17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

advertisement
 BAB II
KAJIAN TEORI
Untuk menggambarkan kondisi permasalahan terkait tindakan atau
kebijakan penataan usaha toko modern berjejaring berbentuk minimarket yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta diperlukan beberapa pemahaman
konsep tentang kebijakan publik, otonomi daerah, peraturan daerah serta
pemahaman tentang waralaba minimarket. Untuk itulah pada bab ini akan dibahas
beberapa konsep tersebut guna memperoleh gambaran yang jelas mengenai
permasalahan penelitian.
A. Konsep Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik sering kita dengar dalam kehidupan seharihari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam mata kuliah ilmu
politik. Budi Winarno dan Solichin Abdul Wahab sebagaimana yang dikutip
Suharno (2010:11) sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaannya
sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals)
program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal
dan grand design.
Edi Suharto sebagaimana dikutip Suharno (2010:12), mengemukakan
bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Keneth Prewitt
17
yang dikutip Charles O. Jones dalam Suharno (2010:12), kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten
dan berulang baik dari yang membuatnya maupun menaatinya yang terkena
kebijakan itu” (a standing decision characterized by behavioral consistency
and repetitiveness on the part of both those who make it and those who
make it and those who abide it).
Knoepfel dan kawan-kawan sebagaimana dikutip Wahab (2012:10)
mengartikan kebijakan sebagai:
“a series of decisions or activities resulting from structured and
recurrent interactions between different actors, both public and
private, who are involved in various different ways in the emergence,
identification and resolution of a problem defined politically as a
public one” (serangkaian keputusan atau tindakan-tindakan sebagai
akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor
baik publik/pemerintah maupun privat/swasta yang terlibat berbagai
cara dalam merespon, mengidentifikasikan dan memecahkan suatu
masalah yang secara politis didefinisikan sebagai masalah publik).
Seorang pakar ilmu politik, Richard Rose sebagaimana dikutip
Winarno (2007:17) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami
sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai suatu keputusan tersendiri”. Definisi tersebut bersifat ambigu,
namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Carl Friedrich sebagaimana yang dikutip Suharno (2012:13),
kebijakan dipandang sebagai:
“ suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok,
ataupun pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
18
memberikan pelbagai hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan
yang diusulkan, lantas menggunakan kebijakan tersebut untuk
mengatasi segala bentuk persoalan demi mencapai tujuan yang
dimaksud”.
Definisi ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya
dipahami sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga oleh
kelompok maupun individu.
Berkenaan dengan definisi kebijakan tersebut, Winarno (2007:18)
mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan tetap harus
mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada
apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal
ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula
tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi kebijakan yang hanya
menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Oleh karena itu, definisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat
bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan
dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Berdasarkan pada
pertimbangan ini, maka definisi kebijakan publik yang ditawarkan James
Anderson menurut Winarno lebih tepat dibandingkan dengan definisidefinisi kebijakan publik yang lain.
Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini
menurut Winarno (2007:18) dianggap tepat karena memusatkan pada apa
yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau di
19
maksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari
keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa
kebijakan
pada
hakikatnya
adalah
tindakan-tindakan
yang
didalamnya terdapat unsur keputusan yang mengandung upaya pemilihan
diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan
tertentu.
Robert Eyestone mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik
dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit dengan lingkungannya”.
Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat
luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik
dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan
oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah
“apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.
Batasan Dye tersebut tidak cukup memberi perbedaan yang jelas antara apa
yang diputuskan oleh pemerintah (Winarno, 2007: 17).
Pakar Inggris, W.I. Jenkins sebagaimana dikutip Wahab (2012:15)
merumuskan kebijakan publik sebagai:
“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of
actors concerning the selection of goals and the means of achieving
them within a specified situation where these decisions should, in
principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang actor
politik atau seelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah
dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi.
Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batasbatas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
20
Dari beberapa pendapat tentang kebijakan publik diatas, definisi
James E. Anderson, yang diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan
ataupun dirumuskan instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah, oleh
Sholichin Abdul Wahab dan Budi Winarno dianggap lebih tepat dibanding
definisi lainnya. Dalam kaitan ini, aktor-aktor bukan pemerintah (swasta)
tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan
publik.
