kualitas pelaporan keuangan: faktor

advertisement
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN:
FAKTOR-FAKTOR PENENTU DAN KONSEKUENSI EKONOMINYA 1
Zaenal Fanani
Universitas Airlangga
Abstract
The research aimed to discuss the determinant factors of financial reporting
quality and the economic consequences in Indonesian capital market. Those factors
are innate, performance, company risk and industry risk. The financial reporting
quality was measured attributes are relevance, timeliness, and conservatism as
market-based, whereas the economic consequence was measured of assymetric
information.
The research employed three steps of testing, namely (1) testing of the
attributes of financial reporting quality were different from each other, (2) analyzing
the determining factors of financial reporting quality and (3) testing the effect of
financial reporting quality in the stock market in terms of the relationship between
information asymmetric and the financial reporting quality.
The result of the first testing showed that all of the two attributes of financial
reporting quality were different from each other. The analysis of determinant factors
showed that sales volatility, firm performance, and classification of the industry had a
significant relationship with two attributes of financial reporting quality. The other
variables such as operation cycle, firm size, company risk, liquidity, and leverage,
resulted in two attributes of financial reporting quality. The economic consequence
testing resulted in two attributes of financial reporting quality that had a significant
relationship with the assymetric information.
Key word: financial reporting quality, innate factors, performance, company risk,
industry risk, asymmetric information.
1
This study is a part of my dissertation at Brawijaya University. I would like to express my deepest thanks
to my promotor Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., MM., Ak., Prof. Dr. Sutrisno, SE., M.Si., Ak. And Dr.
Prihatassih, SE., M.Si., Ak
Bridging the Gap between Theory and Practice
1
FACM01 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB I
LATAR BELAKANG
Pengertian kualitas pelaporan keuangan hingga saat ini masih beragam,
namun pada prinsipnya pengertian kualitas pelaporan keuangan dapat dipandang
dalam dua sudut pandang. Pandangan pertama menyatakan bahwa kualitas
pelaporan keuangan berhubungan dengan kinerja keseluruhan perusahaan yang
tergambarkan dalam laba perusahaan. Pandangan ini menyatakan laba yang
berkualitas tinggi terrefleksi pada laba yang dapat berkesinambungan (sustainable)
untuk suatu perioda yang lama. Pandangan kedua menyatakan kualitas pelaporan
keuangan berkaitan dengan kinerja pasar modal yang diwujudkan dalam bentuk
imbalan, sehingga hubungan yang semakin kuat antara laba perusahaan dengan
imbalan menunjukkan informasi pelaporan keuangan yang tinggi (Ayres, 1994).
Pandangan yang sama dilakukan oleh Schipper (2004) dengan menyebutnya
sebagai atribut-atribut berbasis akuntansi untuk pandangan pertama, dan atributatribut berbasis pasar untuk pandangan kedua.
Pandangan pertama menyatakan bahwa kualitas pelaporan keuangan
berkaitan erat dengan kinerja perusahaan yang diwujudkan dalam laba perusahaan
yang diperoleh pada tahun berjalan. Pelaporan keuangan dikatakan tinggi
(berkualitas) jika laba tahun berjalan dapat menjadi indikator yang baik untuk laba
perusahaan dimasa yang akan datang (Lev dan Thiagarajan, 1993; Richardson et
al. 2001; Penman dan Zhang, 2002; Beneish dan Vargus, 2002; Richardson, 2003)
atau berasosiasi secara kuat dengan arus kas operasi di masa yang akan datang
(Dechow dan Dichev, 2002 dan Cohen, 2003). Implikasi dari pandangan tersebut,
menunjukkan bahwa fokus pengukuran kualitas pelaporan keuangan perusahaan
tersebut berkaitan dengan sifat-sifat pelaporan keuangan. Pandangan kedua
menyatakan bahwa kualitas pelaporan keuangan berkaitan dengan kinerja saham
perusahaan di pasar modal. Hubungan yang semakin kuat antara laba dengan
imbalan pasar menunjukkan informasi pelaporan keuangan tersebut semakin tinggi
(Lev dan Thiagarajan, 1993; Chan et al. 2004). Dengan demikian kualitas pelaporan
keuangan merupakan konstruk yang dapat dianalisis dalam dua pandangan yaitu
kualitas pelaporan keuangan yang berkaitan dengan kas dan laba itu sendiri, dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
2
FACM01 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
atau kualitas pelaporan keuangan yang berkaitan dengan imbalan saham. Penelitian
ini hanya menggunakan pendekatan kedua yaitu kualitas pelaporan keuangan yang
berbasis pada pasar.
Penelitian kualitas pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan dua
pendekatan (Gu et al., 2002; Francis et al. 2004,2005; Pagalung, 2006; Cohen,
2003,2006, Chaney, et al., 2006). Pendekatan pertama adalah penelitian yang
berkaitan dengan mengkaji faktor-faktor apa yang menyebabkan pelaporan
keuangan yang dihasilkan berkualitas, dan pendekatan kedua sejauhmana kualitas
pelaporan keuangan direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Pendekatan
pertama berkaitan dengan kajian faktor-faktor penentu yang menghasilkan
pelaporan keuangan yang berkualitas. Fokus pendekatan ini berkaitan dengan
faktor-faktor internal perusahaan yang terkait dengan faktor inheren atau faktor
intrinsik yang melekat di perusahaan itu sendiri, yang di berbagai penelitian
memberikan istilah dengan faktor spesifik atau karakteristik perusahaan (firm
spesifics or firm characteristics). Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor innat
dinamis (siklus operasi, volatilitas penjualan), statis (ukuran perusahaan, umur
perusahaan), kinerja perusahaan (proporsi rugi), risiko institusi (likuiditas, leverage),
risiko lingkungan (klasifikasi industri), (Gu et al.,2002, Dechow dan Dichev, 2002;
Cohen, 2003,2006; Francis et al., 2004,2005; dan Pagalung, 2006).
Pendekatan kedua berkaitan dengan faktor eksternal yang merupakan
respons pemakai informasi pelaporan keuangan yaitu sejauhmana informasi
pelaporan keuangan direspon oleh para pemakai laporan keuangan. Salah satu
pemakai utama laporan keuangan adalah Investor yang baginya ketersediaan
informasi yang ditawarkan diharapkan dapat mengurangi asimetrik informasi
(information asymmetric) (Barone, 2002; Barth dan Landsman, 2003; Bhattacharya
et al., 2003; Cohen, 2003,2006; Aboody et al., 2003; Francis et al., 2004,2005; dan
Pagalung, 2006).
Motivasi penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan
pengukuran kualitas pelaporan keuangan perusahaan. Penelitian ini menggunakan
pengukuran kualitas pelaporan keuangan dengan menggunakan tiga atribut kualitas
pelaporan keuangan berbasis pasar (market-based attributes) yang terdiri atas nilai
keberpautan,
ketepatwaktuan,
dan
konservatisma.
Bridging the Gap between Theory and Practice
Diharapkan
dengan
3
FACM01 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menggunakan tiga atribut tersebut penelitian ini akan lebih memberikan daya
penjelas yang lebih beragam. Kedua, penelitian ini adalah ingin mengkaji isu-isu
yang berkaitan dengan kualitas pelaporan keuangan perusahaan dengan fokus
pada kajian faktor-faktor penentu dan konsekuensi ekonominya secara langsung
(direct link). Konsekuensi ekonomi dari pilihan perusahaan (manajemen) dalam
penelitian ini berkenaan dengan kualitas pelaporan keuangan mereka. Ketiga,
model penelitian yang membahas kualitas pelaporan keuangan di Indonesia masih
terpisah-pisah, belum menyatu dan komprehensif. Model komprehensif yang
dimaksud adalah model yang membahas faktor-faktor penentu kualitas pelaporan
keuangan dan konsekuensi yang ditimbulkan di pasar modal Indonesia. Selain itu,
pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang digunakan selama ini di Indonesia
lebih didominasi pengukuran kualitas pelaporan keuangan yang berbasis pasar
namun
diuji
secara
terpisah,
seperti
nilai
keberpautan
(value
relevance)
(Rahmawati, 2005; Susanto dan Ekawati, 2006) dan koefisien responsa laba
(earnings response coefficient) (Harahap, 2005; Naimah dan Sidharta, 2006).
Penelitian lain yang sudah menggunakan atribut gabungan yaitu Pagalung (2006)
yang menggunakan pengukuran kualitas pelaporan keuangan berbasis akuntansi.
Atribut tersebut adalah kualitas akrual, persistensi, prediktabilita, dan perataan laba.
Keempat, penelitian ini mencoba membuat dan mengkaji atribut kualitas pelaporan
keuangan alternatif. Atribut kualitas pelaporan keuangan tersebut berupa kajian
atribut kualitas pelaporan keuangan dalam bentuk analisis faktor. Atribut kualitas
pelaporan keuangan yang berbasis pasar keberpautan, ketepatwaktuan, dan
konservatisma akan dibentuk menjadi kualitas pelaporan keuangan faktorial.
Masalah penelitian ini adalah apakah atribut-atribut kualitas pelaporan
keuangan (nilai keberpautan, ketepatwaktuan, dan konservatisma) merupakan
representasi kualitas pelaporan keuangan dan berbeda satu dengan lainnya? faktorfaktor penentu (determinant factors) apa saja yang mempengaruhi kualitas
pelaporan
keuangan
perusahaan?
dan
sejauhmana
konsekuensi
ekonomi
(economic consequences) yang ditimbulkan di pasar sekuritas?
Kontribusi penelitian ini mencakup kontribusi teori dan kontribusi praktis.
Secara rinci kontribusi penelitian ini adalah secara teoritis: pertama, penelitian ini
memberi bukti empiris mengenai kualitas pelaporan keuangan. Bukti ini berupa hasil
Bridging the Gap between Theory and Practice
4
FACM01 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
perhitungan kualitas pelaporan keuangan dengan menggunakan tiga atribut yaitu
nilai keberpautan, ketepatwaktuan, dan konservatisma berdasarkan laporan tahunan
2001 sampai dengan 2006. Kedua, penelitian ini membuat dan mengkaji atribut
kualitas pelaporan keuangan alternatif. Atribut kualitas pelaporan keuangan tersebut
berupa kajian atribut kualitas pelaporan keuangan dalam bentuk analisis faktor yaitu,
kualitas pelaporan keuangan faktorial. Penelitian ini juga menguji faktor-faktor
penentu timbulnya kualitas pelaporan keuangan dan bagaimana konsekuensi
ekonominya dalam bentuk respon investor di pasar modal. Ketiga, penelitian ini
memberikan bukti empiris kualitas pelaporan keuangan memiliki konsekuensi
ekonomi di pasar modal. Bukti ini dapat memperkaya literatur akuntansi berupa
bertambahnya pengetahuan mengenai manfaat kualitas pelaporan keuangan bagi
perusahaan.
Implikasi praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada manajemen
perusahaan agar membuat pelaporan keuangan yang berkualitas karena diduga
akan mempunyai konsekuensi ekonomi. Kedua, ukuran kualitas pelaporan
keuangan yang dipakai dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada
investor dan analis pasar modal. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi
pelaku pasar modal (investor, pialang, dan para analis sekuritas) serta calon
investor dimasa yang akan datang, utamanya dalam menentukan keputusan
investasinya terkait dengan penilaian kualitas pelaporan keuangan perusahaanperusahaan yang go publik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketiga, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan dan menjadi umpan balik untuk pembuatan dan
evaluasi standar-standar akuntansi untuk institusi pembuat standar (standard
setters) dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan pemilihan kebijakan dan
pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
bagaimana kualitas pelaporan keuangan perusahaan yang go publik di Bursa Efek
Indonesia.
Bridging the Gap between Theory and Practice
5
FACM01 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB II
RERANGKA KONSEPTUAL DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1. Rerangka Konseptual Penelitian
Rerangka konseptual penelitian ini dapat dilihat secara detail pada gambar 1.
2.2. Perumusan Hipotesis
Pengukuran proksi kualitas pelaporan keuangan yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari nilai keberpautan, ketepatwaktuan, konservatisma, dan
atribut kualitas pelaporan keuangan baru yang merupakan hasil analisis faktor
keempat atribut sebelumnya (kualitas pelaporan keuangan faktorial). Penelitian
Francis et al. (2004; 2005) dan Pagalung (2006) menunjukkan atribut-atribut kualitas
pelaporan keuangan berbeda satu dengan lainnya atau tidak terjadi tumpang tindih
(overlap) antar atribut kualitas pelaporan keuangan. Atas dasar pertimbangan
penelitian terdahulu, dapat dirumuskan hipotesis pertama sebagai berikut:
H1: Terdapat perbedaan diantara atribut-atribut kualitas pelaporan keuangan
perusahaan.
Hipotesis 2 s.d 10 berkaitan dengan faktor-faktor penentu kualitas pelaporan
keuangan. Faktor innat merupakan salah satu faktor penting dari faktor yang
mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan. Faktor innat terdiri dari siklus operasi
perusahaan, volatilitas penjualan, ukuran perusahaan, dan umur perusahaan. Siklus
operasi perusahaan akan menghasilkan kualitas pelaporan keuangan yang lebih
rendah, karena siklus operasi yang makin lama dapat menimbulkan ketidakpastian,
estimasi dan kesalahan estimasi yang makin besar dapat menimbulkan kualitas
pelaporan keuangan yang lebih rendah Dechow dan Dichev (2002). Volatilitas
penjualan yang tinggi dapat menunjukkan kemampuan laba dalam memprediksi
aliran kas dimasa yang akan datang karena laba yang dihasilkan tidak mengandung
banyak gangguan (noise) (Dechow and Dichev, 2002). Dari sisi ukuran perusahaan
dikatakan bahwa perusahaan yang besar akan memiliki kestabilan dan operasi yang
dapat diprediksi lebih baik yang dapat menyebabkan kesalahan estimasi yang,
ditimbulkan kecil (Gu et al. 2002). Umur perusahaan merupakan salah satu faktor
Bridging the Gap between Theory and Practice
6
FACM01 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
innat yang dapat mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan perusahaan. Hal ini
terjadi karena makin lama perusahaan makin memungkinkan kecilnya diskresi
dalam kualitas pelaporan keuangan dan akan mempunyai sedikit variabilitas dalam
akrual. Semakin lama umur perusahaan makin mempunyai sedikit variabilitas akrual
diskresioner sehingga efeknya pada kualitas pelaporan keuangan juga rendah.
Dechow (1994) dan Gu et al. (2002). Dengan pertimbangan di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis yang berkaitan dengan faktor-faktor innat terhadap kualitas
pelaporan keuangan sebagai berikut:
H2: Semakin panjang siklus operasi perusahaan akan menyebabkan semakin
rendah kualitas pelaporan keuangannya.
H3: Semakin
tinggi
magnitud
volatilitas
penjualan
perusahaan
akan
menyebabkan semakin rendah kualitas pelaporan keuangannya.
H4: Semakin besar ukuran
perusahaan
akan menyebabkan semakin rendah
kualitas informasi pelaporan keuangannya.
H5: Semakin lama umur perusahaan menyebabkan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangannya.
Faktor kinerja tahun lalu merupakan salah satu faktor penentu yang dapat
menimbulkan laba perusahaan berkualitas. Jika perusahaan memperoleh laba akan
menunjukkan bahwa perusahaan bertumbuh dan dapat berkesinambungan, kalau
perusahaan mengalami kerugian, maka akan menghadapi kesulitan. Menurut Cohen
(2006) kerugian adalah indikasi kejutan negatif serius dalam lingkungan operasi
perusahaan. Akrual yang dibuat sebagai respon untuk kejutan tersebut cenderung
melibatkan kesalahan estimasi substansial (yaitu ongkos restrukturisasi). Karena itu,
kerugian adalah indikasi awal kualitas pelaporan keuangan yang rendah. Atas dasar
pertimbangan di atas, dirumuskan hipotesis faktor kinerja perusahaan sebagai
berikut:
H6: Semakin baik kinerja perusahaan akan menyebabkan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangannya.
Faktor penentu lainnya yang merupakan faktor internal perusahaan adalah
risiko institusi. Risiko institusi ini merupakan risiko internal perusahaan yang melekat
Bridging the Gap between Theory and Practice
7
FACM01 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
pada perusahaan, yaitu likuiditas dan leverage. Perusahaan dengan likuiditas tinggi
memiliki biaya agensi yang lebih tinggi dan membutuhkan pengawasan yang lebih
besar. Sehingga, diprediksi kualitas pelaporan berubah terhadap struktur kapital
perusahaan (Leftwich et al., 1981). Besarnya leverage perusahaan akan
menyebabkan perusahaan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dengan
tujuan untuk mempertahankan kinerja yang baik di mata investor dan auditor.
Dengan kinerja yang baik tersebut maka diharapkan kreditor tetap memiliki
kepercayaan terhadap perusahaan, tetap mudah mengucurkan dana, dan
perusahaan akan memperoleh kemudahan dalam proses pembayaran. Atas dasar
pertimbangan di atas, dirumuskan hipotesis faktor kinerja tahun lalu dan risiko
institusi sebagai berikut:
H7: Semakin tinggi likuiditas suatu perusahaan akan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangannya.
H8: Semakin tinggi leverage suatu perusahaan akan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangannya.
Selain faktor risiko internal perusahaan, kualitas pelaporan keuangan
perusahaan bergantung pula pada faktor risiko eksternal perusahaan dalam bentuk
risiko lingkungan. Risiko lingkungan yang dimaksudkan adalah risiko portofolio
industri atau risiko klasifikasi industri karena prosedur akuntansi yang bisa diterima
dan pilihan akuntansi manajer mungkin berbeda pada lintas industri. Misalnya,
perusahaan pemanufakturan dan perusahaan retail memiliki jumlah yang besar
pada persediaan dan piutang, yang bisa mempersulit pengelolaan keuangan melalui
penilaian persediaan dan pengaturan utang. Indikator keuangan mungkin lebih
sensitif dalam beberapa industri (misalnya, jasa) dibanding dengan industri lain,
yang
mungkin
memberi
kesempatan
pada
manajemen
laba.
Atas
dasar
pertimbangan klasifikasi industri tersebut dirumuskan hipotesis risiko lingkungan
sebagai berikut:
H9:
Semakin tinggi risiko lingkungan perusahaan akan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangannya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
8
FACM01 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Konsekuensi ekonomi atas kualitas pelaporan keuangan perusahaan adalah
berupa asimetri informasi. Copeland dan Galai (1983) dan Glosten dan Milgrom
(1985) menunjukkan ketika kualitas dari informasi akuntansi yang diberikan dalam
laporan keuangan meningkat, level asimetri informasi turun. Studi sebelumnya
dalam literatur akuntansi menggunakan bid ask spread untuk menguji efek dari
pengumuman laba dan kebijakan pengungkapan perusahaan pada level asimetri
informasi Healy et al. (1999). Ketika laporan keuangannya berkualitas maka
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia
informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai
pengguna informasi (user) akan semakin berkurang.
Asimetri informasi menekankan pada risiko estimasi atau likuiditas pasar yang
melihat adanya perbedaan informasi yang dimiliki antara satu investor yang memiliki
informasi (informed investor) dengan investor yang tidak memiliki informasi
(uninformed investor). Atas dasar adanya perbedaan informasi tersebut, investor
yang tidak memiliki informasi mengharapkan suatu premi risiko (risk premium) yang
lebih atas suatu portofolio sehingga diharapkan akan terjadi keseimbangan akses
informasi. Implikasi perbedaan tersebut diharapkan terdapat peningkatan kualitas
dan kandungan informasi keuangan sehingga dapat mengurangi asimetri informasi
(Leuz dan Verrechia, 2004; Callahan et al. 1997). Atas dasar pertimbangan diatas
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H10: Semakin tinggi kualitas pelaporan keuangan suatu perusahaan akan semakin
rendah asimetri informasinya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
9
FACM01 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB III
METODA PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini dapat
diklasifikasikan ke dalam penelitian kausal komparatif (Indriantoro dan Supomo,
1999:29).
3.2. Definisi dan pengkuran variabel
Definisi operasional dan pengukuran variabel dapat dilihat pada tabel 2
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampel berjumlah 141 perusahaan dipilih dengan
menggunakan penyampelan bersasaran (purposive sampling). Prosedur pemilihan
sampel selengkapnya di paparkan pada tabel
3.4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga
tahap. Tahap pertama adalah menguji apakah atribut-atribut kualitas pelaporan
keuangan berbeda satu dengan lainnya (tidak terjadi overlap) dengan pengujian
regresi auxiliary R2 (Gujarati, 2003) dan dilanjutkan analisis faktor. Tahap kedua
adalah menganalisis faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangan dengan
regresi berganda, dan tahap ketiga adalah menguji efek kualitas pelaporan
keuangan di pasar modal dengan regresi sederhana.
Bridging the Gap between Theory and Practice
10
FACM01 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil pengujian penelitian yang terdiri empat bagian.
Bagian pertama menyajikan statistik deskriptif dan distribusi frekuensi variabel
penelitian. Bagian kedua menyajikan hasil pengujian atribut-atribut kualitas
pelaporan keuangan. Bagian ketiga menyajikan hasil pengujian faktor-faktor
penentu kualitas pelaporan keuangan beserta asumsinya. Bagian keempat
menyajikan hasil pengujian konsekuensi ekonomi kualitas pelaporan keuangan
beserta asumsinya.
4.1. Statistik Deskriptif dan Distribusi Frekuensi
Bagian ini akan dijelaskan statistik deskriptif yang dihasilkan dari seluruh
variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel dependen,
independen, konsekuensi ekonomi dan variabel kontrol. Tabel 3 dipaparkan hasil
statistik deskriptif pengujian faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangan.
4.2. Hasil Pengujian Atribut-Atribut Kualitas pelaporan keuangan.
4.2.1. Hasil Pengujian Regresi Auxiliary
Hasil pengujiannya menunjukkan tidak terjadi tumpang tindih antara ketiga
variabel proksi kualitas pelaporan keuangan, karena hasil pengujian korelasi antar
atribut dibawah 0.5 (Gujarati, 2003, dan Francis et al. 2004, 2005). Untuk
selengkapnya lihat Tabel 4. Berdasarkan hasil pengujian regresi auxiliary di atas,
tidak terjadi tumpang tindih (overlap) antar ketiga atribut kualitas pelaporan
keuangan (nilai keberpautan, ketepatwaktuan, dan konservatisma), karena tingkat
tumpang tindihnya (the degree of overlap) atau porsi cakupannya tidak lebih dari
0.50. Hasil pengujian ini bertentangan dengan hasil penelitian Francis et al. (2004).
Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis 1 tidak terbukti artinya tidak terjadi tumpang
tindih (overlap) antar atribut kualitas pelaporan keuangan.
4.2.2. Hasil Pengujian Analisis Faktor Konfirmatori
Analisis faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor jenis
analisis komponen umata (principal component analysis) yaitu analisis faktor yang
Bridging the Gap between Theory and Practice
11
FACM01 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
mempunyai tujuan untuk menseleksi seperangkat variabel untuk diidentifikasi
dimensi-dimensi latennya, sehingga dapat membentuk variabel representatif baru
yaitu kualitas pelporan keuangan faktorial. Hasil analisis faktor selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 5.
Ketiga atribut kualitas pelaporan keuangan tersebut terbentuk satu faktor
dimana variabel komposit tersebut didukung oleh 2 atribut yaitu konservatisma
dengan skor loading faktor 0.827 dan nilai keberpautan masing-masing dengan skor
loading faktor 0.762 (panel C). Atribut ketepatwaktuan tidak mendukung
pembentukan variabel baru, karena nilai loading faktornya negatif (-0.450). Atribut
yang memiliki nilai skor loading faktor negatif dihilangkan atau dihapus (drop) dari
pembentukan variabel. Secara empiris, pembentukan atribut baru kualitas pelaporan
keuangan berbasis pasar didukung oleh dua atribut yaitu konservatisma dan nilai
keberpautan.
4.3. Pengujian asumsi klasik
Hasil uji asumsi klasik untuk pengujian faktor-faktor penentu kualitas
pelaporan keuangan dan konsekuensi ekonomi menunjukkan secara keseluruhan
semua faktor-faktor penentu terhadap kualitas pelaporan keuangan lolos dari
asumsi klasik dan memenuhi kriteria BLUE. Tampak pada uji Kolmogorof Smirnov
Test sudah menunjukkan distribusi yang normal pada model yang digunakan
sehingga bisa dilakukan regresi dengan model linear berganda yang ditunjukkan
oleh nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05. Berdasarkan uji autokorelasi
diperoleh nilai Durbin Watson (DW) sebesar 2.133, 1.915 dan 2.030 dan untuk
kualitas pelaporan keuangan. Dengan demikian tidak ada korelasi serial diantara
disturbance terms, sehingga variabel tersebut independen (tidak terjadi autokorelasi)
yang ditunjukkan dengan du < dw < 4-dl). Hasil uji heteroskedastisitas dengan
menggunakan uji Glejser diperoleh hasil semua faktor-faktor penentu yaitu siklus
operasi (X1), volatilitas penjualan (X2), ukuran perusahaan (X3), umur perusahaan
(X4), kinerja perusahaan (X5), likuiditas (X6), leverage (X7), klasifikasi industri (X8),
terhadap absolut residual (absu) dan kualitas pelaporan keuangan (Y1), ukuran
perusahaan (X3), leverage (X7) dan beta (X9) terhadap absolut residual (absu) tidak
terjadi heterosdastisitas dengan ditunjukkan nilai sign lebih besar dari 0.05.
Bridging the Gap between Theory and Practice
12
FACM01 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Pengujian asumsi klasik yang terakhir yaitu multikolinearitas menunjukkan bahwa
semua variabel penentu yaitu siklus operasi (X1), volatilitas penjualan (X2), ukuran
perusahaan (X3), umur perusahaan (X4), kinerja perusahaan (X5), likuiditas (X6),
leverage (X7), klasifikasi industri (X8), dan model konsekeusni ekonomi dengan
variable independent kualitas pelaporan keuangan (Y1), ukuran perusahaan (X3),
leverage (X7) dan beta (X9) tidak terjadi multikolineritas dengan ditunjukkan nilai
TOL yang mendekati 1 dan VIF lebih kecil dari 10.
4.4. Hasil Pengujian Faktor-Faktor Penentu Kualitas informasi pelaporan
keuangan
Faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangan yang digunakan dalam
penelitian ini dikelompokkan menjadi delapan kelompok yaitu 1) faktor-faktor innat
dinamis terdiri dari siklus operasi, volatilitas penjualan dan statis yang terdiri dari
ukuran perusahaan dan umur perusahaan 2) kinerja perusahaan terdiri dari proporsi
rugi, risiko institusi terdiri dari likuiditas, leverage 4) risiko lingkungan. Berikut ini
dipaparkan hasil pengujian regresi faktor-faktor penentu kualitas pelaporan
keuangan dalam bentuk Tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan variabel siklus operasi tidak berpengaruh signifikan
terhadap kualitas pelaporan keuangan (Y1). Koefisien yang dihasilkan pada kualitas
pelaporan keuangan (Y1) sebesar -0.00004 dengan probabilitas sebesar 0.96685.
Hasil ini menunjukkan hipotesis H2 tidak terbukti karena pengaruhnya tidak
signifikan. Hasil penelitian ini tidak sama dengan yang dihasilkan peneliti Dechow
dan Dichev (2002), Gu et al. (2002), Francis et al. (2004), dan Pagalung (2006).
Dechow dan Dichev (2002) mengklaim bahwa siklus operasi yang lebih lama
menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar, membuat akrual lebih ber-noise dan
kurang membantu dalam memprediksi aliran kas di masa yang akan datang.
Dechow (1994) berpendapat bahwa lama siklus operasi perusahaan adalah penentu
volatilitas kapital kerja. Bila siklus operasinya lama, maka perusahaan memerlukan
perubahan besar pada tingkat kapital kerja dan aliran kas terealisasi demikian juga
akan memberi dampak yang relatif buruk terhadap kinerja perusahaan. Semakin
banyak akrual yang bisa digunakan untuk mereduksi masalah penetapan waktu dan
penyesuaian aliran kas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin lama
Bridging the Gap between Theory and Practice
13
FACM01 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
siklus operasi perusahaan dalam satu tahun kegiatan akan dapat menimbulkan
semakin rendah kualitas pelaporan keuangan meskipun pengaruhnya tidak
signifikan.
Variabel volatilitas penjualan memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelaporan keuangan (Y1)). kualitas pelaporan keuangan (Y1)
sebesar 0.61441 dengan probabilitas sebesar 0.01331. Hasil ini menunjukkan
bahwa hipotesis H3 terbukti. Penjualan adalah bagian penting dari siklus operasi
perusahaan dalam menghasilkan pelaporan keuangan yang berkualitas. Meskipun
volatilitas penjualannya tinggi namun masih dapat menunjukkan kemampuan laba
dalam memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang karena laba yang
dihasilkan tidak mengandung banyak gangguan (noise) (Dechow and Dichev, 2002).
Ukuran perusahaan menunjukkan pengaruh yang negative dan tidak
signifikan terhadap kualitas pelaporan keuangan (Y1) bahwa hipotesis H4 tidak
terbukti. Kualitas pelaporan keuangan (Y1) sebesar -0.0124 dengan probabilitas
sebesar 0.86760, dan kualitas pelaporan keuangan 0.01912 dengan probabilitas
sebesar 0.74977. Hasil penelitian ini tidak mendukung temuan peneliti sebelumnya
(Francis et al. 2004; Gu et al. 2002, dan Cohen 2003). Ukuran perusahaan
merupakan faktor innat yang statis, dimana ukuran ini dapat mempengaruhi kualitas
pelaporan keuangan karena memiliki kemampuan diversifikasi variasi efek portofolio
bisnis, dan kos politikal yang tinggi. Implikasi dari ukuran perusahaan diharapkan
perusahaan yang besar akan memiliki kualitas pelaporan keuangan yang rendah
meskipun pengaruhnya tidak signifikan.
Umur perusahaan menunjukkan pengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap kualitas pelaporan keuangan (Y1). Koefisien yang dihasilkan pada kualitas
pelaporan keuangan (Y1) sebesar 0.00581 dengan probabilitas sebesar 0.36251..
Hal ini menunjukkan semakin lama umur perusahaan semakin tinggi kualitas
pelaporan keuangan, sehingga hipotesis H4 tidak terbukti. Hasil penelitian ini sesuai
dengan temuan Gu et al. (2002) namun tidak sesuai dengan hasil penelitian
pagalung (2006). Hasil penelitian ini juga mendukung argumen Pagalung yang
mengatakan bahwa pengukuran variabel umur perusahaan tidak sesuai dalam
penelitiannya kurang tepat. Hal ini disebabkan oleh perusahaan besar memiliki
kemampuan diversifikasi yang lebih baik dan mempunyai efek variasi portofolio
Bridging the Gap between Theory and Practice
14
FACM01 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
antar divisi-divisi dan aktivitas bisnisnya sehingga dapat mengurangi efek relatif
kesalahan estimasi, namun demikian perusahaan besar akan banyak menghadapi
sensitivitas politik yang tinggi dan menghadapi kos politikal yang lebih tinggi dari
pada perusahaan kecil (Gu et al. 2002) sehingga pengaruhnya menjadi tidak
signifikan.
Kinerja perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelaporan keuangan (Y1). Koefisien yang dihasilkan pada kualitas pelaporan
keuangan (Y1) sebesar 0.42512 dengan probabilitas sebesar 0.01861. Hal ini berarti
semakin baik kinerja perusahaan perusahaan semakin tinggi kualitas pelaporan
keuangan. Hasil ini membuktikan bahwa hipotesis H6 tidak ditolak. Hasil penelitian
ini sesuai dan mendukung Ronen and Sadan (1981); Gibbsons and Murphy (1990);
Hyan (1995); DeFond and Park (1997); Dechow and Dichev (2002); Francis et al.
(2004). Jika perusahaan memperoleh laba akan menunjukkan bahwa perusahaan
bertumbuh dan dapat berkesinambungan sehingga memiliki kualitas pelaporan
keuangan yang semakin baik pula.
Likuiditas adalah faktor risiko internal perusahaan yang menunjukkan
kemampuan suatu perusahaan secara jangka pendek akan diharapkan menutupi
kewajibannya ketika perusahaan mengalami kebangkrutan (Foster, 1986). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat berpengaruh signifikan terhadap
kualitas pelaporan keuangan. Koefisien yang dihasilkan pada kualitas pelaporan
keuangan (Y1) sebesar 0.02066 dengan probabilitas sebesar 0.24415. Hasil ini
membuktikan bahwa hipotesis H7 ditolak. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
Leftwich et al., (1981). Likuiditas juga sangat erat hubungan dengan kreditur karena
jika kondisi perusahaan tidak likuid berarti akan terjadi penundaan pengumpulan
bunga
dan
pokok
pinjaman
yang
diberikan
sehingga
kreditur
akan
mempertimbangkan dengan matang perusahaan mana yang akan ia berikan kredit
agar tidak mengalami kerugian namun demikian perusahaan dengan likuiditas tinggi
memiliki biaya agensi yang lebih tinggi dan membutuhkan pengawasan yang lebih
besar sehingga kualitas pelaporan keuangannya tidak begitu baik (Leftwich et al.,
1981)
Leverage sebagai salah satu faktor penentu kualitas pelaporan keuangan
menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada kualitas pelaporan keuangan (Y1).
Bridging the Gap between Theory and Practice
15
FACM01 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Koefisien yang dihasilkan pada kualitas pelaporan keuangan (Y1) sebesar -0.00734
dengan probabilitas sebesar 0.96432. Dengan demikian hipotesis H8 ditolak. Hasil
penelitian ini tidak mendukung temuan penelitian sebelumnya seperti penelitian
Cohen (2003), Gu et al. (2002), Francis et al. (2004), dan Pagalung (2006).
Besarnya leverage perusahaan akan menyebabkan perusahaan meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan dengan tujuan untuk mempertahankan kinerja yang
baik di mata investor dan auditor namun tidak semua perusahaan mampu
melakukan aktifitas ini karena sangat tergantung pada kredibilitas perusahaan.
4.5. Hasil Pengujian Konsekuensi Ekonomi Kualitas pelaporan keuangan.
Arah yang ingin dicapai dalam pengujian ini adalah menguji responsa
investor terhadap kualitas pelaporan keuangan perusahaan, berupa konsekuensi
ekonomi atas kualitas pelaporan keuangan. Tabel 9 berikut menunjukkan pengujian
konsekuensi ekonomi kualitas pelaporan keuangan.
Berdasarkan tabel 9 diinterpretasikan hasil pengujian konsekuensi ekonomi
kualitas pelaporan keuangan. Konsekuensi ekonomi diproksikan sebagai asimetri
informasi sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah
kualitas pelaporan keuangan dengan variabel kontrol berupa variabel ukuran
perusahaan, leverage dan beta.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh kualitas pelaporan keuangan
terhadap asimerti informasi menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan.
Koefisiennya sebesar -4.80115 (tanpa kontrol), -4.64340 (dengan kontrol) dan
probabilitas sebesar 0.00441 (tanpa kontrol) dan 0.00429 (dengan kontrol).
Besarnya pengaruh tersebut dapat dilihat dari hasil adjusted R2nya sebesar 0.050
(tanpa kontrol) dan 0.123% (dengan kontrol). Ini berarti asimetri informasi yang
dapat dijelaskan 5% (tanpa kontrol) dan 12.35 (dengan kontrol) oleh variabelvariabel independen seperti atribut kualitas pelaporan keuangan dan variabel kontrol
lainnya, yakni variabel ukuran perusahaan, leverage, dan beta. Hal ini berarti ketika
laporan keuangannya berkualitas maka ketidakseimbangan perolehan informasi
antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang
saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user) akan
semakin berkurang. Atau perbedaan informasi yang dimiliki antara satu investor
yang memiliki informasi (informed investor) dengan investor yang tidak memiliki
informasi (uninformed investor) semakin tipis.
Bridging the Gap between Theory and Practice
16
FACM01 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB V
KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang didasarkan pada tujuan penelitian di atas
dan hasil pengujian hipotesis-hipotesis pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan.
5.1. Kesimpulan
Berikut ini beberapa kesimpulan yang didasarkan pada tujuan penelitian di
atas dan hasil pengujian hipotesis-hipotesis sebagaimana dijelaskan di bab
sebelumnya.
a. Hasil pengujian regresi auxiliary R2 antar ketiga atribut kualitas pelaporan
keuangan
yakni
nilai
keberpautan,
ketepatwaktuan,
dan
konservatisma
menunjukkan terdapat perbedaan diantara atribut-atribut kualitas pelaporan
keuangan dan tidak terjadinya tumpang tindih (overlap) antar ketiga atribut
kualitas pelaporan keuangan. Hal ini terjadi karena besaran tumpang tindihnya
(the degree of overlap) memiliki nilai yang tidak melebih 0.5. Hasil pengujian
analisis faktor ketiga atribut di atas menghasilkan satu atribut kualitas pelaporan
keuangan yang baru yang disebut kualitas pelaporan keuangan faktorial. Kualitas
pelaporan keuangan faktorial tersebut pembentukannya berasal dari dua
komponen atribut, yaitu nilai keberpautan, dan konservatisma.
b. Hasil pengujian faktor-faktor penentu kualitas laba menunjukkan bahwa faktorfaktor
volatilitas
penjualan,
kinerja
perusahaan,
dan
klasifikasi
industri
berhubungan positif terhadap kualitas pelaporan keuangan faktorial sedangkan
siklus operasi, ukuran perusahaan, umur perusahaan, likuiditas dan leverage
tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.
c. Hasil pengujian konsekuensi ekonomi kualitas pelaporan keuangan menunjukkan
bahwa kualitas pelaporan keuangan faktorial berpengaruh signifikan terhadap
asimetri informasi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
17
FACM01 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
5.2. Keterbatasan
Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Banyak pengukuran untuk mengukur sebuah variabel seperti asimetri informasi.
Setidaknya peneliti menemukan tujuh pengukuran asimetri informasi mulai dari
model yang paling sederhana yaitu Venkatesh dan Chiang (1986) sampai dengan
model yang paling kompleks yaitu Easley et al. (2000) sementara penelitian ini hanya
menggunakan satu model saja. Jadi tidak dilakukan pengujian terlebih dahulu model
mana yang paling tepat dan robust untuk kondisi Indonesia.
b. Perioda sampel penelitian mulai tahun 2001 sampai tahun 2006, dimana perioda ini
merupakan perioda pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Implikasinya, hasil
penelitian ini boleh jadi berbeda jika perioda sampelnya bukan masa krisis atau masa
pemulihan krisis,
c. Sampel penelitian ini adalah perusahaan manufaktur dimana pada masa pemulihan
krisis atau selama perioda penelitian ini terdapat perusahaan yang melakukan
restrukturisasi usaha dan beberapa perusahaan bersifat holding company. Kedua
kondisi tersebut tidak dipertimbangkan sejak awal penelitian ini, sehingga menjadi
kendala penelitian.
5.3. Saran
Berikut ini saran-saran yang diajukan dari hasil penenilitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan beberapa indikator untuk mengukur asimetri informasi sehingga
diperoleh composite variabel seperti Bid Ask Spread, Varian residual harga saham,
reaksi pasar sekuritas terhadap pengumuman laba, jumlah pengumuman publik
perusahaan per perioda, intensitas perdagangan, volume sekuritas, dan probability of
informed trade (PIN) metric atau bisa juga dilakukan pengujian terlebih dahulu model
mana yang paling tepat dan robust untuk kondisi Indonesia.
b. perluasan tahun penelitian diharapkan dapat dilakukan dalam penelitian berikutnya.
Hal ini terjadi karena penelitian ini hanya mencakup enam tahun periode akuntansi,
yakni mulai tahun 2001 sampai dengan 2006, terutama yang berkaitan dengan
pcngukuran atribut kualitas pelaporan keuangan seperti nilai keberpautan,
ketepatwaktuan, dan konservatisma yang seyogianya 10 tahunan sebagaimana
dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Dechow dan Dichev (2002) dan Francis et
al. (2003a, 2003b, 2004).
c. Pengujian lebih lanjut yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan
memasukkan variabel kajian perusahaan yang bersifat holding company, dan
perusahaan yang melakukan restrukturisasi usaha. Dengan mempertimbangkan
kedua hal di atas, diharapkan struktur data keuangan akan lebih teridentifikasi
dengan baik.
Bridging the Gap between Theory and Practice
18
FACM01 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Aboody, D., J. Hughes, and J. Liu. 2003. Earnings Quality, Insider Trading, and Cost
of Capital, Working Paper, University of California, Los Angeles: 1-30.
Ahmed, A.S., B. Billings, R.M. Morton, and M.S. Harris. 2002. The Role of
Accounting Conservatism in Mitigating Bondholder-Shareholder Conflicts over
Dividend Policy and in Reducing Debt Costs. The Accounting Review. 77:
867-890.
Aliman, 2000, Modul Ekonometrika Terapan. Makalah Tidak Diterbitkan untuk
Umum, Yogyakarta: UGM
Amihud, Y., and Mendelson. 1986. Asset Pricing and the Bid Ask Spread, Journal of
Financial Economics. 17: 223-249.
Anggono, A. 2002. Pengaruh Kebijakan Pembagian Deviden, Kualitas Akrual, dan
Ukuran Perusahaan pada Relevansi Nilai Deviden, Nilai Buku dan Laba.
Thesis. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ardiati, A.Y. 2003. Pengaruh Manajemen Laba terhadap Return Saham dengan
Kualitas Audit sebagai Variabel Pemoderasi, Simposium Nasional Akuntansi
VI. Surabaya.
Ayres, F.L. 1994. Perception of Earnings Quality: What Managers Need to Know,
Management Accounting. March: 27-29.
Baginski, S.P., K.S. Lorek, G. L. Willinger, and B. C. Branson. 1999. The
Relationship Between Economic Characteristics and Alternative Annual
Earnings Persistence Measures. The Accounting Review Vol. 74, No. 1.
January: 105–120.
Ball, R., and P. Brown.
1968. An Empirical Evaluation on Accounting Income
Numbers. Journal of Accounting Research. autum: 159-178.
Ball, R., S.P. Kothari, and A. Robin. 2000. The Effect of International Institutional
Factors On Properties of Accounting Earnings. Journal of Accounting and
Economics 29: 1-51.
Bamber, L.S. 1986. The Information Content of annual Earnings Release: A Trading
Volume Approach. Journal of Accounting Research. Vol 24 No 1 Spring: 4055.
Bridging the Gap between Theory and Practice
19
FACM01 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Barth, M.E., D.P. Cram, and K.K. Nelson. 2001. Accrual and the Prediction of Future
Cash Flows, The Accounting Review. Vol.76, No.1, January: 27-58.
Barth, M. and W. Landsman. 2003. Cost of Capital and Quality of Financial
Statement Information. Working Paper, Stanford University.
Barone, G. 2002. Perceptions of Earnings Quality and Their Association With The
Cost of Equity Capital. Working Paper. Univeristy of Wisconsin.
Barry, C. and S. Brown. 1985. Differential Information and Security Market
Equilibrium. Journal of Financial and Quantitative Analysis: 407-422.
Basu, S., 1997. The Conservatism Principle And The Asymmetric Timeliness Of
Earnings. Journal of Accounting and Economics 24: 3-37.
Basu, S., L. Hwang, and C. Jan. 1997. Auditor Conservatism And Analysts’ Fourth
Quarter Earnings Forecasts. Working paper, Baruch college.
Beaver. W.H. 1968. The Information Content of Annual Earnings Announcements.
Journal of Accounting Research. Supplement: 67-92.
Beiner. S., W. Drobetz, F. Schmid dan H. Zimmermann. 2003. Is Board zise An
Independent Corporate Governance Mechanism? http://www.wwz.unibaz.
ch/cofi/publications /papers/2003/06.03.pdf.
Beneish, M., M. Vargus, 2002. Insider Trading, Earnings Quality, and Accrual
Mispricing. The Accounting Review. Vol.77, No.4: 755-791.
Beza. B. dan A. Na’im. 1998. The Information Content of Annual Earnings
Announcement:
A Trading Volume Approach. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. Vol.1. No.2. Juli: 163-173.
Bhattacharya, U., H. Daouk, and M. Walker. 2003. The World Price of Earnings
Opacity. The Accounting Review. Vol.78. No.3: 641-678.
Boediono, G.S.B., 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance dan Dampak Manajemen Laba Dengan Menggunakan Analisis
Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo: 172-194.
Botosan, C. 1997. Disclosure Level and the Cost of Equity Capital. The Accounting
Review. July: 323-349.
Botosan, C.A., and M. Plumlee. 2002. A Re-examination of Disclosure Level and the
Expected Cost of Equity Capital. Journal of Accounting Research 40: 21-40.
Bridging the Gap between Theory and Practice
20
FACM01 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Brennan, M., T. Chordia, and A. Subrahmanyam. 1998. Alternatif Factor
Specifications, Security Characteristics, And The Cross-Section Of Expected
Stock Returns. Journal of Accounting And Economics. 49: 345-373.
Brennan, M. and A. Subrahmanyam. 1996. Market Microstructure And Assets
Pricing: On The Compensation For Illiquidity In Stock Returns. Journal Of
Financial Economic. 41: 441-464.
Brief, R.P. and P. Zarowin. 1999. The Value Relevance of Dividends, Book Value
and Earnings. Working paper. Department of Accounting. Leonard N. Stern
School of Business. New York University.
Brown, L.D. and K. Sivakumar. 2001. Comparing the Quality of Three Earnings
Measures. Working Paper. Georgia State University: 1-37.
Bhushan, R. 1989. Firm Characteristics And Analyst Following. Journal of
Accounting and Economics 11: 255-274.
Chambers, D.J. 2003. Earnings Persistence and Accrual Anomaly. Working Paper.
University of Illinois at Urbana-Champaign: 1-29.
Chan, K., L.Chan, N. Jegadeesh, and J. Lakonishok. 2001. Accruals Quality And
Stock Returns: The Evidence From Accruals. Working Paper. National Taiwan
University and University of Illinois.
Chan, K., L. Chan, N. Jegadeesh, J. Lakonishok. 2004. Earnings quality and stock
returns. Working Paper. University of Illinois at Urbana-Champaign Department of Finance, 50.
Chaney, P., and C. Lewis. 1995. Earnings management and firm valuation under
asymmetric
information.
Journal
of
Corporate
Finance:
Contracting,
Governance and Organization: 319-345.
Chaney, P., D. Jeter, and C. Lewis. 1998. The use of accruals in income smoothing:
a permanent earnings hypothesis. Advances in Quantitative Analysis of
Finance and Accounting 6: 103-135.
Chaney , P.K., B. Cooil, and D.C. Jeter. 2006. A Classification of Firms Based On
Earnings Attributes. Working Paper. Owen Graduate School of Management.
Vanderbilt University.
Chau, D. and C.J. Lee, 1999. Earnings Shaving, Big Bath And Dress Up In Chapter
11 Reorganization. Working paper, Tulane University, New Orleans, LA.
Bridging the Gap between Theory and Practice
21
FACM01 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Chen, K.C.W. and C.J. Lee, 1995. Executive Bonus Plans And Accounting TradeOffs: The Case Of Oil And Gas Industry, 1985-86. Accounting Review 70: 91111.
Choi, S. and D. Jeter. 1992. The effects of qualified audit opinions on earnings
responsecoefficients. Journal of Accounting and Economics 15: 229-247.
Chordia, T., A. Subrahmanyam, and V.R. Anshuman. 2001. Trading Activity And
Expected Stock Return. Journal of Accounting And Economics. 59: 3-32.
Christensen, P.O., G.A. Feltham, and F. Sabac. 2005. A Contracting Perspective on
Earnings Quality. Journal of Accounting and Economics.39: 265-294.
Claus, J. and J. Thomas. 2001. Equity Premia as Low as Three Percent? Evidence
from Analysts’ Earnings Forecasts for Domestic and International Stock
Markets. Journal of Finance 56: 1629-1666.
Cohen, D.A. 2003. Quality of Financial Reporting Choice: Determinants and
Economic Consequences. Working Paper. Northwestern University Collins.
Cohen, D.A., 2006. Does Information Risk Really Matter? An Analysis of the
Determinants and Economic Consequences of Financial Reporting Quality.
Working Paper. Northwestern University Collins.
Collins, D.W., E.L. Maydew, and I.S. Weiss. 1997. Changes In The Value Relevance
of Earnings and Book Values Over The Past Forty Years. Journal of
Accounting and Economics. 24: 39-67.
Copeland, T. and D. Galai. 1983. Information Effects on the Bid-Ask Spread. The
Journal of Finance 36: 1457-1469.
Cornett M.M, J. Marcuss, Saunders and H. Tehranian. 2006. Earnings Management,
Corporate Governance., and True Financial Performance. Working paper.
http://papers.ssrn.com/
Cornell, B. and W. R. Landsman. 2003. Accounting Valuation: Is Earnings Quality an
Issue? Financial Analysts Journal: 20-28.
DeAngelo, L, 1981. Auditor Independence, “low balling” and Disclosure Regulation.
Journal of accounting and Economics. (August).113-127.
DeAngelo, L. 1988. Managerial Competition, Information Costs, and Corporate
Governance: The Use of Accounting Performance Measures in Proxy
Contests, Journal of Accounting and Economics. January: 3-36.
Bridging the Gap between Theory and Practice
22
FACM01 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DeAngelo, H., L. DeAngelo, and D. Skinner, 1994. Accounting choice in troubled
companies. Journal of Accounting and Economics 17: 113-143.
Dechow, P.M. 1994. Accounting Earnings and Cash Flow as Measured of Firm
Performance: The Role of Accounting Accruals, Journal of Accounting and
Economics. 18. 3-42 . Supplement: 35–59.
Dechow, P.M., R.G. Sloan, and A.P. Sweeney. 1995. Detecting Earnings
Management. The Accounting Review. Vol.70. No.2. April: 193-225.
Dechow, P.M., S.P. Kothari, and R.L. Watts. 1998. The Relation Between Earnings
and Cash Flow. Journal of Accounting and Economics. 25: 133-168.
Dechow P. and I. Dichev. 2002. The Quality of Accruals and Earnings: The Role of
Accrual Estimation Errors. The Accounting Review 77. Supplement: 35-59.
DeFond, M. 1992. The Association Between Changes In Client Firm Agency Costs
And Auditor Switching. Auditing: A journal of practice and theory 11: 16-31
DeFond, M. L. and Jiambalvo, 1994. Debt covenant violation and manipulation of
accruals. Journal of Accounting and Economics 17: 145-176.
DeFond, M. L. and C. W. Park, 1997. Smoothing Income In Anticipation Of Future
Earnings. Journal of Accounting and Economics 23: 115-139.
DeFond, L. Mark, and C. Park. 2001. The Reversal of Abnormal Accruals and the
Market Valuation of Earnings Surprises. The Accounting Review. Vol. 76,
No.3. July: 375-404.
Diamond, D., and R. Verrechia. 1991. Disclosure, Liquidity, and The Cost of Capital.
Journal of Finance. 46: 1325-1359.
Dierkens, N. 1991. Information Asymmetry and Equity Issues. Journal of Financial
and Quantitative Analysis. 26.No.2: 181-199.
Downes, J., dan J. E. Goodman. 2001. Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, PT
Elex Media Kompetindo, Jakarta.
Ecker F., J. Francis, I. Kim, P. Olsson, and K. Schipper. 2006. A Returns-Based
Representation of Earnings Quality. The Accounting Review 81: 749-780.
Easley, D., S. Hvidkjaer, dan M. O’Hara. 2002. Is Information Risk a Penentut of
Asset Returns?. The Journal of Finance. Vol.LVII. No.5. October: 2185-2221.
Easley, D. and M. O’Hara. 2003. Information and the Cost of Capital. Working
Paper. Cornell University: 1-54.
Bridging the Gap between Theory and Practice
23
FACM01 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Easton, P. 2004. PE Ratios, PEG Ratios, and Estimating the Implied Expected Rate
of Return on Equity Capital. The Accounting Review 79: 73-95.
Fama, E.F. and K. French. 1993. Common Risk Factors in the Returns on Stocks
and Bonds. Journal of Financial Economics 33: 3-56.
Eckel, N. 1981. The Income Smoothing Hypothesis Revisited. Abacus. Juni 1991:
28-40.
Fanani, Z. 2006. Manajemen laba: Bukti Dari Set Kesempatan Investasi, Utang,
Kos Politis, dan Konsentrasi Pasar Pada Pasar Yang Sedang Berkembang.
Simposium Nasional Akuntansi IX. K-AKPM 11. Padang.
Fidyati, N. 2004. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Earnings
Management Pada Perusahaan Seasoned Equity Offering (SEO). Jurnal
Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi. Vol. 2 (1): 1-23.
Financial Accounting Standards Board. 1978. Statement of Financial Accounting
Concepts Number 1, Objectives of Financial Reporting by Business
Enterprises. New York, NY. FASB.
Foster, G. 1986.
Financial Statement Analysis. Second Edition. New Jersey.
Prentice-Hall Internation.
Francis, J. R., E. L. Maydew, and H. C. Sparks, 1998. The Role Of Big-6 Auditors In
The Credible Reporting Of Accruals. Forthcoming In Auditing: A Journal of
Practice and Theory.
Francis, J., R. and K. Schipper. 1999. Have Financial Statement Lost Their
Relevance? Journal of Accounting Research. Vol 37. No.2 Autum: 319-351.
Francis, J., R. LaFond, P. Olsson, and K. Schipper, 2004, Costs of Equity and
Earnings Attributes, The Accounting Review, Vol.79. No.4: 967-1010.
Francis, J., R. LaFond, P. Olsson, and K. Schipper. 2005. The Market Pricing of
Earnings Quality. Journal of Accounting and Economics. 29: 295-327.
Fudenberg, D., and J.Tirole. 1995. A Theory of Income and Dividend Smoothing
Based on Incumbency Rents, Journal of Political Economy. 103. no.l. p. 75-93.
Gabrielsen, G., D.J. Gramlich and T. Plenborg. 2002. Managerial Ownership,
Information Content of Earnings, and Discretionary Accruals in a Non-US
Setting. Journal of Business Finance and Accounting, Vol.29. No.7 & 8.
September/ October, p.967-988.
Bridging the Gap between Theory and Practice
24
FACM01 - 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Gebhardt, W., C. Lee. and B. Swaminathan. 2001. Toward an Implied Cost of
Capital. Journal of Accounting Research 39: 135-176.
Gibbons, R. and K. J. Murphy. 1990. Relative performance evaluation for chief
executive officers. Industrial and Labor Relations Review 43: 30-51.
Givoly, D., and C. Hayn. 2000. The Changing Timeliness-series Properties of
Earning Cash Flow and Accrual: Has Financial Accounting become more
Cionservative?. Journal of Accounting and Economics 29: 287-320.
Glosten, L. and P. Milgrom. 1985. Bid Ask and Transaction Prices in A Spesialist
Market With Heterogeneously Informed Traders. Journal of Financial
Economic: 71-100.
Gordon, M. 1962. The Investment, Financing and Valuation of the Corporation.
Homewood, IL: Irwin.
Gu. Z., C.J Lee. and J.G. Rosett. 2002. Information Environment and Accrual
Volatility. Working Paper. A. B. Freeman School of Business, Tulane
University.
Gujarati, Damodar. 1997. Basic Econometrics. 1978. McGraw-Hill, Inc. Sumarno
Zain (penterjemah). Ekonometrika Dasar, Penerbit Erlangga. Jakarta.
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Gul, F.A., S. Leung, and B. Srinidhi. 2003. Informative and Opportunistic Earnings
Management and the value relevance of earnings: Some Evidence on The
Role of IOS, Working Paper. City University of Hong Kong. Departement of
Accountancy.
Harahap, K.,
2004. Asosiasi Antara Praktik Perataan Laba Dengan Koefisien
Respon Laba. Simposium Nasional Akuntansi VII. Bali: 1-14.
Hartono, J. 1998. Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Yogyakarta: BPFE.
Hartono, J. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Hayn, C. 1995. The Information Content of Losses. Journal of Accounting and
Economics, 20: 125-153.
Healy, P.M., and K.G. Palepu. 1993. The Effect Of Firms' Financial Disclosure
Policies on Stock Prices, Accounting Horizons. 7. p. 1-11.
Bridging the Gap between Theory and Practice
25
FACM01 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Healy, P., A. Hutton, and K. Palepu. 1999. Stock Performance and Intermediation
Changes Surrounding Sustained Increases in Disclosure. Contemporary
Accounting Research 16: 485-520.
Healy, P.M., and K.G. Palepu. 2001. Information Asymmetry, Corporate Disclosure,
and The Capital Markets: A Review of The Empirical Disclosure Literature.
Journal of Accounting and Economics. 31: 405-440.
Hodge, F. 2003. Investors’ Perceptions of Earnings Quality, Auditor Independence,
and The Usefulness of Audited Financial Information. Supplement. Accounting
Horizons: 37-48 .
Ibbotson Associates, Inc. 1998. Stocks, Bonds, Bills and Inflation. Yearbook.
Chicago, IL.
Indriantoro, N. dan B. Supomo, 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. Edisi pertama. BPFE. Yogyakarta.
Jensen, M.C. 1993. The Modern Industrial revolution, Exit, and the Failure of Internal
Control System. Journal of Finance, Vol. 48. July: 831-880.
Jones, J. 1991. Earnings management during import relief investigations. Journal of
Accounting Research 29: 193-228.
Kallapur, S. and M.A. Trombley. 2001. The Investment Opportunity Set:
Determinants, Consequences and Measurement. Managerial Finance. Vol. 27
(3): 3-15.
Kim, O., and R. Verrecchia. 1994. Market Liquidity and Volume Around Earnings
Announcements. Journal of Accounting and Economics. 17: 41-67.
Kirschenheiter, M., and N. Melumad. 2004. Earnings’ quality and smoothing.
Working Paper. Columbia Business school. 65.
Komalasari, P. dan Z. Baridwan, 2001, Asimetri Informasi dan Cost of Equity
Capital, Journal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4 No. 1: 64-81.
Lee, C. J. and Z. Gu. 1998. Low Balling, Legal Liability And Auditor Independence.
Accounting Review 73: 533-555.
Leftwich, R.W., R. L. Watts, and J.L. Zimmerman. 1981. Voluntary Corporate
Disclosure: The Case of Interim Reporting. Journal of Accounting Research
18: 50-77.
Bridging the Gap between Theory and Practice
26
FACM01 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Lennox, C.S. 2002. Audit Quality and Auditor Switching. Working Paper, University
of Bristol
Leuz, C. and R. Verrecchia. 2000. The Economic Consequences of Increased
Disclosure. Journal of Accounting Research 38. Supplement: 91-124.
Leuz, C. and R.E. Verrechia. 2004. Firms’ Capital Allocation Choices, Information
Quality, and the Cost of Capital. Working Paper. The Wharton School.
University of Pennsylvania: 1-22.
Lev, B. 1983. Some Economic Determinants of The Time-Series Properties of
Earnings. Journal of Accounting and Economics 5: pp 31-38.
Lev, B. and R., Thiagarajan, 1993.Fundamental Information Analysis. Journal of
Accounting Research. Vol 31. Autumn. 2: 190-215.
Lev, B. and P. Zarowin. 1999. The Boundaries of Financial Reporting and How To
Extend Them. Journal of Accounting Research 37: 353-385.
Lipe, R. 1990. The Relation Between Stock Returns and Accounting Earnings Given
Alternative Information. The Accounting Review 65: 49-71.
Mahfud, N. 2004. Interdependensi Antara Kebijakan Perusahaan. Struktur Pasar
Dan Profitabilitas Dengan Potensi Pertumbuhan Perusahaan Go Publik Di
Indonesia, Disertasi. Universitas Brawijaya Malang.
Mayangsari, S. 2001. Manajemen laba dan motivasi manajemen. Media riset
akuntansi, auditing dan informasi. Vol 1 no 2 Agustus 21-48.
McNichols, M. 2002. Discussion of “The Quality of Accruals and Earnings: The Role
of Accrual Estimation errors. The Accounting Review 77. Supplement: 61-69.
Meythi. 2006. Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan
Persistensi Laba Sebagai Variabel Intervening. Simposium Nasional Akuntansi
9. Padang. K-AKPM 01: 1-24.
Mikhail, M., B. Walther, R. Willis. 2003. Reactions To Dividend Changes Conditional
On Earnings Quality. Journal of Accounting, Auditing and Finance, Vol.18,
No.1: 121-151.
Morck, R., A. Shleifer and R.W. Vishny. 1988. Management Ownership and Market
Valuation: An Empirical Analysis.Journal of Financial Economics, Vol.20.
January/ March: 293-315.
Bridging the Gap between Theory and Practice
27
FACM01 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Naimah, Z., dan U. Sidharta. 2006. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan,
dan Profitabilitas Perusahaan Terhadap Koefisien Respon Laba dan Koefisien
Respon Nilai Buku Ekuitas: Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek
Jakarta . Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. K-AKPM 12: 1-26.
Nuswantara, D.A. 2004. The Effect of Market Share and Leverage Interaction
Toward Earnings Management Practices, Simposium Nasional Akuntansi VII .
Bali: 170–185.
Ohlson, J.A. and B.E. Juettner-Nauroth. 2000. Expected EPS and EPS Growth as
Determinants of Value. Working paper. New York University.
Ohlson, J.A. and B.E. Juettner-Nauroth. 2005. Expected EPS and EPS Growth as
Determinants of Value. Review of Accounting Studies 10: 349-366.
Pagalung, G., 2006. Kualitas Laba: Faktor-Faktor Penentu dan Konsekuensi
Ekonominya. Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Penman, S.H., and X.J. Zhang. 1999. Accounting Conservatism, the Quality of
Earning and Stock Returns. Working Paper. Sosial Science Research
Network: 1-44.
Piotroski, J. 2003. Segment Reporting Fineness and the Precision of Investors
Beliefs.Working Paper, University of Chicago.
Pudjiastuti, W., dan A.A. Mardiyah. 2006. The Influence of Earnings Management
On Earnings Quality. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang. K-INT 05: 127.
Puspitasari, E., 2003, Pengaruh Besaran Perusahaan dan Struktur Modal terhadap
Kualitas Laba. Thesis, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Rahmawati. 2005. Relevansi Nilai Informasi Akuntansi dengan Pendekatan
Terintegrasi: Hubungan Nonlinier. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo:
308-324.
Revsine, L., D. Collins. B. Johnson. 1999. Financial reporting and analysis. Prentice
Hall, Upper Saddle River. New Jersey.
Riahi-Belkaoui, A. 2003. Anticipatory income smoothing and the investment
opportunity set: An empirical Test of The Fudenderg and Tirole (1995) Model,
Review of Accounting & Finance. 2. 2; ABI/INFORM Global
Bridging the Gap between Theory and Practice
28
FACM01 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Richardson, S. 2003. Earnings quality and short sellers. Supplement. Accounting
Horizons: 49-61.
Richardson, S., R. Sloan, M. Soliman, I. Tuna. 2001. Information in accruals about
the quality of earnings. Working Paper. University of Michigan business school.
52.
Ronen. J., and S. Sadan. 1981. Smoothing Income Numbers: Objectives, Means
and Implicatons. Reading, MA: Addison Wesley.
Ryan, H.A. 1996. The Use Of Financial Ratios As Measures Of Risk In The
Determination Of The Bid-Ask Spread. Journal Of Financial And Strategic
Decision. 9. Summer: 33-41.
Saputra, I.D.G.D. 2003. Penggunaan Rasio Keuangan Sebagai Ukuran Risiko
Dalam
Menentukan
Bid-Ask
Spread.
Thesis.
Program
Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.
Schipper, K., and L. Vincent. 2003. Earnings Quality. Accounting Horizons. Vol.70.
Supplement: 97-110.
Schipper, K. 2004. Earnings Quality. Working Paper in Asia Pacific Journal of
Accounting and Economics Conference. January. Kuala Lumpur. Malaysia.
Scott, W.R. 1997. Financial Accounting Theory, Prentice Hall. Inc.
Sengupta, P. 1998. Corporate Disclosure Quality and the Cost of Debt. The
Accounting Review 73: 459-474.
Sharpe. W.F. 1964. Capital Asset Prices: A Theory of Market Equilibrium Under
Conditions of Risk. The Journal of Finance. September: 25-442.
Siallagan, H., dan M. Machfoedz, 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas
Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang. KAKPM 13: 1-23.
Skinner, D.J. 1993. The investment opportunity set and accounting procedure
choice: Preliminary evidence, Journal of Accounting and Economics. 16
(October:. 407-455.
Sloan, R.G.. 1996. Do Stock Prices Fully Reflect Information in Accruals and Cash
Flow About Future Earnings?. The Accounting Review. Vol.71. No.3, July: 289315.
Bridging the Gap between Theory and Practice
29
FACM01 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Stice, E.K. 1991. The market reaction to 10-K and 10-Q Filling and to subsequent
The Wall Street Jurnal Earnings Announcements. The Accounting Review. Vol
66 No 1: 42-55.
Suaryana, A. 2005. Pengaruh Komite Audit Terhadap Kualitas Laba. Simposium
Nasional Akuntansi VIII. Solo: 147-158.
Subekti, I. 2001. Bukti Tambahan atas Asosiasi antara The Investment Opportunity
Set dengan Kebijakan Pendanaan dan Dividen Perusahaan pada Pasar
Sedang Berkembang, TEMA. II. Nomor 1. Maret.
Subramanyam, K.R.. 1996. The Pricing of Discretionary Accruals, Journal of
Accounting and Economics. 22. August-December: 249-282.
