BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur
oleh hukum sebagai patokan bahwa hukum dapat menciptakan ketertiban dan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Negara Republik Indonesia tentu
ingin mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam
Alinea ke IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Penegakan HAM bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh
negara-negara tertentu saja, melainkan sudah merupakan masalah yang sifatnya
mendunia. Artinya masalah ini akan selalu dihadapi oleh masyarakat
internasional, termasuk Indonesia. Dengan demikian, persoalan hak-hak asasi
manusia ini mengandung aspek universal dan lintas budaya. 1 Di dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
1
B. Hestu Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 272.
2
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Salah satu materi yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah
mengenai jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia warga negara.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa masalah HAM
menjadi salah satu materi yang dimuat di dalam konstitusi atau UndangUndang Dasar? Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena negara sebagai
organisasi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut,
oleh sebab itu untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, maka dalam UUD NRI Tahun 1945 akan selalu memuat kekuatan
mengenai hal ini. Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum menunjukkan
bahwa negara selalu dikonotasikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai
keabsahan untuk memaksakan kehendak kepada warga negaranya. 2
Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan, agar
tidak diterapkan secara sewenang-wenang. Dengan demikian pengaturan
mengenai HAM akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam
suatu konstitusi negara, bahkan salah satu ciri dari negara hukum adalah
adanya jaminan hak-hak asasi manusia, di samping pemisahan kekuasaan,
legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas. 3
Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam benakbenak anak bangsa. HAM diterima, dipahami, dan diaktualisasikan dalam
2
3
Ibid.
Ibid.
3
bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio-politis yang berkembang.
Dalam konteks reformasi, pemikiran ke arah bentuk jaminan HAM yang lebih
kokoh semakin mendapatkan momentumnya. Perubahan UUD NRI Tahun
1945 adalah fakta sejarah sekaligus diyakini sebagai the starting point bagi
penguatan demokrasi Indonesia yang berbasis perlindungan HAM.
Dalam tataran realitas, kemajuan normativitas HAM belum berjalan
dengan maksimal, pelanggaran HAM masih terjadi secara masif. HAM
acapkali mengalami reduksi dan deviasi makna. HAM dipahami sebagai hak
absolut tanpa mengindahkan pentingnya kehadiran kewajiban asasi manusia
(KAM). Pendekatan ini tidak jarang menghasilkan upaya pemaksaan kehendak
bertameng kepentingan dan kebaikan bersama. Sulit memahami bagaimana
dorongan kuat untuk membela HAM ternyata mengandung perbuatan yang
justru melanggar HAM itu sendiri. HAM berubah menjadi “dua sisi dari
sebuah mata pisau”. Pada satu sisi mengedepankan dimensi humanitas
manusia, tetapi pada sisi yang lain HAM dipandang terlalu menakutkan bagi
setiap orang terlebih bagi pengambil kebijakan karena didalamnya dengan
hegemoni dan kooptasi.4
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) membawa perubahan yang fundamental di dalam sistem
peradilan pidana, yang mengutamakan perlindungan HAM, dimana rakyat
dapat menghayati hak dan kewajibannya. 5 Adanya pengaturan HAM dalam
bentuk hak-hak tersangka atau terdakwa membuat KUHAP sebagai karya besar
4
Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 3.
5
Hendrastanto Yudowidagdo dkk, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 22.
4
bangsa Indonesia. 6 KUHAP memuat seluruh proses penyelesaian perkara
pidana, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, (penyelidikan dan / atau
penyidikan), penuntutan, pemeriksaan lanjutan di Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga eksekusi dan pengawasan
pelaksanaan eksekusi. Di samping itu, salah satu asas yang paling hakiki dari
KUHAP adalah memberi penghormatan atas harkat dan martabat manusia
sesuai dengan Pancasila.7
KUHAP dipandang sudah lengkap dan merupakan karya besar bangsa
Indonesia pada saat itu, namun dalam perkembangannya ternyata masih dirasa
kurang memberikan perlindungan terhadap tersangka. Para penganut teori
positivistik dalam ilmu hukum juga menyadari bahwa tidak ada satupun
Undang-Undang yang dapat dianggap lengkap dan sempurna, begitupun
dengan KUHAP tetap memiliki sisi kelemahan atau kekurangan, baik dalam
perumusan pasal-pasalnya maupun pelaksanaannya.
Dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Yang dimaksud dengan
“bukti permulaan” terkait dengan penangkapan, dalam Pasal 17 KUHAP
mengatur mengenai perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa “bukti permulaan yang
cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai
dengan bunyi Pasal 1 angka 14. Jika berhubungan dengan penahanan, dalam
6
Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.
3.
7
P. Bambang Siswoyo, 1983, Komentar Sekitar KUHAP, Mayasari, Solo, hlm. 10.
5
Pasal 21 ayat (1) KUHAP memberi pedoman bahwa perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan
atau mengulangi tindak pidana.
Di dalam KUHAP, jika merujuk pada Pasal 1 angka 14, Pasal 17 serta
penjelasannya, dan Pasal 21 ayat (1), ada berbagai istilah yang digunakan yaitu
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”,
tetapi KUHAP tidak memberikan pengertian secara jelas, dan juga tidak
mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut,
namun di dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 memuat bahwa frasa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21
ayat (1) KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
KUHAP.
KUHAP tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang
menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan.
KUHAP hanya mengatur mengenai kecukupan dan kelengkapan alat bukti
sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa
dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau
terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan. Adapun jangka waktu penahanan
dalam setiap tingkat pemeriksaan menurut KUHAP adalah:
6
Tabel. 1
Jangka Waktu Penahanan di dalam KUHAP
No
1
2
3
4
5
Tingkat
pemeriksaan
Penyidikan
(Pasal 24)
Kejaksaan
(Pasal 25)
Pengadilan
Negeri
(Pasal 26)
Pengadilan
Tinggi
(Pasal 27)
Mahkamah
Agung
(Pasal 28)
Lama
penahanan
Perpanjanngan
penahanan
20 hari
40 hari
20 hari
30 hari
30 hari
60 hari
30 hari
50 hari
Yang memberikan
perpanjangan
Jumlah
Jaksa Penuntut
Umum
Ketua Pengadilan
Negeri
Ketua Pengadilan
Negeri
60 hari
60 hari
Ketua Pengadilan
Tinggi
90 hari
60 hari
Ketua MA
110 hari
50 hari
90 hari
400 hari
Fungsi KUHAP adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam
bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan
pidana dan bertugas melaksanakan hukum pidana materiil. Oleh karena itu,
ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana harus dapat melindungi para
tersangka ataupun terdakwa.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius (Extra
Ordinary Crime), karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas
dan keamanan negara serta masyarakatnya, membahayakan pembangunan
sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai
demokrasi serta moralitas bangsa. 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan tugas
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 9 untuk melakukan penyelidikan,
8
9
Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Lihat Pasal 2, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tugas KPK lainnya
adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi,
melakukan
tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Di dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyatukannya
di
dalam
Institusi
tersebut.
KPK
tidak
berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi (Pasal 40). Tidak disebutkan dalam undangundang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi maka
seseorang akan otomatis menjadi tersangka, yang disebutkan adalah jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang
cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang
cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada KPK (Pasal 44). Dalam hal
seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan
tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tidak berlaku
berdasarkan undang-undang ini (Pasal 46).
Ada beberapa perkara tindak pidana korupsi terkait penetapan status
sebagai tersangka
menjadi persoalan bila dipandang dari perspektif
8
perlindungan HAM dan kepastian hukum, yaitu mengenai lamanya waktu
status tersangka yang dialami dan proses penetapan status tersangka, seperti
yang diketahui penulis, mengenai perkara tindak pidana korupsi bekas Direktur
Pengolahan PT Pertamina (Persero) Suroso Atmo Martoyo (SAM),
SAM
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Bulan November 2011, diduga
oleh KPK mengenai suap pengadaan zat tambahan bahan bakar TEL (tetraethyl
lead) 2004-2005. SAM disangka mengantungi duit suap dari Direktur PT
Soegih Indrajaya, Willy Sebastian Liem. Atas perbuatan tersebut, SAM sebagai
penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara Willy sebagai
pihak pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan atau
Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 10 Status
tersangka yang disandang oleh SAM baru diupayakan penyelesaian melalui
jalur praperadilan oleh tersangka dan kuasa hukumnya pada bulan April tahun
2015, seiring dengan upaya jalur praperadilan yang hendak ditempuh, penyidik
menyatakan berkas perkara SAM telah dinyatakan lengkap (P21) dan akan
segera disidangkan.