Suharno (2010: 21) mengemukakan, dengan mengikuti pandangan
Anderson, kebijakan publik diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan
atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah.
Dalam kaitan dengan hal ini, aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta
tentunya dapat memengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan
publik.
Berdasarkan berbagai pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian “tindakan” (nyata atau bukan suatu
kehendak) yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang
berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik
atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya
tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan
yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan
memaksa.
2. Proses Kebijakan Publik
21
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktifitas politik tersebut tampak dalam serangkaian kegiatan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Sedangkan
aktivitas
perumusan
masalah,
forecasting,
rekomendasi
kebijakan
monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat
intelektual (Suharno, 2010: 32).
Michael Howlet dan M. Ramesh, sebagaimana dikutip Subarsono
dalam Suharno (2010, 37) menyatakan, proses kebijakan publik terdiri dari
lima tahapan sebagai berikut:
a.
Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu proses agar suatu masalah
bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
b.
Formulasi kebijakan (policy formulation), yaitu proses perumusan
pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
c.
Pembuatan kebijakan (decicion making), yaitu proses ketika pemerintah
memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu
tindakan.
d.
Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
e.
Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yaitu proses untuk memonitor
dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
William N. Dunn mengemukakan proses kebijakan publik seperti
tabel berikut:
22
Tabel 1. Proses Kebijakan Publik
Fase
Penyusunan
Agenda
Karakteristik
Para pejabat yang dipilih dan
diangkat mendapatkan masalah
pada agenda publik. Banyak
masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama.
Formulasi
Kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif
kebijakan
untuk
mengatasi
masalah.
Alternatif
kebijakan
melihat perlunya membuat perintah
eksekutif, keputusan peradilan dan
tindakan legislatif.
Adopsi
Kebijakan
Alternatif kebijakan yang diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas
legislatif,
konsensus
diantara
direktur lembaga atau keputusan
peradilan.
Implementasi
Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan
oleh
unit-unit
administrasi yang memobilisasikan
sumber daya finansial dan manusia.
Penilaian
Kebijakan
Unit-unit
pemeriksaan
dan
akuntansi dalam pemerintahan
menentukan apakah badan-badan
eksekutif, legislatif dan peradilan
undang-undang dalam pembuatan
kebijakan dan pencapaian tujuan.
Sumber: Suharno (2010: 33)
23
Ilustrasi
Legislator negara dan cosponsornya
menyiapkan
rencana
undang-undang
mengirimkan ke Komisi
Kesehatan dan Kesejahteraan
untuk
dipelajari
dan
disetujui. Atau rancangan
berhenti di komite dan tidak
terpilih.
Peradilan negara bagian
memperingatkan pelarangan
penggunaan tes kemampuan
standar seperti SAT dengan
alasan bahwa tes tersebut
cenderung bias terhadap
perempuan dan minoritas.
Dalam keputusan Mahkamah
Agung pada kasus Roe. V.
Wade tercapai keputusan
mayoritas bahwa wanita
mempunyai
hak
untuk
mengakhiri
kehamilan
melalui aborsi.
Bagian
keuangan
kota
mengangkat pegawai untuk
mendukung peraturan baru
tentang penarikan pajak
kepada rumah sakit yang
tidak lagi memiliki status
pengecualian pajak.
Kantor akuntansi publik
memantau program-program
kesejahteraan sosial seperti
bantuan
untuk
keluarga
dengan tanggungan (AFDC)
untuk menentukan luasnya
penyimpangan/korupsi.
Tebel tersebut menunjukkan tahap-tahap proses kebijakan publik dan
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap penyusunan agenda
Masalah yang ada ditempatkan pada agenda publik oleh para pejabat yang
dipilih. Beberapa masalah tersebut kemudian masuk ke agenda kebiajakan
pada perumus kebijakan. Suatu masalah munkuin tidak disentuh sama
sekali dan beberapa yang lain pembahsan untuk maslaah tersebut ditunda
untuk waktu yang lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Pada tahap ini, masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh pembuat kebijaakan dan dicari pemecahan masalah yag
terbaik yang berasl dari berbagai alternatif yang ada.