Subroto, B., 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Kepada
Ketentuan Pengungkapan Wajib oleh Perusahaan-Perusahaan Publik dan
Implikasinya Terhadap Kepercayaan Investor di Pasar Modal. Disertasi.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sugiri, S. 2003. Kemampuan Laba Rincian untuk Memprediksi Arus Kas. Disertasi.
Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta.
Susanto, S., dan E. Ekawati. 2006. Relevansi Nilai Informasi Laba dan Aliran Kas
Terhadap Harga Saham dalam Kaitannya dengan Siklus Hidup Perusahaan.
Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. K-AKPM 26: 1-21.
Syukri, A. 1999. Manajemen Laba dalam Perspektif Teori Akuntansi Positif, Analisis
Laporan Keuangan dan Etika. Media Akuntansi, No. 3, Th. I, September
1999, XI-XVII.
Teoh, S. H., I. Welch, and T. J. Wong, 1998a. Earnings Management And The
Underperformance Of Seasoned Equity Offerings. Journal of Financial
Economics 50: 63-99.
Teoh, S. H., I. Welch, and T. J. Wong, 1998b. Earnings Management And The LongRun Market Performanceof Initial Public Offerings. Journal of Finance 53:
1935-1974.
Thomas, J.K., and X.J. Zhang. 2000. Identifyng Unexpexted Accrual: A Comparison
of Current Approaches. Journal of Accounting and Public Policy. 19: 347-376.
Bridging the Gap between Theory and Practice
30
FACM01 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tumirin. 2003. Analisis Variabel Akuntansi Kuartalan, Variabel Pasar, Arus Kas
Operasi
Yang
Mempengaruhi
Bid-Ask
Spread.
Thesis.
Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Venkatesh, P.C. and R. Chiang. 1986. Information Asymmetry And The Dealer’s
Bid-Ask Spread: Case Study Of Earnings And Dividend Announcements. The
Journal of Finance. XLI. No. 5: 1089-1102.
Verdi, R.S. 2006. Financial Reporting Quality and Investment Efficiency. Working
Paper, The Wharton School University of Pennsylvania.
Verrecchia, R.E. 2001. Essays on Disclosure. Journal of Accounting and Economics
32: 97-180.
Warfield, T., J Wild, and K. Wild. 1995. Managerial Ownership, Accounting Choices,
and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics,
Vol.20. No.1. July: 61-91.
Watts, R.L. 2002. Conservatism in Accounting. Sosial Science Research Network
Electronik Paper Collections.
Watts, R. 2003. Conservatism In Accounting, Part 1: Explanations and Implications.
Accounting Horizon 17: 207-221.
Watts. R.L., and J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory, Prentice-Hall.
Englewood Cliffs.
Welker, M. 1995. Disclosure Policy, Information Asymmetry and Liquidity in Equity
Markets. Contemporary Accounting Research 11: 801-828.
White, G., A. Sondhi, D. Fried, 2003. The Analysis and Use of Financial Statements.
John Wiley and Sons. third edition. 767.
Wijayanti, H.T. 2006. Analisis Pengaruh Perbedaan Antara Laba Akuntansi dan
Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, dan Arus Kas. Simposium
Nasional Akuntansi 9. Padang. K-AKPM 28: 1-31.
Yeo, G., H.H. Patricia, M.S. Tan., K.W. Ho, and S.Y. Chen. 2002. Corporate
Ownership Structure and Informativeness of Earnings. Journal of Business
Finance & Accounting, Vol.29. No.7 & 8. September/ October: 1023-1046.
Yohn. T.L. 1998. Information Asymmetry Around Earnings Announcement. Review
Of Quantitative Finance And Accounting. 11:165-182.
Zeff, S.A. 1978. The Rise of Economic Consequences. The Journal of Accountancy.
December: 56-63.
Bridging the Gap between Theory and Practice
31
FACM01 - 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Gambar I. Rerangka Penelitian Kualitas pelaporan keuangan: Faktor-Faktor
Penentu dan Konsekuensi Ekonominya
Faktor-faktor penentu
Kualitas pelaporan keuangan
Konsekuensi Ekonomi
Dinamis:
• Siklus Operasi
• Volatilitas penjualan
Statis
• Ukuran Perusahaan
• Umur Perusahaan
Kinerja Perusahaan
• Proporsi laba/rugi
Kualitas Pelaporan Keuangan
• Nilai keberpautan
• Ketepatwaktuan
• Konservatisma
Konsekuensi ekonomi
• Asimetri informasi
Risiko Institusi
• Likuiditas
• Leverage
Risiko lingkungan
• Klasifikasi industri
Kontrol
Ukuran Perusahaan
Beta
Leverage
Bridging the Gap between Theory and Practice
32
FACM01 - 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 3.1 Prosedur Pemilihan Sampel
Penetapan Sampel
1
2
3
Jumlah
Perusahaan yang listing di bursa efek Indonesia tahun
2001
Bukan perusahaan pemanufakturan
323
(142)
Perusahaan yang tidak listing berturut-turut mulai tahun
2001 s.d 2006
Sampel
(40)
141
Tabel 2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
No
Variabel
Definisi
Pengukuran
Operasional
1
Siklus operasi
Periode waktu rata-
perusahaan
rata antara
(X1)
pembelian
(Piu tan g dagang
( persediaanjt + persediaanjt )/ 2
jt + piu tan g dagang jt −1 ) / 2
+
Penjualanjt / 360
H arg a pokok penjualanjt / 360
persediaan dengan
pendapatan kas
yang nantinyaakan
diterima penjual
atau rangkaian
seluruh transaksi
dimana suatu
bisnis
menghasilkan
penerimaannya
dan penerimaan
kasnya dari
pelanggan
2
Volatilitas
Derajat
penjualan (X2)
penyebaran
σ ( penjualan selama 5 tahun jt )
Total aset jt
penjualan atau
Bridging the Gap between Theory and Practice
33
FACM01 - 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
indeks penyebaran
distribusi penjualan
perusahaan
3
Ukuran
Skala besarnya
Perusahaan
perusahaan
Logaritma Total aset
(X3)
4
Umur
Lama perusahaan
Perusahaan
beroperasi
Tahun Observasi-Tahun berdiri
(X4)
5
6
Kinerja
Suatu indikasi akan
Perusahaan
kejatuhan
(X5)
perusahaan
Likuiditas (X6)
Kemampuan suatu
perusahaan secara
Jumlah tahun perusahaan yang memiliki laba negatif
5
aset lancarjt
u tan g lancarjt
jangka pendek
mampu menutupi
kewajibannya
ketika perusahaan
mengalami
kebangkrutan
7
Leverage (X7)
Adanya bagian
sumber pendanaan
total u tan g
total aset
untuk operasional
maupun investasi
yang berasal dari
luar perusahaan
8
Klasifikasi
Bidang usaha
skor 1 untuk klasifikasi industri
Industri (X8)
perusahaan
dasar serta bahan kimia (basic
industri and chemical) dan
industri lainnya skornya 0
9
Nilai
Kemampuan laba
Bridging the Gap between Theory and Practice
34
FACM01 - 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
keberpautan
untuk menjelaskan
Adjusted R2 diperoleh dari
(Y11)
variasi dalam
persamaan
imbalan, dimana
kekuatan penjelas
RETjt =
Imbalan
selama
15
yang lebih besar
bulan yang berakhir setelah
dipandang sebagai
tiga bulan akhir tahun fiskal
yang diinginkan
perusahaan j tahun t
=
Earningsjt
laba
sebelum
luar
biasa
item-item
perusahaan j tahun t
10
Ketepatwaktuan Kemampuan laba
(Y12)
untuk menjelaskan
Adjusted R2 diperoleh dari
variasi dalam
persamaan
imbalan, dimana
kekuatan penjelas
RETjt= Imbalan selama 15 bulan
yang lebih besar
yang berakhir setelah tiga
dipandang sebagai
bulan
yang diinginkan
perusahaan j tahun t
Earningsjt
akhir
=
tahun
laba
item-item
fiskal
sebelum
luar
biasa
perusahaan j tahun t
NEGjt= Dummy variabel 1 jika
RET < 1 dan 0 untuk yang
lain.
11
Konservatisma
(Y13)
Kemampuan untuk
memverifikasikan
=
BMTit= Rasio buku terhadap nilai
perbedaan yang
pasar untuk perusahaan j
diperlukan agar
pada
bisa membuktikan
berakhir pada t
apakah yang
didapatkan adalah
=
tahun
fiskal
yang
Intercept terhadap seluruh
perusahaan
Bridging the Gap between Theory and Practice
dan
semua
35
FACM01 - 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
laba atau rugi
tahun
Komponen bias
=
perusahaan spesifik yang
tetap
dari
rasio
buku
terhadap nilai pasar (BTM)
selama
periode
sampel
yang digunakan
=
Komponen rasio buku
terhadap nilai pasar pada
tahun tertentu untuk seluruh
perusahaan.
Rjt=
Imbalan saham (tidak
termasuk
dividen)
untuk
perusahaan j pada tahun t.
Lanjutan Tabel 32
No Variabel
13
14
Definisi Operasional
Pengukuran
Kualitas
Skor faktor dari nilai
pelaporan
keberpautan,
keuangan
ketepatwaktuan, dan
faktorial (Y1)
konservatisma
Asimetri
kondisi di mana ada
informasi (Y2) ketidak seimbangan
perolehan informasi
;
SPREADjt
Askjt=
=
harga permintaan
antara pihak
tertinggi saham
manajemen sebagai
perusahaan j yang
penyedia informasi
terjadi pada hari t
dengan pihak
Bidjt=
harga penawaran
pemegang saham
terendah saham
dan stakeholder
perusahaan i yang
pada umumnya
terjadi pada hari t
Bridging the Gap between Theory and Practice
36
FACM01 - 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
sebagai pengguna
informasi (user)
PRICEjt
= harga
penutupan saham
perusahaan j pada hari t
di setiap hari dalam
event windows
TRANSjt= jumlah transakasi
(volume) suatu saham
perusahaan j pada hari t
dalam tiap-tiap hari
event windows
VARjt= varian imbalan harian
selama periode
penelitian pada saham
perusahaan j dan hari
ke-t.
Imbalan harian= merupakan
prosentase perubahan
harga saham pada hari
ke-t dengan harga
saham pada hari
sebelumnya (t – 1).
DEPTHjt= rata-rata jumlah
saham perusahaan i
dalam semua quates
(jumlah saham yang
tersedia pada
permintaan ditambah
jumlah yang tersedia
pada saat bid dibagi 2)
selama setiap hari ke-t
dalam event windows.
Bridging the Gap between Theory and Practice
37
FACM01 - 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
jt =
residual error yang
digunakan sebagai
ukuran SPREAD yang
telah disesuaikan dan
digunakan sebagai
proksi asimetri informasi
untuk perusahaan i pada
hari ke-t
Beta (X9)
Risiko sistematik
Beta koreksi Beta Fowler &
dari suatu sekuritas
Rorke (1983)
atau portofolio relatif
terhadap risiko
pasar
Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Variabel
Siklus Operasi (X1)
Ratarata
Median
152.983 131.203
Deviasi
Standar
79.550
Volatilitas Penjualan (X2)
0.298
0.184
0.349
Ukuran Perusahaan (X3)
13.378
13.247
1.461
Umur Perusahaan (X4)
27.043
27.000
12.759
Kinerja Perusahaan (X5)
0.308
0.200
0.317
Likuiditas (X6)
2.036
1.330
4.529
Leverage (X7)
0.688
0.593
0.508
Beta (X9)
1.057
1.066
0.122
Nilai Keberpautan (Y11)
1.973
1.999
0.307
Ketepatwaktuan (Y12)
-0.231
-0.831
0.895
Konservatisma (Y13)
0.000
1.344
8.235
Asimetri Informasi (Y2)
9.263
8.924
20.136
Kualitas pelaporan keuangan (Y1)
0.000
-0.026
1.000
Keterangan:
Bridging the Gap between Theory and Practice
38
FACM01 - 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
jumlah observasi 141 perusahaan selama lima tahun (tahun 2001 sampai dengan
2005), seluruh variabel faktor-faktor penentu merupakan data rata-rata selama lima
tahun kecuali untuk umur perusahaan, dan klasifikasi industri karena dalam bentuk
data nominal (dummy), sehingga klasisikasi industri hanya diambil pada tahun 2005
saja.
Tabel 4. Matriks Korelasi Antar Atribut Kualitas pelaporan keuangan
nilai
keberpauta
Ketepatwakt Konservatism Auxiliary R2
uan
a
berbasis
pasar 2
n
nilai keberpautan
1
-0.068
0.394*
0.155
ketepatwaktuan
-0.068
1
-0.192**
0.037
konservatisma
0.394*
-0.192**
1
0.182
Keterangan:
* signifikan 1%
** signifikan 5%
Matrik korelasi ini menggunakan korelasi produk moment. Korelasi menunjukkan
hubungan yang signifikan jika memiliki nilai r hitung ≥ r tabel (0.159 level 5% dan
0.210 level 1%, Arikunto,2002:328). Tampak dari hasil pengujian terdapat nilai r
yang lebih besar dari ≥ 0.210. Namun demikian tidak ada satupun yang lebih besar
dari 0.8 sehingga bebas dari persoalan multikolinearitas antar atribut (Gujarati,
2003).
Tabel 5. Analisis Faktor Atribut-Atribut Kualitas pelaporan keuangan
Atribut kualitas pelaporan keuangan
A. Communalities
Variabel
nilai
keberpautan
(121)
Ketepatwakt Konservatism
uan (Y12)
a (Y13)
2
Nilai ini diperoleh berdasarkan regresi auxiliary khusus untuk tiga atribut kualitas pelaporan keuangan
berbasis pasar yaitu keberpautan, ketepatwaktuan, dan konservatisma
Bridging the Gap between Theory and Practice
39
FACM01 - 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Communalit
ies
0.581
0.202
0.684
B. Eigenvalues untuk pengurangan matrik korelasi
Eigenvalues
1.467
0.947
0.586
C. Matriks Komponen antar Variabel
Faktor
loading
0.762
-0.450
0.827
Keterangan:
Analisis faktor menggunakan metode analisis komponen utama dengan ekstraksi
konfirmatori (common factor). Analisis faktor konfirmatori ini dipilih karena secara
teoritis kualitas pelaporan keuangan yang terdiri nilai keberpautan, ketepatwaktuan,
dan konservatisma (Francis et al., 2004)
Bridging the Gap between Theory and Practice
40
FACM01 - 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 6. Asumsi Klasik Faktor-Faktor Penentu Kualitas pelaporan keuangan
Kualitas
pelaporan
keuangan
Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Autokorelasi
Heteroskedastisitas (T hitung/Sign)
Siklus Operasi (X1)
Volatilitas Penjualan (X2)
Ukuran Perusahaan (X3)
Umur Perusahaan (X4)
Kinerja Perusahaan (X5)
1.185
0.120
2.133
1.690 (0.094)
1.727 (0.087)
0.842 (0.401)
-1.181 (0.240)
-0.361 (0.719)
Likuiditas (X6)
Leverage (X7)
Klasifikasi Industri (X8)
0.315 (0.753)
1.473 (0.143)
-1.261 (0.209)
Multikolinearitas
1.Tolerance (TOL)
Siklus Operasi (X1)
Volatilitas Penjualan (X2)
Ukuran Perusahaan (X3)
Umur Perusahaan (X4)
Kinerja Perusahaan (X5)
Likuiditas (X6)
0.831
0.800
0.494
0.886
0.897
0.912
Leverage (X7)
Klasifikasi Industri (X8)
2. Variance Inflation Factor (VIF)
Siklus Operasi (X1)
Volatilitas Penjualan (X2)
Ukuran Perusahaan (X3)
Umur Perusahaan (X4)
Kinerja Perusahaan (X5)
Likuiditas (X6)
Leverage (X7)
Klasifikasi Industri (X8)
0.842
0.901
1.204
1.250
2.023
1.128
1.115
1.096
1.188
1.110
Keterangan:
Jumlah data (observasi) = 141, jumlah variabel bebas 8, nilai ttabel : α = 5% = 1.960.
nilai dl=1.622, du=1.847, 4-dl=2.153, 4-du=2.378
Bridging the Gap between Theory and Practice
41
FACM01 - 41
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 7. Hasil Pengujian Faktor-faktor Penentu Kualitas pelaporan keuangan
+
Variabel Penentu
+
Prediksi
Constanta
Siklus Operasi (X1)
-
Volatilitas Penjualan
(X2)
+
Ukuran Perusahaan
(X3)
-
Umur Perusahaan (X4)
+
Kinerja Perusahaan (X5)
+
Likuiditas (X6)
+
Leverage (X7)
+
Klasifikasi Industri (X8)
+
Adjusted R2
Kualitas pelaporan
keuangan (Y1)
-1.64183
-0.00004
(-0.04164)
(0.96685)
0.61441
(2.51061)
(0.01331**)
-0.01242
(-0.16704)
(0.86760)
0.00581
(0.91387)
(0.36251)
0.42512
(2.38390)
(0.01861**)
0.02066
(1.17011)
(0.24415)
-0.00734
(-0.04483)
(0.96432)
0.36102
(2.09782)
(0.03790**)
0.18282*
Keterangan
* signifikan 1%, ** signifikan 5%, *** signifikan 10%
Tanda tebal menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap
dependen variabelnya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
42
FACM01 - 42
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 8. Asumsi Klasik Konsekuensi Ekonomi Kualitas pelaporan keuangan
Asimetri informasi
Asimetri Informasi
(Y2)
(Y2)
(Tanpa Kontrol)
(Dengan Kontrol)
Kolmogorov-Smirnov Z
1.337
0.920
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.056
0.366
1.915
2.030
-0.756(0.451)
-1.794(0.075)
Uji Normalitas
Autokorelasi
Heteroskedastisitas
(t
hitung/Sign)
Y1
-1.354(0.178)
Ukuran Perusahaan (X3)
0.875(0.383)
Leverage (X7)
1.566(0.120)
Beta (X9)
Multikolinearitas
1.Tolerance (TOL)
Y1
0.717
Ukuran Perusahaan (X3)
0.961
Leverage (X7)
0.740
Beta (X9)
0.930
2. Variance Inflation Factor
(VIF)
1.394
Y1
1.040
Ukuran Perusahaan (X3)
1.351
Leverage (X7)
1.076
Beta (X9)
Keterangan:
Jumlah data (observasi) = 141,jumlah variabel bebas (k=1) untuk model tanpa
kontrol dan (k=4) dengan kontrol, nilai ttabel
:
α = 5% = 1.960, u Y1= kualitas
pelaporan keuangan. untuk model tanpa kontrol (k=1) nilai dl=1.720, du=1.746, 4dl=2.254, 4-du=2.280, untuk model dengan kontrol (k=4) nilai dl=1.679, du=1.788, 4dl=2.212, 4-du=2.321.
Bridging the Gap between Theory and Practice
43
FACM01 - 43
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 9. Hasil Pengujian Konsekuensi Ekonomi Kualitas pelaporan keuangan
+
(Model Tanpa Kontrol)
+
Variabel Penentu
Pre
diksi
Contanta
Y1
-
Ukuran Perusahaan
(X3)
(Model Kontrol)
Asimetri informasi
Asimetri Informasi
(Y2)
(Y2)
(Tanpa Kontrol)
(Dengan Kontrol)
9.26326
24.89721
-4.80115
-4.64340
(-2.89459)
(-2.90448)
(0.00441*)
(0.00429*)
0.34906
?
(0.31384)
(0.75413)
-11.57988
Leverage (X7)
?
(-3.68850)
(0.00033*)
-11.67223
Beta (X9)
?
(-0.87369)
(0.38383)
Adjusted R
2
0.050*
0.123*
Keterangan
* signifikan 1%, ** signifikan 5%, *** signifikan 10%
Tanda tebal menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap
dependen variabelnya, jumlah data (observasi) = 141,jumlah variabel bebas 1
(tanpa kontrol) dan 4 (dengan kontrol), nilai ttabel : α = 5% = 1.960, Y1= kualitas
pelaporan keuangan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
44
FACM01 - 44
FACM02
DETERMINAN KESALAHAN PERAMALAM LABA MANAJEMEN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN UNDERPRICING
Studi Empiris pada IPO Disclosure di Bursa Efek Jakarta
Florensia Yunita S
Alumni Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi FE UI
Yanthi Hutagaol *)
Fakultas Ekonomi Univesitas Kristen Indonesia
Irwan Ekaputra
Magister Manajemen FE UI
Topic: Financial Management or Capital Market Research
*) Coresponding author
1
FACM02
1.
Latar Belakang Masalah
Prospektus
yang
disampaikan
oleh
emiten
saat
IPO
seharusnya
menggambarkan kondisi perusahaan masa lalu dan ramalan di masa yang akan
datang. Dari semua informasi yang ada, informasi yang akan datang dalam bentuk
ramalan, umumnya menjadi perhatian calon investor, sehingga dalam pembuatan
keputusan investasi, investor lebih menekankan informasi yang menyangkut
kejadian yang akan datang dibandingkan informasi historis yang berupa: neraca,
laporan arus kas, dan laporan rugi/laba. Hendrikson (1982) menjelaskan bahwa
laporan keuangan historis dianggap sebagai review kejadian-kejadian masa lalu. Di
lain pihak, investor sangat berkepentingan dengan prospek perusahaan di masa
yang akan datang.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa ketepatan ramalan dapat memiliki
informasi mengenai pasar saham perusahaan (Patell, 1976; Penman 1980;
Waymire, 1984; Lev & Penman, 1990) menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara asimetri informasi dengan signaling
pada peramalan
yang dibuat oleh
emiten. Perusahaan yang baik,cenderung akan memberikan informasi sebanyak
mungkin dan membuat
peramalan yang akurat. Sehingga perusahaan tersebut
akan mendapat perhatian yang lebih besar oleh investor.
Penelitian-penelitian lain tentang peramalan, menjelaskan adanya fenomena
underpricing saat IPO (Ritter, 1991; McGuinnes, 1992; Husnan, 1993; Aggrawal,
1993; Ernyan dan Husnan, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal (1993)
menyimpulkan
bahwa
IPO
dalam
jangka
pendek
menunjukkan
terjadinya
underpricing, tetapi dalam jangka panjang terjadi return yang negatif. Underpricing
ini di satu pihak menguntungkan investor tetapi di pihak lain akan merugikan emiten
karena dana yang dikumpulkan tidak maksimal. Penurunan kinerja yang terjadi
dalam jangka panjang akan merugikan investor karena akan memperoleh return
yang negatif
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu: faktorfaktor determinan apa saja yang dapat menentukan ketepatan peramalan laba yang
diungkapkan pada prospektus perusahaan yang IPO. Selain itu, juga akan dilihat
apakah kesalahan peramalan berhubungan dengan IPO underpricing.
2
FACM02
2. Tinjauan Pustaka dan Perumusan Hipotesis
Periode interval ramalan laba adalah jarak waktu antara tanggal pembuatan
ramalan laba sampai dengan dicapainya laba sesungguhnya. Cooper dan Taylor
(1983) menemukan bahwa semakin pendek interval waktu maka akan semakin
akurat peramalan tersebut. Sedangkan penemuan Firth dan Smith (1996) memberi
bukti yang lain. Mereka menyimpulkan bahwa semakin pendek periode interval
peramalan
dengan
realisasi
laba,
manajemen
semakin
tidak
mempunyai
kesempatan untuk memperoleh laba sesuai dengan ramalan yang ditargetkan.
Penelitian ini merumuskan hipotesis kerja adanya hubungan positif yang signifikan
antara interval peramalan dengan kesalahan peramalan laba
Menurut Cooke (1992) adalah besaran perusahaan skala ekonomi yang tinggi
menyebabkan perusahaan dapat menghasilkan produk dengan biaya yang rendah.
Tingkat biaya yang rendah merupakan unsur untuk mencapai tingkat laba yang
diinginkan sesuai dengan standar yang dituangkan dalam bentuk ramalan.
Sehubungan dengan hal itu, skala ekonomi yang tinggi menyebabkan biaya
informasi untuk membuat ramalan menjadi turun. Jadi perusahaan yang memiliki
skala ekonomi tinggi bisa membuat ramalan yang tepat karena kemungkinan
mempunyai data dan informasi yang lengkap. Reese, Jr (1998) menemukan adanya
hubungan yang positif dan signifikan antara ukuran perusahaan dengan terjadinya
underpricing dan besarnya volume penjualan saham. Hasil penelitiannya konsisten
dengan penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) yang membuktikan bahwa
perusahaan berukuran kecil cenderung mengalami underpricing dibandingkan
dengan perusahaan besar. Penemuan tersebut semakin dikuatkan dengan hasil
penelitian Kooli dan Suret (2001) yang menegaskan bahwa IPO yang dilakukan oleh
perusahaan kecil lebih berisiko dibandingkan dengan perusahaan besar sehingga
perusahaan
kecil
lebih
sering
mengalami
underpricing
yang
lebih
besar
dibandingkan dengan perusahaan besar. Penelitian ini merumuskan hipotesis
bahwa SIZE akan berhubungan negatif dan signifikan dengan kesalahan peramalan
laba dan kinerja saham IPO pada pasar sekunder.
Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dapat bertahan
hidup dan banyaknya informasi yang bisa diserap oleh publik. Semakin panjang
umur perusahaan semakin banyak informasi yang bisa diserap masyarakat
(Daljono, 2000 dalam Hadri Kusuma, 2001). Dalam kondisi normal, perusahaan
3
FACM02
yang telah lama berdiri akan mempunyai publikasi perusahaan lebih banyak
dibandingkan dengan perusahaan yang masih baru. Calon investor tidak perlu
mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk memperoleh informasi dari
perusahaan yang melakukan IPO tersebut. Jadi perusahaan yang telah lama berdiri
diprediksi mempunyai AFE yang lebih kecil daripada perusahaan yang masih baru
Penelitian Hartnett & Romcke (2000) menemukan adanya hubungan negatif
yang signifikan antara AFE dengan Big Firm Auditor. Mereka berpendapat bahwa
demi menjaga reputasinya maka KAP dengan reputasi baik (dalam hal ini the Big
Four), maka auditor akan mengawasi dengan ketat bagaimana manajemen
menentukan peramalan laba mereka berdasarkan laporan keuangan yang telah
diaudit. Sama halnya dengan Harnett & Romcke (2000), penelitian ini juga
berhipotesis adanya hubungan negatif yang signifikan antara reputasi auditor
dengan kesalahan peramalan laba.
Internasional exposure merupakan proxy variabel suatu kompleksitas bisnis
perusahaan dan risiko saling berhubungan. Pada perusahaan yang berskala
internasional cenderung memiliki kompleksitas bisnis dan risiko yang lebih besar jika
dibandingkan dengan perusahaan skala domestik. Karena kompleksitas bisnis dan
risiko yang lebih besar, maka terdapat kecenderungan ketidaktepatan peramalan
yang dibuat pun akan menjadi besar. Sehingga hipotesis kerja yang akan diuji
adalah hubungan positif antara perusahaan yang ter-expose secara internasional
dengan kesalahan peramalan laba.
Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar
hutang dengan equity yang dimilikinya. Financial leverage yang tinggi menunjukkan
risiko finansial atau risiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman
akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena semakin tinggi financial leverage,
maka preusan berusaha untuk menunjukkan profit yang lebih tinggi sehingga
diprediksi AFE akan semakin tinggi.
Setiap kelompok industri mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dari
kelompok industri lain. Barinda (2003) mengatakan bahwa terdapat perbedaan risiko
yang cukup menonjol diantara 2 sektor yaitu sektor keuangan dan sektor nonkeuangan. Sektor keuangan cenderung memiliki risiko yang lebih besar jika
dibandingkan dengan sektor lain. Oleh karena itu biasanya sector keuangan
merupakan industri yang diatur secara ketat oleh pemerintah. Sebagai akibatnya,
4
FACM02
semakin sulit bagi Manajemen perusahaan keuangan untuk melakukan peramalam
.yang terlalu optimistis. Berdasarkan hal ini maka diharapkan AFE akan semakin
kecil pada sektor keuangan.
Suatu
aktivitas perusahaan berpengaruh terhadap ketidaktepatan ramalan
karena nature suatu siklus pasar peghasilan dengan struktur biaya yang semakin
beragam. Perusahaan yang bergerak dalam satu sektor cenderung lebih mudah
dalam membuat peramalan laba karena faktor-faktor yang dipertimbangkan tidak
begitu banyak jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki
banyak segmen usaha. Sehingga penelitian ini menguji hipotesis adanya hubungan
positif antara banyaknya segmen usaha perusahaan dengan kesalahan peramalan
laba.
Selain menganalisis faktor-faktor yang menentukan besarnya kesalahan
permalan laba, penelitian ini juga ingin melihat apakah kesalahan peramalan laba
akan mempengaruhi keputusan investor dalam penentuan harga IPO pada hari-hari
pertama di pasar sekunder. Tinjauan pustaka atas factor-faktor determinasi AFE
menunjukkan bahwa setiap factor berisikan informasi bagi investor. Semakin banyak
informasi yang diketahui oleh investor, semakin mampu investor membuat
keputusan penentuan harga yang lebih tepat. Hal ini juga mendorong manajemen
untuk membuat peramalan laba yang tidak optimistis. Sehingga diharapkan ada
hubungan positif antara AFE dan Initial returns (IR)
Selain AFE, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi IR IPO, antara lain
prosentase saham yang ditahan oleh pemegang saham lama (ownership retention).
How dan Low (1993), Hedge dan Miller (1996), dan Gumanti (2000) menemukan
hubungan positif antara ownership retention dan tingkat underpricing.
Kondisi bursa juga sangat mempengaruhi IP saham IPO. Hipotesa Hot cold
market (Ibbotson, 1973) mengatakan bahwa pada kondisi bursa yang menaik, makin
banyak perusahaan yang melakukan IPO dengan volume yang besar, yang
berakibat IR IPO juga biasanya akan besar. Sebaliknya pada kondisi bursa yang
tidak baik, sedikit perusahaan yang melakukan IPO dan volume trading juga lebih
kecil, yang berakibat pada kecilnya IR. Sehingga penelitian ini memprediksi bahwa
ada hubungan positif antara kondisi bursa dengan IR.
Faktor lain yang sering ditemukan oleh penelitian-penelitian terdahulu
berpengaruh terhadap IR adalah besaran perusahan dan industri. Penelitian ini
5
FACM02
berhipotesis bahwa ada hubungan negatif antara besaran perusahan dengan IR
saham IPO, karena perusahaan besar, yang pada umumnya adalah perusahaan
yang mapan dengan resiko yang lebih kecil, sehingga lebih tepat dalam menentukan
nilai perusahaan yang menyebabkan IR yang rendah . (Ritter, 1986). Dengan
ketatnya peraturan pada sektor keuangan, maka proses underwrting perusahaan
keuangan juga berbeda dari perusahaan pada
industri yang lain, yang
menyebabkan penentuan nilai saham perdana sektor keuangan lebih tepat secara
relatif daripada sektor lain.
3. Metodologi Penelitian
3.1. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan IPO yang
terdaftar di BEJ tahun 1997 – 2005. Data laporan keuangan perusahaan yang go
public di BEJ diperoleh dari prospektus dan Indonesian Capital Market Directory
(ICMD).
3.2. Pengukuran Variabel
Variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Kesalahan (bias) ramalan laba (AFE)
Ketidaktepatan ramalan laba diukur dengan AFE (Absolute Forecast Error),
dengan rumus sebagai berikut :
AFE =
[ AP − FP ]
× 100
FP
AP = Actual Profit, adalah laba sesungguhnya (penulis menggunakan laba
bersih sebagaimana Sunaryati, 1996; Hartnett dan Romcke (2000); dan
Barinda, 2001).
FP = Forecast profit yang dikeluarkan dalam prospektus
b. SIZE
Variabel ini diukur dengan logaritma natural (ln) dari Total Asset
perusahaan pada saat IPO. (Sunaryati, 1996; Baginski dan Hassel, 1997;
Hartnett dan Romcke, 2000)
c. INTERVAL
6
FACM02
Variabel ini diukur dari perusahaan tersebut dinyatakan efektif oleh
Bapepam-LK sampai dengan akhir tahun, diukur dalam hari. (Sunaryati,
1996, Hartnett dan Romcke, 2000; dan Barinda, 2001).
d. AGE
Variabel ini diukur dengan normal log usia perusahaan pada saat IPO. Usia
perusahaan diukur dari lamanya perusahaan beroperasi (dalam bulan) yaitu
sejak perusahaan itu didirikan (established date) sampai dengan saat
perusahaan melakukan IPO (listing date). Umur perusahaan dihitung dalam
skala bulanan (Rina Trisnawati, 1998; Hadri Kusuma, 2001; Barinda, 2003)
e. AUDITOR
Merupakan variabel Dummy, dimana auditor yang termasuk kedalam big 4
diberi angka 1, lainnya 0. (Sunaryati, 1996; Hartnett dan Romcke, 2000
dan Barinda, 2001).
f. MNC (Multinational Company)
MNC
merupakan
variabel
Dummy.
Jika
perusahaan
merupakan
perusahaan berskala nasional maka diberi nilai 1 dan tidak 0. (Hartnett dan
Romcke, 2000)
g. LEV
Variabel ini diukur dengan normal log dari persentase rasio total debt
terhadap equity (Sunaryati, 1996; Barinda, 2001; Hadri Kusuma, 2001)
h. IND (Kelompok Industri)
Variabel ini merupakan variabel dummy dari jenis industri. Jika emiten yang
IPO dalam kelompok industri keuangan, diberi nilai 1, sedangkan lainnya 0.
(Kartini dan Payamta, 2002 dan Misnen Ardiansyah, 2004, Suyatmin dan
Sujadi, 2006).
i. RANGE
Range of activity, merupakan variabel dummy. Jika perusahaan tersebut
bergerak dalam 1 sektor maka diberi nilai 1, sedangkan lebih dari 1 sektor
0. (Hartnett dan Romcke, 2000)
j. Initial Return (IR)
Initial return dihitung dengan rumus:
⎛ Pn − HP ⎞
IR = ⎜
⎟ × 100
⎝ HP ⎠
7
FACM02
Pn
= Harga saham perdana di pasar sekunder
HP = Harga penawaran di prospektus
(Rina Trisnawati, 1998; Hadri Kusuma, 2001; Barinda, 2003)
k. RETAIN
Variabel ini diukur berdasarkan persentase saham yang masih dimiliki oleh
pemilik lama setelah perusahaan tersebut IPO. (Sunaryati, 1996; Hartnett
dan Romcke, 2000 dan Barinda, 2001; Helen Sulistiono, 2005; Apriliani
Triani dan Nikmah, 2006).
l.
IHSG
Variabel ini diukur dengan rasio antara return IHSG saat perusahaan
pertama kali IPO dengan akhir tahun buku. (Sunaryati, 1996 dan Barinda,
2001).
IHSG = (
IHSGttbk − IHSGIPO
IHSGIPO
)x100
IHSGttbk
= IHSG saat tutup buku tahun perusahaan IPO
IHSGIPO
= IHSG saat perusahaan tersebut IPO
m. D (Dummy untuk kondisi pasar)
Variabel dummy ini digunakan untuk mengukur kondisi pasar melalui IHSG
Nilai 1 digunakan jika return IHSG bernilai negatif, dan 0, jika return IHSG
bernilai positif
j. D* IHSG
Variabel interact ini diukur dengan perkalian antara Dummy variabel dengan
rasio antara return IHSG saat perusahaan pertama kali IPO dengan akhir
tahun buku.
IHSG = (
IHSGttbk − IHSGIPO
IHSGIPO
)x100
IHSGttbk
= IHSG saat tutup buku tahun perusahaan IPO
IHSGIPO
= IHSG saat perusahaan tersebut IPO
3.3. Model Penelitian dan Pengujian Hipotesis
8
FACM02
Penelitian ini menggunakan 2 model yaitu. Model I digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang pertama yaitu apa saja faktor determinan kesalahan
(bias) peramalan laba manajemen yang diungkapkan pada prospektus IPO. Model I
dituliskan secara matematis sebagai berikut:
AFEi
= βo +β1AGEi + β2SIZEi + β3INTERVALi + β4AUDITORi
+ β5MNCi + β6LEVi + β7INDi + β8RANGEi + εi
Model II digunakan untuk menguji apakah kesalahan peramalan laba
mempengaruhi kinerja saham IPO pada hari pertama diperdagangkan pada pasar
sekunder. Selain AFE, faktor lain yang juga diprediksi dapat mempengaruhi kinerja
saham IPO di pasar sekunder adalah
prosentase saham yang ditahan pemilik
saham lama pada saat IPO, dan kondisi bursa. Secara matematis, model penelitian
II ditlusikan sebagai berikut,
IRi
= γo + γ1AFEi + γ2SIZEi + γ3RETAINi + γ4D
γ5D*IHSGi + γ6IND + εi
Sebelum data dianalisis dengan model penelitian, dilakukan pengujian asumsi
klasik untuk persamaan regresi agar model regresi dapat menghasilkan estimator
yang
tidak
bias,
yang
meliputi
uji
normalitas,
heteroskedastisitas
dan
multikolinearitas. Walaupun uji heteroskedastisitas telah dilakukan, estimasi nilai
koefisien regresi yang digunakan adalah nilai koefisien regresi yang telah diuji
dengan uji White
4. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
4.1 Statistik Deskriptik
Perusahaan-perusahaan yang terkumpul, kemudian penulis kelompokkan
menjadi 2 yaitu perusahaan yang bergerak dalam sektor keuangan dan nonkeuangan.
Statistik deskriptik variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1
Statistik Deskriptik Variabel Penelitian
Variable
N
Mean
StDev
Median Minimum Maximum
9
FACM02
AFE
124
80.70
112.30
84.00
0.20
530.50
SIZE
124
25.76
1.37
26.64
22.54
29.38
INTERVAL
124
180.90 111.60
269.80
2.00
363.00
AGE
124
4.78
0.99
5.43
1.95
7.45
AUDITOR
124
0.57
0.50
1.00
-
-
MNC
124
0.73
0.44
1.00
-
-
LEV
124
4.63
1.57
5.47
-1.01
7.80
IND
124
0.30
0.46
0.00
-
-
RANGE
124
0.94
0.23
1.00
-
-
IR
124
32.52
78.46
17.08
-95.70
480.00
D
124
0.61
0.49
1.00
-
-
D*IHSG
124
-12.47
15.14
-5.76
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata AFE adalah 80,70% yang signifikan
berbeda dari 0. Dengan tingkat kepercayaan 95%, interval kepercayaan AFE adalah
antara 60,8 sampai dengan 100,7. Statistik deskriptif ini menunjukkan sebagian
besar perusahaan yang melakukan IPO pada periode 1997 – 2005 dan manajemen
melaporkan peramalan laba perusahaan pada prospektus, membuat kesalahan
peramalan yang cukup signifikan.
Sampel penelitian juga menunjukkan bahwa interval peramalan cukup
bervariatif dari 2 hari menjelang tutup buku, hingga 363 hari sebelum tutup buku
pada tahun IPO. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun IPO dilakukan menjelang
akhir periode akuntansi, manajemen tetap melakukan peramalan laba. Analisis lebih
lanjut dari hubungan AFE dan INTERVAL menunjukkan ada hubungan positif yang
berkorelasi cukup tinggi 1 . Walaupun nilai korelasi menunjukkan hubungan yang
tidak kuat, tetapi secara statistik korelasi ini sangat signifikan. Hubungan yang positif
menunjukkan bahwa semakin besar rentang interval permalan, semakin tinggi bias
peramalan laba yang dilakukan oleh manajemen. Hal ini mudah dimengerti karena
semakin dekat dengan akhir periode akuntansi, manajemen semakin tepat
melakukan peramalan laba.
Perusahaan yang melakukan IPO pada periode penelitian cukup bervariatif
dalam hal usia perusahaan. Mulai dari perusahaan yang baru berdiri 5 tahun
1
Nilai korelasi antara AFE dan INTERVAL adalah 0,313 dengan p-value =0,00
10
FACM02
sebelum IPO hingga yang telah berdiri selama 16 tahun. Sampel penelitian
menunjukkan bahwa setengah sampel (57 perusahaan) adalah klien dari The Big
Four. Penelitian ini memprediksi bahwa perusahaan dari klien The Big Four akan
melakukan bias permalan laba yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan
dari klien KAP lainnya. Analisis lebih lanjut ternyata menunjukkan hubungan yang
positif tapi secara statistik tidak signifikan. Dengan demikian bisa dikatakan
kesalahan peramalan laba oleh manajemen tidak dipengaruhi oleh reputasi KAP.
Sampel penelitian menunjukkan variasi posisi keuangan yang beragam.
Leverage perusahaan berada pada interval DER antara 0.4% hingga 2429%. Untuk
itu pada analisis data ini digunakan nilai normal log dari DER untuk menurunkan
nilai standar deviasi yang tinggi. Penelitian ini memprediksi bahwa semakin tinggi
Leverage perusahaan, semakin besar insentif manajemen melakukan peramalan
laba yang optimis yang mengakibatkan tingginya bias peramalan (AFE). Analisis
korelasi antara ke dua variabel tersebut menunjukkan nilai korelasi yang negatif dan
tidak signifikan 2 . Hal ini mengindikasikan bahwa leverage perusahaan tidak
menambah optimisme manajemen dalam melakukan peramalan laba.
Statistik deskriptif juga menunjukkan bahwa ada 73 perusahaan sampel
dengan aktivitas yang terkait dengan dunia internasional. 90 perusahaan sampel
adalah perusahaan yang bergerak di multi sektor, dan 30 perusahaan sampel
terdaftar pada sektor Keuangan.
Sampel penelitian menunjukkan konfirmasi adanya fenomena underpricing
pada IPO di Indonesia dengan rata-rata 32.52%. IR sampel cukup bervariatif, mulai
dari overpricing sebesar 95.70% hingga underpricing sebesar 480%. Sebagian
besar sampel mengalami underpricing.
Mengingat periode penelitian meliputi masa krisis ekonomi di Asia (1998 –
2000), maka kondisi bursa sangat mempengaruhi tingkat IR sampel penelitian.
Lebih dari setengah sampel (61 perusahaan sampel) melakukan IPO pada saat
kondisi bursa menurun, yang ditunjukkan oleh return IHSG yang menurun pada saat
IPO hingga akhir tahun IPO.
Analisis lebih lanjut tentang hubungan IR dengan
kondisi bursa menunjukkan bahwa IR dipengaruhi oleh keadaan bursa 3 . IR
2
3
Nilai korelasi antara AFE dan LEV adalah -0,062 dengan p-value = 0,492
Korelasi antara IR dengan variabel interaksi D*IHSG adalah 0.302 dengan p-value = 0,00
11
FACM02
berkorelasi positif dengan keadaan bursa. Jika IHSG menurun , maka IR akan
meningkat, yang menunjukkan ketidak pastian yang lebih tinggi.
4.2. Faktor determinasi kesalahan absolut ramalan laba manajemen
Hasil analisis regresi model I setelah masalah pelanggaran asumsi klasik berhasil
ditangani adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2
Hasil Analisis Regresi Model I
Variabel
Expected
Koefisien
White t-stat
294
1,46
sign
Konstanta
SIZE
-
-14,20
- 1,70 *)
INTERVAL
+
0,33
3,73***)
AGE
-
-10,90
-1,03
AUDITOR
-
18,10
0,88
MNC
-
24,90
1,05
LEV
+
7,910
1,00
IND
-
-43,50
-1,75*)
RANGE
+
98,40
2,22 **)
Adj R-square
F-stat
12,1%
4, 12***)
Catatan: *) signifikan pada ά = 10%; **) signifikan pada ά = 5%; ***) signifikan pada
ά = 1%;
Table 4.2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan model I adalah model
yang valid secara statistik (F-value = 4,12 dan p-value = 0,003). Ini menyatakan
bahwa secara bersama-sama variabel bebas (SIZE, INTERVAL, AGE, AUDITOR,
MNC, LEV, IND, dan RANGE) secara statistika terbukti sebagai faktor determinasi
bias absolut peramalan laba. Variabel bebas dapat menjelaskan 12,1% variasi AFE
sebagai variabel indpendent, variasi lainnya dijelaskan oleh variabel bebas di luar
12
FACM02
model. Nilai determinasi (adjusted R-square) tidak terlalu besar, tetapi beberapa
variabel bebas terlihat berhubungan secara signifikan terhadap besarnya absolut
bias (kesalahan) dari peramalan laba yang dibuat oleh manajemen.
Ada 4 dari 8 variabel bebas yang terlihat signifikan mempengaruhi AFE.
Koefisien regresi SIZE dengan nilai -14,20, memberikan pembuktian hipotesis
penelitian yang mengatakan bahwa ada hubungan yang negatif antara SIZE dan
AFE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan besar, yang pada umumnya,
adalah perusahaan yang sudah mapan, cenderung untuk melakukan peramalan
laba yang lebih tepat. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar perusahaan,
semakin kecil kesalahan (bias) absolut ramalan laba yang dilakukan oleh
manajemen. Uji White terhadap koefisien regresi SIZE juga menunjukkan, koefisien
regresi terbukti secara signifikan mempengaruhi AFE pada tingkat kepercayaan
90% atau ά = 10%. Hasil penelitian ini memberikan konfirmasi pada penelitian
terdahulu (Baginski danHassel, 1997; Hartnett dan Romcke, 2000)
Variabel INTERVAL merupakan variabel yang paling signifikan secara
statistik mempengaruhi besarnya AFE. Sesuai dengan hipotesis, koefisien
INTERVAL bertanda positif yang berimplikasi bahwa semakin besar interval waktu
pembuatan ramalan laba dengan realisasinya, semakin tinggi ketidakpastian, yang
berakibat pada semakin besarnya bias absolute ramalan laba yang dibuat
manajemen. Dengan kata lain, hal ini sesuai dengan pendapat Cooper dan Taylor
(1983) yang menunjukkan bahwa semakin pendek interval waktu sejak IPO sampai
tutup buku maka akan semakin akurat peramalan tersebut.
Variabel AGE diprediksi akan mempunyai hubungan negatif dengan AFE.
Koefisien regresi AGE bertanda negatif yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi
usia perusahaan pada saat IPO, semakin banyak pengalaman perusahaan, semakin
mampu manajemen melakukan ramalan laba yang lebih tepat, sehingga AFE
semakin kecil. Walaupun demikian, uji koefisien regresi dengan uji White tidak
mendapatkan bukti hubungan tersebut signifikan secara statistik.
Pada bagian tinjauan pustaka dan pembangunan hipotesis telah dijelaskan
bahwa penelitian ini mempunyai hipotesis bahwa reputasi KAP mempengaruhi
kemampuan manajemen melakukan ramalan laba. Sehingga hipotesis kerja untuk
hal ini adalah klien dari the Big Four KAP akan berpengaruh negatif terhadap AFE.
Hasil penelitian menunjukkan koefisien regresi AUDITOR mempunyai nilai positif,
13
FACM02
yang menunjukkan bahwa klien dari the Big Four malah menghasilkan bias ramalan
laba yang lebih besar, walaupun secara statistik hubungan ini tidak signifikan.
Penjelasan yang sama dihasilkan oleh variabel MNC.
Variable LEV dihipotesiskan mempunyai hubungan positif dengan AFE yang
mengindikasikan bahwa semakin tinggi hutang perusahaan secara relatif terhadap
ekuitas perusahaan pada saat IPO, semakin tinggi insentif manajemen untuk
memberikan ramalan laba yang tinggi yang menyebabkan AFE yang lebih tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan koefisien regresi LEV positif, walaupun secara statistik
terbukti tidak signifikan.
Variabel IND menunjukkan pembuktian empiris bahwa perusahaan yang
bergerak di sektor keuangan, lebih berhati-hati melakukan peramalan laba. Hal ini
disebabkan oleh karena sektor keuangan adalah perusahaan yang mempunyai
peraturan yang lebih ketat daripada sektor lainnya, terutama dalam hal
pengungkapan informasi akuntansi atau keuangan lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan secara signifikan perusahaan pada sektor keuangan membuat
kesalahan ramalan laba yang lebih kecil.
Variabel RANGE menunjukkan bahwa perusahaan yang bergerak lebih dari 1
sektor usaha (industri) mempunyai tingkat kepastian yang lebih tinggi, sehingga hal
ini menambah kesulitan bagi manajemen untuk meramalkan laba konsolidasi
perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh uji empiris yang dilakukan penelitian ini yang
menunjukkan hubungan RANGE dan AFE signifikan secara statistik. Hal ini
memberikan konfirmasi kepada penelitian terdahulu (Hartnett dan Romcke, 2000).
Secara singkat, hasil analisis terhadap model I menunjukkan bahwa model
penelitian cukup valid untuk dipergunakan memprediksi kesalahan (bias) absolut
dari ramalan laba yang diungkapkan oleh manajemen pada prospektus IPO. Secara
khusus, variabel-variabel SIZE, INTERVAL, IND, dan RANGE, secara statistik
terbukti signifikan digunakan sebagai faktor determinasi kesalahan absolut ramalan
laba manajemen.
4.3. Hubungan antara kesalahan absolut ramalan manajemen laba dengan
kinerja pasar saham IPO
14
FACM02
Setelah menganalisis faktor determinasi kesalahan (bias) ramalan laba yang
dilakukan oleh manajemen dan diungkapkan pada prospektus IPO, bagian ini akan
melakukan analisis tehadap pengaruh kesalahan absolut ramalam laba (AFE)
dengan kinerja pasar dari saham IPO pada hari pertama trading di pasar sekunder,
dan juga faktor lain yang dianggap mempengaruhi IR saham IPO pada hari pertama
di pasar sekunder. Berikut adalah hasil analisis regresi model penelitian II
Tabel 4.3
Hasil Analisis Regresi Model II
Variabel
Expected
Koefisien
White t-stat
sign
Konstanta
+
302,20
2,29**)
AFE
+
-0,113
- 1,78 *)
SIZE
-
-12,64
-2,51**)
RETAIN
+
0,193
0,23
D
+
42,75
2,36**)
D*DIHSG
+
24,90
3,52***)
IND
+
-2,72
-0,18
Adj R-square
F-stat
15%
4, 60***)
Catatan: *) signifikan pada ά = 10%; **) signifikan pada ά = 5%; ***) signifikan pada
ά = 1%;
Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa model II secara keseluruhan
membuktikan bahwa model penelitian valid digunakan untuk memprediksi kinerja
pasar dari saham IPO pada hari pertama di pasar sekunder yang diukur dengan IR.
Koefisien determinasi 15% dapat dikategorikan cukup tinggi untuk sebuah return
model.
Koefisien regresi konstanta yang positif memberikan indikasi fenomena
undrepricing pada sampel penelitian. Uji White terhadap koefisien konstanta
menunjukkan koefisien significan secara statistik. Dengan kata lain rata-rata sampel
IPO memberikan return positif kepada investor pada hari pertama di pasar
15
FACM02
sekunder. Hal ini memberikan konfirmasi kepada banyak penelitian terdahulu yang
telah dilakukan baik di Indonesia atau di negara lain.
Pada bagian tinjauan pustaka dan hipotesis telah dijelaskan bahwa semakin
tinggi dapat diartikan sebagai semakin tingginya assymmetric information, dengan
demikian akan berakibat IR yang semakin tinggi pula. Sehingga hipotesis kerja
untuk hubungan ini adalah positif. Hasil penelitian menunjukkan koefisien regresi
yang negativf dan signifikan secara statistik, yang berarti jika AFE semakin tinggi,
maka IR akan semakin rendah. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis kerja. Hal ini
memberikan indikasi bahwa jika manajemen mengungkapkan laba yang tinggi,
sehingga kemungkinan akan membuat AFE semakin besar, investor memberikan
harga yang tinggi kepada saham IPO tersebut. Dengan kata lain, pada saat
penentuan harga pasar pertama, investor lebih mempergunakan tingkat ramalan
laba yang diungkapkan dalam prospektus IPO daripada kesalahan absolute
ramalan. Hal ini sesuai dengan hasil temuan penelitian terdahulu (e.g., Clarkson et
al, 1992; Barinda , 2001). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang
ditemukan oleh How and Lo (1993), serta Harnet dan Romcke (2000).
Variabel SIZE berhubungan secara negatif dan signifikan dengan IR. Hal ini
sesuai dengan hipotesis kerja. Perusahaan besar umumnya dalah perusahaan yang
sudah mapan, dengan informasi yang tersedia bagi investor relative lebih banyak,
sehingga information asymmetry relatif lebih rendah daripada perusahaan kecil.
Dengan demikian baik manajemen, underwriter, dan investor lebih mampu
memberikan nilai yang lebih tepat pada saat IPO, yang menyebabkan IR yang kecil.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu ( e.g. Daljono, 2000)
Hasil penelitian atas variable RETAIN menunjukkan bahwa koefisien
mempunyai tanda yang sama dengan yang diharapkan, yaitu koefisien positif. Ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak saham yang ditahan oleh pemegang
saham yang lama menunjukkan keyakinan pemegang saham lama akan masa
depan perusahaan. Hal ini secara teoritis akan mendorong investor memberikan
harga pasar yang tinggi, dan kemudian menghasilkan IR yang tinggi pula. Walaupun
demikian, koefisien RETAIN secara statistik tidak mempunyai hubungan yang
signifikan dengan IR. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian terdahulu (e.g.
Clarkson et al, 1992; Firth, 1995).
16
FACM02
Seperti yang telah dibahas di muka, kondisi bursa juga mempengaruhi besar
kecilnya IR. Apalagi dengan terliputnya periode krisis ekonomi Asia dalam penelitian
ini. Untuk mengontrol hal ini, model penelitian II menggunakan dummy variabel
dengan nilai 1 jika return IHSG saat IPO hingga akhir tahun IPO negatif, dan nilai 0
jika return IHSG saat IPO hingga akhir tahun positif. Selain itu juga ditambahkan
variabel interaksi antara dummy variabel dengan return IHSG itu sendiri, yaitu
variabel D*IHSG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua variabel ini
mempunyai
koefisien
positif,
sesuai
dengan
hipotesis
kerja.
Hasil
ini
mengindikasikan bahwa pada saat kondisi bursa menurun, semakin tinggi
information asymmetry, yang berakibat pada tingginya IR. Hubungan ke dua
variabel ini sebagai indikator kondisi bursa secara statistik terbukti berhubungan
secara nyata dengan besaran IR.
Hasil penelitian atas variabel dummy IND sebagai indikator kelompok industri
keuangan menunjukkan koefisien positif yang berarti saham IPO industri keuangan
pada umumnya mengakibatkan rendahnya nilai IR. Hal ini tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan, karena pada umumnya investor memberikan penilaian yang
berbeda terhadap saham-saham perusahaan keuangan seperti saham bank.
Walaupun demikian, uji koefisien menunjukkan bahwa penentuan harga saham IPO
industri keuangan di pasar perdana tidak secara nyata berbeda dengan penentuan
harga saham IPO industri lainnya.
Secara singkat, model penelitian II menunjukkan bahwa kesalahan (bias)
absolut ramalan laba mempunyai pengaruh yang signifikan pada IR saham IPO,
walaupun arah hubungan pada hasil empiris tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kondisi bursa merupakan
faktor penting dalam memprediksi IR saham IPO. Berbeda dengan penelitianpenelitian terdahulu, penelitian ini tidak memberikan bukti bahwa prosentase
kepemilikan pemegang saham lama dan industri keuangan secara signifikan
mempegaruhi investor dalam penentuan harga saham IPO di pasar sekunder.
5. Kesimpulan, Keterbatasan Penelitian dan Penelitian mendatang
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa baik model
penelitian I dan model penelitian II adalah model yang valid. Model penelitian I
menunjukkan bahwa beberapa variable bebas, yaitu SIZE, INTERVAL, IND, dan
17
FACM02
RANGE, dapat digunakan sebagai faktor determinasi untuk memprediksi kesalahan
(bias) absolute peramalan laba yang dibuat oleh manajemen dan diungkapkan pada
prospektus IPO.
Model penelitian II memberikan bukti bahwa kesalahan (bias) absolut
peramalan laba secara signifikan mempengaruhi besarnya IR pada pasar sekunder,
demikian juga dengan kondisi bursa. Dengan demikian, hasil penelitian ini
memberikan kontribusi kepada penjelasan tambahan fenomena underpricing dan
Hot/Cold market pada IPO.
Walaupun ada hasil penelitian yang memberikan kontribusi yang positif,
keterbatasan utama dari penelitian ini adalah laba bersih perusahaan yang
digunakan sebagai dasar penghitungan kesalahan (bias) absolute peramalan laba,
sangat rentan terhadap praktik manajemen laba yang sering dilakukan oleh
manajemen.
Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikembangkan dengan
menggunakan jenis laba perusahaan lainnya yang terbebas dari praktek manajemen
sebagai dasar untuk menghitung kesalahan (bias) absolute peramalan laba.
Penelitian lain yang dapat dilakukan adalah melihat hubungan antara kesalahan
(bias) peramalan laba dengan kinerja saham IPO dalam jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Aminul. (2007). Pendeteksian Earnings Management, Underpricing dan
Pengukuran Kinerja Perusahaan yang melakukan kebijakan Initial Public
Offering (IPO) di Indonesia. SNA ke X Makasar tahun 2007.
18
FACM02
S.P, Baginski., & Hassel, J.M. (1997). ”Determinants of Management Forecast
Precision”. Accounting Review. Vol. 72. No. 2. April 1997. pp: 303 – 312.
Barinda, Sandra. (2003). Analisis Pengaruh Ketepatan Peramalan Laba dengan
Initial Return Saham pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek
Jakarta. Thesis. Program Studi Ilmu Manajemen. Pascasarjana Fakultas
Ekonomi Indonesia.
Cheng, T.Y., & Firth, M. (2000). “An Empirical Analysis of the Bias and
Rationality of Profit Forecasts Publised in New Issue Prospectuses”.
Journal of Business Finance & Accounting. 27 (3) & (4) April/May 2000.
pp : 423 – 446.
Clarkson P.P. et al. (1992). “The Voluntary Inclusion of Earnings Forecasts in
IPO Prospectuses”. Comtemporery Accounting Research Vol 8 No. 2
Spring 1992. pp: 601 – 626
Daljono (2000), Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Initial Return Saham
yang Listing di BEJ Tahun 1990-1997”, Simposium Nasional Akuntansi
3:556-572.
Setiawan, Doddy & Wati Rochayani (2004), Pengaruh Iinformasi Prospektus
IPO terhadap Abnormal Return dan Ketepatan Ramalan Laba, Jurnal
Ekonomi Perusahaan, Vol. 11 No. 2: 107-124.
Ernyan & Husnan. (2002). Perbandingan Underpricing Penerbitan Saham
Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-Keuangan di Pasar Modal
Indonesia: Pengujian Hipotesis Asimetri Informasi. Kumpulan Maskalah
SNK In Memoriam Prof. Dr.Bambang Riyanto. hal.43-56
Grinblatt, M., & C. Hwang. (1989). Signalling and the pricing of new issues, The
Journal of Finance, 44(2), 393-420.
Kusuma, Hadri. (2001), ”Prospektus Perusahaan dan Keputusan Investasi:
Studi Empiris Perusahaan yang Terdaftar di BEJ”, Jurnal Siasat Bisnis,
Vol.1 No. 6 : hal.61-75.
Hartnett, N., & J. Romcke. (2000). ”The Predictability of Management Forecast
Error: A Study of Australian IPO Disclosures”. Multinational Finance
Journal, 2000, vol. 4, no. 1&2, pp. 101–132
How, J.C., & J.G. Low. (1993). Fractional ownership and underpricing: Signal of
IPO firm value?, Pacific-Basin Financial Journal, 1, 47-65.
19
FACM02
Husnan, S. (1993). The First Issues Market: The Case of the Indonesian Bull
Market. Indonesian Economic Journal. Vol 2. No 1. hal.16-32
Kartini & Payamta. (2002), ”Analisis Perilaku Harga Saham dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya pada penawaran Perdana di BEJ”, Perpektif,
Vol.7, No.2, Desember: hal. 93-103.
Leland, H., & D. Pyle. (1977). “Informational asymmetries, financial structure,
and financial intermediation”. Journal of Finance, 32: 371-387.
Majid. Hairany. (2001). “Hubungan antara Ketepatan Ramalan Laba dengan
Return Saham di Pasar Perdana pada Pasar Modal Indonesia”. SNI IV.
Bandung, pp: 53 – 68
Mc Conomy, B.J. (1998). “Bias and Accuracy of Management Earnings
Forecast: An Evaluation of the Impact of Auditing”. Contemporarry
Accounting Research. Vol 15, No. 2 (Sumber) pp: 167 – 195
McGuinness, P. (1992). An Examination of the Underpricing of Initial Public
Offerings in Hongkong: 1980 – 1990. Journal of Business Finance and
Accounting. Vol. 19. pp: 165 – 186
Mukhtar, A., & Jogiyanto Hartono. (2001). “ The Accuracy of Voluntary Earning
Management Forecasts in IPO Prospectuses on the Jakarta Stock
Exchange”> Simposium Nasional Akuntansi IV. Bandung. Pp: 881 – 904
Machfoedz, Sunariyah. (1996). “Ketepatan Ramalan Laba Prospektus pada
Awal Penawaran Umum di Pasar Modal Indonesia”. Thesis. Program
Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada.
Surianti, M., & Indriantoro, N. (1999). “Ketepatan Ramalan Laba pada
Prospektus pada Awal Penawaran Umum Perdana”. Jurnal Bisnis dan
Akuntansi. Vol. I No. 1 April 1999. pp : 1 – 14
Gumanti, Tatang Ary. (2004). Value relevance of accounting information and
the pricing of Indonesian Initial Public Offering, SNA VII: 13-30.
Gumanti, Tatang Ary. (2007). Ownership Retention, Jumlah Faktor Risiko,
Tujuan Penggunaan Dana Dan Underpricing Di Pasar Perdana Saham.
The 1st PPM National Conference on Management Research “
Manajemen di Era Globalisasi. Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 7
November 2007.
Welch, I. (1989). Seasoned offerings, imitation costs, and the underpricing of
20
FACM02
initial public offerings, Journal of Finance, 44(2): 421-449
21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR MODAL DENGAN KINERJA PERUSAHAAN
(Ditinjau dari Agency Cost hypothesis dan Efficiency-Risk Hypothesis
Vs Franchise-Value Hypothesis)
Arie Wibowo
Pascasarjana Ilmu Akuntansi FE UI
Abstract
Purpose of this study is to examine agency cost theory on the impact of
capital structure to firm performance using accounting data, Return on Asset (ROA)
and examine efficiency-risk hypothesis and franchise-value hypothesis on the impact
og firm performance to capital structure using 2-stage least square (2LS) because of
considering causal relation and some control variables such as ownerships
structure, firm size, growth and liquidity firm strategy.
This paper find that Ordinary Least Square (OLS) model result much better
than 2LS model, so OLS regression is used to be analyzed. In other words, capital
structure influence firm performance but not at reverse, so this study cannot
examine efficiency-risk hypothesis and franchise-value hypothesis but only agency
cost hypothesis. The results are capital structure, firm performance and liquidity
strategy are positively correlated with firm performance, but ownerships structure
and growth strategy are not.
Keywords: capital structure, firm performance, agency cost, efficieny-risk, franchisevalue, 2LS
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
I.
Pendahuluan
Agency costs merepresentasikan isu penting di dalam corporate governance
di dalam industri keuangan dan non-keuangan. Pemisahan kepemilikan dan kendali
di suatu perusahaan kelolaan profesional dapat mengakibatkan usaha para manajer
yang tidak cukup optimal, terlibat dalam penghasilan tambahan, memilih input atau
output
yang
sesuai
dengan
prioritas
mereka
sendiri,
atau
gagal
untuk
memaksimalkan nilai perusahaan .
Bukti empiris pada agency cost hypothesis di dalam literatur perbankan dan
di dalam literatur keuangan secara keseluruhan ada yang positif dan ada yang
negatif (Harris dan Raviv, 1991; Titman, 2000; dan Myers, 2001).
Hasil yang berbeda pada riset sebelumnya dapat juga terjadi karena
kemungkinan hubungan sebab akibat dua arah antara kinerja dengan struktur
modal. Jika kinerja perusahaan mempengaruhi pilihan dari struktur modal, lalu
kegagalan untuk mempertimbangkan hubungan sebab akibat dua arah ini dapat
mengakibatkan bias persamaan simultan. Yang berarti, regresi kinerja perusahaan
terhadap ukuran leverage mencampurkan efek struktur modal terhadap kinerja
dengan efek kinerja terhadap struktur modal.
Isu ini dijelaskan dengan mempertimbangkan hubungan sebab akibat dua
arah dari kinerja ke struktur modal berdasar pada dua hipotesis untuk mengapa
kinerja perusahaan dapat mempengaruhi pilihan struktur modal. Di bawah
efficiency-risk hypothesis, perusahaan lebih efisien cenderung untuk memilih rasiorasio ekuitas rendah secara relatif, dengan mengharapkan return yang lebih tinggi
dari efisiensi profit yang lebih besar menggantikan modal ekuitas sampai taraf
tertentu dalam melindungi perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan,
kebangkrutan, atau likuidasi. Di bawah franchise-value hypothesis, perusahaan lebih
efisien cenderung untuk memilih rasio-rasio ekuitas tinggi secara relatif untuk
melindungi hasil masa depan yang diperoleh dari efisiensi profit yang tinggi.
Dibangun suatu dua model persamaan struktural dan mengestimasi dengan
menggunakan regresi dua tingkat (2SLS). Satu persamaan untuk menjelaskan
kinerja perusahaan sebagai fungsi dari rasio modal ekuitas perusahaan (rasio
ekuitas/gross total aset) dan variabel lain digunakan untuk menguji agency cost
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
hypothesis, dan satu persamaan lain untuk menjelaskan rasio modal ekuitas
sebagai fungsi dari kinerja dan variabel lain untuk pengujian efek netto dari
efficiency-risk hypothesis dan nilai franchise.
