal. 3
3
Ibid, hal. 6
4
terdematerialisasi atau dengan kata lain “akta elektronik”, sehingga timbul
perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum dan akibat hukum dari
sebuah tanda tangan elektronik.
Transaksi elektronik bersifat non face (tanpa bertatap muka), non sign
(tidak memakai tanda tangan asli) dan tanpa batas wilayah (seseorang dapat
melakukan transaksi elektronik dengan pihak lain walaupun mereka berada di
Negara yang berbeda) dengan menggunakan teknologi informasi.4 Dalam
perkembangannya,
aspek
keamanan
dalam
informasi
sudah
mulai
diperhatikan. Ketika informasi ini menjadi rusak maka akan terdapat resikoresiko yang harus ditanggung oleh orang-orang baik yang mengirim,
membutuhkan, ataupun sekedar melihatnya, dikarenakan penggunaan
informasi elektronik ini, menggunakan jaringan publik, dimana setiap orang
dapat mengetahui informasi elektronik tersebut, atau apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan prestasi dari transaksi elektronik yang telah disepakati
dengan pihak yang lain, hal ini merugikan pihak yang berkepentingan yang
menggunakan teknologi informasi untuk penjualan suatu barang atau jasa.
Dengan pengertian informasi elektronik yang mencakup spektrum luas
menjadi hal yang essensial dalam kegiatan virtual terutama kegiatan Ecommerce. Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang
ditandatangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner,
apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak
memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan
itu tidak dibuat berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain
informasi yang disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan,
4
Penjelasan Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
5
sehingga perubahan tanda tangan elektronik dan/atau informasi elektronik
setelah waktu penandatanganan tidak dapat diketahui. Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, maka penulis ingin meneliti dan menyusun
skripsi yang berjudul : “KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
DALAM PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan, yakni
:
a. Bagaimana pengaturan tanda tangan elektronik menurut perundangundangan di Indonesia?
b. Bagaimana keabsahan tanda tangan elektronik dalam suatu perjanjian
perdata?
1.3 Penjelasan Judul
Skripsi dengan judul “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada
Perjanjian Perdata di Indonesia” adalah merupakan suatu penelitian dan
analisis tentang sah atau tidaknya suatu transaksi dan/atau perjanjian yang
menggunakan tanda tangan elektronik sebagai tanda kesepakatan para
pihak.
Dalam skripsi ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai bagaimana proses
dan pengaturan tata hukumnya dalam perundang-undangan di Indonesia.
Namun untuk menghindari multitafsir dalam penelitian ini, maka diperlukan
adanya suatu penjelasan istilah skripsi ini sebagai berikut :
6
“Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian Perdata di
Indonesia”
Keabsahan adalah sebuah Nomina (kata benda) sifat yang sah,5 yang
melekat pada suatu benda. Seperti pada kalimat berikut, puluhan tahun
kemudian, orang meragukan keabsahan surat itu.
Tanda Tangan Elektronik berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan
Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi.
Perjanjian Perdata berdasarkan pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata,
adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
1.4 Alasan Pemilihan Judul
Alasan pemilihan judul “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada
Perjanjian Perdata di Indonesia” adalah dikarenakan saat ini sering
ditemukan transaksi-transaksi dan kontrak bisnis yang dilakukan melalui
media internet yang menggunakan tanda tangan elektronik.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan
peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan
hukum.
5
http://www.kamuskbbi.id/
7
Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait
dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara
elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Padahal hingga saat ini hukum positif Indonesia masih menentukan
bahwa hanya satu cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat
hukum terhadap suatu akta, yaitu dengan tanda tangan manuskrip. Namun,
dalam praktek perdagangan khususnya, tanda tangan manuskrip sudah kian
tergeser dengan penggunaan tanda tangan elektronik yang melekat pada
akta terdematerialisasi atau dengan kata lain “akta elektronik”, sehingga
timbul perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum dan akibat hukum
dari sebuah tanda tangan elektronik.
Atas dasar tersebut, saya tertarik untuk membuat skripsi tentang
keabsahan tanda tangan elektronik pada setiap transaksi dan kontrak
elektronik khususnya bagaimana pengaturan hukumnya dalam tata hukum
perundang-undangan di Indonesia.
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian tentu dan pasti mempunyai tujuan yang
diharapkan dari penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai
berikut :
a) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tanda tangan elektronik
menurut tata hukum yang berlaku di Indonesia
b) Untuk mengetahui keabsahan tanda tangan elektronik dalam suatu
perjanjian perdata
8
1.6 Manfaat Penelitian
Saya berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi saya dan orang lain yang membacanya. Adapun
manfaat yang didapat dari penulisan hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis.
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
khususnya.
b) Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a) Memberikan masukan bagi pemerintah untuk menjamin kepastian
hukum mengenai pengakuan tanda tangan pada suatu dokumen
elektronik di Indonesia;
b) Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang pengakuan tanda
tangan pada suatu dokumen elektronik di Indonesia
1.7 Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah menggunakan yuridis yang mengacu
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
9
2) Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yang mengacu pada perundang-undangan (statue approach)
yang mengacu pada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu pendekatan
yang melihat norma-norma hukum tentang tanda tangan elektronik
mengenai pengaturan keabsahan tanda tangan elektronik.
3) Langkah Penelitian
a. Obyek Penelitian
Pengaturan Kebsahan Tanda Tangan Elektronik pada perjanjian
perdata di Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah berupa bahan hukum, yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan meliputu :
a)
Bahan
Hukum
Primer,
yaitu
bahan-bahan
hukum
yang
mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti
undang-undang dan yurisprudensi.
b)
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti
rancangan perundang-undangan, teks-teks tentang hukum, hasil
penelitian, majalah, buku-buku, jurnal dan literatur.
10
c)
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan
maupun memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi.
c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan
bahan-bahan
hukum
yang
diperlukan
sesuai
dengan
pokok
pembahasan.
Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian
adalah :
¸ KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008
Adalah sebagai bahan hukum primer yaitu sebagai dasar
landasan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
dengan dasar KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008 inilah
sebagai dasar acuan dalam pembuatan penelitian hukum.
¸ Buku dan artikel yang berkaitan langsung dengan keabsahan
tanda tangan elektronik adalah sebagai sumber hukum sekunder
yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan
hukum primer yang diperoleh melalui risalah rapat, sumber buku,
yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini.
¸ Kamus
Adalah
sebagai
bahan
hukum
tersier
yaitu
memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
11
Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini
diperoleh
dengan
menggunakan
penelitian
kepustakaan,
yaitu
penelitian terhadap bahan-bahan yang harus dikumpulkan untuk
keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan hukum tersebut
dikumpulkan selanjutnya dengan wilayah-wilayah yang menjadi
pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap artikel,
majalah-majalah,
surat
kabar,
risalah-risalah,
buku-buku,
serta
peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan
penelitian ini.
d. Metode Analisis
Menganalisis keabsahan tanda tangan elektronik dalam perjanjian
perdata di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif,
dimana pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan menggambarkan
wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi wilayah-wilayah yang
bersifat khusus.
1.8 Sistematika pertanggungjawaban
Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian
disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisan sebagai
berikut :
BAB I adalah Pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan
yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan
judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
pertanggungjawaban.
12
BAB II yang meliputi tinjauan tentang pengaturan tanda tangan elektronik
berdasarkan KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008. Dalam bab ini
juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran, sehingga sangat membantu
dalam menjawab permasalahan yang menjadi obyek dalam penelitian hukum
ini.
BAB III adalah menjelaskan dan membahas tentang bagiamana keabsahan
tanda tangan elektronik menurut norma, kaidah aturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia serta bagaimana kekuatan hukumnya sebagai alat
bukti yang sah.
BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
yang telah dilakukan.
13
BAB II
PENGATURAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
MENURUT KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA
2.1 Pengertian Perjanjian
Sudikno Mertokusumo menyatakan, perjanjian adalah perbuatan
hukum dan hubungan hukum antara dua (2) pihak atau lebih berdasarkan
kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.6 Perjanjian berisi kaidah
atau hak dan kewajiban yang mengikat untuk ditaati dan dilaksanakan
oleh kedua belah pihak. Sedangkan R. Soebekti menyatakan, perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau
di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.7
Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro berpendapat,
bahwa pengertian
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan perjanjian itu.8 Perjanjian berdasarkan pada
ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan di mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada
kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah9:
1. suatu perbuatan;
6
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), PT. Liberty, Yogyakarta,
Hlm. 103
7
R.Soebekti, 1992, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bandung, Hlm. 1
8
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur
Bandung, Jakarta, Hlm. 8
9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, PT.Raja Grafindo,
Jakarta, Hlm. 7
14
2. antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang);
3. perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang
berjanji tersebut.