3. Tahap adopsi kebijakan
Dari berbagai alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau
keputusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan
masalah harus diimplementasikan, yaitu dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada tahap
24
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun
beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Tahap penilaian kebijakan
Kebijakan yang telah dijalankan kemudian akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu
memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah
yang dihadapi msyarakat, kemudian ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
Dalam pandangan Ripley (dalam Subarsono) sebagaimana dikutip
Suharno (2007: 34), Tahapan proses kebijakan publik dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Tahapan Penyusunan Agenda Kebijakan
a. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena
benar-benar dianggap sebagai masalah.
b. Membuat batasan masalah.
c. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam
agenda pemerintah. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara
mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan
kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa, dan
sebagainya.
25
2. Tahap Formulasi dan Legitimasi Kebijakan
Pada tahap ini perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang
berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha
mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan
melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.
3. Tahap Implementasi Kebijakan
Pada tahap ini perlu memperoleh dukungan sumber daya, dan
penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi
sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi kebijakan
tersebut berjalan dengan baik.
4. Tahap Evaluasi Terhadap Implementasi, Kinerja dan Dampak Kebijakan
Implementasi kebijakan akan menghasilkan kinerja dan dampak
kebijakan, yang memerlukan proses berikutnya yakni evaluasi. Hasil
evaluasi tersebut berguna bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan
datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan berhasil.
Pakar
kebijakan
publik,
James
Anderson
(Suharno,2010:36)
menetapkan proses kebijakan sebagai berikut:
a.
Formulasi masalah (problem formulation)
Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah
kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda
pemerintah?
b.
Formulasi kebijakan (formulation)
26
Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alteratif-alternatif
untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi
dalam formulasi kebijakan?
c.
Penentuan kebijakan (adaption)
Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa
yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan?
Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi
dari kebijakan yang telah ditetapkan?
d.
Implementasi (implementation)
Siapa yang terlibat dalam dalam implementasi kebijakan? Apa yang
mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?
e.
Evaluasi (evaluation)
Bagaimana tingkat atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang
mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari evaluasi kebijakan?
Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?.
3. Wujud Kebijakan di Suatu Negara
Wujud kebijakan di suatu negara dapat berupa peraturan negara, yang
dimaksud dengan peraturan negara (staatsregelings) adalah peraturanperaturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam
pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan
yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
27
Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat
Keputusan, dan lain-lain.
Peraturan negara (staatsregelings) atau disebut dengan keputusan
dalam arti luas (besluiten). Keputusan dalam arti luas (besluiten) dapat
dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yakni:
(1)
Wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan), seperti UUD,
undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri lain-lain;
(2)
Beleidsregels (peraturan kebijakan), seperti instruksi, surat edaran,
pengumuman dan lain-lain;
(3)
Beschikking (penetapan), seperti surat keputusan dan lain-lain
B. Konsep Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem
dekonsentrasi ke sistem desentralisasi.
28
Otonomi merupakan penyerahan urusan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi
pemerintahan. Tujuan dari otonomi yaitu mencapai efisiensi dan efektivitas
dalam pelayanan kepada masyarakat. Tujuan penyerahan urusan tersebut
antara lain; menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang,
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian
daerah, serta meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan
(Widjaja, 2007: 76).
Otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud
pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit,
definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu: adanya pemberian
tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta
kewenangan untuk melaksanakannya, dan adanya pemberian kepercayaan
berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai
penyelesaian tugas itu. Dari batasan pengertian otonomi daerah tersebut,
dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari
pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang
menjadi satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara
Kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan negara yang
mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan
daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan kegiatan pemerintahan serta
kebijakan dan kegiatan pembangunan di daerah dilaksanakan menurut arah
29
kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan negara tersebut. Pelaksanaan
otonomi daerah itu tentu saja bukan sekedar membincangkan mekanisme
bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan policy kepada prosedur rutin dan
teknik, melainkan lebih jauh daripada itu, melibatkan berbagai faktor mulai
dari faktor sumber daya, hubungan antar unit organisasi, tingkat-tingkat
birokrasi sampai kepada golongan politik tertentu yang mungkin tidak
menyetujui policy yang sudah ditetapkan. Dalam konteks ini, Grindle
(Koswara, 1999 : 106) mengatakan :
“Attempts to explain this divergence have led to the realization that
implementation, even when successful, involves far more than a
mechanical translation of goals into routine procedures; it involves
fundamental questions about conflict, decision making, and who gets
what in a society”.
