BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Merkuri
2.1.1
Definisi dan Sifat Merkuri
Merkuri atau yang dikenal dengan simbol kimia Hg, merupakan logam berat
yang dapat terjadi secara alami dan dapat ditemukan pada udara, air, maupun tanah.
Merkuri dapat terdistribusi di lingkungan melalui proses oleh alam maupun oleh
aktivitas manusia (UNEP & WHO, 2008). Menurut BPOM (2004) dalam Junita
(2013), merkuri atau yang dikenal dengan air raksa adalah logam dalam bentuk
senyawa organik maupun anorganik yang ditemukan tersebar dalam bebatuan, air,
udara maupun biji tambang (Junita, 2013). Menurut Mason et al (2012) dalam
Patterns of Global Seafood Mercury Concentrations and their Relationship with
Human Health and the Environment menyatakan bahwa merkuri menjadi salah satu
polutan yang bersifat global yang memiliki efek negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan. Konsentrasi merkuri pada lingkungan meningkat tiga
kali lipat dan laut merupakan reservoir primer yang dapat menjadi tempat merkuri
mengendap (BRI, 2014b). Menurut Widowati et.al (2008) dalam Junita (2013)
menyatakan bahwa selain memiliki sifat yang mudah menguap pada suhu ruangan
dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm, merkuri juga dapat larut dalam asam
sulfat atau asam nitrit dan tahan terhadap basa. Senyawa logam dengan nomor atom
80 dan berat atom 200,59 g/mol, memiliki titik lebur pada suhu -38,90C dan titik
10
didih sebesar 356,60C (Junita, 2013). Sebagai negara maritim yang memiliki wilayah
perairan yang luas dan didukung dengan produksi ikan tangkap di laut yang cukup
besar, banyaknya pertambangan emas skala kecil hampir di berbagai pulau-pulau
besar di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memiliki
risiko terhadap kontaminasi logam berat merkuri (UNEP, 2013).
2.1.2
Jenis Merkuri
Menurut jenisnya, merkuri terdiri dari tiga jenis yaitu :
a. Merkuri Elemental (Hg0)
Merkuri elemental merupakan logam perak-putih yang memiliki berat atom
200.59 g/mol, dengan titik lebur -38,870C dan titik didih 356,720C. Merkuri
elemental merupakan jenis merkuri yang mudah menguap dan memiliki berat
jenis 13.534 g/cm3 pada suhu 250C (World Health Organization (WHO),
2003). Merkuri elemental yang bersifat tidak terlihat serta tidak berbau, kerap
digunakan dalam thermometer, barometer, lampu, proses industri, baterai, dll.
Paparan tinggi oleh merkuri elemental sering terjadi melalui proses inhalasi.
Merkuri elemental diketahui mengakibatkan beberapa gangguan kesehatan
seperti kerusakan ginjal, insomnia, sakit kepala, hingga penurunan fungsi
kognitif (EPA, 2013).
b. Merkuri Inorganik (Hg2+ , Hg (II) )
Merkuri inorganik merupakan senyawa merkuri yang memiliki bentuk bubuk
dan garam merkuri yang berwarna putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida
yang memiliki warna merah. Senyawa merkuri inorganik kerap digunakan
11
sebagai antiseptik atau disinfektan, fungisida, pestisida, cat tembok, krim –
krim pencerah kulit, hingga beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013).
c. Merkuri Organik
Senyawa merkuri organik yang paling sering ditemukan di lingkungan adalah
metilmerkuri (MeHg). Metilmerkuri merupakan senyawa merkuri organik
yang palig berbahaya karena bersifat toksik akumulatif, tidak mudah terurai,
dan tidak menembus membran. Penyerapan metilmerkuri yang tinggi terdapat
pada sel darah merah, usus, plasenta, hingga otak. Hal ini dapat
mempengaruhi susunan saraf pusat. Senyawa merkuri organik berupa
metilmerkuri dapat terbentuk saat merkuri bergabung dengan karbon (EPA,
2013).