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek dari struktur modal terhadap kinerja
perusahaan untuk menguji agency cost hypothesis, dengan regresi 2 tingkat untuk
mengakomodasi hubungan sebab akibat 2 arah antara struktur modal dan kinerja
perusahaan, sehingga diharapkan dapat menambah literatur bagi akademisi,
pemerintah sebagai regulator dapat membuat kebijakan tepat mengenai struktur
modal, dan perusahaan dapat mengetahui faktor2 yang dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan.
Sistematika
pembahasannya
berikutnya
ialah
Bab
II
membahas
pengembangan teori dan hipotesa, Bab III membahas metode penelitian, Bab IV
membahas hasil penelitian dan Bab V berisi kesimpulan dan saran.
II.
Pengembangan Teori dan Hipotesa
2.1. Agency Theory, Efek Struktur Modal terhadap Kinerja Perusahaan
Seperti disebutkan oleh Jensen and Meckling (1976), agency cost signifikan
akan muncul dari konflik kepentingan antar kategori agent (manajer, pemegang
saham, pemberi hutang). Diidentifikasi ada dua tipe konflik yang berbeda implikasi
yang mengarah ke teori yang berlawanan antara hutang dan kinerja.
Pertama, agency cost muncul dari konflik kepentingan antara pemegang
saham dengan manajer. Masalah utamanya ialah perilaku moral hazard manajer
yang dapat mengabaikan nilai atau minimal usaha dibandingkan dengan
meningkatkan nilai perusahaan. Dalam hal ini, pendanaan hutang meningkatkan
tekanan pada manajer untuk berkinerja baik karena akan mengurangi “free cash
flow” yang dapat dipakai manajer (Jensen 1986). Dan hutang mengakibatkan
kewajiban pembayaran bunga yang harus dipenuhi oleh manajer dengan ancaman
kebangkrutan jika tidak dibayar. Grossman dan Hart (1982), juga menyatakan
bahwa pendanaan hutang menyediakan insentif yang lebih baik bagi manajer untuk
berkinerja baik dengan tujuan untuk menghindari biaya bangkrut. Konsekuensinya
hutang mempengaruhi kinerja secara positif.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Kedua, agency costs juga muncul karena konflik kepentingan antara
pemegang saham dengan pemberi hutang. Pemegang saham mempunyai insentif
untuk beraksi menguntungkan dirinya dengan biaya dari pemberi hutang, dan
konsekuensinya tidak penting untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Perbedaan
kepentingan mempunyai dua manifestasi yang datang dari isu moral hazard. Di satu
sisi, akan memberi insentif ke pemegang saham untuk investasi ke proyek beresiko
daripada yang diinginkan pemberi hutang (Jensen dan Meckling 1976). Substitusi
aset timbul dari keuntungan asimetri pemegang saham. Jika investasi gagal,
kerugian dibagi antara pemberi hutang dengan tidak menerima pembayaran dan
pemegang saham yang menanggung kerugian modal yang terbatas. Namun konflik
kepentingan antara pemegang saham dan pemberi hutang juga dapat menimbulkan
underinvestment, seperti ditunjukkan Myers (1977). Hasilnya agency cost yang
dihasilkan konflik kepentingan pemegang saham-pemberi hutang menyatakan
bahwa hutang yang lebih tinggi berkorelasi dengan kinerja perusahaan yang lebih
rendah.
Jadi efek natural dari hutang, yaitu pendanaan dengan hutang akan
meningkatkan tekanan kepada manajer untuk berkinerja baik karena akan
mengurangi perilaku moral hazard dengan mengurangi “free cash-flow” yang dapat
digunakan manajer (Jensen 1986) dan mengurangi konflik antara pemegang saham
dan para manajer mengenai pilihan dari investasi (Myers, 1977), resiko untuk
melaksanakan (Jensen dan Meckling, 1976; Williams, 1987), kondisi-kondisi dimana
perusahaan
dibubarkan (Harris dan Raviv, 1990), dan kebijakan dividen (Stulz,
1990). Konsekuensinya, perusahaan yang hutangnya semakin tinggi akan semakin
tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kinerjanya.
Namun hutang yang semakin tinggi berarti semakin tinggi juga agency cost
karena perbedaan keinginan antara pemegang saham dan pemberi hutang, dan
masalah moral hazard ini akan menyebabkan hutang berhubungan negatif dengan
kinerja (Jensen dan Meckling 1976, Myers 1977)
Beberapa studi menggunakan ukuran akuntansi untuk mengukur kinerja
perusahaan yang didekati dengan menggunakan ukuran profitabilitas, yang
disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara hutang/kinerja perusahaan dengan
leverage (Rajan dan Zingales 1995).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Agency cost hypothesis memprediksi bahwa kenaikan leverage, yang berarti
penurunan rasio E/TA, menaikan efisiensi, δEFF/δECAP < 0, dan dengan rasio
modal ekuitas yang tinggi/leverage rendah akan mengurangi tekanan kepada
manajer untuk memaksimalkan nilai, menimbulkan agency problem antara manajer
dengan pemilik dan mengurangi efisiensi profit.
Namun ketika leverage menjadi terlalu besar atau rasio E/TA menjadi terlalu
kecil, tanda hubungan akan berbalik, agency cost dari hutang luar mengatasi
pengurangan agency cost dari ekuitas luar, sehingga kenaikan leverage akan
menyebabkan total agency cost yang lebih besar.
Sehingga hipotesis yang bisa dikembangkan untuk menguji agency cost
hypothesis ialah
H1 =
Penurunan ekuitas dalam struktur modal (peningkatan leverage)
meningkatkan kinerja perusahaan
2.2. Efek Kinerja Perusahaan terhadap Struktur Modal
Ada kemungkinan terjadinya hubungan sebab akibat 2 arah dari kinerja ke
struktur modal dapat menghasilkan koefisien bias dalam satu regresi kinerja pada
struktur modal. Ada sejumlah pertimbangan mengapa kinerja perusahaan dapat
mempengaruhi ekuilibrium struktur modal ketika sebagian dari asumsi pasar
sempurna Modigliani–Miller dilanggar.
Di bawah efficiency-risk hypothesis, perusahaan lebih efisien memilih rasiorasio ekuitas lebih rendah dibanding perusahaan yang lain, dengan kondisi sama,
karena efisiensi yang lebih tinggi mengurangi ekspektasi biaya dari kebangkrutan
dan kesulitan keuangan. Di bawah hipotesis ini, efisiensi profit yang lebih tinggi
menghasilkan suatu ekspektasi return yang lebih tinggi untuk suatu struktur modal
tertenu, dan efisiensi yang lebih tinggi menggantikan modal ekuitas sampai taraf
tertentu di dalam melindungi perusahaan melawan krisis masa depan.
Ini adalah suatu hipotesis gabungan (i) efisiensi profit adalah secara positif
berhubungkan dengan ekspektasi return, dan (ii) ekspektasi return yang lebih tinggi
dari efisiensi tinggi menggantikan modal ekuitas untuk mengatur resiko. Bukti riset
terdahulu adalah konsisten dengan pertama bagian dari hipotesis bawah efisiensi
profit secara positif berhubungan dengan ekspektasi return di perbankan yaitu
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menyebutkan bahwa efisiensi profit adalah relatif stabil setiap saat (De Young,
1997), sehingga pengukuran efisiensi profit kondisi sekarang yang tinggi akan
menghasilakn ekspekasi return yang tinggi di masa depan.
Bagian kedua hipotesis mengikuti fakta bahwa ekspektasi return tinggi dan
rasio modal ekuitas tinggi dapat masing-masing bertindak sebagai suatu penyangga
terhadap risiko portofolio untuk mengurangi kemungkinan adanya biaya kesulitan
keuangan/bangkrut, maka perusahaan dengan ekspektasi return tinggi disebabkan
oleh efisiensi profit tinggi dapat bertahan pada resio ekuitas yang rendah
Secara berlawanan, franchise-value hypothesis fokus pada efek return dari
sewa ekonomis dari sewa-sewa yang ekonomi yang dihasilkan oleh efisiensi profit
dengan pilihan ekuilibrium struktur modal. Di bawah hipotesis ini, perusahaan lebih
efisien memilih rasio-rasio modal ekuitas yang lebih tinggi, dengan kondisi sama,
untuk melindungi nilai sewa atau franchise yang dihubungkan dengan efisiensi tinggi
dari kemungkinan likuidasi. Efisiensi profit yang lebih tinggi dapat menciptakan sewa
ekonomis. jika efisiensi itu diharapkan untuk berlanjut di masa datang, dan
pemegang saham dapat memilih untuk memegang modal ekuitas tambahan untuk
melindungi sewa ini, yang akan hilang dalam hal likuidasi, sekali pun likuidasi tanpa
biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan.
Lebih umum lagi, perusahaan dengan produk unik juga ditemukan memiliki
rasio modal ekuitas yang lebih tinggi, dengan kondisi sama, saat keunikan produk
dapat menciptakan kekuatan pasar dalam sewa dan perusahaan itu dapat
memegang modal ekuitas tambahan untuk melindungi sewa ini (eg., Titman, 1984;
Titman dan Wessels, 1988).
Dua hipotesis yang menghasilkan prediksi yang berkebalikan satu sama lain
untuk efek efisiensi profit pada modal ekuitas atau leverage dan dapat dimengerti
sebagai efek subtitusi dan pendapatan, masing-masing berpotensi bertahan pada
kondisi tertentu.
Di bawah efficiency-risk hypothesis, ekspektasi pendapatan dari efisiensi
profit tinggi menggantikan modal ekuitas di dalam melindungi perusahaan dari
ekspektasi biaya kebangkrutan atau kesulitan keuangan, sedangkan di bawah
franchise-value hypothesis, perusahaan mencoba untuk melindungi hasil dari
efisiensi profit yang tinggi dengan memegang penambahan modal ekuitas. Kita
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menginterpretasikan penemuan di bawah sebagai efek netto dua hipotesis ini, atau
apakah efek subtitusi lebih dominan dari efek pendapatan. Dengan demikian,
hipotesis ini hanya secara parsial bisa diidentifikasi di dalam hal hanya dapat
menciri yang lebih penting dibanding yang lain.
Efficiency-risk hypothesis memprediksi bahwa perusahaan dengan efisiensi
profit tinggi akan mengganti modal ekuitas, δECAP/δEFF < 0, sedangkan franchisevalue hypothesis memprediksi bahwa perusahaan dengan efisiensi profit tinggi akan
mencoba melindungi nilai dari pendapatan tingginya dengan memegang lebih
banyak modal ekuitas, δECAP/δEFF > 0.
Hasil yang diperoleh diinterpretasikan sebagai efek netto atau indikator
dominasi efek substitusi vs. efek pendapatan
2.3. Variabel kontrol hubungan sebab akibat 2 arah kinerja perusahaan
terhadap struktur modal
2.3.1. Struktur Kepemilikan
Secara teori, dampak dari struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan
dapat dijelaskan dalam 2 cara. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
besar kepemilikan oleh orang dalam akan meningkatkan kinerja perusahaan karena
memberikan insentif kepada manajer untuk sejalan dengan pemegang saham lain
sehingga mengurangi masalah principal-agen. Efek ini disebut incentive alignment
effect.
Kedua, Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa semakin besar tingkat
kepemilikan oleh pemegang saham terbesar, maka akan memberi insentif kepada
pemegang saham terbesar untuk menggunakan kendali terhadap perusahaan untuk
memberi keuntungan kepada mereka dan mengabaikan minoritas, sehingga akan
menurunkan kinerja perusahaan. Efek ini disebut entrenchment effect.
Stulz (1988) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai pemegang
saham kendali akan mempunyai hutang yang lebih tinggi yang akan meningkatkan
kendali voting mereka untuk kondisi investasi ekuitas tertentu dan mengurangi
resiko hostile takeover.
Di lain pihak, dalam kasus saham dual-classes, hutang akan mengurangi
kendali pemegang saham yang diambil alih oleh pemberi hutang, sehingga King dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Santor (2008) menduga akan menemukan hutang yang lebih rendah pada
perusahaan dengan saham dual-classes relative terhadap perusahaan lain.
Sehingga dapat dibangun hipotesa:
H2 =
Peningkatan
konsentrasi
struktur
kepemilikan
institutional
akan
perusahaan
akan
meningkatkan kinerja perusahaan
2.3.2. Karakteristik Perusahaan
2.3.2.1. Ukuran Perusahaan
Studi
sebelumnya
menyatakan
bahwa
ukuran
mempengaruhi struktur, kemampuan pengambilan keputusan dan terutama kinerja
(Bluedorn, 1993; Frank dan Goyal, 2003).
Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dan kompleks tidak mempunyai
kendala untuk mendapatkan dana eksternal (hutang). Oleh karena itu, berdasar
pada Static Trade Off Theory, size berpengaruh positif terhadap leverage. Hal ini
disebabkan perusahaan dengan ukuran besar mempunyai risiko kebangkrutan yang
kecil dibandingkan dengan perusahaan level yang lebih kecil. Berdasar Pecking
Order Theory, Frank & Goyal (2003) dalam hubungannya dengan ukuran
perusahaan, size mempunyai pengaruh negatif terhadap leverage.
Sehingga dapat dikembangkan hipotesa:
H3 =
Peningkatan ukuran perusahaan akan meningkatkan kinerja perusahaan
2.3.2.2. Asset Tangibility
Semakin banyak assets tangibility suatu perusahaan berarti semakin banyak
collateral assets untuk bisa mendapatkan sumber dana eksternal berupa hutang.
Hal ini dikarenakan pihak kreditur akan meminta collateral assets untuk membackup hutang. Berdasar pada Static Trade Off Theory, assets tangibility berpengaruh
positif terhadap leverage. Harris dan Raviv (1991) menyatakan perusahaan dengan
level fixed assets yang rendah mempunyai lebih banyak masalah asymetric
information dibandingkan perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi.
Perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi umumnya adalah perusahaan
yang besar, yang dapat menerbitkan saham dengan harga yang fair sehingga tidak
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menggunakan hutang untuk mendanai investasi. Dengan demikian berdasar pada
Pecking Order Theory tangibility assets berpengaruh negatif terhadap leverage.
2.3.3. Strategi Perusahaan
Strategi perusahaan dibahas oleh 2 variabel yang didefinisikan oleh Chathoth
dan Olsen (2005) yaitu yang terkait pertumbuhan (Zook dan Rogers, 2001) dan
yang terkait likuiditas (Lancaster dkk, 1999). Strategi ini ada di keputusan
manajemen level atas untuk mengembangkan bisnis perusahaan ketika memilih
bisnis mana yang akan mulai dimasuki (Hill dan Jones, 1995). Tujuan utama dari
keputusan itu adalah meningkatkan profitabilitas perusahaan (Thompson dkk, 2004).
Strategi telah lama dipikirkan mempunyai hubungan dengan struktur
(Chandler, 1962) ketika saat itu dinyatakan bahwa struktur mengikuti strategi.
Hubungan antara strategi pertumbuhan dan likuiditas telah diuji oleh Kim dkk (1998)
yang mengindikasikan arah hubungannya positif. Hal ini juga ditemukan dalam
kasus industri restoran (Chathoth dan Olsen, 2005) yang memberikan dukungan
fakta bahwa perusahaan dengan strategi pertumbuhan tinggi secara umum
mempunyai tingkat likuiditas yang tinggi juga.
2.3.3.1. Strategi Pertumbuhan
Strategi pertumbuhan dapat dicapai melalui strategi diversifikasi (Rumelt,
1974) yang akan meningkatkan kinerja perusahaan. Kim dkk (1998) dan Capon dkk
(1990) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan dan kinerja
perusahaan.
Barton dan Gordon (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan
mempunyai hubungan positif dengan tingkat hutang, yang mengindikasikan bahwa
kondisi lingkungan menguntungkan pertumbuhan perusahaan. Sebaliknya, Ross
dkk (1999) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai potensi pertumbuhan
tinggi dalam industri yang pertumbuhannya tinggi juga mempunyai tingkat hutang
yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan dalam industri yang
pertumbuhnannya rendah.
Sehingga dapat dikembangkan hipotesa:
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H4 =
Peningkatan
stretegi
pertumbuhan
akan
meningkatkan
kinerja
perusahaan
2.3.3.2. Strategi Likuiditas
Kim dkk (1998) menemukan bahwa likuiditas berhubungan positif dengan
kinerja perusahaan.
Kim dkk (1998) dan Baskin (1987) menemukan bahwa perusahaan yang
mempunyai banyak asset likuid mempunyai tingkat hutang yang rendah.
Sehingga dapat dikembangkan hipotesa:
H5 =
Peningkatan stretegi likuiditas akan meningkatkan kinerja perusahaan
2.3.4. Tingkat Kebangkrutan
Semakin tinggi probabilitas tingkat kebangkrutan (mempunyai Z-score yang
rendah) akan mempunyai korelasi yang positif dengan hutang (Bhagat dan Bolton,
2008)
III.
Metode Penelitian
III.1. Operasional Variabel
III.1.1. Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan akan diukur dengan menggunakan Return on Assets
(ROA) yang diambil dari neraca dan laporan laba-rugi (Demsetz dan Lehn, 1985;
Gorton dan Rosen, 1995; Mehran, 1995; Ang dkk., 2000; Majumdar dan Chhibber
1999, Rajan dan Zingales 1995, Johnson 1997, Michaelas et al 1999).
III.1.2. Struktur Modal
Struktur Modal akan diukur dengan menggunakan rasio Total Ekuitas/Total
Assets (TE/TA) (Barton dan Gordon 1984, Berger dan Patti 2006). Rasio ini diambil
sebagai ukuran karena sebagai invers/resiprokal dari rasio hutang, dalam regulasi
biasanya yang diatur adalah rasio modal ekuitas bukan hutang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III.1.3. Struktur Kepemilikan
Maka, struktur kepemilikan akan diukur dengan menggunakan dummy
variabel interaksi konsentrasi kepemilikan dan institutional. DUMOWN = 1 berarti
sahamnya > 50%, sedangkan DUMOWN = 0 sebaliknya. sedangkan DUMINST = 1
berarti pemegang saham terbesar adalah institusi dan DUMINST = 0 berarti
perorangan.
Variabel
konsentrasi
kepemilikan
institutional
diwakili
oleh
DUMOWN*DUMINST
III.1.4. Karakteristik Perusahaan
Karakteristik Perusahaan akan diukur dengan menggunakan dua pendekatan
yaitu Ukuran Perusahaan dan Asset Tangibility
III.1.4.1. Ukuran Perusahaan
Ukuran Perusahaan akan diukur dengan menggunakan logaritma natural
Total Asset (LN TA)
III.1.4.2. Asset Tangibility
Asset Tangibility akan diukur dengan menggunakan rasio fixed assets
terhadap total assets (NFA/TA) (Bradley et al 1984, Titman dan Wessels 1988,
Rajan dan Zingales 1995)
III.1.5. Strategi Perusahaan
III.1.5.1. Peluang Pertumbuhan
Peluang Pertumbuhan biasanya diukur dengan menggunakan pendekatan
market to book ratio/Price to Book Value (PBV) dibandingkan dengan model
penilaian lain (Rajan dan Zingales 1995, Danbolt et al 1999)
III.1.5.2. Strategi Perusahaan
Strategi Perusahaan akan diukur dengan menggunakan rasio likuiditas,
dimana didapat dari rasio kas+setara kas terhadap total assets (John 1993, Kim et
al 1998, Chatoth dan Olsen 2007)
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III.1.6. Tingkat Kebangkrutan
Tingkat Kebangkrutan akan diukur dengan menggunakan Altman’s Z-score
(1968) yang sudah dimodifikasi seperti dalam MacKie-Mason (1990)
ZSCORE = 3.3
WorkingCap ital
Re tainedEarn ings
EBIT
Sales
+ 1 .0
+ 1 .4
+ 1 .2
TotalAsset s
TotalAsset s
TotalAsset s
TotalAsset s
III.2. Model Empiris
Agency cost hypothesiss diuji dengan kenaikan leverage atau penurunan
rasio equity/aset diasosiasikan dengan pengurangan agency cost dari ekuitas luar
dan perbaikan kinerja perusahaan dengan regresi efisiensi profit pada rasio modal
ekuitas ditambah variabel kontrol, yang persamaannya:
KINERJA = α + β 1 STRUKTURMODAL + β 2 STRUKTURKEPEMILIKAN +
β 3UKURANPERUSAHAAN + β 4 PELUANGPERTUMBUHAN +
β 5 STRATEGIPERUSAHAAN
Dengan Kinerja didekati dengan Return on Assets (ROA):
ROA = α + β1TE / TA + β 2 DUMOWN * DUMINST + β 3 LNTA + β 4 PBV + β 5 AcidRatio ..........(1)
Parameter persamaan kedua dalam model, yang menjelaskan rasio modal
ekuitas sebagai fungsi dari efisiensi profit:
STRUKTURMO DAL = α + β1KINERJA + β 2 STRUKTURKE PEMILIKAN
+ β 3UKURANPERU SAHAAN + β 4 ASSETTANGI BILITY + β 5 PELUANGPER TUMBUHAN
+ β 6 STRATEGIPE RUSAHAAN + β 7TINGKATKEB ANGKRUTAN
Dengan Kinerja didekati dengan Return on Assets (ROA):
TE / TA = α + β1ROA + β 2 DUMOWN * DUMINST + β 3 LNTA + β 4 NFA / TA + β5 PBV
+ β 6 AcidRatio + β 7 ZSCORE
...........(2)
III.3. Metode Penelitian
Persamaan (1) di atas akan diestimasi dengan persamaan regresi 2 tahap /
two-stage least squares (2LS) dengan mempertimbangkan persamaan (2)
III.4. Data
Data yang dipakai ialah data cross section dari perusahaan-perusahaan yang
telah go-publik tahun 2006 yang diperoleh dari data sekunder Bursa Efek Indonesia
yang diperoleh dari OSIRIS.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Perusahaan yang telah go pubik berjumlah 343 dan penelitian ini
menggunakan
data
sejumlah
316
perusahaan
dengan
mengeluarkan
27
perusahaan dari sample karena data tidak lengkap dan mempunyai ekuitas negatif,
yang berarti sebenarnya perusahaan tersebut seharusnya sudah bangkrut.
IV.
Hasil Penelitian
4.1. Metode OLS
4.1.1. Statistik Deskriptif dengan ROA sebagai variabel independen
Hasil statistik deskriptif dari 316 sampel penelitian adalah sebagai berikut:
ROA
TE_TA
DUMOWNX
LNTA
PBV
DUMINST
ACID_RATI ASSET_ Z_SCORE
O
TANGIBI
LITY
Mean
0.028814 0.458187
0.484177
27.50253 2.256171
184.2690
0.291977 1.029179
Median
0.024138 0.442229
0.000000
27.32000 1.120000
0.166347
0.252288 1.056392
Maximum
0.372156 0.994625
1.000000
33.22000 126.0100
57894.00
0.965746 12.00581
Minimum
-0.785565 0.000962
0.000000
22.73000 0.080000
0.000332
9.28E-05 -39.08389
Std. Dev.
0.087405 0.235110
0.500542
1.815785 7.472144
3256.748
0.249071 2.900286
Skewness
-2.544667 0.204350
0.063323
0.497576 14.69058
17.69164
0.646988 -8.137802
Kurtosis
28.14528 2.291662
1.004010
3.160393 240.3917
313.9972
2.472828 118.2907
Jarque-Bera
8666.121 8.805583
52.66688
13.37802 753371.6
1289954.
25.70506 178498.4
Probability
0.000000 0.012243
0.000000
0.001245 0.000000
0.000000
0.000003 0.000000
Sum
9.105295 144.7871
153.0000
8690.800 712.9500
58229.00
92.26483 325.2204
Sum Sq.
2.406491 17.41212
78.92089
1038.579 17587.38
3.34E+09 19.54141 2649.673
Dev.
Observations
316
316
316
316
316
316
316
4.1.2. Hasil Regresi OLS pengaruh struktur modal terhadap kinerja
Hasil regresi OLS setelah dilakukan uji asumsi klasik multikolinearitas,
heterokedastisitas dan autokorelasi serta treatment untuk mengatasi masalah
tersebut diperoleh persamaan:
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 13
316
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ROA
=
-0.5082826977
+
0.121748612*TE/TA
+
0.0118721947*DUMOWN_DUMINST
+
0.001728740103*PBV
+
0.01714684876*LNTA + 4.502269029e-07*ACID_RATIO
4.2 Metode 2 Stage LS (Simultan)
Dalam persamaan simultan, istilah yang digunakan adalah variable endogen
dan variable eksogen. Variabel endogen merupakan variabel yang nilai-nilainya
ditentukan dalam model, jadi hampir mirip dengan variabel terikat pada OLS.
Sedangkan Variabel eksogen merupakan variabel yang nilai-nilainya
ditentukan dalam model, mirip dengan variabel bebas pada OLS
Model Persamaan Struktural yang dipakai ialah sebagai berikut:
(1) ROA = α + β1TE / TA + β 2 DUMOWN * DUMINST + β 3 LNTA + β 4 PBV + β 5 AcidRatio
Dengan mempertimbangkan persamaan berikut:
(2)
TE / TA = α + β1ROA + β 2 DUMOWN * DUMINST + β 3 LNTA + β 4 NFA / TA + β5 PBV
+ β 6 AcidRatio + β8 ZSCORE
Model struktural ini mempunyai karakteristik yang terdiri atas variabel endogen yang
berada pada sebelah kiri persamaan sedang di sebelah kanan persamaan terdiri
atas variabel eksogen dan variabel endogen.
Penggunaan OLS secara langsung untuk mengestimasi koefisien dari
persamaan struktural tidak tepat sebab akan menghasilkan estimator yang tidak
baik seperti bias dan tidak konsisten, maka dibutuhkan model reduksi untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Model reduksi ialah model struktural yang disederhanakan yang mempunyai
karakteristik semua variabel endogen ada di sebelah kiri persamaan dansemua
variabel eksogen ada di sebelah kanan persamaan.
Prosedur yang mengestimasi parameter model struktural melalui model
reduksi dengan menggunakan OLS disebut Prosedur Kuadrat Terkecil Tidak
Langsung (Indirect Least Square).
Pada model struktural di atas, terdapat 6 variabel eksogen dan 2 variabel
endogen, dimana 6 > (2-1) maka model struktural di atas adalah jenis over
identified.
Dari model struktural di atas diperoleh model reduksi :
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
∧
(3) TE / TA = α + β11DUMOWN * DUMINST + β 2 LNTA + β 3 NFA / TA + β 4 PBV
+ β 5 AcidRatio + β 6 ZSCORE
Dengan demikian untuk mengestimasi parameter pada model struktural juga
akan diperoleh persamaan :
∧
(4) ROA = α + β1 TE / TA+ β 2 DUMOWN * DUMINST + β3 LNTA + β 4 PBV + β5 AcidRatio
Hasil estimasi ROA dengan 2LS diperoleh persamaan
ROA
=
-0.8360748599
0.006633632849*DUMOWNXDUMINST
+
+
0.2971372653*TE/TA
+
0.002483193107*PBV
+
0.02617712973*LNTA - 3.822055235e-08*ACID_RATIO
4.3. Evaluasi Model Regresi
Perbandingan model regresi OLS dan 2LS
OLS
2LS
Koefisien Konstanta
-0.508
-0.836
Koefisien TE/TA
0.122
0.297
Koefisien
0.012
0.007
Koefisien PBV
0.002
0.002
Koefisien LN(TA)
0.017
0.026
Koefisien Acid Ratio
0.00000045
0.000000038
R-Squared
0.165
0.089
Adj R-Squared
0.152
0.075
S.E. Regresión
0.080
0.084
Sum of Squared Residu
2.009
2.191
Durbin Watson
1.966
1.957
Akaike
-2.182
-2.095
Schwarz
-2.111
-2.024
F Statistic
12.281
6.086
P (F stat)
0.000000
0.000021
DUMOWN*DUMINST
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Kemudian dilakukan uji F untuk varians residu, dan diperoleh hasil bahwa
varians residu dari OLS sama atau mendekati varians residu dari 2LS karena uji F
ditolak karena tidak significan dengan F=1.091 (p=0.22).
Kemudian dibandingkan dengan melihat nilai R-Squared, Adj R-Squared,
S.E. Regression, Sum of Squared Residu, AIC, SIC, F Stat dan p (Fstat)
disimpulkan bahwa hasil dari model estimasi hasil OLS sedikit lebih baik daripada
hasil 2LS meskipun setelah diuji F tidak berbeda signifikan.
4.4. Analisis Hasil Penelitian
4.4.1.1 Evaluasi R2 dan Adjusted R2
Karena persamaan dalam model penelitian ini adalah regresi berganda
dengan banyak variabel regressor, maka yang relevan untuk dievaluasi adalah
adjusted R2 =0.152.
Nilai ini menunjukkan bahwa model ini dapat menjelaskan
variasi pengaruh ke kinerja perusahaan untuk variabel terikat ROA sebesar 15.2%.
Artinya, variasi dalam variabel ROA dapat dijelaskan oleh variabel independen
sebagai determinan dalam kinerja perusahaan sebesar 15.2%.
4.4.1.2 Uji F dan Uji t.
Hasil uji statistik F pada model regresi final adalah 12.181, atau kita dapat
langsung mengetahui apakah H0 ditolak atau tidak dengan melihat nilai probability FStat, yaitu nilainya 0.0000 siginifikan, karena lebih kecil α = 5%. Artinya variabel
bebas dalam model tersebut diatas secara bersama- sama dapat menjelaskan
variasi variabel terikat: ROA dari rata- ratanya, atau secara bersama- sama model
signifikan.
Hasil pengujian t-stat dapat dilihat pada hasil output Eviews diatas,
menunjukkan bahwa hanya parameter TE/TA, LNTA dan ACID_RATIO yang
significant (α = 5%) pada α = 5%, sedangkan variabel lainnya tidak signifikan.
4.4.2. Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis
Persamaan
regresi
final
(Model
OLS)
yang
digunakan
untuk
mengintepretasikan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
ROA = α + β1TE / TA + β 2 DUMOWN * DUMINST + β 3 LNTA + β 4 PBV + β 5 AcidRatio
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Persamaan regresi dugaan menjadi:
ROA
=
-0.5082826977
+
0.121748612*TE/TA
+
0.0118721947*DUMOWN_DUMINST
+
0.001728740103*PBV
+
0.01714684876*LNTA + 4.502269029e-07*ACID_RATIO
Berikut adalah rincian dari hasil pengujian terhadap hipotesis secara keseluruhan:
Variable
Prediksi
Coefficien
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Hasil Uji
0.124387 -4.086312
0.0001
Ho ditolak
Ho ditolak
t
C
-0.508283
TE/TA
(-)
0.121749
0.029152
4.176277
0.0000
DUMOWN_DUMIN
(+)
0.011872
0.010173
1.167064
0.2441 Ho diterima
PBV
(+)
0.001729
0.001221
1.415671
0.1579 Ho diterima
LNTA
(+)
0.017147
0.004144
4.137618
0.0000
Ho ditolak
ACID_RATIO
(+)
4.50E-07
1.22E-07
3.697065
0.0003
Ho ditolak
ST
N= 316, F=12.281, AdjR=0.152, DW=1.966
Interpretasi dari persamaan regresi diatas
dapat dijelaskan pada bagian
berikut ini:
Struktur Modal (TE/TA)
Equity ratio atau TE/TA merupakan proksi dari struktur modal. Jika equity ratio naik
sebesar 100%, maka kinerja perusahaan (ROA) akan naik sebesar 12%, dengan
asumsi ceteris paribus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien dari
TE/TA bertanda positif dan signifikan, berarti tidak konsisten dengan teori agency
cost of equity sebelumnya yang menyatakan bahwa kenaikan equity ratio yang
berarti penurunan leverage berpengaruh negatif dan signifikan pada kinerja
perusahaan (ROA).
Namun hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan kenaikan ekuitas yang berarti
penurunan leverage dapat meningkatkan kinerja perusahaan berarti konsisten
dengan teori agency cost of debt, yaitu leverage yang dinaikkan setelah titik optimal
akan menurunkan kinerja perusahaan karena akan terjadi bad investment, milking
property dan taking high risk project.
Struktur Kepemilikan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Variabel interaksi DumOwn*DumInst merupakan proksi dari konsentrasi kepemilikan
institusi yang > 50% sehingga secara teori akan mengendalikan manager (agen)
untuk menjalankan perusahaan dengan baik sehingga diprediksikan berpengaruh
positif signifikan. Dari model, dengan adanya konsentrasi kepemilikan institusi >
50% akan meningkatkan kinerja sebesar 1.1%. Namun hasil pengujiannya positif
namun tidak signifikan.
Strategi Pertumbuhan
Strategi pertumbuhan didekati dengan proksi Price to Book Value (PBV). Apabila
strategi pertumbuhan (PBV) meningkat sebesar 100%, maka kinerja akan
meningkat sebesar 0.17%. Strategi pertumbuhan mempengaruhi secara positif
namun tidak signifikan terhadap kinerja. Hal ini berbeda dengan ekspektasi hasil
penelitian sebelumnya, dimana Strategi pertumbuhan memiliki hubungan positif
signifikan dengan kinerja perusahaan..
Strategi Likuiditas
Strategi Likuiditas didekati dengan proksi Acid Ratio. Apabila strategi likuiditas
meningkat sebesar 1000 kali, maka kinerja akan naik sebesar 0.00045 kali. Hasil
pengujian ini dapat menolak H0, karena signifikan. Hasil penelitian ini menemukan
hubungan yang konsisten dengan penelitian sebelumnya menyatakan hubungan
yang positif signifikan antara strategi likuiditas dengan kinerja perusahaan.
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan didekati dengan proksi Ln TA (Total Asset). Apabila ukuran
perusahaan naik sebesar 10 kali, maka kinerja akan naik sebesar 0.017 kali. Hasil
penelitian ini menemukan hubungan yang konsisten dengan penelitian sebelumnya
yang menyatakan adanya hubungan positif signifikan antara ukuran perusahaan
dengan kinerja perusahaan.
V.
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Faktor – faktor atau determinan yang mempengaruhi kinerja perusahaan menurut
agency theory yang diajukan dalam penelitian ini adalah struktur modal, struktur
kepemilikan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan (pertumbuhan dan likuiditas),
dimana ada dugaan berdasarkan teori yang ada, terdapat hubungan sebab akibat 2
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
arah antara kinerja perusahaan dan struktur modal. Hasil penelitian atas 316
perusahaan dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa ternyata model
estimasi dengan metode OLS lebih baik daripada metode 2LS sehingga untuk
kepentingan analisa dipakai model estimasi hasil metode OLS, dimana variabel
struktur modal (TE/TA), ukuran perusahaan (LnTA), dan
strategi likuiditas
perusahaan (Acid Ratio) berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja perusahaan
(ROA).
Sedangkan
struktur
kepemilikan
(DumOwn*DumInst)
dan
strategi
pertumbuhan perusahaan (PBV) berpengaruh positif tidak signifikan.
5.2. Keterbatasan Penelitian dan Penelitian Lebih Lanjut
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah hanya menggunakan data cross-section
tahun 2006 dan terdapat 27 perusahaan dikeluarkan dari sample karena data tidak
lengkap. Agar menghasilkan keakuratan kesimpulan dan interpretasi hasil penelitian
dimasa
yang
akan
datang
sebaiknya
perlu
dilakukan
penelitian
dengan
menggunakan data panel selama sepuluh tahun dan melengkapi jumlah sampel
sesuai populasi. Dengan pertimbangan bahwa kinerja perusahaan bukanlah
merupakan keputusan dalam satu tahun tertentu, sehingga perlu dilihat implikasi
perubahannya dari tahun- tahun sebelumnya dari masing- masing variabel tersebut.
Dan jika menggunakan data panel diharapkan hasil estimasi model dari 2LS lebih
baik dari OLS sesuai dengan teori yang ada.
Selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian dengan menambah
jumlah variabel bebas untuk menjelaskan 85% sisa variasi kinerja perusahaan yang
tidak dapat diterangkan oleh model yang didapat dalam penelitian ini.
Kemudian sebaiknya dipertimbangkan untuk menggunakan proksi lain untuk
mendekati kinerja perusahaan selain penggunaan data akuntansi, yaitu dengan
kinerja di pasar saham, Tobin’s Q, bahkan dengan efisiensi profit yang didapat dari
fungsi produksi dengan diturunkan dari deret fourier dan translog (Christensen 1973,
Berger Patti 2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Referensi
Altman, E.I. (1968). Financial ratios, discriminant analysis and the prediction of
corporate bankruptcy. Journal of Finance 23, 589-609
Ang, J.S., Cole, R.A., Lin, J.W. (2000). Agency costs and ownership structure.
Journal of Finance 55, 81-106
Barton, S.L., Gordon, P.J. (1987). Corporate strategy: useful perspective for the
study of capital structure. Academy of Management Review 12, 67-75
Baskin, J. (1987). Corporate liquidity in games of monopoly power. Review of
Economics and Statistics 64, 312-319
Berger, A.N., Mester, L.J. (1997). Inside the black box: What explains differences in
the efficiencies of financial institutions? Journal of Banking & Finance 21,
895-947
Berger, A.N., Patti, E.B. (2006). Capital structure and firm performance: A new
approach to testing agency theory and an application to the banking
industry. Journal of Banking & Finance 30, 1065-1102
Bhagat, S., Bolton, B. (2008). Corporate governance and firm performance. Journal
of Corporate Finance
Bluedorn, A.C. (1993). Pilgrim’s progress: Trends and convergence in research on
organizational size and environments. Journal of Management 19, 163-191
Bradley, M., Jarrel, G.A., Kim, H.E. (1984). On the existence of an optimal capital
structure: theory and evidence. Journal of Finance 39, 857-880
Capon, N., Farley, J.U., Hoenig, S. (1990). Determinants of firm performance.
Management Science 36 (10), 1143-1159
Chathoth, P.K., Olsen, M.D. (2005). Testing and developing the environment risk
construct in hospitality strategy research. Journal of Hospitality and Tourism
Research 29 (3), 312-340
Christensen, L.R., Jorgenson, D.W., Lau, L.J. (1973). Transcendental logarithmic
production frontiers. Review of Economics and Statistics 55, 28-45
Coelli, T.J., Rao, D.S.P., Battese, G.E. (1998). An introduction to Efficiency and
Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers.
Danbolt, J., Hirst, I., Jones, E. (1999) Measuring growth oppotunities, paper
presented at British Accounting Association Annual Conference, University
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
of Glasgow, March, and at the European Financial Management Association
Annual Conference, Paris, June
Demsetz, H., Lehn, K. (1985). The structure of corporate ownership: Causes and
consequences. Journal of Political Economy 93, 1155-1177
DeYoung, R. (1997). A diagnostic test for the distribution-free efficiency estimator:
An example using US commercial bank data. European Journal of
Operational Research 98, 243-249
Frank, M. Z., Goyal, V. K. (2003). Capital structure decisions: Which factors are
reliably important?, working paper, University of Minnesota
Fries, S., Taci, A. (2005). Cost efficiency of banks in transition: Evidence from 289
banks in 15 post-communist countries. Journal of Banking & Finance 29,
55-81
Gorton, G., Rosen, R. (1995). Corporate control, portfolio choice, and the decline of
banking. Journal of Finance 50, 1377-1420
Grossman, S.J., Hart, O. (1982). Corporate financial structure and managerial
incentives in The Economics of Information and Uncertainty, edited by John
McCall, Chicago, IL. University of Chicago Press
Harris, M., Raviv, A. (1990). Capital structure and the informational role of debt.
Journal of Finance 45, 321-349
Harris, M., Raviv, A. (1991). The theory of capital structure. Journal of Finance 46,
297-355
Hill, J.W., Jones, G. (1995). Strategic Management Theory: An Integrated Approach,
third ed. Houghton-Mifflin Boston
Himmelberg, C., Hubbard, R., Palia, D. (1999). Understanding the determinants of
managerial ownership and the link between ownership and performance.
Journal of Financial Economics 53, 353-384
Jensen, M.C. (1986). Agency costs of free cash flow, corporate finance and
takeovers. American Economic Review 76, 323-339
Jensen, M.C., Meckling, W. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency
costs, and capital structure. Journal of Financial Economics 3, 305-360
John, T.A. (1993). Accounting measures of corporate liquidity, leverage and costs of
financial distress. Financial Management 22 (3), 91-100
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Kim, C., Mauer, D.C., Sherman, A.E. (1998). The determinants of corporate liquidity:
theory and evidence. Journal of Financial and Quantitative Analysis 33 (3),
335-359
King, M.R., Santor, E. (2008). Family values: Ownership structure, performance and
capital structure of Canadian firms. Journal of Banking & Finance
Kuenzle, M. (2005). Cost Efficiency in Network Industries: Application of Stochastic
Frontier Analysis. Universitat Zurich
Kumbhakar, S.C., Lovell, C.A.K. (2000). Stochastic Frontier Analysis, Cambridge
University Press.
Lancaster, C., Stevens, J.L., Jennings, A. (1999). Corporate liquidity and the
significance of earnings versus cash flow: an examination of industry
effects. Journal of Applied Business Research 15 (3), 37-46
Lensink, R., Meesters, A., Naaborg, I. (2008). Bank Efficiency and foreign
ownership: Do good institutions matter?. Journal of Banking & Finance 32,
834-844
Mackie-Mason, J.K. (1990). Do taxes affect corporate financing decision? The
Journal of Finance 45, 1471-1492
McConnell, J.J., Servaes, H. (1990). Additional evidence on equity ownership and
corporate value. Journal of Financial Economics 27, 595-612
Mehran, H. (1995). Executive compensation structure, ownership and firm
performance. Journal of Financial Economics 38, 163-184
Morck, R., Shleifer, A., Vishny, R.W. (1988). Management ownership and market
valuatio: An empirical analysis. Journal of Financial Economics 20 (1), 293315
Myers, S.C. (1977).. The determinants of corporate borrowing. Journal of Financial
Economics 5, 147-175
Myers, S.C. (2001). Capital Structure. Journal of Economic Perspectives 15 (2), 81102
Nickell, S., Nicolitsas, D., Dryden, N. (1997). What makes firms perform well?.
European Economic Review 41, 783-796
Rajan, R., Zingales (1995). What Do We know about capital structure” Some
evidence for International Data. Journal of Finance 50 p. 1421-1457
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Ross, S.A., Westerfield, S., Jaffe, J. (1999). Corporate Finance. Irwin/McGraw-Hill,
Boston
Rumelt, R.P. (1974). Strateg, Structure and Economic Performance. Harvard
Business School Press, Cambridge, MA
Shleifer, A., Vishny, R.W. (1997). A survey of corporate governance. Journal of
Finance 52, 737-783
Siregar, S.V., Utama, S. (2008). Type of earnings management and the effect of
ownership structure, firm size and corporate-governance practices:
Evidence form Indonesia. The International Journal of Accounting 43, 1-27
Smith, C.W. (1986). Investment Banking and the Capital Acquisition Process,
Journal of Financial Economics 15, 3-29
Stigler, G.J. (1976). The existence of x-efficiency. American Economic Review 66,
213-216
Stulz, R. (1988). Managerial control of voting rights: Financing policies and the
market for corporate control. Journal of Financial Economics 20, 25-84
Stulz, R. (1990). Managerial discretion and optimal financing policies. Journal of
Financial Economics 20, 3-27
Thompson, A.A., Strickland, A.J., Gamble, J. (2004). Crafting and Executing
Strategy: The Quest for competitive Advantage: Concept and Cases,
McGraw-Hill, New York
Titman, S. (1984). The effect of capital structure on a firm’s liquidation decision.
Journal of Financial Economics 13, 137-151
Titman, S., Wessels, R. (1988). The determinants of capital structure choice. Journal
of Finance 43, 1-19
Williams, J. (1987). Perquisites, risk, and capital structure. Journal of Finance 42,
29-49
Zhou, X. (2001). Understanding the determinants of a managerial ownership and the
link between ownership and performance: comment. Journal of Financial
Economics 62, 559-571
Zook, C., Rogers, P. (2001). In pursuit of growth. European Business Journal 13 (2),
83-85
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM03 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ANALISIS PENGARUH VOLATILITAS ARUS KAS, MAGNITUDE ACCRUAL,
VOLATILITAS PENJUALAN, LEVERAGE, DAN SIKLUS OPERASI
TERHADAP KUALITAS LABA
Zaenal Fanani
Universitas Airlangga
Angga Yudiwinata Putra
Arum Prastiwi
Universitas Brawijaya
Abstract
This research is aimed to examine and find out empirical evidence of the
influence of cash flow volatility, magnitude accrual, sales volatility, leverage, and
operating cycle with earning quality. Samples used in this research are
manufacturing companies listed in Indonesia Stock Exchange (BEI) in five years
observation period 2001-2006. Total samples are 141 companies. The data are
collected using purposive sampling method. Proxy of earning quality used is
earnings persistence is measured using annual coefficient regression (AR1 model).
Cash flow operation is measured using degree of variant cash flow or index of
variant distribution cash flow. Magnitude accrual is measured using variant from
earning minus cash flow operation and quotient by total asset. Sales volatility is
measured using degree of variant sales or index of variant distribution sales. For
leverage is measured using financing leverage that is, total liability quotient by total
asset. And than for operating cycle is measured using receivables and inventory
turnover for one period accounting.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
The analysis of this research used is double linier regression analysis. The
results of path analysis shows that, first, cash flow volatility, magnitude accrual,
sales volatility, leverage, and operating cycle according to simultaneous is influence
of earning persistence. And the second is influence of cash flow volatility, magnitude
accrual, sales volatility, leverage, and operating cycle according to partial or
individual with earnings persistence. The variable of magnitude accrual, leverage,
and operating cycle have negative and significant influence with earnings
persistence. And for cash flow volatility the influence with earnings persistence is
negative and not significant. For sales volatility the influence with earnings
persistence is positive and not significant.
Keywords: Cash Flow Volatility, Magnitude Accrual, Sales Volatility, Leverage,
Operating Cycle, and Eanings persistence
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
I.LATAR BELAKANG
Pelaporan
keuangan
merupakan
sebuah
wujud
pertanggungjawaban
manajemen atas pengelolaan sumber daya perusahaan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan selama periode tertentu. Sedangkan laporan
keuangan itu sendiri merupakan salah satu sumber informasi keuangan perusahaan
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat beberapa keputusan, seperti:
penilaian kinerja manajemen, penentuan kompensasi manajemen, pemberian
deviden kepada pemegang saham dan lain sebagainya.
Menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1, terdapat
dua tujuan pelaporan keuangan, yaitu: pertama, memberikan informasi yang
bermanfaat bagi para investor, investor potensial, kreditor, dan pemakai lainnya
untuk membuat keputusan investasi, kredit, dan keputusan serupa lainnya. Kedua,
memberikan informasi tentang prospek arus kas untuk membantu investor dan
kreditur dalam menilai prospek arus kas bersih perusahaan. Sedangkan menurut
Standard Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia, tujuan laporan keuangan adalah
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta, perubahan
posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai
dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Darraough (1993), menunjukkan arti pentingnya informasi pelaporan
keuangan dengan menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan memberikan
laporan keuangan kepada berbagai stakeholder, dengan tujuan untuk memberikan
informasi yang relevan dan tepat waktu agar berguna dalam pengambilan
keputusan investasi, monitoring, penghargaan kinerja, dan pembuatan kontrak. Agar
dapat memberikan informasi yang handal maka pelaporan keuangan harus
berkualitas.
Schipper and Vincent (2003), menjelaskan bahwa kualitas laba digunakan
oleh investor dan kreditor sebagai dasar pengambilan keputusan ekonomi,
khususnya yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pembuatan kontrak
(contracting decision), keputusan investasi (investment decision) dan digunakan
sebagai salah satu indikator kualitas laba yang dihasilkan para pembuat standar
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
(standard setters). Keputusan melakukan kontrak yang didasarkan pada kualitas
laba yang rendah menyebabkan transfer kesejahteraan yang tidak diinginkan.
Misalnya, menaksir laba terlalu tinggi sebagai indikator kinerja manajer, maka akan
mengakibatkan kompensasi yang berlebihan kepada manajer. Demikian pula
dengan laba yang ditaksir terlalu tinggi dapat menutupi kemampuan melunasi
hutang yang sesungguhnya dan memberikan informasi yang menyesatkan kepada
kreditor untuk melanjutkan pemberian pinjaman atau menangguhkan penyitaan.
Kualitas laba menjadi pusat perhatian bagi para pengguna laporan keuangan,
khususnya bagi mereka yang mengharap kualitas laba yang tinggi. Penman (2001),
mengungkapkan
bahwa
laba
yang
berkualitas
adalah
laba
yang
dapat
mencerminkan keberlanjutan laba (sustainable earnings) dimasa depan, yang
ditentukan komponen akrual dan aliran kasnya.
Pengertian kualitas laba pada prinsipnya dapat dipandang dalam dua sudut
pandang. Pandangan pertama menyatakan bahwa kualitas laba berhubungan
dengan
kinerja
keseluruhan
perusahaan
yang
tergambarkan
dalam
laba
perusahaan. Pandangan ini menyatakan laba yang berkualitas tinggi terefleksi pada
laba yang dapat berkesinambungan (sustainable) untuk suatu perioda yang lama.
Sedangkan pandangan kedua menyatakan kualitas laba berkaitan dengan kinerja
pasar modal yang diwujudkan dalam bentuk imbalan, sehingga hubungan yang
semakin kuat antara laba perusahaan dengan imbalan menunjukkan kualitas laba
yang tinggi (Ayres, 1994). Begitu juga dengan pandangan Schipper (2004) dengan
menyebutnya sebagai atribut-atribut berbasis pasar untuk pandangan kedua.
Pandangan pertama yang diungkapkan oleh Ayres (1994) dan Schipper
(2004) menyatakan bahwa kualitas laba berkaitan erat dengan kinerja perusahaan
yang diwujudkan dalam laba perusahaan yang diperoleh pada tahun berjalan. Laba
berkualitas jika laba tahun berjalan dapat menjadi indikator yang baik untuk laba
perusahaan dimasa yang akan datang (Lev dan Thiagarajan, 1993; Richardson et
al. 2001; Penman dan Zhang, 2002; Beneish dan Vargus, 2002; Richardson, 2003)
atau berasosiasi secara kuat dengan arus kas operasi di masa yang akan datang
(Dechow dan Dichev, 2002 dan Cohen, 2003). Sedangkan pandangan kedua
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menyatakan bahwa kualitas laba berkaitan dengan kinerja saham perusahaan di
pasar modal. Hubungan yang semakin kuat antara laba dengan imbalan pasar
menunjukkan kualitas laba tersebut semakin tinggi (Lev dan Thiagarajan, 1993;
Chan et al. 2004).
Motivasi penelitian ini adalah pertama, untuk mengkaji peran laba (earning)
sebagai alat untuk dasar pengambilan keputusan. Laba dalam laporan keuangan
sering digunakan oleh manajemen untuk menarik calon investor sehingga laba
tersebut sering direkayasa sedemikian rupa oleh manajemen untuk mempengauhi
keputusan akhir pihak-pihak terebut. Hal ini sesuai dengan signalling theory yang
menunjukkan kecenderungan adanya informasi asimetri antara manajemen dan
pihak di luar perusahaan. Pihak internal perusahaan secara umum mempunyai lebih
banyak informasi mengenai kondisi nyata perusahaan saat ini dan prospeknya
dimasa depan dibanding pihak internal. Oleh karena itu kualitas laba menjadi pusat
perhatian bagi para investor, kreditor, pembuat kebijakan akuntansi, dan
pemerintah. Laba yang berkualitas adalah laba yang dapat mencerminkan laba
berkelanjutan (sustainable earnings) di masa depan.
Kedua, konstruk kualitas laba tidak dapat diobservasi secara langsung,
namun dapat diobservasi dan diukur melalui proksi atau atribut-atribut yang melekat
di dalam laba itu sendiri. Pengukuran kualitas laba dalam penelitian ini
menggunakan persistensi laba. Karena di dalam karakter relevansi terdapat
komponen nilai prediktif laba, dimana salah satu unsur prediktif laba adalah
persistensi laba. Barth dan Hutton (2001) juga menggunakan persistensi laba
sebagai
karakteristik
nilai
relevan
dalam
model
penelitiannya.
Penelitian
sebelumnya di Indonesia menggunakan indikator earning respon coefficient yang
digunakan untuk mengukur kualitas laba seperti Lipe (1990) dan Sloan (1996)
Chandrarin (2001), Meythi (2006) dan nilai absolut akrual diskresioner Dechow dan
Dichev (2002); McNichols (2002), Chambers (2003); Aboody et al. (2003); Francis et
al. (2004, 2005); Pagalung (2006) serta Fanny dan Siregar (2007).
Ketiga faktor-faktor penentu kualitas laba dalam penelitian ini menggunakan
volatilitas arus kas, magnitud akrual, volatilitas penjualan, leverage, dan siklus
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
operasi perusahaan. Variabel siklus operasi diadopsi dari Gu et al. (2002); Dechow
and Dichev (2002); Cohen (2003); Francis et al. (2004), Pagalung (2006), volatilitas
penjualan dari Dechow and Dichev (2002); Cohen (2003); Francis et al. (2004),
Pagalung (2006), dan leverage dari Gu et al. (2002), Tumirin (2003) dan Saputra
(2003). Sedangkan dua faktor yang lainnya adalah volatilitas arus kas diadopsi dari
Sloan (1996), Dechow dan Dichev (2002) dan magnitud akrual yang diadopsi dari
Sloan (1996), Dechow dan Dichev (2002). Dua faktor tambahan ini adalah faktor
yang memiliki kaitan erat dengan kualitas laba akuntansi. Penelitian sebelumnya
untuk arus kas dan akrual telah dilakukan oleh Sloan (1996), di dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa persistensi laba merupakan salah satu komponen nilai
prediksi laba dalam menentukan kualitas laba, dan persistensi laba tersebut
ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kas dari laba sekarang, yang mewakili
sifat transitori dan permanen laba.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah: apakah volatilitas arus kas, magnitud akrual, volatilitas
penjualan, leverage, dan siklus operasi berpengaruh terhadap kualitas laba?
Ada dua manfaat penelitian yang diharapkan di dalam penelitian ini, yang
pertama adalah manfaat teoritis dan yang kedua adalah manfaat praktis. Manfaat
teoritis yang diharapkan adalah mengkaji faktor-faktor yang menentukan kualitas
laba melalui pendekatan dengan menggunakan persistensi laba sebagai ukurannya.
Tujuannya untuk membandingkan dengan penelitian sebelumnya. Sedangkan
manfaat praktis yang diharapkan adalah dapat memberikan manfaat kepada
investor, calon investor, analis pasar modal dan pemakai laporan keuangan yang
lainnya untuk dapat mengukur kualitas laba secara tetap. Sehingga nantinya
kualitas laba yang diukur dapat dijadikan sebagai alat dalam membantu
pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1. Pengertian dan Pengukuran Kualitas Laba
Selama ini laba akuntansi masih menarik perhatian para investor sebagai
dasar dalam pengambilan keputusan, seperti: penilaian kinerja manajemen,
penentuan kompensasi manajemen, pemberian deviden kepada pemegang saham
dan lain sebagainya. Oleh karena itu laba yang perlu diperhatikan oleh para calon
maupun investor bukan hanya laba yang tinggi, namun juga laba yang berkualitas.
Menurut Wijayanti (2006), laba yang berkualitas adalah laba yang dapat
mencerminkan kelanjutan laba (sustainable earnings) di masa depan yang
ditentukan oleh komponen akrual dan aliran kasnya. Sedangkan Chandarin (2003)
dalam Wijayanti (2006) mengungkapkan bahwa laba akuntansi yang berkualitas
adalah laba akuntansi yang memiliki sedikit atau tidak mengandung gangguan
persepsian (perceived noise), dan dapat mencerminkan kinerja keuangan
perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Hayn (1995),
gangguan persepsian dalam laba akuntansi disebabkan oleh peristiwa transitory
(transitory event) atau penerapan konsep akrual dalam akuntansi.
Beberapa
literatur
akuntansi
menghubungkan
kualitas
laba
dengan
persistensi laba (komponen urutan waktu dari laba). Penman dan Zhang (2002)
mendefinisikan persistensi laba sebagai revisi dalam laba akuntansi yang
diharapkan dimasa mendatang (expected future earnings) yang diimplikasi oleh
inovasi laba tahun berjalan (current earnings). Persistensi laba tersebut ditentukan
oleh komponen akrual dan aliran kas yang terkandung dalam laba saat ini.
(Penman, 2001). Bernstein (1993) dalam Sloan (1996) menyatakan bahwa
komponen akrual dari current earnings cenderung kurang terulang lagi atau kurang
persisten untuk menentukan laba masa depan karena mendasarkan pada akrual,
defferred (tangguhan), alokasi dan penilaian yang mempunyai distorsi subyektif
Persistensi atau kepermanenan merupakan proksi kualitas informasi
pelaporan keuangan lainnya yang memfokuskan pada koefisien dari regresi laba
sekarang terhadap laba mendatang. Hubungan tersebut dapat dilihat dari koefisien
slope regresi antara laba sekarang dengan laba mendatang. Jika koefisiennya
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
positif dan menghasilkan angka yang mendekati satu, maka dapat dikatakan laba
tersebut memiliki persistensi yang tinggi, dan jika mendekati angka nol, maka akan
memiliki persistensi yang rendah atau memiliki laba transitori yang tinggi. Jika
koefisiennya negatif dan menghasilkan angka yang mendekati satu, maka
persistensinya kurang, sebaliknya jika angka lebih kecil atau mendekati nilai nol,
maka persistensinya kuat atau besar. Model penelitian ini telah dilakukan oleh Lev
dan Thiagarajan (1983); Sloan (1996); Penman dan Zhang (2002); Richardson
(2003); Francis et al. (2004); dan Pagalung (2006).
2.2. Perumusan Hipotesis
Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori penilaian atau valluation
model (Cornel dan Landsman, 2003: Christensen et al., 2005). Model penelitian ini
menguji informasi laba dan informasi akuntansi lainnya pada tahun berjalan untuk
dapat dijadikan prediksi peramalan di masa yang akan datang.
2.2.1. Volatilitas Arus Kas
Salah satu kegunaan informasi arus kas menurut PSAK No. 2 paragraf 03
adalah meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan
karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang
berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama (SAK, 1994). Kemampuan
arus kas untuk meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi ini merupakan
salah satu alasan digunakannya arus kas sebagai sumber informasi oleh investor,
selain informasi laba.
Sesungguhnya, nilai yang terkandung di dalam arus kas pada suatu periode
mencerminkan nilai laba dalam metode kas (cash basis). Data arus kas merupakan
indikator keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan akuntansi karena laporan
arus kas relatif lebih sulit untuk di manipulasi. Manipulasi ini biasanya dilakukan
melalui penggunaan metode akuntansi yang berbeda untuk transaksi yang sama
dengan tujuan untuk menampilkan laba yang diinginkan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Namun untuk mengukur kualitas laba dibutuhkanlah informasi arus kas yang
stabil, dalam artian mempunyai volatilitas yang kecil. Jika arus kas berfluktuasi tajam
maka sangatlah sulit untuk memprediksi arus kas di masa yang akan datang. Dan
dengan volatilitas yang tinggi kualitas laba juga akan rendah, karena informasi arus
kas-nya sulit untuk memprediksi arus kas di masa yang akan datang.
Volatilitas aliran kas mengindikasikan suatu ukuran lain dari volatilitas
lingkungan operasi dan penyimpangan penggunaan yang lebih besar aproksimasi
dan estimasi, dengan berkorespondensi dengan kesalahan estimasi yang lebih
besar dan kualitas laba yang rendah (Dechow dan Dichev, 2002).
H1: Semakin besar volatilitas aliran kas suatu perusahaan akan memiliki kaulitas
laba yang rendah
2.2.2. Magnitude Akrual
Laba dalam laporan keuangan akuntansi sering digunakan oleh investor
maupun calon investor untuk pengambilan keputusan. Dimana keputusan tersebut
akan menentukan di perusahaan mana mereka akan berinvetasi. Sehingga oleh
manajemen, ada kemungkinana untuk merekayasa laba menjadi sedemikian rupa
agar dapat menarik minat para investor dan calon investor untuk menanamkan
investasinya lebih banyak lagi. Jika begitu maka tidaklah mustahil jika terjadi
asimetri informasi antara pihak menejemen dan pihak external perusahaan.
Maka dari itu kualitas laba menjadi perhitungan lain di dalam pengambilan
keputusan. Laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang memiliki
sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian (perceived noise), dan dapat
mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya (Chandrarin,
2003). Hayn (1995) menjelaskan bahwa gangguan persepsian dalam laba akuntansi
disebabkan oleh peristiwa transitori (transitory events) atau penerapan konsep
akrual dalam akuntansi. Semakin besar gangguan persepsian yang terkandung
dalam laba akuntansi, maka semakin rendah kualitas laba akuntansi.
H2: Semakin besar magnitude akrual suatu perusahaan akan memiliki kualitas laba
yang rendah
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2.2.3. Volatilitas Penjualan
Penjualan adalah bagian terpenting dari siklus operasi perusahaan dalam
menghasilkan laba. Volatilitas yang rendah dari penjualan akan dapat menunjukkan
kemampuan laba dalam memprediksi aliran kas di masa yang akan datang. Namun
jika tingkat volatilitas penjualan tinggi, maka kualitas dari laba tersbut akan rendah,
karena laba yang dihasilkan akan mengandung banyak gangguan persepsian
(perceived noise).
Volatilitas Penjualan mengindikasikan suatu volatilitas lingkungan operasi dan
penyimpangan yang lebih besar aproksimasi dan estimasi, dan berkorespondensi
dengan kesalahan estimasi yang lebih besar dan kualitas akrual yang rendah
(Dechow & Dichev, 2002).
H3: Semakin besar volatilitas penjualan perusahaan akan menyebabkan kualitas
laba perusahaan makin rendah
2.2.4. Leverage
Leverage akan menjadi besar apabila lebih banyak utang jangka panjang
yang dimiliki oleh perusahaan. Para pemegang saham mendapatkan manfaat dari
solvabilitas keuangan sejauh laba yang dihasilkan atas uang yang dipinjam melebihi
biaya bunga dan juga jika terjadi kenaikkan nilai pasar saham. Bicara tentang
leverage, maka kita juga bicara tentang keharusan membayar bunga dan pokok
pinjaman yang akan jatuh tempo dan pada akhirnya akan menimbulkan resiko
kegagalan. Maka dari itu seberapa besar leverage yang diinginkan, sangat
tergantung pada stabilitas perusahaan.
Pada saat tingkat leverage besar, maka laba yang dihasilkan akan dapat
menutup pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Namun jika tingkat leverage yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan kecil maka kecil pula kemampuan perusahaan
untuk pembayaran bunga dan pokok pinjamannya. Maka dari itu, saat utang
meningkat dengan tajam manajemen akan melakukan penyesuaian angka-angka
akuntansi untuk menyepakati pembatasan-pembatasan seperti misalnya perjanjian
hutang.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H4: Semakin besar tingkat leverage suatu perusahaan akan memiliki kualitas laba
yang tinggi
2.2.5. Siklus Operasi
Siklus operasi dapat diartikan sebagai periode waktu rata-rata antara
pembelian persediaan dengan pendapatan kas yang nantinya akan diterima penjual.
Atau rangkaian seluruh transaksi dimana suatu bisnis menghasilkan penerimaannya
dan penerimaan kasnya dari pelanggan. Siklus operasi suatu perusahaan terdiri dari
transaksi-transaksi berikut: (a) pembelian barang, (b) penjualan barang, dan (c)
pengumpulan piutang dari pelanggan. Siklus ini menunjukkan sekuensi transaksi
yang berulang secara kontinyu.
Siklus operasi bersinggungan langsung dengan laba perusahaan, hal ini
dikarenakan ada faktor penjualan di dalam siklus operasi. Laba ini nantinya akan
digunakan untuk memprediksi aliran kas di masa yang akan datang. Maka dari itu,
laba yang digunakan untuk memprediksi aliran kas di masa yang akan datang,
harus benar-benar laba yang berkualitas. Dimana laba yang berkualitas sendiri
tergantung pada siklus operasi perusahaan itu sendiri
Perusahaan yang memiliki siklus operasi yang lama dapat menimbulkan
ketidakpastian, estimasi dan kesalahan estimasi yang makin besar dimana hal itu
dapat menimbulkan kualitas akrual yang lebih rendah dan memiliki kualitas laba
yang rendah pula. Siklus operasi yang lebih lama menyebabkan ketidakpastian yang
lebih besar, membuat akrual lebih terganggu (noise) dan kurang membantu dalam
memprediksi aliran kas di masa yang akan datang (Dechow & Dichev, 2002).
