Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula?

advertisement
TABLOID REPUBLIKA
tasawuf
8
JUMAT, 14 JANUARI 2011
Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula?
F
Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar
Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
enomena kelas menengah
kota untuk memahami dan
menjalani kehidupan sufistik semakin meningkat. Namun, masih perlu dipertanyakan, apakah itu sebagai
reaksi terhadap pola hidup yang semakin
pragmatis dan materialistis? Mungkinkah
itu buah dari kesadaran yang lahir dari
semakin luasnya kajian agama melalui berbagai media?
Atau juga mungkin kedua-duanya, yaitu
kerinduan terhadap sejuknya pemahaman
esoterisme yang dipicu keringnya pemahaman eksoterisme keagamaan yang begitu dominan selama ini? Untuk mengantisipasi hal
tak sejalan dengan keluhuran ajaran Islam,
mereka yang memilih menjalani kehidupan
spiritual-sufistik (baca: sufi pemula) perlu
mempelajari beberapa hal.
Pertama adalah pengenalan konsep
tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Tidak
boleh menyimpang dari penjelasan yang
digariskan Alquran dan hadis. Konsep
keesaan Allah SWT meliputi keesaan dalam
zat, sifat, dan perbuatan. Sejauh dan setinggi apa pun pencarian seseorang terhadap
Tuhan, tak boleh dengan mudah mengklaim
dirinya menyatu dengan Tuhan.
Dalam terminologi tasawuf hal itu disebut
penyatuan diri manusia dengan Tuhannya
(ittihad), Tuhan mengambil tempat di dalam
diri manusia (hulul), dan kesatuan Tuhan
sebagai Sang Khaliq dengan makhluk-Nya
(wahdatul wujud).
Para sufi, terlebih sufi pemula, yang tibatiba mengaku sudah sampai di tingkat atau
maqam paling tinggi, misalnya fana’, di
mana diri sang hamba merasa hancur dan
lebur dengan Tuhannya, mengakibatkan ia
melewati batas-batas syariat tentang baik
dan buruk. Seolah ayat hukum yang tersurat dalam Alquran terhapus dengan kedekatannya dengan Allah.
Mereka juga seolah-olah melewati dunia
lahir (syariat) dan sudah masuk ke dalam
dunia batin atau hakikat. Ini adalah contoh
buruk bagi pengamal tasawuf karena mempertentangkan antara syariat dan hakikat.
Mereka menganggap kecintaan terhadap
Tuhan telah mencapai puncaknya yang
kerap disebut sebagai mahabbah.
Untuk sampai ke puncak dan mempertahankan mahabbah itu, seakan dibutuhkan
media seni bunyi-bunyian yang indah dan
merdu (sama’). Bahkan, dengan memanfaatkan lagu dan tari. Tingkat ketergantungannya terhadap media musik itu sangat
tinggi. Mahabbah boleh-boleh saja, tetapi
tidak mesti lebih menonjolkan media ketimbang Tuhannya sendiri.
YOGI ARDHI/REPUBLIKA
Dalam menjalani praktik sufi atau masuk
ke dalam sebuah tarekat, peran pembimbing
(syekh/mursyid) sangat penting. Tanpa pembimbing dikhawatirkan seseorang akan terjebak di dalam praktik sinkretisme atau
syirik. Pemujaan berlebihan terhadap syekh
atau mursyid bisa juga membawa masalah
tersendiri.
Kedudukan rasul
Dalam doa, meminta pertolongan Tuhan
secara masif (istigatsah), syekh atau mursyid
sering disebut dan dilibatkan. Syekh atau
mursyid juga sering dijadikan objek perantara (tawasul atau wasilah) yang diperlakukan sepadan dengan Rasulullah. Ketakjuban
dan kehormatan kita kepada seorang syekh
atau mursyid tidak boleh melampaui batas
yang sewajarnya sebagai seorang guru.
Namun di sini, tidak berarti seorang
pencari Tuhan atau murid dilarang mengagumi dan menghormati syekh atau mursyidnya sesuai dengan tradisi yang sudah
lazim di dalam tarekat tertentu yang diikuti-
nya. Hal yang penting, niat penghormatan
itu tidak terkandung keyakinan bahwa
syekh atau mursyid itu suci, dianggap sama,
bahkan melampaui Rasulullah.
Sebab, kedudukan nabi dan rasul dalam
Islam sudah jelas. Nabi dan rasul memperoleh wahyu dan mukjizat serta keistimewaan dari Allah SWT. Sehebat apa pun
seorang ulama, syekh, atau mursyid, bahkan
para wali, tidak boleh disamakan apalagi
diyakini melampaui kehebatan nabi dan
rasul.
Tidak bisa diingkari bahwa ada manusiamanusia saleh atau salehah yang mencapai
puncak kedekatan diri dengan Allah SWT.