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal kertentuan Pasal 1313
KUH Perdata hendak menjelaskan pada kita semua, bahwa perjanjian
hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk
ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk
pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya
perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil.
Hukum perjanjian dalam KUH Perdata menganut sistem terbuka,
yang merupakan kebalikan dari sistem tertutup yang dianut oleh hukum
benda,
pasal-pasal
dalam
hukum
perjanjian
merupakan
hukum
pelengkap, yang berarti bahwa pasal-pasal itu dikesampingkan apabila
dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, para pihak boleh
mengatur sendiri kepentingannya dalam perjanjian yang diadakan.
Apabila mereka tidak mengatur sendiri, itu berarti akan tunduk pada
undang-undang.10
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hakhak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi
perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan
berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta
menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian
yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku
10
R.Subekti, 1974, Hukum Perjanjian PT.Internusa, Jakarta, Hlm. 127
15
bagi
para
pihak,
yang
dapat
dipaksakan
pelaksanaan
atau
pemenuhannya. Berikut di bawah ini asas-asas umum hukum perjanjian
yang diatur dalam KUH Perdata :
1) Asas Pacta Sunt Servande
Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, ialah semua
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Merupakan konsekuensi logis dari
ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap
perikatan dapat lahir karena undang-undang maupun karena
perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai
perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak
secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui
oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana
telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam
perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian
berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan
jalur hukum yang berbeda.11
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan Pasal
1320 ayat 4 KUH Perdata yang berbunyi “suatu sebab yang tidak
terlarang”. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun
dan
membuat
kesepakatan
atau
perjanjian
yang
melahirkan
kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib
11
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 59
16
dilakukan tersebut bukanlah sesuatu sebab yang terlarang, ketentuan
Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Pada
dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh
setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau
kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar Undang-Undang
kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.12 Sumber dari
kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan
kepadanya kebebasan untuk berkontrak.13
3) Asas Konsensualitas
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak
detik tercapainya kata kesepakatan. Berlakunya asas konsensualisme
menurut
hukum
perjanjian
Indonesia,
memantapkan
adanya
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang
membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat
yang diberikan dengan paksa, adalah contradictio interminis. Adanya
paksaan, menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan
oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu
12
Ibid., Hlm. 46
Rosa Agustina T. Pangaribuan, 2003, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Batas-Batasnya,
www.google.com Hlm. 1
13
17
untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau
menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi
yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).
4) Asas Pelengkap
Asas dalam Buku ke-III KUH Perdata, bahwa ketentuan undangundang boleh tidak diikuti, dikesampingkan, menyimpang dari
ketentuan undang-undang oleh para pihak yang berjanji.
5) Asas Kepribadian
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, pada
umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas norma
sendiri/minta ditetapkan suatu janji melainkan untuk diri sendiri.
6) Asas Obligatoir
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baru taraf menimbulkan hak
dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik, hak milik baru
berpindah
apabila
dilakukan
dengan
perjanjian
yang
bersifat
kebendaan.
Syarat sahnya perjanjian untuk suatu perjanjian yang sah, harus
memenuhi empat syarat sahnya perjanjian berdasarkan pada Pasal 1320
KUH Perdata, yaitu :
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai
kemauan yang bebas untuk mengikatkan dirinya dan kemauan itu
harus dinyatakan, pernyataan ini dapat dilakukan dengan tegas atau
secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama
untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jikalau perjanjian
18
itu telah terjadi karna paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau
penipuan (bedrog), berdasarkan pada Pasal 1321 KUH Perdata.14
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum, merupakan syarat
subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para
pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal, berhubungan
dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum.15 Kewenangan
bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu
hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam :
1. kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam
hukum;
2. kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain;
3. kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali
atau wakil dari pihak lain;
4. kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan
untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan. Tidak cakap
untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah :
a) anak yang belum dewasa;
b) orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
c) perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh
undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.
Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki
14
R.Subekti, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermesa, Jakarta, Hlm. 112
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 143
15
19
dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang
belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330
KUH Perdata tidak berlaku lagi. Setelah dikeluarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963,
ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua
Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, yang intinya bahwa
Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, tentang wewenang seorang
istri untuk melakukan perbuatan dan untuk menghadap di
muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya sudah
tidak berlaku lagi.16
c) Suatu hal tertentu
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan
rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai
berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang
yang telah ditentukan jenisnya”, tampaknya KUH Perdata hanya
menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan
sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan
tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis
perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak
16
Kudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2008, Dinamika Pemikiran Hukum, www.google.com,
Hlm. 3
20
menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan
keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.
Perjanjian yang diperjanjikan harus suatu hal atau suatu barang yang
cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan
kewajiban dari si berhutang jika ada perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan
jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di
tangannya si berhutang
diharuskan
oleh
pada waktu perjanjian dibuat, tidak
undang-undang.
Juga jumlahnya
tidak
perlu
disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat
bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah
untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau
dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat
hukum perjanjian itu batal demi hukum.17
d) Suatu sebab yang halal
Selanjutnya Undang-Undang menghendaki untuk sahnya suatu
perjanjian adanya suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan.
Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak
memakai suatu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu
atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Menurut apa yang
diterangkan di atas teranglah, bahwa praktis hampir tidak ada
perjanjian yang tidak mempunyai causa. Suatu causa yang palsu
17
Rosa Agustina T. Pangaribuan, Op.Cit., Hlm.1
21
terdapat jika suatu perjanjian dibuat dengan pura-pura saja, untuk
menyembunyikan causa yang sebenarnya yang tidak diperbolehkan.
Adapun
suatu
causa
yang
tidak
diperbolehkan,
ialah
yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum berdasarkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Mengenai obyek
perjanjian diatur lebih lanjut dalam Pasal 1332 KUH Perdata yang
menyebutkan,
bahwa
hanya
barang-barang
yang
dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang
yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek
perjanjian.
Apabila syarat hal tertentu dan kausa halal merupakan unsur
objektif (kepentingan didalam perjanjian), bila syarat tersebut tidak
dipenuhi salah satunya dalam perjanjian, maka akibat hukum terhadap
perjanjian yang dibuat itu batal demi hukum (Nietigbaar). Dalam arti,
perjanjian yang dibuat itu menurut hukum dianggap tidak pernah ada dan
orang-orang yang membuat perjanjian itu tidak dapat saling menuntut
ganti rugi.
2.2 Pengertian Tanda Tangan
Penggunaan tanda tangan adalah suatu kebiasaan formil yang
digunakan
untuk
menyatakan
persetujuan
seseorang
sekaligus
memastikan identitas (authentification) orang tersebut yang bertanda
tangan untuk sesuatu baik yang berimplikasi hukum maupun yang tidak.
22
Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah suatu pernyataan
kemauan
pembuat
denganmembubuhkan
tanda
tanda
tangan
(penandatanganan),
tangannya
di
bawah
bahwa
suatu
ia
tulisan
menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya
sendiri.18
Pengertian tanda tangan dalam arti umum adalah tanda tangan
yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan (huruf) tanda berupa
tulisan dari yang menandatangani, dengan mana orang yang membuat
pernyataan atau keterangan tersebut dapat di individualisasikan.19
Definisi tersebut mencakup suatu anggapan, bahwa pada pernyataan
yang dibuat secara tertulis harus dibubuhkan tanda tangan dari yang
bersangkutan.
Menurut American Bar Association (ABA), pengertian tanda
tangan dapat berupa tanda apapun yang dibuat dengan tujuan untuk
memberikan persetujuan dan otentifikasi terhadap suatu dokumen
tersebut.20
Pengertian dari tanda tangan sekarang ini merujuk kepada tanda
tangan tertulis seseorang di atas kertas atau yang dapat disamakan
dengan itu. Inti dari tanda tangan difokuskan pada pengertian dasar
18
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, Hlm. 473
19
erlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 220
20
Information Security Committee, Section of Science & Technology – American Bar
Association, Tanda tangan elektronik Guideliness (United States, American Bar Association:
1996), hlm. 4. Pengertian dari otentifikasi menurut ABA adalah “authentication is
generally the process used to confirm the identity of a person or to prove the integrity
of xpecific information. More specifically, in the case of a message, authentication
involves determining its source and providing assurance that the message has not been
modified or replaced in transit. The historical legal concept of tanda tangan is broader. It
recognizes any mark made with the intention of authenticating the marked document”.
