bab i politik dan ilmu politik

advertisement
POLITIK DAN ILMU POLITIK
BAB
1
POLITIK, sebuah kata yang banyak mengandung makna, karena
politik tidak terlepas dari kehidupan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai warga negara. Sebagai bagian dari umat manusia, maka
baik secara sadar maupun tidak sadar tiap manusia pasti melakukan
kegiatan yang bersifat politik. Atas dasar itu, Aristoteles dalam bukunya
Politics (ditulis tahun 335 SM) dikatakan “secara alamiah manusia adalah
mahluk yang berpolitik”. Dalam bahasa latin atau yunani disebut “Zoon
Politicon” Yang dimaksudkan Aristoteles adalah bahwa politik merupakan
hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dua
orang atau lebih berinteraksi satu sama lain, maka mereka tidak lepas dari
keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik. Aristoteles melihat hal
ini sebagai kecenderungan alami dan tak dapat dihindarkan oleh manusia
dan hanya sedikit orang yang cenderung mengasingkan dirinya daripada
bekerja sama dengan orang lain.
1
Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni ”polis”
yang artinya ”negara-kota”. Antara abad XVI sampai abad XX, ”politik”
diartikan secara
lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang
dipahami orang-orang Yunani. Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof
politik Perancis memperkenalkan istilah
”ilmu politik” (Science
politique). Tetapi karena ia seorang pengacara, sorotannya mengenai ciriciri negara menyebabkan ilmu politik dihubungankan dengan organisasi
dari lembaga yang mempunyai sangkut paut dengan hukum. Pandangan
Jean Bodin ini kemudian diperkuat filosofis Prancis lainnya, Monetesquieu
(1969-1755) yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan
dapat dimasukkan dalam kategori legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Begitu luasnya cakupan politik, sehingga pendefenisian ilmu politik
disesuaikan dengan sudut pandang masing-masing ilmuwan. Sudut
pandang itu dilihat dari negara dan pemerintahan, perumusan dan
implementasi kebijakan, bagaimana memperolah dan mempertahankan
kekuasaan serta
ada yang melihat politik sebagai usaha-usaha warga
negara untuk mewujudkan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan luasnya ruang lingkup kajian politik, Peter H Odegard dan
David Easton menyebut ilmu politik sebagai ratunya ilmu-ilmu sosial (the
queen of social sciences) yang berkedudukan pada peringkat paling
atas diantara ilmu-ilmu sosial atau ilmu utama (the master science),
khususnya
diantara
kemanusian).
kelompok
ilmu
sosial
(kemasyarakatan
dan
Dari pandangan ini, nampak bahwa untuk ilmu politik
merupakan ilmu yang mempelajari aktivitas manusia sebagai individu
maupun warga negara yang memiliki kebebasan untuk menentukan masa
depannya.
Sejak awal hingga perkembangan yang terakhir, lima pandangan
mengenai politik. Kelima cara pandang dalam melihat politik tersebut
adalah :
2
1. Klasik
Aristoteles mengemukakan pandangan klasik melihat politik sebagai
suatu
asosiasi
warga
negara
yang
berfungsi
membicarakan
dan
menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut kebaikan bersama
seluruh anggota masyarakat. Filosof ini membedakan urusan-urusan yang
menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusanurusan yang menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat
(swasta). Pada hemat Aristoteles, urusan-urusan yang menyangkut
kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada urusanurusan yang menyangkut kepentingan swasta.
Menurut Aristoteles, manusia merupakan mahluk politik dan sudah
menjadi hakikat manusai untuk hidup dalam ”polis”. Hanya dalam Polis
itu manusia dapat memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di
sana urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan
dibicarakan dan diperdebatkan dan tindakan-tindakan untuk mewujudkan
kebaikan bersama akan diambil. Di luar Polis manusia dipandang sebagai
mahluk yang berderajat dibawah manusia seperti binatang ataukah
sebagai mahluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau
Tuhan.