Dalam Alquran mereka disebut sebagai wali,
seperti Luqman dan Khidir. Namun, wali
yang sebenarnya tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai seorang wali. Bahkan, mereka selalu berusaha menyembunyikan diri agar tak dikenal begitu luas.
Jika ada orang mengaku wali dengan
mendemonstrasikan keajaiban atau kekeramatan yang dimilikinya, menurut Ibnu
rehal
Kesungguhan Membangun Ekonomi
anyak orang keliru
dalam memahami
Judul
makna jihad. Jihad
Jihad Ekonomi Islam
seakan hanya terfokus pada soal perang.
Penulis
Padahal, secara harfiah, jihad
Jafril Khalil PhD
berarti bersungguh-sungguh.
Artinya, makna jihad tidak
Penerbit
hanya sebatas pada perang,
Gramata Publishing
tetapi bersunggung-sungguh
dalam segala hal, mulai dari
Cetakan
perang sampai hal lainnya.
I, 2010
Termasuk, di dalamnya berjihad dalam bidang ekonomi.
Tebal
Tentu saja, berjihad dalam
vii+318
bidang ini perlu kesungguhan.
Terutama, untuk membebaskan
diri dari kemiskinan. Sebab,
kemiskinan adalah musuh bersama yang harus diberantas oleh setiap individu. Topik inilah yang dibahas
dalam bab pertama buku Jihad Ekonomi Islam yang ditulis
oleh Jafril Khalil PhD, seorang praktisi ekonomi syariah.
Jafril memberi alasan bahwa masalah kemiskinan telah
menjadi persoalan seluruh umat manusia. Karena itu, objek
ini harus diberantas bersama-sama agar tidak menjadi gurita
dalam kehidupan umat manusia. Dalam pembahasannya,
Jafril mengemukakan sejumlah data kemiskinan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kendati tidak perinci, sejumlah data yang dikemukakan
seharusnya memberi perhatian bagi pengambil kebijakan
untuk mau berubah. Karena itulah, Jafril menekankan pokok
bahasan keduanya dengan topik Keberanian untuk Berubah.
Dalam hal ini, ia mengemukakan dua hal yang perlu dilakukan
umat Islam untuk berubah.
Pertama, dengan melakukan tobat secara umum atau
tobat nasional. Dan kedua, dengan keharusan untuk berjihad.
“Tanpa tobat dan kesungguhan untuk berjihad (sungguh-sungguh—Red), apa pun yang diusahakan tidak akan berhasil.”
Demikian Jafril memberikan argumen.
Karena itulah, lanjutnya, untuk bisa berubah harus dimulai
dari diri sendiri dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ia
pun mengutip pernyataan Imam Al-Ghazali yang menerangkan
bahwa tobat itu harus dilakukan dengan tiga hal. Pertama,
bersungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah. Kedua,
berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Dan ketiga, memperbanyak berbuat amal kebajikan.
B
Selanjutnya, pada bab dua,
Jafril membahas tentang topik
Tauhid Ekonomi Islam. Di
dalamnya, ia mengangkat
tiga bahasan pokok,
yakni Ekonomi
Akhlaqiyah (berekonomi
sesuai dengan keteladanan), Ekonomi
Insaniyah (mencapai
kebaikan hidup di dunia
maupun di akhirat dengan
sesuatu yang baik), dan
Ekonomi Wasathiyah (hidup
dalam keseimbangan).
Dalam Ekonomi Akhlaqiyah,
Jafril membahas berbagai
topik ekonomi yang dianjurkan
Islam. Karena itu pula, ia membahas sejumlah hal tentang
ekonomi yang bertentangan dengan Islam, seperti ekonomi kapitalis dan sekuler. Sistem itu senantiasa menggerogoti kehidupan umat dan mendorong perilaku
egoistik.
Sedangkan dalam Ekonomi Insaniyah, ia membahas tentang cara membangun kehidupan ekonomi dalam rumah tangga dan lainnya. Pada bab ketiga, ia membahas konsep
kepemilikan harta dalam Islam, cara mendapatkannya, lalu
bagaimana soal kepemilikan harta itu menurut pandangan
agama dan perundang-undangan yang berlaku. Pada bab terakhir, pembahasan mengenai jihad ekonomi Islam.
Namun, sebuah karya manusia memang tidak ada yang
sempurna. Begitu juga dengan karya ini. Ada sejumlah topik
yang tampaknya tak begitu perlu dibahas di buku ini, seperti
sejarah masuknya Islam.
Sebab, hal itu membuat kurang nyaman. Keseriusan membaca buku ini seolah terganggu oleh bahasan itu. Sebagai
masukan untuk penulisnya, semestinya dia lebih banyak lagi
mengupas soal cara mendorong umat untuk benar-benar
mengaplikasikan ekonomi yang berkeadilan dalam kehidupan.