23
tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tanda
tangan itu sendiri adalah tanda sebagai lambang nama yang dituliskan
dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah
menerima). Jika dilihat dari pengertian tersebut, pengertian tanda tangan
belum tentu merujuk kepada suatu tanda tangan secara “tertulis” tetapi
justru terhadap suatu penandaan, dimana tanda tersebut dapat merujuk
kepada bertanda tangan itu. Penggunaan tanda tangan adalah suatu
kebiasaan formil yang digunakan untuk menyatakan persetujuan
seseorang sekaligus memastikan identitas (authentification) orang
tersebut yang bertanda tangan untuk sesuatu yang baik yang berimplikasi
hukum maupun yang tidak.
2.3 Latar Belakang Munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pada bulan Juni 2000, Kongres mencoba untuk memecahkan
masalah ini dengan Tanda Tangan Elektronik di Global dan Perdagangan
Nasional Undang-Undang (E-Sign). Pada tanggal 30 Juni 2000, Presiden
Clinton
menandatangani
menjadi
undang-undang
Tanda
Tangan
Elektronik di Global dan Perdagangan Nasional Undang-Undang (ESign). Kongres diundangkan undang-undang ini jauh diantisipasi dengan
tujuan perampingan bisnis dengan memungkinkan lebih nyaman, dan
lebih murah transaksi tanpa kertas, lebih cepat. Meskipun 40 negara telah
berlaku hukum untuk menyediakan penggunaan tanda tangan elektronik,
hukum-hukum ini sangat bervariasi. E-Kongres disesuaikan daftar untuk
memberikan status hukum dan seragam dengan tanda tangan elektronik.
24
Sebagai e-Commerce telah meledak dalam dekade terakhir, pengadilan
telah bergumul dengan tantangan untuk menerapkan hukum kontrak
tradisional, sebagian dipandu oleh undang-undang penipuan, untuk
transaksi elektronik. Patung penipuan memerlukan transaksi tertentu
yang harus secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak yang terlibat.
Pengadilan dihadapkan dengan pertanyaan apakah transaksi elektronik
memenuhi ini "persyaratan menulis," menjawab "ya”. Kebingungan ini
menimbulkan
beberapa
pertanyaan
penting
mengenai
apakah
pengadilan, dalam kasus-kasus masa depan, secara konsisten akan
menegakkan kontrak elektronik. Ketidakpastian ini menimbulkan masalah
serius yang pasti akan menghambat e-Commerce. Di antara kebingungan
ini terletak kemungkinan hilangnya keamanan dan akuntabilitas yang
diberikan oleh undang-undang penipuan Seperti Perwakilan Davis dicatat
dalam diskusi US House of E-Sign. Semua hal lain dianggap sama, ketika
pihak tahu bahwa jaminan akuntabilitas tanda tangan, bahwa mereka
mendapatkan manfaat, dan pada saat yang sama melaksanakan
kewajiban tertentu sebagai imbalan, perilaku mereka selalu dibentuk oleh
kepastian yang hasilnya saat pihak terikat secara kontraktual. Oleh
karena itu, dalam rangka untuk mendapatkan perlindungan dari undangundang penipuan, tanda tangan elektronik harus memiliki beberapa
ukuran keamanan dan akuntabilitas. Ini adalah masalah di mana
Kongres, negara, dan yang paling penting, pasar sendiri, harus terus
menetapkan pedoman baru yang baik meningkatkan dan meningkatkan
keamanan dan akuntabilitas transaksi online.
25
2.4 Pengertian Kontrak Elektronik
Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Ketentuan Umum,
angka 17 dinyatakan bahwa kontrak elektronik adalah perjanjian para
pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Menurut Johannes Gunawan,
“kontrak elektronik adalah kontrak baku yang dirancang, dibuat,
ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara elektronik melalui
situs internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam hal
ini pelaku usaha), untuk ditutup secara elektronik pula oleh penutup
kontrak (dalam hal ini konsumen).
Di dalam kontrak elektronik selain terkandung ciri – ciri kontrak baku
juga terkandung ciri – ciri kontrak elektronik sebagai berikut :
∑
Kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan melampaui
batas – batas negara melalui internet.
∑
Para pihak dalam kontrak elektronik pada umumnya tidak pernah
bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah
bertemu.
Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online contract)
bagi
kontrak
elektronik
kontrak online sebagai
perikatan
(e-contract)
dan
mendefinisikan
ataupun
hubungan
hukum
yang
dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking)
dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information
system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan
jasa
telekomunikasi
(telecommunication
based),
yang
selanjutnya
26
difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet (network of
network).
Kontrak elektronik menggunakan data elektronik sebagai pengganti
kertas. Penggunaan data elektronik akan memberikan efisiensi yang
sangat
besar
terutama
bagi
perusahaan
yang
menjalankan
bisnis online melalui jaringan internet. Di dalam kontrak elektronik, para
pihak tidak perlu bertatap muka secara langsung bahkan tidak akan
pernah bertemu sama sekali.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kontrak elektronik (e-contract) adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, gadget atau
alat komunikasi lainnya melalui jaringan internet.
2.5 Jenis dan Bentuk Kontrak Bisnis Secara Elektronik (e-contract)
Jenis kontrak elektronik (e-contract) dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu:
1. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa barang/jasa
yang bersifat fisik atau bersifat nyata, contoh barang berupa buku,
atau jasa les privat. Kontrak jenis ini, para pihak (penjual dan pembeli)
melakukan komunikasi pembuatan kontrak melalui jaringan internet.
Jika telah terjadi kesepakatan, pihak penjual akan mengirimkan
barang/jasa yang dijadikan objek kontrak secara langsung ke alamat
pembeli (physical delivery). Jasa les privat dalam hal ini diwujudkan
dalam bentuk kunjungan guru les privat kerumah konsumen, jadi
27
bukan les privat berbentuk elektronik atau yang berbentuk interaksi
online.
2. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa informasi/jasa
non fisik. Pada kontrak jenis ini, para pihak pada awalnya
berkomunikasi melalui jaringan internet untuk kemudian membuat
kontrak secara elektronik. Jika kontrak telah disepakati, pihak penjual
akan mengirimkan informasi/jasa yang dijadikan objek kontrak melalui
jaringan internet (cyber delivery). Contohnya, kontrak pembelian buku
elektronik (e-book), surat kabar elektronik (e-newspaper), majalah
elektronik (e-magazine), atau kontrak untuk mengikuti les privat
bahasa Inggris melalui jaringan internet (e-school).
Beberapa bentuk kontrak elektronik yang umum dilakukan dalam
transaksi perdagangan secara online yaitu:
1
Kontrak melalui elektronik mail (e-mail) adalah suatu kontrak yang
dibentuk secara sah melalui komunikasi email. Penawaran dan
penerimaan dapat dipertukarkan melalui email atau dikombinasi
dengan komunikasi elektronika lainnya, dokumen tertulis atau fax.
2
Suatu
kontrak
jasa online lainnya,
dapat
yaitu
juga
dibentuk
melalui websites dan
suatu website menawarkan
penjualan
barang dan jasa, kemudian konsumen dapat menerima penawaran
dengan mengisi suatu formulir yang terpampang pada layar monitor
dan mentransmisikannya.
3
Kontrak yang mencakup direct online transfer dari informasi dan
jasa. Website digunakan sebagai medium of communication dan
sekaligus sebagai medium of exchange.
28
4
Kontrak
yang berisi Electronic Data Interchange (EDI),
suatu
pertukaran informasi bisnis melalui secara elektronik melalui komputer
milik para mitra dagang (trading partners).
5
Kontrak
melalui
internet
yang
disertai
dengan
lisensi click
wrap dan shrink wrap. Software yang di download melalui internet
lazimnya dijual dengan suatu lisensi click wrap. Lisensi tersebut
mucul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan
dipasang (Install) dan calon pembeli ditanya tentang kesediannya
menerima persyaratan lisensi tersebut. Pengguna diberikan alternatif
“ I accept” atau “I don’t accept”. Sedangkan shrink wrap lazimnya
merupakan lisensi software yang dikirim dalam suatu bungkusan
(package) misalnya disket atau compact disc.
Sementara itu menurut Cita Yustisia Serfiani bentuk kontrak
elektronik, mencakup:
a. Kontrak melalui komunikasi e-mail. Penawaran dan penerimaan
dilakukan melalui e-mail atau dikombinasikan dengan komunikasi
elektronik lainnya misalnya melalui faksimili;
b. Kontrak melalui web yang menawarkan penjualan barang dan jasa
dimana konsumen dapat menerima tawaran dengan cara mengisi
forulir yang terpampang dihalaman website;
c. Kontrak melalui chatting dan video conference.