Yang
menjadi
pertanyaan,
apakah
yang
dimaksud
dengan
kepentingan umum atau kebaikan bersama? Rumusa kepentingan umum
yang dikemukakan oleh para sarjana sangat bervariasi. Sebagian orang
mengatakan kepentingan umum merupakan tujuan-tujuan moral atau
nilai-nilai
ideal
yang
bersifat
abstrak
seperti
keadilan, kebajikan,
kbahagiaan dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan
umum sebagai keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan
general will (keinginan orang banyak atau kepentingan umum) dari will of
all (keinginan banyak orang atau kumpulan keinginan banyak orang).
Ilmuwan
politik
kontemporer,
Samuel
P.
Huntington
melukiskan
3
kepentingan umum secara singkat sebagai kepentingan pemerintah
karena
lembaga
pemerintahan
dibentuk
untuk
menyelenggarakan
kebaikan bersama.
Konsep politik menurut pandangan klasik, tampak sangat kabur.
Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam
menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam
masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari
pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada ”apa yang
seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis
dan ”dengan cara apa sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata
lain pandangan klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik) dari
pada aspek politik.
2. Kelembagaan
Pandang ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara
sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan
paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, politik
bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan
atau
persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara
maupun antarkelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara
merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang kongkret dan
dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang
digunakan untuk memaksakan ketaatan.
Berdasarkan pendapat Weber disimpulkan tiga aspek sebagai ciri
negara, yaitu :
1. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti
jabatan,peran dan lembaga-lembaga yang semuanya memiliki tugas
yang jelas batasnya yang bersifat kompleks, formal dan permanen.
4
2. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh negara.
Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang
final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai
hak untuk menegakkan putusan itu sendiri seperti menjatuhkan
hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini untuk
melaksanakan kewenangan maka negara menggunakan aparatnya
seperti
militer,
polisi,
jaksa,
hakim
dan
petugas
lembaga
pemasyarakatan.
3. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam
batas-batas wilayah negara tersebut.
3. Kekuasaan
Pandangan ketiga melihat politik sebagai kegiatan mecari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu
politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan dan
penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan. Robson
merupakan salah seorang yang mengembangkan pandangan tentang
kekuasaan ini. Menurutnya, ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan
perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain ataupun
menentang pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal
yang berkaitan dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakiki,
dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil kekuasaan.
4. Fungsioalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan
dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan
kelembagaan diatas, dewasa ini para ilmuwan politik dari kacamata
5
fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik
dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum.
Diantara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional
dalam mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Harlod Lasswell.
Easton merumuskan politik sebagai ”the authoritative allocation of values
for a society” atau alokasi nilai-nilai otoritatif, berdasarkan kewenangan
dan karena itu mengikat untuk semua masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkansebagai perilaku politik berupa
setiap
kegiatan
yang
menentang) proses
mempengaruhi
(mendukung,
mengubah,
pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam
masyarakat. Sementara itu Lasswel menyimpulkan proses politik sebagai
masalah ”Who gets, when, how” atau masalah siapa mendapat
apa,
kapan dan bagaimana. ”Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilainilai. ”Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan
siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. ”Bagaimana” berarti
dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.
Nilai yang dimaksudkan disini adalah sebagai hal-hal yang
diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman
upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat
abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan,
keamanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan dan nasionalisme.
Disamping bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret
seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi dan rekreasi.
5. Konflik
Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain sebagai upaya
6
untuk
mendapatkan
dan
atau
mempertahakan
nilai-nilai.
Dalam
memperjuangkan upaya itu seringkali terjadi perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara
berbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya mendapatkan
nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang
selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama
berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang
sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.
Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan
dan perebutan dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahakan nilainilai disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada
dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik
merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat termasuk dalam
proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam
setiap proses politik.
Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal itu
disebabakan, selain konflik, konsensus, kerjasama dan integrasi juga
terjadi dalam hampir semua proses politik. Perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan dan pertentangan untuk mendapatkan dan atau
mempertahakan nilai-nilai justru diselesaikan melalui proses dialog
sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat
kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian
dan penjatahan nilai-nilai. Oleh karena itu, keputusan politik merupakan
upaya untuk penyelesaian konflik politik.
A. Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu Politik masa kini telah berkembang dari berbagai bidang studi
yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hukum dan ekonomi. Ditinjau
dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal
7
bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan ilmu
lainnya, seperti ilmu ekonomi (yang mengalami kemajuan pesat seiring
dengan era “revolusi industri” pertengahan abad XVIII).
Lalu mengapa ada pakar ilmu politik yang menyebut ilmu politik
sebagai “ratu” ilmu-ilmu kemasyarakat ? Seperti halnya matematika
sebagai ratu ilmu-ilmu eksakta. Kemungkinan alasannya antara lain adalah
karena ilmu politik mempelajari serta memusatkan kajiannya pada hal
ikhwal yang menyangkut gejala-gejala (fenomena) paling hakiki dan
mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perjuangan untuk kekuasaan
(struggle of power), atau minimal perjuangan untuk hidup (stuggle of life)
di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Selain itu karena ilmu politik
mempelajari negara dan pemerintahan yang merupakan organisasi pada
peringkat tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bagi
manusia. (May Rudy, 2003).
Ilmu politik dapat kita katakan sebagai ilmu yang tertua, baik di
antara ilmu-ilmu sosial, maupun jika mencakup ilmu-ilmu eksakta. Ilmu
politik dalam bentuk awalnya yang paling sederhana yaitu praktek-praktek
politik telah dikenal dan dipelajari sejak 25 abad yang lalu. Sejak sekitar
500 tahun sebelum masehi, pada zaman yunani kuno ketika masyarakat
politik masih bersig polis atau politeia (negara kota, city-- state) didalam
bentuknya yang sangat sederhana. Sayangnya, ilmu politik agak lambat
dalam tahap-tahap perkembangannya
untuk menjadi disiplin ilmu
tersendiri.
Bahkan kata “ilmu politik” baru dikembangkan oleh Jean Bodin
(pertengahan abad XVI, tahun 1576), setelah Niccolo Machiavelli (awal
abad XVI, era “Renaissance”) melalui bukunya The Prince
merintis
pengkajian (limu) politik secara semi—ilmiah. Lalu sekitar akhir abad XVIII
muncul pemikir baru seperti Montesquiueu, J.J Rosseu dan Jhon Locke
(dalam “era pencerahan” atau “enligh—enment”. Hingga kemudian pada
8
awal abad XX baru menjadi perhatian lagi guna dikembangkan secara
ilmiah, sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu politik dilahirkan di Yunani
(dengan tokoh Plato, Aristoteles, Thuycidides) sekitar 4 – 5 abad sebelum
bermulanya tahun masehi, berlanjut pada zaman Romawi (dengan tokoh
Polybius dan Cicero). Lalu dibangkitkan kembali oleh Niccolo Machiavelli di
Italia (awal abad XVI), sebelum dibahas di Prancis (akhir abad XVI),
dimantapkan di Inggris dan Jerman (awal abad XIX). Sampai pada
akhirnya, diakui dan berkembang dengan pesat sebagai disiplin ilmu yang
mandiri di Amerika Serikat (awal abad XX).
Akan
tetapi
perkembangannya
sebagai
disiplin
ilmu
yang
dikembangkan secara mandiri barulah terwujud menjelang akhir abad XIX.
–Di Indonesia disiplin ilmu politik berkembang abad 13 M yang dibuktikan
dengan kitab Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi.
Miriam Budiardjo (Dasar-dasar Ilmu Politik, 2005:2-3) menulis
bahwa sesudah perang dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat.
Di Negara Belada, dimana sampai waktu itu penelitian mengenai negara
dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale en
Politieke Wetencshappen (sekarang namanya Faculteit des Sociale
Wetenschappen) pada tahun 1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun
didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau
Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) di
mana ilmu Politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh
karenan
pendidikan
tinggi
ilmu
hukum
sangat
maju,
tidaklah
mengherankan apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di
Indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini
konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsur mulai dikenal.