12
2.1.3
Ambang Batas Merkuri
Menurut standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi
Nasional
Indonesia yang dipublikasikan dalam SNI 7387:2009 tentang Batas Maksimum
Cemaran Logam Berat dalam Pangan Tahun 2009, menyebutkan bahwa batas
maksimum cemaran merkuri (Hg) dalam ikan dan produk perikanan seperti yang
disajikan dalam tabel berikut (SNI, 2009) :
Tabel 2.1.3.1 Batas Maksimum SNI Cemaran Merkuri (Hg) pada Ikan
No Kategori
Pangan
09.0
Kategori Pangan
Batas Maksimum
Ikan dan hasil olahannya
0,5 mg/kg
Ikan Predator (cucut, tuna, marlin,
1,0 mg/kg
dll)
Kekerangan (bivalve) Moluska dan
1,0 mg/kg
Teripang
Udang dan krustasea lainnya
1,0 mg/kg
Hal yang sama juga disebutkan dalam Codex Alimentarius Guideline dan The
European Community yang menetapkan batas kandungan merkuri khususnya
metilmerkuri sebesar 0,5 mg/kg pada ikan non-predator dan 1 mg/kg pada ikan
predator (UNEP & WHO, 2008).
13
2.1.4
Sumber dan Kegunaan Merkuri
Merkuri yang terdapat di lingkungan berasal dari berbagai sumber,
diantaranya yang berasal dari proses yang menggunakan merkuri atau proses
pengolahan limbah, emisi merkuri yang berasal dari penggunaan mineral dalam
industri seperti batu bara, produksi energi yang menggunakan bahan bakar fosil,
pertambangan emas serta logam lainnya dan merkuri yang berasal dari alam seperti
aktivitas vulkanik, perubahan iklim, kebakaran hutan, dll (Nordic Council, 2002).
Tambang emas skala kecil merupakan sektor terbesar yang bergantung pada
penggunaan merkuri. Menurut estimasi Mercury Watch
oleh UNEP (2012),
penggunaan merkuri dalam tambang emas skala kecil atau artisanal and small-scale
gold mining (ASGM) mencapai 1400 ton pada tahun 2011 dan akan bertambah
seiring dengan meningkatnya harga emas. Industri VCM merupakan industri terbesar
kedua pengguna merkuri. Industri yang memproduksi polyvinyl chloride (PVC) yang
umumnya digunakan pada plastik ini menggunakan merkuri sebagai katalis dalam
proses produksinya (UNEP, 2013).
Merkuri, di dalam kehidupan sehari-hari banyak dimanfaatkan di berbagai
bidang. Seperti merkuri elemental yang umumnya digunakan di dalam thermometer,
barometer, lampu, baterai, amalgamasi dalam dunia kedokteran gigi, penyulingan,
dan berbagai proses industri lainnya. Sedangkan merkuri inorganic umumnya
dimanfaatkan sebagai campuran bahan baku cat, krim pencerah kulit, sabun,
disinfektan, maupun perstisida (EPA, 2013).
14
2.1.5
Merkuri pada Ikan
Merkuri di lingkungan terdiri dari berbagai bentuk kimia yang berbeda.
Selain merkuri elemental, merkuri dapat diklasifikasikan sebagai merkuri inorganik
dan merkuri organik. Merkuri diklasifikasikan sebagai merkuri organik ketika ia
berikatan dengan senyawa kimia yang sebagian besar terdiri dari karbon. Merkuri di
lingkungan dapat berubah sesuai dengan proses dari berbagai senyawa kimia yang
bervariasi. Contoh dari merkuri organik adalah metilmerkuri dengan rumus kimia
CH3Hg+ yang disebabkan oleh aktivitas mikrobakteri, metilmerkuri umumnya
ditemukan dalam lingkungan perairan. Metilmerkuri merupakan salah satu bentuk
merkuri yang utama pada ikan. Bentuk kimia dari metilmerkuri membuatnya dapat
dengan cepat menyebar dan terikat dalam protein dari biota air, termasuk protein dari
jaringan otot ikan. Menurut Yamashita et al (2005) dalam berbagai spesies tuna
kandungan dari total merkuri dalam bentuk metilmerkuri mencapai 70 hingga 77
persen (HealthCanada, 2007).
