II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut 2.1.1

advertisement
3
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Gambut
2.1.1. Pengertian dan Sifat Kimia Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang memiliki lapisan tanah kaya bahan
organik (C-organik >18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik
penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya,
lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang atau daerah cekungan
yang berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008). Di Indonesia istilah gambut
telah umum dipakai untuk padanan peat. Sebagian petani menyebut tanah gambut
dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis
tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna
sehingga tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi
disebut tanah bergambut (muck, peat muck, mucky) (Noor, 2011).
Karakteristik kimia gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, ketebalan lapisan gambut, jenis tanah mineral pada substratum (di dasar
gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Berdasarkan tingkat kesuburannya,
gambut dibedakan menjadi:
a.
Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
b.
Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
c.
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik,
gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah
pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai (Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan
Subiksa, 2008).
4
Gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi
dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di
Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat
rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang
dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam, di sisi
lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan
basa (KB) menjadi sangat rendah (Driessen dan Suhardjo, 1976). Selanjutnya, Tan
(1998) menyatakan bahwa pada tanah yang mengandung bahan organik tinggi,
ketersediaan unsur hara mikro seperti Cu, Fe, Mn, dan Zn sangat rendah karena
diikat oleh senyawa-senyawa organik.
Kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut di Indonesia
adalah rendahnya ketersediaan hara dan tingginya kandungan asam-asam organik
beracun bagi tanaman. Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya)
mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut
yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan.
Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat dan
derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam
amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar
dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami
klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati (Driessen, 1978
dalam Rachim, 1995).
2.1.2. Usaha-Usaha Pengelolaan Lahan Gambut
Menurut Soepardi (1983), usaha pengelolaan untuk perbaikan lahan
gambut antara lain :
1. Drainase lahan gambut, penurunan dan pengendalian air untuk jangka
waktu relatif lama sehingga memungkinkan aerasi pada daerah akar
selama musim pertanaman.
5
2. Pengelolaan struktur, tanah organik pada umumnya memerlukan
pemadatan daripada penggemburan. Makin lama gambut diusahakan
pemadatan makin penting. Pengelolaan cenderung merusak struktur
semula, dan tanah menjadi peka terhadap erosi angin. Untuk alasan itu
suatu pemadat merupakan hal penting dalam pengelolaan tanah gambut.
Pemadatan tanah organik memungkinkan akar berhubungan lebih dekat
dengan tanah dan memungkinkan air naik dari bawah.
3. Penggunaan kapur, keadaan yang sangat masam menyebabkan pelarutan
besi, aluminium, dan mangan sampai suatu tingkat sehingga mereka
menjadi racun. Di bawah keadaan demikian, sejumlah besar kapur
diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan normal.
4. Unsur mikro, tanah gambut tidak hanya memerlukan kalium, fosfor dan
nitrogen, tetapi seringkali membutuhkan beberapa unsur mikro.
Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat
rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan
Mg. Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap
kation yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa
kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci.
Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik
dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat
meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
2.2.
Karakteristik Tanaman Padi
Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang terdiri dari
dua kelompok organ tanaman yakni organ vegetatif dan organ generatif
(reproduktif). Bagian vegetatif meliputi akar, batang dan daun, sedangkan bagian
generatif terdiri dari malai, gabah dan bunga. Tanaman pertanian kuno yang
berasal dari benua yaitu Asia. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi
adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam. Klasifikasi botani
tanaman padi adalah sebagai berikut,
6
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monotyledonae
Keluarga
: Gramineae (Poceae)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa
Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah Oryza sativa dengan dua
subspecies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi
cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi lahan kering (gogo) dan padi
sawah yang memerlukan penggenangan. Varietas padi yang sering digunakan
dalam budidaya dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia salah satunya adalah
padi varietas IR-64. Varietas ini merupakan hasil persilangan antara padi IR 5657
dengan IR 2061 yang di introduksi oleh IRRI. Varietas ini berasal dari golongan
cere dengan deskripsi sebagai berikut; umur tanaman 110 sampai 120 hari, anakan
produktif sebanyak 20 sampai 35 batang, tahan kerontokan dan rebah, tahan hama
wereng coklat biotipe 1,2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3, agak tahan
penyakit hawar daun bakteri strain IV serta tahan virus kerdil rumput, dan baik
ditanam pada lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang (Suprihatno et al,
2010).