Dengan
demikian,
keberhasilan
atau
kegagalan
implementasi
kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam
meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang telah
dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi
kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan
antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan
kebijakan.
Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan ke arah desentralisasi
dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab
kepada daerah perubahan paradigma tersebut juga merupakan kesempatan
yang penting bagi Pemerintah Daerah untuk membuktikan kesanggupannya
30
dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan lokal sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini perlu diantisipasi, agar
kinerja Pernerintah Daerah dapat meningkat secara signifikan dalam
mengurus rumah tangga daerah dan pelayanan kepada masyarakat melalui
peningkatan kapasitas Perangkat Daerah dan DPRD (Widjaja, 2007: 76-78).
Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara
desentralisasi menjadi daerah otonom. Daerah tersebut disebut daerah
otonom
karena
penduduknya
berhak
mengatur
dan
mengurus
kepentingannya berdasarkan prakarsanya sendiri. Maksudnya, daerah
tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
rumah tangganya yang diperbolehkan oleh Undang-undang tanpa mendapat
campur tangan langsung dan pernerintah pusat. Dalam hal ini, posisi
pemerintah pusat hanya mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan agar
penyelenggaraan otonominya tetap dalam koridor peraturan perundangundangan
yang
ditetapkan.
(http://www.anneahira.com/kebijakan-
publik.htm)
2. Asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan
Dengan berkembangnya kepentingan dari pemerintah pusat, maka
demi kebaikan dan kelancaran serta efektifitas dari pemerintah diadakan
pelimpahan kewenangan-kewenangan pada instansi di daerah-daerah yang
berada jauh dari Pemerintahan Pusat, yang dapat berupa asas dekonsentrasi,
asas desentralisasi dan asas medebewind atau tugas bantauan. Ini merupakan
31
pelaksanaan tugas pemerintah berdasar sendi wilayah yang berarti membagi
wilayah negara dalam beberapa daerah kemudian menerapkan sendi-sendi
seperti sendi desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai wujud pembagian
tugas pemerintah pusat dan daerah, selain sendi-sendi tersebut pemerintah
pusat juga menggunakan asas medebewind atau tugas pembantuan dalam
mempelancar tugas pemerintahan di daerah-daerah.
Adapun penjelasan dari masing- masing asas-asas tersebut di atas
adalah sebagai berikut :
1. Asas Dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal
tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah. Ciri-ciri dari asas ini
adalah sebgai berikut:
a. Bentuk pemencaran adalah pelimpahan
b.
Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perseorangan)
d.
Yang dipencar (bukan urusan pemerintah) tetapi wewenang untuk
melaksanakan sesuatu.
d.
Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan
kepada kepala daerah otonom menurut asas desentralisasi ini merupakan
salah satu yang membedakan antara asas desentralisasi dengan asas
dekonsentrasi. Menurut asas dekonsentrasi maka segala urusan yang
32
dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabatnya didaerah tetap
menjadi tanggung jawab daeri pemerintah pusat yang meliputi :
a. Kebijaksanaan
b.
Perencanaan
c. Pelaksanaan
d.
Pembiyaan
e. Perangkat pelaksanaan.
Berbeda dengan asas desentralisasi yaitu pelaksanaan pemerintahan
dilaksanakan oleh rumah tangga daerah otonom sepenuhnya, sehingga
penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan pusat dilaksanakan oleh
daerah sepenuhnya sebagai bentuk urusan rumah tangga daerah tersebut.