Kasus Korupsi Hibah Persiba Bantul oleh Idham Samawi (IS), IS diduga
terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk klub
sepakbola Persiba Bantul sebesar Rp12,5 miliar. Kasus ini berawal dari laporan
LPH Yogyakarta tentang adanya dugaan penyimpangan dana hibah dan Bansos
10
Ranny Virginia Utami, Senin, 06 April 2015, Pukul 19:29 WIB, Eks Direktur pertamina soalkan
status penyidik KPK, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150406192917-12-44609/eksdirektur-pertamina-soalkan-status-penyidik-kpk/, diakses pada tanggal 14 April 2015, Pukul
11:37 WIB.
9
DPRD Yogyakarta 2012-2013 sebesar Rp181,5 miliar.11 IS sudah ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus ini pada akhir tahun 2013, tetapi dalam
prosesnya IS tidak ditahan dan berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan
oleh Kejaksaan tinggi DIY. 12 Pada tanggal 4 Agustus 2015 Kejaksaan Tinggi
Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY) resmi mengeluarkan Surat Perintah
Pemberhentian Penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi ini. Kepala Kejaksaan
Tinggi DIY I Gede Sudiatmaja mengatakan, “Kejati mengeluarkan SP3 karena
tidak ditemukannya alat bukti yang cukup terhadap IS”. SP3 itu diterbitkan
Kejati dengan nomor Print-369/0.4/Fd.1/08/2015.13
Mengenai penetapan status Dahlan Iskan (DI) sebagai tersangka dalam
kasus tindak pidana dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa,
Bali, dan Nusa Tenggara Barat pada periode 2011-2013 Senilai Rp1,063
triliun. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengusut kasus ini sejak Juni 2014
setelah
menerima
laporan
audit
Badan
Pengawasan
Keuangan
dan
Pembangunan (BPKP) terhadap proyek gardu listrik. BPKP dalam auditnya
menyebutkan bahwa proyek tersebut diduga merugikan negara sebesar Rp33
miliar. Menurut kejaksaan, penyimpangan ditemukan antara lain ketika
penandatanganan kontrak pembangunan gardu induk pada tahun 2011, tetapi
lahannya belum dibebaskan. DI dan kuasa hukumnya mengajukan gugatan
praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa DI
11
Fathi Mahmud, 12 Desember 2014 Pukul 14:30 WIB, “KPK Minta Kajati Percepat Kasus Eks
Bupati Bantul Idham Samawi”, http://news.liputan6.com/read/2146576/kpk-minta-kajatipercepat-kasus-eks-bupati-bantul-idham-samawi, diakses pada tanggal 29 Mei 2015, Pukul
11.52 WIB.
12
Muh, Syaifullah, 18 Mei 2015, Pukul 19.23 WIB, “Jaksa Panggil Bupati Bantul Pada Sidang
Korupsi”,
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/18/063667195/Jaksa-Panggil-BupatiBantul-pada-Sidang-Korupsi, diakses pada tanggal 29 Mei 2015, Pukul 11.52 WIB.
13
Fathi Mahmud, 5 Agustus 2015, Pukul 00.35 WIB, “Kejati DIY SP3 Kasus Dana Hibah Ketua
PSSI Bantul”, http://news.liputan6.com/read/2286323/kejati-diy-sp3-kasus-dana-hibah-ketuapssi-bantul, diakses pada tanggal 6 Agustus 2015, Pukul 22.13 WIB.
10
terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka baru kemudian dicari alat
buktinya. Padahal untuk bisa menetapkan seorang tersangka seharusnya sudah
ada dua alat bukti yang cukup. Hakim tunggal Lendriaty Janis memutuskan
untuk mengabulkan seluruhnya gugatan praperadilan DI terhadap Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta, bahwa pengadilan sependapat dengan pihak pemohon DI
yang menilai bahwa surat perintah penyidikan atas DI tidak sah dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.14
Pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan status
tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional
dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan,
namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai
perkembangan yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh
penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau
status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga
seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa
tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum dalam
menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh
oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Titik sentral memeriksa dan menyelesaikan perkara tindak pidana harus
memahami “manusia dan kemanusiaan” yang wajib dilindungi harkat martabat
14
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Memutuskan Untuk Mengabulkan Seluruhnya Gugatan
Praperadilan
Dahlan
Iskan
Terhadap
Kejaksaan
Tinggi
DKI
Jakarta.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150804_indonesia_hukum_dahlan_iska
n, diakses pada tanggal 26 Agustus 2015, Pukul 13.12 WIB.