Pertumbuhan tanaman padi dibagi dalam tiga fase (De Datta, 1981) yaitu :
1. Fase vegetatif, yaitu meliputi awal pertumbuhan sampai pembentukan
malai. Pada fase ini terdapat empat tahap yaitu; tahap 0 saat benih
berkecambah sampai munculnya daun pertama muncul. Tahap 1 yaitu
tahap pertunasan; dimulai saat benih berkecambah sampai dengan sebelum
anakan pertama muncul. Selama tahap ini, daun dan sistem perakaran terus
berkembang dengan cepat. Tahap 2 yaitu tahap anakan; berlangsung sejak
muncul anakan pertama sampai pembentukan anakan maksimal tercapai.
Anakan terus berkembang sampai tanaman memasuki tahap pertumbuhan
berikutnya tahap 3 yaitu pemanjangan batang. Tahapan ini terjadi sebelum
pembentukan malai atau terjadi pada tahap akhir pembentukan anakan.
7
2. Fase reproduksi, yaitu fase pembentukan malai sampai pembungaan. Pada
fase ini terdapat tiga tahap, yang terdiri dari; tahap 4 yaitu pembentukan
malai sampai bunting yang ditandai dengan adanya proses inisiasi
primordial malai pada ujung tunas. Malai muda meningkat dalam ukuran
dan berkembang ke atas di dalam pelepah dan menyebabkan pelepah daun
menggembung, penggembungan daun bendera disebut bunting. Bunting
pertama terjadi pada ruas batang utama. Pada tahap bunting, ujung daun
layu (menjadi tua dan mati) dan anakan non produktif terlihat pada bagian
dasar tanaman. Tahap 5, yaitu tahap keluarnya malai yang ditandai dengan
kemunculan ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus
berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. Tahap 6, yaitu
tahap pembungaan dimulai ketika serbuk sari menonjol keluar dari bulir
dan terjadi proses pembuahan.
3.
Fase Pematangan, yaitu fase pembungaan sampai gabah matang. Pada fase
ini terdapat tiga tahap, yaitu; tahap 7 dimana pada tahap ini gabah mulai
terisi dengan cairan serupa susu atau disebut gabah matang susu. Malai
hijau dan mulai merunduk. Pelayuan (senescense) pada dasar anakan
berlanjut. Daun bendera dan dua daun di bawahnya tetap hijau. Tahap 8,
yaitu tahap gabah setengah matang. Isi gabah yang menyerupai susu
berubah menjadi gumpalan lunak dan akhirnya mengeras. Gabah pada
malai mulai menguning. Pertanaman kelihatan menguning. Seiring
menguningnya malai, ujung kedua daun terakhir pada setiap anakan mulai
mengering. Tahap 9; yaitu tahap gabah matang penuh. Setiap gabah
matang berkembang penuh, keras dan berwarna kuning. Daun bagian atas
mengering dengan cepat (daun dari sebagian varietas ada yang tetap hijau).
Sejumlah daun yang mati terakumulasi pada bagian dasar tanaman.
Di daerah tropis, fase reproduktif selama 35 hari dan fase pematangan
sekitar 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan ditentukan oleh perubahan panjang
waktu fase vegetatif.
8
2.3.
Silikon dalam Tanah dan Tanaman
Si merupakan unsur kedua terbanyak setelah oksigen (O) dalam kerak
bumi. Selain itu, Si juga merupakan unsur benefisial bagi tanaman. Porsi terbesar
Si tanah dijumpai dalam bentuk kuarsa atau kristal silikat (Buol et al., 1980 dalam
Yukamgo dan Yuwono, 2007).
Si dalam larutan tanah tersedia dalam bentuk asam monosilikat (Si(OH)4).