Menurut Sorensen (1991) dalam Suseno (2011), proses akumulasi logam
pada ikan diawali dengan proses pengambilan (uptake) melalui insang dan kemudian
diserap ke dalam seluruh jaringan tubuh yang kemudian tersimpan di dalamnya.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses uptake merkuri dan jumlah
akumulasinya antara lain kecepatan metabolism, ukuran, jenis, alkalinitas, pH, suhu,
tingkat kontaminasi, sumber, serta tingkat kehidupan organisme itu sendiri. Menurut
Heath (1987), masuknya merkuri ke dalam jaringan tubuh ikan terjadi ketika merkuri
diangkut oleh darah dan berikatan dengan protein hemoglobin dalam sel darah merah
ikan (Suseno, 2011).
15
Beberapa penelitian terkait kandungan merkuri pada ikan telah dilakukan di
Indonesia. Seperti yang dilaporkan dalam penelitian oleh Athena (2009) beberapa
hasil laut seperti ikan di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta cukup bervariasi hingga
mencapai angka 3,05 ppm (Athena & Inswiasri, 2009). Penelitian yang serupa di
Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara melaporkan bahwa kadar
merkuri pada ikan kakap merah yang tertangkap di Tanjung Taolas mencapai 0,12
ppm, dan ikan belanak yang tertangkap di Tanjung Akesone mencapai angka 0,13
ppm (Simange, 2011). Penelitian di Teluk Manado dalam Jurnal Pesisir dan Laut
Tropis oleh Narasiang (2015) menyimpulkan bahwa kandungan merkuri tertinggi
terdapat pada ikan Gora (Myriptis hexagona) dengan nilai mencapai 0,43 ppm dan
ikan Capungan (Apogon compresseus) dengan nilai mencapai 0,3 ppm (Narasiang,
Lasut, & Kawung, 2015).
2.1.6
Kejadian Akibat Merkuri
Merkuri khususnya metil merkuri (MeHg) yang bersifat toksik pada awalnya
dikenal luas saat terjadi tragedi di Teluk Minamata, Kumamoto prefektur, Jepang
pada tahun 1956. Berawal pada tahun 1950, fenomena aneh seperti kerang yang
mulai mati, ikan mengapung di permukaan air, rumput laut yang gagal tumbuh, dan
juga kucing yang mati dengan tidak wajar mulai terjadi di sekitar teluk. Lalu
berlanjut pada 21 April 1956, seorang anak dari Tsukinoura di Kota Minamata
mengalami ketidakmampuan berjalan dan makan. Hingga akhirnya pada tanggal 12
November 1959 kementerian kesehatan menyatakan bahwa merkuri organik yang
terkandung dalam ikan dan kerang di sekitar Teluk Minamata merupakan penyebab
utama terjadinya Minamata Disease yang menyebabkan gangguan pada sistem saraf
pusat dan dilaporkan telah terjadi pada 2.268 orang pada Agustus 2007. Masuknya
16
merkuri organik ke lingkungan disebabkan oleh produk sampingan dari pabrik kimia
penghasil klorida vinil dan formaldehida milik Perusahaan Chisso yang dibuang ke
dalam teluk. Setelah mengalami proses bioakumulasi dan biomagnifikasi yang terjadi
secara alamiah, akhirnya organisme yang terdapat di dalam teluk mengakumulasi
metil merkuri pada konsentrasi tinggi yang berakhir dengan keracunan pada manusia
yang mengkonsumsinya (Minamata Disease Municipal Museum, 2007).
Untuk di wilayah Indonesia, salah satu kejadian yang berkaitan dengan
pencemaran merkuri yakni kejadian pencemaran Teluk Buyat, Kecamatan
Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. Sejak
beroperasinya perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya pada tahun 1996,
nelayan yang bermukim di sekitar Teluk Buyat mendapati puluhan ikan mati secara
tidak wajar dan diikuti dengan gejala penyakit secara misterius yang dialami oleh
warga desa seperti sakit kepala yang berulang-ulang, gatal-gatal, mual, muntah,
pembengkakan beberapa bagian tubuh, hingga pingsan mendadak. Pembuangan
secara langsung 2.000 ton limbah sisa olahan emas yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun (B3) ke laut setiap harinya, terindikasi mengakibatkan
pencemaran di Teluk Buyat. Laporan audit internal yang dipublikasikan oeh New
York Times menyebutkan bahwa 17 dari 33 ton merkuri terlepas di udara dan sisanya
sebanyak 16 ton dibuang secara langsung ke dalam teluk (Lutfillah, 2011).