2.6 Pengertian Tanda Tangan Elektronik
Pengertian tandatangan elektronik adalah sebagai alat bukti
identifikasi
para pihak, sebagai
syarat formalitas,
sebagai tanda
29
persetujuan, mengefisienkan maksud dari para pihak dalam sebuah
perikatan yang terjadi melalui transaksi elektronik. Kekuatan beban
pembuktian yang melekat dalam tandatangan elektronik ditinjau dari
pembuktian hukum acara perdata memiliki kekuatan beban bukti
setingkat
dengan
akta
bawah
tangan
(ABT),
oleh
karena
itu
kekuatan beban bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat
elektronik hanya kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil.21
Pengaturan penandatanganan non elektronik ditegaskan dalam Pasal
1 Ordonansi tahun
1867 No.
29.
Dalam Ordonansi itu ditegaskan
bahwa ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di
bawah
tangan
dari
orang-orang
Indonesia atau yang disamakan
dengan mereka. Sejalan dengan itu Yahya Harahap juga menguraikan
arti
penting
tanda
tangan berfungsi
sebab
itu
maka
tangan.
Menurut
kepustakaan tersebut, tanda
sebagai syarat yang mutlak sahnya suatu akta. Oleh
tulisan
yang
hendak
dijadikan
surat
harus
ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya.22 Dengan
perkataan lain, suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan
atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani,
ditinjau dari segi hukum pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang
tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan
sebagai alat bukti tulisan.
Dalam hubungan dengan itu, tanda tangan sebagai identitas
diri juga menjadi simbol sekaligus semiotik hukum bahwa diantara
21
Keny Witso, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002, hal., 11.
Ibrahim Ibdam, Perbandingan Hukum Terhadap Peranti Keras Komputer, Bandung, Alumni,
hal., 23.
22
30
para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada normanoma imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu jika diringkaskan
maka dalam hukum, hakikat tada tangan dalam kaitannya dengan tujuan
hukum adalah sarana membangun kepastian untuk menjadi pedoman
dalam melahirkan peristiwa-peristiwa hukum (seperti jual beli, sewa
menyewa, tukar menukar, dan perjanjian utang piutang lainnya).23
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat dari pada
tanda tangan elektronik sebagai berikut :
Pertama, sebagai alat bukti identifikasi para pihak. Dari mekanisme
atau tata kerja lahirnya tanda tangan elektronik melalui proses enkripsi
dengan teknik kriptografi,
lahirlah kunci privat dari salah satu pihak
sehingga dapat membuka kunci publik milik pelanggan dari salah satu
pihak yang hendak melakukan perjanjian tersebut.
Kedua, memenuhi syarat formalitas. Dilibatkannya lembaga certification
authority sebagai
lembaga
yang
dipercaya untuk
menjamin
kerahasiaan elektronik tanda tangan. Negara masih mengusahakan
agar memilki lembaga yang berada di bawah naungan Pemerintah
untuk menerbitkan sertifikat elektronik.
Ketiga,
tanda
persetujuan. Sifat
yang
ada
dalam tanda tangan
elektronik sebagai kunci untuk membuka kontrak yang telah dienkripsi
pula maka pada saat pihak yang memiliki kunci privat mencocokan
kunci publik milik pelaku usaha misalnya, maka pada saat pihak yang
memiliki kunci publik itu mengetahui penawaran pelanggannya, maka
23
Mery Magdalena, Cyber Law Tidak Perlu Takut, Yogyakarta, Andi, 2007, hal., 73.
31
saat itu juga merupakan tanda persetujuan atas peristiwa hukum yang
akan terjadi dari kedua pihak.
Keempat, efisiensi. Setelah pelanggan menyatakan persetujuannya
dengan membuka atau melakukan dekripsi atas kontrak yang telah
dienkripsi,
dan membaca
segala
ketentuan
yang
harus
diikuti
terhadap pelaku usaha, maka kedua pihak secara tegas menyepakati
tunduk pada ketentuan yang ada dalam kontrak yang telah dienkripsi itu.
Dalam kaitan dengan uraian di atas, sertifikat elektronik yang
kemudian melahirkan
dokumen/surat
elektronik
hanyalah
dapat
digolongkan dalam akta bawah tangan (ABT). Sertifikat elektronik
dengan prinsip kerjanya menjamin rahasia dari surat tersebut oleh para
pihak yang melakukan transaksi elektronik. Tapi satu sifat yang dimiliki
oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat elektronik. Sifat yang
melekat dalam akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang.24
Sifat persyaratan tanda tangan elektronik, yaitu :25
1. Autentik.
2. Aman.
3. Interoperabilitas dari perangkat lunak maupun jaringan dari penyedia
jasa.
4. Konfidensialitas.
5. Hanya sah untuk dokumen itu saja atau kopinya yang sama persis.
6. Dapat diperiksa dengan mudah.
24
Ibid, hal., 94.
Loc.cit, Hlm. 91-92
25
32
7. Divisibilitas, berkaitan dengan spesifikasi praktis transaksi baik untuk
volume besar atau skala kecil.
Sedangkan Manfaat Tanda Tangan Elektronik (Tanda tangan elektronik)
adalah suatu tanda tangan elektronik (tanda tangan elektronik) akan
menyebabkan data elektronik yang dikirimkan melalui open network tersebut
menjadi terjamin, sehingga mempunyai manfaat dari tanda tangan elektronik
adalah sebagai berikut:26
a. Authenticity
Dengan memberikan tanda tangan elektronik pada data elektronik
yang dikirimkan, maka akan dapat atau bisa ditunjukkan darimana datadata elektronik tersebut sesungguhnya berasal. Terjaminnya integritas
pesan tersebut bisa terjadi, karena keberadaan dari elektronik certificate.
Elektronik Certificate diperoleh, atas dasar aplikasi kepada Certification
Authority oleh user atau subscriber. Electronic Certificate berisi informasi
mengenai pengguna antara lain:
a.
Identitas
b.
Kewenangan
c.
Kedudukan hukum
d.
Status dari user atau pengguna
Electronic certificate ini memiliki berbagai tingkatan atau level,
tingkatan dari electronic certificate ini menentukan berapa besar
kewenangan yang dimiliki oleh pengguna. Contoh dari kewenangan atau
kualifikasi ini adalah apabila suatu perusahan hendak melakukan
perbuatan hukum, maka pihak yang berwenang mewakili perusahaan
26
Arrianto Mukti Wibowo, dkk, Op.Cit., Hlm. 5
33
tersebut adalah direksi. Jadi apabila suatu perusahaan hendak
melakukan suatu perbuatan hukum maka electronic certificate yang
dipergunakan adalah electronic certificate yang dipunyai oleh direksi
perusahaan tersebut.
Dengan keberadaan dari electronic certificate ini maka pihak
ketiga yang berhubungan dengan pemegang electronic certificate
tersebut dapat merasa yakin bahwa suatu pesan adalah benar berasal
dari pengguna tersebut.
b. Integrity
Penggunaan tanda tangan elektronik yang diaplikasikan pada
pesan atau data elektronik yang dikirimkan, dapat menjamin bahwa
pesan atau data elektronik tersebut tidak mengalami suatu perubahan
atau modifikasi oleh
pihak yang tidak berwenang.
Integritas atau integrityberhubungan dengan masalah keutuhan
dari suatu data yang dikirimkan. Seorang penerima pesan atau data
dapat merasa yakin apakah pesan yang diterimanya sama dengan pesan
yang dikirimkan. Ia dapat merasa yakin bahwa data tersebut pernah
dimodifikasi atau diubah selama proses pengiriman atau penyimpanan.
Jaminan authenticityini dapat dilihat dari adanya hash function dalam
sistem tanda tangan elektronik, dimana penerima data (recipient) dapat
melakukan pembandingan hash value. Apabila hash value-nya sama dan
sesuai, maka data tersebut benar-benar otentik, tidak pernah terjadi suatu
34
tindakan yang sifatnya merubah (modify) dari data tersebut pada saat
proses pengiriman, sehingga terjamin authenticity-nya. Sebaliknya
apabila hash value-nya berbeda, maka patut dicurigai dan langsung dapat
disimpulkan bahwa recipient menerima data yang telah dimodifikasi.
c. Non-Repudiation (Tidak Dapat Disangkal Keberadaannya)
Non-Repudiation (Tidak Dapat Disangkal Keberadaannya), timbul
dari keberadaan tanda tangan elektronik yang menggunakan enkripsi
asimetris (asymmetric encryption). Enskripsi asimetris ini melibatkan
keberadaan dari kunci privat dan kunci publik. Suatu pesan yang telah
dienkripsi dengan menggunakan kunci privat, makaia hanya dapat
dibuka/dienkripsi dengan menggunakan kunci publik dari pengirim. Jadi
apabila terdapat suatu pesan yang telah dienkripsi oleh pengirim dengan
menggunakan kunci privatnya, maka ia tidak dapat menyangkal
keberadaan pesan tersebut, karena terbukti bahwa pesan tersebut
didekripsi dengan kunci publik pengirim. Keutuhan dari pesan tersebut
dapat dilihat dari keberadaan hash function dari pesan tersebut, dengan
catatan bahwa data yang telah di-sign akan dimasukkan ke dalam
elektronik envelope.