Adapun unsur pelaksanaannya adalah segala instansi vertikal yang ada di
daerah yang dikoordinir oleh kepala wilayah sebagai alat/ aparat
dekonsentrasi. Dalam hal koordinasi ini, kepala wilayah tidak boleh
membuat kebijakan (policy) sendiri, karena kebijaksanaan terhadap
pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh
pemerintah pusat. Pelaksanaan asas dekonsentrasi ini melahirkan
pemerintahan lokal administratif.
Daerah administratif meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan
kecamatan. Pemerintahan administratif diberi tugas atau wewenang
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di
daerah. Ditinjau dari wilayah pembagian negara, asas dekonsentrasi
adalah asas yang akan membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah
33
pemerintahan lokal administratif. Jadi asas dekonsentrasi dapat
dilaksanakan jika terdapat organ bawahan yang secara organisator dan
hierarki berkedudukan sebagai bawahan secara langsung dapat
dikomando dari atas. Oleh karena itu dalam sistem ini tidak diperlukan
adanya badan perwakilan rakyat daerah, yang menampung suatu rakyat
daerah yang bersangkutan, sebab segala kebutuhanya, diurus oleh
pemerintah
pusat
atau
atasannya.
(http://dholmind.blogspot.com/2011/11/asas-desentralisasidekonsentrasidan.html)
2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah yang menjadi
urusan rumah tangganya. Ditinjau dari segi pemberian wewenangnya
asas desentralisasi adalah asas yang akan memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan menangani urusan- urusan
tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Sentralisasi dan desentralisasi mempunyai kelebihan dan kelebihan
masing-masing. Ini berarti bahwa kekurangan sentralisasi adalah
kelebihan
dari
desentralisasi.
Kelebihan
desentralisasi adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan Sentralisasi
34
dari
sentralisasi
dan
1) kekuasaan dan prestige memperlengkap kekuasaan eksekutif
kepala;
2) keseragaman kebijaksanaan, praktek dan keputusan terpelihara;
3) penggunaan
secara
penuh
ahli-ahli
pada
kantor
pusat
ditingkatkan, sebagian besar karena mereka dekat kepada tahap
manajemen teratas;
4) ahli-ahli berkualiatas tinggi dapat dipergunakan, karena ruang
lingkup dan banyaknya pekerjaan mereka adalah cukup untuk
membantu manager;
5) fungsi rangkap dapat ditekan sampai minimum;
6) bahaya yang timbul dari tingkah laku dapat dikurangi;
7) prosedur dan tingkat kontrol yang teliti dan besar biaya tidak
diperlukan.
8) dapat dikembangkan kelompok manajemen yang terkooordinasi
tepat.
b.
Kelebihan Desentralisasi
1) Struktur organisasi yang didesentralisasi berbobot pendelegasian
wewenang yang memperingan beban managemen teratas;
2)
Lebih berkembang generalis daripada spesialis dan dengan
demikian membuka kedudukan untuk manager umum;
3) Hubungan dan kaitan yang akrab dapat ditingkatkan yang
mengakibatkan gairah kerja dan koordinasi yang baik;
35
4) Kebiasaan dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap
untuk dipergunakan;
5) Efisiensi dapat ditingkatkan sepanjang struktur dapat diandang
sebagai suatu kebulatan sedemikian rupa sehingga kesuliatan
dapat dilokalisasi dan dapat dipecahkan dengan mudah;
6) Bagi perusahaan yang besar dan tersebar diberbagai tempat,
dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya dari keadaan tempat
masing-masing;
7) Rencana dapat dicoba dalam tahap eksperimen pada suatu
perusahaan, dapat diubah dan dibuktikan sebelum diterapkan
pada bagian lain yang sejenis dari bagian usahanya yang sama;
8) Resiko yang mencakup kerugian, kepegawaiaan, fasilitas dan
perusahaan dapat terbagi.
Asas desentralisasi dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai
berikut :
1)
Desentralisasi Jabatan yaitu berupa pemencaran kekuasaan dari atas
kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan
dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja.
2)
Desentralisasi Kenegaraan yaitu berupa penyerahan kekuasaan
yang mengatur daerah dalam lingkunganya sebagai usaha untuk
mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.