11
kemanusiaannya, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Sekalipun kita menginsafi bahwa tujuan tindakan penegakan
hukum untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat,
penegak hukum tidak boleh mengorbankan hak dan martabat tersangka, atau
juga sebaliknya, demi untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat
tersangka tidak boleh dikorbankan kepentingan masyarakat / negara. Harus
mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah digariskan KUHAP,
sehingga antara dua kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sama-sama
tidak dikorbankan, 15 dan sesuai dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap orang yang ditangkap,
ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam
suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan
untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang
menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka adalah penting untuk
menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kepastian
hukum kepada tersangka. Dengan adanya aturan yang mengikat dan memberi
akibat hukum baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya, itulah juga
salah satu implementasi dari kepastian hukum dan esensi asas praduga tak
bersalah. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan
15
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahsan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 68-69.
12
penelitian serta pembahasan terkait permasalahan tersebut dan akan ditulis
dalam bentuk tesis dengan judul:
“Penetapan Status Tersangka Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam
Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang permasalahan, maka penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi proses penetapan status seseorang sebagai
tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana seharusnya pengaturan mengenai batas waktu status tersangka
pada tingkat penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam perspektif
perlindungan Hak Asasi Manusia?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis memiliki tujuan yang
ingin dicapai, yaitu:
1. Tujuan Subyektif
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data serta
mengkaji data tersebut sehingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah
yang baik berupa Tesis, agar dapat memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar magister ilmu hukum pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
13
2. Tujuan Obyektif
Adapun tujuan obyektif dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui,
menganalisis,
dan
menjelaskan
mengenai
perkembangan hukum pidana Indonesia yang mengatur tentang
penetapan sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai Bagaimana
batas waktu penetapan status tersangka dalam tingkat penyidikan perkara
tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan Hak Asasi Manusia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pengaturan
mengenai penetapan status tersangka perkara tindak pidana korupsi dalam
perspektif perlindungan HAM. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi perkembangan hukum pidana dalam upaya melindungi hakhak tersangka tindak pidana korupsi.
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
rujukan dan dapat menambah pengetahuan tentang hukum bagi rekan
mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga pemerintah, khususnya
aparat penegak hukum.
14
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, baik terhadap tesis maupun
karya ilmiah lainnya, maka ditemukan ada beberapa penelitian yang memiliki
kemiripan dengan objek, topik, maupun tema penelitian yang dilakukan oleh
penulis. Namun, dalam penelitian yang akan ditulis oleh penulis tidak
ditemukan penelitian yang sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan
dan dibahas oleh penulis. Adapun beberapa penulisan karya ilmiah yang
memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan:
1. Disertasi yang ditulis oleh Berlian Simarmata dalam memperoleh gelar
Doktor pada program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2012, dengan judul “Perlindungan
Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka dan Terdakwa Dalam Penahanan”,
dengan rumusan masalah: (1) Apakah pengaturan penahanan dalam
KUHAP telah memberikan perlindungan hukum kepada tersangka atau
terdakwa dalam penahanan?, (2) Bagaimana pelaksanaan pemberian
perlindungan hukum atas hak-hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan di Sumatera Utara?, (3) Bagaimana seharusnya pengaturan
pelaksanaan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP
pada masa yang akan datang dalam rangka perlindungan hukum bagi
tersangka atau terdakwa?
Kesimpulan dari Disertasi ini adalah, (1) Pengaturan hak-hak tersangka dan
terdakwa dalam KUHAP belum sepenuhnya memberikan perlindungan
hukum terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa dalam penahanan,
ada ketentuan yang “secara tegas” memberikan perlindungan hukum,
15
melalui pengaturan yang tegas, jelas, terukur, tidak multitafsir dan
operasional sehingga pelaksanaannya tidak memerlukan penafsiran lagi.