H5: Semakin panjang siklus operasi perusahaan akan menyebabkan kualitas laba
perusahaan akan semakin rendah
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III. METODA PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji faktor-faktor penentu kualitas laba. Berdasarkan
karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam
penelitian kausal komparatif
3.2. Model Penelitian
Model yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut:
Y = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 X 5 + e
dimana:
Y
= Kualitas Laba
α
= Nilai intercept
β1−5
= Koefisien arah regresi
x1
= Volatilitas Arus Kas
x2
= Magnitud akrual
x3
= Volatilitas Penjualan
x4
= Leverage
x5
= Siklus Operasi
e
= Error (variabel lain yang tidak dijelaskan dalam model)
3.3. Definisi Operasional Variabel
Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap variabel-variabel
penelitian ini, maka variabel tersebut didefinisikan secara operasional disajikan pada
Tabel 1.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini dilakukan karena struktur keragamanan
operasional perusahaan relatif sama, disamping porsi perusahaan pemanufakturan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
yang terdaftar di Bursa lebih dari separuh perusahaan yang tercatat (listing) di Bursa
Efek Indonesia. Sampel yang dipilih di dalam penelitian ini menggunakan Teknik
pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Kriteria yang digunakan
berdasarkan pertimbangan (judgement). Adapun kriteria sampel yang dipilih adalah;
1) Perusahaan manufaktur yang telah terdaftar di BEI sejak 1 Januari 2001, 2)
terdaftar di BEI sampai akhir tahun 2006, sehingga menghasilkan laporan keuangan
perioda akhir tahun 2006, 3) menerbitkan laporan keuangan secara lengkap dengan
perioda pelaporan tahunan yang berakhir pada tanggal 31 Desember, dan 4)
perusahaan menerbitkan laporan keuangan selama perioda 2001 sampai 2006.
Prosedur pemilihan sampel dalam penelitian ini di paparkan dalam tabel 1.
3.4. Krtiteria Pengujian Hipotesis
Hipotesis nol (Ho) dan Hipotesis alternatif (Ha) dinyatakan sebagai berikut :
H 0 : β 1 ≤ 0; dan H a : β 1 > 0
Untuk menguji seberapa jauh variabel independen dalam menjelaskan
variabel terikat menggunakan uji statistik yang dihitung dengan menggunakan
formula t hitung sebagai berikut :
t = ( β − 0) / S = β / S
i
i
S = deviasi stándar, yang dihitung dari akar varians. Varians, atau S2,
diperoleh dari SSE dibagi dengan jumlah derajat kebebasan. Dengan menggunakan
derajat kepercayaan 5% maka Ho akan ditolak jika signifikansi lebih kecil dari derajat
kepercayaan 5%. Dengan kata lain, hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa
variabel independen berpengaruh terhadap dependen tidak ditolak.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskriprif Statistik Data Sampel
Pengukuran deskriptif statistik pada penelitian ini bermanfaat untuk
mempermudah pengamatan melalui perhitungan nilai rata-rata (mean), nilai
minimun, nilai maksimum, dan standar deviasinya, sehingga dapat diperoleh
gambaran mengenai data sampel secara garis besar agar dapat mendekati
kebenaran populasi. Adapun sampel yang berhasil dihimpun adalah sebanyak 141
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah volatilitas arus kas,
magnitude accrual, leverage, volatilitas penjualan, dan siklus operasi. Sedangkan
untuk pengukuran statistik sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS) 15 dengan
hasil perhitungan pada tabel 3.
Tabel 3 menyajikan statistik deskriptif untuk 141 data yang terdiri dari 141
sampel perusahaan selama lima tahun pengamatan. Baris pada tabel 3 menyajikan
statistik deskriptif variabel volatilitas arus kas (X1), magnitude accrual (X2),
volatilitas penjualan (X3), leverage (X4), siklus operasi (X5), dan persistensi laba
(Y). Kolom pada tabel 3 menjelaskan jumlah sampel, nilai-nilai minimum,
maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi. Nilai minimum menjelaskan nilai
terendah suatu variabel. Nilai maksimum menjelaskan nilai tertinggi suatu variabel.
Nilai rata-rata menggambarkan nilai kisaran data yang diperoleh dari penjumlahan
seluruh data dan membaginya dengan jumlah data. Sedangkan deviasi standar
merupakan simpangan dari nilai rata-rata yang diakar kuadratkan untuk suatu
variabel.
Berdasarkan hasil pengukuran statistik deskriptif pada Tabel 3 statistik
deskriptif variabel penelitian, dapat dijelaskan bahwa nilai minimum dari volatilitas
arus kas adalah 0,003 dan nilai maksimumnya adalah 1,129 dengan nilai rata-rata
0,078. Hal ini menandakan bahwa volatilitas arus kas di perusahaan-perusahaan
manufkatur yang sedang diamati tidak banyak terjadi. Pada pengukuran variabel
magnitude accrual nilai minimum yang dihasilkan adalah 0,013 dan nilai
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
maksimumnya adalah 1,678 dengan nilai rata-rata 0,129. Nilai ini mengindikasikan
bahwa magnitude accrual yang terjadi tidak terlalu besar.
Pengukuran pada variabel volatilitas penjualan menghasilkan nilai minimum
sebesar 0,023 dan nilai maksimum sebesar 2,37 dengan nilai rata-rata sebesar
0,281. Nilai ini mengindikasikan bahwa volatilitas penjualan yang terjadi di
perusahaan manufaktur yang sedang diteliti cukup rendah. Sedangkan untuk
pengukuran leverage dihasilkan nilai minimum sebesar 0,130 dan nilai maksimum
sebesar 3,627 dengan nilai rata-rata sebesar 0,676. Hasil pengukuran ini
mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur yang sedang diamati
menghasilkan leverage yang tinggi.
Pada pengukuran variabel siklus operasi, nilai minimum yang dihasilkan
adalah sebesar 35,342 dan nilai maksimum yang dihasilkan adalah sebesar 551,971
sedangkan nilai rata-rata 152,983. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa turn over
siklus operasi pada perusahaan-perusahaan manufaktur rata-rata 153 hari.
Sedangkan pada variabel persistensi nilai minimum -4,659 dan nilai maksimum
2,237 dengan nilai rata-rata -0,044. Nilai ini mengindikasikan bahwa perusahaanperusahaan manufaktur memiliki persistensi laba yang tinggi, karena nilai rataratanya mendekati nol.
4.2. Pengujian Asumsi Klasik
4.2.1. Uji Normalitas
Hasil dari perhitungan Kolmogorof Smirnov Test (lihat Tabel 4) sudah
menunjukkan distribusi yang normal pada model yang digunakan dengan nilai
probabilitasnya sebesar 0,619 (0,619 > 0,10) sehingga bisa dilakukan regresi
dengan Model Linear Berganda.
4.2.2. Uji Non-Autokorelasi
Berdasarkan hasil perhitungan DW dengan menggunakan regresi (lihat Tabel
5) menunjukkan bahwa tidak ada korelasi serial diantara residual, sehingga variabel
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
tersebut independen (tidak terjadi autokorelasi) yang ditunjukkan dengan du < dw <
4-du ( 1.693 < 2.004 < 2.307).
4.2.3. Uji Non-Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
uji gleijser. Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa untuk Volatilitas Arus Kas (X1),
Magnitude Accrual (X2), Volatilitas penjualan (X3), Leverage (X4), dan Siklus
Operasi (X5) terhadap absolut Residual (absu) tidak terjadi heterosdastisitas dengan
ditunjukkan nilai sginfikansi yang lebih besar dari 0.05.
4.2.4. Uji Non-Kolinieritas Ganda (Multicolinearity)
Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari Variance
Inflation Factor (VIF). Dari Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa untuk variabel
Volatilitas Arus Kas
(X1), Magnitude Accrual (X2), Volatilitas penjualan (X3),
Leverage (X4), dan Siklus Operasi (X5) tidak terjadi multikolineritas
dengan
ditunjukkan nilai VIF lebih kecil dari 10.
4.3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam pengolahan data dengan menggunakan regresi linear berganda,
dilakukan beberapa tahapan untuk mencari hubungan antara variabel independen
dan variabel dependen, melalui pengaruh variabel volatilitas arus kas (X1),
magnitude accrual (X2), volatilitas penjualan (X3), leverage (X4), dan siklus operasi
(X5) terhadap kualitas laba (Y). Hasil regresi dapat dilihat pada tabel Tampak pada
tabel tersebut menunjukkan angka yang signifikan pada variabel magnitude accrual
(X2), leverage (X4), dan siklus operasi (X5) sedangkan dua variabel yang lain yaitu
variabel volatilitas arus kas (X1), volatilitas penjualan (X3) tidak menunjukkan angka
yang signifikan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.2.1. Pengaruh Volatilitas Arus Kas Terhadap Persistensi Laba
Hasil penelitian ini tidak berhasil memberikan bukti bahwa volatilitas arus kas
berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. Hasil penelitian dapat dilihat pada
tabel 8 yang menunjukkan bahwa signifikansi t pada volatilitas arus kas
menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan α (0.389 > 0.05). Dari penjelasan
diatas maka hasil ini sesuai dengan penelitian Meythi (2006) yang menyatakan
bahwa volatilitas arus kas tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Namun
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sloan (1996)
serta Dechow dan Dichev (2002) yang menyatakan bahwa arus kas berpengaruh
terhadap kualitas laba. Hal ini berarti derajat penyebaran arus kas atau indeks
penyebaran distribusi arus kas perusahaan tidak bisa memprediksi kualitas laba. Hal
ini disebabkan oleh penyimpangan penggunaan yang lebih besar aproksimasi dan
estimasi, dengan berkorespondensi dengan kesalahan estimasi yang lebih besar
tidak menyebabkan kualitas laba yang rendah namun cenderung fluktuatif antara
satu perusahaan dengan perusahaan yang lain.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dikarenakan;
pertama adalah proksi yang digunakan dalam pengukuran kualitas laba adalah
persistensi dengan pengukurannya menggunakan earnings per share. Proksi ini
tidak sama dengan yang digunakan Sloan (1996) serta Dechow dan Dichev (2002).
Dengan begitu maka besar-kecilnya kualitas laba dengan menggunakan persistensi
sangat dipengaruhi oleh saham yang beredar. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Chan et al (2001) yang menyatakan bahwa pasar dalam hal ini investor tidak
membedakan informasi yang terkandung di dalam laba, dengan kata lain investor
melakukan fixation terhadap laba yang dilaporkan. Alasan yang kedua adalah
karakteristik dalam pasar modal Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini
mungkin kualitasnya lebih rendah, artinya data arus kasnya sulit diprediksi
dibandingkan dengan di Amerika sebagai lokasi penelitian sebelumnya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.2.2. Pengaruh Magnitude Accrual Terhadap Persistensi Laba
Penelitian
ini
berhasil
memberikan
bukti
bahwa
magnitude
accrual
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas laba. Terbukti dari hasil
penelitian (tabel 8) menunjukkan bahwa signifikansi t pada volatilitas arus kas
menunjukkan nilai yang lebih kecil di bandingkan α (0.001 < 0.05). Hipotesis ini
sesuai dengan penelitian Dechow dan Dichev (2002) yang menyatakan bahwa
magnitude accrual mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kualits laba.
Walaupun proksi pengukuran kualitas laba yang berbeda dengan penulis namun
bagaimanapun juga besar kecilnya komponen akrual yang terjadi di perusahaan
akan menyebabkan gangguan persepsian (perceived noise) yang dapat mengurangi
kualitas laba. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan dari Bernstein (1993,461)
dalam Sloan (1996) yang menyatakan bahwa komponen akrual dari current
earnings cenderung kurang terulang lagi atau kurang persisten untuk menentukan
laba masa depan karena mendasarkan pada akrual, defferred (tangguhan), alokasi
dan penilaian yang mempunyai distorsi subyektif.
4.2.3. Pengaruh Volatilitas Penjualan Terhadap Persistensi Laba
Hasil penelitian ini tidak berhasil memberikan bukti bahwa volatilitas
penjualan berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas laba. Dari hasil penelitian
dapat dilihat pada tabel 8 yang menunjukkan bahwa signifikansi t pada volatilitas
arus kas menunjukkan nilai yang lebih besar di bandingkan α (0.760 > 0.05). Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pagalung (2006) dimana volatililas
penjualan tidak berpengaruh terhadap kualitas laba.
Volatilitas penjualan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas
laba. Volatilitas yang tinggi dari penjualan tidak dapat memprediksi kualitas laba,
karena laba yang dihasilkan akan mengandung banyak gangguan persepsian
(perceived noise). Disamping itu karena informasi besar kecilnya penjualan tidak
begitu diperhatikan oleh para investor. Hampir semua investor hanya melihat laba
secara keseluruhan. Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa persistensi laba
tidak mengikuti pola penjualan. Hal ini dimungkinkan karena laba secara
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
keseluruhan di perusahaan di Indonesia biasanya telah mengalami perataan,
sehingga gejolak atau volatilitas yang terjadi pada penjualan seakan-akan tidak
berpengaruh terhadap besar kecilnya laba yang diperoleh.
4.2.4. Pengaruh Leverage Terhadap Persistensi Laba
Penelitian ini berhasil memberikan bukti bahwa leverage berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap kualitas laba. Terbukti dari hasil penelitian yang dapat dilihat
pada tabel 8 yang menunjukkan bahwa signifikansi t pada volatilitas arus kas
menunjukkan nilai yang lebih kecil di bandingkan α (0.004 < 0.05). Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pagalung (2006) dimana persistensi laba
dipengaruhi oleh leverage. Pada penelitian ini hubungan leverage dengan kualitas
laba menunjukkan hubungan yang negatif, dimana jika leverage meningkat 1 kali
maka akan menurunkan kualitas laba menjadi -0.326 kali. Hal ini berhubungan
dengan tingkat solvabilitas keuangan yang dimiliki oleh perusahaan. Dimana
semakin tinggi leverage mengindikasikan utang yang berlebihan, yang menandakan
kemungkinan
suatu
perusahaan
menjadi
tidak
mampu
menghasilkan
pendapatan/laba yang memadai untuk memenuhi kewajiban-kewajiban utangnya
(obligasi). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat leverage yang tinggi akan
dibarengi dengan solvabilitas keuangan yang rendah, dan begitu juga sebaliknya.
4.2.5. Pengaruh Siklus Operasi Terhadap Persistensi Laba
Penelitian ini berhasil memberikan bukti bahwa siklus operasi berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kualitas laba. Dari hasil penelitian yang dapat dilihat
pada tabel 8 yang menunjukkan bahwa signifikansi t pada volatilitas arus kas
menunjukkan nilai yang lebih kecil di bandingkan α (0.001 < 0.05). Hal ini sesuai
dengan penelitian Dechow dan Dichev (2002) serta Pagalung (2006) dimana
kualitas laba dipengaruhi oleh siklus operasi khususnya pada persistensi laba.
Dechow et al. (1998) menunjukkan bahwa kemampuan laba untuk memprediksi
aliran kas di masa yang akan datang tergantung pada siklus operasi perusahaan.
Dechow dan Dichev (2002) menyatakan bahwa siklus operasi yang lebih lama
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar, membuat akrual lebih ber-noise dan
kurang membantu dalam memprediksi aliran kas di masa yang akan datang.
Dechow (1994) berpendapat bahwa lama siklus operasi perusahaan adalah penentu
volatilitas modal kerja. Bila siklus operasinya mengalami perputaran yang lama,
maka perusahaan akan memerlukan perubahan besar pada tingkat kapital kerja dan
aliran kas terealisasi dan akan memberi dampak yang relatif buruk terhadap kinerja
perusahaan. Makin banyak akrual yang bisa digunakan untuk mereduksi masalah
penetapan waktu dan penyesuaian aliran kas. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa semakin lama siklus operasi perusahaan dalam satu tahun kegiatan akan
dapat menimbulkan kualitas laba yang lebih rendah.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh volatilitas arus kas,
magnitude accrual, volatilitas penjualan, leverage, dan siklus operasi terhadap
kualitas laba yang diukur melalui persistensi laba. Dari keseluruhan penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa 1) volatilitas arus kas tidak berpengaruh terhadap
kualitas laba hal ini. Hal ini disebabkan oleh penyimpangan penggunaan yang lebih
besar aproksimasi dan estimasi, dengan berkorespondensi dengan kesalahan
estimasi yang lebih besar tidak menyebabkan kualitas laba yang rendah namun
cenderung fluktuatif antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, 2)
magnitude accrual berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas laba. Hal ini
memberikan informasi bahwa besar kecilnya komponen akrual yang terjadi di
perusahaan akan menyebabkan gangguan persepsian (perceived noise) yang dapat
mengurangi kualitas laba, 3) volatilitas penjualan berpengaruh secara signifikan
terhadap kualitas laba. Volatilitas yang tinggi dari penjualan tidak dapat memprediksi
kualitas laba, karena laba yang dihasilkan akan mengandung banyak gangguan
persepsian (perceived noise), 4) leverage berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kualitas laba. Semakin tinggi leverage mengindikasikan utang yang
berlebihan, yang menandakan kemungkinan suatu perusahaan menjadi tidak
mampu menghasilkan pendapatan/laba yang memadai untuk memenuhi kewajibankewajiban utangnya dan 5) siklus operasi berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kualitas laba. Bila siklus operasinya mengalami perputaran yang lama,
maka perusahaan akan memerlukan perubahan besar pada tingkat kapital kerja dan
aliran kas terealisasi dan akan memberi dampak yang relatif buruk terhadap kinerja
perusahaan
5.2 Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, anatara lain adalah; 1)
jumlah sampel tidak dilakukan secara random tetapi mensyaratkan kriteria-kriteria
tertentu (purposive sampling), yaitu dengan membatasi kriteria sampel hanya untuk
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
perusahaan manufaktur. Oleh karena itu hasil penelitian ini tidak dapat
digeneralisasi untuk perusahaan di luar manufaktur; 2) di sini penulis hanya
menggunakan lima variabel saja yaitu volatilitas arus kas, magnitude accrual,
volatilitas penjualan, leverage dan siklus operasi, dan ternyata hasil koefisien
determinasi (R2) relatif kecil. Dari hasil tersebut maka dibutuhkan variabel lain yang
lebih dapat menjelaskan kualitas laba dalam hal ini persistensi laba, 3) pendekatan
atau proksi dari kualitas laba dalam penelitian ini adalah persistensi laba atau
kepermanenan laba dimana laba periode sekarang adalah refleksi dari periode
masa depan ataupun periode sekarang.
5.3. Saran
Berdasarkan keterbatasan penelitian yang diungkapkan di atas, maka dapat
diberikan beberapa saran dengan maksud untuk meningkatkan mutu penelitian
selanjutnya. Saran yang dapat diberikan adalah 1) untuk penelitian selanjutnya yang
lebih baik lagi bisa menggunakan dua atau lebih jenis perusahaan, sebagai contoh
perusahaan manufaktur dengan perusahaan tambang atau lain sebagainya.
Sehingga kontribusi penelitian ini bisa lebih karena hasilnya dapat diterapkan tidak
hanya untuk perusahaan manufaktur tetapi juga untuk jenis perusahaan yang
lainnya; 2) dilihat dari koefisien determinasi (R2) yang realtif kecil maka penelitian
selanjutnya perlu untuk menambah variabel lain yang dapat mempengaruhi kualitas
laba misalnya seperti ukuran perusahaan dan kinerja perusahaan. Menurut
beberapa penelitian variabel tersebut juga berpengaruh terhadap kualitas laba.
Seperti ukuran perusahaan, umur perusahaan, kinerja perusahaan, likuiditas, risiko
lingkungan dan lain sebagainya; 3) untuk penelitian selanjutnya pendekatan atau
proksi kualitas laba selain persistensi laba, dapat juga digunakan kualitas akrual,
prediktabilitas, atau bahkan perataan laba. Proksi kualitas akrual memetakan akrual
periode sekarang kedalam arus kas masa lalu, masa sekarang, masa mendatang,
penjualan, dan aktiva tetap (Dechow dan Dichev (2002)). Lalu untuk prediktabilitas
adalah kemampuan laba sekarang memprediksi laba masa mendatang. Pengukuran
prediktabilita adalah variabilitas kesalahan model regresi laba sekarang terhadap
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
laba masa medatang (Francis et al. (2004) dan Pagalung (2006)). Selanjutnya untuk
perataan laba adalah merupakan ukuran kualitas informasi pelaporan keuangan dari
variabilitas seris laba dan pengukurannya adalah rasio variabilitas laba terhadap
variabilitas arus kas (Francis et al. (2004)).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR REFERENSI
Aboody, D. J. Hughes, and J. Liu. 2003. Earnings Quality, Insider Trading, and Cost
of Capital, Working Paper, University of California, Los Angeles: 1-30.
Ayres, F.L. 1994. Perception of Earnings Quality: What Managers Need to Know,
Management Accounting. March: 27-29.
Barth M.E. and A.P. Hutton. 2001. Financial Analysts and the Pricing of Accruals.
Working paper. Research Paper Series. Graduate School Of Business Stanford
University
Beneish, M. and M. Vargus, 2002. Insider Trading, Earnings Quality, and Accrual
Mispricing. The Accounting Review. Vol.77, No.4: 755-791.
Chambers, D.J. 2003. Earnings Persistence and Accrual Anomaly. Working Paper.
University of Illinois at Urbana-Champaign: 1-29.
Chan, K., L. Chan, N. Jegadeesh, J. Lakonishok. 2004. Earnings quality and stock
returns. Working Paper. University of Illinois at Urbana-Champaign Department of Finance, 50.
Chandrarin, G. 2001. Laba (Rugi) Selisih Kurs sebagai Salah Satu Faktor yang
Mempengaruhi Koefisien Respon Laba Akuntansi: Bukti Empiris dari Pasar
Modal Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Christensen, P.O., G.A. Feltham, and F. Sabac. 2005. A Contracting Perspective on
Earnings Quality. Journal of Accounting and Economics.39: 265-294.
Cohen, D.A. 2003. Quality of Financial Reporting Choice: Determinants and
Economic Consequences. Working Paper. Northwestern University Collins.
Cooper,
D.R. and C.W. Emory. 1995. Business Research Methods. 5 th Ed,
Richard D. Irwin, Inc.
Cornell, B. and W. R. Landsman. 2003. Accounting Valuation: Is Earnings Quality an
Issue? Financial Analysts Journal: 20-28.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik, Jilid 1 & 2. LP3ES. Jakarta.
Darraough, M.N. 1993. Disclosure Policy and Competition: Cournot vs Bertrand. The
Accounting Review. Vol 68 No. 3: 534-561.
Dechow P. and I. Dichev. 2002. The Quality of Accruals and Earnings: The Role of
Accrual Estimation Errors. The Accounting Review 77. Supplement: 35-59.
Fanny, M. dan S.V.N.P Siregar. 2007. Pengaruh Pergantian Dan Jangka Waktu
Penugasan Auditor Terhadap Kualitas Laba: Studi Pada Emiten Bursa Efek
Jakarta . The
1st
Accounting
Conference
Faculty
of
Economics
Universitas Indonesia Depok, 7-9 November 2007
Francis, J., R. LaFond, P. Olsson, and K. Schipper, 2004, Costs of Equity and
Earnings Attributes, The Accounting Review, Vol.79. No.4: 967-1010.
Francis, J. R. LaFond, P. Olsson, and K. Schipper. 2005. The Market Pricing of
Earnings Quality. Journal of Accounting and Economics. 29: 295-327.
Gu. Z., C.J Lee. and J.G. Rosett. 2002. Information Environment and Accrual
Volatility. Working Paper. A. B. Freeman School of Business, Tulane University.
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar, diterjemahkan oleh Sumarno Zain, Jakarta:
Erlangga.
Hayn, C. 1995. The Information Content of Losses. Journal of Accounting and
Economics, 20: 125-153.
Indriantoro, N. dan B. Supomo, 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. Edisi pertama. BPFE. Yogyakarta.
Jogiyanto, H.M. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalamanpengalaman. BPFE. Yogyakarta
Lev, B. and R., Thiagarajan, 1993.Fundamental Information Analysis. Journal of
Accounting Research. Vol 31. Autumn. 2: 190-215.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Lipe, R.C. 1990. The Relation Between Stock Return, Accounting Earnings and
Alternative Information. The Accounting Review (January). pp. 49-71
McNichols, M. 2002. Discussion of The Quality of Accruals and Earnings: The Role
of Accrual Estimation errors. The Accounting Review 77. Supplement: 61-69.
Meythi. 2006. Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan
Persistensi Laba Sebagai Variabel Intervening Simposium Nasional Akuntansi
9 Padang, 23-26 Agustus 2006.
Pagalung, G. 2006. Kualitas Informasi Laba: Faktor-Faktor Penentu dan
Konsekuensi Ekonominya. Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Penman, S.H. 2001. On Comparing Cash Flow And Accrual Accounting Models For
Use In Equity Valuation. Working paper. www.ssrn.com
Penman, S.H. and X.J. Zhang. 2002. Accounting Conservatism, the Quality of
Earning and Stock Returns. Working Paper. Sosial Science Research Network:
1-44.
Richardson, S. 2003. Earnings quality and short sellers. Supplement. Accounting
Horizons: 49-61.
Richardson, S., R. Sloan, M. Soliman, I. Tuna. 2001. Information in accruals about
the quality of earnings. Working Paper. University of Michigan business school.
52.
Schipper, K. and L. Vincent. 2003. Earnings Quality. Accounting Horizons. Vol.70.
Supplement: 97-110.
Schipper, K. 2004. Earnings Quality. Working Paper in Asia Pacific Journal of
Accounting and Economics Conference. January. Kuala Lumpur. Malaysia.
Santoso, S. 2001. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statsitik Secara Profesional, PT
Elex Media Komputindo. Jakarta.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Saputra, I.D.G.D. 2003. Penggunaan Rasio Keuangan Sebagai Ukuran Risiko
Dalam
Menentukan
Bid-Ask
Spread.
Thesis.
Program
Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.
Sekaran, U. 2003. Research Methods For Business. 4 th Ed, John Wiley & Sons,
Inc.
Sloan, R.G. 1996. Do Stock Prices Fully Reflect Information in Accruals and Cash
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi. Penerbit BPFE Yogyakarta, Yogyakarta.
Tumirin. 2003. Analisis Variabel Akuntansi Kuartalan, Variabel Pasar, Arus Kas
Operasi Yang Mempengaruhi Bid-Ask Spread. Thesis. Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.
Wijayanti, H.T. 2006. Analisis Pengaruh Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan
Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, Dan Arus Kas . Simposium
Nasional Akuntansi 9 Padang
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel
No
1
Variabel
Definisi dan Pengukuran
Peneliti
Volatilitas
Volatilitas arus kas adalah derajat penyebaran arus Sloan (1996) ;
Arus Kas
kas atau indeks penyebaran distribusi arus kas Dechow dan
(X1)
perusahaan. Diukur dengan menggunakan rumus:
(
Dichev ( 2002)
)
σ CFO t
Total Aktiva jt
CFOjt
= Aliran Kas operasi perusahaan j tahun t
Total Aktivajt = Total Aktiva Perusahaan j tahun t
2
Magnitud
Magnitude akrual adalah besaran pendapatan Sloan (1996);
akrual
diakui pada saat hak kesatuan usaha timbul Dechow dan
(X2)
lantaran penyerahan barang ke pihak luar dan biaya Dichev ( 2002)
diakui
pada
saat
kewajiban
timbul
lantaran
penggunaan sumber ekonomik yang melekat pada
barang yang diserahkan tersebut. Diukur dengan
menggunakan rumus:
(
σ Earnings jt − CFO jt
)
Earningsjt = Laba sebelum item-item luar biasa
perusahaan j tahun t
CFOjt
3
= Aliran kas operasi perusahaan j tahun t
Volatilitas
Volatilitas penjualan adalah derajat penyebaran Dechow and
Penjualan
penjualan
(X3)
penjualan
atau
indeks
perusahaan.
menggunakan rumus:
(
penyebaran
distribusi Dichev (2002);
Diukur
σ Penjualan selama 5 tahun jt
dengan Cohen (2003);
)
Total Aktiva jt
Penjualan jt
= Penjualan perusahaan j mulai tahun
2001 s/d 2005
Francis et al.
(2004),
Pagalung
(2006)
Total Aktivajt= Total Aktiva perusahaan j tahun t
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
No
4
Variabel
Definisi dan Pengukuran
Peneliti
Leverage
Leverage adalah bagian sumber pendanaan untuk Gu et al.
(X4)
operasional maupun investasi yang berasal dari luar (2002), Tumirin
perusahaan. Besarnya rasio utang mencerminkan (2003) dan
kompleksitas dan risiko keuangan. Diukur dengan Saputra (2003)
menggunakan rumus:
Total utang jt
Total aset jt
Total Utangjt = Total utang perusahaan j tahun t
Total Asetjt
5
= Total aset perusahaan j tahun t
Siklus
Siklus perusahaan adalah periode waktu rata-rata Gu et al.
Operasi
antara pembelian persediaan dengan pendapatan (2002); Dechow
(X5)
kas yang nantinyaakan diterima penjual atau and Dichev
rangkaian seluruh transaksi dimana suatu bisnis (2002); Cohen
menghasilkan
kasnya
penerimaannya
dari
pelanggan.
menggunakan:
( piutang dagang + piutang dagang )
jt −1
jt
penjualan jt
dan
Diukur
dengan et al. (2004),
Pagalung
2 +
360
Piutang dagangjt
penerimaan (2003); Francis
( persediaan
jt
+ persediaan jt −1 )
harga pokok penjualan jt
(2006)
2
360
=
Piutang
dagang
=
Piutang
dagang
perusahaan j tahun t
Piutang dagangjt-1
perusahaan j tahun sebelumnya
Persediaanjt = Persediaan perusahaan j tahun t
Penjualanjt
= Penjualan perusahaan j
tahun t
Harga pokok penjulanjt = Harga pokok penjualan
perusahaan j tahun t
6
Kualitas
laba periode sekarang adalah refleksi dari periode Francis et al.
Laba (Y)
masa depan ataupun periode sekarang. Proksi (2004);
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
No
Variabel
Definisi dan Pengukuran
Peneliti
kualitas informasi laba ini adalah nilai koefisien dari Pagalung
model regresi laba tahunan (model AR1) dengan (2006)
rumus sebagai berikut:
Earnings jt
Saham yang beredar jt
Earningsjt
= β 0 + β1
Earnings jt −1
Saham yang beredar jt −1
+ ε Jt
= laba sebelum item-item luar biasa
perusahaan j tahun t
Earningsjt-1 = laba sebelum item-item luar biasa
perusahaan j tahun lalu
Saham yang beredarjt= Saham yang beredar
perusahaan j tahun t
Saham yang beredarjt-1= Saham yang beredar
perusahaan j tahun lalu
Tabel 2. Prosedur Pemilihan Sampel
Penetapan Sampel
• Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun
Jumlah
181
(38)
2001
• Perusahaan manufaktur yang delisting selama tahun 2001
(2)
sampai 2006
• Perusahaan manufaktur yang tidak menerbitkan laporan
keuangan mulai tahun 2001 sampai dengan 2006
(0)
• Periode pelaporan tahunan yang diterbitkan tidak berakhir
pada tanggal 31 Desember
141
• Perusahaan manufaktur yang memenuhi kriteria sebagai
sampel
Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Minimum
Maximum
Mean
Std.
Deviation
Volatilitas
Arus
Kas
0,003
1,129
0,078
0,109
(X1)
0,013
1,678
0,129
0,187
Magnitude Accrual (X2)
0,023
2,377
0,281
0,307
Volatilitas
0,130
3,627
0,676
0,524
(X3)
35,342
551,971
152,983
79,550
Leverage (X4)
-4,659
2,237
-0,044
0,728
Penjualan
Siklus Operasi (X5)
Persistensi (Y)
Valid N (listwise)
Sumber data: Data sekunder yang diolah
Tabel 4. Uji Normalitas Distribusi
Variabel
K-S Z*
2 tailed p.**
0.775
0.619
Pengaruh Volatilitas Arus Kas (X1),
Magnitude Accrual (X2), Volatilitas
penjualan (X3), Leverage (X4), Siklus
Operasi (X5) terhadap Kualitas laba (Y)
Sumber data : Data Primer yang diolah
Keterangan:
*K-S Z
: Kolmogorov-Smirnov test Z
**2 tailed p. : Asymp. Sig. 2-tailed
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 5. Pengujian Asumsi Autokorelasi Variabel Volatilitas Arus Kas (X1),
Magnitude Accrual (X2), Volatilitas penjualan (X3), Leverage (X4), dan Siklus
Operasi (X5) terhadap Kualitas laba (Y)
No
1
dl
Nilai 1.557
du
4-du
4-dl
dw
1.693
2.307
2.443
2.004
Interprestasi
Tidak
ada
autokorelasi
Sumber data : Data Primer yang diolah
Keterangan : - Jumlah data (observasi) = 141
-
Dependent Variabel Y
-
Nilai dl dan du pada level 1 % dengan K = 5, N=141
Tabel 6. Pengujian Asumsi Heteroskedastisitas Variabel Volatilitas Arus Kas (X1),
Magnitude Accrual (X2), Volatilitas penjualan (X3), Leverage (X4), dan Siklus
Operasi (X5) Terhadap Absolut Residual (ABSU) Dengan Menggunakan Uji Glejser
Variabel Bebas
T hitung
Sig
Interprestasi
Volatilitas Arus Kas (X1)
-0.792
0.430
homoskedastisitas
Magnitude Accrual (X2)
1.867
0.064
homoskedastisitas
Volatilitas penjualan (X3)
-0.627
0.532
homoskedastisitas
Leverage (X4)
0.650
0.517
homoskedastisitas
Siklus Operasi (X5)
1.306
0.194
homoskedastisitas
Sumber data : Data sekunder yang diolah
Keterangan : -
Nilai Ttabel : α
= 5% = 1.960
(lihat Gujarati, 1997:392)
Dependent Variabel Absolut Residual (ABSU)
Tabel 7. Uji Multikolinearitas Variance Inflation Factor (VIF)
Varibel
NILAI
KETERANGAN
VIF
Volatilitas Arus Kas
(X1)
Tidak ada indikasi kolinearitas antar
1.028 variabel penjelas
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Varibel
NILAI
KETERANGAN
VIF
Magnitude Accrual
Tidak ada indikasi kolinearitas antar
(X2)
1.121 variabel penjelas
Volatilitas penjualan
(X3)
Tidak ada indikasi kolinearitas antar
1.077 variabel penjelas
Tidak ada indikasi kolinearitas antar
Leverage (X4)
1.145 variabel penjelas
Tidak ada indikasi kolinearitas antar
Siklus Operasi (X5)
1.145 variabel penjelas
Sumber Data : Data sekunder yang diolah
Tabel 8. Hasil Analisis Regresi
Variabel
Unstandardized
T hitung
Sig.
Keterangan
Coefficients (B)
(Constant)
0.705
Volatilitas Arus Kas (X1)
-0.436
-0.864
0.389
Tidak Signifikan
Magnitude Accrual (X2)
-0.998
-3.269
0.001*
Signifikan
Volatilitas penjualan (X3)
0.056
0.306
0.760
Tidak Signifikan
Leverage (X4)
-0.326
-2.954
0.004*
Signifikan
Siklus Operasi (X5)
-0.002
-3.566
0.001*
Signifikan
R
= 0.508
R Square
= 0.259
F hitung
= 9.413
F tabel
= 2.270
Sign. F
= 0.000
α
= 0.05
Sumber data: Data sekunder yang diolah
Keterangan : -
Dependent Variabel Y
* signifikan pada level 5 %
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM04 - 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENETAPAN ASUMSI AKTUARIA DAN PENGARUH ASUMSI AKTUARIA
DALAM IMBALAN KERJA KARYAWAN
TERHADAP EARNINGS RESPONSE COEFFICIENT
Ludovicus Sensi Wondabio
Tuti Yustiana Humairo
Universitas Indonesia
Abstract
The objectives of this research are to examine the determinants that drive the
choice of actuarial assumptions, primarily the discount rate and the future salary
increase; and to examine the effects of actuarial assumptions choices on the
earnings response coefficient (ERC) for companies listed at Indonesia Stock
Exchange (IDX) in 2006.
This research shows a big spread for actuarial assumptions determined by
companies in IDX. Discount rate ranging from 6% until 13% while future salary
increase ranging from 2% until 15%. However the results showed that no variables
that have significant effect to the determinations of discount rate. While profitability
has positive effect to the determination of future salary increase assumption.
Furthermore, this study also showed that actuarial assumptions have negative effect
to ERC. The result of the study indicate that investors ignore the actuarial
assumptions disclosed in the financial report and Investors still respond to earnings
information for their investment decisions.
The results of this research would enhance our understanding of how these
choices are made and can shed light on how firms behave in response to accounting
regulation. Knowledge gained from a study such as this can offer valuable input to
accounting standard setting to develop more restrictive accounting and auditing
standards that would offer fewer opportunities for firms to manipulate pension data
using these actuarial assumptions.
Key Words: Actuarial assumptions, discount rate, future salary increase, cumulative
abnormal return (CAR), earnings response coefficient (ERC).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
1. PENDAHULUAN
Pada bulan Juni tahun 2004, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengeluarkan
revisi atas Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 24 mengenai imbalan
kerja dengan mengadopsi International Accounting Standard (IAS) 19, Employee
Benefit, menggantikan PSAK 24 (1994) tentang akuntansi biaya manfaat pensiun.
PSAK 24 (revisi 2004) merupakan standar akuntansi bagi pengakuan,
pengukuran dan pengungkapan kewajiban perusahaan terhadap karyawan dalam
memberikan imbalan kerja dalam laporan keuangan. Terdapat lima kelompok
imbalan kerja yaitu imbalan kerja jangka pendek, imbalan pasca kerja, imbalan kerja
jangka panjang lainnya, pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) dan imbalan
berbasis ekuitas.
Hasil penghitungan imbalan pasca kerja program imbalan pasti sangat sensitif
terhadap pilihan asumsi aktuaria yang diputuskan. Peningkatan pada laporan laba
rugi dapat terjadi bila memilih asumsi pengembalian aktiva program yang lebih tinggi
dari tingkat diskonto. Selain itu besar selisih antara tingkat diskonto dan tingkat
kenaikan gaji juga dapat mempengaruhi hasil perhitungan imbalan kerja.
Pembahasan mengenai imbalan kerja dalam penelitian ini secara spesifik
terfokus mengenai imbalan pasca kerja program imbalan pasti dimana dalam
laporan keuangan secara nyata mengungkapkan asumsi aktuaria yang digunakan.
Adapun asumsi aktuaria yang diuji dalam penelitian ini adalah tingkat diskonto dan
tingkat kenaikan gaji.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi
penetapan asumsi aktuaria dalam imbalan kerja karyawan khususnya tingkat
diskonto dan tingkat kenaikan gaji dan sejauh mana pengaruh asumsi aktuaria
dalam imbalan kerja karyawan terhadap respons pasar atas laba perusahaan atau
earnings respons coefficient (ERC) pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) di tahun 2006.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2. LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU
2.1 Asumsi Aktuaria
Asumsi aktuaria adalah suatu rangkaian estimasi yang digunakan dalam
memhitung imbalan pasca kerja yang berkaitan dengan perubahan di masa yang
akan datang yang mempengaruhi pembiayaan program imbalan pasti. Asumsi
aktuaria semestinya merupakan estimasi terbaik perusahaan. Asumsi aktuaria tidak
boleh bias maka harus ditentukan secara hati-hati namun tidak terlalu konservatif
dan juga harus mutually compatible yaitu menggambarkan hubungan ekonomi
antara berbagai faktor didalamnya. Asumsi aktuaria terdiri dari:
(a) Asumsi demografis. Contohnya adalah tingkat mortalitas; tingkat perputaran
pekerja, cacat dan pensiun dini; proporsi dari peserta program dengan
tanggungannya (yang akan berhak); dan tingkat klaim program kesehatan.
(b) Asumsi keuangan seperti tingkat diskonto, tingkat kenaikan gaji, jaminan
kesehatan, biaya kesehatan masa datang, serta (jika material) biaya administrasi
klaim dan pembayaran imbalan; dan tingkat hasil yang diharapkan atas aktiva
program.
Aktiva program merupakan investasi atas dana yang dibayar perusahaan
kepada pengelola program pensiun. Bentuk investasi contohnya deposito, obligasi
maupun saham sehingga diharapkan dapat memperoleh keuntungan yang dapat
menambah jumlah pendanaan. Pengembalian aktiva program adalah bunga, dividen
dan pendapatan bersih lain dari aktiva program. Contohnya adalah bunga deposito,
return saham, dan dividen.
Penetapan asumsi aktuaria dilakukan oleh aktuaris, namun tidak menutup
kemungkinan adanya intervensi perusahaan dalam proses penetapan asumsi
tersebut. Aktuaris menggunakan alat matematis untuk menentukan jumlah
kewajiban imbalan kerja karyawan di masa depan dengan mengalokasikan
probabilitas untuk masing-masing asumsi tersebut.
2.1.1 Tingkat Diskonto
Tingkat diskonto mencerminkan nilai waktu dari uang (time value of money)
yaitu estimasi jadwal pembayaran imbalan tetapi tidak mencerminkan resiko
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
aktuaria atau investasi. Penetapan tingkat dinyatakan pada paragraf 80 PSAK 24
(revisi 2004):
“Tingkat diskonto yang digunakan untuk mendiskontokan kewajiban imbalan
pasca-kerja (baik yang didanai maupun tidak) harus ditentukan dengan mengacu
pada bunga obligasi berkualitas tinggi pada pasar yang aktif pada tanggal neraca.
Bila tidak ada pasar yang aktif (deep market) bagi obligasi tersebut, maka harus
digunakan tingkat bunga obligasi pemerintah pada pasar yang aktif. Mata uang dan
periode yang dipersyaratkan dalam obligasi tersebut di atas harus sesuai dengan
mata uang dan estimasi periode kewajiban imbalan pasca-kerja.”
Dengan demikian tingkat diskonto pada dasarnya bersifat country specific,
sebab setiap negara memiliki kinerja pasar saham yang berbeda namun tingkat
diskonto antara perusahaan di satu negara seharusnya tidak berbeda jauh satu
sama lain.
2.1.2 Asumsi Aktuaria Lainnya
Dalam menentukan prakiraan kenaikan gaji di masa datang perlu
diperhitungkan faktor inflasi, senioritas, promosi dan faktor relevan lain seperti
hukum penawaran dan permintaan pada pasar tenaga kerja.
Sedang untuk menentukan asumsi biaya kesehatan harus dipertimbangkan
estimasi perubahan biaya jasa kesehatan di masa datang (akibat inflasi dan
perubahan kesehatan), tingkat dan frekuensi klaim di masa datang serta biaya untuk
memenuhi klaim tersebut, data historis perusahaan (atau data historis perusahaan
lain, asuransi, penyedia layanan kesehatan), dampak kemajuan teknologi,
perubahan pola penggunaan/pemberian layanan kesehatan dan perubahan status
kesehatan peserta program.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2.1.3 Sensitivitas Asumsi Aktuaria
Present Value Defined Benefit Obligation (PVDBO) sensitif terhadap asumsi
aktuaria. Semakin besar jarak antara tingkat diskonto dan tingkat kenaikan gaji
(tingkat diskonto lebih besar dibanding tingkat kenaikan gaji), semakin kecil hasil
yang didapat. Dan semakin tinggi tingkat pengunduran diri karyawan semakin kecil
pula hasilnya.
Tabel 2.1 Pengaruh asumsi aktuaria terhadap beban penyisihan imbalan kerja
Pengaruh penetapan asumsi aktuaria terhadap
beban penyisihan imbalan kerja
1. Tingkat diskonto
lebih tinggi
penurunan biaya jasa + kenaikan
biaya bunga
= total penurunan biaya
lebih rendah
kenaikan biaya jasa + penurunan
biaya bunga
= total kenaikan biaya
2. Tingkat
pengembalian
lebih tinggi
penurunan biaya
lebih rendah
kenaikan biaya
lebih tinggi
kenaikan biaya (jasa dan bunga)
lebih rendah
penurunan biaya (jasa dan bunga)
aktiva program
3. Tingkat kenaikan
gaji
Tabel 2.2 Pengaruh asumsi aktuaria terhadap kewajiban imbalan kerja
Pengaruh penetapan asumsi aktuaria terhadap Projected Benefit
Obligation (PBO) dalam kewajiban imbalan kerja
1. Tingkat diskonto
2. Tingkat kenaikan gaji
lebih tinggi
Penurunan PBO
lebih rendah
Kenaikan PBO
Lebih tinggi
Kenaikan PBO
lebih rendah
Penurunan PBO
Dapat disimpulkan bahwa dalam penetapan asumsi aktuaria, contoh dari
praktek akuntansi yang agresif diantaranya adalah tingkat diskonto yang tinggi,
tingkat pengembalian aktiva program yang optimistik (lebih tinggi dari tingkat
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
diskonto) dan rendahnya tingkat kenaikan gaji. Adapun praktek akuntansi yang
konservatif antara lain tingkat diskonto yang rendah/cukup, tingkat pengembalian
aktiva program yang mendekati tingkat diskonto, dan tingkat kenaikan gaji yang
tinggi.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Penelitian mengenai Imbalan Kerja karyawan
Tabel 2.3 Penelitian mengenai Imbalan Kerja Karyawan
No
1
Peneliti /
tahun
Ririn Untari
(2005)
Variabel yang diteliti
Hasil Penelitian
•
Implikasi UU No. 13
terhadap laporan
keuangan.
•
Ukuran perusahaan berpengaruh
terhadap tingkat pengungkapan
wajib.
•
Tingkat pengungkapan
kewajiban imbalan pasca
kerja.
•
Auditor dan restatement
mempengaruhi tingkat
pengungkapan wajib dan sukarela.
2
S. Nurwahyuningsih
Harahap
(2007)
Motivasi ekonomi adoption
timing penerapan PSAK 24
revisi 2004.
Ukuran perusahaan, biaya
implementasi, kenaikan ROE dan
ukuran KAP mempengaruhi adoption
timing.
3
Trowbrige &
Far (1977)
Pengaruh asumsi aktuaria
tarhadap laboran keuangan
Tingkat diskonto, kenaikan gaji dan
pengembalian program mempengaruhi
besaran beban dan kewajiban pensiun.
4
Morris, Nichols
& Niehaus
(1983)
Pengaruh asumsi aktuaria
terhadap laporan keuangan.
Perubahan asumsi aktuaria
mempengaruhi komparabilitas analisis
laporan keuangan perusahaan.
5
Chen & D’Arcy
(1986)
Sensitivitas pasar terhadap
asumsi tingkat bunga.
Asumsi tingkat bunga lebih rendah,
kinerja saham lebih baik.
6
Gopalakrishnan &
Sugrue (1995)
•
•
Leverage dan pendanaan
mempengaruhi pemilihan asumsi.
•
Tingkat diskonto mempengaruhi
penetapan tingkat kenaikan gaji.
•
Faktor-faktor yang
mempengaruhi asumsi
aktuaria.
Dependensi antar asumsi
aktuaria.
7
Coronado &
Sharpe (2003)
Pengaruh accounting earnings
dan cost accrual terhadap
harga saham.
Cost accrual mempengaruhi harga
saham.
8
Eaton &
Nofsinger
(2004)
Perbandingan asumsi aktuaria
perusahaan dengan financial
constraints dan yang tidak.
Asumsi aktuaria perusahaaan dengan
financial constraints lebih optimistik.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2.2.2 Penelitian mengenai ERC
Tabel 2.4 Penelitian mengenai ERC
N
o
1
Peneliti
Variabel / Tema
Cho &
Pengelompokan
Jung
pendekatan teoritis ERC.
Hasil Penelitian
•
informasi ekonomi.
•
(1991)
Model penelitian ERC berdasar
Model penelitian ERC berdasar
time series laba.
2
Lang &
Pengungkapan sukarela
Ludholm
dan return saham.
•
Tingkat pengungkapan lebih
tinggi berasosiasi dengan
(1993)
kinerja pasar yang lebih baik.
•
Hubungan negatif antara ERC
dan tingkat pengungkapan.
3
4
Gelb &
Hubungan antara luas
Future ERC perusahaan high
Zabrowin
pengungkapan sukarela
disclosers lebih besar dari
(2000)
dengan future ERC.
perusahaan low disclosers.
Widiastuti Hubungan luas
Luas pengungkapan sukarela tidak
(2002)
pengungkapan sukarela
berpengaruh terhadap current
dalam laporan tahunan
ERC.
terhadap current ERC.
5
•
Sayekti &
Pengaruh tingkat
Wondabi
pengungkapan informasi
informasi CSR berpengaruh
o (2007)
CSR terhadap ERC.
negatif terhadap ERC.
•
Tingkat pengungkapan
Investor mengapresiasi
informasi CSR dalam laporan
tahunan.
Beberapa penelitian lain telah melakukan identifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan karakteristik spesifik perusahaan ke dalam model penelitian,
seperti growth opportunities (Collins dan Kothari, 1989), jenis industri (Warfield et al.,
1995, Collins et al., 1997), earnings persistence (Kormendi dan Lipe, 1987), kualitas
audit (Teoh dan Wong, 1993), dan resiko sistematik (Collins dan Kothari, 1989).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengembangan Hipotesis
3.1.1 Leverage
Kontrak pinjaman sering memasukan accounting-based covenants yang
didesain untuk melindungi kepentingan pemberi pinjaman. Contohnya, pemberi
pinjaman melalui bond covenant, meminta perusahaan menjaga maximum debt to
equity ratio, maximum debt, minimum net worth, minimum current ratio. Ketika satu
atau lebih covenant ini dilanggar akan terjadi technical default atau renegosiasi
yang menambah biaya. Maka perusahaan dengan accounting-based debt covenant
berupaya meminimalisir technical default dengan memilih beberapa praktek
akuntansi.
Gopalakrishnan dan Sugrue (1995), mengungkapkan bahwa perusahaan
dengan tingkat leverage tinggi memiliki insentif untuk menurunkan kewajiban
imbalan kerja karyawan guna meminimalisir kemungkinan terjadinya technical
default atau menghindari proses renegosiasi ulang yang memakan biaya.
Karenanya perusahaan akan mengasumsikan tingkat diskonto lebih tinggi atau
menurunkan tingkat kenaikan gaji atau keduanya, yang sama-sama akan
menurunkan kewajiban imbalan kerja karyawan. Berdasar hal tersebut, hipotesis
untuk leverage adalah:
H1
: Leverage perusahaan mempengaruhi penetapan asumsi aktuaria dalam
imbalan kerja karyawan.
3.1.2
Profitability
Penelitian Gopalakrishnan dan Sugrue (1995) menjadikan profitability
sebagai variabel kontrol. Ukuran untuk profitability yang biasa dipakai dalam
penelitian adalah return on assets (ROA). Selain itu Penelitian Eaton dan Nofsinger
(2004) membuktikan bahwa entitas yang menghadapi kesulitan keuangan
cenderung memiliki asumsi yang lebih optimistik. Hasil penelitian di atas menjadi
dasar hipotesis berikut:
H2 : Profitability perusahaan berpengaruh terhadap penetapan asumsi
aktuaria dalam imbalan kerja karyawan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3.1.3
Employee Benefits Obligation
Morris, Nichols dan Niehaus (1983), membuktikan perusahaan menurunkan
kewajiban imbalan kerja karyawan dengan menaikkan tingkat diskonto, terdapat
korelasi negatif signifikan antara tingkat diskonto dan besar kewajiban pensiun.
Gopalakrishnan
dan
Sugrue
(1995)
juga
membuktikan
bahwa
funding
mempengaruhi penetapan tingkat diskonto dan tingkat kenaikan gaji. Hipotesis yang
dikembangkan adalah:
H3
: Jumlah kewajiban imbalan kerja berpengaruh terhadap asumsi aktuaria
dalam imbalan kerja karyawan.
3.1.4 Auditor
Aryati (2006) menemukan bahwa perusahaan yang diaudit oleh KAP yang
bereputasi
cenderung
akan
lebih
mengungkapkan
laporan
keuangannya
dibandingkan dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP yang kurang bereputasi.
Karena audit yang dilakukan oleh auditor dengan reputasi yang baik akan
cenderung untuk lebih komprehensif. Kualitas auditor yang tinggi dianggap
mengurangi praktek manajemen laba sekaligus tuntutan terhadap auditor.
De Angelo (1981) menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang
lebih besar melakukan audit lebih baik karena mereka mempunyai reputasi yang
lebih baik. Singhvi dan Desai (1971), dalam Kasmadi dan Susanto (2006), pada
penelitiannya mengenai variabel-variabel yang menentukan kualitas pengungkapan
juga memasukkan variabel KAP dalam penelitiannya. Dengan demikian, hipotesis
yang dirumuskan dari argumentasi diatas yaitu:
H4
: Auditor berpengaruh terhadap penetapan asumsi aktuaria dalam
imbalan kerja karyawan.
3.1.5 Komisaris Independen
Penelitian oleh Peasnell, Pope, dan Young (1998), tentang efektifitas dewan
komisaris dan komisaris independen terhadap manajemen laba yang terjadi di
Inggris menunjukkan bahwa keberadaan komisaris independen membatasi pihak
manajemen untuk melakukan manajemen laba. Boediono (2005) juga meneliti
apakah komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba. Dari
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
penelitian ini diketahui bahwa secara parsial pengaruh corporate governance dalam
hal ini komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Veronica dan Utama (2005) menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris
independen (proksi dari praktek corporate governance) tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Sebelumnya Veronica dan
Bachtiar (2004) menemukan bahwa variabel persentase dewan komisaris
independen tidak berkorelasi secara signifikan terhadap akrual kelolaan, walau
begitu terdapat koefisien postif signifikan yang membuktikan makin tinggi
persentase dewan komisaris independen dan akrual kelolaan maka makin
berpengaruh terhadap return.
Hipotesis yang dapat dirumuskan:
H5: Proporsi dewan komisaris independen perusahaan berpengaruh terhadap
penetapan asumsi aktuaria dalam imbalan kerja karyawan.
3.1.6 Earnings Response Coefficient
Lang dan Lundholm (1993) menemukan bahwa perusahaan yang lebih
banyak melakukan pengungkapan mempunyai korelasi return dan earnings (ERC)
rendah, dengan kata lain korelasi ERC berhubungan negatif dengan luas
pengungkapan. Sedamg Widiastuti (2002) menyimpulkan semakin tinggi luas
pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan, semakin rendah ketidakpastian
prospek perusahaan di masa mendatang. Penelitian ini menunjukkan bahwa CSR
Disclosure berpengaruh positif terhadap ERC.
Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bahwa pengungkapan sosial
dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh terhadap volume perdagangan
saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile.
Coronado & Sharpe (2003) menguji apakan harga saham mencerminkan nilai
pasar atas aktiva pensiun bersih di laporan “10-K” yang dilaporkan ke SEC atau
tingkat kapitalisasi akrual biaya pensiun dalam catatan laporan keuangan
perusahaan. membuktikan bahwa pasar lebih fokus kepada accrual. Hasil penelitian
tambahan menunjukkan bahwa pasar tidak menilai pension earnings terpisah dari
laba bersih. Sedang hasil penelitian Chen dan D’Arcy (1986) menunjukkan bahwa
perusahaan dengan asumsi aktuaria tingkat bunga lebih rendah memiliki kinerja
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
saham lebih baik dibandingkan perusahaan dengan asumsi tingkat bunga yang
tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah :
H6 : Tingkat asumsi aktuaria dalam imbalan kerja karyawan berpengaruh
terhadap Earnings Response Coefficeient (ERC).
3.2 Kerangka Pemikiran
Untuk mempermudah pemahaman, penelitian ini dituangkan dalam kerangka
pemikiran seperti di bawah ini:
Gambar 3.1 kerangka penelitian
Leverage
Profitability
Asumsi
aktuaria
Employee benefit obligation
Auditor
Proporsi komisaris independen
Industri
Asumsi
Aktuaria
ERC
Value
relevance
3.3 Pemilihan Sampel Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari laporan keuangan
yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2006 untuk perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI). Adapun data harga saham untuk menghitung return
perusahaan, return pasar, serta data beta diperoleh dari Pusat Referensi Pasar
Modal BEI, Indonesian Capital Market Directory 2006, serta Indonesian Security
Market Database (ISMD) PPA UGM.
Tabel 3.1 Pemilihan Sampel
Jumlah saham Perusahaan terdaftar
- ekuitas negatif
- pengungkapan asumsi aktuaria tidak lengkap
- Laporan keuangan tidak ada / tidak lengkap
Sampel final
Bridging the Gap between Theory and Practice
348
-17
-29
-28
274
FACM05 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3.4 Variabel Penelitian dan Pengukuran
Terdapat dua pertanyaan dasar dalam penelitian ini yaitu pertama, faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi penetapan asumsi aktuaria dalam imbalan kerja
karyawan? Kedua, apakah tingkat asumsi aktuaria dalam imbalan kerja karyawan
tersebut memiliki value relevance terhadap respons pasar?
Variabel dependen untuk pertanyaan pertama adalah asumsi aktuaria. Asumsi
aktuaria yang diuji dalam penelitian ini terbatas pada tingkat diskonto/discount rate
(DR) dan tingkat kenaikan gaji/Future Salary Increase (FSI). Variabel idependen
yang digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama adalah Leverage, Employee
Benefit Obligation, Profitability, Internal Control, Audit Quality dan variabel kontrol
industri.
Dalam penelitian ini, debt to equity ratio (DTE) merupakan proksi dari leverage
yang dihitung dengan total debt dibagi ekuitas pada periode yang ditentukan.
Sedang ukuran untuk profitability adalah return on assets (ROA), sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gopalakrishnan dan Sugrue. ROA diperoleh dengan
membagi net income terhadap total aktiva perusahaan. Untuk memperoleh
elastisitas
yang
lebih
baik,
maka
kewajiban
imbalan
kerja
karyawan
ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma yaitu:
EBO = Log (Employee benefits obligation)
Variabel auditor merupakan dummy variable, dimana perusahaan yang
diaudit oleh KAP big-four dicatat dengan 1, sedangkan non big four dicatat dengan 0.
Adapun
pengukuran
yang
digunakan
untuk
merepresentasikan
komisaris
independen adalah proporsi komisaris independen. Proporsi ini diperoleh dengan
membagi jumlah komisaris independen dengan total dewan komisaris perusahaan.
Dalam menguji penetapan asumsi aktuaria, penelitian ini memasukkan
variabel kontrol industri seperti penelitian yang dilakukan Gopalakrishnan dan
Sugrue (1995), diukur dengan variabel dummy, dengan 1 untuk perusahaan yang
masuk dalam industi perbankan berdasar penelitian Darmawati (2006), karena
perbankan adalah industri yang memiliki regulasi spesifik yang cukup ketat.
Sebagai
analisis
tambahan,
penelitian
ini
juga
menguji
tingkat
ketergantungan antar variabel tingkat diskonto dan tingkat kenaikan gaji. Sehingga
tingkat kenaikan gaji ditambahkan sebagai variabel independen ketika menguji
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
tingkat diskonto, dan sebaliknya, berdasar kesimpulan Stone dan Ingram (1988)
bahwa masing-masing asumsi ditentukan secara independen dan Gopalakrishnan
dan Sugrue (2004) bahwa tingkat diskonto memiliki pengaruh dalam penetapan
tingkat kenaikan gaji.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, Cummulative abnormal return (CAR)
merupakan proksi dari Earnings Response Coefficient (ERC) sebagai variabel
dependen sedangkan variabel independennya adalah Discount Rate (DR), Future
Salary Increase (FSI), dan Unexpected earnings (UE).
Untuk mendapat CAR, abnormal return dihitung menggunakan marketadjusted
model
yang
menganggap
bahwa
penduga
yang
terbaik
untuk
mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut,
sehingga tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk model
estimasi, karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks
pasar (Jogiyanto, 2007). Dengan demikian, abnormal return dihitung dengan rumus
return saham perusahaan dikurangi return indeks pasar pada periode yang sama
(Widiastuti, 2002). Collins dkk (1989), menemukan bahwa perhitungan return yang
paling optimal adalah dalam jangka waktu 15 bulan.
Abnormal return (ARit) diperoleh melalui dua tahap. Tahap pertama
merupakan selisih dari return aktual atau return sesungguhnya (Rit) yang kemudian
dikurangi dengan return market (Rmt) yang diperoleh dari tahap kedua.
R it =
Pt − Pt −1
Pt −1
;
Keterangan: ARit
R mt =
IHSG t − IHSG t −1
IHSG t −1
;
AR it = R it − R mt
: Abnormal return untuk perusahaan i pada hari ke-t.
Rit
: Return harian perusahaan i pada hari ke-t.
Rm
: Return indeks pasar pada hari ke-t.
Pt
: Harga saham individual perusahaan i pada waktu t.
Pt-1
: Harga saham individual perusahaan i pada waktu t-1.
IHSGt : Indeks Harga Saham Gabungan pada waktu t.
IHSGt-1: Indeks Harga Saham Gabungan pada waktu t-1.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Perhitungan CAR untuk masing-masing perusahaan dalam penelitian ini
merupakan akumulasi dari rata-rata abnormal return pada masing-masing
t
perusahaan selama periode 15 bulan, dengan menggunakan rumus: CARit = ∑ ARi, a
a=t
keterangan : CAR it
: Cummulative Abnormal Return
ARit : Abnormal return untuk perusahaan i pada hari ke-t.
Sedangkan Unexpected Earnings perusahaan dihitung dengan menggunakan
asumsi random walk, dengan rumus sebagai berikut:
UEit =
Keterangan: UE
EPSit − EPS it −1
Pit −1
= Unexpected earnings perusahaan i pada tahun t
EPSit = Earnings per share perusahaan i pada tahun t
EPSit-1 = Earnings per share perusahaan i pada tahun t-1
Pit-1
= Harga saham perusahaan i pada tahun t-1
3.5 Model Empiris
Untuk menguji hipotesis digunakan alat uji analisa regresi berganda dengan
menggunakan sotfware SPSS 16.0. Model penelitian yang diajukan ialah sebagai
berikut:
Model pertama:
DR = α + β 1 FSI + β 2 DTE + β 3 ROA + β 4 IComm + D1 Audt + Industry + ε
Model kedua:
FSI = α + β 1 DR + β 2 DTE + β 3 ROA + β 4 IComm + D1 Audt + Industry + ε
Model ketiga:
CAR = α + β1 DR + β 2 FSI + β 3UE + β 4UExDR + β 5UExFSI + ε
keterangan: DR
FSI
DTE
ROA
IComm
AUDt
CAR
UE
UExDR
UExFSI
ε
: Discount Rate / Tingkat diskonto
: Future Salary Increase / Tingkat kenaikan gaji
: Debt to Equity Ratio
: Return on Assets
: Proporsi Komisaris Independen perusahaan
: Auditor perusahaan
: Cummulative Abnormal Return
: Unexpected Earnings
: Interaksi antara variabel UE dan DR
: Interaksi antara variabel UE dan FSI
: Error term
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4. HASIL ANALISIS STATISTIK
4.1 Statistik Deskriptif
4.1.1 Statistik Deskriptif Model Satu dan Dua
Tabel 4.1 Descriptive Statistics
Maximu
N
Minimum
m
Std.
Mean
Deviation
DR
274
6.00
13.00 10.5808
FSI
274
2.00
15.00
8.2701
1.98254
DTE
274
.02
832.63
5.7372
50.57927
ROA
274
-.79
.37
.0323
.09122
logEBO
274
7.11
12.47
9.9241
.84431
IComm
274
.00
.75
.3196
.17989
Audt
274
.00
1.00
.4599
.49930
Valid N
(listwise)
.75416
274
Untuk Discount Rate (DR), statistik deskriptif tabel 4.1 menunjukkan tingkat
diskonto tertinggi 13% (Asia Kapitalindo dan Bank Himpunan Saudara 1906) dan
terendah 6% (Alakasa Industrindo dan Sinar Mas Multiartha) dengan standar deviasi
0,76. Rata-rata asumsi tingkat diskonto adalah 10.58%. Analisis tambahan
menemukan bahwa rata-rata ini tidak berbeda jauh dengan estimasi tingkat bunga
Indonesia Government Securities Yield Curve (IGSYC) pada tanggal 29 Desember
2006. IGSYC dapat menjadi acuan dalam penetapan tingkat diskonto karena di
Indonesia belum ada obligasi yang dapat dikategorikan sebagai berkualitas tinggi
sehingga sesuai PSAK 24 revisi 2004, dapat mengacu pada obligasi pemerintah.
Jika kita mengekstrapolasi IGSYC untuk periode lebih dari 10 tahun ada
dalam kisaran 10,13% – 10,48 %. Dengan demikian, maka range tingkat diskonto
seharusnya tidak sampai sedemikian besar seperti sekarang. Berdasarkan hal
tersebut timbul pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana peran aktuaris dalam
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
penetapan tingkat diskonto tersebut. Apakah asumsi aktuaria yagn ditetapkan oleh
aktuaris telah merupakan best estimate atau tidak.
Untuk variabel kedua yakni penetapan future salary increase (FSI), hasil
deskriptif statistik menunjukkan tingkat kenaikan gaji tertinggi adalah 15% (Asuransi
Multi Artha Guna dan Berlian Laju Tanker) dan terendah 2% (Agis) dengan rata-rata
8,27% dan standar deviasi 1,98.
4.1.2 Statistik Deskriptif Model Tiga
Tabel 4.2 Descriptive Statistics
Maximu
N
CAR
Minimum
m
Mean
Deviation
-
274
-.0069
DR
274
6.00
13.00 10.5808
FSI
274
2.00
15.00
UE
265 -2.8150
Valid N
(listwise)
.0086
Std.
.000809
.0025379
.75416
8.2701
1.98254
3.2160 .005584
.4091443
265
Variabel yang diteliti dari model ketiga CAR yang merupakan proksi dari ERC.