Di
dalam
desentralisasi
pemencaran
berarti
pelimpahan,
penyerahan atau kerja lain yang mengandung gerak jauh dari tempat asal
36
(pusat). Kemudian yang membedakan antra desentralisasi dengan
dekonsentrasi adalah bahwa desentralisasi terdapat :
1) Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;
2) Pemencaran terjadi kepada daerah ( bukan perorangan)
3) Yang dipemencarkan adalah urusan pemerintah;
4) Urusan pemerintah yang dipencarkan menjadi urusan rumah tangga
daerah sendiri.
Sehingganya dalam hal ini inisiatif pemerintahan diserahkan
kepada daerah otonom, yang meliputi :
1.
Kebijaksanaan;
2.
Perencanaan;
3.
Pelaksanaan;
4.
Pembiayaan;
5.
Perangkat pelaksanaan. (http://dholmind.blogspot.com/2011/11/asasdesentralisasidekonsentrasi-dan.html)
3. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan)
Asas tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah
daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan
kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Istilah
medebewind berasal dari kata mede berarti turut serta dan bewind berarti
37
berkuasa, memerintah. Medebewind ini disebut juga serta tantra atau
tugas pembantuan.
Atas dasar dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan
perangkat pemerintah pusat yang berada di daerah dan juga ditinjau dari
daya guna dan hasil guna, adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan,
apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan
sendiri oleh perangkatnya yang berada di daerah, karena itu akan
membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar jumlahnya. Melihat
sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dilaksanakan dengan baik, tanpa
ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan.
Daerah otonom dapat diserahi untuk menjalankan tugas-tugas
pembantuan atau asas medebewind, tugas pembantuan dalam hal ini
tugas pembantuan dalam pemerintahan, ialah tugas untuk ikut
melaksanakan peraturan-peraturan perundangan, bukan saja yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat, tetapi juga yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah atau pemerintah lokal yang mengurus rumah
tangganya sendiri dari tingkat atasnya.
Asas medebewind termasuk dalam asas desentralisasi dan
desentralisasi itu mempunyai dua wajah yaitu : otonomi dan medebewind
atau disebut Zelfbestur. Dengan pengertian otonomi adalah bebas
bertindak, dan bukan diperintah dari atas, melainkan semata-mata atas
kehendak dan inisiatif sendiri, guna kepentingan daerah itu sendiri.
Sedangkan pengertian medebewind atau tugas pembantuan adalah disebut
38
sebagai wajah kedua dari desentralisasi adalah bahwa penyelenggaraan
kepentingan atau urusan tersebut sebenarnya oleh pemerintah pusat tetapi
daerah otonom diikutsertakan.
Tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah dan atau desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, prasarana dan sarana serta sumber daya manusia
dengan
kewajiban
melaporkan
memepertanggungjawabkannya
kepada
pelaksanaannya
yang
menugaskan.
dan
Tugas
pembantuan tersebut dibiayai beban Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (Widjaja, 2007: 167-168).
C. Konsep tentang Pasar Tradisional dan Pasar Modern
1. Pengertian Pasar Tradisional
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pasal
1, disebutkan bahwa pengertian pasar adalah area tempat jual beli barang
dengan jumlah penjual lebih dari satu, baik yang disebut sebagai pusat
perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan
maupun sebutan lainnya.
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN, BUMD termasuk
kerjasama antara swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan
tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya
39
masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan
dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.
Kebanyakan menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti bahanbahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kue, kain,
pakaian, barang elektronik, jasa, dan lain-lain.
2. Pengertian Pasar Modern
Pasar Modern adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli,
namun penjual dan pembeli tidak melakukan transaksi secara langsung
melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang
(barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri (swalayan) atau oleh pramuniaga. Barang yang dijual hampir
sama dengan pasar tradisional, namun dibungkus dalam kemasan yang
menarik dan bersih serta sebagian besar berupa barang tahan lama.
(http://e-journal.uajy.ac.id/2937/2/1HK09378.pdf)
D. Konsep tentang Waralaba Minimarket
Dalam bahasa Inggris, waralaba sama artinya dengan franchise.