Non-repudiation (Tidak dapat disangkalnya keberadaan) suatu
pesan berhubungan dengan orang yang mengirimkan pesan tersebut.
Pengirim pesan tidak dapat menyangkal bahwa ia telah mengirimkan
suatu pesan apabila ia sudah mengirimkan suatu pesan. Ia juga tidak
dapat menyangkal isi dari suatu pesan berbeda dengan apa yang ia
kirimkan apabila ia telah mengirim pesan tersebut. Non repudiation
adalah hal yang sangat penting bagi e-commerce apabila suatu transaksi
35
dilakukan melalui suatu jaringan internet, kontrak elektronik (electronic
contracts), ataupun transaksi pembayaran.
d. Confidentiality
Pesan dalam bentuk data elektronik yang dikirimkan tersebut
bersifat rahasia atau confidental, sehingga tidak semua orang dapat
mengetahui isi data elektronik yang telah disign dan dimasukkan dalam
elektronik envolve. Keberadaan elektronik envolve yang termasuk bagian
yang integral dari elektronik tanda tangan, menyebabkan suatu pesan
yang telah dienkripsi hanya dapat dibuka
oleh orang yang berhak.
Tingkat kerahasiaan dari suatu pesan yang telah dienkripsi ini, tergantung
dari panjang kunci atau key yang dipakai untuk melakukan enkripsi.
Pengamanan data dalam e-commerce dengan metode kriptografi melalui
skema tanda tangan elektronik tersebut secara teknis sudah dapat
diterima dan diterapkan, namun apabila kita bahas dari sudut pandang
ilmu hukum ternyata masih kurang mendapatkan perhatian. Kurangnya
perhatian dari ilmu hukum dapat dimengerti karena, khususnya di
Indonesia, penggunaan komputer sebagai alat komunikasi melalui
jaringan internet baru dikenal semenjak tahun 1994. Dengan demikian
pengamanan jaringan internet dengan metode tanda tangan elektronik di
Indonesia tentu masih merupakan hal yang baru bagi kalangan pengguna
komputer.
2.7 Tujuan Tanda Tangan Elektronik
Tujuan dari suatu tanda tangan dalam suatu dokumen elektronik
adalah sebagai berikut :
36
a. untuk memastikan otensitas dari dokumen tersebut;
b. untuk menerima/menyetujui secara menyakinkan isi dari sebuah
tulisan dalam sebuah dokumen elektronik.
2.8 Klasifikasi Tanda Tangan Elektronik
a. Tanda Tangan Elektronik (Biasa)
Tanda tangan elektronik biasa, sesuai dengan pengertian mengenai
tanda tangan elektronik diatas adalah tanda tangan yang ditujukan
merujuk kepada si penanda tangan, yang dilakukan dengan media
elektronik. Contoh paling
mudah adalah suatu tanda tangan
konvensional (tertulis) yang kemudian di-scan. Kemudian hasil
scantersebut akan menjadi suatu informasi elektronik, biasanya berupa
suatu file gambar, ditempelkan (paste) pada suatu dokumen elektronik.
Hal tersebut sudah termasuk dalam ruang lingkup tanda tangan
elektronik(biasa).
b. Tanda Tangan Elektronik yang Aman (Secure atau Reliable)
Tanda tangan elektronik yang aman atau Electronic Tanda
tangan, merupakan suatu tanda tangan elektronik yang harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga dapat dalam
konteks kesamaanya, dapat dipersamakan dengan tanda tangan
konvensional.
Tanda tangan elektronik yang aman ini diperuntukkan untuk
menampung
semua
jenis
kemajuan
tekNologi
yang
mungkin
berkembang dalam bidang keamanan terhadap informasi elektronik
yang aman ditujukan untuk tidak hanya dapat merujuk kepada si
37
penandatangan, tetapi juga untuk menjaga keutuhan dan keamanan
daripada suatu informasi elektronik yang dilekatkan. Tanda tangan
elektronik termasuk di dalam kategori tanda tangan elektronik yang
aman.
2.9 Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik
Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah
hal
yang berkaitan
dengan
masalah
kekuatan
dalam
sistem
pembuktian dari informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik.
Pengaturan
informasi,
dokumen,
dan tanda tangan
dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
umum
dikatakan bahwa
informasi
elektronik
elektronik,
UUITE. Secara
dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Demikian halnya dengan tanda tangan elektronik, memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan
tanda
tangan
elektronik
tersebut
harus
memenuhi
persyaratan-
persyaratan seperti yang telah ditentukan.
Pasal (5) Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UU ITE, secara
tegas menyebutkan:
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah dan
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang. Namun, dalam Ayat (4) ada pengecualian yang
menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak
38
berlaku untuk: (a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya yang
menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta Notaril
atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal
11
menyebutkan,
tanda
tangan
elektronik
memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi
persyaratan sebagai berikut : (a) data pembuatan tanda tangan
elektronik terkait hanya kepada penanda tangan; (b) data pembuatan
tanda
tangan
elektronik
pada
saat
proses penandatanganan
elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan; (c)segala
perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah
waktu penandatanganan
terhadap
dapat
informasi elektronik
diketahui;
yang
terkait
(d)
segala
dengan
perubahan
tanda
tangan
elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (e)
terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi
siapa
penandatangannya; dan (f) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan
bahwa penanda tangan
telah memberikan persetujuan
terhadap
informasi elektronik yang terkait.
2.10
Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik
Sebagaimana telah dikemukakan berkembangnya penggunaan
sarana elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan
manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertransaksi, juga
memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen
sebagai hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui
39
bahwa disamping keuntungan tersebut dalam penggunaan
elektronik
terdapat
pula
kekurangan
atau
sarana
kelemahannya apabila
dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.
Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866, alat
bukti terdiri atas bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan
dan
sumpah.Selanjutnya
dalam
Pasal
1867
ditentukan
bahwa
pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau
tulisan dibawah tangan. Pegertian “tulisan” dalam pasal tersebut
dipastikan dalam bentuk tertulis di atas kertas.Pengertian semacam
ini tentu
sudah tidak lagi sesuai dengan
perkembangan jaman
tekNologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuan dalam UU
ITEyang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan
internasionalsebagai suatu kontrak.
2.11 Atribut Tanda Tangan Elektronik
Untuk mencapai tujuan dari penandatanganan suatu dokumen,
sebuah tanda tangan harus mempunyai atribut-atribut berikut:
pertama, otentikasipenanda tangan. Sebuah tanda tangan seharusnya
dapat mengindentifikasikan siapa yang menandatangani dokumen
tersebut dan susah untuk ditiru orang lain. Kedua, otentikasi dokumen.
Sebuah tanda tangan seharusnyamengidentifikasikan apa yang
ditanda tangani, membuatnya tidak mungkin dipalsukan ataupun
diubah (baik dokumen yang ditandatangani maupun tandatangannya)
tanpa diketahui. Otentikasi penandatangan dan dokumen adalah
alatuntuk menghindari pemalsuan dan merupakan suatu penerapan
40
konsep“Nonrepudiation”
dalam
bidang
keamanan
informasi.
Nonrepudiation adalahjaminan dari keaslian ataupun penyampaian
dokumen asal untuk menghindaripenyangkalan dari penandatangan.27
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU ITE sesuatu itu memiliki kekuatan
hukum sebagai alat bukti yang sah, bila informasi elektronik ini dibuat
dengan
menggunakan
sistem
elektronik
yang
dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan tekNologi
informasi. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UUITE menentukan bahwa
suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli selain yang diatur
dalam Pasal 4 Ayat (4), persyaratan tersebut telah terpenuhi
berdasarkan undang-undang jika informasi elektronik tersebut dapat
terjamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat
diakses, dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
telah menjadi hukum positif,akta elektronik dianggap sama dengan
akta konvensional, begitu pula dengantanda tangan elektronik
dianggap sama dengan tanda tangan manuskrip.28
2.12 Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik
Seperti telah Penulis singgung di atas tanda tangan elektronik
dibuat denganmenggunakan teknik kriptografi, suatu cabang dari
matematika terapan yangmenangani tentang pengubahan suatu
27
Rick Wiebe, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Bandung , Citra Aditya, 2002,
hal., 61
28
Ibid, hal., 62
41
informasi menjadi bentuk lain yang tidakdapat dimengerti dan
dikembalikan seperti semula.29
Tanda tangan elektronik menggunakan public key cryptography
(kriptografikunci publik), dimana algoritmanya menggunakan dua buah
kunci. Kunci yang pertama adalah kunci untuk membentuk tanda
tangan elektronik atau mengubah datakebentuk lain yang tidak dapat
dimengerti. Sedangkan kunci yang keduadigunakan untuk verifikasi
tanda tangan elektronik ataupun mengembalikan pesan ke bentuk
semula.