Hasil statistik deskriptif di tabel 4.2 menunjukkan nilai CAR selama 15 bulan
minimum -0,0069 dan maksimum 0,0086 dengan rata-rata -.000809. Sedangkan
untuk UE rata-ratanya untuk 265 perusahaan adalah 0,005584. Sedangkan untuk
variabel DR dan FSI sama dengan hasil deskriptif model satu dan dua.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.3 Correlations
CAR
CAR
Pearson
Correlation
DR
FSI
-.120*
-.208**
.041
.035
.010
.047
.001
.504
.573
.867
274
274
274
265
265
265
-.120*
1
-.089
-.080
-.076
-.087
.143
.192
.219
.159
1
Sig. (2-tailed)
N
DR
Pearson
Correlation
FSI
.047
N
274
274
274
265
265
265
-.208**
-.089
1
-.064
-.066
-.033
Sig. (2-tailed)
.001
.143
.301
.285
.590
N
274
274
274
265
265
265
.041
-.080
-.064
1
.999**
.972**
Sig. (2-tailed)
.504
.192
.301
.000
.000
N
265
265
265
265
265
265
.035
-.076
-.066
.999**
1
.974**
Sig. (2-tailed)
.573
.219
.285
.000
N
265
265
265
265
265
265
.010
-.087
-.033
.972**
.974**
1
Sig. (2-tailed)
.867
.159
.590
.000
.000
N
265
265
265
265
265
Pearson
Pearson
Correlation
UExDR Pearson
Correlation
UExFS Pearson
I
UExDR UExFSI
Sig. (2-tailed)
Correlation
UE
UE
Correlation
.000
265
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.3 Correlations
CAR
CAR
Pearson
Correlation
DR
FSI
-.120*
-.208**
.041
.035
.010
.047
.001
.504
.573
.867
274
274
274
265
265
265
-.120*
1
-.089
-.080
-.076
-.087
.143
.192
.219
.159
1
Sig. (2-tailed)
N
DR
Pearson
Correlation
FSI
.047
N
274
274
274
265
265
265
-.208**
-.089
1
-.064
-.066
-.033
Sig. (2-tailed)
.001
.143
.301
.285
.590
N
274
274
274
265
265
265
.041
-.080
-.064
1
.999**
.972**
Sig. (2-tailed)
.504
.192
.301
.000
.000
N
265
265
265
265
265
265
.035
-.076
-.066
.999**
1
.974**
Sig. (2-tailed)
.573
.219
.285
.000
N
265
265
265
265
265
265
.010
-.087
-.033
.972**
.974**
1
Sig. (2-tailed)
.867
.159
.590
.000
.000
N
265
265
265
265
265
Pearson
Pearson
Correlation
UExDR Pearson
Correlation
UExFS Pearson
I
UExDR UExFSI
Sig. (2-tailed)
Correlation
UE
UE
Correlation
.000
265
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Hasil uji Pearson correlation pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa korelasi
antara variabel CAR dan variabel interaksi UExDR adalah positif dan tidak signifikan
begitu juga antara variabel CAR dan variabel interaksi UExFSI. Hasil ini
menunjukkan tidak ada korelasi kuat antara penetapan asumsi aktuaria dan ERC.
4.2 Hasil Pengujian Hipotesis
4.2.1
Uji Univariate
Uji parsial masing-masing variabel dilakukan dengan menggunakan t test.
Tabel 4.4 Hasil Regresi model 1: Tingkat Diskonto
Coefficientsa
Standardiz
ed
Unstandardize Coefficient
d Coefficients
Collinearity
s
Correlations
Std.
Model
B
1 (Constant)
FSI
DTE
ROA
Error
Beta
t
Sig.
17.34
10.995
.634
-.041
.024
-.109
.000
.001
-.055 -.894
.191
.534
-.006
4
1.693
Partia
order
l
Toleran
Part
ce
VIF
.000
.092
-.089 -.103
.372
-.052 -.055
.103
.054
.984 1.016
.722
.014
.066
-.007 -.099
.921
.000 -.006
-.190
.259
-.045 -.734
.464
-.053 -.045
Audt
.088
.108
.058
.816
.415
.039
.050 .050
.719 1.391
Industry
.055
.118
.028
.462
.644
.017
.028 .028
.971 1.030
IComm
.022 .022
.898 1.114
.357
logEBO
.023
-
Zero-
Statistics
.006
.045
.884 1.131
.684 1.462
.966 1.035
a. Dependent Variable: DR
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Untuk model satu, dengan melihat hasil signifikansi (sig.) hasil regresi tabel
4.4, tampaknya semua variabel independen > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
seluruh variabel independen tidak mempengaruhi penetapan tingkat diskonto.
Tabel 4.5 Hasil Regresi Model 2: Tingkat kenaikan gaji (FSI)
Standardiz
ed
Unstandardize Coefficient
d Coefficients
Collinearity
s
Correlations
Std.
Model
1 (Constan
t)
DR
DTE
ROA
logEBO
IComm
Audt
Industry
B
Error
Beta
t
Sig.
3.490
Zero-
Partia
order
l
Statistics
Toleran
Part
ce
7.895
2.262
-.258
.152
-.098
-.003
.002
-.084
3.604
1.317
.166 2.736
.007
.223
.165 .158
.909
.254
.163
.108 1.558
.120
.211
.095 .090
.690
.621
.648
.056
.959
.339
.078
.059 .055
.967
.428
.270
.108 1.588
.113
.205
.097 .092
.724
.466
.295
.092 1.583
.115
.094
.097 .091
.979
1.693
1.451
VIF
.001
.092
-.089 -.103
.148
-.094 -.089
.098
.084
.993
.989
1.00
7
1.01
1
1.10
0
1.44
8
1.03
4
1.38
1
1.02
a. Dependent Variable: FSI
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 20
1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dari tabel 4.5, untuk model dua, nilai signifikansi (sig.) hasil regresi dapat
disimpulkan bahwa variabel independen yang < 0,05 atau berpengaruh terhadap
penetapan tingkat kenaikan gaji adalah ROA sebagai proksi dari profitability
sedangkan variabel independen lainnya tidak berpengaruh signifikan.
Tabel 4.6 Hasil Regresi Model 3: Cummulative Abnormal Return
Standardiz
Unstandardi
ed
zed
Coefficient
Coefficients
s
Collinearity
Correlations
Std.
Model
B
1 (Constan
t)
DR
FSI
UE
UExDR
Error
T
Sig.
.006
.002
.000
.000
-.124
.000
.000
-.212
.021
.009
3.302 2.385 .018
.002
UExFSI
Beta
.000
Zero-
Partia
order
l
Statistics
Toleran
Part
ce
VIF
2.516 .012
.001
-2.971
.000
-.325
2.056
3.512
2.085
1.228
.041
-.119 -.127
.001
-.206 -.213
.041
.122
.208
.147 .142
.038
.035 -.128
.221
.010 -.076
.124
.073
.972 1.029
.969 1.032
.002
.002
.050
544.1
69
576.8
79
19.89
a. Dependent Variable: CAR
Dari nilai signifikansi (sig.) 0,038 hasil uji parsial variabel interaksi UExDR
adalah negatif dan signifikan (< 0,05) yang berarti penetapan tingkat diskonto
berpengaruh terhadap Earnings Response Coefficient (ERC), Hal ini mendukung
penelitian Chen dan D’Arcy (1986) bahwa asumsi aktuaria dalam imbalan kerja
karyawan berpengaruh terhadap kinerja saham di pasar. Akan tetapi, nilai t negatif
menunjukkan bahwa pengaruh ini tidak cukup kuat mendorong investor untuk
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 21
3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
memperlakukan perbedaan terhadap perusahaan yang memiliki tingkat diskonto
rendah maupun yang tinggi.
Sedangkan hasil uji parsial variabel UExFSI yang negatif dan tidak signifikan
dapat diartikan bahwa penetapan tingkat kenaikan gaji dalam imbalan kerja
karyawan tidak mempengaruhi ERC.
4.2.2
Uji Multivariate
Pengujian pengaruh bersama variabel independen terhadap variabel
dependen dilakukan dengan uji F sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Regresi model 1
ANOVAb
Sum of
Model
1
Mean
Squares
Regressio
df
Square
2.787
7
.398
Residual
152.482
266
.573
Total
155.269
273
n
F
.694
Sig.
.677a
a. Predictors: (Constant), Bank, DTE, Audt, IComm, ROA, FSI,
logEBO
b. Dependent Variable: DR
Dari uji F model satu menunjukkan hasil yang tidak signifikan, dan dapat
disimpulkan bahwa model satu secara keseluruhan tidak terbukti.
Tabel 4.8 Hasil regresi model 2
ANOVAb
Sum of
Model
1
Squares
Mean
df
Square
Regression
119.918
7
17.131
Residual
953.096
266
3.583
1073.015
273
Total
Bridging the Gap between Theory and Practice
F
4.781
Sig.
.000a
FACM05 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ANOVAb
Sum of
Model
1
Mean
Squares
df
Square
F
Regression
119.918
7
17.131
Residual
953.096
266
3.583
1073.015
273
Total
Sig.
4.781
.000a
a. Predictors: (Constant), Bank, DTE, Audt, DR, IComm, ROA,
logEBO
b. Dependent Variable: FSI
Uji F model dua menunjukkan hasil signifikan karena memiliki nilai uji F
sebesar 4,781 (sig 0,000). Hal ini berarti model secara keseluruhan benar atau satu
atau dua variabel independen dapat menjelaskan variasi variabel dependen.
Uji F model tiga menunjukkan hasil yang signifikan. Model tiga memiliki nilai
uji F 4,991 (sig 0,000) sehingga dapat disimpulkan bahwa model secara
keseluruhan benar atau satu atau dua variabel independen dapat menjelaskan
variasi variabel dependen. Namun demikian, dalam menginterpretasi hasil penelitian
ini tetap harus dipertimbangkan masalah multikolinearitas, karena ada kemungkinan
estimasi koefisien bias meskipun hasil sesuai dengan hipotesa yang diajukan.
Tabel 4.9 Hasil regresi model 3: Cummulative Abnormal Return
ANOVAb
Sum of
Model
Squares
1 Regress
df
Square
5
.000
Residual
.002 259
.000
Total
.002 264
ion
.000
Mean
F
Sig.
4.99 .000
1
a
a. Predictors: (Constant), UExFSI, FSI,
DR, UE, UExDR
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ANOVAb
Sum of
Model
Mean
Squares
1 Regress
df
.000
Square
5
.000
Residual
.002 259
.000
Total
.002 264
ion
F
Sig.
4.99 .000
1
a
b. Dependent Variable:
CAR
4.2.3
Nilai Adjusted R2
Tabel 4.10 Hasil Regresi Model 1: Tingkat Diskonto
Model Summaryb
Change Statistics
Std.
R
Squar
Model R
1
e
.134
a
.018
Adjuste Error of
dR
the
Square Estimate
-.008
.75713
F
R Square
Chang
Change
e
.018
.694
df1 df2
7 266
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
.677
a. Predictors: (Constant), Bank, DTE, Audt, IComm, ROA,
FSI, logEBO
b. Dependent Variable: DR
Dari hasil regresi terhadap model 1 diketahui bahwa adjusted R2 adalah 0,008. Nilai R negatif menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah antar
variabel independen dan variabel dependen. Adjusted R2 sebesar 0.008 berarti
seluruh variabel secara bersama-sama menjelaskan 0,8% dari variabilitas tingkat
diskonto sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam persamaan regresi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 24
1.992
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.11 Hasil Regresi Model 2: Tingkat Kenaikan gaji
Model Summaryb
Change Statistics
Std.
R
Adjuste Error of
Squar
Model R
1
e
.334
a
dR
the
Square Estimate
.112
F
R Square
Change
.088 1.89290
Sig. F
Durbin-
Change
Watson
Chang df
e
.112
1 df2
4.781 7 266
.000
2.037
a. Predictors: (Constant), Bank, DTE, Audt, DR, IComm, ROA, logEBO
b. Dependent Variable: FSI
Dari hasil regresi mdel 2 diketahui bahwa adjusted R2 sebesar 0.088.
Adjusted R2 sebesar 0.088 berarti keenam variabel secara bersama-sama
menjelaskan 8,8% variabilitas dari tingkat kenaikan gaji.
Tabel 4.12 Hasil Regresi Model 3: CAR
Model Summaryb
Change Statistics
Durbi
R
Model
1
R
.296a
R
Adjuste
Squar
dR
e
.088
Square
F
Sig. F
n-
Std. Error of the Chang Chan df
Chan Wats
Square
Estimate
on
e
ge 1 df2 ge
.070
.0024634
.088 4.991 5 259
.000 1.931
a. Predictors: (Constant), UExFSI, FSI, DR, UE, UExDR
b. Dependent Variable: CAR
Dari hasil regresi model 3 diketahui bahwa adjusted R2 sebesar 0.070 berarti
variabel independen secara bersama-sama menjelaskan 7% variabilitas dari
cumulative abnormal return (CAR) sisanya sebesar 93% dipengaruhi oleh variabel
lain diluar variabel yang digunakan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan asumsi aktuaria di
perusahaan yang terdaftar di BEI masih memiliki range yang cukup besar yaitu
antara 6%-13% untuk tingkat diskonto dan 2% - 15 % untuk tingkat kenaikan gaji
pada tahun yang sama. Hal ini menunjukkan variasi yang cukup tinggi atas asumsi
aktuaria yang dipakai perusahaan dalam menghitung imbalan kerja karyawan.
Dalam model 1 yang menguji pengaruh dari variabel internal perusahaan,
dalam hal ini Debt to Equity Ratio (DTE) sebagai proksi dari leverage, Return of
Asset (ROA) sebagai proksi dari profitability, proporsi komisaris independen sebagai
proksi dari kontrol internal dan auditor sebagai proksi dari kualitas audit, terhadap
penetapan tingkat diskonto, ternyata membuktikan bahwa tidak ada satupun
variabel, baik secara individu maupun secara bersama-sama yang berpengaruh
signifikan terhadap penetapan tingkat diskonto dalam imbalan kerja karyawan.
Artinya faktor internal tidak mempengaruhi penetapan asumsi aktuaria. Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam penetapan tingkat diskonto tidak ada interfensi dari
kondisi perusahaan yang mempengaruhi penetapan tingkat diskonto. Di sisi lainnya,
hasil penelitian ini tidak menunjukkan bahwa penetapan tingkat diskonto dalam
imbalan kerja karyawan telah sesuai dengan yang dipersyaratkan PSAK 24 (revisi),
yaitu mengacu pada obligasi yang berkualitas tinggi atau obligasi pemerintah pada
pasar yang aktif, mengingat range yang cukup besar (6 – 13%).
Sedangkan untuk model 2 yang menguji variabel internal perusahaan yang
sama terhadap penetapan tingkat kenaikan gaji membuktikan bahwa tingkat Return
of Asset (ROA) sebagai proksi dari profitability mempunyai pengaruh yang
singnifikan dalam penetapan tingkat kenaikan gaji.
Penelitian tambahan mengenai apakah hubungan antara tingkat diskonto dan
tingkat kenaikan menunjukkan bahwa kedua asumsi aktuaria tidak saling
mempengaruhi. Analisis diatas sejalan dengan kesimpulan yang dicapai oleh
penelitian Stone dan Ingram (1988). Demikian pula variabel kontrol, tidak tampak
adanya pengaruh antara jenis industri dengan penetapan asumsi aktuaria.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dalam kaitan dengan earnings response coefficient hasil model 3
menunjukkan ternyata baik tingkat diskonto maupun tingkat kenaikan gaji tidak
terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap informativeness of earnings (ERC).
Asumsi aktuaria tidak mengakibatkan investor melihat asumsi aktuaria tersebut
dibandingkan informasi laba. Investor lebih senang melihat informasi laba dalam
menentukan keputusan investasi.
5.2 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini hanya menguji dua asumsi aktuaria yaitu tingkat
diskonto dan tingkat kenaikan gaji yang diungkapkan secara jelas dalam laporan
keuangan perusahaan. Sehingga ilustrasi yang diberikan mungkin tidak sedalam
penelitian yang juga menguji asumsi lainnya.
Penelitian ini tidak menguji hubungan suku bunga obligasi dengan asumsi
tingkat diskonto. Hal ini dikarenakan penelitian ini hanya bersifat cross sectional dan
bukan time study, dengan memperpanjang tahun buku yang diteliti juga dapat dilihat
hubungan antara rata-rata tingkat diskonto dengan bunga obligasi/IGSYC.
5.3 Saran
a. Penelitian selanjutnya perlu menambah variabel aktuaris untuk melihat apakah
variabel ini berpengaruh terhadap besarnya asumsi aktuaria yang ditetapkan.
b. Kepada profesi aktuaris seyogyanya dalam menetapkan asumsi aktuaria dapat
sesuai dengan apa yang dipersyaratkan PSAK 24 (revisi 2004). Khususnya
penetapan tingkat diskonto harus mengacu pada tingkat bunga obligasi yang
berkualitas baik pada tanggal neraca atau obligasi pemerintah di pasar aktif.
c. Hasil penelitian dapat memberi gambaran pada profesi akuntan akan perlunya
audit program yang baik dalam melakukan atestasi akun imbalan kerja karyawan.
Sebagai akuntan kita seharusnya tidak begitu saja menerima hasil laporan
aktuaris tanpa mereview data, asumsi aktuaria, maupun perhitungan imbalan
kerja itu sendiri.
d. Menghimbau kepada IAI akan pentingnya suatu standar audit untuk imbalan kerja
karyawan serta perlunya suatu standar pekerjaan lapangan mengenai audit
imbalan kerja karyawan yang spesifik dalam Standar Profesional Akuntan Publik
sehingga dapat meningkatkan kualitas audit.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Aryati, Titik. “Pengaruh Leverage, Saham Publik, dan Reputasi Auditor terhadap
Disclosures”, Jurnal Akuntansi/Th.X/02/Mei/2006.
Bean, David F. and Richard A. Bernardi, Underfunding Pension Obligations While
Paying Dividends: Evidence of Risk Transfers, Critical Perspective on Accounting
(2000) 11, 515 – 530, www.idealibrary.com
Bursa Efek Indonesia, Indonesian Capital Market Directory, PRPM, 2007.
Chen, K. C. and Stephen P. D’Arcy, Market Sensitivity to Interest Rate Assumptions
in Corporate Pension Plans, JSTOR: Journal of Risk and Insurance, Vol, 53, No.2, p.
209 - 225
Coronado, Julia Lynn; Steven A. Sharpe, Did Pension Plan Accounting Contribute to
a Stock Market Bubble?, Brookings Papers of Economic Activity (1), July 2003.
Costello, Ann; Farney, Harriet F; Locke, Aurelle S., Accounting for Postretirement
Benefits: Early Adopters of SFAS 106, Benefits Quarterly, Fourth Quarter 1994
Eaton, Tim V. and John R. Nofsinger, The effect of financial constraints and political
pressure on the management of public pension plans, Elsevier: Journal of
Accounting and Public Policy, Volume 23, Issue 3, May-June 2004, Page 161-189
Epstein, Barry J and Mirza, Abbas Ali, IAS 2004, Interpretation and Application of
IAFS, John Wiley & Sons, Canada, 2004
Gopalakrishnan, V. and Timothy F. Sugrue, The Determinants of Actuarial
Assumptions Under Pension Accounting Disclosures, Journal of Financial and
Strategic Decisions, Volume 8 Number 1, Spring 1995
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Harahap, S. Nurwahyuningsih, Economic Motives of Adoption Timing Decision: The
Case of PSAK 24 Revision, , Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas Makassar 26
– 28 Juli 2007
Hope, Ole-Kristian, Disclosure Practices, Enforcement of Accounting Standards and
Analysts’ Forecast Accuracy: An International Study, Joseph L. Rotman School of
Management, University of Toronto, November 20, 2002
Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi No. 24 (revisi 2004),
tentang “Imbalan Kerja”, IAI, 2004
Kasmadi, dan Susanto, Djoko, ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas
Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan-Perusahaan di
Indonesia”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, 2006
Kountur, Ronny, DMS, Ph.D. Metode Penelitian untuk penulisan skripsi dan Tesis,
Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 2007
Lind, Marchal , Wathen, terjemahan – Tehnik-tehnik Statistika dalam Bisnis dan
Ekonomi, Penerbit Salemba Empat, Mc Graw Hill.
Louis, Henock, Acquirers’ Abnormal Returns and the Non-Big 4 Auditor Clientele
Effect, Elsevier: Journal of Accounting and Economics 40, 2005, page 75 - 99
Mangkuatmodjo, Soegyarto, Prof. Drs., Statistik Lanjutan, Penerbit Rineka Cipta,
2004
Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio, Pengaruh CSR Disclosure
terhadap Earning Response Coefficient, Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas
Makassar 26 – 28 Juli 2007
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Schaeffer, Schaeffer's Investment Research, www.schaeffersresearch.com
Tanner, Steven, IAI – PSAK 24 (revised 2004) workshop, April 2006
Trihendradi, C. Langkah Mudah Menguasai Statistik Menggunakan SPSS 15,
Penerbit Andi, 2007
Untari, Ririn, Analisis Implikasi UU No. 13 tahun 2003 terhadap Laporan Keuangan
dan Analisis Tingkat Pengungkapan Kewajiban Imbalan Pasca Kerja Berdasarkan
PSAK No. 24, Jakarta, Universitas Indonesia, November 2005
Veronica, Sylvia, dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan,
Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan
Laba (Earnings Management). Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium
Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005
Veronica, Sylvia, dan Yanivi S Bachtiar. 2004. Good Corporate Governance
Information Asymetry and Earnings Management. Artikel yang Dipresentasikan pada
Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -3 Desember 2004
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM05 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
REVISITED: THE ROLE OF ACCOUNTING INFORMATION OF LQ45 FIRMS
ON EQUITY VALUATION AFTER THE ASIAN ECONOMIC CRISIS
Yanthi Hutagaol
Universitas Kristen Indonesia
BINUS Business School
Edwin Pranatio
BINUS Business School
Abstract
This study aims to revisit the role of accounting information on equity valuation after
the Asian economic crisis. The accounting information examined including earnings,
cash flows, and book value of equity. The sample is the end of 2002 LQ45 listed in
IDX during 2003-2007 period. The result shows that the accounting information
plays a significant increasing role after the Asian economic crisis, in which earnings
is to have a strong explanatory power, while book value of equity has a weaker
value relevance. The analysis of change in cash flows shows mixed result.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Introduction
Francis & Schipper (1999) investigate the role of accounting information on
predicting the firm’s value. Using the US data, they found that there is a decreasing
role of the level and change in the earnings as well as in the book value to predict
the returns. However, returns based on cash flow and the sign of earnings have not
changed significantly over the period 1952 -1994.
Landsman and Maydew (2001) revisited Beaver’s 1968 paper on the information
content of earnings announcement. Beaver found that earnings is significantly
related to the trading volume and returns volatility. Opposite to Francis & Schipper
(1999), Landsman & Maydew find no evidence of a decline in the informativeness of
accounting information over the past thirty years.
Therefore, there are some mixed results of the information content of the accounting
information. This paper is revisiting the role of accounting information (earnings,
book value of equity, and cash flows) in explaining the value of LQ 45 firms listed in
Bursa Efek Jakarta (JSX), then is Bursa Efek Indonesia (IDX), during period 2003 –
2007.
This study gives some contributions to the research area. Firstly, this research gives
an important insight whether the accounting information in Indonesia has a similar
impact on the stock exchange activities as its impact on other stock exchanges.
Secondly, as Indonesia was among those countries that affected badly during the
Asian economic crisis (1998-2000), this study gives evidence how is the
informativeness of accounting information after math.
This study aims to revisit the informativeness of the accounting information after the
Asian economic crisis in Indonesia, especially for surviving companies, which are
listed in LQ 45 stocks in 2003.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Previous studies
Pradhono and Christiawan (2004) investigate the impact of some economic and
accounting variables as explanatory variables to stock returns. They find that
economic variables are insignificantly related to the stock returns, while the
accounting variables (earnings and operational cash flow) do give significant impact,
in which the impact of operating cash flow is more robust than the earnings.
Similar to Pradhono & Christiawan, O’Hara et al. (2000), using stocks included in
S&P 500 Index, also show that companies with consistent increase in earnings and
cash flows have strong positive correlations with stock prices However, in the
opposite, they find that earnings-stock price shows robust relationship than cash
flow-stock price. They also include dividends in their model; however it does not
appear to be a predictive stock performance.
Chan et al. (2006) has tried to discover earnings and cash flows as the stock price’s
driver in another way. They examine earnings quality to predict stock returns by
focusing on accounting accruals (the difference between firm’s earnings and
underlying cash flows). In this research, they test several hypotheses of earnings
manipulation by checking the timing of changes in accruals and examining the
components of accruals such as account receivable, inventories, and account
payable). Subsequently, when earnings increase much higher than cash flows, the
earnings seem to be in poor quality and thus stock price tends to weaken. This
circumstance may happen when managers manipulate earnings to achieve their
bonus targets and meet investor expectations. In summary, they find that both
earnings and cash flows exceptionally affect the stock price. Highly increasing
earnings that are not accompanied by increasing cash flows will deteriorate stock
price and the other way round.
Hester (2004) shows that the relationship between earnings and stock price in the
S&P 500 index has been weakening. He suggested that the weakening correlation
between stock price and earnings was caused by decreasing quality of earnings.
The quality of earnings reflects current operating performance, signals the future
operating performance, and indicates the intrinsic value of a firm. From this research
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
he finds two important points. First, earnings backed up by cash flows are more
persistent than earnings that contain a larger percentage of accruals. Second, a
widening gap between a company’s earnings and free cash flows raises doubts in
earnings’ quality and hence lowers the stock price.
Greg (1997) discovered that cash flows make stock market valuation to appear more
reasonable. Cash flows, as compared to earnings, provide a stronger support to
keep up the stock price. Positive free cash flows tell the public that a company is
more careful in managing its retained earnings and more thorough in calculating an
investment; if potential investment falls short, the company is likely to return the
money to shareholders via share repurchases. In view of that, the company also
proves itself has the financial strength and potential support for stock price that
earnings alone may not actually capture.
In contrast, William (1993), argues that the relationship between earnings and stock
price is generally weak. To analyze the stock price, the managers should considered
the primary value drivers, which are expected future sales growth rate, before-tax
operating profits as a percentage of sales, and effective tax rate on the income.
Liu et al. (2007) tries to clarify the common perception that cash flows are
better than accounting earnings in explaining stock price valuation by using multiple
based valuation model. Multiple based valuation model is built from a complex
function of discount rates and the future cash flows into a simple proportional
relationship. They conclude that although moving from reported numbers to
forecasted numbers improves the performance of cash flows, it improves the
performance of earnings to an even greater extent in most countries and industries.
This result is also obtained when they compare the forecasted earnings with
forecasted dividends; the forecasts improve better for earnings than those for
dividend. Overall, their result suggests that earnings are a better value driver than
cash flows and dividends.
Previous studies mentioned above show mixed result of the informativeness
of accounting information, earnings and cash flows. Therefore, this study revisits the
value relevance of earnings and cash flow.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
The other accounting information is also found to be significantly related to
the stock price is the book value of equity. Francis and Schipper (1999) find that the
value relevance of the book value is decreasing in period 1953 – 2004; however,
relatively it is stronger than the earnings.
Collins et al. (1997) investigates the role of book value of equity and the negative
earnings on equity valuation. They find that book value of equity is positively related
to the equity value. They also find that negative earnings significantly affect the
valuation.
Using European financial companies, Danbolt and Rees (2002) also find that the
book value of equity and earnings are significantly and positively related to the stock
price. They also support the evidence that negative earnings do affect the stock
prices significantly.
Using UK IPO data, Hutagaol et al (2003) show that the future numbers of book
value of equity and earnings are valued positively by the investors on the secondary
market. The model also includes the forecasted dividends and other non-accounting
information. The forecasted dividends appears to be insignificantly related to the IPO
prices. The non-accounting information, such as the company risks, underwriter
reputation, only accounts 3% of the adjusted R-square of the model. The accounting
information is more dominant than non-accounting information in explaning the
variation of the IPO prices.
Based on the critical review of some previous studies mentioned above, this
research includes three major accounting variables; earnings, cash flows and book
value of equity, to revisit the role of accounting information in equity valuation,
especially for companies that survived during the economic crisis in Indonesia.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Research method
Data used in this research is based on the LQ 45 at the end of December 2002. We
keep these most liquid 45 shares on the end of 2002 until five (5) years later. During
the period, some of the companies were out of the LQ45, while a company was
delisted in 2005, another one was delisted in 2006. Therefore we have 220 firm
years as our final sample. We choose 2002 as our year base, as we presume that
Bursa Efek Jakarta (JSX) started to recover from the Asian economic crisis in 2002.
We use variables earnings per share (ERi), Operational cash flow per share (CFi)
and Book value of equity per share (BVi) for accounting information variables
examined. The end of march of each year stock price (Pi) is used as a proxy for the
equity market value.
We use a multiple regression model as our simple research model as stated below:
Pi,t = α + β ER
,i
1
i,t
+ β2CFi,t + β3BVi,t + ε................(1)
Where,
P i,t= stocks price of firm i in year t
ER i,t= earnings per share of firm i in year t
CF i,t = change in cash flow per share of firm i in year t
BVi,t = book value of equity per share of firm i in year t
ε = error terms
Rees (1999) and Sommer and Easton (2003) argues that using a pool sample in a
regression model is vulnerable to the statistical heteroscedasticity problem. One way
out to reduce such problem is the variables are deflated by size proxy. The research
variables used here are deflated by number of outstanding share (per share
variables). Therefore, we are confident that the model has reduced the
heteroscedasticity problem. Additionally, we also use the White test for estimation of
the regression coefficients that enhances the credibility of our statistical analysis
result.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Based on the literature review, this research hypothesizes that the accounting
information has a significant role in equity valuation. The working hypotheses that
are tested in this research are:
H1 = Earnings per share is positively related to the stock price
H2 = Change in cash flow per share is positively related to the stock price
H3 = Book value of equity is positively related to the stock price
As discussed above, Collins et al (1997) finds a significant role of earnings on
valuation of loss producing firms. Our data includes several firm years that records
negative earnings and more cases on negative change in cash flows. Therefore we
extend our model by including dummy variables and related interactive terms for
negative earnings and negative change in cash flows. The extended model is
formulated as presented below,
Pi,t = α + β EPS
1
,i
i,t
+ β2DE + β3DE * EPSi,t +
β4CFSi,t + β5DCF + β6DCF *CFSi,t + β3BPSi,t + ε................(2)
Data analysis
The statistics descriptive of each research variables is presented in table 1 below.
Table 1 - Statistics descriptive
Variable
N
Mean
Median
StDev
Minimum Maximum
Pi,t
220
2727
925
4514
11
39800
EPSi,t
220
225.40
89.30
347.10
-443.50
2184.10
BPSi,t
220
1367
706
1666
54
10240
CFSi,t
220
15.90
6
DE
220
0.08
0
0.27
-
-
DCF
220
0.40
0
0.49
-
-
E*DE
220
-7.52
0
47.32
-443.49
0
CF*DCF
220
-49.60
0
218
-2491.90
0
266.20 -2491.90
Bridging the Gap between Theory and Practice
742.90
FACM06 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
As explained in the previous section, we have a pool sample of 220 firm years. The
statistics shows large standard deviation for some research variables, however
purposely we want to test the real situation into our model 1 . We leave out the
minimum and maximum values of the dummy variables as it is not sensible to put
them on the table. The mean of dummy variables tell that there are 8 samples of
negative earnings, and about 40 samples of negative change in cash flows. The
interactive term of cash flow (CF*DCF) shows that the change in cash flows went
down as far as Rp2,491 per share.
The first result of our model is presented in table 2 below. The regression analysis of
the simple model shows a robust result. All variables result in expected signs. Only
the constant appears to be insignificant. The constant is supposed to show the
average of the sample stock prices (Pt). Compared to the mean of stock prices in
table 1, the constant is far below, therefore it appears insignificant. This could be as
a result of a large standard deviation of the stock prices.
Table 2 – Regression analysis of the simple model
Variables
Expected
Coefficients
sign
Constant
+
White T-stat
(p-value)
314.20
1.51
(0.13)
EPS
+
7.09
11.00
(0.00)
BPS
+
1.04
7.74
(0.00)
CFS
+
1.49
2.34
(0.02)
Adj R-square
72.9%
F-stat
197.4
(p-value)
(0.00)
1
We made several attempts to reduce the standard deviation, by deleting the outliers, transform the variables to
natural log. However, we find similar results to the original sample. Therefore, we report the results of the
original sample.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
However, the simple model shows strong results in independent variables. All
variables are positive and significantly related to the stock price. This implies that
earnings, book value of equity, and the change in cash flows are significantly used
by the investors to price the LQ45 stocks. In other words the accounting information
do has a valuable role in equity valuation in IDX. This result is in line with other
studies conducted around the world (e.g., Gregg, 1997; Rees, 1999, Chan et al,
2004). The simple model could explain about 72.9% of the stock prices variation.
This looks very good, as about a quarter is explained by non-accounting information,
which are available abundantly in the market. It suggests that the investors in IDX
still rely heavily upon the accounting information in equity valuation decision.
Moreover, the analysis of variance comes out with a robust result of F-stat of 197.4
(p-value = 0.00) that implies the model is a valid valuation model.
The result of earnings confirms the result of previous studies (e.g O’Hara, 2000;
Pradhono and Christiawan, 2004) that earnings is significantly related to the stock
price. The result of book value of equity also confirms the results of Francis and
Schipper (1999) and Danbolt and Rees (2002) who find that book value of equity is
positively related to the stock price. This result is also in line with previous studies
(e.g Pradhono and Christiawan, 2004; Liu et al, 2007) showing the relevancy of
change in cash flows to the equity valuation.
As discussed above, there are some of the 2002 LQ45 firms that produced losses
and decreasing cash flows. We would like to analysis the impact of negative
earnings and change in cash flows on the equation valuation further, as presented in
the extended model (equation 2). The result of the extended model analysis is
presented in table 3 below.
The result shows similar conclusion regarding the accounting information role on
equity valuation. The three major accounting information; earnings, book value of
equity, and cash flow retain their signs and significance suggesting this information
is important in equity valuation.
The inclusion of dummy variables for negative earnings and changes in cash flows
show interesting findings. It appears that the coefficients of negative earnings
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
dummy and its interactive term hold their expected sign, but are insignificant. It
suggests that negative earnings of the LQ45 stocks do not influence the investors’
decision on pricing the equity. This finding is not in line with previous studies (Collins
et al, 1997; Danbolt & Rees, 2002). The small number of negative earnings case of
this research sample might explain the unexpected results. As shown in descriptive
statistics (table 1), there are only 8 out of 220 samples that show negative earnings.
Table 3 – Regression analysis of the extended model
Variables
Expected
Coefficients
sign
Constant
+
White T-stat
(p-value)
732.90
2.64
(0.01)
EPS
+
6.97
9.62
(0.00)
DE
+
728.6
1.06
(0.29)
DE*EPS
-
-1.05
-0.25
(0.80)
BPS
+
0.95
6.41
(0.00)
CFS
+
4.93
3.21
(0.00)
DC
+
586.80
1.60
(0.11)
DC*CFS
-
-4.208
-2.33
(0.02)
Adj R-square
73.4%
F-stat
87.49
(p-value)
(0.00)
The analysis of the negative cash flow change gives different results. Although the
dummy of negative cash flow change holds its expected sign, it is statistically
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
insignificant. This result suggests that negative cash flows change does not put a
significant impact on equity valuation. More interesting result is found in the
interactive term, it holds its expected sign and is significant. It indicates that the
negative cash flow change does influence the investors to price the stocks,
depending on the magnitude of the changes. The negative sign means that
considering the magnitude of cash flow change, the investors will value the negative
cash flow change less than its counterparts.
The inclusion of negative earnings and cash flow change dummies and their
interactive term do increase the explanatory power of the model by only 0.5%, it is
trivial. However, we got an interesting insight of how the ‘bad news’ information
takes roles in equity valuation.
As mentioned above, we also want to analyze the value relevance of accounting
information after the Asian economic crisis. We compare the magnitude and
significance of accounting information variables, and the adjusted R-square of the
simple model. The year-per-year results are presented in the appendix 2, while the
comparison analysis are presented in table 4 below
Table 4 – Comparison of the value relevance of accounting information
during period 2003 – 2006
Years
2003
2004
2005
2006
2007
EPS
(p-value)
BPS
(p-value)
CFS
(p-value)
Adj R-square
(%)
4.28
(0.00)
3.56
(0.00)
6.17
(0.00)
12.33
(0.00)
15.02
(0.00)
0.68
(0.01)
1.11
(0.00)
1.00
(0.01)
0.15
(0.71)
0.61
(0.01)
-0.27
(0.77)
1.04
(0.46)
2.18
(0.33)
3.52
(0.00)
2.28
(0.02)
54.1
Bridging the Gap between Theory and Practice
56.1
62.3
72.3
84.1
FACM06 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
The table shows a significant role of earnings on equity valuation. Despite a slight
decrease in magnitude in 2003, the earnings coefficients are significant for all years.
Moreover, the earnings coefficients show a positive trend implying an stronger
explanatory power of earnings in equity valuation in IDX after the Asian economic
crisis. It also suggests that investors rely heavily upon earnings compared to other
variables on making their valuation decision. This results is contrary to previous work
(e.g., Hester, 2004) who finds that the relationship between earnings and the stock
price has been weakening as the quality of earnings decreased
The role of book value of equity appears to be unstable during the observed period,
particularly in 2006 when the coefficient appears to be very low and insignificant. In
other years, the coefficients are significant at 99%. In 2003 and 2007, the
coefficients are below 1, which is moderate, while in 2004 and 2005, they are
greater or equal to 1. The unstable trend of the book value of equity coefficients
suggests the less importance of book value of equity compared to earnings in regard
to equity valuation, although it is significantly value relevant.
Mixed results of the value relevance of change in cash flow on equity valuation are
found. In period just ‘after math’, change in cash flow do not appear significantly
related to the equity prices. However, started in 2006, the role of change in cash
flows begun to be significant. This result implies that investors begin to look at more
accounting information, in particular, change in cash flows as a determinant of the
equity valuation, besides earnings and book value of equity.
This is also reflected in per year adjusted R-square of the simple model. The table
shows an increasing trend of adjusted R-square suggesting that the accounting
information is more value relevant after the Asian economic crisis. This motivates
the public firms to more open and disclose honestly about their accounting figures.
Another implication to the auditors is to be more conscientiously to audit the public
firms as accounting information appears to be more importantly used by the
investors.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Conclusion
This study is aimed to revisit the role of accounting information on equity valuation.
Previous studies show accounting information, such as net earnings, cash flows,
book value of equity are value relevant. During the economic crisis, most Asian
capital markets, including Indonesia market, experience a down side of the crisis. It
is expected that many price determinant factors, including accounting information,
did not work properly. Therefore, this study contributes to the knowledge by
revisiting the value relevance of accounting information after math, particularly for
the surviving firms, such as LQ45.
The analysis shows robust result for earnings and book value of equity in which both
are positively and significantly related to the stock prices. This suggests that
earnings and book value of equity are still important drivers in investors’ pricing
decision. Mixed result found in change in cash flow information. Itself appears
insignificantly related to the stock prices, however, the negative change in cash flow
do relates significantly to the stock prices, indicating that investors use the
information when it is in unfavorable condition. Meanwhile negative earnings
appears not bothering investors.
Year-per-year analysis of our model indicates that earnings has an increasing
importance in equity valuation, while the role of book value of equity appears
unstable. Interesting insight is found on the results of change in cash flows. After
math, the change in cash flows is unrelated to the stock prices. However, it is more
value relevant during the last two years suggesting investors use more information
accounting as price determinant.
The results are wrapped up by the explanatory power analysis of our simple model.
The explanatory power steadily shows a strong increasing trend implying the more
significant role of accounting information during the observed period.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Bibliography
Chan, Konan, Chan, Louis KC, Jegadeesh, Narasimhan, & Lakonishok, Josef, 2006,
Earnings Quality and Stock Returns, The Journal of Business, Vol.79, Iss.3,
pp.1041.
Collins, D.W., E.L. Maydew, and I.S. Weiss, (1997), “Changes in the valuerelevance of earnings and book values over the past forty years”, Journal of
Accounting and Economics, 24, pp.39-67.
Danbolt, J. and W. Rees, 2002, “The valuation of European financial firms”, Review
of Accounting and Finance, 1, pp.5-24.
Francis, J, and K. Schipper, 1999, “Have financial statements lost their relevance?”,
Journal of Accounting Research, 37, pp.319-343.
Hester, William 2004, The Declining Quality of Earnings.
http://www.hussmanfunds.com/rsi/earnquality.htm
Hutagaol, Y., Danbolt, J., Rees, W., Watson, R., 2003 “IPO Valuation: The Role of
Accounting Fundamentals” Department of Accounting & Finance, University of
Glasgow, Scotland
Landsman & Maydew , 2001, “Beaver (1968) Revisited: Has the Information Content
of Annual Earnings Announcement Declined in the past three decades?”. University
of North Carolina Working paper.
(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=204068)
Liu, Jing, Nissim, Doron, & Thomas, Jacob, 2007, ‘Is Cash Flow King in
Valuations?’, Financial Analysts Journal, Vol. 63, Iss. 2, pp. 56-68
O’hara, H Thomas, Lazdowski, Cathy, Moldovean, Calin, and Samuelson, Shawn T,
2000, ‘Financial Indicators of Stock Price Performance’, American Business Review,
Vol. 18, Iss. 1, pp.90-101
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Pradhono and Christiawan, 2004, “Pengaruh Economic Value Added, Residual
Income, Earnings, dan ARus Kas Operasi Terhadap Return yang diterima oleh
Pemegang saham (Studi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta). Jurnak Akuntansi & Keuangan vol.6 no.2pp.140-166
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Appendix 1
Pt
EPSt
EPSt
BPSt
CFSt
DE
DCF
EPS*DE
0.812
0
BPSt
CFSt
DE
DCF
EPS*DE
CF*DCF
0.732
0.662
0
0
0.112
0.144
-0.142
0.099
0.033
0.035
-0.145
-0.273
-0.096
-0.017
0.031
0
0.154
0.804
-0.053
-0.071
-0.032
-0.43
0.024
0.436
0.296
0.634
0
0.72
0.076
0.243
-0.082
0.01
-0.533
0
0.26
0
0.226
0.881
0
0.998
-0.147
-0.105
-0.362
0.875
0.058
-0.277
-0.031
0.03
0.122
0
0
0.39
0
0.651
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM06 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH ARUS KAS OPERASI, INFLASI, SUKU BUNGA DAN PEERUBAHAN
NILAI KURS VALUTA ASING TERHADAP RETURN SAHAM DENGAN
PERSISTENSI LABA SEBAGAI VARIABEL MODERATING
Adi Juardi
Universitas Indonesia
Abstract
Penelitian
ini
mencoba
untuk
menggabungkan
analisis
fundamental
perusahaan dengan ekonomi makro untuk menduga return saham perusahaan.
Variabel fundamental perusahaan yang dipergunakan adalah Arus Kas Operasi dan
Persistensi Laba sebagai variabel moderating. Sedangkan variabel ekonomi makro
meliputi Inflasi, Suku bunga dan Perubahan Kurs USD terhadap Rupiah. Model yang
dipergunakan adalah Pooled Data. Sedangkan data yang dikumpulkan adalah
perusahaan-perusahaan terbuka dalam kelompok industri manufaktur mulai tahun
1999 sampai dengan 2004.
Penulis menggunakan 3 model, yaitu Model I dengan variabel bebas Arus Kas
Operasi dan Persistensi Laba sebagai variabel moderating, Model II dengan variabel
bebas ekonomi makro, dan model III penggabungan dari model I dan Model III.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat masalah multikolienaritas terhadap
variabel Suku Bunga, karena itu, varaibel tersebut dikeluarkan dari model II maupun
model III. Penggunaan Pooled Data, menunjukkan bahwa baik model I, mdel II
maupun model III penggunaan Fixed Effect lebih sesuai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh arus kas operasi terhadap
harga saham dengan persistensi laba sebagai variabel moderating, sehingga
hipotesis penelitian tidak mendapat dukungan empiris. Penggunaan variabel inflasi
dalam menduga return saham perlu dicermati, karena pengaruhnya tidak konsisten.
Dilihat dari Adjusted R-square, ternyata model III yang menggabungkan variabel
fundamental perusahaan dengan variabel ekonomi makro lebih baik jika dibandingkan
dengan model I atau model II.
Kata Kunci : Fundamendal perusahaan, ekonomi makro, Arus Kas Oparasi,
Persistensi Laba, Suku Bunga, Inflasi, perubahan Kurs USD terhadap Rupiah dan
Pooled Data.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu fungsi utama pasar modal adalah sebagai sarana untuk memobilisasi
dana yang bersumber dari masyarakat ke berbagai sektor yang melaksanakan
investasi. Syarat utama yang diinginkan oleh investor untuk bersedia menyalurkan
dananya melalui pasar modal adalah perasaan aman akan investasinya. Perasaan
aman ini diantaranya diperoleh karena para investor mendapatkan informasi yang
jelas, wajar, dan tepat waktu sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
investasinya.
Suatu informasi dianggap informatif jika informasi tersebut mampu mengubah
kepercayaan (believes) para pengambil keputusan. Adanya suatu informasi yang baru
akan membentuk suatu kepercayaan baru dikalangan para investor. Kepercayaan
baru ini akan mengubah harga melalui perubahan demand dan supply surat-surat
berharga.
Secara garis besar informasi yang diperlukan investor terdiri dari informasi yang
bersifat teknikal dan fundamental. Informasi yang bersifat teknikal, menurut Husnan
(1998) dianalisis dengan melihat perubahan harga saham tersebut (kondisi pasar) di
waktu yang lalu. Pemikiran yang mendasari analisis teknikal adalah : (1) bahwa harga
saham mencerminkan informasi yang relevan, (2), bahwa informasi tersebut
ditunjukkan dengan perubahan harga di waktu yang lalu, dan (3) karenanya
perubahan harga akan mempunyai pola tertentu dan pola tersebut akan berulang.
Sedangkan analisis fundamental dapat dilakukan dengan beberapa tahapan
analisis yaitu : (1) kondisi ekonomi atau kondisi pasar, (2) kemudian diikuti analisis
industri pasar, dan (3) akhirnya kondisi spesifik perusahaan. Menurut Sudjono (2002)
analisis fundamental dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok besar yaitu :
faktor intern perusahaan dan faktor ekstern perusahaan. Faktor intern perusahaan
meliputi
:
kinerja
perusahaan,
perubahan
kebijakan/strategi
perusahaan,
pengumuman laporan keuangan, rasio keuangan dan faktor inter lainnya. Lingkungan
ekonomi dapat bersumber dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan.
Lingkungan ekonomi dari dalam perusahaan, misalnya: kinerja perusahaan,
pengumuman laporan keuangan, pembagian deviden.
Basu (1977) adalah orang yang pertama kali menemukan adanya pengaruh ratio
pendapatan per harga (E/P) terhadap harga saham. Banz (1981), Fama dan French
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
(1996), menunjukkan ada pengaruh bahwa size (ukuran); Hamada (1972) dan
Bhandari (1988) dalam Widodo (2003) leverage, Fama dan French (1992) adanya
pengaruh size, leverage, E/P dan Price Book Value (PBV). Sloan (1996) menemukan
bahwa komponen accruals dan komponen arus kas, berpengaruh terhadap harga
saham. Kormedi dan Lipe (1987) menemukan hubungan antara inovasi earnings dan
persistensi laba dengan return saham.
Sloan (1996) menguji sifat kandungan informasi komponen accruals dan
komponen arus kas, informasi tersebut terefleksi dalam harga saham. Hasilnya
menunjukkan bahwa kinerja earnings yang teratribut pada komponen accruals
menggambarkan persistensi yang lebih rendah daripada kinerja earnings yang
teratribut pada komponen arus kas. Sloan (1996) juga menunjukkan bahwa harga
saham bereaksi jika investor “fixate” (percaya) pada earnings, gagal membedakan
antara properties komponen accruals dan komponen arus kas. Akibatnya,
perusahaan-perusahaan yang level akrualnya relatif tinggi (rendah) mengalami
abnormal return masa datang yang negatif (positif) di sekitar pengumuman earnings
masa datang. Sloan (1996) berpendapat bahwa hasil penelitian ini konsisten dengan
fiksasi earnings oleh sebagian kecil partisipan pasar terhadap jumlah total earnings
yang dilaporkan tanpa memperhatikan besarnya komponen accruals dan komponen
arus kas.
Kormedi dan Lipe (1987) menguji hubungan antara inovasi earnings dan
persistensi laba dengan return saham. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
koefisien respon laba berkorelasi positif dengan persistensi laba dan tidak
menunjukkan sensitivitas yang berlebihan, sehingga besarnya reaksi return saham
perusahaan pada earnings harus dihubungkan dengan pengaruh inovasi earnings
pada ekspektasi manfaat masa yang akan datang yang didapat pemegang saham.
Jadi dapat disimpulkan bahwa besarnya hubungan antara return saham dan earnings
tergantung pada persistensi laba.
Sementara itu, beberapa peneliti menunjukkan keterkaitan antara harga saham
dan return saham dengan variabel ekonomi makro. Penelitian yang dilakukan oleh
Hogan et all (1982), Flannery dan James (1984) dalam Widodo (2003) menunjukkan
bahwa tingkat bunga mempunyai hubungan yang negatif dengan return saham.
Chen, Roll dan Ross (1986) dalam penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi return saham yaitu : tingkat
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
pertumbuhan produksi industri, tingkat inflasi (baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan, selisih antara tingkat bunga jangka panjang dan jangka pendek dan
selisih antara obligasi berperingkat tinggi dengan rendah.
Poons dan Taylor (1991) dengan menggunakan variabel-variabel yang
dipergunakan oleh penelitian Chen, Roll dan Ross (1986) di pasar modal Inggris,
menemukan bukti bahwa variabel-variabel tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap
return saham di Inggris.
Kwon, Shin dan Bacon (1997) menemukan bahwa term structure hanya
signifikan terhadap 8 indeks dari 22 indeks yang dipergunakan. Tidak ada kelompok
yang signifikan atas kelompok industri konstruksi dan size effect tidak berpengaruh di
Korea.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis termotivasi untuk mengadakan
penelitian mengenai pengaruh variabel-variabel fundamental perusahaan dan variabel
ekonomi makro terhadap harga saham. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2003)
menggunakan variabel-variabel fundamental dan variabel makro untuk menduga
return saham bulanan,
namun dengan menggunakan model yang terpisah,
sedangkan model yang penulis pergunakan merupakan model yang mengkaitkan
keduanya dalam satu model, dan persistensi laba sebagai variable moderating.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh arus kas operasi terhadap pergerakan harga saham
2. Bagaimana pengaruh persistensi laba terhadap pergerakan harga saham
3. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap pergerakan harga saham.
4. Bagaimana pengaruh suku bunga terhadap pergerakan harga saham.
5. Bagaimana pengaruh perubahan kurs USD terhadap Rupiah dan terhadap
harga saham.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memperkaya khasanah pengetahuan khususnya
sehubungan pengembangan model pendugaan harga saham. Dengan menggunakan
model pendugaan harga yang tepat, dengan melihat pengaruh arus kas operasi
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
perusahaan, suku bunga dan kurs valuta asing, sehingga investor akan memperoleh
banyak manfaat dalam menentukan kapan harus membeli atau menjual suatu saham.
2. Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesis
2.1. Analisis Fundamental
Menurut Husnan (1998) analisis fundamental mencoba memperkirakan harga
saham yang akan datang dengan (1) mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental
yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, dan (2) menerapkan
hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Model
ini sering disebut sebagai share price forecasting model, dan sering dipergunakan
dalam berbagai pelatihan analisis sekuritas. Sedangkan menurut Sunariyah (2004)
yang dimaksud dengan analisis fundamental adalah suatu pendekatan berdasarkan
pada suatu anggapan bahwa saham memiliki nilai intrinsik yang diestimasikan oleh
para analis atau investor. Nilai intrinsik merupakan suatu fungsi yang dikombinasikan
untuk menghasilkan suatu return yang diharapkan dan risiko yang melekat pada
saham tersebut. Hasil estimasi nilai intrinsik kemudian dibandingkan harga pasar
sekarang (current market price) sehingga dapat diketahui saham tersebut overvalue
atau undervalue.
Sedangkan menurut Anonymous (2003): “Analisis Fundamental adalah suatu
metode yang digunakan untuk menentukan nilai dari suatu saham dengan
menganalisa data-data keuangan yang sangat penting bagi perusahaan. Ini berarti
perusahaan hanya mempertimbangkan variable-variabel yang secara langsung
berhubungan dengan perusahaan itu sendiri, seperti laba perusahaan, deviden
perusahaan, dan penjualan perusahaan. Analisis fundamental tidak melihat pada
keseluruhan bagian dari pasar termasuk di dalamnya perilaku variabel-variabel di
dalam metode ini. Analisis ini hanya memfokuskan pada bisnis perusahaan untuk
menentukan saham mana yang harus dibeli dan saham mana yang harus dijual.
Analisis teknikal adalah suatu metode untuk mengevaluasi saham dengan didasarkan
pada asumsi data pasar, seperti diagam harga, volume, dan bunga pasar, yang dapat
membantu memprediksi dimasa yang akan datang (biasanya jangka pendek)
kecenderungan pasar. Tidak seperti analisis fundamental, nilai intrinsik dari sekuritas
tidak dipertimbangkan. Analisis teknikal percaya dapat memprediksi harga saham
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
secara akurat dengan melihat pada harga historisnya dan variable-variabel
perdagangan lainnya”.
Untuk menghitung nilai instrinsik saham, menurut Sudjono (2002) dapat
dipergunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan nilai sekarang (present value
approach) dan pendekatan PER (Price Earning Ratio). Pendekatan nilai sekarang
juga disebut metode penilaian kapitalisasi laba (capitalisation of income method
valuation), karena memasukkan proses kapitalisasi nilai-nilai masa depan yang
didiskontokan menjadi nilai sekarang. Sedangkan pendekatan PER, menurut Sharpe,
Alexander dan Bailey (1999) dalam Sudjono (2002) menunjukkan rasio dari harga
saham terhadap earnings. Rasio ini menunjukkan berapa besar investor menilai harga
saham terhadap kelipatan dari earnings.
Inti dari pendekatan present value adalah menilai harga saham dengan
mendisakontokan arus kas saham yang akan diterima (future cash flow) dengan
tingkat discount rate yang disyarakatkan oleh investor. Pendapatan yang digunakan
untuk menganalisis menurut Modigliani dan Miller dalam Sakhowi (1999) adalah
pendapatan bersih persaham (Earning pershare) karena deviden tidak relevan untuk
melakukan penilaian. Nilai saham dapat dirumuskan sebagai berikut:
V =∑
Ct
(1 + r ) t
Dimana :
V
= Nilai intrinsik saham
C
= pendapatan per lembar saham
r
= tingkat discount yang disyaratkan oleh investor
t
= jangka waktu investasi
Pendekatan P/E yaitu menilai saham dengan mengalikan P/E ratio (Price
Earning Ratio) dengan Cash flow yang akan diterima dimasa yang akan datang.
Secara matematis, pendekatan ini dapat ditulis sebagai berikut:
V =∑
pE
(1 + r ) t
Dimana :
V
= Nilai intrinsik saham
p
= pay out ratio
E
= Cash flow dimasa depan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
r
= tingkat discount yang disyaratkan oleh investor
t
= jangka waktu investasi
(Sakhowi, 1999)
Dari formula tersebut terlihat ada dua variabel utama yang memberi pengaruh
terhadap tingkat harga saham, yaitu cashflow yang akan diterima dimasa yang akan
datang dan tingkat bunga yang menjadi discount factor dari cashflow tersebut. Dua
faktor tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh aspek internal perusahaan, tetapi juga
oleh aspek makro yang diluar kontrol manajemen.
Amling (1989) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor internal yang dapat
mempengaruhi harga saham, yaitu:
1. Pendapatan dimasa yang akan datang
Pendapatan dimasa mendatang ini dipengaruhi oleh pertumbuhan perusahaan,
yang dapat diukur dari pertumbuhan total aktiva dan penjualan. Perusahaan
yang mempunyai posisi kuat dalam persaingan mempunyai pendapatan yang
relatif stabil dibandingkan dengan perusahaan yang lemah dalam persaingan.
2. Manajemen
Kualitas manajemen sangat menentukan masa depan perusahaan.
Tanpa manajemen yang baik, suatu perusahaan tidak dapat mengendalikan
pengeluaran biaya operasi atau mempertahankan posisi keuangannya.
Kebijaksanaan manajemen dalam memimpin perusahaan dapat dilihat dari
kemampuan menghasilkan laba di masa mendatang.
3. Efisiensi Perusahaan
Faktor ini mencerminkan hubungan antara pengeluaran perusahaan
dengan pendapatan perusahaan yang nyata. Efisiensi operasi ini dapat diukur
dengan beberapa rasio operasi. Semakin rendah rasio operasi semakin tinggi
pendapatan perusahaan.
4. Posisi keuangan jangka pendek
Masalah yang mendasar dari segi keuangan adalah menyeimbangkan
antara kemampuan likuiditas dan profitabilitas. Perimbangan antara likuiditas
dan profitabilitas selalu merupakan trade off antara tersedianya dana untuk
membayar kewajiban jangka pendek perusahaan dengan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
5. Struktur modal perusahaan
Struktur
modal
mencerminkan
bagaimana
cara-cara
perusahaan
memperoleh atau meningkatkan sumber dana untuk membelanjai operasinya.
Struktur modal perusahaan ini mempunyai efek terhadap pendapatan di masa
yang akan datang karena mempengaruhi jumlah dan stabilitas pendapatan.
Pembelanjaan dengan pinjaman menimbulkan risiko bagi para pemegang
saham. Penggunaan pinjaman yang besar akan menyebabkan pendapatan
perusahaan tidak stabil dan dapat mengakibatkan kegagalan perusahaan
karena beban-beban tetap yang ditanggung juga besar.
6. Profitabilitas
Kemampuan dalam menghasilkan laba digunakan untuk mengestimasi
pendapatan di masa yang akan datang dan pendapatan yang diharapkan di
masa yang akan datang. Sebab makin stabil tingkat pertumbuhan pendapatan
akan menimbulkan nilai perusahaan di masa yang akan datang.
Namun demikian penelitian-penelitian mengenai analisis fundamental ini masih
menemui permasalahan, misalnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Lev dan
Thiagarajan (1993) efek dari analisis fundamental belum memberikan kemampuan
prediksi yang kuat dimana nilai R2 yang dihasilkan oleh penelitian ini hanya berkisar
antaran 0,13 sampai dengan 0,21. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan hal
ini terjadi adalah bahwa faktor-faktor fundamental masih dianggap sebagai informasi
yang bersifat tambahan semata-mata dan bukan merupakan sesuatu yang utama.
Dan dari penelitian yang dilakukan oleh Quirin dan Allen (2000) ditemukan bahwa
analisis fundamental menjadi sesuatu yang sangat penting bila earning perusahaan
bersifat transistory dan menjadi sesuatu yang kurang penting bila besaran earning
perusahaan bersifat permanen. Untuk itu, analisis fundamental menjadi sesuatu yang
sangat relevan bila kondisi perusahaan menunjukkan earning yang tidak stabil (tidak
terdapat persistensi earning).
2.2. Hubungan Variabel Makro terhadap Harga Saham
Para ahli umumnya sepakat bahwa variabel ekonomi makro mempengaruhi
return saham dan harga saham. Misalnya, Chen, Roll dan Ross (1986), Poons dan
Taylor (1991), Kwon, Shin dan Bacon (1997) menyimpulkan bahwa variabel ekonomi
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
makro berkorelasi kuat dengan return saham. Namun variabel ekonomi makro apa
saja yang mempengaruhi return saham, sampai saat ini belum ada kata sepakat.
Chen, Roll dan Ross (1986) menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi return
saham, yaitu :
(1)
Perubahan inflasi yang tidak diantisipasi.
(2)
Perubahan produksi yang tidak diantisipasi.
(3)
Perubahan dalam premi risiko (perbedaan antara obligasi dengan grade
yang tinggi dengan yang rendah) yang tidak diantisipasi.
(4)
Perubahan slope kurva hasil (yield curve).
Kwon, Shin dan Bacon (1997) menyimpulkan bahwa variabel ekonomi makro yang
berpengaruh kuat terhadap saham-saham yang listing di bursa saham Korea yaitu :
(1)
Devidend yield
(2)
Foreign exchange rate
(3)
Oil price
(4)
Money supply
Beberapa variabel makro yang sering dipakai untuk menduga return saham bulanan
adalah :
1.
Inflasi
Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang peningkatan
harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem perekonomian.
Inflasi yang tinggi akan mengakibatkan daya beli masyarakat menurun dan dapat
mendorong timbulnya resesi.
Meningkatnya inflasi secara relatif adalah signal negatif bagi investor di pasar
modal. Hal tersebut karena inflasi akan meningkatkan pendapatan dan biaya
perusahaan. Jika peningkatan biaya faktor-faktor produksi lebih tinggi dari
peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan, maka profitabilitas
akan menurun. (Harianto dan Sudomo, 1998).
2.
Tingkat Bunga
Menurut Sudomo dan Harianto (1998) tingkat bunga adalah ukuran investasi
yang dapat diperoleh investor dan juga ukuran biaya modal yang harus
dikeluarkan oleh eprusahaan untuk menggunakan dana dari investor.
Manurung (1996) menyatakan bahwa pada umumnya tingkat bunga umumnya
mempunyai hubungan yang negatif dengan return saham. Hal tersebut menurut
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Sakhowi (1999) disebabkan karena kenaikan suku bunga akan menyebabkan
biaya investasi akan meningkat dan jumlah pengeluaran investasi akan
menurun, akibat selanjutnya adalah ekspektasi penghasilan dari investasi akan
menurun. Kenaikan biaya investasi dan penurunan jumlah investasi akan
menyebabkan penurunan penghasilan yang menjadi bagian bagi pemegang
saham (equity) yang berarti nilai equity akan menurun. Penurunan nilai equitas
tersebut akan menyebabkan harga saham menurun.
3.
Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar (exchange rate) adalah harga relatif mata uang Rupaih terhadap mata
uang asing (US Dollar, USD) di pasar asing (Feridhanusetyawan, 1997).
Masalah nilai tukar muncul manakala suatu negara melakukan pertukaran
dengan negara lain, dimana masing-masing negara menggunakan mata uang
yang berbeda. Jadi nilai tukar adalah merupakan harga yang harus dibayar oleh
mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain, harga yang
harus dibayar tersebut dinamakan dengan kurs. (Sakhowi, 1999).
Menurut Harianto dan Sudomo (1998) menurunnya kurs rupiah terhadap mata
uang asing, khususnya US Dollar, akan memiliki pengaruh negatif terhadap
ekonomi dan pasar modal. Karena menurunnya kurs akan meningkatkan biaya
impor bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga
dapat meningkatkan biaya produksi. Menurunnya kurs juga akan mendorong
meningkatnya suku bunga dalam negeri sehingga dalam negeri tetap menjadi
lingkungan investasi yang menarik.
3.
Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis
3.1. Hubungan antara Arus Kas Operasi, Persistensi Laba dengan Return
Saham
Meythi (2006) meneliti
mengenai hubungan antara earnings dengan return
saham, hasil dari penelitian itu menunjukan bahwa arus kas operasi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap harga saham.
Board dan Day (1989) meneliti
arus kas apakah mempunyai kandungan
informasi dalam hubungannya dengan harga saham. Data harga saham bulanan
diambil dari London Share Price Database. Data akuntansi diperoleh dari
Cambridge/DTI data. Sampel terdiri dari 39 perusahaan manufaktur untuk periode
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
1961-1977. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa arus kas tidak mempunyai
kandungan informasi dalam hubungannya dengan harga saham.
Penelitian yang dilakukan oleh Kormendi dan Lipe (1987) menguji hubungan
antara inovasi earnings dan persistensi laba dengan return saham. Data terdiri dari
return saham tahunan dan earnings untuk setiap 145 perusahaan selama periode
1947-1980 menggunakan 32 tahun dari annual data. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa koefisien respon laba berkorelasi positif dengan persistensi laba dan tidak
menunjukkan sensitivitas yang berlebihan, sehingga besarnya reaksi return saham
perusahaan pada earnings harus dihubungkan dengan pengaruh inovasi earnings
pada ekspektasi manfaat masa yang akan datang yang didapat pemegang saham.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa besarnya hubungan antara return saham dan earnings
tergantung pada persistensi laba.
Sloan (1996) menguji sifat kandungan informasi komponen accruals dan
komponen arus kas, informasi tersebut terefleksi dalam harga saham. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja earnings yang teratribut pada komponen
accruals menggambarkan persistensi yang lebih rendah daripada kinerja earnings
yang teratribut pada komponen arus kas.
Triyono dan Hartono (2000) menguji kandungan laba dan informasi arus kas
yang dikelompokkan dalam arus kas dari aktivitas operasi, pendanaan, dan investasi.
Populasi yang digunakan adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang mempublikasikan laporan keuangannya untuk tahun
1995 dan 1996. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan model level, total
arus kas tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan harga saham, tetapi
pemisahan arus ke dalam komponen arus kas operasi, arus kas pendanaan, dan arus
kas investasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan harga saham.
Temuan lainnya adalah dengan menggunakan model return perubahan arus kas total,
perubahan komponen arus kas, dan perubahan laba akuntansi tidak mempunyai
hubungan yang signifikan dengan return saham.