Sebaliknya, ada ketentuan yang “tidak secara tegas” memberikan
perlindungan hukum dalam arti masih terbuka kemungkinan untuk memberi
atau tidak memberi, masih tergantung kepada penafsiran dari penegak
hukum, sehingga memberikan kesempatan kepada penegak hukum untuk
menafsirkan secara subjektif. (2) Pelaksanaan pemberian perlindungan
hukum atas hak-hak tersangka atau terdakwa yang telah diatur dalam
KUHAP terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan di Sumatera Utara adalah: a) Pelaksanaan pemenuhan syarat
objektif penahanan pada dasarnya sudah dilaksanakan secara formal, namun
secara material masih sering terjadi tindak pidana ringan diklasifikasikan
sebagai tindak pidana biasa sehingga pelakunya dapat dikenakan penahanan,
sedangkan pemenuhan syarat subjektif penahanan belum memberikan
perlindungan hukum karena penerapannya sangat tergantung kepada
penafsiran subjektif penegak hukum. b) Pelaksanaan pemenuhan hak atas
segera diperiksa
terhadap tersangka atau terdakwa belum memberikan
perlindungan hukum dengan sungguh-sungguh. Hak untuk segera diperiksa
oleh penyidik atau hakim masih diartikan secara sempit, yaitu pemeriksaan
(sidang) pertama. Pada tingkat penyidikan dan penuntutan, pelimpahan
perkara masih sering dilakukan menjelang batas akhir penahanan. c)
Pelaksanaan hak tersangka dan terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum
sudah terlaksana dengan baik. d) Pelaksanaan pemenuhan hak untuk
membela diri bagi tersangka atau terdakwa, terutama untuk mengajukan
16
saksi yang menguntungkan belum sepenuhnya terlaksana. Belum semua
penyidik bersedia memeriksa saksi yang menguntungkan (a decharge),
hanya dianjurkan untuk diajukan di pengadilan. Pada persidangan,
umumnya sudah dilaksanakan dengan baik, walaupun hakim dapat
membatasinya. e) pemenuhan hak tersangka dan terdakwa untuk
memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan masih sangat terbatas.
Kelebihan tingkat hunian Rutan / Lapas yang tinggi mengakibatkan hak-hak
tahanan (juga napi) atas fasilitas kesehatan tidak memadai. Khusus untuk
rawat inap sudah terlaksana dengan baik, karena sudah dijamin dengan
fasilitas JamKesMas. f) pemenuhan hak tersangka dan terdakwa untuk
mendapatkan perlakuan yang manusiawi baru terlaksana dengan baik untuk
kunjungan rohaniawan, sedangkan kunjungan keluarga masih disandera
dengan berbagai kutipan atas nama ‘penggeledahan’ ditempat tertutup,
namun waktunya cukup. Hak untuk diperiksa secara bebas masih diartikan
tidak diborgol, sedangkaan paksaan fisik dan psikis untuk kasus yang
dianggap memiliki jaringan masih sering terjadi. g) Pelaksanaan pemenuhan
hak tersangka dan terdakwa atas pemberitahuan penahanan kepada keluarga
secara prinsip sudah terlaksana dengan baik, kesulitan hanya terjadi untuk
tersangka yang alamatnya jauh dari jangkauan alat-alat komunikasi. h)
Pelaksanaan pemenuhan hak untuk memperoleh ganti kerugian dan
rehabilitasi bagi tersangka dan terdakwa belum terlaksana dengan baik
mengingat prosedurnya yang berbelit-belit dan besaran nilai nominalnya
tidak pasti. (3) Perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dan
terdakwa dalam penahanan pada KUHAP yang akan datang harus
17
memperhatikan beberapa prinsip, yaitu: a) Prinsip kejelasan makna rumusan
norma (tidak multitafsir), yang menuntut rumusan norma hukum jelas,
terang dan tidak menimbulkan keragu-raguan dalam mengartikannya. b)
Prinsip kemandirian kerja dan profesionalisme penegak hukum, yang
menuntut tidak adanya campur tangan pihak lain diluar penegak hukum
yang sedang menangaani perkara itu sendiri. c) Prinsip intensitas
pengawasan, baik intern maupun ekstern, yang menuntut adanya
pengawasan terhadap setiap tindakan penegak hukum yang sedang
menangani suatu perkara, baik yang dilakukan oleh intern institusi maupun
oleh masyarakat di luar institusi. d) Prinsip ketepatan penerapan norma,
yang menuntut penerapan norma sesuai tujuan atau dasar filosofis
pembuatan dan perkembangan jaman. e) Prinsip ketepatan kategorisasi nilai
objek kejahatan, yang menuntut perlunya penyesuaian atau penafsiran
sosiologis terhadap obyek kejahatan yang ditujukan terhadap harta kekayaan.