Konsep
ini
juga
dikenal
sebagai
“assymmetric
cryptosystem”(sistem kriptografi Non simetris). Sistem kriptografi itu
menggunakan kunci privat, yang hanya diketahui oleh penandatangan
dan digunakan untuk membentuk tanda tangan elektronik. Sistim
kriptografi itu juga mempunyai kunci publik, yang digunakan untuk
verifikasi
tanda
tangan
elektronik.
Jika
beberapaorang
ingin
memverifikasi suatu tanda tangan elektronik yang dikeluarkan oleh
seseorang, maka kunci publik tersebut harus disebarkan ke orangorang tersebut.
Kunci privat dan kunci publik ini sesungguhnya secara matematis
“berhubungan‟ (memenuhi persamaan-persamaan dan kaidah-kaidah
tertentu). Walaupun demikian, kunci privat tidak dapat ditemukan
menggunakan informasi yang didapat dari kunci publik.30 Proses lain
yang tak kalah penting adalah “fungsi hash”, digunakan untuk
membentuk sekaligus memverifikasi tanda tangan elektronik. Fungsi
hash
29
Ibid, hal., 63-64
Ibid, hal., 43
30
adalah sebuah
algoritma
yang
membentuk representasi
42
elektronik atau semacam “sidik jari” dalam bentuk “nilai hash” (hash
value) dan biasanya jauh lebih kecil dari dokumen aslinya dan unik
hanya berlaku untuk dokumen tersebut. Perubahan sekecil apapun
pada suatu dokumen akan mengakibatkan perubahan pada “nilai
hash” yang berkorelasi dengan dokumen tersebut. Fungsi hash yang
demikiandisebut juga “fungsi hash satu arah”, karena suatu nilai hash
tidak dapatdigunakan untuk membentuk kembali dokumen aslinya.
Fungsi hash dapatdigunakan
untuk membentuk
tanda tangan
elektronik. Fungsi hash ini akanmenghasilkan “sidik jari” dari suatu
dokumen (sehingga unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut).
Ukuran hash jauh lebih kecil daripada dokumen aslinya serta dapat
mendeteksi apabila dokumen tersebut telah diubah daribentuk aslinya.
Penggunaan tanda tangan elektronik memerlukan dua proses,
yaitu dari pihak penandatangan serta dari pihak penerima. Secara rinci
kedua proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama,
pembentukan tanda tanganelektronik menggunakan nilai hash yang
dihasilkan dari dokumen serta kunci privatyang telah didefinisikan
sebelumnya. Untuk menjamin keamanan nilai hash maka seharusnya
terdapat kemungkinan yang sangat kecil bahwa tanda tanganelektronik
yang sama dapat dihasilkan dari dua dokumen serta kunci privat yang
berbeda. Kedua, verifikasi tanda tangan elektronik adalah proses
pengecekan tandatangan elektronik dengan mereferensikan ke
dokumen asli dan kunci publik yangtelah diberikan, dengan cara
demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan elektronik dibuat
43
untuk
dokumen yang sama
menggunakan
kunci
privat
yang
berkorespondensi dengan kunci publik.31
Untuk lebih jelasnya, gambar di bawah ini adalah alur cara kerja
tanda tangan elektronik.
31
Widyo Pramono, Cybercrimes dan Pencegahannya, Kencana, Jakarta, 2007, hal., 37
44
BAB III
KEABSAHAN TANDATANGAN ELEKTRONIK
PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA
3.1 Keabsahan Tanda Tangan Elektronik
Konsep “tanda tangan elektronik” yang dikenal pada dunia keamanan
komputer adalah hasil dari penerapan teknik-teknik komputer pada suatu
informasi. Sedangkan di dunia umum, tanda tangan mempunyai arti yang
lebih luas, yaitu sembarang tanda yang dibuat dengan maksud untuk
melegalisasi dokumen yang ditandatangani. Dalam dunia nyata, untuk
menjamin keaslian serta legalitas suatu dokumen digunakan tanda tangan.
Tanda tangan ini merupakan suatu tanda yang bersifat unik milik
seseorang dan digunakan untuk memberi pengesahan bahwa orang tersebut
setuju dan mengakui isi dari dokumen yang ditandatangani. Untuk dokumendokumen elektronik pun dibutuhkan hal semacam ini. Oleh karena itu,
diciptakan suatu sistem otentikasi yang disebut tanda tangan elektronik.
Tanda tangan elektronik merupakan suatu cara untuk menjamin keaslian
suatu dokumen elektronik dan menjaga supaya pengirim dokumen dalam
suatu waktu tidak dapat menyangkal bahwa dirinya telah mengirimkan
dokumen tersebut. Tanda tangan elektronik menggunakan algoritmaalgoritma serta teknik-teknik komputer khusus dalam penerapannya.
Berbicara mengenai keabsahan tanda tangan elektronik, suatu tanda
tangan elektronik pasti diperoleh dengan adanya suatu transaksi, orang
selalu akan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yakni:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
45
b. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
c. Hal tertentu;
d. Sebab yang halal.
Dengan
mendasarkan
pada
ketentuan
Pasal
1320
KUHPerdata
sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai media yang digunakan dalam
transaksi, atau dengan kata
lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak
mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi.
Oleh karena itu, dapat saja dilakukan secara langsung maupun secara
elektronik. Namun suatu perjanjian dapat dikatakan sah bila telah memenuhi
unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 tersebut.
Demikian pula asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata,
dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan
atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan dengan itikat baik (Pasal
1338). Jadi apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap
berlaku dan mengikat para pihak karena perikatan tersebut merupakan
undang-undang bagi yang membuatnya. Permasalahan akan timbul dari
suatu
transaksi
bila
salah
satu
pihak
ingkar
janji.
Penyelesaian
permasalahan yang terjadi tersebut, selalu berkaitan dengan apa yang
menjadi bukti dalam transaksi, lebih-lebih bila transaksi menggunakan
sarana elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektronik
sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum secara khusus
diatur dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam Hukum Acara Perdata
maupun dalam Hukum Acara Pidana. Mengenai hukum materiilnya pada
dasarnya sudah secara tegas diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang
46
menyatakan bahwa “dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam
microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
yang sah”. Selanjutnya apabila kita perhatikan ketentuan dalam Pasal 1
angka 2 mengenai pengertian dokumen dan dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 jo.
Pasal 1320 KUHPerdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah
menurut hukum. KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan
memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi
sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang
telah ditentukan jenisnya”, tampaknya KUH Perdata hanya menekankan
pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun
demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak
menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu
perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis
perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu
kebendaan yang tertentu. Perjanjian yang diperjanjikan harus suatu hal atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban dari si berhutang jika ada perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
47
Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si
berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undangundang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat
dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat
ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua
belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika
prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu
tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan
akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki
asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih teknologi. Hal ini
termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang dipergunakan untuk
menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Asas netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara berhati-hati, dan
para pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya menggunakan
tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UUITE.
Keabsahan tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum
yang
sah
selama
memenuhi
persyaratan
sebagai
berikut
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yaitu :
1. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda
tangan.
2. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penanda
tangan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan.
48
3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah
waktu penandatanganan dapat diketahui.
4. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan
tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui.
3.2 Aspek Perlindungan Konsumen dalam Penggunaan Digital Signature
Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi
perkembangan
teknologi
informasi
di
dalam
pengaturannya.
Dalam
penggunaan Digital Signature kita mengenal adanya dua pihak, yaitu :
1. Certificate Authority (CA)
2. Subscriber
Hubungan ini menunjukkan kaitan antara CA sebagai penyelenggara
jasa dan subscriber sebagai konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA
harus menjamin hak-hak subscriber antara lain :
1. Privacy
Termaktub dalam pasal 4 butir 1 UU No 8 tahun 1999. Contoh ketika
subscriber meng"apply" kepada CA, subs akan dimintai keterangan
mengenai identitasnya, besar kecilnya keakuratan dari identitas tersebut
tergantung dari jenis tingkatan sertifikat tersebut. Semakin tinggi tingkat
sertifikat maka semakin akurat pula identitas sebenarnya dari subscriber.
Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah CA sebagai
penyimpan data berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas subs dari
49
pihak yang tidak berkepentingan. CA hanya boleh mengkonfirm bahwa
sertifikat yang dimiliki oleh subs adalah benar dan diakui oleh CA.
Di beberapa negara maju data pribadi mendapat perlindungan dalam
undang-undang (data protection act). Di dalam Undang-Undang yang
bersangkutan tercantum prinsip perlindungan data (Data Protection
Principles) yang harus ditaati oleh orang-orang yang menyimpan atau
memproses
menyangkut
informasi
dengan
kehidupan
mempergunakan
orang-orang.