Meythi (2006) menguji
presistensi laba dan arus kas operasi dengan
mengunakan data perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
dengan hipotesanya adalah Arus kas operasi berpengaruh positif terhadap harga
saham dengan persistensi laba sebagai variabel intervening. Hasil dari penelitian
tersebut tidak terbukti bahwa presistensi laba sebagai variable intervening
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Berdasarkan pada beberapa penelitian di atas, maka penelitian ini akan
membuktikan apakah arus kas operasi akan berpengaruh positif terhadap harga
saham dengan persistensi laba sebagai variabel moderating, maka hipotesa pertama
yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah :
Hipotesis 1 :
Arus kas operasi dengan
Presistensi laba sebagai
variabel moderating, berpengaruh positif terhadap
harga saham
3.2. Hubungan antara Inflasi, Suku Bunga dan Perubahan Nilai Tukar dengan
Return Saham
Inflasi adalah kenaikan persentase tahunan dalam tingkat harga umum yang
diukur berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau indeks lainnya, sedangkan
deflasi terjadi apabila harga-harga dan biaya-biaya secara umum turun (Samuelson
dan Nordhaus dalam Sudjono, 2002). Walaupun demikian, ada bermacam-macam
definisi mengenai inflasi, diantaranya : (1) Setiap pertambahan dalam jumlah uang
beredar, (2) setiap kenaikan harga karena preferensi konsumen lebih besar akan
barang-barang atau karena jumlah barang-barang berkurang, (3) setiap pertambahan
utang pemerintah yang dapat mempengaruhi harga-harga, (4) setiap pertambahan
jumlah uang efektif yang melebihi kebutuhan akan uang, (5) keadaan dimana publik
kehilangan kepercayaan terhadap barang atau aktiva yang dianggap mempunyai nilai
mantap (Winardi, 1995 dalam Sudjono 2002).
Penelitian mengenai hubungan antara tingkat return saham dengan inflasi selalu
beranjak dari teori Fisher. Teori Fisher (1930) mengatakan bahwa nominal tingkat
bunga merupakan hasil dari penjumlahan dari tingkat return saham yang diharapkan
dengan tingkat inflasi yang diharapkan. Tingkat bunga merupakan hasil dari investasi,
maka untuk aset yang seperti saham hasilnya adalah capital gain dan deviden, tetapi
deviden tersebut kecil, oleh karenanya analisis keuangan mencoba melakukan
penelitian mengenai tingkat return saham dengan inflasi (Manurung, 1996).
Menurut Sakhowi (1999) inflasi dapat disebabkan oleh 2 hal. Pertama, inflasi
bsebagai akibat adanya kenaikan dari sisi permintaan (demand), Ssituasi seperti ini
disebut dengan demand pull inflation atau inflasi karena tarikan permintaan. Kedua,
kenaikan harga-harga secara umum (inflasi) yang disebabkan karena adanya
kenaiakan input (ongkos produksi), hal ini disebut sebagai cost push inflation. Situasi
inflasi baik karena demand pull inflation maupun cost push inflation terjadi silih
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
berganti dalam perekonomian suatu negara, namun dampak terhadap sektor real
berbeda. Pada demand pull inflation karena pemicunya adalah terjadinya peningkatan
sisi permintaan maka secara otomatis sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku,
sisi penawaran akan mengikuti untuk mendapatkan keseimbangan yang baru dalam
volume produksi yang lebih besar untuk menutupi excess demand yang berarti dalam
sektor riil terjadi peningkatan kapasitas produksi yang akan mendorong pada
epeningkatan penjualan dan laba perusahaan dan pada gilirannya dapat diharapkan
akan terjadi peningkatan return bagi para pemegang saham. Sedangkan inflasi yang
disebabkan oleh adanya kenaikan secara umum dalam biaya produksi akan
menyebabkan muncul excess supply. Sesuai dengan hukum permintaan, apabila
harga naik maka jumlah barang yang diminta akan turun, akibatnya penurunan
kuantitas permintaan ini, maka secara umum sektor riil akan mengurangi
kapasitasnya dan akan berakibat turunnya volume penjualan dan juga laba
perusahaan, akhirnya akan menurunkan nilai equity (harga saham) perusahaan.
Nelson (1976) melakukan penelitian mengenai hubungan antara return saham
dengan inflasi. Dengan menggunakan Scholes Index periode januari 1953 sampai
dengan Desember 1972 dan Standard and Poor’s bulan Januari 1973 sampai dengan
Juni 1974, dengan menggunakan lag dab lead 1 sampai dengan 4. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa return saham berhubungan negatif dengan inflasi.
Sedangkan penelitian di Indonesia mengenai hubungan antara return saham
dengan inflasi, diantaranya yaitu :
Panjinegara (2000) mengadakan penelitian mengenai hubungan antara return
saham dengan inflasi. Data yang digunakan adalah perusahaan-perusahaan yang
sshamnya listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode Januari 1995 sampai dengan
Desember 1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Periode I (sebelum krisis),
inflasi yang di proxykan dengan perubahan M2, berhubungan positif dan signifikan,
demikain pula dengan Periode II (setelah krisis ekonomi).
Menurut Sudomo dan Harianto (1998) tingkat bunga adalah ukuran investasi
yang dapat diperoleh investor dan juga ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan untuk menggunakan dana dari investor.
Sedangkan menurut Manurung (1996) tingkat bunga merupakan sebuah
pengembalian aset yang mempunyai risiko mendekati nol. Biasanya investor
Indonesia menggunakan tingkat bunga ini sebagai patokan (bench mark) untuk
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
perbandingan
bila
diinvestasikan
dalam
bidang
lainnya.
Bila
pemerintah
mengumumkan tingkat bunga akan naik, maka investor akan menjual sahamnya dan
menggantinya
dengan
instrumen
berpendapatan
tetap
(fixed
income)
yang
memberikan tingkat bunga lebnih tingg, karena itu tingkat bunga umumnya
mempunyai hubungan yang negatif dengan return
saham. Hal tersebut menurut
Sakhowi (1999) disebabkan karena kenaikan suku bunga akan menyebabkan biaya
investasi akan meningkat dan jumlah pengeluaran investasi akan menurun, akibat
selanjutnya adalah ekspektasi penghasilan dari investasi akan menurun. Kenaikan
biaya investasi dan penurunan jumlah investasi akan menyebabkan penurunan
penghasilan yang menjadi bagian bagi pemegang saham (equity) yang berarti nilai
equity akan menurun. Penurunan nilai equitas tersebut akan menyebabkan harga
saham menurun..
Sweeney dan Warga (1986) dalam Sudjono (2002) mengadakan penelitian
mengenai tingkat bunga terhadap saham yang listing di NYSE dengan menggunakan
model APT. Untuk mengetahui perubahan return saham, Sweeney dan Warga
menggunakan perubahan tingkat bunga yang tidak diharapkan (unexpected interest
rates). Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa harga saham publik (listrik) sangat
peka terhadap pergerakan tingkat bunga. Dengan memasukkan kerangka APT dalam
persamaan, faktor tingkat bunga tidak diharapkan dapat lebih menjelaskan terhadap
return saham di NYSE.
Penelitian di Indonesia mengenai hubungan antara tingkat bunga dengan return
saham adalah sebagai berikut :
Panjinegara (2000) mengadakan penelitian mengenai hubungan antara return
saham dengan tingkat bunga. Data yang digunakan adalah perusahaan-perusahaan
yang sshamnya listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode Januari 1995 sampai
dengan Desember 1999. Karena terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang dimulai pada
bulan Juli 1997, maka periode pengamatan kemudian dibagi 2, yaitu : Periode I antara
Januari 1995 sampai dengan Juni 1997, dan periode II antar Juli 1997 sampai dengan
Desember 1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Periode I, tingkat bunga
yang di proxykan dengan selisih antara tingkat bunga Surat Berharga Indonesia (SBI)
dengan waktu sebelumnya, terdapat berhubungan positif dan tidak signifikan
signifikan, sedangkan pada Periode II berhubugan positif dan tidak signifikan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Penentuan atau perkiraan nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lainnya merupakan salah satu tujuan utama bagi para pelaku pasar. Hal ini
disebabkan karena besarnya pengaruh pergerakan mata uang terhadap kegiatan
bisnis dan investasi maupun pembuatan kebijaksanaan.
Beberapa teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana nilai uang ditentukan. Pertama, pendekatan
fundamental mencoba menjelaskan pergerakan stau trend mata uang dalam jangka
pendek dan jangka menengah. Bahkan, studi empiris memperlihatkan bahwa
pergerakan mata uang jangka pendek dan jangka menengah merupakan pergerakan
yang acak (random walk) yang sulit diramalkan. Kedua, pendekatan teknikal atau
model berdasarkan trend melalui grafik dapat memberikan perkiraan yang lebih
menguntungkan untuk jangka pendek. Metode ini sangat populer dalam perdagangan
mata uang jangka pendek. Ketiga, pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) yang
menyatakan bahwa nilai keseimbangan dari suatu mata uang (E) ditentukan oleh ratio
antara harga-harga dalam negeri (P) dan harga-harga luar negeri (P*).
Penelitian yang dilakukan oleh Ajay dan Mougoué (1996) dalam Widodo (2003)
dinegara-negara Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris dan
Amerika Serikat, hasil penelitian menyimpulkan bahwa kenaikan harga saham
domestik agregat mempunyai dampak jangka pendek terhadap nilai domestik. Namun
demikian, pada jangka panjang kenaikan harga ssham ndomestik mempunyai
dampak yang positif terhadap nilai uang domestik. Dilain fihak, depresiasi nilai mata
uang mempunyai pengaruh negatif terhadap terhadap pasar modal baik jangka
panjang maupun jangka pendek. Penelitian yang dilakukan oleh Panjinegara (2000),
pada Periode I, perubahan nilai kurs ternyata bertanda negatif dan tidak signifikan,
pada periode II, bertanda negatif dan signifikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka Hipotesis 2 yang penulis ajukan
adalah :
Hipotesis 2 :
Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara inflasi, suku bungan
dan perubahan kurs nilai USD terhadap Rupiah dengan return saham.
Kemudian kemudian, penulis menggabungkan hipotesis 1 dan hipotesis 2,
menjadi :
Hipotesis 3 :
Arus kas operasi dengan Presistensi laba sebagai variabel moderating,
berpengaruh positif terhadap harga saham, inflasi, suku bunga dan
perubahan kurs nilai USD terhadap Rupiah berpengaruh negatif dan
signifikan dengan return saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3.3. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan bagan skematik yang menyarikan hubungan antara
variabel penelitian. Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat dibuat kerangka teoritis
sebagai berikut :
Persistensi
Laba
Arus Kas
Operasi
Inflasi
Return Saham
Suku Bunga
Perubahan
Kurs
4. METODE PENELITIAN
4.1. Data dan Sampel Penelitian
Yang menjadi sample dalam penelitian ini adalah semua perusahaan yang telah
terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1999 sampai 2004 serta menerbitkan
laporan keuangan per 31 Desember untuk tahun buku 1999 sampai 2004. Pemilihan
sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling
dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representative sesuai dengan kriteria
yang ditentukan. Adapun kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah
sebagai berikut:
1.
Perusahaan manufaktur
yang terdaftar di BEJ pada tahun 1999 sampai
2004.
2.
Perusahaan menerbitkan laporan keuangan selama periode pengamatan.
Laporan
keuangan yang digunakan sebagai sampel adalah laporan
keuangan per 31 Desember, dengan alasan laporan tersebut telah diaudit
sehingga informasi yang dilaporkan lebih dapat dipercaya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.2. Variabel Penelitian
Adapun variable yang akan diuji adalah meliputi :
a. Return Saham (RETURN)
Return saham yang dhitung adalah adalah selisih antara harga saham periode
sekarang (closed price) dengan harga saham (closed price) periode sebelumnya
dibagi harga saham pada periode sebelumnya atau dapat juga dinyatakan sebagai
berikut:
⎛ P − Pt −1 ⎞
⎟⎟ × 100
Rt = ⎜⎜ t
⎝ Pt −1 ⎠
Notasi:
Rt = Return saham pada periode ke-t
Pt = Harga saham periode pengamatan
Pt-1 = Harga saham periode sebelum pengamatan
(Widodo, 2003)
b. Komponen Arus Kas (AKO)
Komponen arus kas yang digunakan adalah arus kas operasi dengan metode
langsung dari laporan arus kas. Arus kas operasi adalah arus kas yang berasal dari
aktivitas penghasil utama perusahaan dan aktivitas lain yang bukan merupakan
aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan pada akhir tahun.
c. Persistensi Laba (PL)
Persistensi laba adalah properti laba yang menjelaskan kemampuan perusahaan
untuk mempertahankan jumlah laba yang diperoleh saat ini sampai masa mendatang.
Lipe (1990) dan Sloan (1996) menggunakan koefisien regresi dari hasil regresi antara
laba periode sekarang dengan periode yang akan datang sebagai proksi persistensi
laba karena sesuai dengan kondisi Indonesia (Chandrarin (2001))
Earnings t+1 = α + β Earnings t + εt+1
Catatan: β = koefisien regresi sebagai proksi dari persistensi laba.
Laba yang digunakan adalah laba operasi. Laba operasi memiliki tingkat
persistensi yang tinggi karena merupakan pendapatan yang berasal dari kegiatan
utama perusahaan (Sugiri (2003)).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
d. Inflasi (INFLASI)
Untuk mengukur inflasi, penulis menggunakan perubahan Indeks Harga
Konsumen (IHK), sebagaimana Sudjono (2002). Sedangkan data IHK didapat dari
Bank Indonesia.
⎛ IHK t − IHK t −1 ⎞
⎟⎟ × 100
Inflasi = ⎜⎜
IHK
t −1
⎝
⎠
e. Suku Bunga (SBUNGA)
Suku bunga yang penulis pergunakan adalah suku bunga bank komersial,
dinyatakan dalam persen. (Widodo,2003)
f. Perubahan Nilai Tukar USD terhadap Rupiah (PKURS)
Untuk menghitung perubahan nilai perubahan nilai tukar, penulis mengacu pada
Widodo (2003), yaitu:
⎛ USD / Rpt − USD / Rpt −1 ⎞
⎟⎟ × 100
PKURS = ⎜⎜
USD / Rpt −1
⎝
⎠
4.3.
Model Penelitian
Untuk menguji Hipotesis 1, penulis menggunakan model I sebagai berikut:
RETURNi = βo + β1AKO + β2PL + β3AKO*PL
dimana
PL = Persistensi Laba yang diperoleh dari koefisien regresi persamaan regresi
berikut ini :
Earningt+1 = α0 + α1Earningt
Keterangan :
RETURNi = Return saham ke-i
AKO = Arus Kas Operasi
PL
= Persistensi Laba
Pengujian efek utama dan efek moderasi dilakukan dengan menggunakan
analisis regresi linier dengan variabel moderating. Adanya efek moderasi dapat dilihat
dari signifikansi koefisien β3 dari interaksi (AKO*PL) pada persamaan di atas.
Untuk menguji Hipotesis 2, penulis menggunakan model II sebagai berikut:
RETURNi = γo + γ1INFLASI + γ2SBUNGA + γ3PKURS
Sedangkan untuk menguji Hipotesis 3, penulis menggunakan model III sebagai
berikut:
RETURNi = ζ o + ζ 1AKO + ζ 2PL + ζ3AKO*PL + ζ4INFLASI +
ζ 4SBUNGA + ζ 4PKURS
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.4.
Metode Analisis
Metode analisis yang penulis pergunakan untuk menjalankan Model I, Model II
dan Model III adalah regresi Pooled Data atau Data Panel. Menurut Nachrowi dan
Herdius (2006) data panel merupakan penggabungan antara data cross section
dengan data time series. Untuk mengestimasi parameter model dengan data panel,
menurut Nachrowi dan Herdius (2006) dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Ordinary Least Square (OLS)
Teknik ini tak ubahnya dengan membuat regresi cross section atau time
series, dimana penggabungan data time series dan data panel tersebut kita
estimasi dengan OLS.
2. Fixed Effect Model
Pada fixed effect model, diasumsikan bahwa intercept akan berubah untuk
setiap individu dan waktu.
3. Random Effect Model
Bila pada fixed effect model, perbedaan antar individu dan atau antar waktu
dicerminkan lewat intercept, maka pada Random Effect Model perbedaan
tersebut diakomodir lewat error. Teknik ini, juga telah mempertimbangkan
bahwa error mungkin akan berkorelasi sepanjang time series dan cross
section.
Pemilihan Teknik Estimasi Regresi Panel
Untuk menduga model regresi panel, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) teknik yaitu OLS
(common), model fixed effect dan model random effect, untuk mengetahui model
mana yang paling tepat maka dilakukan pengujian, yaitu:
1. Uji Signifikasi Fixed Effect
Uji ini dpergunakan untuk mengetahui diantara model OLS (common) yang
mengasumsikan bahwa intersep dan slope (koefisien regresi) sama atau slope sama,
sedangkan intercept berbeda. Ide dasar dari pengujian ini adalah merupakan
pengembangan dari Uji Chow, yaitu apakah penambahan variabel dummy yang
merupakan representasi perubahan intersept akan menyebabkan residual sum of
squares menjadi menurun atau tidak? Jika penambahan variabel dummy tersebut
signikan secara statistik, maka dipergunakan Regresi Panel dengan Model Fixed
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Effect, sebaliknya jika penambahan variabel dummy tersebut tidak signifikan, maka
OLS (common) lebih baik.
Adapun uji tersebut adalah :
F( N +T − 2, NT − N −T ) =
( ESS OLS − ESS FE ) /( N + T − 2)
ESS FE /( NT − N − T )
Dimana :
N
: banyaknya individu
T
: waktu pengamatan
ESSOLS : Error Sum Square dari OLS
ESSFE : Error Sum Square dari Fixed Effect
Hipotesis nolnya adalah intersep tersebut sama (Ho : α1 = α2 = ....... = αk) yang
berarti OLS (common) lebih baik jika dibandingkan dengan model Fixed Effect.
Melawan hipotesis alternatif, (H1 : α1 # α2 # ....... # αk).
2. Uji Signifikansi Random Effect
Untuk mengetahui apakah model Random Effect lebih baik jika dibandingkan dengan
OLS (common) digunakan uji Lagrange Multiplier (LM). Uji signifikansi Random Effect
ini dikembangkan oleh Bruesch-Pagan. Metode Bruesch Pagan ini berdasarkan nilai
residual dari metode OLS. Adapun nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula
sebagai berikut :
2
⎡ N ⎡T
⎤ ⎤
⎢ ∑ ⎢∑ eit ⎥ ⎥
NT ⎢ i =1 ⎣ t =1 ⎦ ⎥
LM =
− 1 atau
⎥
2(T − 1) ⎢ N T 2
⎢ ∑∑ eit
⎥
⎣ i =1 t =1
⎦
_
⎤
⎡ N
2
(
T
e
∑
i)
⎥
⎢
NT ⎢ i =1
1
LM =
− ⎥
2(T − 1) ⎢ N T 2
⎥
⎥
⎢ ∑∑ eit
⎦
⎣ i =1 t =1
2
Uji LM ini didasarkan pada distribusi Chi-Square dengan degree of freedom sebesar
k, dimana k adalah banyaknya variabel bebasnya. Jika nilai LM statistik lebih besar
dari nilai kritis statistik Chi-Square, maka kita menolak hipotesis nulnya, artinya model
Random Effect lebih baik jika dibandingkan dengan model OLS. Sebaliknya jika nilai
LM statistik lebih kecil dari nilai kritis statistik Chi-Square, maka kita terima hipotesis
nulnya, artinya model OLS lebih baik jika dibandingkan dengan Random Effect.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3. Uji Signifikansi Fixed Effect atau Random Effect
Apabila ternyata model yang dimiliki lebih baik menggunakan fixed effect atau
Random Effect, maka pertanyaan selanjutnya, manakah yang lebih baik, fixed effect
atau random effect? Untuk itu, dipergunakan Uji Hausman. Uji Hausman ini
didasarkan pada ide bahwa fixed effect adalah dan GLS keduanya adalah efisien,
sedangkan OLS tidak. Karena itu, hipotesis nulnya adalah hasil estimasi keduanya
tidak berbeda, sehingga Uji Hausman bisa dilakukan berdasarkan perbedaan estimasi
tersebut. Unsur penting untuk uji ini adalah kovarian matrk dari perbedaan vektor [βFEβGLS]:
^
^
^
^
^
^
^
^
Var ( β FE − β GLS ) = Var ( β FE ) + Var ( β GLS ) − Cov ( β FE , β GLS ) − Cov ( β FE , β GLS ) '
Metode Hausman berdasarkan asumsi bahwa perbedaan kovarian dari estimator
yang efisien dengan estimator yang tidak efisien adalah nol, sehingga :
∧
∧
∧
∧
∧
∧
Cov[( β FE − β GLS ), β GLS ] = Cov ( β FE , β GLS ) − Var ( β GLS ) = 0
Kemudian persamaan diatas dapat diubah menjadi :
^
^
^
^
∧
Var ( β FE − β GLS ) = Var ( β FE ) − Var ( β GLS ) = Var ( q )
Selanjutnya mengikuti kriteria yang dikembangkan oleh Wald, uji Hausman ini akan
mengikuti Distribusi Chi-square sebagai berikut :
∧1
∧
∧
m = q var(q) −1 q
Dimana :
^
q = [ β FE − β GLS ]
Dan
^
^
^
Var (q = Var ( β FE ) − Var ( β GLS )
Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi Chi-Square dengan degree of
freedom sebanyak k, dimana k adalah banyaknya variabel bebas. Jika nilai statistik
dari Uji Hausmann tersebut lebih besar dari nilai kritis, maka model yang tepat adalah
model random effect, demikian pula sebaliknya, jika uji Hausmann tersebut lebih kecil
dari nilai kritis, maka model yang tepat adalah fixed effect.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
5. ANALISIS HASIL PENELITIAN
5.1. Statistik Deskriptik Variabel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta (BEJ) periode 1999 – 2004, terkumpul 100 perusahaan, dengan pengamatan
terhadap variabel RETURN, AKO (Arus Kas Operasi) dan PL (Persistensi Laba) yang
dihitung pada setiap perusahaan per tahun selama periode 1999 – 2004, sedangkan
variabel ekonomi makro terdiri atas variabel INFLASI, SBUNGA (Suku Bunga) dan
PKURS (Perubahan Kurs USD terhadap Rupiah) yang dihitung pertahun. Hasilnya
yaitu :
Tabel 5.1. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian per Tahun
Standard
No
Variabel
1 RETURN
2 AKO
Tahun
Rata-rata
Deviasi
1999
35.7747
121.8724
2000
23.6285
120.1447
2001
37.3771
154.0484
2002
71.5117
227.7138
2003
51.9781
222.3572
2004
42.1801
180.8242
1999
77,057.53 224,922.24
2000 187,544.78 463,460.79
2001 83,494.94
222,001.81
2002 181,160.39 653,790.87
2003
2004
3 PL
1999
83,256.38 220,358.14
243,902.33 634,038.00
0.5049
Bridging the Gap between Theory and Practice
14.6925
FACM07 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4 INFLASI
5 SBUNGA
6 PKURS
2000
-0.4269
10.1946
2001
-0.8490
5.3791
2002
-1.3778
12.5195
2003
2.4606
23.3614
2004
-0.5210
4.3082
1999
36.2832
0
2000
5.5195
0
2001
16.3077
0
2002
9.5238
0
2003
3.8647
0
2004
-3.0233
0
1999
34.6100
0
2000
20.0800
0
2001
17.8500
0
2002
19.2700
0
2003
18.2600
0
2004
14.9900
0
1999
-13.7349
0
2000
-17.0391
0
2001
27.2727
0
2002
9.2063
0
2003
-13.9922
0
2004
-9.0356
0
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata RETURN dari perusahaan-perusahaan
publik yang dijadikan contoh, tahun 1999 sebesar 35.7747 persen, 2000 23.6285
persen, 2001 37.3771 persen, 2002 71.5117 persen, 2003 51.9781 persen dan tahun
2004 42.1801 persen. Selama periode 1999 – 2004, terlihat rata-rata return tertinggi
tahun 2002 yaitu 71.5117 persen.
Variabel AKO (Arus Kas Operasi) rata-rata tahun 1999 sebesar 77,057.53, 2000
187,544.78, 2001
83,494.94, 2002 181,160.39, 2003 83,256.38 dan 2004
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
243,902.33. Selama periode 1999 – 2004, terlihat rata-rata AKO tertinggi tahun 2002
yaitu 181,160.39.
Variabel PL (Persaistensi Laba) rata-rata tahun 1999 sebesar 0.5049, 2000 0.4269, 2001 -0.8490, 2002 -1.3778, 2003 2.4606 dan 2004 -0.5210. Selama periode
1999 – 2004, terlihat rata-rata PL tertinggi tahun 2003 yaitu 2.4606.
Variabel ekonomi makro, dihitung tahunan, dan untuk setiap perusahaan adalah
sama, sehingga standard deviasinya sama dengan 0. Inflasi tahun 1999 sebesar
36.2832 persen, 2000
5.5195 persen, 2001 16.3077 persen, 2002 9.5238, 2003
3.8647 dan 2004 -3.0233. Dari tahun 1999 – 2004, tertinggi 36.2832 persen dan
terendah 2004 -3.0233 persen. Variabel suku bunga (SBUNGA) tahun 1999 34.6100
persen, 2000 20.0800 persen, 2001 17.8500, 2002 19.2700, 2003 18.2600 dan 2004
14.9900. Dari tahun 1999 – 2004, tertinggi tahun 1999 34.6100 persen dan terendah
2004 14.9900 persen. Variabel Perubahan Kurs USD terhadap Rupiah (PKURS)
tahun 1999 -13.7349 persen, 2000 -17.0391 persen, 2001 27.2727 persen, 2002
9.2063 persen, 2003 -13.9922 persen dan tahun 2004 -9.0356. Dari tahun 1999 –
2004, tertinggi tahun 2001 27.2727 persen dan terendah 2000 -17.0391 persen.
5.2. Pengujian Multikolinearitas
Sebelum penulis menguji hipotesis yang penulis ajukan, terlebih dahulu menguji
mengenai Uji Multikolearitas. Setelah uji multikolinearitas dilakukan, maka dapat
dengan mudah diketahui variabel-variabel bebas yang dipergunakan untuk menguji
hipotesis perlu dipertahankan atau tidak.
Untuk menguji multikolinearitas penulis menggunakan metode VIF an Tolerance.
Jika VIF lebih besar dari 10, berarti terjadi masalah multikolinearitas, sedangkan
Tolerance mendekati 1 berarti ada masalah multikolenearitas. Hasil pengujiannya
adalah :
Tabel 5.2.1 Hasil Pengujian Multikolinearitas Variabel Penelitian
No
1
2
3
4
5
6
Variabel
Tolerance VIF
AKO
0.9991
1.0010
PL
0.8316
1.2020
INFLASI
0.0107
93.0420
SBUNGA
0.0099 101.4840
PKURS
0.0614
16.2850
AKO*PL
0.8306
1.2040
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Hasil pengujian multikolinearitas, terlihat bahwa variabel INFLASI, SBUNGA dan
PKURS mengandung masalah multikolinearitas, untuk mengatasi hal tersebut, salah
satu variabel dikeluarkan dari persamaan. Hasilnya yaitu:
Tabel 5.2.2. Hasil Pengujian Multikolinearitas Variabel Penelitian Setelah
Variabel SBUNGA dikeluarkan
No
Variabel
Tolerance VIF
1 AKO
0.9991
1.0010
2 PL
0.8350
1.1980
3 INFLASI
0.9900
1.0100
4 PKURS
0.9860
1.0140
5 AKO*PL
0.8830
1.2000
Setelah variabel SBUNGA dikeluarkan, terlihat bahwa model sudah tidak
mengandung masalah multikolinearitas lagi.
5.3. Hubungan Antara AKO dan PL dengan PL sebagai Variabel Moderating
terhadap Return Saham .
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk membuktikan Hipotesis I
dipergunakan analisis Data Panel (Pooled Data). Untuk menentukan apakah akan
dipergunakan OLS biasa atau Fixed Effect, maka perlu dilakukan pengujian terlebih
dahulu. Hasil pengujian Model I dengan OLS adalah :
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 5.3.1 Hasil Analisis Pooled Data dengan OLS Model I
Dependent Variable: RETURN?
Method: GLS (Cross Section Weights)
Date: 06/01/08 Time: 02:59
Sample: 1999 2004
Included observations: 6
Number of cross-sections used: 100
Total panel (balanced) observations: 600
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
13.51920
0.889402
15.20033
0.0000
AKO?
1.75E-05
2.02E-06
8.639794
0.0000
PL?
0.191324
0.064419
2.969988
0.0031
AKO?*PL?
-2.24E-06
7.60E-07 -2.953052
0.0033
Weighted Statistics
R-squared
0.028100
Mean dependent var
39.8824
8
Adjusted R-squared
0.023208
S.D. dependent var
160.732
4
S.E. of regression
158.8563
Sum squared resid
1504026
1
F-statistic
5.743945
Durbin-Watson stat
1.59821
4
Prob(F-statistic)
0.000706
Unweighted Statistics
R-squared
-0.021588
Mean dependent var
43.7417
0
Adjusted R-squared
-0.026731
S.D. dependent var
176.448
0
S.E. of regression
178.7908
Sum squared resid
1905181
8
Durbin-Watson stat
1.266128
Tabel 5.3.1 menunjukkan bahwa dengan metode Pooled Data OLS hasilnya
signifikan, terlihat dari Probabilitas F-statistic untuk Weighted Statistics sama dengan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
0.000706, lebih kecil dari 5 persen (0.05). Sedangkan nilai dari Durbin-Watson stat
sebesar nilai DW 1.598214. Berdasarkan table D.5a halaman 818 (Gujarati,1995)
dengan n = 600 k = 3 dengan level of significance sebesar 5 persen didapat nilai dL
1.738 dan du 1.799. Karena nilai DW
lebih kecil dari dL maka dapat disimpulkan
bahwa terjadi korelasi positif. (Nachrowi dan Hardius, 2006).
Untuk mengatasi, dilakukan dengan Autoregresif, hasilnya adalah:
Tabel 5.3.2. Hasil Analisis Pooled Data dengan OLS Model I Setelah
Autokorelasi ditangani
Dependent Variable:
RETURN?
Method: Pooled Least Squares
Date: 06/01/08 Time: 03:13
Sample: 1999 2004
Included observations: 6
Excluded observations: 3
Number of cross-sections used: 100
Total panel (balanced) observations: 300
Convergence achieved after 5 iteration(s)
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable
C
AKO?
PL?
AKO?*PL?
AR(3)
R-squared
Adjusted Rsquared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Std.
Coefficient Error
123.454
0.000
0.136
0.000
0.760
0.2311
0.2206
186.2606
22.1625
0.0000
88.221
0.000
0.259
0.000
0.142
t-Statistic
1.399
0.840
0.528
-1.181
5.341
Mean dependent
var
S.D. dependent
var
Sum squared
resid
Durbin-Watson
stat
Bridging the Gap between Theory and Practice
Prob.
0.1628
0.4014
0.598
0.2384
0
55.223
210.986
10234440
1.855
FACM07 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dengan masukkan AR(3) terlihat bahwa statistik DW sama dengan 1.855, nilai
ini antara du dan 4 – du, dengan demikian model diatas sudah tidak mengandung
masalah autokorelasi. Selain itu, masalah heteroskeditas telah ditangani dengan
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance.
Tabel 5.3.3. Hasil Analisis Pooled Data dengan Fixed Effect Model I
Hasil menunjukkan bahwa dengan metode Pooled Data Fixed Effect hasilnya
signifikan, terlihat dari Probabilitas F-statistic untuk Weighted Statistics sama dengan
0.000000, lebih kecil dari 5 persen (0.05). Sedangkan nilai dari Durbin-Watson stat
sebesar nilai DW 2.403193. Berdasarkan table D.5a halaman 818 (Gujarati,1995)
dengan n = 600 k = 3 dengan level of significance sebesar 5 persen didapat nilai dL
1.738 dan du 1.799. Karena nilai DW lebih besar dari 4- dL maka dapat disimpulkan
bahwa terjadi korelasi negatif. (Nachrowi dan Hardius, 2006).
Dengan menggunakan AR(1) terlihat nilai DW 2.215847, antara nilai du sampai
dengan
4 - du menunjukkan bahwa model sudah tidak mengandung masalah
autokorelasi lagi.
Setelah model I dijalankan dengan Fixed Effect, sekarang model I dijalankan
dengan Random Effect, hasilnya adalah
menunjukkan bahwa nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.129181.
Berdasarkan table D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 3 dengan
level of significance sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.738 dan du 1.799. Karena nilai
DW
kecil dari 4- du
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah
autokorelasi. (Nachrowi dan Hardius, 2006).
Setelah masalah autokorelasi tertangani, maka langkah selanjutnya adalah
menentukan apakah model Pooled Data dengan OLS, Fixed Effect atau Random
Effect.
Langkah pertama adalah memilih apakah akan memakai model OLS atau Fixef
Effcet. Dari perhitungan didapat nilai F sama dengan 1.443043589, nilai ini jauh
dibawah dari F0.05(df
= 104,496)
sebesar 1.24 (Tabel D.3 p:815), sehingga dapat
disimpulkan bahwa untuk Model I, penggunaan model Fixed Effect lebih baik jika
dibandingkan dengan model OLS.
Langkah kedua adalah memilih apakah model Fixed Effect lebih baik jika
dibandingkan dengan model Random Effect. Hasil pengujian Uji Hausman
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menghasilkan nilai 7.41954. Tabel Chi Square dengan degree of freedom 3 dan alfa 5
persen adalah 5.99147 (Gujarati, 1995:817). Karena hasil uji Hausman lebih besar
dari table Chi Square dengan degree of freedom 3, maka disimpulkan bahwa Fixed
Effect lebih baik jika dibandingkan dengan Random Effect.
5.4. Hubungan Antara INFLASI dan PKURS terhadap Return.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk membuktikan Hipotesis 2
dipergunakan analisis Data Panel (Pooled Data). Untuk menentukan apakah akan
dipergunakan OLS biasa atau Fixed Effect, maka perlu dilakukan pengujian terlebih
dahulu. Hasil pengujian Model II dengan OLS adalah :
menunjukkan bahwa dengan metode OLS hasilnya signifikan, terlihat dari Probabilitas
F-statistic sama dengan 0.000000, lebih kecil dari 5 persen (0.05). Sedangkan nilai
dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 1.573559. Berdasarkan table D.5a halaman
818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 2 dengan level of significance sebesar 5
persen didapat nilai dL 1.748 dan du 1.789. Karena nilai DW lebih kecil dari dL maka
dapat disimpulkan bahwa terjadi korelasi positif. (Nachrowi dan Hardius, 2006).
Untuk mengatasi adanya masalah autokorelasi, dilakukan dengan autoregresif,
hasilnya yaitu:
Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Pooled Data dengan OLS Model II Setelah
Autokorelasi Tertangani
Dependent Variable:
RETURN?
Method: Pooled Least Squares
Date: 06/01/08 Time: 08:44
Sample: 1999
2004
Included observations: 6
Number of cross-sections used: 100
Total panel (balanced) observations: 400
Convergence achieved after 4 iteration(s)
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors &
Covariance
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Std.
Variable
Coefficient Error
C
-20.2428 14.87337
INFLASI?
PKURS?
-1.36101
0.1743
6.1509 2.026572 3.035124
0.0026
-2.40144 0.730463
AR(2)
R-squared
t-Statistic Prob.
-3.28756
0.0011
0.36678 0.172477 2.126549
0.0341
0.236256 Mean dependent var
50.76175
Adjusted R0.23047
squared
S.E. of regression
173.9177
S.D. dependent var
198.2582
Sum squared resid 11977964
Durbin-Watson
F-statistic
40.83284 stat
Prob(F-statistic)
1.877621
0
Tabel 5.4.2 menunjukkan bahwa nilai DW sama dengan 1.877621 lebih besar
dari du, dengan demikian masalah autokorelasi tertangani.
Selanjutnya dijalankan model II dengan Fixed Effect, hasilnya yaitu:
Tabel 5.4.3
menunjukkan bahwa dengan metode Fixed Effect hasilnya
signifikan, terlihat dari Probabilitas F-statistic sama dengan 0.000000, lebih kecil dari 5
persen (0.05). Sedangkan nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.248912.
Berdasarkan table D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 2 dengan
level of significance sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.748 dan du 1.789. Karena nilai
DW
lebih kecil dari 4-
dL
maka dapat disimpulkan bahwa terjadi tidak dapat
diputuskan apakah data mengandung masalah autokorelasi atau tidak. (Nachrowi dan
Hardius, 2006).
Kemudian model II dijalankan dengan Random Effect, hasilnya:
menunjukkan bahwa
nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.144536.
Berdasarkan table D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 2 dengan
level of significance sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.748 dan du 1.789. Karena nilai
DW
lebih besar dari du
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah
autokorelasi. (Nachrowi dan Hardius, 2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Selanjutnya adalah menguji apakah model OLS, random Effect atau Fixed Effcet
yang sesuai.
Langkah pertama adalah memilih apakah akan memakai model OLS atau Fixef
Effcet. Dari perhitungan didapat nilai F sama dengan 2.118761641, nilai ini diatas dari
F0.05(df
= 104,496)
sebesar 1.24 (Tabel D.3 p:815), sehingga dapat disimpulkan bahwa
untuk Model II, penggunaan model Fixed Effect lebih baik jika dibandingkan dengan
model OLS.
Langkah kedua adalah memilih apakah model Fixed Effect lebih baik jika
dibandingkan dengan model Random Effect. Hasil pengujian Uji Hausman
menghasilkan nilai 11.9564066. Tabel Chi Square dengan degree of freedom 3 dan
alfa 5 persen adalah 5.99147 (Gujarati, 1995:817). Karena hasil uji Hausman lebih
besar dari table Chi Square dengan degree of freedom 3, maka disimpulkan bahwa
Fixed Effect lebih baik jika dibandingkan dengan Random Effect.
Hubungan Antara AKO, PL, AKO*PL, INFLASI dan PKURS terhadap Return.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk membuktikan Hipotesis 3
dipergunakan analisis Data Panel (Pooled Data). Untuk menentukan apakah akan
dipergunakan OLS biasa atau Fixed Effect, maka perlu dilakukan pengujian terlebih
dahulu. Hasil pengujian Model III dengan OLS adalah :
Tabel 5.1.1 Hasil Analisis Model III dengan OLS
Dependent Variable: RETURN?
Method: GLS (Cross Section Weights)
Date: 06/01/08 Time: 09:11
Sample: 1999 2004
Included observations: 6
Number of cross-sections used: 100
Total panel (balanced) observations: 600
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors &
Covariance
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
C
- 2.283804 -3.285099
0.0011
7.502520
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
AKO?
9.77E-06 2.56E-06 3.822397
0.0001
PL?
0.264641 0.053526 4.944151
0.0000
AKO?*PL?
3.44E-07 7.47E-07 0.460845
0.6451
INFLASI?
2.119267 0.383742 5.522630
0.0000
PKURS?
- 0.152009 -8.690117
0.0000
1.320975
Weighted
Statistics
R-squared
0.083607
Mean dependent
var
Adjusted R-
0.075893
squared
S.D. dependent
var
S.E. of regression 150.0155
23.9504
0
156.054
0
Sum squared resid 133677
63
F-statistic
10.83864
Durbin-Watson stat 1.59208
0
Prob(F-statistic)
0.000000
Unweighted
Statistics
R-squared
0.108517
Mean dependent
var
Adjusted R-
0.101013
squared
S.D. dependent
var
S.E. of regression 167.2990
43.7417
0
176.448
0
Sum squared resid 166254
47
Durbin-Watson
1.441251
stat
Tabel 5.1.1 menunjukkan bahwa model tersebut signifikan, terlihat dari
probabilitas F-statistic sama dengan 0.0000, lebih kecil dari 5 persen. sedangkan nilai
dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 1.441251. Berdasarkan table D.5a halaman
818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 5 dengan level of significance sebesar 5
persen didapat nilai dL 1.718 dan du 1.820. Karena nilai DW lebih besar dari dL maka
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
dapat disimpulkan bahwa terjadi masalah autokorelasi positif. (Nachrowi dan Hardius,
2006).
Tabel 5.1.2 Model III dengan OLS setelah Autokolreasi Tertangani
Dependent Variable: RETURN?
Method: Pooled Least Squares
Date: 06/01/08 Time: 09:17
Sample: 1999 2004
Included observations: 6
Number of cross-sections used: 100
Total panel (balanced) observations: 500
Convergence achieved after 7 iteration(s)
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors &
Covariance
Variable
Coefficien
Std. Error
t-Statistic
Prob.
10.90119 -2.317680
0.0209
1.43E-05
0.237687
0.8122
0.224190 -0.084069
0.9330
t
C
-25.26548
AKO?
3.39E-06
PL?
-0.018847
AKO?*PL?
3.07E-06
3.26E-06
0.941857
0.3467
INFLASI?
5.541601
1.400230
3.957637
0.0001
PKURS?
-2.502448
0.552928 -4.525809
0.0000
AR(1)
0.265367
0.114572
2.316164
0.0210
0.225722
Mean dependent var
45.3351
R-squared
0
Adjusted R-squared 0.216298
S.D. dependent var
185.502
4
S.E. of regression
164.2196
Sum squared resid
1329525
9
F-statistic
23.95364
Durbin-Watson stat
2.26125
3
Prob(F-statistic)
0.000000
Nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.262253. Berdasarkan table
D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 5 dengan level of significance
sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.718 dan du 1.820. Karena nilai DW lebih kecil dari
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4- dL maka tidak dapat disimpulkan apakah terjadi masalah autokorelasi. (Nachrowi
dan Hardius, 2006).
Hasil Model III dengan Fixed Effect
Nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.411855 . Berdasarkan table
D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 5 dengan level of significance
sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.718 dan du 1.820. Karena nilai DW lebih kecil dari
4- dL maka tidak dapat disimpulkan apakah terjadi masalah autokorelasi. (Nachrowi
dan Hardius, 2006).
Model III dengan Random Effect
Nilai dari Durbin-Watson stat sebesar nilai DW 2.123379. Berdasarkan table
D.5a halaman 818 (Gujarati,1995) dengan n = 600 k = 5 dengan level of significance
sebesar 5 persen didapat nilai dL 1.718 dan du 1.820. Karena nilai DW lebih kecil dari
4- du
maka disimpulkan tidak ada masalah autokorelasi. (Nachrowi dan Hardius,
2006).
Selanjutnya adalah menguji apakah model OLS, random Effect atau Fixed Effcet
yang sesuai.
Langkah pertama adalah memilih apakah akan memakai model OLS atau Fixef
Effcet. Dari perhitungan didapat nilai F sama dengan 3.496705659, nilai ini lebih
besar dari F0.05(df = 104,496) sebesar 1.24 (Tabel D.3 p:815), sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk Model III, penggunaan model Fixed Effect lebih baik jika dibandingkan
dengan model OLS.
Langkah kedua adalah melihat model yang lebih sesuai diantara Fixed Effect
dan Random Effect. Dengan Uji Hausmann hasilnya yaitu 14.4384861133, Tabel Chi
Square dengan degree of freedom 3 dan alfa 5 persen adalah 5.99147 (Gujarati,
1995:817). Karena hasil uji Hausman lebih besar dari table Chi Square dengan
degree of freedom 3, maka disimpulkan bahwa Fixed Effect lebih baik jika
dibandingkan dengan Random Effect.
5.6. Pembahasan Hasil Penelitian
Sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya, untuk model I, Model II
maupun Model III yang sesuai adalah Model Fixed Effect.
Penelitian ini tidak mampu membuktikan hipotesis I yang penulis ajukan yaitu
adanya hubungan antara AKO dan PL sebagai variable moderating dengan Return
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
saham. Koefisien Determinasi model adalah 0.542855, dengan Adjusted R-Squared
0.423951 artinya model ini mampu menjelaskan sekitar 54.28 persen dari variasi
Return saham, sedangkan sisanya sebesar 45, persen dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak dimasukkan kedalam model. Arah dari variable AKO tidak sesuai yang
diharapkan, diharapkan akan bertanda positif dan signifikan, sedangkan hasil
penelitian ini adalah negatidf tidak signifikan.
Sedangkan pengaruh dari variable PL sesuai yang diharapkan, yaitu positif
signifikan, namun pengaruh moderating dari variable PL tidak signifikan, dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh variable PL adalah langsung terhadap
return saham.
Penelitian ini juga mampu membuktikan hipotesis 2 yang penulis ajukan yaitu
adanya pengaruh variable INFLASI dan PKURS terhadap return saham. Koefisien
Determinasi dari Model II adalah 0.60702 dan Adjusted R-squared 0.52732, artinya
model ini mampu menjelaskan 60,7 persen variasi dari variabel Return saham,
sedangkan sisanya sebesar 39,3 persen disebabkan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan kedalam model. Pengaruh dari variable INFLASI ternyata tidak sesuai
dengan yang diharapkan yaitu negative dan signifikan, sedangkan dari hasil penelitian
ini hasilnya positif dan signifikan. Variabel PKURS sesuai dengan yang diharapkan
yaitu negative dan signifikan.
Penelitian ini juga mampu membuktikan hipotesis 3 yang penulis ajukan yaitu
adanya pengaruh variabel AKO, PL, AKO*PL, INFLASI dan PKURS terhadap return
saham. Koefisien Determinasi dari Model III adalah 0.636737 dan Adjusted-Rsquarednya adalah 0.560416. Artinya, model ini mampu menjelaskan sekitar 63,67
persen dari variasi return saham, sedangkan sisanya sebesar 37,23 seebabkan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model. Variabel AKO pada model III
hasilnya konsisten dengahn hasil model I yaitu bertanda negatif tidak signifikan.
Variabel PL pada model III, tandanya tetap positif, tetapi tidak signifikan. Pengaruh
intervening dari variabel PL ternyata konsisten antara model I dan Model III yaitu tidak
signifikan. Variabel INFLASI ternyata pengaruhnya tidak konsisten, yaitu berubah
menjadi negatif dan signifikan, sedangkan variabel PKURS konsisten yaitu tetap
negatif dan signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Board dan Day
(1989) yaitu data arus kas tidak mempunyai kandungan informasi dalam
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
hubungannya dengan harga saham. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meythi
(2006) menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh arus kas operasi terhadap harga
saham dengan persistensi laba sebagai variabel intervening, sehingga hipotesis
penelitian tidak mendapat dukungan empiris.
Pengaruh variabel INFLASI terhadap return saham tidak selalu konsisten negatif.
Sakhowi (1999) menunjukkan bahwa inflasi bertanda positif dan signifikan dengan
retusn saham, persentase perubahan nilai tukar negatif signifikan, sedangkan suku
bunga bertanda negatif tetapi tidak signifikan. Panjinegara (2000) menemukan inflasi
berpengaruh positif terhadap return saham baik pada periode I maupun periode II.
Variabel INFLASI yang tidak konsisten, yaitu bertanda positif dan signifikan pada
Model II dan negatif signifikan pada Model III.
Pengaruh variabel PKURS dalam penelitian ini konsisten yaitu negatif dan
signifikan, baik pada model II maupun model III. menurunnya kurs rupiah terhadap
mata uang asing, khususnya US Dollar, akan memiliki pengaruh negatif terhadap
ekonomi dan pasar modal. Karena menurunnya kurs akan meningkatkan biaya impor
bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga dapat
meningkatkan biaya produksi. Menurunnya kurs juga akan mendorong meningkatnya
suku bunga dalam negeri sehingga dalam negeri tetap menjadi lingkungan investasi
yang menarik.
Penelitian variabel PKURS ini konsisten dengan hasil yang dilakukan oleh
Sakhowi (1999) menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar rupiah atas USD pada
level lag 1 dan lag 3 memberi pengaruh netaif secara signifikan terhadap imbal hasil
IHSG. Panjinegara (2000) menunjukkan bahwa nilai tukar bertanda negatif dan
signifikan.
6. Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Berdasarkan Adjusted R-Squared, ternyata model III (0.560416) lebih baik
jika dibandingkan dengan Model I (0.423951) dan Model II (0.52732).
Dengan demikian, untuk menduga return saham perlu penggabungkan baik
faktor intern maupun faktor ekstern perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh arus kas operasi
terhadap
harga
saham
dengan
persistensi
laba
sebagai
variabel
moderating, dari hasil penelitian tidak signifikan sehingga tidak mendapat
dukungan empiris.
3.
Hasil penelitian ini mampu membuktikan hipotesis 2 dan 3 yang penulis
ajukan. Yaitu terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara inflasi,
suku bunga dan perubahan kurs nilai USD terhadap rupiah dengan return
saham dan pada hipotesis 3 Arus kas operasi dengan Presistensi laba
sebagai variable moderating, berpengaruh positip terhadap harga saham,
inflasi, suku bunga dan perubahan kurs nilai USD trehadap rupiah
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham
4.
Penggunaan variabel INFLASI dalam menduga return saham perlu
dicermati, karena pengaruhnya tidak konsisten.
6.2. Saran dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu :
1. Penelitian ini hanya meliputi sektor manufatur saja, sehingga hasilnya belum
tentu sama untuk sektor yang lain. Karena itu, disarankan
untuk
menggunakan seluruh perusahaan yang ada sebagai sample penelitian.
Namun mengingat karakteristis industri yang berbeda, perlu dipikirkan
penggunaan variabel dummy.
2. Perlu dimasukkan variabel internal lain, seperti Debt Equity Ratio, Price Book
Value, Price Earning Ratio dan lainnya, karena terbukti variabel-variabel ini
berhubungan signifikan terhadap return saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Amling, Frederick, 1989. Investment: An Introduction to Analysis and Management,
Sixth Edition, Prentice-Hall Inc, USA.
Anonymous,
2003,
Fundamental
Analysis
and
Technical
Analysis,
www.stocksabout.com.
Banz, R.W. “The Relationship between Return and market Value of Common Stock”,
Journal of Financial Economis, 1981, pp 3 – 18
Basu, S. “Investment Performance of Common Stock in Relation to Their Price
Earning Ratio : A Test of The Efficient Market Hypothesis,” Juni 1977, pp 663 –
683
Board, J.L.G., dan J.F.S. Day. 1989. The Information Content of Cash Flow Figures.
Accounting and Business Research. pp. 3-11
Chen, N.F. R. Roll dan S.A. Ross. 1986. “Economic Forces and Stock Market”,
Journal of Busieness 59, pp : 383-403.
Fama, E,F dan K.R. French, 1992.“The Cross-section of Expected Stock return,”
Journal of Finance Economic, Vol 47. No. 2. 1992, pp : 427-465.
Fama, E,F dan K.R. French, 1996.“ Multifactor Explanations of Asset Pricing
Anomalies”, Journal of Finance. Vol LI. March, 1996.
Feridhanusetyawan, T. 1997. “ Nilai Tukar Rupiah”. Usahawan. No.10. th. XXVI.
Oktober 1997.
Gujarati, D.N. 1995. 3rd ed. “Basic Econometric”. Mc. Graw Hill
Hamada, Robert S. “The Effect of the Firm’s Capital Structure pn the Systematic Risk
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
of Common Stocks”. Journal of Finance. Vol XXVII, May 1972. Pp : 435-452
Harianto, F dan Sudomo, S (editor) “ Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di
Pasar Modal Indonesia.” PT. BEJ, 1998.
Husnan, Suad. 1998. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. PPPAMP
YKPN. Yogyakarta. 1998
Kormedi, R., dan R. Lipe. 1987. Earnings Innovations, Earnings Persistence, and
Stock Returns. Journal of Business 60 (3). pp. 323-345.
Kwons, C.S. dan F.K. Bacon. 1997. “The Effect of Macroeconomic variables on
Stock Market Returns in Developing Markets”. Multinational Business Reviews.
pp : 63-70.
Lev, B., dan Thiagarajan, R., ”Fundamental Information Analysis”, Journal of
Accounting Research, 31, 190 – 215, 1993.
Manurung, Adler Haymans. 1996. Pengaruh Variabel Makro, Investor Asing, Bursa
yang Telah Maju terhadap Indeks Bursa Efek Jakarta”. Thesis. Fakultas
Ekonomi. Program Studi Pascasarjana Universitas Indonesia.
Meythi, 2006. Pengaruh Arus Kas Operasi Terhadap Harga Saham Dengan
Persistensi Laba Sebagai Variabel Intervening. Simposium Nasional Akuntansi
9. Padang
Nelson, C.R. 1976. “Inflation and Rates of Return on Common Stocks”, Journal of
Finance, Vol XXXI. No. 2. May 1976.
Panjinegara, Prakarsa. 2000. “Analisis Pengaruh Perkembangan variabel Makro
Ekonomi terhadap Tingkat Pengembalian Saham di BEJ pada Periode Sebelum
Krisis Moneter dan Periode Krisis Moneter di Indonesia,”. Tesis pada Program
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium,
and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1998. 4th ed. “Econometric Models and Economic
Forecast”. Mc. Graw Hill
Poons, S. dan S.J. Taylor. 1991. “Macroeconomic factors and the Uk Stock Market”,
Journal of Business & Accounting 18, pp: 619-636.
Quirin, Jeffrey J. dan Arthur Allen, “The Effect of Earnings Permanence on
Fundamental Information Analysis”, The Mid-Atlantic Journal of Business; Dec.
2000, Vol. 36, Number 4.
Sakhowi. A. 1999. ”Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi dan Tingkat Bunga
terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta”. Tesis. Pascasarjana FEUI.
Sloan, R.G. 1996. Do Stock Prices Fully Reflect Information in Accruals and Cash
Flows about Future Earnings? The Accounting Review 71 (July). pp. 289-315.
Sudjono. 2002. Analisis Keseimbangan dan Hubungan Simultan Antara Variabel
Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham di Bursa Efek Jakarta dengan
Metode Var dan ECM. Disertasi. Pascasarjana FEUI.
Sunariyah, 2004 ”Pengantar Pengetahuan Pasar Modal”, Edisi Keempat, UPP AMP
YKPN, Yogyakarta.
Triyono., dan J. Hartono. 2000. Hubungan Kandungan Informasi Arus Kas,
Komponen Arus Kas, dan Laba Akuntansi dengan Harga atau Return Saham.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, vol. 3, no. 1 (Januari). pp. 54-68.
Widodo. P. 2003. ”Beberapa Model untuk menduga Return Saham Individual
Bulanan yang Listing di BEJ Periode Januari 1998 sampai dengan Desember
2002 dan Pengujian akurasinya dengan RMSE”. Tesis. Pascasarjana FEUI.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM07 - 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAMPAK STOCK SPLIT TERHADAP LIKUIDITAS SAHAM DI BEJ:
Observasi Periode Juli 1998-Juni 2004
Ignatius Roni Setyawan
Mahasiswa Program S3 FE-UI Jurusan Manajemen
Abstract
This study has aim to re-exam the effectiveness of liquidity hypothesis in
stock split. Liquidity hypothesis is defined as the returning stock price to the optimal
trading range and the beginning many odd-lot investors become to round-lot
investors. Based on model of Ekaputra & Putri (2006); which stressed on the
association price, trading volume & volatility of stock toward relative spread, I begin
to conduct this research. I guess model of Ekaputra & Putri (2006) was the most
effective. Because not only it can prove the evidence of liquidity hypothesis in stock
split of Indonesian Capital Market but also can make reconciliation about pros &
cons at the previous research.
My test of liquidity hypothesis consist two levels such as: 1) Paired t-test
among stock price, trading volume, volatility and liquidity before and after stock split.
2) OLS-test focuses on the consistency at model of Ekaputra & Putri (2006). By
supporting the study from Kim, et.al (2007) and Dyl & Elliot (2006), I include
Amihud’s Illiquidity as an alternative proxy of liquidity and start to add the ratio of
stock split in analysis. However I do not forget to bring the dummy variable of stock
split as in model of Ekaputra & Putri (2006). Because I have motivation to expand
the model of Ekaputra & Putri (2006) i.e. begin to consider and analyze the
interaction between dummy variable of stock split and independent variables.
According to paired t-test, I find generally alternative hypothesis of liquidity
are accepted. Stock price and volatility has decreased after stock split, while trading
volume was on the contrary. The liquidity of stock is almost decreasing, unless
proxy of relative spread. My finding is consistent with Fatmawati & Asri (1999) and
perhaps Conroy, et.al. (1990). Then in OLS-test; I indicate the effect of stock price
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
and trading volume toward liquidity has the appropriate sign with the alternative
hypothesis especially in data panel of decreasing of tick-size & the ratio of non 2:1.
Volatility of stock has only significant effect toward Amihud’s illiquidity during stock
split. I have an argument about this findings i.e. my proxy of volatility is different
with Ekaputra & Putri (2006) and the uniqueness of relative spread that tend to
increase after stock split. In analyzing from dummy variable of stock split and the
interaction with independent variables based on Ekaputra & Basharat (2006); I find
only significant impact in price variable at the decreasing tick-size group and ratio
non 2:1. My result is consistent with Ekaputra & Putri (2006) that state event of stock
split has more significant role toward liquidity in this group. The phenomenon of my
study is liquidity of stock during stock split has been most-controlled by trading
volume. Finally the implication is stock split can improve the level of relative spread
as the better liquidity proxy than Amihud’s Illiquidity.
Keywords:
Stock Split; Liquidity Hypothesis; Relative Spread; Amihud’s Illiquidity
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Banyak riset stock split di Amerika Serikat lebih menitikberatkan pada aspek
reaksi pasar. Seperti diketahui ada tiga hipotesis utama dibalik tindakan stock split
perusahaan yang diperhatikan oleh investor. Masing-masing hipotesis memiliki ciri
khas tersendiri. Ada hipotesis signaling dari Brennan & Copeland (1988) yang
menyatakan stock split dipandang sebagai sinyal positif oleh emiten untuk
memberikan keyakinan pada investor bahwa prospek perusahaan akan lebih baik.
Sinyalemen ini dapat berhasil dengan baik apabila memang tujuan stock split adalah
untuk meningkatkan kinerja fundamental perusahaan. Studi Brennan & Copeland
(1988) juga didukung oleh studi Greenbalt, et.al. (1984) dan Lakonishok & Lev
(1987). Selain hipotesis signaling; juga terdapat hipotesis liquidity dari Lamoreux &
Poon (1987). Mereka menyatakan bahwa motif pelaksanaan stock split adalah
mengembalikan level harga saham perusahaan ke optimal trading range.
Argumentasi utama pendukung hipotesis ini adalah karena harga saham
perusahaan sudah amat over-valued; sehingga dikuatirkan dalam jangka panjang
investor akan meninggalkan perusahaan tersebut. Berhubungan dengan motif ke
level harga yang optimum, maka di dalam hipotesis liquidity; sebenarnya juga
terkandung hipotesis optimal trading range.
Beberapa hasil studi tersebut kemudian diacu juga oleh kelompok periset di
Indonesia. Sepanjang observasi penulis; hampir semua peneliti bertitik-tolak dari
hipotesis likuiditas. Bisa saja citra stock split di BEJ memang sudah identik dengan
motif perbaikan level perdagangan saham. Ada banyak contoh riset seperti
Fatmawati & Asri (1999); Ewijaya & Nur Indriantoro (1999); Miliasih (2000);
Marwata (2001); Khomsiyah & Sulistiyo (2001), Najmuddin (2002); Rohana (2003);
Ekaputra & Putri (2006) dan masih banyak lagi. Hampir semua kelompok peneliti
memakai metodologi event study yakni beberapa hari sebelum dan sesudah stock
split bagaimanakah profil likuiditas saham perusahaan. Ternyata sebagian besar
hasilnya memiliki hasil beragam (lihat Ekaputra & Putri, 2006). Karena setelah stock
split; likuiditas ada yang menurun dan meningkat meskipun terdeteksi bahwa
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
volume perdagangan dan frekuensi perdagangan saham meningkat. Beberapa
kelompok studi yang berhasil adalah Baker & Gallagher (1980); dan Lamoreux &
Poon (1987); sedangkan studi Copeland (1979) dan Conroy, et.al. (1990) tidak
berhasil membuktikan hipotesis likuiditas atau optimal trade range. Hasil studi di
Indonesia juga beragam; Najmuddin (2002) malah menemukan fenomena ganda; di
satu sisi mendukung kenaikan likuiditas tetapi di sisi lain tidak. Fatmawati & Asri
(1999) malah menemukan penurunan likuiditas pasca stock split yang berarti
mendukung Copeland (1979) dan Conroy, et.al. (1990).
Penulis melihat penyebab utama beragamnya hasil studi tersebut adalah
pemakaian variabel bid-ask spread dan metode analisis yang dipakai. Sebagaimana
diketahui karakter dasar BEJ berbeda dengan NYSE. BEJ cenderung order-driven
market sementara NYSE lebih bersifat dealer-driven market. Dealer jelas sangat
concern dengan variabel bid-ask spread; karena spread merupakan pendapatan
utama dalam perdagangan. Lain halnya dengan BEJ; bid-ask spread cenderung
hanya dipentingkan di pasar negosiasi. Agar dukungan terhadap hipotesis ini
berhasil, nampaknya penulis memerlukan definisi variabel bid-ask spread yang
relevan. Ekaputra & Putri (2006) mengusulkan dua proxy likuiditas yakni relative
spread dan depth to relative spread. Ternyata proxy relative spread lebih relevan.
Uniknya lagi Ekaputra & Putri (2006) berhasil menemukan determinan-determinan
likuiditas dalam rangka stock split seperti harga, volume perdagangan dan volatilitas
saham.
Guna mengefektifkan studi ini, penulis akan memakai kembali model analisis
dalam studi Ekaputra & Putri (2006) yakni dengan OLS. Penulis tidak mereplikasi
murni, melainkan memodifikasi dengan desain studi Kim, et.al. (2007) dan Dyl &
Ellliot (2006). Beberapa variabel bebas seperti volume perdagangan; volatilitas dan
harga saham masih tetap dipertahankan, hanya variabel terikat saja yang ada
perubahan. Studi penulis juga berbeda dengan Kim, et.al. (2007) yakni penulis tidak
memakai variabel investor base dan kepemilikan publik. Alasan penulis adalah
kesulitan untuk mendapatkan akses datanya terutama untuk investor base (jumlah
pemegang saham) dan kepemilikan publik. Selain itu alasan yang lain adalah tidak
signifikannya kepemilikan publik terhadap likuiditas saham pada waktu pengujian
pendahuluan untuk kasus saat stock split. Namun demikian, penulis masih akan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
memakai variabel Amihud’s Illiquidity sebagai proxy alternatif likuiditas dan faktor
harga saham sebagai salah salah satu determinan kunci likuiditas untuk kasus stock
split. Pertimbangan penulis, variabel Amihud’s Illiquidity masih baru untuk kasus
BEJ di samping variabel depth to relative spread dalam studi Ekaputra & Putri
(2006) terbukti kurang efektif. Kemudian variabel harga saham secara statistik
signifikan baik dalam model Ekaputra & Putri (2006) serta Kim, et.al. (2007).
Sementara itu secara year to year jumlah kasus stock split di BEJ sejak tahun
1993 memang mengalami peningkatan. Tetapi sejak tahun 1997 yang merupakan
puncak kasus stock split sebanyak 44 kasus; pola grafis kejadian stock split menjadi
berfluktuatif.
Dugaan penulis, ada ketidak-seragaman di antara emiten dalam
keputusan melakukan stock split baik yang percaya stock split meningkatkan
likuiditas saham atau tidak. Grafik jumlah kejadian stock split tahun 1997-2006
nampak sebagai berikut:
Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kasus Stock Split di BEJ 1997-2006
Kalau mencermati gambar 1 di atas penulis berpikir fluktuasi jumlah kasus
stock split bisa mempengaruhi hasil pengujian hipotesis. Seperti pada Fatmawati &
Asri (1999) yang hasil studinya menentang liquidity hypothesis atau Najmuddin
(2002) yang malah menemukan fenomena ganda yakni terjadi kenaikan dan
penurunan likuiditas saham setelah stock split. Penulis menduga tahun 1997
sebagai penyebabnya adalah data-data pedagangan saham menjadi tidak wajar
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
lagi. Umpamanya volatilitas return saham sangat tinggi. Banyak perusahaan gopublic melakukan stock split untuk menarik perhatian investor publik sehingga
frekuensi perdagangan sahamnya menjadi naik kembali. Atas dasar fenomena di
gambar 1.1. dan uraian sebelumnya tentang pro-kontra hasil riset-riset tentang
keterkaitan stock split dan likuiditas saham; maka penulis tertarik untuk mengambil
judul penelitian “Dampak Stock Split Terhadap Likuiditas Saham di BEJ:
Observasi Periode Juli 1998 – Juni 2004” .
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah; penulis dapat menyajikan empat
permasalahan pokok sebagai berikut:
a) Apakah volume perdagangan saham mengalami kenaikan setelah stock
split?
b) Apakah fenomena yang sama akan diikuti pula oleh harga saham?
c) Apakah benar volatilitas saham juga akan turun setelah stock split?
d) Seandainya perilaku volume perdagangan, harga
dan volatilitas
saham
sesuai dengan harapan, maka apakah ketiganya akan memberikan pengaruh
secara signifikan terhadap likuiditas saham untuk kejadian selama stock
split?
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
a) Mengidentifikasi perilaku volume perdagangan, volatilitas dan harga saham
suatu perusahaan selama kejadian stock split.
b) Mempelajari dampak perilaku ketiga variabel tersebut selama kejadian stock
split terhadap likuiditas saham yang bersangkutan.
I.3.2.Tujuan Khusus
Sebenarnya merupakan penyataan positif perumusan masalah (I.2.) dan
tujuan khusus berfungsi memperjelas tujuan umum. Maka tujuan khusus sebagai
berikut:
a) Membuktikan kenaikan atau penurunan volume perdagangan pasca stock
split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
b) Membuktikan kenaikan atau penurunan harga saham setelah stock split.
c) Membuktikan kenaikan atau penurunan volatilitas saham setelah stock split.
d) Menganalisis pengaruh volume perdagangan, harga dan volatilitas saham
terhadap likuiditas saham selama stock split secara simultan dan parsial.