Peranan silikat utamanya pada tanaman padi yaitu meningkatkan kekuatan
jaringan tanaman; meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit
tanaman; meneguhkan jerami; meningkatkan ketegaran daun padi; mencegah
kerebahan sehingga daun efektif menangkap sinar matahari dan kemapuan
berfotosintesis pun meningkat; menghemat pemakaian air melalui pengendalian
transpirasi; serta meningkatkan kemampuan akar mengoksidasi lingkungan dan
mengurangi keracunan Fe dan Mn (Yoshida, 1981).
Tanaman padi menyerap Si dalam jumlah banyak dari sekitarnya, yaitu
setiap 100 kg gabah kering giling (GKG) terserap 2,1 kg N; 0,5 kg P; 3,3 kg K;
0,7 kg Ca; dan 20 kg SiO. Tanaman padi mendapatkan silikat dari berbagai
sumber antara lain air irigasi, jerami padi, kompos, dan pupuk silikat (Makarim et
al, 2007)
Di wilayah tropika basah seperti Indonesia, yang memiliki rata-rata curah
hujan dan suhu relatif tinggi. Potensi kehilangan Si dari tanah-tanah tropika bisa
mencapai 54,2 kg per ha setiap tahun. Berbeda dengan unsur hara lainnya,
kehilangan Si dari tanah jarang sekali dikompensasi melalui pemupukan.
Konsentrasi asam silikat (bentuk Si yang tersedia bagi tanaman) cenderung terus
berkurang pada lahan-lahan pertanian yang dibudidayakan secara intensif.
Degradasi kesuburan tanah akan terjadi seiring dengan penurunan kadar asam
silikat, terutama karena dua alasan. Pertama, berkurangnya asam silikat akan
diikuti dengan dekomposisi mineral Si (fenomena keseimbangan hara tanah),
dimana yang terakhir ini memiliki arti penting dalam mengontrol berbagai sifat
tanah. Kedua, penurunan asam silikat akan menurunkan ketahanan tanaman
9
terhadap hama dan penyakit. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga kesuburan
tanah pemupukan Si sebenarnya diperlukan (Yukamgo dan Yuwono, 2007).
Hampir semua tanaman mengandung Si, dalam kadar yang berbeda-beda
dan sering sangat tinggi. Pada tanaman padi misalnya, kadar Si sangat tinggi dan
melebihi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S). Walaupun Si tidak termasuk
hara yang penting pada tanaman, Si dapat menaikkan produksi karena Si mampu
memperbaiki sifat fisik tanaman salah satu contohnya yaitu batang padi menjadi
kokoh dan tak mudah roboh. Robohnya tanaman menyebabkan terganggunya
produktivitas padi sehingga produksi padi pun menurun. Dengan demikian,
pemupukan Si dianggap dapat menaikkan produksi tanaman (Roesmarkam dan
Yuwono, 2002).
2.4. Pemanfaatan Terak Baja dalam Bidang Pertanian
Terak baja merupakan limbah padat dari proses pembakaran besi dalam
produksi pembuatan baja. Terak baja terbentuk melalui reaksi antara biji besi dan
batu kapur yang ditambahkan. Penambahan batu kapur bertujuan untuk mengikat
bahan-bahan pengotor dari biji besi, agar diperoleh besi murni atau sudah terpisah
dari teraknya. Terak baja mengandung unsur- unsur seperti Ca, Mg, Si dan unsurunsur lainnya (Hadisaputra, 2011).
Berdasarkan proses pembuatan baja, terak baja atau steel slag
diklasifikasikan 1) Iron making slag (blast furnace slag), 2) steel making slag
(converter slag atau basic oxygen furnace, pre treatment centerslag, dan electric
furnace slag) (Suwarno dan Goto, 1999). Selanjutnya Suwarno dan Goto (1997),
menyatakan bahwa dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terak baja Indonesia
(electric furnace slag) mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 42% Fe2O3; 7,2
% Al2O3; 21,5% CaO; 11,2% MgO; 14,6% SiO2, dan 0,4% P2O5. Terak baja
Indonesia setiap tahunnya diproduksi sekitar 540.000 ton, tetapi belum ada yang
digunakan di bidang pertanian. Penggunaan terak baja dapat meningkatkan pH
tanah, Ca dan Mg dapat dipertukarkan, dan meningkatkan ketersediaan Si dalam
tanah.