Biro-biro
komputer
yang
komputer
yang
menyediakan jasa pelayanan bagi mereka yang hendak memproses
informasi juga sama dikontrol dan harus melakukan pendaftaran menurut
undang-undang
tersebut.
Individu-individu,
yang
informasi
dirinya
disimpan pada komputer, diberi hak-hak untuk akses dan hak untuk
memperoleh catatan-catatan pembetulan dan penghapusan informasi
yang tidak benar. Mereka itu pun dapat mengajukan pengaduan kepada
Data Protection Registrar (yang diangkat berdasarkan undang-undang)
apabila mereka tidak merasa puas terhadap cara orang atau organisasi
yang mengumpulkan informasi dan, menurut keadaan-keadaan tertentu,
individu-individu memiliki hak atas ganti kerugian.
Pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip
perlindungan
data
dapat
menyebabkan tanggung jawab pidana, adapun prinsip-prinsip tersebut
antara lain :
1. Informasi yang dimuat dalam data pribadi harus diperoleh, dan data
pribadi itu harus diproses, secara jujur dan sah.
2. Data pribadi harus dipegang hanya untuk satu tujuan atau lebih yang
spesifik dan sah.
50
3. Data pribadi yang dikuasai untuk satu tujuan dan tujuan-tujuan tidak
boleh digunakan atau disebarluaskan dengan melalui suatu cara yang
tidak sesuai dengan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut.
4. Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuantujuan harus layak, relevan dan tidak terlalu luas dalam kaitannya
dengan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut.
5. Data pribadi harus akurat dan, jika diperlukan, selalu up-to date.
6. Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuantujuan tidak boleh dikuasai terlalu lama dari waktu yang diperlukan
untuk kepentingan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut.
7. Tindakan-tindakan pengamanan yang memadai harus diambil untuk
menghadapi
akses
secara
tidak
sah,
atau
pengubahan,
penyebarluasan atau pengrusakan data pribadi serta menghadapi
kerugian tidak terduga atau data pribadi.
8. Seorang individu akan diberikan hak untuk :
¸ Dalam jangka waktu yang wajar dan tanpa kelambatan serta
tanpa biaya, yaitu dengan diberi penjelasan oleh pihak pengguna
data tentang apakah pihaknya menguasai data pribadi di mana
individu yang bersangkutan menjadi subyek data. Dan untuk
akses pada suatu data demikian yang dikuasai oleh pihak
pengguna data.
¸ Jika dipandang perlu, melakukan perbaikan atau penghapusan
data.
Prinsip yang terakhir berkaitan dengan pengamanan dan ancaman
terhadap hal ini ada dua jenis :
51
1. Pengamanan dari akses tidak sah, dan
2. Berkaitan dengan copy-copy back up. pusat-pusat data yang berisi
data pribadi.
Masih berkaitan dengan masalah jaminan privacy dalam kaitannya
dengan kunci privat, adalah harus adanya jaminan bahwa CA tidak
berusaha
mencari
pasangan
kunci
publik
dari
susbscriber.
CA
mempunyai peluang yang besar untuk bisa menemukan kunci pasangan
dari subscriber karena CA mempunyai komputer yang lebih canggih untuk
menemukannya.
Selain itu harus ada jaminan bahwa pencipta kartu yang berisikan
kunci
privat
juga
tidak
akan
menyebarluaskan
atau
pun
menggandakannya. Hal ini sangat logis sekali karena pembuat kartu
selain mengetahui kunci publik juga mengetahui kunci privatnya karena ia
adalah penciptanya. Untuk menjamin hal ini perlu adanya suatu Notary
system yang menjamin hal tersebut.
2.
Accuracy
Termaktub dalam pasal 4 butir 2,3, dan 8 UU No 8 tahun 1999.
Dalam prinsip ini terkandung pengertian "ketepatan" antara apa yang
diminta dengan apa yang didapatkan. Bahwa apa yang didapat oleh subs
sesuai dengan apa yang ia minta berdasarkan informasi yang
diterimanya. Ketepatan informasi (informasi yang benar tanpa tipuan)
juga merupakan prinsip accuracy. Sebagai contoh : subs yang meminta
level tertentu dari sertifikat sebaiknya tidak diberikan level yang lebih
rendah atau lebih tinggi.
52
CA juga berkewajiban memberitahukan segala keterangan yang
berkaitan dengan penawaran maupun permintaan yang diajukan. Secara
tidak langsung subs berhak untuk mendapatkan CA yang berlisensi
artinya ketika subs mengakses ke CA, terdapat praduga bahwa CA
adalah CA yang sah dan berlisensi dan subs harus dilindungi dari
penyimpangan CA yang gadungan.
3.
Property
Termaktub dalam pasal 4 buutir 8 UU No 8 tahun 1999. Subs
harus dilindungi hak miliknya dari segala penyimpangan yang mungkin
terjadi akibat masuknya subs ke dalam sistem ini. Artinya subs berhak
dilindungi dari segala bentuk penyadapan, penggandaan, dan pencurian.
Jika hal ini terjadi maka CA berkewajiban mengganti kerugian yang
diderita.
4.
Accessibility
Termaktub dalam pasal 4 butir4, 5, 6,dan 7 UU No 8 tahun 1999.
Bahwa setiap pribadi berhak medapat perlakuan yang sama dalam hal
untuk mengakses dan informasi. Artinya tiap subs bisa masuk ke dalam
sistem ini jika memenuhi persyaratan, dan ia bisa mempergunakan sistem
ini tanpa adanya hambatan. Dan subs juga berhak untuk didengar
pendapat dan keluhannya.
Hak-hak konsumen untuk tercapainya perlindungan konsumen sudah
tercantum atau dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU No 8
tahun 1999. Maka artinya hak-hak tersebut sudah diakui keberadaannya
dan memiliki kepastian hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang
53
positif. Upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen yang merasa
dirugikan bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 ini.
Dalam kaitannya dengan penggunaan digital signature, CA dalam
kedudukan yang lebih kuat harus bisa menjamin hak-hak konsumen.
Terutama dalam perjanjian adhesi antara CA dan subscriber. Perjanjian
diajukan sebaiknya tidak hanya berat sebelah, sehingga subscriber tidak
mempunyai posisi penawaran (bargaining power). Untuk menutup resiko
atas produk-produk yang cacat CA dapat mengasuransikan resiko
tersebut. Hal ini untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh CA
apabila suatu saat ada konsumen (subscriber) yang menuntut CA karena
merasa dirugikan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak
dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan
untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen.
Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi ecommerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan
Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan
konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi ecommerce.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi
barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat
hukum yang ada.
54
3.3 Perbedaan
Pendapat
dalam
menanggapi
Keabsahan
Informasi,
Dokumen & Tanda Tangan Elektronik sebagai Alat Bukti
Dalam penggunaan alat bukti elektronik pada praktek persidangan
terdapat anggapan yang berbeda. Ada yang mengganggap dengan
diberlakukannya UU ITE maka alat bukti elektronik tersebut merupakan alat
bukti yang berdiri sendiri. Namun, ada juga anggapan yang menyatakan
bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang telah
diakui sebelumnya dalam hukum acara, anggapan ini didasarkan pada isi
Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Pengakuan informasi dan dokumen elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah dalam dunia peradilan sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru, tapi juga tidak bisa disebut barang lama.
Penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia telah
akomodir. Dalam beberapa tindak pidana misalnya, e-mail dapat digunakan
sebagai alat bukti. Contohnya dalam tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana terorisme, e-mail dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri
sendiri yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu. Dalam KUHAP penggunaan alat bukti elektronik seperti e-mail
belum tercantum secara jelas, tetapi e-mail tetap dapat digunakan dalam
pembuktian sebagai alat bukti surat, yang tentu saja setelah melalui proses
formil dari alat bukti surat.
Untuk penggunaan e-mail dalam perkara perdata menurut Ahmad Zakaria
yang berprofesi sebagai seorang Notaris, justru akan lebih sulit mengingat
pembuktian dalam perkara perdata adalah upaya mencari kebenaran formil.