I.4. Kontribusi Penelitian
I.4.1. Aspek Akademis
Penulis beragumentasi fenomena stock split masih menarik untuk dikaji.
Walaupun aspek kajian masih lebih dititikberatkan pada pembuktian hipotesis
likuiditas dan optimal trade range. Pentingnya kajian penulis ini adalah untuk
mengimplementasikan hipotesis liquidity dan optimal trade range dengan data-data
di BEJ. Dalam variabel volume perdagangan dan volatilitas saham akan tercermin
benar hipotesis liquidity. Karena kalau saham itu sangat likuid dengan atau tanpa
kejadian stock split maka seharusnya nilai volume perdagangan tinggi dan nilai
volatilitas return rendah. Sedangkan variabel harga saham akan mencerminkan
aplikasi hipotesis optimal trade range. Karena setelah stock split, umumnya harga
saham akan mengalami penurunan akibat faktor koreksi sesuai rasio stock split.
I.4.2. Aspek Manajerial
Selama ini terkesan kaum praktisi yakni emiten dan investor lebih
mementingkan outcome dari stock split. Emiten lebih menginginkan harga saham
menjadi undervalued sehingga makin banyak investor yang akan berminat menjadi
pemegang saham. Sementara para investor (lihat investor odd-lot) menginginkan
capital gain yang lebih besar yakni mereka akan mencapai selisih harga beli dan
harga jual yang sangat besar bila berhasil memanfaatkan momentum stock split
dengan akurat. Kalau yang dipentingkan hanya outcome; bisa terjadi harapan
emiten dan investor terkait benefit dari stock split tidak terealisir. Karena faktor
asimetrik informasi demikian dominan di bursa. Para investor lebih menginginkan
abnormal return positif sementara sisi emiten lebih menginginkan level harga pasar
yang lebih optimum.
Maka penulis berharap hasil riset ini bisa dipakai sebagai
masukan strategik bagi para praktisi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
I.5. Keterbatasan
a) Penulis tidak memasukkan fenomena data stock split sebelum 1997, oleh karena
aktualitas fenomena data periode 1993-1997 tidak sekuat aktualitas fenomena
data periode 1998-2004. Di samping itu periode 1993-1997 sudah banyak diteliti
oleh periset Indonesia seperti Fatmawati & Asri (1999) Ewijaya & Nur Indriantoro
(1999); Miliasih (2000);
Marwata (2001); Khomsiyah & Sulistiyo (2001) dan
Najmuddin (2002).
b) Penulis tidak membahas dual-class stock split seperti dalam studi Kim, et.al
(2007) karena fenomena dual-class stock split masih kalah dominan dengan
fenomena regular stock split di BEJ dan relatif jarang ditemukan di BEJ. Dugaan
bahwa saham dwiwarna seri A dan B terkait dengan dual-class stock split juga
masih belum relevan.Selain itu pembahasan dual-class stock split juga sangat
kompleks karena harus membedah persoalan corporate governance [penentuan
class flow right dan voting right antara pemegang saham lama dan baru].
c) Penulis hanya menggunakan model analisis OLS (Ordinary Least Square) untuk
menguji efek stock split terhadap likuiditas. Sebenarnya memang menarik untuk
mengestimasi probabilitas keputusan stock split perusahaan dengan model
logit/probit karena ada dukungan dua riset yakni Dyl & Elliot (2006) serta Hwang,
et.al. (2005). Tetapi menurut penulis analisis reaksi pasar yang ditentukan
dengan likuiditas setelah stock split untuk kasus BEJ lebih penting dibandingkan
sekedar estimasi probabilitas perusahaan yang akan melakukan stock split.
d) Penulis akhirnya tidak memasukkan variabel kepemilikan baik itu investor base
dan kepemilikan publik dalam studi stock split. Pertimbangan penulis, adalah
varibel tersebut tidak signifikan dalam pengujian pendahuluan. Karenanya
penulis berpikir diperlukan periode waktu yang sangat panjang sekitar 20-30
tahun seperti studi Amihud, et.al. (1999) dan Dyl & Elliot (2006) agar variabel
kepemilikan memiliki kontribusi signifikan.
e) Pengujian dengan data intrahari sementara belum sempat dilakukan karena
penulis memiliki motivasi untuk memperkokoh hasil penelitian stock split di
Indonesia terutama untuk yang daily. Hal ini atas dasar pertimbangan hasil
penelitian tentang stock split di Indonesia masih beragam perihal likuiditas yang
semakin meningkat atau menurun pasca stock split. Tentunya harus diklarifikasi
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
terlebih dulu apa yang menjadi penyebab apakah dari variabel ataukah model
risetnya.
I.6. Asumsi Penelitian
Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki maka penulis menggunakan
beberapa asumsi sebagai berikut:
a) Hipotesis yang menjadi acuan riset ini adalah liquidity hypothesis.
Pertimbangan penulis karena dua riset yang menjadi pedoman yakni
Ekaputra & Putri (2006) serta Kim, et.al. (2007) memang membangun model
riset berbasis pada dimensi likuiditas saham yang diukur dengan bid-ask
spread.
b) Pelaksanaan riset dilakukan pada semua unit analisis yakni perusahaan gopublic di BEJ yang melakukan stock split pada periode Juli 1998 – Juni 2004.
Fokus pembahasan yakni kejadian sebelum dan sesudah stock split. Sistem
analisis pada tipe rasio stock split 2:1 dan non 2:1 dan kelompok tick size
baik yang tetap atau yang turun. Langkah ini berguna memiliki kesimpulan
yang memperkuat hasil studi Ekaputra & Putri (2006) dan Kim, et.al. (2007).
c) Perlunya melakukan desain analisis secara deskriptif, komparasi dan asosiasi
untuk mengarahkan implementasi hipotesis liquidity dalam stock split sesuai
dengan landasan teori. Analisis deskriprif dilakukan dengan grafis, kemudian
analisis komparasi dilakukan dengan uji-t dan bagian analisis asosiasi
dilakukan dengan model regresi berganda. Masalah outlier data yakni data
bid & ask price yang tidak lengkap harus diperhatikan dalam studi ini. Sebab
ada beberapa sampel yang kosong datanya beberapa hari sebelum stock
split.
I.7. Sistematika Penulisan
Pendahuluan berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, tujuan penelitian, dan kontribusi
penelitian. Landasan Teori
membicarakan tentang tinjauan umum stock split; motif & dampak stock split; prokontra & pandangan akademisi tentang stock split dan pengembangan hipotesis &
model. Metode Penelitian menjabarkan jenis dan sumber data, populasi &
sampel, definisi operasional variabel dan metode analisis data. Hasil Penelitian &
Pembahasan menguraikan analisis dan hasil penelitian dan merupakan jawaban
permasalahan yang ada. Kesimpulan & Saran membahas kesimpulan berdasarkan
hasil analisis serta memberikan saran – saran sehubungan dengan kesimpulan
yang telah diambil.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Umum Tentang Stock Split
Ada beberapa definisi umum tentang stock split dari berbagai peneliti
terdahulu. Seperti misalnya Downes & Goodman seperti dikutip oleh Ewijaya & Nur
Indriantoro (1999), menyatakan stock split adalah penambahan jumlah lembar
saham beredar suatu perusahaan tanpa perubahan apapun dalam ekuitas
pemegang saham. Selain itu juga ada Marwata (2001) yang menyatakan bahwa
stock split adalah memecahkan saham menjadi n lembar saham. Pemecahan
saham mengakibatkan bertambahnya jumlah lembar saham yang beredar tanpa
transaksi jual beli yang mengubah besarnya modal. Harga per lembar saham adalah
sebesar 1/n dari harga sebelum pemecaham saham atau stock split. Ewijaya & Nur
Indriantoro (1999) menyatakan bahwa stock split merupakan perubahan nilai
nominal per lembar saham dan perubahan jumlah lembar saham beredar sesuai
dengan faktor split. Pemecahan saham tersebut tidak akan mengakibatkan
perubahan pada perubahan jumlah modal dan tidak mempengaruhi aliran kas
perusahaan. Sedangkan Sartono (2001) seperti dikutip dalam Susanti, et.al. (2005)
menyatakan stock split adalah pemecahan nilai nominal saham ke dalam nilai
nominal yang lebih kecil. Selanjutnya jumlah
lembar saham akan meningkat
proporsional dengan penurunan nilai nominal.
Berdasar uraian di atas, maka definisi stock split berhubungan dengan
penurunan nilai nominal dan peningkatan jumlah lembar saham beredar. Lantas
stock split akan berpengaruh langsung terhadap variabel-variabel perdagangan
saham seperti harga saham, volume perdagangan perdagangan, frekuensi
perdagangan dan selisih harga penawaran beli dan jual (bid-ask spread).
Sementara variabel-variabel keuangan seperti struktur modal dan aliran kas tidak
terpengaruh. Namun demikian variabel jumlah pemegang saham bisa berubah,
sehingga bisa jadi ada perubahan kemakmuran pemegang saham. Terkait dengan
kemakmuran pemegang saham, ada riset terkait seperti dari Setiawasih (2001). Ada
indikasi terjadi peningkatan kemakmuran bagi investor kecil melalui abnormal return
yang makin meningkat setelah pengumuman stock split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
II.2. Tujuan & Dampak Stock Split
Tujuan stock split lebih banyak diasosiasikan dari perspektif perusahaan.
Karena memang perusahaan sebagai inisiator pelaksana. Uniknya tidak seperti
corporate action yang lain seperti right issue dan merger/akuisisi, maka stock split
tidak memerlukan prospektus (hanya berupa pengumuman iklan saja sesuai format
BEJ).
Dugaan penulis, hal ini karena stock split tidak merubah struktur modal
perusahaan. Pada umumnya perusahaan melakukan stock split untuk menambah
jumlah saham beredar. Kemudian dengan jumlah lembar saham yang beredar yang
makin besar; biasanya harga saham akan menjadi lebih murah dan kondisi tersebut
meningkatkan ketertarikan dan minat investor untuk membelinya.
Ada beberapa versi tujuan stock split, seperti dari McGough (1993), Astuti
(2004) dan Kamaruddin (2004). 1 McGough (1993) menyatakan tujuan stock split
adalah penurunan harga saham yang selanjutnya menambah daya tarik investor
untuk memiliki saham tersebut. Dengan demikian akan terjadi perubahan dari tipe
investor odd lot menjadi tipe investor round lot. Odd lot adalah situasi dimana
investor membeli saham di bawah 1 lot (500 lembar untuk kasus BEJ dan 100
lembar untuk kasus NYSE), sedangkan round lot adalah investor yang membeli
saham minimum 1 lot. Sedangkan Astuti (2004) memandang bahwa tujuan stock
split adalah menurunkan harga pasar saham yang sudah sangat tinggi (overvalued). Mekanisme yang ditempuh adalah menambah jumlah saham yang dimiliki
pemegang saham lama.
Lain lagi dengan Kamaruddin (2004) yang punya pandangan unik tentang
tujuan stock split karena berkaitan pula dengan pembayaran dividen (kuartalan).
Tujuan stock split memang diakui adalah penurunan harga saham sehingga akan
menarik minat investor baru. Namun bagi pemegang saham lama perlu ada
kompensasi yakni pembagian dividen. Secara teknis diatur; sebelum stock split
emiten membayar dividen misalkan Rp. 2000,- per lembar saham. Setelah stock
1
Astuti (2004) dan Komaruddin (2004) seperti dikutip dalam Susanti, et.al. (2005). Untuk Komaruddin (2005)
dapat menimbulkan polemik karena keputusan stock split tidak boleh digabung dengan keputusan pembagian
dividen. Kecuali kalau jenis dividen yang dibagi adalah dividen saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
split emiten hanya cukup membayar dividen misal Rp. 1250,- per lembar. Bila rasio
stock split 2:1; maka pemegang saham lama akan memiliki nilai dividen per lembar
Rp. 2500,-.
Berbasis uraian di atas, penulis menyimpulkan tujuan stock split berkisar
pada perbaikan likuiditas melalui peningkatan jumlah lembar saham beredar.
Kondisi itu akan membuat investor base mengalami penguatan. Kalau dihubungkan
dengan perbaikan harga yang lebih rendah, penulis berketetapan motif ini sebagai
tujuan alternatif saja. Karena belum tentu perbaikan harga yang lebih rendah akan
memunculkan impresi yang positif yang di “benak” investor. Lain halnya dengan
investor base yakni sokongan kuat terhadap pemegang saham publik justru akan
membuat impresi lebih positif. Karena mestinya perusahaan go-public lebih memiliki
keberpihakan kuat pada investor publik yang cenderung ritel (mini round lot).
Kalau berbicara tentang dampak stock split perlu lebih dikupas dari sisi
investor. Seperti yang penulis uraikan pada bab I maka lebih banyak penelitian
membahas reaksi investor berkenaan dengan stock split. Mulai dari dugaan karena
perusahaan ingin memperbaiki level harga saham yang kembali menjadi optimum
ataupun karena perusahaan ingin menunjukkan sinyal yang positif kepada pasar
bahwa stock split akan bertujuan memperbaiki kinerja fundamental perusahaan
melalui perubahan komposisi pemegang saham. Padahal logisnya reaksi investor itu
akan terjadi karena aksi yang dilakukan oleh perusahaan. Kalau diamati secara
seksama bisa jadi hubungan antara aksi-reaksi ini searah dan berlawanan arah.
Lantas bagaimana hubungan aksi-reaksi antara investor dan perusahaan yang gopublic dapat dijelaskan dengan stock split?
Jawabannya adalah kita harus kembali ke definisi stock split. Secara umum
akademisi sepakat bahwa definisi stock split adalah penurunan nilai nominal per
lembar saham dan penambahan jumlah lembar saham beredar. Kalau yang terjadi
adalah peningkatan nilai nominal per lembar saham dan penurunan jumlah lembar
saham beredar, maka akademisi di Indonesia menyebutnya dengan reverse stock
split atau split down. Di pasar modal USA berlaku kebijakan stock split atas dasar
distribusi saham beredar. Pertama yang disebut sebagai partial stock split apabila
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
tambahan distribusi saham beredar antara 25 – 100 % dan yang berikutnya full
stock split bila tambahan distribusi saham beredar 100%. Penulis memiliki dugaan
bahwa aturan di NYSE tentang stock split bisa berlaku juga di BEJ dengan asumsi
profil hubungan aksi-reaksi investor dan emiten yang melakukan stock split memiliki
kemiripan karakter atau sifat dasar.
Kemiripan karakter antara pelaku di BEJ dan NYSE dalam rangka keputusan
stock split terletak pada perbandingan tipe rasio stock split dan lamanya window
period yang terjadi dalam kejadian stock split. Baik pelaku BEJ dan NYSE kalau
diperhatikan secara seksama akan menetapkan rasio 2:1 lebih banyak dibandingkan
non 2:1. Mengapa demikian? Dengan rasio 2:1 itu akan membuat nilai nominal turun
2x lipat dan jumlah lembar saham beredar akan naik 2x lipat dan asumsinya nilai
pasar saham “bisa dimungkinkan meningkat 1.5-2x lipat juga. Kalau dipilih rasio
yang non 2:1 misal 3:1, 4:1 bahkan 10:1 ada kekuatiran sensitivitas harga pasar
akan terlalu tinggi artinya bukan high demand yang terjadi tetapi justru malah
negative reaction karena level harga pasar perusahaan akan berada jauh di bawah
nilai buku (bandingkan dengan kontra pelaksanaan stock split versi Baker &
Gallagher, 1980). Pada saat itu terjadi oversupply saham akibat dari jumlah lembar
saham yang meningkat tajam.
Memang nilai ekuitas tidak berubah sehingga kekayaan pemegang saham
lama tetap. Tetapi penulis percaya bahwa kategorisasi level harga pasar saham dan
faktor fundamental non kuangan perusahaan akan memberikan efek yang berbeda
terhadap investor. Misal antara TLKM (level harga 8000-an) dan KLBF (level harga
1000-an) yang sama-sama melakukan stock split tahun 2004 dengan rasio 2:1.
Kalau calon pemegang saham baru itu rasional, maka dia akan bisa melihat bahwa
sensitivitas perubahan harga saham TLKM karena stock split akan lebih kecil
daripada KLBF. Maka dalam hal ini dia akan lebih prefer ke TLKM. Kecuali kalau dia
memang sudah terlalu “full-informed” dengan saham-saham sektor farmasi.
Selanjutnya terkait dengan pembahasan dampak stock split dalam window
period 2 mingguan seperti kasus-kasus di NYSE, maka penulis bisa mengidentifikasi
tiga hal yakni harga saham; volatilitas dan volume perdagangan perdagangan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Berkaitan dengan kasus stock split TLKM tanggal 28 september 2004; seperti kita
ketahui 7 hari sebelum stock split harga saham TLKM pada kisaran 8000-9000 an;
namun 7 hari setelah stock split 2:1 terjadi koreksi sempurna pada harga baru
menjadi 4000-4500 an. Bila dikaji dari sisi volume perdagangan terjadi kenaikan
yang tajam dari level 50 juta lembar hari sebelum stock split menjadi 80 juta lembar
hari setelah stock split. Penulis juga takjub dengan gerakan volatilitas harga saham
TLKM yang relatif stabil setelah stock split. Kasus TLKM menunjukkan dampak
positif stock split bagi investor. Fenomena yang menarik bukan sekedar terbuktinya
hipotesis optimal trade range; tetapi juga investor di BEJ melihat manajemen TLKM
telah berhasil sinyal positif (signaling hypotheses). Karenanya tidak salah bila
kemudian stock split TLKM menjadi referensi bagi keputusan stock split perusahaan
lain.
II.3. Pro dan Kontra Seputar Kejadian Stock Split
Bila kita kaji lebih jauh tentang stock split itu sendiri sebenarnya merupakan
puzzle. Ada opini seperti Baker & Powell (1993) bahwa di balik stock split ada
potensi price management; tetapi mengapa otoritas bursa (seperti SEC &
BAPEPAM) memberi ruang dan mengapa jarang sekali masyarakat investor yang
bereaksi negatif. Karena stock split diduga terkait dengan price management; maka
Dyl & Elliot (2006) menyebutnya dengan fenomena share-price puzzle. Fenomena
tersebut tentu saja melahirkan pro dan kontra tentang stock split.
McGough (1993) menyatakan sejumlah indikasi pro dan kontra dari stock
split. Karena jumlah pro dan kontra hampir berimbang, maka menarik juga untuk
dipelajari guna mengidentifikasi apakah memang secara kualitatif lebih dominan
pelaku pasar modal yang pro terhadap stock split ataukah sebaliknya. Beberapa
item yang terkait dengan alasan pendukung pelaksanaan stock split adalah:
a) Harga saham lebih rendah membuat marketabilitas lebih luas dan efisiensi
pasar yakni preferensi rentang harga dalam prosentase tinggi volume
perdagangan round-lot mulai nampak.
b) Akan menarik investor lebih kecil (jumlah pemegang saham meluas) dan
merubah pemegang odd-lot (kurang dari 100 lembar) menjadi pemegang
round-lot (lebih dari 100 lembar).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
c) Peningkatan jumlah pemegang saham yang berarti ada perbaikan likuiditas
pasar dimana saham mungkin diperdagangkan dengan perubahan harga
minimum dari transaksi sebelumnya.
d) Pemegang saham bisa mengambil keuntungan kecil secara net dalam total
harga saham yang dipecah (contohnya harga $78 dengan rasio 2:1 akan
menjadi harga setelah split $39-1/2 dengan syarat pasar mengijinkan). Tentu
saja harga dapat berubah secara signifikan naik atau turun segera setelah
stock split, bergantung pada volatilitas return saham.
e) Adanya sinyal kuat yang dikirim ke pasar bahwa
manajemen memiliki
perasaan optimistik tentang pertumbuhan perusahaan dalam proyek-proyek
yang prospektif.
f) Studi 20 tahun NYSE mengkonfirmasikan pertumbuhan jumlah kasus stock
split; di mana arah perubahan sangat dipengaruhi oleh karakteristik khusus
industri atau kategorisasi saham.
Kemudian
item-item
yang
merupakan
penentang
(kontra)
terhadap
pelaksanaan stock split antara lain: 1) Rentang harga ke depan seharusnya
dipertimbangkan secara cermat (risiko downside perusahaan misal dalam kasus
akuisisi potensial), 2) Level harga sekarang mungkin tidak cukup untuk menjamin
pelaksanaan stock split yang efektif (dalam hal ini rivalitas antara volatilitas harga
sekarang dan track record jangka panjang), 3) Level harga sekarang setelah stock
split bisa menempatkan perusahaan pada kelompok yang lebih rendah dalam sektor
industrinya, 4) Meningkatnya jumlah pemegang saham sama dengan meningkatnya
biaya servis pemegang saham, 5) Upaya administrasi internal yang signifikan dan
biaya-biaya terselubung yang akan muncul.
Meskipun jumlah item pro dan kontra hampir berimbang; tetapi penulis
melihat pelaksanaan stock split tetap berjalan. Hal ini dapat dilihat dengan makin
bertambahnya kasus stock split di BEJ dan NYSE. Fenomena yang penulis tangkap
adalah para emiten percaya bahwa setelah stock split, saham mereka akan lebih
likuid. Faktor likuiditas inilah yang menjadi motivator positif bagi investor kecil (oddlot). Apalagi secara akademis, likuiditas menjadi inti dasar tiga hipotesis berkenaan
dengan stock split (lihat McNichols & Dravid, 1990).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
II.4. Hipotesis Akademisi Tentang Stock Split
Berdasarkan survai literatur ada tiga macam hipotesis stock split yakni:
optimal Perdagangan range; signaling dan liquidity. Setiap hipotesis akan dibahas
dari sisi inti hipotesis; asumsi (motif); analisis (modus operandi); variabel dan
kontribusi pentingnya.
II.4.1. Hipotesis Optimal Trading Range
Intinya adalah stock split diharapkan membuat harga saham kembali wajar.
Ada 2 asumsi (motif) yang mendasari yakni: kinerja saham ditentukan oleh level
harga saham dan saham-saham harus terkategori sangat likuid. Modus operandi
pengikut hipotesis ini adalah penetapan harga wajar (pakai PER/DCF); penetapan
support & resistence sebagai trade range; mengawasi pergerakan harga dalam
trade range, begitu sering non optimal trade range maka langsung stock split.
Variabel yang dianggap penting adalah apresiasi harga dan rentang perdagangan.
Kedua variabel ini sangat efektif dalam studi Dyl & Elliot (2006). Kontribusi penting
hipotesis ini adalah mempertegas alasan likuiditas Perdagangan sebagai motif stock
split.
II.4.2. Hipotesis Signaling
Memiliki intisari yakni stock split membuat impresi investor positif. Asumsi
atau motif terkait: (1) Faktor fundamental seperti EPS; Book Value per Share dan
jumlah pemegang saham (2) Saham-saham tidak selikuid hipotesis optimal trade
range tetapi memiliki growth yang bagus. Analisis dilakukan dengan jalan:
menetapkan cash flow seobyektif mungkin; penetapan fondasi keuangan sebagai
basis perhitungan cash flow seakurat mungkin; mengawasi proyeksi cash flow untuk
valuasi dan hasil realisasinya dan bila sering mis-valuation langsung melakukan
stock split. Beberapa variabel penting adalah EPS, Book Value per Share, Jumlah
Pemegang Saham, Cash Flow dan faktor fundamental non keuangan seperti
kualitas produk dan harga jual. Adapun kontribusi terpenting hipotesis ini adalah
mempertegas alasan faktor prospek masa depan sebagai motif stock split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
II.4.3. Hipotesis Liquidity
Intinya adalah stock split akan membuat likuiditas meningkat. Peningkatan
likuiditas dapat ditunjukkan dengan tick size yang turun dan bid-ask spread yang
makin kecil juga. Ada dua asumsi juga yakni dengan tick size turun maka rentang
harga menjadi lebih sempit sehingga lebih likuid dan biasanya berlaku untuk sahamsaham yang kurang likuid. Proses analisisnya mulai dari analisis level tick size
saham dan mengkaitkan dengan volume perdagangan; selanjutnya analisis level
bid-ask spread dan begitu bid-ask spread terlalu tinggi langsung stock
split.
Variabel penting adalah dummy variable untuk tick size (ada 4 layers untuk kasus
BEJ versi tahun 2004) dan level bid-ask spread. Menurut penulis, riset Angel (1997),
Schultz (2000) dan Ekaputra & Putri (2006) adalah contoh yang baik untuk hipotesis
ini. Adapun yang menjadi kontribusi adalah memperkuat alasan model optimal trade
range sebagai faktor penggerak keputusan stock split. Karena penulis melihat para
investor kita sering mengasosiasikan level perdagangan optimal dengan likuiditas.
II.5. Penelitian Terdahulu
II.5.1. Di Luar Indonesia
Ada beberapa kelompok peneliti ternama seperti Copeland (1979);
Lakonishok & Lev (1987), Lamoureux & Poon (1987) Conroy, et.al. (1990). Penulis
beranggapan bahwa keempat peneliti tersebut mewakili kelompok lama. Sebab
banyak peneliti lain di luar Indonesia dan di Indonesia yang mengacu penelitian
mereka tersebut. Di luar Indonesia kita bisa lihat seperti Brennan & Hughes (1991);
Rozeff (1998); Muscarella &
Vetsuypens (1996); Schultz (2000); Amihud, et.al.
(1999); Angel (1997); Easley, et.al. (2001); Ikenberry,et.al. (1996); Mukherji, et.al.
(1997). Hampir semua riset mereka bertitik tolak pada hipotesis optimal
Perdagangan range dan signaling; kecuali Angel (1997) & Schultz (2000) yang
berorientasi pada hipotesis optimal tick size. Namun sayang mereka tidak membuat
tick-size sebagai variabel bebas yang mempengaruhi likuiditas saham. Tick-size
hanya dipakai sebagai kategori kelompok data saja. Fenomena ini diacu pula oleh
Ekaputra & Putri (2006).
Pada kondisi paling mutakhir ada studi dari Anshuman & Kalay (2002);
Amihud (2002), Dyl & Elliot (2006), Chen (2001) dan Kim, et.al. (2007). Mereka
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
semua memiliki metodologi yang lebih mutakhir dalam menjelaskan fenomena stock
split. Seperti misal Anshuman & Kalay (2002) sudah memasukkan unsur model
stokastik, Amihud (2002) membuat proxy baru untuk likuiditas yakni illiquidity. Dyl &
Elliot (2006) membuat fenomena rasio stock split sebagai panel analisis model
logistik untuk mengungkap alasan perusahaan melakukan stock split. Terakhir Kim,
et.al (2007) memunculkan fenomena dual class stock split dengan alat ukur
likuiditas yang beraneka macam seperti Roll’s effective spread; Amihud’s illiquidity;
Hasbrouck (Gib) & Liu‘s spread baik LM6 (setelah 126 hari Trading) dan LM12
(setelah 252 hari Trading).
II.5.2. Di Indonesia
Ewijaya & Indriantoro (1999) melakukan penelitian mengenai pengaruh
pemecahan saham terhadap perubahan harga saham dengan mengambil sampel
40 perusahaan yang melakukan stock split dan 35 perusahaan tidak. Periode
penelitian Januari – Desember 1996. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemecahan saham mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan harga
relatif saham.
Kemudian juga ada Fatmawati & Asri (1999) melakukan penelitian mengenai
pengaruh pengumuman stock split terhadap bid-ask spread. Dengan mengambil
sampel 30 perusahaan yang melakukan stock split pada periode 1995-1997; mereka
berhasil membuktikan bahwa aktivitas stock split berpengaruh secara signifikan
terhadap level harga saham; volume perdagangan saham dan prosentase bid-ask
spread. Kemudian temuan lain berkaitan dengan perbedaan yang signifikan antara
bid-ask spread sebelum dan sesudah stock split karena efek dari harga saham dan
volume perdagangan perdagangan. Tetapi perbedaan bid-ask spread tidak sesuai
dengan hipotesis optimal trade range. Karena justru setelah stock split ternyata bidask spread makin besar.
Kedua studi terdahulu diacu oleh riset Susanti, et.al. (2005) yang berhasil
menemukan adanya peningkatan likuiditas. Dan yang menjadi driver ternyata adalah
volume perdagangan saham. Hasil studi Susanti, et.al (2005) mengindikasikan
masih eksisnya hipotesis optimal trade range untuk kasus BEJ. Ada dugaan tidak
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
dipakainya sampel tahun 1997 seperti pada studi Fatmawati & Asri (1999) membuat
hasil studi Susanti, et.al. (2005) lebih baik. Kebetulan penulis juga pernah terlibat
dalam riset tersebut, dan ikut menentukan periode waktu riset yakni 1998-2004.
Hanya memang acuan model risetnya masih dalam data yang digabung sebanyak
58 emiten stock split.
Studi Ekaputra & Putri (2006) tentang fenomena stock split mengacu pada
studi Ekaputra (2006), Ekaputra & Basharat (2006) serta Purwoto & Tandelilin
(2004). Walaupun jumlah sampel kecil, namun studi ini memiliki kekuatan hasil yakni
bahwa dengan kelompok sub sampel yang mengalami penurunan tick size terjadi
peningkatan likuiditas (lewat proxy relative spread). Kalau pada proxy depth to
relative spread tidak berhasil mendukung hipotesis, dugaan penulis adalah pada
kecilnya sampel yang hanya sebesar 33 emiten. Namun demikian model OLS
(determinan dari bid ask spread) yang dipakai cukup robust (Adjusted-R2 tinggi)
dengan tiga variabel bebas yang tidak tergantikan seperti price, volume
perdagangan dan volatility.
II.6. Pengembangan Hipotesis
Penulis hanya memfokuskan pada hipotesis liquidity. Hal ini berlandaskan
keyakinan bahwa mayoritas riset dan pandangan praktisi di Indonesia masih
berorientasi pada persoalan likuiditas saham pasca stock split terutama berkaitan
dengan kembalinya level harga saham menjadi lebih optimum. Hipotesis optimal tick
size dan yang lain seperti tax-option masih belum begitu popular untuk riset stock
split. Penulis memiliki dugaan ini berkaitan dengan penentuan proxy variabel dari
beberapa kategori hipotesis terkait cukup sulit untuk kasus Indonesia. Sedangkan
hipotesis signaling
tidak dibahas karena alasan ketersediaan data meskipun
sebenarnya sudah dicoba Najmuddin (2002).
Selanjutnya penulis membuat 2 skenario hubungan antar variabel dalam riset
ini. Kedua skenario ini adalah pengaruh positif volume perdagangan terhadap
likuiditas saham pasca stock split dan pengaruh negatif volatilitas & harga saham
terhadap likuiditas saham pasca stock split. Argumentasi pengaruh positif dari
volume perdagangan adalah makin tinggi volume perdagangan saham berarti makin
banyak pihak investor pada posisi beli dan jual sehingga untuk saham tersebut akan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
memiliki arus order yang sangat besar. Sebab biasanya saham-saham dengan arus
order besar memiliki harga yang under-valued. Untuk volatilitas saham yang tinggi
akan membuat selisih harga bid dan ask makin tinggi. Situasi tersebut membuat
arus order saham menjadi makin kecil. Sedangkan dari segi harga saham, kita
mengetahui pasca stock split variabel tersebut akan mengalami penurunan. Arah
gerakan harga saham akan berlawanan dengan arah gerakan volume perdagangan.
Level analisis adalah perbedaan kelompok tick size dan rasio stock split. Untuk
perbedaan kelompok tick size sudah terbukti efektif dalam studi Ekaputra & Putri
(2006); dan untuk perbedaan rasio stock split penulis terinspirasi oleh desain studi
Dyl & Elliot (2006) yang juga cukup berhasil.
Untuk mempertegas arah hubungan antar variabel maka penulis juga
mempelajari terlebih dahulu perilaku ketiga variabel terkait secara terpisah. Nantinya
akan ada uji t dengan satu arah. Teknis hipotesisnya adalah volume perdagangan
setelah stock split akan meningkat; sedangkan volatilitas dan harga saham justru
akan mengalami penurunan. Semua arah hubungan antar variabel dapat diikuti
sebagai berikut:
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Riset tentang
Stock Split (Hipotesis
Liquidity)
Hipotesis Liquidity Æ
variabel volume
perdagangan dan
volatilitas saham
Feed back & Kontribusi
Hipotesis Optimal
Trade Range Æ
variabel harga
+
saham
Likuiditas Saham dengan proxy
relative spread dan Amihud’s
illiquidity
Kesimpulan &
Saran
Feed back
Emiten di BEJ yang melakukan
stock split tahun 1998-2004
Rasio Stock Split
2:1 dan Non 2:1
Tick Size Turun &
Tetap
Model Riset Modifikasi
Kim, et.al. (2007) dan Ekaputra & Putri
(2006)
Hasil dan
Pembahasan
Gambar 2.1
Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan uraian di atas; penulis mengajukan hipotesis alternatif-nya
yakni:
H1 :
Volume perdagangan saham setelah stock split akan lebih besar
dibandingkan dengan volume perdagangan saham sebelum stock split.
H2:
Volatilitas saham setelah stock split akan lebih kecil dibandingkan dengan
volatilitas saham sebelum stock split.
H3:
Harga saham setelah stock split akan lebih kecil dibandingkan dengan
harga saham sebelum stock split.
H4:
Dalam kasus stock split, volume perdagangan memiliki pengaruh negatif
terhadap proxy likuiditas saham yakni spread & Amihud’s illiquidity.
H5:
Harga saham memiliki pengaruh positif terhadap spread & Amihud’s
illiquidity untuk perusahaan-perusahaan yang melakukan stock split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H6:
Volatilitas saham memiliki pengaruh positif terhadap spread & Amihud’s
illiquidity selama kejadian stock split.
II.7. Pengembangan Model
Model penelitian untuk menguji H4-H6, disarikan dari studi Ekaputra (2003).
Sebenarnya model tersebut merupakan pengembangan dari model Cobb-Douglas.
Secara rinci dapat dinyatakan sebagai berikut:
Spread = k Hargaa Std.Devb Volc
Selanjutnya dengan proses transformasi logaritma, maka model di atas dapat
diubah menjadi ln Spread = ln k + a ln Harga + b ln Std.Dev + c ln Vol +
.
Logika dari model ini adalah apabila komponen input naik maka komponen output
juga naik. Pernyataan tersebut merupakan logika secara ekonomi mikro.
Bila dilihat dari market-microstructure, maka komponen input yang terdiri dari
harga, standar deviasi return dan volume perdagangan belum tentu semuanya akan
memiliki pengaruh searah terhadap spread. Dalam situasi normal mestinya hanya
standar deviasi return yang berpengaruh positif, sedangkan harga dan volume
perdagangan saham berpengaruh negatif. Namun untuk stock split, tentunya akan
berbeda terutama antara harga dan volume perdagangan. Secara operasional
model Cobb-Douglas dengan input trivariat akan dijabarkan dalam bab III (bagian
metode analisis data). Syarat model ini di-log natural-kan adalah adanya interaksi
antara ketiga variabel determinan tersebut.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PRPM (Pusat Referensi Pasar Modal) dan KSEI
(Kustodian Sentral Efek Indonesia) yang merupakan bagian penting dari BEJ (Bursa
Efek Jakarta). PRPM berlokasi di lantai 2 Tower 2 gedung BEJ sedangkan KSEI
berada di lantai 4-5 Tower 1 gedung BEJ. Sedangkan gedung BEJ sendiri berada di
Jl. Jendral Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190. Guna melakukan verifikasi terhadap
data-data di PRPM dan KSEI; penulis juga melakukan cross-check ke Bapepam.
Penelitian dilakukan selama bulan Juli - Oktober 2007. Rincian kegiatan
penelitian terbagi menjadi 3 tahap yakni:
a. Selama bulan Juli - Agustus 2007; penulis melakukan eksplorasi data terhadap
semua emiten di BEJ yang melakukan stock split.
b. Selama bulan Agustus - September 2007; penulis mulai melakukan tabulasi
data variabel penelitian seperti volume perdagangan, volatilitas saham, harga
saham dan likuiditas saham dengan mengacu pada tahap a. Setiap data kasus
stock split langsung disortir menurut kategori rasio stock split dan kelompok
fraksi harga.
c. Selama bulan September - Oktober 2007, penulis mulai mempelajari perilaku
data variabel penelitian dan selanjutnya mengawali tahap pengujian hipotesis.
III.2.Jenis dan Sumber Data
Jenis data riset penulis adalah data sekunder, yaitu data-data primer yang
telah diolah lebih lanjut. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: data harga saham
harian penutupan (close price) beserta harga bid & ask dan volume perdagangan
saham. Sumber data berasal dari publikasi BEJ dan KSEI baik secara hard-copy
ataupun soft-copy (CD ROM ataupun situs-situs BEJ/KSEI di internet). Kebetulan
berdasarkan temuan terakhir, penulis berhasil mendapatkan data-data yang
dibutuhkan di Perpustakaan PPIM UI, Depok dalam bentuk soft-copy. Ada satu
portal khusus dari JSx Detailed History dengan password jsxmgt.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III.3.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua perusahaan go-
public yang terdaftar di BEJ. Penentuan sampel penelitian ini tidak dilakukan secara
random, melainkan secara purposive. Sampel penelitian yang terpilih sebagai
sampel harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Melakukan stock split antara periode Juli 1998 – Juni 2004 2 .
b. Memiliki data transaksi yang lengkap selama periode pengamatan yakni 7
hari sebelum & setelah stock split.
c. Memiliki data perdagangan yang lengkap seperti harga saham penutupan
harian dan volume perdagangan.
d. Memiliki data arus order yang lengkap untuk mengambil data bid & ask price.
e. Tidak melakukan kegiatan aksi korporasi yang lain
f. Masih aktif diperdagangkan dalam rentang waktu observasi.
III.4. Karakteristik Data
Awalnya penulis mendapatkan 58 emiten terdiri dari 21 emiten rasio 2:1 dan
37 emiten dengan rasio non 2:1 serta 18 emiten dengan kategori tick size tetap dan
40 emiten kategori tick size menurun. Namun kemudian ada 12 sampel data yang
dibuang yakni UNVR (2000); CPIN (2001); ACAP (2002); MRAT (2002); PBRX
(2003); SMSM (2003); SHDA (2004); JAKA (2002); ASDM (2002); HEXA (2002);
PANS (2002) dan APIC (2004). Umumnya data bermasalah dalam hal bid dan ask
price, kecuali UNVR (2000) yang terlalu tinggi harganya 150.000,- per lembar. Maka
penulis memperoleh 46 sampel terdiri dari 28 emiten rasio 2:1; 18 emiten rasio non
2:1 dan 30 emiten tick size menurun plus 15 emiten tick size tetap. Detail lihat
lampiran 1.
III.5.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
III.5.1. Stock split
Stock split merupakan aktivitas yang dilakukan perusahaan go-public untuk
menaikkan jumlah saham beredar. Bila harga saham dinilai terlalu tinggi maka
perusahaan akan melakukan stock split untuk menurunkan harga saham. Dengan
2
Ada dua alasan: pertama, melanjutkan periode data studi Fatmawati & Asri (1999) dan kedua uji konsistensi
hasil studi Susanti, et.al. (2005) yang agak kontras dengan hipotesis liquidity.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
melakukan stock split diharapkan volume perdagangan perdagangan meningkat dan
spread diharapkan lebih rendah sehingga dapat menarik minat investor untuk
membeli saham tersebut yang selanjutnya likuiditas saham akan meningkat. Terkait
fenomena stock split; penulis menggunakan beberapa variabel sebagai berikut:
a. Volume Perdagangan merupakan volume perdagangan harian 7 hari sebelum,
saat dan 7 hari setelah stock split. Data volume perdagangan berasal dari
www.jsx.co.id. Biasanya akan di-log natural-kan karena begitu besar nilai
variabel Volume Perdagangan secara aritmatik.
b. Volatilitas Saham
terendah
(low)
merupakan standar deviasi harga saham tertinggi (high),
dan
penutupan
(close)
selama
kurun
“waktu
jendela”
berlangsungnya stock split. Untuk mengakses data harga saham harian, penulis
memakai
sumber
data
www.jsx.co.id.
Seperti
halnya
variabel
Volume
Perdagangan, variabel ini juga di-log natural-kan. Penulis tidak memakai proxy
standar deviasi return saham harian karena ternyata hasilnya tidak memuaskan
dalam studi awal.
c. Harga Saham merupakan harga penutupan harian selama periode stock split.
Sumber data juga berasal dari www.jsx.co.id. Seperti halnya variabel Volume
Perdagangan, variabel ini juga sering di-log natural-kan.
III.5.2.Likuiditas
Likuiditas dalam penelitian ini akan diukur dengan dua indikator. Yang
pertama adalah relative bid-ask spread. Relative bid-ask spread merupakan hasil
bagi antara selisih harga penawaran jual terbaik (best ask price) dan harga
penawaran beli terbaik (best bid price) dan nilai tengah harga penawaran jual dan
beli tersebut. Semakin tinggi nilai relative bid-ask spread maka semakin rendah
tingkat likuiditas saham. Sumber data yakni www.jsx.co.id dan cross check ke JSx
Detailed History. Sesuai
hipotesis liquidity; seharusnya setelah stock split nilai
relative bid-ask spread harus turun. Indikator ini sangat popular di Indonesia karena
sudah terbukti cukup efektif (lihat studi Ekaputra & Putri, 2006 serta Purwoto &
Tandelilin, 2004). Sedangkan dalam studi Fatmawati & Asri (1999) serta Susanti,
et.al. (2005), variabel relative spread tidak efektif karena jumlah emiten dengan
relative spread turun pasca stock split lebih sedikit. Karenanya bisa disarankan
variabel nominal spread seperti arahan Conroy, et.al. (1990).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Indikator yang lain adalah Amihud’s illiquidity.
Secara teknis indikator ini
dinyatakan sebagai hasil bagi antara return saham pada hari tertentu dengan
volume perdagangan perdagangan saham pada hari tertentu juga [Sesuai arahan
Amihud (2002), nilai return harus absolut dan hasil bagi harus dikalikan 106].
Dalam riset Kim, et.al. (2007) dipakai periode waktu 110 hari sampai dengan 10 hari
sebelum stock split dan 10 hari sampai dengan 110 hari setelah stock split. Logika
dari indikator ini sejalan dengan relative bid-ask spread artinya makin tinggi nilai
Amihud’s illiquidity akan semakin tidak likuid suatu saham.
Dalam konteks stock split untuk mendukung hipotesis liquidity, seharusnya
nilai Amihud’s illiquidity akan makin rendah setelah perusahaan mengumumkan
pelaksanaan
stock
split.
Penulis
tertarik
memakai
indikator
ini
karena
sepengetahuan penulis belum dilakukan di Indonesia. Untuk penelitian ini, penulis
memakai kisaran 7 hari sebelum dan sesudah stock split. Argumentasi penulis
adalah bahwa stock split adalah short term event. Pemilihan interval rentang waktu
yang panjang tidak begitu akan meningkatkan kualitas kekuatan hasil pengujian
empirik.
III.6. Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis alternatif kelompok pertama (H1-H3); penulis
menggunakan uji t-satu arah. Pengujian H1-H3 dipakai untuk menjawab perumusan
masalah atau tujuan penelitian (khusus) a, b dan c. Teknisnya nampak sebagai
berikut :
1. Penulisan hipotesis nol dan alternatif
Ho:
Rata-rata volume perdagangan setelah stock split tidak akan berbeda
dengan rata-rata volume perdagangan sebelum stock split.
Ha:
Rata-rata volume perdagangan setelah stock split akan lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata volume perdagangan sebelum stock
split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2. Level of significance: 1-α = 95%
3. Dilakukan Uji-T (uji dua arah) & proses inferensi
Bila – t tabel < hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak.
Bila t hitung > t tabel atau t hitung < - t tabel maka Ho ditolak dan Ha
diterima.
Ketiga prosedur di atas kemudian penulis lakukan juga untuk variabel
volatilitas dan harga saham. Proses pengujian hipotesis (H1-H3) akan dilakukan
untuk berbagai kelompok data level dari tick size (tetap & turun) dan tipikal rasio
stock split (2:1 & non 2:1). Motivasi penulis terkait pembedaan tick size adalah
inspirasi hasil studi Ekaputra & Putri (2006) yang berhasil membuktikan ada efek
positif stock split terhadap likuiditas sub sampel
emiten yang tick size nya
berkurang. Sedangkan untuk tipikal rasio stock split; penulis temukan dalam Dyl &
Elliot (2006) yakni hasil rasio non 2:1 lebih baik. Dalam pengujian hipotesis alternatif
kelompok kedua (H4-H6); penulis
menggunakan model persamaan regresi
3
berganda (OLS) sebagai berikut:
Ln RS = β0 + β1lnVOL + β2 ln VOT + β3 ln CP + β4 DS + ε
(1)
Ln IlQ = β0 + β1lnVOL + β2 ln VOT + β3 ln CP+ β4DS + ε
(2)
Keterangan:
Ln RS
: logaritma natural relative spread
Ln IlQ
: logaritma natural Amihud’s illiquidity
Ln VOL
: logaritma natural volume perdagangan saham
Ln VOT
: logaritma natural volatilitas saham
Ln CP
: logaritma natural harga saham penutupan
DS
: dummy stock split (1 = sesudah, 0 = sebelum)
3
Penulis mendapatkan model OLS ini dari studi Ekaputra & Putri (2006). Secara khusus penulis anggap lebih
baik dari model Fatmawati & Asri (1999), Susanti, et.al. (2005) dan Kim, et.al. (2007) karena berhasil
menunjukkan bagaimana seharusnya variabel-variabel seperti volume perdagangan, harga saham dan
volatilitas tersebut bepengaruh terhadap likuiditas saham untuk kejadian stock split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H4 diterima bila β1 > 0, H5 diterima bila β2 < 0 dan H6 diterima bila β3 < 0.
Tentunya model (1) – (2) juga harus lolos uji asumsi klasik dari Gauss Markov.
Seperti halnya H1-H3; pengujian H4-H6 juga dilakukan untuk kelompok data tick
size turun dan tetap serta tipe rasio stock split 2:1 dan non 2:1.Pengujian H4-H6
berguna menjawab tujuan penelitian (khusus) poin d. Perlu diketahui bahwa peran
dummy variable stock split (DS) cukup efektif dalam model OLS untuk berkontribusi
dalam pengujian H4-H6. Efek DS yang diharapkan adalah negatif terhadap relative
spread & Amihud’s Illiquidity. Khusus model (1) - (2) perlu juga dianalisis interaksi
antara dummy stock split dengan variabel bebas, meskipun sifatnya “suplemen”
dalam studi ini. Proses intepretasi hasil interaksi mengacu studi Ekaputra &
Basharat (2006) untuk kasus tick size reduction.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB IV
ANALISA DATA & PEMBAHASAN
Agar proses analisa data efektif, maka penulis membagi dalam beberapa
tahap antara lain: analisis deskriptif terhadap semua variabel yang diperlukan dalam
analisis ini, kemudian dilanjutkan dengan analisa komparasi untuk setiap variabel
dalam konteks sebelum, saat dan sesudah stock split.
Bagian terakhir akan
berkaitan dengan analisa asosiatif antara variabel-variabel yang diduga mampu
menjelaskan hipotesis liquidity dalam stock split ini. Dimana sebelumnya akan
diperlihatkan lebih dulu hasil analisis deskriptif untuk empat kelompok panel data.
IV.1. Analisa Deskriptif (Grafis) Variabel Riset
IV.1.1. Perkembangan Volume Perdagangan Selama Stock Split
Bila diamati pada gambar 4.1. di bawah ini, nampak gerakan volume
Perdagangan mengalami peningkatan yang sangat signifikan setelah stock split.
Yang menarik adalah nilai standar deviasi berada jauh di atas nilai mean. Walaupun
secara prinsip menganggu dalam statistik, namun setidaknya memberi indikasi ada
sifat ekstra-volatilitas yang diharapkan memiliki pengaruh saat analisis komparasi
dan asosiasi.
Gambar 4.1
Pergerakan Volume Perdagangan Selama Stock Split
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Lebih jauh terungkap di gambar, bahwa sifat dasar voltalitas nampak begitu
kuat pada 1-2 hari setelah stock split dan lebih kuat lagi pada 5-6 hari setelah stock
split. Fenomena ini bisa jadi merupakan strategi momentum dari para investor untuk
melakukan buy atau sell, sebab pada titik-titik tersebut mereka akan berharap dapat
menemukan capital gain yang maksimum. Kalau kita telaah wajar jika 1-2 hari
setelah stock split, volume perdagangan akan naik & kemudian turun lagi. Tetapi
adalah luar biasa jika 5-6 hari setelah stock split fenomena naik-turun dengan
magnitudo yang lebih besar terjadi. Penulis menduga faktor penyebab adalah
sentimen investor terhadap stock split suatu emiten.
IV.1.2. Perkembangan Close Price Selama Stock Split
Lain halnya dengan close price, fenomena umum yang terjadi sudah selaras
dengan hipotesis liquidity yakni pola Z. Harga pada kisaran lebih tinggi sebelum
stock split kemudian akan terkoreksi pada kisaran yang lebih optimal dalam level
yang lebih rendah. Koreksi harga saham ini bisa juga dipengaruhi oleh faktor rasio
stock split. Makin tinggi rasio stock split, maka akan makin besar pula faktor koreksi
harganya.
Gambar 4.2
Pergerakan Harga Saham Penutupan Selama Stock Split
Yang bisa dipelajari dari gambar 4.2. selain pola Z yang sudah lazim untuk
kasus stock split adalah perbedaan gerakan mean dan standar deviasi close price
terutama saat 1-2 hari sebelum stock split. Terlihat gerakan nilai standar deviasi
lebih tajam turunnya dari nilai mean. Penulis menduga faktor magnitudo close price
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
antar saham yang melakukan stock split sebagai salah satu penyebab. Perlu
diketahui dalam 46 sampel ini, terdapat perusahaan seperti HMSP dan ISAT yang
memiliki harga > 10.000 per lembar.
IV.1.3. Perkembangan Likuiditas Saham Selama Stock Split
Sesuai dengan hipotesis liquidity, setelah stock split rentang harga bid dan
ask akan menjadi sempit. Tetapi bila penulis amati pada gambar 4.3a, nampak bidask spread cenderung meningkat setelah stock split terutama saat t+7. Walaupun
ada tendensi naik dan turun pada t+2 sampai t+4. Fenomena ini tentu tidak sesuai
dengan hipotesis liquidity. Ada kemungkinan investor yang melakukan tindakan
oportunistik dengan cara menetapkan rentang harga bid dan ask yang lebih lebar
untuk memaksimumkan capital gain.
Gambar 4.3a
Pergerakan Bid-Ask Spread Selama Stock Split
Gambar 4.3b
Pergerakan Amihud’s Illiquidity Selama Stock Split
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Bila dikaitkan dengan gambar 4.3b, maka pergerakan proxy kedua likuiditas
yakni Amihud’s Illiquidity sudah sesuai dengan hipotesis liquidity. Menjelang stock
split, berfluktuasi tajam menurun. Kemudian beberapa saat sesudah stock split
cenderung flat hingga agak naik pada t+4 s/d t+6 dan turun lagi pada t+7.
IV.2. Analisa Komparasi Variabel Riset Terkait Event Stock Split
IV.2.1. Volume Perdagangan
Berdasarkan pengujian komparasi dengan paired t-test, maka nampak
volume perdagangan saham
setelah stock split mengalami peningkatan yang
signifikan. Hal ini bukan hanya mengindikasikan dukungan terhadap gambar 4.1;
tetapi memberi fakta bahwa H1 diterima. Temuan penulis sejalan dengan studi
Conroy, et.al. (1990) dan Fatmawati & Asri (1999).
Tabel 4.1. Paired t test untuk Volume Perdagangan Sebelum & Sesudah Stock
Split
N = 46, (terima H1), t-test = 6.0825***
Variable
Mean
Std.Dev
Ln Vol Ssdh
14.17894
2.076019
Ln Vol Sblm
11.44682
2.2296
Difference
2.732119
0.4491774
Bila diamati dari 46 observasi stock split 1998-2004, rata-rata volume
perdagangan sesudah stock split meningkat sebesar 19.25%. Jumlah ini tentu
susah diterima secara rasional. Namun bila kita kembalikan pada gambar 4.1, hal ini
bisa “wajar-wajar” saja. Begitulah perilaku investor di BEJ yang begitu antusias
dengan saham-saham perusahaan yang melakukan stock split. Mungkin saja
perilaku mereka dipengaruhi oleh persepsi positif akan citra saham tersebut yang
termasuk kategori saham likuid LQ45.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV.2.2. Volatilitas Saham
Lain halnya dengan pengujian volatilitas saham, setelah stock split kita
semua berharap nilainya akan turun. Hal ini sesuai dengan liquidity hypothesis
bahwa harga saham akan kembali ke rentang optimum; dan tentunya akan
mempermudah kembali bagi investor untuk “bermain” saham yang bersangkutan.
Berdasarkan pengujian tabel 4.2. maka diketahui volatilitas saham mengalami
penurunan drastis yakni 31.57 %.
Tabel 4.2. Paired t test untuk Volatilitas Saham Sebelum & Sesudah Stock Split
N = 46, (terima H2), t-test = -3.6584***
Variable
Mean
Std.Dev
Ln VOT Ssdh
2.689215
0.9541074
Ln VOT Sblm
3.538355
1.252153
-0.8491403
0.2321079
Difference
Dengan demikian H2 diterima, yakni volatilitas saham akan mengalami
penurunan setelah stock split. Temuan ini sekaligus memperkuat hasil studi Conroy,
et.al. (1990) dan Fatmawati & Asri (1999). Penulis memiliki dugaan, bahwa sikap
investor untuk menentukan bid dan ask price dalam rentang yang lebih sempit
menjadi faktor pemicu. Jelaslah dengan rentang bid dan ask price yang makin
sempit, akan mengindikasikan bahwa saham tersebut akan makin likuid.
Temuan tersebut memang kontradiktif dengan temuan tabel 4.2; namun
penulis bisa menyatakan bahwa gerakan close price yang datar seperti pada
gambar 4.2 bisa memberi penjelasan. Seperti kita duga setelah stock split ada
kecenderungan investor untuk bermain dalam rentang harga bid dan ask yang
sempit. Kalau benar harga bid dan ask akan juga menentukan close price, maka
jelaslah bahwa return akan kecil sebab return adalah capital gain atau capital loss
yang ditentukan dari perubahan close price.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV.2.3. Harga Saham
Sesuai dengan pengujian H3 maka penulis juga melakukan uji-t bagi variabel
harga saham penutupan ini. Setelah mendasarkan pada grafik 4.2. tentang perilaku
harga saham penutupan sebelum dan sesudah stock split yang sesuai dengan
harapan, maka penulis memiliki keyakinan bahwa H3 akan diterima.
Tabel 4.3. Paired t test untuk Harga Saham Sebelum & Sesudah Stock Split
N = 46, (terima H3), t-test = -6.3123***
Variable
Mean
Std.Dev
Ln CP Ssdh
6.16477
0.9589732
Ln CP Sblm
7.456296
1.003036
Difference
-1.291526
0.2046052
Berdasarkan hasil uji-t pada tabel 4.3. maka nampak jelas signifikansi
penurunan harga penutupan saham setelah stock split sebesar 20.94%.
Konsekuensinya H3 diterima dan ini berarti hipotesis optimal trade range sekali lagi
terbukti di BEJ, memperkuat temuan studi Fatmawati & Asri (1999); Susanti, et.al.
(2005), Conroy, et.al. (1990) dan Ekaputra & Putri (2006).
IV.2.4. Bid- Ask Spread, Amihud’s Illiquidity & Nominal Spread
Setelah membahas komparasi volume perdagangan
dan volatilitas saham
selama stock split, maka berikutnya penulis akan menguji perbandingan variabel
penting dalam studi ini yakni bid-ask spread. Sebagaimana diketahui bersama
bahwa bid-ask spread adalah proxy likuiditas saham, maka penulis memiliki
ekspektasi bahwa setelah stock split, seharusnya bid-ask spread turun. Berikut ini
dapat kita lihat perbandingan likuiditas saham pada tabel 4.4. - 4.6. masing-masing
dengan menggunakan proxy Relative Spread; Amihud’s Illiquidity & Nominal
Spread.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.4. Paired t test untuk Likuiditas Saham Sebelum & Sesudah Stock Split
(Proxy Relative Spread)
N = 46, t-test = 2.7394***
Variable
Mean
Std.Dev
BAS Ssdh
0.0451985
0.0325678
BAS Sblm
0.0322109
0.0290881
Difference
0.0129875
0.0321551
Pada tabel 4.4. nampak ternyata relative spread mengalami peningkatan
secara signifikan yakni 28,53%. Situasi ini mengindikasikan penolakan terhadap
hipotesis liquidity tetapi mendukung hasil temuan studi Conroy, et.al. (1990) dan
studi Fatmawati & Asri (1999). Memang cukup aneh, likuiditas saham justru turun
setelah stock split. Penulis menduga fenomena yang bertolak belakang ini terjadi
karena lebih banyak sampel perusahaan yang memiliki kenaikan relative spread
dibandingkan dengan yang tidak mengalami kenaikan. Hal yang berbeda kita temui
pada tabel 4.5. dimana hasil uji beda rata-rata menunjukkan signifikansi antara
Amihud’s illiquidity sebelum dan sesudah stock split. Temuan penulis konsisten
dengan hasil studi Kim, et.al. (2007) yang sudah mengkaitkan dengan kasus dualclass stock split.
Tabel 4.5. Paired t test untuk Likuiditas Saham Sebelum & Sesudah Stock Split
(Proxy Amihud’s Illiquidity)
N = 46, t-test = -1.8712**
Variable
Mean
Std.Dev
ILQ Ssdh
2.23249
10.82633
ILQ Sblm
9.151143
35.43349
Difference
-6.918653
25.07675
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Seperti terlihat nilai Amihud’s illiquidity mengalami penurunan setelah stock
split. Fenomena yang penulis tangkap adalah peningkatan volume perdagangan
setelah stock split yang menjadi penyebab. Sebab kita tahu dalam rumus illiquidity
maka volume perdagangan ini menjadi denominator (faktor penyebut) dalam
menghitung Amihud’s illiquidity. Kalau diperbandingkan dengan seksama maka
Amihud’s illiquidity memilki potensi kuat seperti halnya relative spread untuk menjadi
variabel likuiditas saham.
Tabel 4.6. Paired t test untuk Likuiditas Saham Sebelum & Sesudah Stock Split
(Proxy Nominal Spread)
N = 46, t-test = -2.8176**
Variable
Mean
Std.Dev
NS Ssdh
27.99689
40.5659
NS Sblm
57.81056
59.20015
Difference
-29.81366
10.58121
Kalau dilihat dengan nominal spread (lihat tabel 4.6.), maka sebenarnya
bertolak belakang hasilnya. Hal ini karena nilai ask price masih lebih dominan dari
bid price. Sementara untuk kasus relative spread, banyak sampel mengalami
penurunan rentang harga bid dan ask secara signifikan setelah stock split.
Akibatnya nilai tengah keduanya sebagai denominator tidak terlalu berbeda
dengan nilai selisih bid dan ask price sebagai numerator. Berdasarkan hasil tabel
4.6., memang nominal spread bisa berfungsi sebagai proxy alternatif likuiditas
saham saat analisis asosiasi. Tetapi karena lemah dalam proses inferensi arti
ekonomis, maka untuk analisis asosiasi dengan proxy nominal spread tidak
dilakukan.
IV.3. Analisa Stasitik Deskriptif Untuk Semua Variabel Riset
Berdasarkan hasil analisis komparasi pada bagian IV.2, penulis bermaksud
mengidentifikasi perilaku data 6 variabel yang akan diuji dalam model analisis
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
asosiasi pada bagian IV.4. Variabel dummy tidak bisa dianalisis secara deskriptif
seperti halnya variabel bebas yang lain, maka penulis memutuskan tidak
memasukkannya
dalam
tabel
4.7.
Tentunya
untuk
mempersiapkan
hasil
pengamatan yang efektif, maka penulis membagi analisis deskriptif menjadi empat
kelompok data Panel A s/d Panel D.
Tabel 4.7. Statistik Deskriptif Variabel Riset
Panel A: Kelompok Data Tick Size Tetap (30 observasi)
Variabel
Mean
Median
Std.Dev.
Min.
Max.
Range
Ln CP
6.371803
6.40505
1.002774
4.451
8.5474
4.0964
Ln VOL
12.65908
12.6959
2.309981
8.3082
16.7598
8.4516
Ln VOT
2.679463
2.94595
1.054768
0.2128
5.1817
4.9689
Ln RS
-3.12951
-3.0198
0.678861
-4.7668
-2.0838
2.683
Ln NS
3.170383
3.2043
1.113983
1.6094
5.5356
3.9262
Ln ILQ
-1.80076
-2.4181
2.63594
-5.2318
3.4947
8.7265
Panel B: Kelompok Data Tick Size Turun (62 observasi)
Variabel
Mean
Median
Std.Dev.
Min.
Max.
Range
Ln CP
7.02275
6.9217
41.43104
4.598
9.7621
5.1641
Ln VOL
12.88723
12.917
2.665901
7.4299
18.6418
11.2119
Ln VOT
3.323874
3.1584
1.19729
0.7236
6.0248
5.3012
Ln RS
0.840604
0.8758
0.883784
-1.039
2.8076
3.8466
Ln NS
3.283419
3.2188
0.950071
1.4552
5.5214
4.0662
Ln ILQ
-1.88407
-2.03595
3.114166
-7.078
5.4758
12.5539
Dari panel A dan B, untuk kelompok data tick size tetap dan turun, maka
hampir semua nilai mean dan standar deviasi untuk variabel harga, volume dan
volatilitas adalah normal. Sebab nilai mean masih di atas nilai standar deviasi.
Kecuali variabel harga pada panel B yang tidak normal, ada indikasi ini karena ada
data harga saham yang menurun tajam setelah stock split. Untuk variabel spread
masing-masing terdeteksi cukup normal. Pada panel B, nilai variabel spread baik
mean dan standar deviasi lebih dominan. Hal ini karena memang pada kelompok
data tick size menurun efek sensitivitas pada harga, volume perdagangan dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
volatilitas saham pasca stock split akan lebih terlihat (bisa juga dengan terdeteksi
dengan range yang merupakan selisih antara maximum – minimum).
Berikutnya pada panel C dan D yang berbeda menurut tipe rasio stock split,
nampak data-data variabel harga, volume dan volatilitas saham lebih dominan di
kelompok rasio non 2:1. Hal ini bisa jadi sensitivitas rasio non 2:1 yang lebih besar
dari rasio 2:1 akan membuat nilai variabel harga, volatilitas saham dan volume
perdagangan menjadi lebih sensitif pada kelompok ini. Harga dan volatilitas menjadi
lebih tinggi sedangkan volume perdagangan menjadi jauh lebih rendah.
Panel C: Kelompok Data Rasio 2 : 1 (36 observasi)
Variabel
Mean
Median
Std.Dev.
Min.
Max.
Range
Ln CP
6.59895
6.59655
0.981905
4.451
8.602
4.151
Ln VOL
13.04803
13.0804
2.288771
8.3082
16.7598
8.4516
Ln VOT
2.962186
3.0666
1.008312
0.2128
5.1817
4.9689
Ln RS
1.227176
1.1616
0.672884
-0.2425
2.5213
2.7638
Ln NS
3.215997
3.2188
0.945176
1.6094
5.5356
3.9262
Ln ILQ
-2.3824
-2.85375
2.614275
-6.1589
3.4947
9.6536
Panel D: Kelompok Data Rasio Non 2 : 1 (56 observasi)
Variabel
Mean
Median
Std.Dev.
Min.
Max.
Range
Ln CP
6.946473
6.8987
1.269433
4.598
9.7621
5.1641
Ln VOL
12.65993
12.6068
2.707584
7.4299
18.6418
11.2119
Ln VOT
3.211132
2.95455
1.28745
0.7236
6.0248
5.3012
Ln RS
0.898511
0.8935
0.947817
-1.039
2.8076
3.8466
Ln NS
3.266211
3.2188
1.044335
1.4552
5.5214
4.0662
Ln ILQ
-1.51906
-1.4928
3.126645
-7.0781
5.4758
12.5539
Selanjutnya jika mengamati variabel likuiditas, maka pola pada panel A dan B
tidak berulang. Masing-masing panel memiliki nilai relative spread, nominal spread
dan Amihud’s illiquidity yang lebih dominan. Pada panel C, relative spread dan
Amihud’s illiquidity lebih dominan dari panel D. Hasil perbandingan range setiap
variabel mengindikasikan tipe rasio non 2:1 lebih luas dibandingkan rasio 2:1.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Implikasi yang timbul adalah saat analisis asosiasi tipe rasio non 2: 1 mestinya lebih
baik.
IV.4. Analisa Asosiatif untuk Menjelaskan Hipotesis Liquidity Kasus Stock
Split
IV.4.1. Dengan Variabel Dependen: Relative Spread
Dengan memakai panel A s/d D (lihat tabel 4.8.) penulis akan memaparkan
hasil analisa asosiasi untuk menguji H4-H6. Pada variabel terikat akan dipakai proxy
relative spread yang sudah terbukti efektif dalam studi Conroy, et.al. (1990),
Fatmawati & Asri (1999) dan Ekaputra & Putri (2006). Seperti terlihat pada panel A
(tabel 4.8.), maka model persamaan 1 cukup baik. Nilai F-hitung signifikan pada
level 1%. Tetapi sayang hanya variabel volume perdagangan yang memiliki
pengaruh signifikan dengan arah tanda sesuai hipotesis alternatif. Dengan demikian
H4 diterima, sedang H5 & H6 ditolak. Pengujian efek interaksi dummy stock split
dan masing-masing variabel bebas hanya efektif pada model persamaan 3.