10
Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun
1882/1883 di Jerman, kemudian di Inggris pada tahun 1884/1885 oleh Wrightson,
setelah itu berbagai penelitian terak baja telah dilakukan baik sebagai sumber Si
maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan meningkatkan keefisiensian
pemupukan (Farrar, 1962 dalam Allorerung, 1988).
Beberapa peneliti menduga pengaruh terak baja terhadap sifat kimia tanah
berasal dari silikat yang terkandung di dalam terak baja dan dengan demikian
terak baja dipandang sebagai sumber Si. Peneliti lain juga menganggap bahwa
terak sebagai bahan masukan yang dapat memperbaiki keadaan ketersedian hara
atau sebagai bahan yang mempunyai pengaruh mirip dengan kapur, disebabkan
kandungan Ca dari terak baja yang cukup tinggi (Ali dan Shahram, 2007).
Selain karena sifat terak baja sebagai amelioran tanah, terak baja dapat
digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi. Terbukti bahwa pemberian
electric furnace slag dapat meningkatkan produksi padi sawah IR 64 pada tanah
gambut sebesar 65-96 %. Meningkatnya produksi padi disebabkan oleh
kemampuan terak baja yang dapat bereaksi dengan tanah sehingga dapat
mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Pemberian terak baja meningkatkan pH
tanah, silikon, Cu tersedia, dan basa-basa (K, Ca, dan Mg) dapat dipertukarkan
(Hidayatuloh, 2006).
2.5. Dolomit Sebagai Bahan Pengapuran
Kapur banyak mengandung unsur Ca tetapi pemberian kapur ke dalam
tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan Ca melainkan karena tanah
terlalu masam. Sebetulnya ada beberapa jenis bahan pengapur yang dapat
digunakan yaitu kapur bakar (CaO), kapur hidrat (Ca(OH)2), kapur kalsit(CaCO3),
dan kapur dolomit (CaMg(CO3)2) (Hardjowigeno, 2003). Kalsit dan dolomit
adalah senyawa karbonat yang sering digunakan sebagai bahan pengapuran pada
tanah pertanian. Kedua senyawa ini mempunyai perbedaan dalam hal kecepatan
bereaksi, kalsit bereaksi lebih cepat dari dolomit (Soepardi, 1983). Namun, jika
kecepatan reaksi bukan merupakan pertimbangan dalam penggunaan bahan kapur,
dolomit dirasa lebih menguntungkan karena dalam dolomit terdapat unsur Mg.
11
Dolomit termasuk rumpun mineral karbonat, mineral dolomit secara
teoritis mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO dan 54,3% CaCO3 atau
30,4% CaO. Dolomit berasal dari bahan mineral alam yang mengandung unsur
hara magnesium dan kalsium berbentuk bubuk dengan rumus kimia CaMg(CO3)2.
Dolomit di alam jarang yang murni, karena umumnya mineral ini selalu terdapat
bersama-sama dengan batu gamping, kuarsa, batu api, pirit, dan lempung. Dalam
mineral dolomit terdapat juga pengotor, terutama ion besi. Dolomit berwarna
putih keabu-abuan atau kebiru-biruan dengan kekerasan lebih lunak dari batu
gamping, yaitu berkisar antara 3,50-4,00, bersifat pejal, berat jenis antara 2,802,90, berbutir halus hingga kasar dan mempunyai sifat mudah menyerap air serta
mudah dihancurkan. Dolomit lebih disukai karena banyak terdapat di alam (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, 2005).
Pada bidang pertanian dolomit ini digunakan sebagai bahan pengapuran
tanah masam
termasuk lahan gambut. Pengapuran pada lahan gambut dapat
memperbaki kesuburan tanah gambut, namun efek residunya tidak berlangsung
lama hanya 3-4 kali musim tanam, sehingga pengapuran harus dilakukan secara
periodik. Pengapuran selain dapat mengurangi kemasaman tanah juga
meningkatkan kandungan kation basa yaitu Ca dan Mg maupun kejenuhan basa
gambut. Pengapuran mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui dua cara yaitu
peningkatan ketersediaan unsur Ca, Mg, dan perbaikan ketersediaan unsur-unsur
lain yang ketersediaannya tergantung pH tanah. Dolomit merupakan salah satu
jenis kapur yang mengandung Ca dan Mg. Kedua unsur ini penting untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Untuk meningkatkan pH
tanah dari 3,3 menjadi 4,8 diperlukan kapur sebanyak 4,4 ton/ha (Driessen, 1978
dalam Nurhayati, 2008).