Untuk memenuhi kebenaran formil akan suatu e-mail cukuplah rumit, karena
55
menurutnya e-mail yang memenuhi kriteria tersebut bukanlah e-mail yang
diperoleh dari end-user melainkan e-mail yang tersimpan dalam sebuah mail
server yang kredibel. Menurut Ahmad Zakaria, dalam prakteknya masih
banyak aparat hukum yang menganggap bahwa bukti elektronik hanyalah
merupakan bukti pelengkap dan belum dapat dijadikan bukti otentik yang
kuat. Namun, beliau kurang setuju dengan hal ini, menurutnya bagaimana
bisa dikatakan bukti elektronik hanya merupakan bukti pelengkap atau belum
dapat dijadikan bukti otentik padahal penggunaan bukti elektronik sebagai
alat bukti yang sah telah jelas diatur dalam UU ITE. Di masyarakat sendiri
masih banyak yang berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan
dengan tanda tangan biasa. Hal ini memang tidak salah, tetapi lebih baik bila
memang arah dan tujuan dari dokumen dan tanda tangan konvensional
tersebut
adalah
untuk
otentifikasi
dan
otorisasi
dilakukan
dengan
menggunakan dokumen dan tanda tangan elektronik. Ahmad Zakaria juga
berpendapat masih kurangnya kemauan hakim-hakim di pengadilan
Indonesia untuk menginterpretasikan informasi, dokumen maupun tanda
tangan elektronik sebagai alat bukti. Untuk itu diperlukan keinginan yang
kuat bagi aparat hukum untuk selalu meng-up date pengetahuan. Hakim
sebagai salah satu unsur penegak hukum yang paling berpotensi untuk
mendukung penggunaan bukti elektronik melalui putusannya sudah saatnya
lebih membuka mata terhadap perkembangan teknologi. Terlepas dari hakim
memiliki hak untuk menentukan pandangannya sendiri.32
Edmon Makarim, pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia,
berpendapat informasi elektronik dapat diekuivalenkan dengan kertas
32
www. google. com, Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya UU No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 20 Desember 2008.
56
dimana untuk bernilai hukum seharusnya sebuah informasi elektronik
berbentuk tertulis, bertanda tangan dan original, dalam kondisi tertentu.
Menurut Edmon Makarim fokus utama dari UU ITE ini adalah menghadirkan
informasi elektronik menjadi bernilai secara hukum dan mempunyai
kekuatan pembuktian. Oleh karena itu, dengan berlakunya UU ITE ini, maka
hakim tidak boleh menolak penggunaan alat bukti elektronik dalam
persidangan dan juga harus melakukan verifikasi dengan patokan UU ITE.
Edmon
juga
menambahkan
informasi
elektronik
memerlukan
suatu
kualifikasi tertentu agar memiliki nilai hukum, dimana informasi elektronik
tersebut harus berasal dari sistem yang layak dipercaya dan selain itu, para
pihak yang bertransaksi perlu menggunakan tanda tangan elektronik,
maksudnya agar para pihak tidak memungkiri substansi dari suatu transaksi.
Suatu informasi elektronik berkedudukan baik sebagai barang bukti maupun
alat bukti. Dalam hukum acara pidana ketika berkedudukan sebagai barang
bukti maka harus dirangkaikan dengan alat bukti lain sehingga dapat
diidentifikasi sebagai petunjuk sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP.
Ditambahkan beliau juga, dengan adanya UU ITE maka informasi elektronik
dapat menjadi alat bukti yang berdiri sendiri. Di bidang hukum acara perdata,
transaksi elektronik sebagai kegiatan yang terekam dari proses input,
menyimpan, hingga sampai pada print out maka out put dibaca per
karakter.33
Telah dikatakan pada bab sebelumnya bahwa mengenai alat bukti ada
diatur dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Pasal 184 ayat
(1) KUHAP menentukan secara limitatif mengenai alat bukti yang sah yaitu,
33
www. hukumonline.com., Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, 20 Desember 2008.
57
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa,
sedangkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR
menyebutkan alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sehubungan dengan hal ini Arief
Indra Kusuma Adhi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, mengatakan
ada dua pilihan yang sering dipakai dimana bukti elektronik dapat
dikategorikan sebagai alat bukti surat atau sebagai alat bukti petunjuk.
Dijelaskan Arief, informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi
elektronik tersebut diubah dalam bentuk cetak, dan menjadi alat bukti
petunjuk bila informasi elektronik tersebut memiliki keterkaitan dengan alat
bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Dengan kata lain
kekuatan bukti elektronik sebagai petunjuk sangat tergantung pada
keyakinan hakim sebagai pemutus perkara.34
UU ITE seperti halnya cara pandang pengadilan menyebutkan bahwa
informasi dan dokumen elektronik adalah perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan hukum acara, daripada mengakui informasi dan dokumen
elektronik sebagai sebuah alat bukti tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Namun, pengakuan yang diberikan oleh UU ITE
memiliki arti penting tersendiri terutama bagi Indonesia sebagai Negara yang
tidak menganut prinsip Stare Decisis yaitu prinsip dimana dasar vonis
mengikuti vonis yang pernah dilakukan dalam perkara yang sama.35
Sehingga keputusan pengadilan bukan merupakan sumber hukum yang
mengikat bagi hakim lainnya. Dengan adanya UU ITE, maka sepanjang
34
www. google. com, UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out sebagai Alat Bukti, 20 Desember
2008.
35
I.P.M. Ranuhandoko B.A., op cit, hlm. 504
58
sesuai dengan UU ITE, tidak dapat lagi dikemukakan keberatan atas
penggunaan informasi dan dokumen elektronik maupun tanda tangan
elektronik sebagai alat bukti yang sah.
59
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam
tanda tangan ditinjau
dari
pembuktian
hukum
elektronik
acara
perdata
memiliki kekuatan beban bukti setingkat dengan akta bawah
tangan
melekat
(ABT),
oleh
dalam
karena
tanda
tangan
itu
kekuatan
pada
surat
beban bukti
yang
elektronik
hanya
kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil.
2.
Tanggapan
yang
timbul
mengenai
keabsahan tanda
tangan
elektronik adalah berbeda-beda dari penafsiran hukum masalah yang
dialami. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, keabsahan tanda tangan
elektronik diakui secara sah. Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE
hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia, tetapi apabila saya melihat perbandingan antara UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris maka keabsahan tanda tangan elektronik tidaklah
sah, dikarenakan dalam UUJN bukti yang sah itu adalah akta otentik
dan akta bawah tangan. Dan Notaris itu sendiri harus datang, melihat
60
dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditandatangan
oleh Notaris itu sendiri dan para penghadap masing-masing langsung
di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris. Dan haruslah tanda
tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tandatangan
elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut karena
kekuatan pembuktian dalam hukum di Indonesia tidaklah sah.
4.2 Saran
1.
Hendaknya Pemerintah dengan segera memberikan Lisensi kepada
badan
hukum
pemerintah
sebagai
maupun
lembaga
swasta,
Certification
sehingga
Authority,
pelaksanaan
baik
transaksi
elektronik, dengan dokumen elektronik sebagai perjanjian para pihak
yang telah ditanda tangani secara elektronik, sehingga mempunyai
kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik didalam
persidangan pada suatu pengadilan.
2.
Pemerintah dalam mengeluarkan suatu Undang-Undang hendaknya
melihat Undang-Undang yang lain yang saling berkaitan, sehingga
antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain tidak
saling bertentangan satu dengan yang lain.
61
DAFTAR BACAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KUH Perdata
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
BUKU
Badrulzaman Mariam Darus, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (Cyber
Law) di Indonesia, Pidato Purna Bhakti, Medan, 2001.
Budiono Berlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Kie Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, 2007.
Magdalena Mery, Cyber Law Tidak Perlu Takut, Andi, Yogyakarta, 2007.
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), PT. Liberty,
Yogyakarta, 1996.
Muljadi Kartini dan Widjaja Gunawan, Perikatan Pada Umumnya, PT.Raja
Grafindo, Jakarta, 2003.
Pramono Widyo, Cybercrimes dan Pencegahannya, Kencana, Jakarta, 2007
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang
Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981.
Persetujuan-Persetujuan
R.Soebekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bandung, 1992.
R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Internusa, Jakarta, 1974.
R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermesa, Jakarta, 1979.
Soepapto Maria Farida Indrati, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998.
Wiebe Rick, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Citra Aditya,
Bandung, 2002
Witso Keny, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002.
62
INTERNET
www. google. com, Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diakses
tanggal 5 Juli 2016, jam 16.30 WIB
www. hukumonline.com., Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, diakses
tanggal 5 Juli 2016, jam 19.00 WIB
www. google. com, UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out sebagai Alat Bukti,
diakses tanggal 20 Juli 2016, jam 20.00 WIB
http://www.kamuskbbi.id/ diakses tanggal 8 Agustus 2016, jam 21.00 WIB
www.google.com, Rosa Agustina T. Pangaribuan, 2003, Asas Kebebasan
Berkontrak Dan Batas-Batasnya, diakses 8 Agustus 2016, jam 22.00 WIB
www.google.com, Kudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2008, Dinamika
Pemikiran Hukum, diakses tanggal 8 Agustus 2016, jam 22.30 WIB
Download