Namun demikian, buku ini sangat layak dijadikan panduan
bagi setiap pribadi Muslim untuk memulai dari sekarang, berjihad dalam ekonomi Islam. Bagaimana caranya? Sebagian, jawabannya ada dalam buku ini. Selamat membaca.
n syahruddin el-fikri
Taimiyah, orang itu perlu dicurigai. Kalangan syekh atau mursyid memang banyak
mendambakan kekeramatan untuk legitimasi dirinya di depan jamaahnya. Ia berusaha mencari informasi dari alam gaib guna
menunjukkan dirinya sebagai wali.
Namun, orang yang berkecenderungan seperti ini, menurutt Ibnu ‘Athaillah, tidak termasuk tokoh mursyid ideal. Orang yang sudah mempu merasa dekat sedekat-dekatnya
dengan Tuhannya tidak lagi memerlukan
kekeramatan, karena ia sudah yakin dengan
dirinya sendiri bahwa apa yang dicarinya
selama ini sudah ditemukan. Ambisi popularitas di mata publik sudah tidak ada lagi.
Sekiranya ada tokoh pembimbing spiritual yang mengaku berkemampuan memahami sejumlah rahasia, misalnya, informasi itu tak bisa diparalelkan dengan kemutlakan kebenaran wahyu.
Dalam literatur suni, mungkin itu hanya
bisa disebut ilham. Keluarbiasaan yang dimiliki orang-orang tersebut bukanlah mukjizat, melainkan kekeramatan (karamah). n
Menanamkan Cinta
Alquran Sejak Dini
Judul buku
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
:
:
:
:
:
Mendidik Anak Cinta Alquran
Dr Sa’ad Riyadh
Khatulistiwa
I, 2010
x+148 hlm
nak merupakan amanah (titipan) dari Allah. Amanah
tersebut harus dijaga dengan baik, yaitu dengan memberi pendidikan yang
tepat bagi mereka sehingga kelak mereka dapat menjadi anak-anak
yang berbakti kepada Allah SWT. Pendidikan paling utama yang mesti ditanamkan
sejak dini adalah cinta kepada Alquran.
Sebab, dengan mencintai Alquran, anak-anak akan cinta kepada Tuhannya dan
memperoleh banyak ilmu berharga tentang agama Islam. Buku yang ditulis Dr
Sa’ad Riyadh, seorang pakar pendidikan ini, berupaya memberi tips praktis untuk
pengajar dan pendidik, yaitu orang tua atau guru.
Khususnya, tips dalam mengajarkan dan menanamkan cinta terhadap Alquran
sejak dini. “Mengajarkan Alquran pada anak sedini mungkin merupakan fondasi
utama dari proyek agung mencetak anak-anak Muslim yang kokoh berpegang pada Kitab Suci, tumbuh dewasa sesuai dengan fitrahnya yang suci sehingga akan
terpancar cahaya-cahaya terang di hati mereka sebelum hawa nafsu menguasai
serta mengotori hati mereka dengan kemaksiatan dan kesesatan.” (hlm 2).
Salah satu prinsip yang ditekankan oleh penulis adalah pentingnya kita
menanamkan rasa cinta Alquran terlebih dahulu kepada anak sebelum kita mengajarkan hafalan dan ayat-ayat Alquran kepada mereka. Sebab, menghafal Alquran
tanpa rasa cinta kepada wahyu Allah tersebut takkan menghasilkan apa-apa.
Terkait dengan hal tersebut, penulis mengingatkan pentingnya setiap orang tua
menghiasai rumah mereka dengan bacaan Alquran setiap hari. “Jika Anda ingin
menumbuhkan rasa cinta anak Anda pada Alquran, jadikan rumah Anda terlebih
dahulu sebagai rumah teladan, yang di dalamnya terpancar penghormatan tinggi
kepada Alquran. Bacalah Alquran di rumah Anda dengan suara lembut dan
indah....” (hlm 9)
Secara keseluruhan, penulis membagi bukunya menjadi empat bab, plus pendahuluan, dan penutup serta saran. Bab pertama menguraikan tips-tips membangun hubungan ideal antara anak dan Alquran. Bab kedua mengupas cara mendidik anak cinta Alquran pada usia balita.
Dilanjutkan bab ketiga yang menguraikan cara mendidik anak cinta Alquran
pada usia 6-12 tahun dan bab keempat mengenai cara mendidik anak cinta
Alquran saat usia remaja. Alangkah bahagianya kalau anak-anak kita menjadi ahli
Alquran, yakni hamba Allah yang mencintai Alquran, menghafalnya, gemar membacanya, dan mengamalkannya. n irwan kelana
A
Download