Sedangkan kata franchise berasal dari bahasa Perancis yang berarti kejujuran,
kebebasan atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude).
Bila dikaitkan dengan usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh
seseorang untuk menjalankan usaha sendiri yaitu suatu usaha tertentu di
wilayah tertentu yang diperoleh dari franchisor (Hakim, 2008: 14).
40
Dalam konteks Indonesia, bisnis franchise dikenal dengan waralaba.
Padanan kata ini pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan
Pembinaan Manajemen (LPPM). Waralaba adalah gabungan dari dua kata,
yaitu”wara” berarti lebih atau istimewa dan “laba” berarti untung. Maka
waralaba dimaknai sebagai usaha memberikan keuntungan yang lebih atau
istimewa, yang sistemnya berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang
sudah ada (Hakim, 2008: 16).
Kata franchise pertama kali digunakan pada tahun 1851 oleh Isaac
Singer, seorang seniman dan pengusaha dari Amerika Serikat. Ia mendirikan
perusahaan Mesin Jahit Singer, dimana perusahaan tersebut bukan perusahaan
besar, sehingga ketika Singer ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin
jahitnya, ia mengguanakan pola distribusi dan pemasaran yang terbilang baru
pada masa itu. Pola tersebut deperkenalkan Singer dengan istilah franchise
(waralaba). Sedangkan perkembangan waralaba di Indonesia dimulai pada
tahin 1950-an
dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui
pembelian lisensi. Kemudian pada tahun 1970-an waralaba di Indonesia
berkembang pesat, dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu
ketika franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, tetapi juga memiliki hak
untuk memproduksi produknya.
Waralaba melibatkan suatu kewajiaban untuk menggunakan suatu sistem
dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak
untuk mempergunakan merek dagang. Pengertian waralaba (secara umum) ini
dibedakan dari waralaba nama dagang yang memang mengkhususkan diri pada
41
perizinan penggunaan nama dagang dalam rangka pemberian izin untuk
melakukan penjualan produk pemberi waralaba dalam suatu batas wilayah
tertentu, dalam suatu pasar yang bersifat non-kompetitif (Widjaja, 2003: 11).
Waralaba adalah ritel yang dimiliki dan dioperasikan oleh individu tetapi
memperoleh lisensi dari organisasi pendukung yang lebih besar. Waralaba
menggabungkan
keuntungan-keuntungan
dari
organisasi
rantai
toko.
Franchising adalah hubungan yang terus menerus di mana pemilik waralaba
memberikan kepada penyewa waralaba hasil dan hak bisnis untuk
mengoperasikan atau menjual produk. Pemilik waralaba (franchiser) tersebut
menciptakan merek dagang, produk, maupun metode operasi. Sedangkan
penyewa waralaba (franchise) sebaliknya membayar pada pemilik waralaba
(franchisor) atas haknya untuk menggunakan nama, produk atau metode
bisnisnya. Perjanjian waralaba antara kedua belah pihak biasanya berlaku 10
hingga 20 tahun, di mana si penyewa waralaba kemudian dapat memperbaharui
perjanjian dengan pemilik waralaba jika kedua belah pihak tersebut
menyetujui.
Secara harfiah waralaba dapat diartikan sebagai hak untuk menjalankan
usaha/bisnis di daerah yang telah ditentukan. Sedangkan secara historis,
waralaba didefinisikan sebagai penjualan khusus suatu produk di daerah
tertentu dengan cara produsen memberikan pelatihan kepada perwakilan
penjualan serta menyediakan produk informasi dan iklan, dan ia juga
mengontrol perwakilan yang menjual produk diderah yang telah ditentukan.
42
Pengertian waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun
1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba Pasal 1 ayat 1, adalah perikatan
dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Pengertian waralaba dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana yang
dikutip Widjaja (2003:8), waralaba menekankan pada pemberian hak untuk
menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang
pemberi waralaba (franchisor) di mana pihak penerima waralaba (franchisee)
berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah
ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan
kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba, pemberi waralaba akan
memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar
penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.