2.6. Permasalahan Logam Berat dalam Lingkungan
Logam berat adalah unsur kimia dengan bobot jenis lebis besar dari 5
g/cm³, memiliki afinitas yang tinggi dengan unsur S (Sulfur) dan biasanya
bernomor atom 22 sampai 92, dari periode 4 sampai 7 (Dewi dan Saeni, 1997).
Menurut Soepardi (1983), hingga batas tertentu logam berat sangat beracun bagi
manusia atau binatang. Kadmium (Cd) dan arsen (As) sangat beracun; air raksa
12
(Hg), timah (Sn), nikel (Ni), dan flour (F) mempunyai tingkat racun yang sedang;
dan boron (B), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn) mempunyai tingkat
racun terendah.
Berdasarkan PP No 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, terak baja termasuk dalam kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 yaitu sisa suatu usaha dan atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Terak baja memiliki kandungan yang berupa unsur-unsur logam berat
yaitu As, Cd, Cr, Pb, Hg, Zn, Cu, dan Mn yang dapat bersifat toksik dan
mencemarkan, karena hal itulah terak baja berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999
dikategorikan sebagai limbah B3. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh
Syihabuddin (2011) menunjukkan bahwa kandungan logam berat beracun pada
perlakuan terak baja sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada pada beberapa
perlakuan. Nilai kelarutan logam berat beracun lebih banyak terdapat pada
perlakuan pemupukan standar. Hal ini menunjukkan bahwa logam berat itu sendiri
sebenarnya sudah terdapat dalam tanah dan kelarutan logam berat semakin
menurun pada perlakuan slag karena peningkatan pH. Dengan pH tanah
dipertahankan agar tetap tinggi unsur-unsur tersebut menjadi kurang mobil dan
kurang tersedia.
Logam berat dapat masuk ke tubuh manusia melewati rantai pangan
pendek (hewan-manusia) atau lewat rantai pangan panjang (tanaman-hewanmanusia). Di samping melalui mulut dari makanan dan minuman, unsur logam
berat juga dapat masuk melalui pernafasan dan kulit. Pemakaian logam berat
sangat luas, seperti untuk pereaksi atau katalis dalam berbagai proses industri.
Bersamaan dengan produk industri, dihasilkan pula limbah yang tidak berguna,
bahkan dalam jumlah tertentu dapat membahayakan kehidupan manusia. Salah
satu zat dalam limbah adalah logam berat yang akan masuk ke lingkungan, seperti
sungai, danau, tanah, dan udara dan dapat mengalami magnifikasi biologis pada
13
tumbuhan dan hewan yang akan dikonsumsi manusia, sehingga mempengaruhi
kesehatannya (Dewi dan Saeni, 1997). Untuk batas maksimum logam berat pada
beras yang layak konsumsi sesuai dengan SNI 7387: tahun 2009, tentang batas
maksimum cemaran logam berat dalam pangan, yaitu:
Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Beras
Elemen Logam Berat
Batas Maksimum Cemaran
………… (mg/kg) …………
Pb
0,3
Cd
0,4
As
0,5
Sn
0,4
Hg
0,05
Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 2009
Logam berat termasuk zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat
diuraikan secara bilogis dan sifatnya yang stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari
tempatnya semula (Moewarni dan Siallagan, 1987 dalam Dewi dan Saeni, 1997).
Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno dan Salirwati (1993) yang menyatakan
bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat termasuk sebagai pencemar
yang berbahaya, yaitu: tidak dihancurkan oleh mikroorganisme yang hidup di
lingkungan dan terakumulasi dalam komponen-komponen lingkungan, terutama
air dengan membentuk kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara
adsorpsi dan kombinasi.
Download