f) Prinsip ketepatan kategori beracara di pengadilan, yang menuntut
perlunya seleksi perkara yang akan diperiksa menurut acara pemeriksaan
biasa, singkat dan cepat. g) Prinsip keterpaduan subsistem dalam sistem
peradilan pidana terpadu, yang menuntut perlunya koordinasi antara institusi
penegak hukum, utamanya yang berkaitan dengan administrasi peradilan
dalam pelaksanaan penahanan. h) Prinsip profesionalisme dalam pemberian
bantuan hukum prodeo, agar pemberi bantuan hukum prodeo tidak sekedar
formalitas namun harus berbuat seperti pada pemberi bantuan hukum biasa
yang bukan prodeo. i) Prinsip ketepatan dan ketersediaan anggaran sesuai
dengan kebutuhan yang riil, yang menuntut pengadaan biaya pemeriksaan
18
perkara serta waktu pencariannya sesuai dengan kebutuhan yang riil pada
setiap perkara.16
2. Tesis yang ditulis oleh Yhoga Aditya Ruswanto, dalam memperoleh gelar
Magister Hukum pada Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2009, dengan judul “Perwujudan
pemenuhan hak asasi manusia bagi tersangka / terdakwa dalam konteks
sistem negara hukum Indonesia (studi tentang perlindungan hak asasi
manusia bagi tersangka / terdakwa di lembaga pemasyarakatan), dengan
rumusan masalah: Bagaimana perwujudan hak asasi tersangka / terdakwa
dalam KUHAP di Lapas Klas II A Yogyakarta?
Kesimpulan dari Tesis ini, bahwa pengakuan hak asasi tersangka / terdakwa
dalam KUHAP di Lapas Klas II A Yogyakarta yang di implementasikan
dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP merupakan hak sipil (civil
right) sebagai bagian dari HAM yang juga diakui secara internasional di
dalam DUHAM dan dokumen HAM lainnya. Ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam HAM Internasional tersebut lebih lanjut diwujudkan di
dalam KUHAP, Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, mengenai hak-hak
tersangka / terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan
demikian KUHAP di jiwai oleh Undang-Undang Dasar 1945 serta UndangUndang Kekuasaan Kehakiman benar-benar memberikan perlindungan
terhadap HAM sebagaimana diatur dalam DUHAM. 17
16
Berlian Simarmata, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka dan Terdakwa
dalam Penahanan, Disertasi, Program Doktor Pada Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah
Mada.
17
Yhoga Aditya Ruswanto, 2009, Perwujudan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bagi
Tersangka/Terdakwa dalam Konteks Sistem Negara Hukum Indonesia (studi tentang
19
3. Skripsi yang ditulis oleh Panji Pridyanggoro dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
pada Tahun 2011, dengan judul “Pelaksanaan penyidikan tindak pidana
korupsi oleh kejaksaan tinggi Kalimantan Barat dalam upaya percepatan
pemberantasan korupsi” dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana
penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat
terhadap kasus korupsi pengerukan alur pelayaran sintete dan perkara
korupsi pengadaan baju hansip di kota Pontianak?, (2) Apakah kendala
dalam penyelesaian penyidikan kedua kasus tersebut?.
Kesimpulan dari Skripsi ini adalah, (1) Penyidikan yang dilakukan telah
sesuai dengan aturan-aturan penyidikan yang ditetapkan dalam KUHAP
yang kemudian diperluas dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. (2) Kendala penyidikan dari kedua
kasus tersebut adalah adanya mutasi / perpindahan tugas penyidik ke daerah
lain yang seringkali mengakibatkan terhentinya pelaksanaan penyidikan
yang telah berjalan selama beberapa waktu, selain itu juga mengenai
rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. Jika ditilik dari segi peraturan
perundang-undangan maka pada dasarnya kejaksaan juga mengalami
kendala terkait birokrasi terhadap penyidikan yang dilakukan terhadap
pejabat tertentu.18
perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa di lembaga pemasyarakatan), Tesis,
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
18
Panji Pridyanggoro, 2011, Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan
Tinggi Kalimantan Barat dalam Upaya Percepatan Pemberantasan Korupsi, skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
20
Dengan demikian, judul dan permasalahan Disertasi, Tesis, dan Skripsi di
atas berbeda dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam Tesis
ini, yaitu mengenai “Penetapan status tersangka perkara tindak pidana
korupsi dalam perspektif perlindungan hak asasi manusia.” Membahas
mengenai proses penetapan status tersangka tindak pidana korupsi dan batas
waktu status tersangka tindak pidana korupsi dalam perspektif hak asasi
manusia.
Download