Selain melalui produk atau hasil laut, merkuri juga dapat masuk ke rantai
makanan melalui produk-produk agrikutural atau pertanian. Diketahui pada tahun
1971 sebanyak 459 orang meninggal akibat penggunaan fungisida yang mengandung
merkuri pada padi sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu di wilayah pedesaan
Irak (UNEP, 2013). Konsumsi diperkirakan berlangsung pada awal Oktober hingga
17
November tahun 1971. Insiden ini berkembang menjadi epidemik katastropik dengan
6530 orang yang tercatat masuk rumah sakit dan 459 orang meninggal dunia
(Takizawa, 2002).
2.1.7
Risiko Kesehatan Oleh Merkuri
Sekali merkuri dilepaskan ke lingkungan, merkuri dapat pergi menempuh
jarak yang jauh dan bertahan lama di dalam sirkulasi melalui udara, air, endapan,
tanah, maupun mahluk hidup. Merkuri dengan konsentrasi tinggi dapat ditemukan
pada ikan yang bersifat predator yang sangat berpotensi dikonsumsi oleh manusia.
Hal tersebut dapat memberi pengaruh serius pada ekosistem serta produktifitas
burung dan hewan mamalia. Paparan merkuri dalam jumlah besar dapat memberi
risiko yang serius terhadap kesehatan manusia. Merkuri dengan mudah dapat
terabsorbsi melalui pembuluh darah maupun terhirup, dan dapat menyerang sistem
saraf pusat, kelenjar tiroid, ginjal, paru-paru, sistem imun, mata hingga kulit.
Kelainan pada saraf dan perilaku dapat menjadi pertanda adanya kontaminasi dari
merkuri dan dengan gejala-gejala lain seperti insomnia, pusing, kehilangan memori,
disfungsi kognitif, motorik, dll. Kasus yang menimpa Teluk Minamata di Jepang,
keracunan akibat merkuri juga menimbulkan gejala seperti otot yang lemah dan
gangguan pada pendengaran serta berbicara. Jika keracunan telah mencapai tingkat
parah dapat menimbulkan koma hingga kematian (UNEP, 2013).
18
2.2
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 876 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) mendefinisikan ARKL sebagai
suatu pendekatan yang digunakan untuk mencermati potensi besarnya risiko dengan
mendeskripsikan suatu masalah lingkungan dan melibatkan penetapan risiko pada
kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah lingkungan tersebut. Analisis
Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) atau yang dikenal dengan risk assessment
memberikan suatu estimasi risiko, menawarkan suatu kerangka yang sistematis untuk
mendefinisikan suatu masalah, memberi prioritas, mitigasi risiko, dan memberikan
jawaban mengenai risiko yang dapat diterima atau ditoleransi dan disertai bentuk
pengelolaan risiko yang diperlukan terkait dengan ranah pengambilan keputusan
kesehatan masyarakat dan lingkungan (DEPKES RI, 2012). Menurut WHO (2004)
dalam Basri et al (2007), analisis risiko didefinisikan sebagai proses untuk
menghitung atau memprakirakan risiko pada suatu organisme sasaran baik sistem
maupun sub populasi setelah terpapar oleh agent tertentu. Analisis risiko saat ini
kerap digunakan untuk menilai risiko kesehatan pada manusia yang dapat disebabkan
oleh pajanan bahaya lingkungan (Basri, Bujawati, & Amansyah, 2014).
Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam ARKL yang berguna
untuk mengetahui agen risiko yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan.
Setelah diidentifikasi, dilanjutkan dengan analisis dosis respon dengan merujuk pada
literature yang tersedia. Kemudian analisis pemajanan dilakukan dengan menghitung
asupan dari agen risiko dengan perhitungan Intake yang juga menggunakan hasil
pengkuran konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dapat dilakukan
sendiri maupun menggunakan data sekunder. Langkah yang terakhir yaitu
19
karakterisasi risiko untuk menentukan atau menetapkan apakah suatu agen risiko
pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan pada
masyarakat yang terpajan (DEPKES RI, 2012).
Download