9
Pesatnya perkembanga ilmu politik sesudah perang Dunia II
tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa
badan internasional, terutama UNESCO. Terdorong oleh tidak adanya
keseragaman dalam terminologi dalam Ilmu Politik, UNESCO dalam tahun
1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik
dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari
Princeton University Amerika Serikat kemudian dibahas oleh beberapa ahli
dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Contemporary
Political Science (1948).
B. Defenisi Ilmu Politik
Politik berlangsung pada lingkungan yang disebut “Sistem Politik” .
Demikian pula, ilmu politik adalah ilmu untuk diterapkan dalam
menganalisis interaksi dalam sistem politik. Kegunaannya adalah untuk
memahami apa yang terjadi, hal-hal apa atau faktor apa saja yang
mempengaruhinya, sampai pada predikat tentang apa yang akan terjadi
sebagai kelanjutannya.
Menurut May Rudy (Pengantar Ilmu Politik, 2003:10) Ilmu politik
dalam arti sempit, menyangkut negara dan pemerintahan tapi ilmu politik
dalam arti luas mencakup sekitar lima macam objek, sasaran atau pusat
perhatian yaitu :
1. Negara (the state)
2. Pemerintahan (government)
3. Kekuasaan dan kewenangan (power and authority)
4. Kelembagaan masyarakat (organization of society)
5. Kegiatan dan tingkah laku politik (political activity and behavior)
Keanekaragaman objek ilmu politik ini, terlihat dari defenisi-defenisi
ilmu Politik yang saling berbeda, tergantung pada sudut pandang orang
10
yang merumuskan defenisi tersebut. Dibawah ini beberapa kutipan
tentang defenisi ilmu politik.
Miriam Budiardjo (Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2005:9-13) Defenisi
ilmu politik hingga saat ini menurut para ahli belum bisa disatukan dalam
satu defenisi. Hal ini lebih disebabkan adanya cara pandang/sudut
pandang para ahli politik tersebut yang berbeda-beda. Perbedaan itu
menurut, dapat dibedakan dalam beberapa konsep yang meliputi :
1. negara (state)
2. kekuasaan (power)
3. pengambilan keputusan (dicision making)
4. kebijaksanaan (policy, beleid)
5. pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
a. Negara (state)
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Menurut Roger F. Soltau, “Ilmu Politik adalah mempelajari negara,
tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan itu, hubungan antara negara dan warga negaranya serta
dengan negara-negara lain.”
J. Barents, dalam ilmu politika: Ilmu politik adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan
tugas-tugasnya.
b. Kekusaan (Power)
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau sekelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku.
11
Harold D. Lasswell dan A. Kaplan, “Ilmu politik adalah mempelajari
pembentukan dan pembagian kekuasaan.”
Deliar Noer, mengatakan “Ilmu politik adalah memusatkan perhatian
pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.”
c. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif.
Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy :
“Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.”
Karl. W Deutsch, mengatakan
bahwa : “Politik adalah pengambilan
keputusan melalui sarana umum.”
d. Kebijaksanaan (Policy)
Menurut Haoogerwerf, kebijaksanaan umum adalah membangun
masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.
David Elton, “Ilmu Politik adalah studi mengenai terbentuknya
kebijaksanaan umum.”
e. Pembagian (Distribution)
Pembagian adalah pembangian atau penjatahan dari nilai-nilai dalam
masyarakat.
Berdasarkan defenisi beberapa para ahli di atas, secara umum Ilmu
politik memiliki kajian yang lebih luas. Dimulai bagaimana kelompok
mengorganisir
diri
dan
membentuk
sebuah
negara,
bagaimana
masyarakat mendapatkan kekuasaan, merumuskan kebijakan politik,
hubungan
antara
lembaga-lembaga
kekuasaan.
Jadi
penulis
mendefenisikan “ilmu politik adalah yang mempelajari Negara (mulai dari
proses pembentukannya), hubungan lembaga-lembaga negara dalam
menjalankan kekuasaanya serta bagaimana suatu kebijakan publik
diputuskan”.