Henry Campbell Black dalam bukunya Black’s Law Dict mendefiniskan
bahwa franchise atau waralaba merupakan sebuah lisensi merek dari pemilik
yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa atas nama merek
tersebut. Winarto menjelaskan bahwa waralaba adalah sebuah hubungan
kemitraan pengusaha yang usahanya kuat dan sukses dengan pengusaha yang
relatif baru dan belum memeiliki posisi yang kuat dengan tujuan saling
menguntungkan satu sama lain, khususnya dalam bidang usaha penyediaan
produk dan jasa langsung kepada konsumen.
43
Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) sebagai lembaga yang berkecimpung
dalam waralaba di Indonesia, mendefinisikan bahwa waralaba adalah suatu
sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir. Pemilik merek
(franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk
melakukan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur, dan cara-cara yang
telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu
(Dari, 2011: 16-17).
Dua elemen penting dalam waralaba, yaitu:
1.
Pewaralaba/ pemberi waralaba (franchisor), yaitu pemilik waralaba
atau produsen barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu
serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif kepada pihak lain
sebagai bagian dari strategi pemasaran barang dan jasa yang
diproduksi.
2.
Terwaralaba/ penerima waralaba (franchisee), yaitu pihak yang
menerima hak eksklusif dari franchisor untuk mengembangkan
merek usahanya di beberapa wilayah.
Terdapat dua bentuk dasar dari waralaba:
1.
Waralaba merek dagang (trade name franchising)
Adalah pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada
penerima
waralaba
(franchise)
untuk
menjual
produk
dengan
menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau
lisensi penjualan. Franchisor membantu franchise untuk memilih lokasi
yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu
44
mengambil keputusan “do or do not”. Dalam waralaba merek dagang,
seorang pengusaha setuju untuk menjual produk-produk tertentu yang
disediakan oleh seorang pabrikan atau grosir. Pendekatan ini telah
digunakan sangat luas dalam berbagai industri, seperti industri obatobatan, minuman ringan dan lain-lain.
2.
Waralaba format bisnis
Adalah sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek
dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komprehensif
tentang tata cara menjalankan bisnis. Waralaba format bisnis sering
menggunakan nama ritel. Penamaan ini mengacu pada Keputusan
Presiden No. 118 tahun 2000 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan tertentu bagi
penanaman Modal.
Dalam keputusan tersebut mengatur sektor perdagangan yang bisa
mengeluarkan bisnis perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket,
department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar
(distributor/wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dari negative list bagi
penanaman modal asing (PMA). Dilihat dari skala usaha, pelaku bisnis ritel di
Indonesia saat ini dikelompokkan menjadi empat, yatiu: (1) kelompok grosir
dan hypermarket, (2) kelompok supermarket, (3) kelompok minimarket
modern, dan (4) kelompok pengecer kecil tradisional. Kategori waralaba
format bisnis maupun ritel membawa konsekuensi semua produk dan service
45
bisa
dikemas
dalam
ranah
bisnis
ini.
(http:www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/WARALABA-W.htm)
Dalam waralaba format bisnis terdapat suatu hubungan bisnis yang terus
menerus antara pemilik waralaba dan penyewa waralaba, khususnya pemilik
waralaba menjual hak untuk menggunakan format atau pendekatan dalam
melakukan bisnis. Contohnya adalah Alfamart dan Indomaret.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, maka
minimarket termasuk dalam pengertian toko modern (pasal 1 angka 5), dan
yang dimaksud dengan toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan
mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk
minimarket, supermarket, department Store, hypermarket ataupun grosir yang
berbentuk perkulakan. Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No.79
tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket, maka
minimarket adalah toko modern dengan batasan luas lantai penjualan kurang
dari 400m2. Sedangkan pengelola jaringan minimarket (ayat 6) adalah pelaku
usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang minimarket melalui satu
kesatuan manajemen dan sistem pendistribusian barang ke outlet yang
merupakan jaringannya.
Bentuk waralaba yang akan diteliti secara mendalam oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah waralaba format bisnis berbentuk minimarket yang
menjadi tujuan langsung dari kebijakan penataan dan pembatasan waralaba
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyaka
46
Download