12
C. Ruang Lingkup Ilmu Politik
Wajar bila pendefenisian ilmu politik berbeda-beda. Karena kajian
ilmu politik sangat luas sehingga dalam pendefenisiannya pun masingmasing melihat dari sudut pandang berbeda. Tapi yang pasti, ilmu politik
kajiannya begitu luas sehingga beragam pendapat tentang bidang
telaahan ilmu politik. UNESCO merumuskan ke dalam 4 (empat) bidang
utama dengan 15 (limabelas) , yaitu :
I.
Teori Politik
1. Teori-teori Politik
2. Sejarah Pemikiran Politik
II.
Lembaga-lembaga Politik
1. Undang-undang Dasar
2. Pemerintahan Nasional
3. Pemerintahan Daerah
4. Administrasi Negara
5. Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Ekonomi oleh Pemerintah
6. Perbandingan Pemerintahan dan Lembaga-lembaga Politik
III.
Partai Politik dan Pendapat Umum
1. Partai-partai Politik
2. Kelompok Kepentingan dan Kelompok Pendesak
3. Partisipasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Pemerintahan
4. Pendapat Umum (Opini Publik)
IV.
Hubungan Internasional
1. Politik Internasional
2. Administrasi dan Organisasi Internasional
3. Hukum Internasional (Lihat Robson (Rapporteur), The
University Teaching of Social Science, UNESCO, Paris 1954,
13
hlm 183; dan UNESCO, Comtemprary Political Science, Paris,
1950 hlm 4).
Joseph S. Roucek (dalam Introduction to Political Science, 1950. Ne York;
ThomasY. Crowell Co; hlm 18-19) dalam buku May Rudy Pengantart Ilmu
Politik,2003:25)) membagi ilmu politik ke dalam lima cabang, yaitu :
1. Teori Politik
2. Hukum Kewarganegaraan dan Ketatanegaraan
3. Kekuatan-kekuatan Politik
4. Hubungan Internasional
Politik sudah lama diakui sebagai disiplin ilmu pengetahuan sosial
yang berdiri sendiri. Salah satu persyaratan untuk dapat disebut sebagai
disiplin ilmu adalah adanya obyek. Obyek formal politik adalah kekuasaan,
sedangkan obyek formal ilmu pemerintahan adalah hubungan-hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah. Sementara obyek formal
ilmu negara adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan pertumbuhan
, perkembangan, sifat, hakikat dan bentuk-bentuk negara yang meliputi
pengkajian konstitusi, lembaga tertinggi negara, penduduk dan wilayah.
Obyek materi ilmu negara sama dengan obyek materi ilmu politik,
pemerintahan, administrasi negara dan hukum tata negara yaitu negara.
Obyek materi yang dimaksudkan disini adalah persoalan pokok dan obyek
formal adalah pusat perhatian.
Inu Kencana (2000:28), perbedaan obyek materi dan obyek formal
ilmu-ilmu kenegaraan tersebut dapat dapat dilihat dalam tabel berikut :
Objek Materi dan Formal Ilmu-Ilmu Kenegaraan
No
Nama Disiplin Ilmu
Obyek
Pengetahuan
Materi
Obyek Formal
14
1.
Ilmu Politik
Negara
Kekuasaan, kekuatan
kelompok elit,
keresahan masyarakat
dan interest group
2.
Ilmu Pemerintahan
Negara
Hubungan-hubungan
pemerintahan, gejalagejala pemerintahan,
peristiwa-peristiwa
pemerintahan
3.
Ilmu Negara
Negara
Pertumbuhkembangan
negara, sifat dan hakikat
negara, bentuk dan teori
negara
4.
Ilmu Hukum Tata
Negara
Negara
Peraturan-peraturan,
undang-undang,
konvensi, konstitusi,
yurispuredensi,
keputusan-keputusan
serta hukum-hukum
lainnya.
5.
Ilmu Administrasi
Negara
Negara
Administrasi,
ketatausahaan,
pelayanan, manajemen,
pengelolaan,
pengawasan serta
koordinasi
15
16
Download