Tabel 4.8. OLS Test Dependent Variable Relative Spread (Dalam Log Natural).
Panel A: Kelompok Data Tick Size Tetap (30 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel Bebas
Persamaan
1
Persamaan
2
Persamaan
3
Persamaan
4
Ln CP
- 0.28532
(-1.09338)
- 0.311
(-1.08885)
- 0.22549
(- 0.89345)
- 0.28831
(-1.08005)
Ln VOL
- 0.21053
(-3.87375)***
- 0.21154
(-3.80814)***
- 0.27933
(-4.3143)***
- 0.21184
(-3.77466)***
Ln VOT
0.088569
(0.402008)
0.081506
(0.360023)
0.037298
(0.174996)
0.072064
(0.288345)
DS
0.50981
(1.939886)*
0.140644
(0.092553)
-1.72636
(0.188167)
0.425424
(0.686403)
DS*Ln CP
-
0.058411
(0.246802)
-
-
DS*Ln VOL
-
0.176459
(1.789921)*
-
-
0.031469
(0.686403)
DS*Ln VOT
-
Intercept
5.403478
(3.388146)***
5.609198
(3.070363)***
5.946169
(3.815)***
5.485472
(3.198255)***
F-Hitung
4.324191***
3.341589**
4.405067***
3.328695**
0.314368
0.287608
0.369912
0.286478
2
Adj-R
Berdasarkan panel B maka variabel harga saham dan volume perdagangan
saham signifikan pada level 1% untuk model persamaan 1-4 (kecuali untuk Ln VOL
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
pada persamaan 3). Namun hanya variabel volume perdagangan yang memiliki
arah tanda signifikansi yang selaras dengan hipotesis alternatif. Dengan demikian
H4 diterima dan H5 ditolak. Sedangkan untuk volatilitas saham, walaupun arah
tanda sesuai dengan hipotesis alternatif, tetapi karena tidak signifikan maka H6 juga
ditolak.
Panel B: Kelompok Data Tick Size Turun (62 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Bebas
1
2
3
4
Ln CP
-0.58896
-0.81102
-0.5793
-0.63695
(-4.38576)***
(-4.74261)***
(-4.29981)***
(-4.49676)***
-0.11198
-0.11809
-0.07423
-0.1176
(-2.69205)***
(-2.90619)***
(-1.30275)
(-2.80706)***
0.136273
0.167582
0.130046
0.104697
(1.130678)
(1.415141)
(1.077019)
(0.843982)
0.201082
-2.41708
1.214781
-0.42614
(0.761494)
(-1.82589)*
(1.127179)
(-0.65557)
-
0.372851
-
-
-0.07779
-
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(2.016217)**
DS*Ln VOL
-
DS*Ln VOT
-
(-0.9702)
-
Intercept
F-Hitung
2
Adj-R
0.194389
(1.055754)
5.866367
7.542477
5.38765
6.426554
(6.356968)***
(6.159985)***
(5.146416)***
(6.041753)***
12.13413***
11.04233***
9.885563***
9.949875***
0.422001
0.451496
0.421405
0.423161
Secara umum penurunan tick size memiliki efek yang lebih positif bagi
likuiditas saham. Pada panel A, variabel harga saham yang tadinya tidak memiliki
kontribusi pengaruh akhirnya memiliki kontribusi efek juga pada panel B. Memang
ada indikasi penurunan tick size akan berdampak langsung pada koreksi harga
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
saham. Hasil pada model 2 untuk interaksi dummy split dengan Ln CP konsisten
dengan model Ekaputra & Basharat (2006). Tetapi dalam model 3 & 4 interaksi
dummy split dengan Ln VOT & Ln VOL tidak sesuai harapan. Penulis menduga hal
ini karena Ln VOT dan Ln VOL sudah tidak efektif sebagai variabel bebas .
Pada pembagian sub sampel rasio 2:1 dan non 2:1, penulis ingin mengetahui
kelompok data yang paling efektif dampak likuiditasnya pasca stock split.
Selengkapnya terlihat pada panel C & D. Mendasari hasil pengujian panel C dan D,
maka penulis melihat variabel volume perdagangan saham memiliki pengaruh yang
selaras dengan hipotesis alternatif. Dengan demikian H4 sekali lagi diterima. Untuk
variabel harga saham meskipun memiliki efek signifikan pada model 1-4 panel C &
D tetapi karena berbeda arah tanda dengan hipotesis alternatif, maka sekali lagi H5
ditolak. Seperti halnya panel A & B, maka volatilitas saham tidak memiliki pengaruh
berarti pada persamaan 1-4. Konsekuensinya H6 ditolak.
Panel C: Kelompok Data Rasio 2 : 1 (36 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel Bebas
Persamaan
1
Persamaan
2
Persamaan
3
Persamaan
4
Ln CP
-0.5569
(-3.11159)***
-0.55771
(-2.70382)**
-0.54165
(-3.0314)***
-0.55863
(-3.0493)
Ln VOL
-0.20018
(-4.53573)***
-0.20017
(-4.46104)***
-0.23811
(-4.30890***
-0.20025
(-4.46315)***
Ln VOT
0.269409
(1.672454)
0.2694
(1.641581)
0.260359
(1.621566)
0.263988
(1.489335)
DS
0.243323
(1.218253)
0.232687
(0.180016)
-1.00873
(-0.89744)
0.200173
(0.346692)
DS*Ln CP
-
0.001609
(0.008332)
-
-
DS*Ln VOL
-
0.095324
(1.131761)
-
DS*Ln VOT
-
-
0.014326
(0.079832)
Intercept
6.594419
(5.635225)***
6.599963
(4.842112)***
6.978917
(5.751179)***
6.623754
(5.320708)***
F-Hitung
6.895062***
5.338139***
5.822206***
5.340522***
Adj-R2
0.402529
0.382615
0.407894
0.382744
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 41
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Panel D: Kelompok Data Rasio Non 2 : 1 (56 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Bebas
1
2
3
4
Ln CP
-0.54342
-0.7963
-0.53977
-0.60459
(-3.41749)***
(-3.97362)***
(-3.36293)***
(-3.6034)***
-0.14414
-0.14948
-0.1225
-0.14984
(-3.00364)***
(-3.19799)***
(-1.76886)*
(-3.11255)***
0.128613
0.166711
0.126452
0.094158
(0.949596)
(1.252562)
(0.925592)
(0.679479)
0.412366
-2.45406
0.933954
-0.28217
(1.267298)
(-1.65904)
(0.753931)
(-0.40273)
-
0.410646
-
-
-0.0412
-
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(1.983735)*
DS*Ln VOL
-
DS*Ln VOT
-
(-0.43663)
-
Intercept
F-Hitung
2
Adj-R
0.220219
(1.118572)
5.879326
7.763294
5.621801
6.551791
(5.67546)***
(5.607452)***
(4.688062)***
(5.480119)***
10.68461***
9.826671***
8.450166***
8.840028***
0.413261
0.445192
0.403799
0.416137
Hal yang lebih penting dari panel C & D tentu saja tidak ada perbedaan yang
berarti dalam hal efektivitas dampak likuiditas saham pasca stock split. Nilai F-hitung
dan Adjusted R2 model 1-4 untuk sub sampel rasio 2:1 dan non 2:1 tidak ada
perbedaan yang cukup berarti. Hanya untuk efek interaksi dummy split terhadap
harga saham, sub sampel rasio non 2:1 lebih baik yakni pada model 2.
Penetapan rasio stock split yang lebih besar dari 2:1, akan membuat faktor
koreksi harga setelah stock split menjadi lebih sensitif. Khusus untuk dummy split,
panel A & B lebih baik daripada panel C & D. Hal ini bisa diduga efek likuiditas
sebelum dan sesudah stock split akan lebih terasa pada kasus perubahan tick size
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 42
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
dibandingkan pembedaan rasio stock split. Tentunya temuan ini mendukung hasil
studi Angel (1997) dan Schultz (2000).
IV.4.2. Dengan Variabel Dependen: Amihud’s Illiquidity
Selain dengan relative spread, penulis juga melakukan analisis dengan proxy
Amihud’s Illiquidity. Proxy ini sejalan dengan relative spread, karena sama-sama
berpijak pada ketidak-likuidan saham. Lebih jelasnya lihat tabel 4.9 di bawah ini.
Tabel 4.9. OLS Test Dependent Variable Amihud’s Illiquidity (Dalam Log
Natural)
Panel A: Kelompok Data Tick Size Tetap (30 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Bebas
1
2
3
4
Ln CP
-0.74547
-0.53495
-0.7193
-0.72438
(-1.51069)
(-1.0136)
(-1.42012)
(-1.4439)
-1.11153
-1.10321
-1.14162
-1.10225
(-10.8159)***
(-10.748)***
(-8.78593)***
(-10.4505)***
0.512264
0.570166
0.489483
0.628606
(1.229592)
(1.362985)
(1.14518)
(1.338341)
-0.24651
2.779806
-1.22441
0.348289
(0.49604)
(0.990001)
(-0.47872)
(0.299012)
-
-0.47884
-
-
0.077167
-
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(-1.09494)
DS*Ln VOL
-
-
(0.390032)
DS*Ln VOT
-
-
-
-0.22181
(-0.56637)
Intercept
15.77081
14.08438
16.00814
15.19287
(5.299463)***
(4.172303)***
(5.17704)***
(4.713354)***
F-Hitung
38.33497***
31.15174***
29.6583***
29.89892***
Adj-R2
0.837389
0.838673
0.831681
0.832848
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 43
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dalam panel A, nampak variabel harga saham tidak signifikan karena tidak
ada perubahan tick size. Hasil ini membuat H5 ditolak. Sedangkan untuk variabel
volume perdagangan tetap menunjukkan konsistensinya dalam mempengaruhi
likuiditas saham pasca stock split. Situasi ini mengindikasikan H4 diterima. Untuk
variabel volatilitas saham kembali arah hubungan selaras dengan hipotesis
alternatif, tetapi karena tidak signifikan maka H6 ditolak. Lain halnya dengan panel
B, variabel harga saham, volume perdagangan saham dan volatilitas-nya memiliki
pengaruh untuk semua model 1-4. Dengan demikian H4 & H6 diterima, H5 ditolak
karena berbeda tanda dengan hipotesis alternatif. Kondisi ini memperteguh hasil
pada proxy relative spread bahwa dampak likuiditas pasca stock split memang akan
paling efektif pada sub sampel tick size menurun. Meskipun demikian peran dummy
split tidak begitu baik.
Panel B: Kelompok Data Tick Size Turun (62 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel Bebas
Ln CP
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
1
2
3
4
-0.82971
-0.7008
-0.82907
-0.81815
(-3.16066)***
(-2.03028)**
(-3.12188)***
(-2.92619)***
-1.15686
-1.15332
-1.15438
-1.15551
(-14.2273)***
(-14.0615)***
(-10.2786)***
(-13.9733)***
1.071654
1.053478
1.071244
1.07926
(4.548947)***
(4.407293)***
(4.500815)***
(4.407579)***
0.550599
2.070506
0.617269
0.701699
(1.066649)
(0.774878)
(0.290567)
(0.546882)
-
-0.21645
-
-
-0.00512
-
(-0.57987)
DS*Ln VOL
-
-
(0.03237)
DS*Ln VOT
-
-
-
-0.04683
(-0.12885)
Intercept
F-Hitung
2
Adj-R
15.01422
14.0412
14.98274
14.87927
(8.322916)***
(5.681258)***
(7.260607)***
(7.086684)***
71.47376***
56.58043***
56.17713***
56.19585***
0.822103
0.820007
0.81893
0.81898
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 44
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Berikutnya pada panel C & D di halaman 39, penulis mendapatkan hasil yang
tidak jauh berbeda untuk arah hubungan variabel harga saham, volume
perdagangan dan volatilitas saham. Dengan demikian H4 & H6 diterima; H5 lagilagi ditolak. Implikasi temuan penting adalah proxy Amihud’s Illiquidity berhasil
mengefektifkan semua variabel bebas, terutama volatilitas saham. Bisa saja
dikatakan untuk kasus pengujian H6, proxy Amihud’s Illiquidity lebih baik daripada
relative spread.
Panel C: Kelompok Data Rasio 2 : 1 (36 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Bebas
1
2
3
4
Ln CP
-1.13104
-0.85542
0.118674
-1.1292
(-2.67217)**
(-1.79719)*
(0.639593)
(-2.6061)**
-1.09363
-1.09602
0.009945
-1.09356
(-10.4782)***
(-10.5852)***
(0.1733)
(-10.3052)***
0.839149
0.841912
0.379543
0.844918
(2.202734)**
(2.228061)**
(2.276403)**
(2.015425)*
-0.38499
3.235057
3.174161
-0.33906
(-0.81505)
(1.08459)
(2.719473)**
(-0.24829)
-
-0.54772
-
-
-0.01235
-
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(-1.22892)
DS*Ln VOL
-
DS*Ln VOT
-
(-0.14119)
-
Intercept
-0.01525
(-0.03593)
17.05876
15.17078
-2.0975
17.02663
(6.163676)***
(4.823326)***
(-1.66455)
(5.782795)***
F-Hitung
31.77656***
26.14171***
57.20237***
24.60253***
Adj-R2
0.7763
0.782214
0.889245
0.771261
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 45
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Panel D: Kelompok Data Rasio Non 2 : 1 (56 observasi); Coefficient (t-hitung)
Variabel
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Persamaan
Bebas
1
2
3
4
Ln CP
-0.7062
-0.74762
-0.69499
-0.69732
(-2.67476)***
(-2.16413)**
(-2.61993)**
(-2.47255)**
-1.15012
-1.15099
-1.08365
-1.14929
(14.4348)***
(-14.2848)***
(-9.46812)***
(-14.2033)***
0.977171
0.983411
0.970532
0.98217
(4.345243)***
(4.286118)***
(4.298429)***
(4.216651)***
0.659551
0.190008
2.261808
0.760326
(1.220772)
(0.074514)
(1.104759)
(0.645613)
-
0.067267
-
-
-0.12656
-
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(0.1885)
DS*Ln VOL
-
DS*Ln VOT
-
(-0.81157)
-
Intercept
F-Hitung
2
Adj-R
-0.03195
(-0.09656)
14.48127
14.7899
13.69046
14.38369
(8.419321)***
(6.196949)***
(6.907829)***
(7.157539)***
79.74684***
62.5981***
63.5022***
62.56007***
0.851346
0.848481
0.850345
0.848401
Mengapa Amihud’s illiquidity lebih baik dari relative spread pada pengujian
H6? Pertama, penulis melihat sifat dasar volatilitas saham dan Amihud’s Illiquidity
yang memiliki gerakan searah. Seperti kita lihat dari model dasar Cobb-Douglas
maka semakin besar volatilitas akan semakin tinggi spread. Di dalam rumus
Amihud’s Illiquidity terkandung unsur volatilitas juga meskipun adalah
standar
deviasi return saham tetapi tentu memiliki kemiripan dengan volatilitas harga saham.
Kedua, setelah stock split, relative spread malah meningkat. Peningkatan
dikarenakan secara jumlah sampel; kasus peningkatan relative spread lebih besar
dan faktor lain adalah penurunan drastis fraksi perdagangan pasca stock split.
Dengan efektifnya proxy Amihud’s Illiquidity setidaknya memberi keyakinan positif
atas hasil buruk riset Kim, et.al. (2007).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 46
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV.5. Diskusi Hasil Interaksi Variabel Dummy Split dan Variabel Bebas
IV.5.1. Dengan Variabel Dependen: Relative Spread
Sesuai dengan arahan studi Ekaputra & Basharat (2006), maka proses
analisis interaksi suatu dummy variable event dengan variabel bebas yang menjadi
prediktor sangat penting.
Pada studi ini (walaupun pada level pengujian non
serempak), penulis akan mencoba menganalisisnya sebagai berikut:
a) Pada panel A (tick size tetap) untuk persamaan 2 memang tidak terindikasi
pengaruh stock split terhadap dampak harga pada relative spread. Fenomena
ini konsisten dengan hipotesis liquidity dalam stock split. Selanjutnya pada
persamaan 3 justru nampak indikasi pengaruh stock split terhadap dampak
volume pada relative spread. Fenomena tersebut konsisten dengan hipotesis
liquidity dalam stock split. Fenomena persamaan 2 berulang lagi pada
persamaan 4 untuk variabel volatilitas.
Sedangkan untuk persamaan 1
memang tidak ada indikasi stock split dalam mengurangi relative spread.
b) Pada panel B (tick size turun) dalam persamaan 1 stock split tidak
mengurangi relative spread. Tentu saja, hal ini kontras dengan hipotesis
liquidity. Dugaan pemakaian even tahun-tahun pasca krisis mungkin bisa
dikedepankan. Untuk persamaan 2 ada indikasi kuat pengaruh stock split
terhadap dampak harga pada relative spread. Fenomena ini mendukung
hipotesis liquidity.
Untuk persamaan 3 & 4, ternyata tidak ada indikasi
pengaruh stock split terhadap dampak volume dan volatilitas saham pada
relative spread.
c) Pada panel C (tipe rasio stock split 2:1) dalam persamaan 1, stock split tidak
mengurangi relative spread. Demikian pula untuk persamaan 2, 3 dan 4 hasil
proses interaksi juga tidak mendukung hipotesis liquidity. Penulis memiliki
argumentasi bahwa perubahan harga nominal baru sebesar 2 kali lipat dari
harga nominal lama tidak mampu menggerakkan minat investor untuk
merespon agenda stock split emiten dengan rasio 2:1. Fenomena ini belum
banyak dibahas dalam liquidity hypothesis, maka sebenarnya belum bisa
dikatakan bertentangan.
d) Pada panel D (tipe rasio stock split non 2:1), hasil proses interaksi lebih baik.
Untuk persamaan 1, 3 dan 4 tidak jauh berbeda dengan panel C. Artinya
stock split juga tidak mengurangi relative spread, kemudian stock split juga
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 47
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
tidak memiliki pengaruh masing-masing terhadap dampak volume dan
volatilitas pada relative spread. Hasilnya tentu tidak mendukung hipotesis
liquidity. Tetapi bila kita lihat persamaan 2, maka nampak pengaruh stock
split terhadap dampak harga pada relative spread.
Implikasi Penting:
Dengan demikian temuan persamaan 2 pada panel B dan D mendukung hipotesis
liquidity dalam stock split; dan penulis klaim sebagai temuan penting dalam studi
ini.
IV.5.2. Dengan Variabel Dependen: Amihud’s Illiquidity
Seperti halnya proxy relative spread, maka penulis juga akan menganalisis
proses interaksi berbasis studi Ekaputra & Basharat (2006). Hasil diskusinya
sebagai berikut.
a) Pada panel A (tick size tetap) untuk persamaan 2 memang tidak terindikasi
pengaruh stock split terhadap dampak harga pada Amihud’s Illiquidity.
Fenomena ini konsisten dengan hipotesis liquidity dalam stock split.
Selanjutnya pada persamaan 3 & 4 juga tidak nampak indikasi pengaruh
stock split terhadap dampak volume & volatilitas saham pada Amihud’s
Illiquidity. Sedangkan untuk persamaan 1 tidak ada indikasi stock split
mengurangi Amihud’s Illiquidity.
b) Pada panel B (tick size turun) dalam persamaan 1 stock split tidak
mengurangi Amihud’s Illiquidity. Tentu saja, hal ini kontras dengan hipotesis
liquidity. Dugaan pemakaian even tahun-tahun pasca krisis karakter unik
Amihud’s Illiquidity (lihat definisi operasional Bab III.5.2.) mungkin bisa
dikedepankan. Untuk persamaan 2, 3 dan 4 tidak ada indikasi kuat pengaruh
stock split
terhadap dampak harga, volume dan volatilitas saham
pada
Amihud’s Illiquidity.
c) Pada panel C (tipe rasio stock split 2:1) & D (tipe rasio stock split non 2:1)
dalam persamaan 1 stock split
tidak mengurangi Amihud’s Illiquidity.
Demikian pula untuk persamaan 2, 3 dan 4 hasil proses interaksi dummy
stock split masing-masing dengan Ln CP, Ln VOL & ln VOT tidak mendukung
hipotesis liquidity.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 48
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Implikasi Penting:
Proxy Amihud’s Illiquidity ternyata masih kalah efektif dalam menjelaskan intraksi
dummy stock split dengan variabel Ln CP, Ln VOL dan Ln VOT. Meskipun harus
diakui proxy ini mampu mengefektifkan Ln VOT yang tidak signifikan dalam proxy
relative spread.
IV.6. Catatan Akhir
Pertama adalah bahwa model Ekaputra & Putri (2006) kembali terbukti efektif
untuk kasus stock split di Indonesia. Hal ini karena peran vital dari dummy variable
of stock split (detailnya lihat lampiran 3). Hal kedua adalah berkenaan dengan
interaksi
antara
variabel
bebas
dan
dummy
split
sebagai
manifestasi
pengembangan studi Ekaputra & Putri (2006). Nampak pada pengujian setiap panel
hasilnya beragam. Penulis berpendapat ada dua sebab yakni pertama, proxy dari
volatilitas saham yang berbeda dan kedua, profil data relative spread berbeda.
Tetapi secara keseluruhan penulis menemukan hanya pada proxy likuiditas relative
spread, interaksi antara dummy split dan harga berhasil dengan baik.
Hal ketiga yakni kecocokan setiap determinan likuiditas saham pada
beberapa panel (detailnya lihat lampiran 2). Pada saat penggunaan proxy relative
spread, hanya volume trading yang relevan. Begitu penulis memakai proxy Amihud’s
Illiquidity giliran volatilitas saham relevan. Sedangkan variabel harga belum nampak
relevansinya. Saat penggunaan proxy nominal spread (tidak dilaporkan karena
alasan belum mapan dalam literatur) maka harga saham baru menunjukkan
signifikansi. Fenomena yang terjadi adalah tidak ada proxy likuiditas saham yang
dominan dan hanya volume trading sebagai determinan yang paling kuat untuk
kasus studi penulis.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 49
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
BAB V
KESIMPULAN & IMPLIKASI
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis secara deskriptif secara grafis, nampak pola gerakan
volume perdagangan, harga saham dan likuiditas sudah sewajarnya seperti kasus kasus stock split pada umumnya.
Pada analisis komparasi, penulis berhasil
membuktikan bahwa volume perdagangan, volatilitas saham dan harga saham
sudah sesuai dengan hipotesis liquidity dalam stock split. Tetapi dalam hasil analisis
asosiasi, hal ini menjadi “mentah” kembali, hanya volume perdagangan saham yang
sesuai dengan hipotesis alternatif pada semua kelompok panel data tick size tetap
+ turun dan rasio stock split 2:1 + non 2:1.
Sedangkan harga saham juga cukup sesuai dengan hipotesis liquidity dalam
stock split; terutama untuk kelompok data tick size turun. Dan terakhir volatilitas
saham tercatat paling tidak konsisten dengan hipotesis liquidity. Saat melakukan
analisis dengan dummy split maka tercatat kurang efektif pada hampir semua
kelompok data. Tetapi pada waktu dilakukan interaksi dengan variabel bebas, maka
penulis menemukan bentuk interaksi antara dummy split dan harga yang signifikan
pada beberapa kelompok data; terutama panel B & D untuk proxy relative spread.
Temuan ini mengindikasikan bahwa stock split lebih cenderung memperbaiki level
harga dibandingkan dengan meningkatkan jumlah volume perdagangan saham.
V.2. Implikasi
V.2.1. Keterbatasan
Sedikitnya jumlah kasus stock split terutama tahun 2005-2007 bisa menjadi
pertanda bahwa hipotesis liquidity dalam stock split perlu dikaji lagi. Aspek
penambahan jumlah pemegang saham dan prosentase kepemilikan publik pasca
stock split perlu ditelaah lagi secara mendalam. Kiranya studi Najmuddin (2002) bisa
menjadi benchmark. Sebab seperti penulis duga di awal, fenomena signaling dalam
stock split juga terkait dengan liquidity. Investor odd-lot tentunya akan berupaya
menjadi investor round-lot bila menangkap sinyal positif akan efektivitas likuiditas
saham pasca pelaksanaan stock split.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 50
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Selain itu kelemahan mendasar pada jumlah observasi bisa menjadi
penyebab tidak efektifnya variabel Amihud’s Illiquidity. Penulis berpendapat level
data intrahari sebenarnya bisa menjadi solusi mengingat jumlah observasi akan
meningkat; ataupun mengaktifkan kembali variabel depth to relative spread bila
handicap pencarian data intrahari terjadi.
V.2.2. Kemungkinan Pengembangan
Penulis menyarankan penelitian survai seperti Baker & Gallagher (1980).
Memang tidak mudah membuat desain risetnya sebab sangat behavioral, tetapi
kalau nanti dikaitkan dengan benefit yang diambil; model tersebut bisa menjadi
pilihan. Bila pendekatan survai dirasa terlalu subyektif maka penulis menyarankan
dipakainya model teoritis Anshuman & Kalay (2002) sebagai pencetus model
matematis hipotesis liquidity dalam stock split.
Secara keseluruhan
model
penelitian survai Baker & Gallagher (1980) dan model stokastik Anshuman & Kalay
(2002) idealnya dinyatakan dalam pembuatan disertasi.
Bila kembali diamati peran dummy split cukup efektif dalam studi ini.
Meskipun fenomena yang terjadi adalah variabel dummy split lebih relevan dengan
proxy relative spread dan tidak cocok dengan proxy Amihud’s Illiquidity. Dan
memang agar efektif hasilnya penulis memakai model pengujian interaksi dummy
split dengan variabel bebas dengan sistem satu per satu tidak serentak seperti studi
Aitken & Frino (1996). Penulis berpendapat hal ini karena basis model hanyalah
OLS. Maka bila hendak dilakukan pengujian interaksi dummy split dengan variabel
bebas secara serempak, model regresi GMM (General Method of Moment) bisa
menjadi alternatif terbaik.
Pada bagian akhir juga penulis menyampaikan kepada pelaku pasar modal
khususnya emiten dan investor hendaknya tetap dalam “koridor”. Artinya investor
tidak perlu bereaksi berlebihan dalam kasus stock split; sementara emiten tetap
memberikan alasan rasional dan mekanisme yang transparan seputar pelaksanaan
stock split. Sikap yang kooperatif antara emiten dan investor paling tidak bisa
mengurangi asimetrik informasi yang bisa jadi merupakan salah satu simbol ketidaklikuidan suatu saham.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 51
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Aitken, M. & A. Frino (1996),”The Determinant of Market Bid Ask Spreads on the
Australian Stock Exchange: Cross Sectional Analysis” Accounting & Finance
36, pp. 51-64.
Amihud, Y., H. Mendelson & J. Uno (1999),”Number of Shareholders and Stock
Prices: Evidence from Japan,” Journal of Finance 54, pp.1169-1184.
Amihud, Y. (2002),”Illiquidity and Stock Returns: Cross Section and Time Series
Effects,” Journal of Financial Markets 5, pp. 31-56.
Angel, J.J. (1997),”Tick Size, Share Price and Stock Splits,” Journal of Finance 52,
pp. 655-681.
Anshuman, V.R. & A. Kalay (2002),”Can Splits Create Market Liquidity? Theory and
Evidence,” Journal of Financial Market 5,pp. 83-125.
Baker, H. K. &
P. L. Gallagher (1980),”Management’s View of Stock Splits,”
Financial Management 9 (Summer),pp. 73-77.
Chen, C.N. (2001),”Small Traders and Increased Price Volatility After Stock Splits,”
Dissertation from Syracuse University,pp.6-11.
Conroy,R.M., R.S. Harris & B.A. Bennet (1990),”The Effect of Stock Split on Bid-Ask
Spread,” Journal of Finance 45 (September), pp. 1285-1295.
Copeland, T.E. (1979),” Liquidity Changes Following Stock Splits,” Journal of
Finance 34 (March), pp. 115-141.
Dyl, E.A. & W.B. Elliot (2006),”The Share Price Puzzle,” Working Paper from
University of Arizona, pp. 1-28.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 52
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Easley, D., M. O’Harra & G. Saar (2001),”How Stock Splits Affect Trading: A
Microstructure Approach,” Journal of Financial & Quantitative Analysis 36, pp.
25-51.
Ekaputra, I.A. (2003),”Studi Dinamika Intrahari Saham di BEJ,” Disertasi Program
S3 FE-UI Depok, hal. 55-57.
Ekaputra. I.A. & O.Z.E. Putri (2006),”Stock Split, Fraksi Perdagangan dan Likuiditas
Saham di Bursa Efek Jakarta,” Manajemen Usahawan No. 12 Tahun Ke-35
(Edisi Desember), hal. 20-24.
Ekaputra, I.A. & B. Ahmad (2006),”The Impact of Tick Size Reduction on Liquidity
and Order Strategy: Evidence from the Jakarta Stock Exchange (JSx),”
Working Paper presented in The 1st International Conference on Business
and Management Research (ICBMR), Bali August. pp. 1-13.
Harris, L. (2003), Trading & Exhanges: Market Microstructure for Practioners, Oxford
University Press, New York.
Hwang, S., A.Kesnawi & M.B. Shackleton (2005),”Stock Splits: What Does the
Markets
Tell
Ex-Ante?”
Working
Paper
from
University
of
Lancaster,U.K.,pp.1-34.
Ikenberry, D.L., G. Rankine & E.K. Stice (1996),”What Do Stock Splits Really
Signal?” Journal of Financial & Quantitative Analysis 31, pp. 357-375.
Kim,J., J.C. Lin, A. Singh & W. Yu (2007),”Dual Class Splits and Stock Liquidity,”
Working Paper from International Conference of Finance in NUS, pp. 1-42.
Lakonishok, J. & B. Lev (1987),”Stock split and Stock Dividend: Why, Who and
When,” Journal of Finance 42,pp.913-932.
Lamoureux, C.G. & P. Poon (1987),”The Market Reaction to Stock Splits,” Journal of
Finance 42, 1347-1370.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 53
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Maloney, M.T. & H. Mulherin (1992),”The Effect of Splitting on the Ex: A Market
Microstructure Reconciliation,” Financial Management 21, pp. 44-59.
McGough,E.F. (1993),”Anatomy of a Stock Split,” Management Accounting Vol. 75
No. 3 (September), pp. 58-61.
McNichols, M. & A. Dravid (1990),”Stock Dividends, Stock Splits and Signaling,”
Journal of Finance 45, pp.857-879.
Mukherji, S., Y.H. Kim & M.C. Walker (1997),”The Effect of Stock Splits on the
Kepemilikan Structure of Firms,” Journal of Corporate Finance 3, pp.167188.
Muscarella, C.J. & M.R. Vetsuypens (1996),”Stock Splits: Signaling or Liquidity? The
Case of ADR ‘Solo-Splits,” Journal of Financial Economics 42, pp. 3-26.
Najmudin (2002),”Komposisi Kepemilikan Pemegang Saham, Likuiditas dan
Abnormal Retun Di Sekitar Pengumuman Stock split Pada Perusahaan
Publik Di Bursa Efek Jakarta,” Tesis Program Pasca Sarjana FE-UI, Depok.
Rozeff, M. (1998),”Stock splits: Evidence from Mutual Funds,” Journal of Finance 53,
pp. 335-349.
Schultz, P. (2000),”Stock splits, Tick Size & Sponsorship,” Journal of Finance 55, pp.
429-450.
Susanti, M.F.Arrozy & I.R. Setyawan (2005),”Pengaruh Harga Saham, Volume
Perdagangan dan Volatilitas Harga Saham Terhadap Bid-Ask Spread Pada
Perusahaan yang Melakukan Stock Split Di Bursa Efek Jakarta,” Manajemen
Usahawan Vol. 33 No. 10, hal. 36-47.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 54
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
LAMPIRAN 1
Tabel 1. TABULASI DATA FINAL
Kode
TAHUN
Tick Size
Tick Size
Status
Rasio
Emiten
STOCK
Sebelum
Sesudah
Tick Size
Stock
SPLIT
Stock Split Stock Split
Split
INCI
1998
5
5
tetap
(2:1)
MYRX
1998
50
25
turun
Non (2:1)
IGAR
1999
25
5
turun
Non (2:1)
DNKS
1999
25
10
turun
Non (2:1)
BUDI
1999
25
10
turun
Non (2:1)
KKGI
1999
10
10
tetap
(2:1)
SSTM
1999
10
10
tetap
(2:1)
DSUC
1999
10
10
tetap
(2:1)
SUDI
1999
25
10
turun
Non (2:1)
LTLS
1999
10
10
tetap
(2:1)
SONA
2000
10
5
turun
(2:1)
APLI
2000
25
5
turun
Non (2:1)
INDF
2000
25
5
turun
Non (2:1)
TRST
2000
5
5
tetap
Non (2:1)
ESTI
2000
10
10
tetap
Non (2:1)
ULTJ
2001
10
5
turun
Non (2:1)
SUBA
2001
5
5
tetap
(2:1)
DSFI
2001
25
5
turun
Non (2:1)
SMPL
2001
10
5
turun
Non (2:1)
SRSN
2001
10
5
turun
Non (2:1)
HMSP
2001
50
5
turun
Non (2:1)
SDPC
2001
10
5
turun
Non (2:1)
TBLA
2001
10
5
turun
Non (2:1)
STTP
2001
10
5
turun
Non (2:1)
SIMM
2001
25
5
turun
Non (2:1)
VOKS
2002
5
5
tetap
(2:1)
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 55
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
FMII
2002
10
5
turun
Non (2:1)
KLBF
2004
10
10
tetap
(2:1)
PTRO
1998
25
25
tetap
(2:1)
NISP
1999
10
10
tetap
(2:1)
BHIT
2000
25
10
turun
(2:1)
ASGR
2000
50
10
turun
Non (2:1)
TRIM
2000
50
10
turun
Non (2:1)
MEDC
2000
25
5
turun
Non (2:1)
MIRA
2000
10
5
turun
(2:1)
INTA
2000
10
10
tetap
(2:1)
BASS
2000
25
10
turun
Non (2:1)
RALS
2001
50
10
turun
(2:1)
BBCA
2001
10
5
turun
(2:1)
TURI
2001
10
10
tetap
Non (2:1)
BLTA
2002
25
5
turun
Non (2:1)
SMRA
2002
10
5
turun
Non (2:1)
CFIN
2003
5
5
tetap
(2:1)
2003
25
5
turun
Non (2:1)
JIHD
2004
10
5
turun
(2:1)
ISAT
2004
50
25
turun
Non (2:1)
AHAP
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 56
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
LAMPIRAN 2
Keterangan:
s adalah signifikan, ts adalah tidak siginifikan dan (
) merupakan arah tanda yang
diharapkan. Temuan penting: Ln VOL paling konsisten; Ln CP cenderung cocok
dengan Ln NS (hanya dilampirkan secara tabulasi saja) sedangkan Ln VOT
cenderung cocok dengan Ln ILQ. Berarti secara keseluruhan H4 paling bisa
diterima sedang H5 dan H6 sebagian diterima. Khusus Ln NS belum bisa diterima
karena proses inferensi arti ekonomisnya masih lemah secara literatur.
Tabel 2a. Rekapitulasi Penerimaan H4-H6 (persamaan 1 & 2)
Keterangan
Persamaan 1
Persamaan 2
Ln RS
Ln NS
Ln ILQ
Ln RS
Ln NS
Ln ILQ
Ln CP
- ts (+)
+ s (+)
- ts (+)
- ts (+)
+ s (+)
- ts (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
- s (+)
+ ts (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Panel A:
Panel B:
Panel C:
Panel D:
Tabel 2b. Rekapitulasi Penerimaan H4-H6 (persamaan 3 & 4)
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 57
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Keterangan
Persamaan 3
Persamaan 4
Ln RS
Ln NS
Ln ILQ
Ln RS
Ln NS
Ln ILQ
Ln CP
- ts (+)
+ s (+)
- ts (+)
- ts (+)
+ s (+)
- ts (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
- s (+)
+ ts (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- ts (-)
- s (-)
- s (-)
- ts (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
+ ts (+)
- ts (+)
+ s (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
+ ts (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Ln CP
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
- s (+)
+ s (+)
- s (+)
Ln VOL
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
- s (-)
LnVOT
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
+ ts (+)
+ ts (+)
+ s (+)
Panel A:
Panel B:
Panel C:
Panel D:
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 58
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
LAMPIRAN 3
Tabel 3. Studi Banding Hasil Riset Fatmawati & Asri (1999), Ekaputra & Putri
(2006) serta Penulis (2007); Proxy Likuiditas Saham: Ln Relative
Spread
Variabel
Fatmawati & Asri
Ekaputra & Putri
Penulis
Bebas
(1999)
(2006)
(2007)
Ln CP
- 0.48
- 0.383
- 0.81102
(0.0014)***
(-9.225)***
(-4.74261)***
- 0.094
0.237
- 0.11809
(0.097)*
(3.088)***
(-2.90619)***
0.18
- 0.191
0.167582
(0.0006)***
(- 8.418)***
(1.415141)
0.068
- 0.221
- 2.41708
(0.42)
(-1.711)*
(- 1.82589)*
-
-
0.372851
Ln VOL
Ln VOT
DS
DS*Ln CP
(2.016217)**
DS*Ln VOL
-
-
-
DS*Ln VOT
-
-
-
Intercept
1.164
2.384
7.542477
(0.025)**
(5.235)***
(6.1599850)***
13.62***
47.559***
11.04233***
Adj-R
0.69
0.763
0.451496
Sampel
30 saham
33 saham
31 saham
(Periode)
(1995-1997)
(2002-2005)
(1998-2004)
F-Hitung
2
Keterangan:
Fatmawati & Asri (1999) tidak membedakan data tick size naik dan turun.
Sementara Ekaputra & Putri (2006) dan penulis (2007) menggunakan data tick size
menurun saja. Untuk angka dalam kurung Fatmawati & Asri (1999) menggunakan pvalue, sedang Ekaputra & Putri (2006) serta Penulis (2007) memakai t-hitung.
Temuan penting penulis (2007):
Stock Split berhasil memperbaiki likuiditas saham dua dimensi (yakni relative
spread) versi Ekaputra & Putri (2006) tetapi dengan syarat ada penurunan tick
size (lihat panel B) dan peningkatan rasio lebih dari 2:1 (lihat panel D).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM08 - 59
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH JENIS INDUSTRI, NEGARA, AKTIVA TETAP, TINGKAT
PERTUMBUHAN, GDP DAN INFLASI TERHADAP
PENGGUNAAN HUTANG PERUSAHAAN
Cynthia Afriani Utama
Universitas Indonesia
Ahja Haziqo
Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Abstract
The study investigates whether the level of financial leverage is affected by industry
type, country characteristics, tangibility, growth opprotunities, the interaction
between tangibility and growth opportunities, and macroeconomic factors (measured
by the level of inflation and GDP per capita). The sample includes listed firms in the
lodging and software industries and from Indonesia, Malaysia, and Singapore. The
study finds that growth opportunities negatively affect the level of financial leverage,
but this negative effect weakens as the use of fixed assets (i.e., tangibility)
increases. Beside that, the lodging firms have more leverage than the software
firms. Further, the study finds that higher GDP per capita and lower inflation rate
translate to lower use of debt.
Keywords : capital structure, lodging firms, software firms, tangibility, growth1.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Pendahuluan
Struktur modal merupakan salah satu penentu bagi perkembangan kegiatan
investasi perusahaan. Myers (1977) dan Jensen (1986) menyatakan bahwa struktur
modal perusahaan yang optimal tergantung pada besarnya biaya dan keuntungan
dalam penggunaan sumber pendanaan hutang dan ekuitas. Dengan campuran
hutang dan ekuitas yang optimal, perusahaan dapat menikmati biaya pendanaan
yang rendah dan tentunya juga dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham
(Sheel, 1994).
Berdasarkan pecking order theory, sumber pembiayaan termurah adalah
hutang dengan adanya manfaat interest tax shields. Besarnya hutang yang
digunakan suatu perusahaan untuk mendanai kegiatannya sangat ditentukan oleh
berbagai faktor seperti karakteristik industri (Tang dan Jang, 2007) dan
makroekonomi (Cheng dan Shiu, 2007). Tang dan Jang (2007) mengungkapkan
bahwa perbedaan karakteristik industri menentukan besarnya penggunaan hutang
dalam perusahaan. Contoh kontras adalah industri penginapan yang sarat dengan
fixed asset dan industri pembuatan perangkat lunak yang sarat dengan intangible
asset. Pada industri penginapan perusahaan cenderung memilih hutang sebagai
sumber pembiayaan karena aset tetap yang dimiliki merupakan jaminan (collateral)
bagi tekanan keuangan dan resiko kebangkrutan dari proyek investasi yang mereka
lakukan.
Selain itu, static tradeoff theory menyatakan bahwa perusahaan dengan
tingkat growth opportunities yang tinggi cenderung memiliki bankruptcy risk yang
tinggi sehingga tingkat penggunaan hutang seharusnya rendah. Walaupun
demikian, perusahaan penginapan dengan growth opportunity yang tinggi tidak
menghalangi peningkatan penggunaan hutang karena besarnya aktiva tetap yang
dapat digunakan sebagai jaminan (collateral).
Selain karakteristik industri yang diuraikan sebelumnya, Cheng dan Shiu
(2007) menyatakan ada pengaruh faktor makro ekonomi (i.e, perkembangan
ekonomi dan inflasi) pada penggunaan hutang. Perkembangan ekonomi yang
terukur dari tingginya GDP suatu negara memungkinkan sumber pembiayaan dari
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
internal perusahaan (retained earnings) Dengan kata lain, perusahaan di suatu
negara yang kaya mempunyai hutang yang lebih sedikit dari pada perusahaan di
suatu negara yang miskin. Sementara, inflasi memiliki pengaruh dalam penentuan
tingkat bunga yang dikenakan atas hutang. Oleh karena itu, perusahaan di suatu
negara yang memiliki inflasi yang tinggi tidak menyukai hutang dari pada
perusahaan yang berada di suatu negara yang memiliki inflasi yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah penelitian adalah
apakah penggunaan hutang dipengaruhi
oleh : 1) Tangibility, 2) Growth
opportunities, 3) Dampak tangibility terhadap hubungan antara growth opportunities
dan hutang, 4) Jenis Industri, 5) Economic development, dan 6) Inflation, dan 7)
Negara,
Kontribusi empirikal dari penelitian ini adalah memberikan perluasan
wawasan terhadap faktor penentu struktur modal perusahaan berdasarkan
karakteristik industri dan makroekonomi. Sementara kontribusi bagi pihak manajerial
dan investor adalah secara tidak langsung memberikan pemahaman bagaimana
penentuan biaya hutang dipengaruhi oleh faktor karakteristik industri dan
makroekonomi.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk melihat apakah hutang dipengaruhi secara bersama-sama oleh : 1)
Tangibility, Growth opportunities, 3) Dampak besarnya tangibility terhadap
hubungan antara growth opportunities dan leverage, 4) Economic development yang
terukur pada GDP, 5) Inflation, 6) Negara (Indonesia, Singapura, dan Malaysia), dan
7) Jenis industri, yaitu apakah industri penginapan atau
industri pembuatan
perangkat lunak.
2. Kerangka Teoretis dan Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan uraian sebelumnya maka literature review dan pengembangan
hipotesa diuraikan sebagai berikut.
2.1. Tangibility
Penelitian yang dilakukan oleh Wald (1999) menemukan adanya hubungan
positif antara tangibility yang terukur melalui Property, Plant, and Equipment dengan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
long term debt sebagai sumber pembiayaan baik untuk industri di dalam maupun di
luar negeri. PP&E biasanya berguna sebagai aktiva yang resistan terhadap inflasi
untuk pinjaman (loans). Oleh karena itu, perusahaan dengan aktiva tetap yang
besar diduga memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi.
H1 : tangibility berhubungan positif dengan hutang.
2.2.
Growth Opportunity
Dalam teori Static Tradeoff (De Medeiros dan Daher, 2003) menjelaskan
bahwa dengan growth opportunities yang tinggi mengakibatkan semakin besar
bankruptcy risk, implikasi nya dengan bankruptcy risk yang tinggi perusahaan akan
menurunkan penggunaan hutang.
H2 : growth opportunity berhubungan negatif dengan hutang.
2.3. Dampak Besarnya Tangibility terhadap Hubungan Growth Opportunity dan
Hutang
Dalbor dan Upneja (2004) melakukan penelitian pada industri penginapan
yang menyatakan bahwa hubungan growth opportunities dengan penggunaan
hutang dipengaruhi oleh aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Penemuan ini
menyatakan bahwa semakin besar aktiva tetap akan meningkatkan jaminan pada
bankruptcy risk yang timbul akibat meningkatnya growth opportunity perusahaan.
H3 : Hubungan negatif antara growth opportunities dan leverage lebih lemah untuk
perusahaan dengan tangibility yang tinggi
2.4. Jenis Industri
Penelitian Dalbor dan Upneja (2004) serta Tang dan Jang (2007)
menegaskan bahwa karakteristik industri penginapan sarat dengan aktiva tetap
yang dapat dijadikan sebagai jaminan hutang. Walaupun variabel tangibility
digunakan untuk menjelaskan lebih besarnya tingkat hutang industri penginapan
dibandingkan industri pembuat perangkat lunak tetapi dikhawatirkan tangibility tidak
menangkap perbedaan karakteristik industri secara menyeluruh sehingga diperlukan
variabel jenis industri.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H4 : Industri penginapan memiliki hutang lebih tinggi dibandingkan industri pembuat
perangkat lunak.
2.5. Economic Development
Economic development yang terukur dari GDP per kapita menunjukkan hasil
bahwa perusahaan di suatu negara dengan tingkat GDP per kapita yang tinggi atau
kaya diperkirakan telah memiliki tingkat konsumsi, investasi, dan ekspor neto yang
tinggi sehingga cenderung mempunyai hutang yang lebih sedikit dari pada
perusahaan di suatu negara yang tingkat GDP per kapitanya rendah atau miskin
(Cheng dan Shiu, 2007). Dengan kata lain, negara yang makmur mengakibatkan
kinerja perusahaan dalam negara tersebut lebih baik dan pada akhirnya
mengandalkan laba ditahan sebagai sumber pembiayaan.
H5 : GDP berhubungan negatif dengan hutang.
2.6. Inflation
Secara umum, semakin tinggi tingkat inflasi mengakibatkan tingkat bunga
yang dikenakan pada hutang semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
diindikasikan bahwa perusahaan di suatu negara yang memiliki inflasi yang tinggi
tidak menyukai hutang dari pada perusahaan yang berada di suatu negara yang
memiliki inflasi yang rendah (Cheng dan Shiu, 2007).
H6 : Inflation berhubungan negatif dengan hutang.
2.6. Negara
Secara umum diketahui bahwa kondisi makro ekonomi berbeda antara
negara. Penelitian Delcoure (2005) menunjukkan bahwa beberapa faktor makro
ekonomi menyebabkan perbedaan penggunaan jumlah hutang perusahaan di
negara Ceko dengan jumlah hutang perusahaan di Polandia, Rusia, dan Slovakia.
Berdasarkan bervariasinya kondisi negara maka dikhawatirkan rendahnya
hutang pada negara maju tidak terakomodasi pada faktor makroekonomi GDP dan
inflasi.
H7 : Hutang perusahaan di negara Malaysia lebih rendah dibandingkan perusahaan
di negara lainnya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
H8 : Hutang perusahaan di negara Singapura lebih rendah dibandingkan hutang
perusahaan di negara lainnya.
3. Metode Riset
3.1 Metode Seleksi dan Pengumpulan Data
Dalam studi ini pembahasan dan analisis, difokuskan kepada faktor-faktor
penentu yang dapat mempengaruhi hutang industri penginapan dan industri
perangkat lunak di Indonesia, Singapore, dan Malaysia pada kurun waktu tiga tahun,
yaitu periode pengamatan 2004 sampai dengan 2006.
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder.
Untuk dimasukkan pada sampel akhir maka kriteria yang harus dipenuhi adalah
meliputi:
a. Perusahaan penginapan dan perangkat lunak di Indonesia, Singapore, dan
Malaysia yang tersedia di OSIRIS (biro Van Djiek).
b. Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit untuk Industri-industri penginapan
dan perangkat lunak yang tersedia di OSIRIS (biro Van Djiek) dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2006.
3.2 Definisi Operasional Penelitian
Sesuai dengan literatur review yang diuraikan sebelumnya maka definisi
operasional penelitian adalah sebagai berikut.
Tingkat hutang perusahaan diukur berdasarkan rasio Hutang Jangka Panjang
terhadap Total Aktiva (Long-term debt to Total Assets Ratio).
Tangibility diukur dengan rasio PP&E (Property, Plant and Equipment)
terhadap Total Asset. Sementara, proxy growth opportunities adalah market to book
ratio.
Economic development yang melihat tingkat kekayaan yang diukur dari GDP
suatu negara dibagi dengan populasi penduduk suatu negara
Inflasi diukur dengan GDP deflator tahun sekarang dikurangi GDP deflator
tahun sebelumnya, dibagi dengan GDP deflator tahun sebelumnya.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Inflation =
GDPdeflatort − GDPdeflatort −1
GDPdeflatort −1
3.3 Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan regresi sebagai alat pengujian hipotesis tetapi
untuk melihat perbedaan antar perusahaan maka dilakukan pula analisa
berdasarkan model efek tetap (fixed effect model) dan efek random (random effect
model). 1 Model regresi yang diajukan adalah sebagai berikut :
LDRit = β0i + β1 FIXED ASSETS it + β2 MARKET TO BOOKit +
β3 (TG x GW) it + β4 GDP it + β5 INFLATIONit + β6 D COUNTRY1 it + β7
DCOUNTRY2 it + β8 DINDUSTRI it + εit
............................................(1)
Keterangan :
LDR it
= Hutang Jangka Panjang / Total Aktiva
TANGIBILITY it
= PP&E / Total Aktiva
GROWTH it
= Market To Book Ratio
TAGOit
= Interaksi antara tangibility dan growth
GDPit
= GDP per capita
INFLATIONit
= Country inflation
DCOUNTRY1 it
= Malaysia = 1, Lainnya = 0
DCOUNTRY2 it
= Singapura = 1, Lainnya = 0
DINDUSTRI it
= Perusahaan penginapan = 1, Lainnya = 0
β0
= Nilai konstanta sebagai intercept persamaan linier berganda
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data laporan keuangan tahunan
perusahaan yang masih beroperasi sampai dengan tahun 2006. Data yang diambil
adalah laporan keuangan perusahaan yang terdapat pada data base OSIRIS untuk
tahun 2004 sampai dengan tahun 2006. Perusahaan yang beroperasi hingga akhir
1
Pembentukan Model Efek Tetap dilandasi asumsi bahwa perbedaan individu dan waktu dicerminkan
oleh intercept. Sementara untuk Model Efek Random, perbedaan tersebut diakomodasi lewat
error (Nachrowi dan Usman, 2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
tahun 2006 yang memenuhi kriteria adalah berjumlah 32 perusahaan penginapan
dan 14 perusahaan perangkat lunak. Dengan demikian, yang digunakan dalam
penelitian adalah Laporan Keuangan 46 perusahaan selama 3 tahun atau berjumlah
138 observasi.
4.1 Analisis Deskripsi Statistik
Tabel 1 menunjukkan ringkasan statistik deskriptif dari seluruh sampel yang
digunakan dalam penelitian. 2 Rata-rata rasio LDR relatif rendah yaitu 16,31 %
padahal rata-rata PBV relatif tinggi yaitu 1,4 (artinya, prospek perusahaan di masa
datang relatif baik) dan prosentase sampel industri penginapan lebih besar
dibandingkan industri perangkat lunak yaitu 69,57 %. Oleh karena itu diperlukan
analisis uji t untuk melihat perbedaan hutang antara industri penginapan dan
perangkat lunak.
(Tabel 1)
4.2. Analisis Uji t untuk Variabel Dependen LDR
Hasil uji t menunjukkan bahwa rata-rata LDR untuk industri penginapan lebih
tinggi dibandingkan industri perangkat lunak. Rata-rata LDR untuk industri
penginapan yaitu 21,98 % sementara industri perangkat lunak 3,33 %. Hasil uji t ini
tidak berbeda baik dengan asumsi equal variances maupun unequal variances. Nilai
keduanya sig. pada tingkat 1 %.
(Tabel 2)
4.3. Analisis Korelasi Antar Variabel
Uji Pearson Correlation memberikan hasil 3 sebagai berikut :
1. Tangibility, dampak tangibility terhadap hubungan antara growth opportunities
dan leverage, dan jenis industri berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat 1
% terhadap LDR sesuai dengan hipotesis H1, H3, dan H8.
2
Statistik Deskriptif dan uji t diolah dengan menggunakan program Excell sementara korelasi,
model regresi majemuk, model efek tetap maupun model efek random diolah dengan menggunakan
Eviews 5.
3
Hasil tidak diberikan tetapi dapat diminta kepada penulis jika dibutuhkan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2. Growth Opportunities, dan negara (Malaysia) berpengaruh negatif dan signifikan
pada tingkat 1 % terhadap LDR sesuai dengan hipotesis H2, dan H6. Sedangkan
inflasi berpengaruh negatif terhadap LDR sesuai hipotesa H4, namun tingkat
signifikansinya dibawah 10 %.
3. GDP dan negara (Singapura) tidak mendukung hipotesa yang diberikan.
Karena koefisien korelasi Pearson dapat dipengaruhi nilai ekstrim, maka juga
dilakukan uji korelasi Spearman. Uji Spearman’s rho Correlation membuktikan
bahwa
tangibility, growth opportunities, dampak tangibility terhadap hubungan
antara growth opportunities dan leverage, inflation, dummy country 1, dan dummy
industry memiliki korelasi sesuai hipotesis H1, HI.2, HI.3, HI.5, HI.6, dan HI.8
4.4 Analisis Hasil Regresi
Hasil pengujian regresi dengan pendekatan Ordinary Least Squares (OLS)
dapat dilihat dalam Tabel 3 pada lampiran. Hasil regresi menunjukkan growth, GDP,
dan inflation berpengaruh negatif terhadap leverage dengan tingkat signifikansi
berturut-turut 1 %, 1 %, dan 5 %. Sementara, dummy industri dan interaksi antara
tangibility dan growth berpengaruh positif terhadap leverage dengan tingkat
signifikansi untuk keduanya sebesar 1 %. Dengan demikian diperoleh kesimpulan
bahwa H2, H3, H4, H5, dan H6 didukung data. Sementara H7 dan H8 tidak
didukung data.
(Tabel 3)
Untuk mengakomodasi adanya variasi intercept dari masing-masing individu
maka penelitian ini menggunakan metode fixed effect dan metode random effect.
Akan tetapi, setelah dipilih metode
fixed effect ternyata didapat pesan, bahwa
metode tersebut tidak bisa menggunakan jenis negara dan industri secara
bersamaan. Selain itu, Nachrowi dan Usman (2006) dalam kutipannya terhadap
Gujarati ( ) menyatakan jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (T)
lebih kecil dibanding jumlah individu (N) maka disarankan oleh para ahli ekonometri
untuk menggunakan random effect model. Dalam penelitian ini, total sampel
perusahaan yang digunakan adalah 46 (empat puluh enam) sementara jumlah
tahun yang digunakan adalah 3 (tiga) tahun. Oleh karenanya lebih baik
menggunakan model efek random.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Hasil pengujian regresi dengan pendekatan model efek random dapat dilihat
dalam Tabel 4. Hasil metode random effect tidak berbeda dengan metode regresi
yaitu hipotesa H2, H3, H4, H5, dan H6 didukung data dengan tingkat sig. berturutturut 5 %,5 %,1 %, 5 % dan 10 %.
(Tabel 4)
Selanjutnya dilakukan test Breusch-Pagan untuk menunjukkan apakah model
random effect lebih baik dibandingkan OLS. Berdasarkan Greene (1993) dan Lloyd,
Morrissey, dan Osei (2008), test Breusch-Pagan melihat apakah terdapat variasi
dalam kelompok di random-effect model. Hipotesis yang diberikan adalah
H 0 : σ α2 = 0 dan H1 : sebaliknya. Uji statistik diberikan sebagai berikut :
2
⎤
⎡ ⎛
⎞
⎥
⎢ ∑ ⎜ ∑ uˆ it ⎟
NT ⎢ i ⎝ t
⎠
B=
− 1⎥
2
⎥
⎢
ˆ
2(T − 1) ∑∑ u it
⎥
⎢ i t
⎥⎦
⎣⎢
2
di mana û it adalah residual dari meregregresikan yit terhadap konstanta dan
xit. Statistik ini didistribusikan sebagai chi-squared dengan nilai degree of freedom 1
(satu). Jika H0 diterima maka kita tidak dapat menolak hipotesis bahwa nilai
koefisien slope dari random effect model sama dengan OLS ( βˆGLS = βˆOLS ).
Berdasarkan hasil residual OLS diperoleh hasil uji statistik Breusch-Pagan
sebagai berikut :
46(3) ⎡ 4,21075 ⎤
− 1 = 30,00515
2(3 − 1) ⎢⎣ 1,95867 ⎥⎦
Nilai kritis 5 % dan 1 % dari distribusi chi-squared dengan degree of freedom 1
(satu) adalah 3,842 dan 6,635, sehingga nilai statistik signifikan pada tingkat 5 %
dan 1 %. Oleh karena itu diperoleh kesimpulan bahwa random effect model lebih
baik dibandingkan model OLS.
Selanjutnya, pada Tabel 5 dapat disimpulkan perbandingan expected
coefficient sesuai hipotesis yang diberikan dengan hasil random effect model.
Pertama, hubungan negatif dan sig. pada tingkat 1 % antara growth opportunities
dengan LDR sesuai dengan teori static tradeoff. Teori static tradeoff menyatakan
bahwa perusahaan dengan tingkat growth opportunities yang tinggi, sebaiknya
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
menggunakan sedikit hutang karena besarnya growth opportunities dapat
menyebabkan besarnya bankruptcy risk (De Medeiros dan Daher (2003); dan Tang
dan Jang (2007)).
(Tabel 5)
Kedua, dampak tangibility terhadap hubungan antara growth opportunities
dan leverage menunjukkan tanda positif dan sig. pada tingkat 1 %. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Dalbor dan Upneja (2004) dan Tang dan Jang (2007) yang
menyatakan bahwa hubungan growth opportunities dengan penggunaan hutang
dipengaruhi oleh aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Artinya, walaupun growth
opportunities yang tinggi menyebabkan semakin tingginya bankruptcy risk tetapi
saratnya aktiva tetap dalam industri penginapan dapat menjamin para kreditur untuk
meningkatkan dana pinjamannya ke perusahaan penginapan.
Ketiga, faktor makro ekonomi berupa economic development dalam
penelitian ini menunjukkan hubungan negatif terhadap penggunaan hutang dan sig.
pada tingkat 1 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan Cheng dan Shiu (2007), dan
Delcoure (2005) yang secara jelas mengemukakan bahwa faktor makro ekonomi
berupa
economic
cevelopment
berpengaruh
terhadap
penggunaan
hutang
perusahaan di suatu negara. Economic development yang dilihat dari GDP per
kapita menunjukkan hasil bahwa perusahaan di suatu negara dengan tingkat GDP
per kapita yang tinggi (kaya) diperkirakan telah memiliki tingkat konsumsi, investasi,
pemerintah, dan ekspor neto yang tinggi sehingga cenderung mempunyai hutang
yang lebih sedikit dari pada perusahaan di suatu negara yang tingkat GDP per
kapitanya rendah (miskin).
Keempat, faktor makro ekonomi berupa inflation dalam penelitian ini
menunjukkan hubungan negatif terhadap penggunaan hutang dan sig. pada tingkat
10 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi empiris Cheng dan Shiu (2007) yang
menunjukkan bahwa perusahaan di suatu negara yang memiliki inflasi yang tinggi
tidak menyukai hutang dari pada perusahaan yang berada di suatu negara yang
memiliki inflasi yang rendah. Oleh karena inflasi tinggi berdampak pada tingginya
cost of debt dari penggunaan hutang.
Kelima, koefisien untuk tangibility tidak sesuai dengan hipotesis yang
diajukan karena bernilai negatif walaupun sig. pada tingkat 5 %. Kemungkinan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
penjelasan hasil penelitian ini adalah teori pecking order. Teori ini menyatakan
bahwa tangibility berhubungan negatif terhadap hutang. Perusahaan yang memiliki
aset tetap yang tinggi cenderung tidak mengalami assymetric information ketika
mencari pendanaan di pasar modal sehingga harga saham tidak mengalami
underpricing. Dengan kata lain, tingginya aset tetap mengakibatkan perusahaan
cenderung menerbitkan saham. Sebaliknya, ketika aset tetap rendah maka
assymetric information meningkat sehingga jika perusahaan menerbitkan saham
cenderung mengalami underpricing. Oleh karena itu, perusahaan lebih memilih
penerbitan hutang ketika aset tetap relatif rendah (De Medeiros and Daher, 1993).
Keenam, hasil penelitian ini menunjukkan dummy country 1 dan dummy
country 2 tidak didukung data. Penjelasan mengenai hasil ini adalah faktor
makroekonomi yang mempengaruhi pembiayaan hutang suatu negara telah
direpresentasikan oleh variabel GDP dan inflasi.
Ketujuh, dummy industry menunjukkan hasil sig. pada tingkat 1 % atau
industri penginapan memiliki tingkat hutang lebih tinggi dibandingkan industri
perangkat lunak.
5.1 Kesimpulan
Tujuan utama penelitian ini adalah menginvestigasi apakah tingkat
penggunaan hutang dipengaruhi oleh Tangibility, Growth opportunities, Dampak
tangibility terhadap hubungan antara growth opportunities dan tingkat penggunaan
hutang, Economic development, Inflation, karakteristik negara, dan Jenis industri.
Berdasarkan hasil random effect model diperoleh kesimpulan
sebagai
berikut. Pertama, growh berhubungan negatif dengan penggunaan hutang tetapi
hubungan ini semakin lemah untuk perusahaan dengan aset tetap (tangibility) yang
tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pertumbuhan perusahaan maka
diasumsikan bankruptcy risk semakin tinggi sehingga penggunaan hutang semakin
rendah. Tetapi, hubungan ini semakin lemah dengan makin besarnya aktiva tetap
yang dapat dijadikan sebagai jaminan (collateral) hutang.
Kedua, semakin baik kondisi ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh
tingginya GDP dan rendahnya inflasi maka penggunaan hutang semakin rendah.
Ketiga, industri pengainapan memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi dibandingkan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
industri perangkat lunak. Tetapi hasil penelitian untuk kedua dummy country tidak
didukung data. Diduga bahwa faktor makroekonomi yang menjelaskan perbedaan
hutang
dari
ketiga
negara
(Malaysia,
Singapura,
dan
Indonesia)
sudah
terepresentasikan oleh faktor makroekonomi GDP dan inflasi.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, S.R., Shiu, C.Y. (2007). Investor protection and capital structure:
International evidence. Journal of Multinational Financial Management, 17,
30–44.
Dalbor, M., Upneja, A. (2004). The investment opportunity set and the long-term
debt decision of US lodging firms. Journal of Hospitality & Tourism Research
28 (3), 346–355.
Greene, William H. (1993). Econometric Analysis, Second Edition, Macmillan
Publishing Company, New York.
Delcoure, N. (2005). The determinants of capital structure in transitional economies.
International Review of Economics and Finance, xx, xxx–xxx.
De Medeiros, Otavio, R., and Cecilio, E. Daher (2003). Testing Static Tradeoff
against Pecking Order Models of Capital Structure in Brazilian Firms,
www.papers.ssrn.com.
Jensen, Michael (1986). "Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance and
Takeovers", American Economic Review, 76, 323-329.
Lloyd, Tim, Oliver Morrissey, and Robert Osei (2008). Problem with Pooling in Panel
Data Analysis for Developing Countries : The Case of Aid and Trade
Relationship, Credit Research Paper,
www.nottingham.ac.uk/economics/research/credit.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Myers, S. (1977). Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial
Economics 5, 147-175.
Nachrowi, D.N. dan Usaman, Hardius. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta:Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sheel, A. (1994). Determinants of Capital Structure Choice and Empirics on
Leverage Behavior : A Comparative Analysis of Hotel and Manufacturing
Firms. Hospitality Research Journal 17, 3-16.
Tang, C., and S. Jang, (2007). Revisit to the determinants of capital structure: a
comparison between lodging firms and software firms. International Journal of
Hospitality Management 26, 175–187.
Upneja, A., & Dalbor, M. (2001a). An examination of capital structure in the
restaurant industry. International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 13, 54-59.
Wald, J. (1999). How Firms Characteristics Affect Capital Structure : An International
Comparison. The Journal of Financial Research, 22, 161-188.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 1
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Descriptive Statistic
GDP
LDR
PPE/TA
PBV
Mean
0.1631
0.3908
Standard Error
0.0132
Median
Mode
Dummy
Dummy
Dummy
Per Capita
Inflation
Country 1
Country 2
Industry
1.4004
3.9816
6.2667
0.5217
0.2826
0.6957
0.0233
0.1353
0.1028
0.4074
0.0427
0.0385
0.0393
0.15
0.35
0.83
3.78
4.36
1
0
1
0.01
0.17
0.62
3.75
11.91
1
0
1
Standard Deviation
0.1549
0.2741
1.5890
1.2073
4.7857
0.5013
0.4519
0.4618
Sample Variance
0.0240
0.0751
2.5248
1.4575
22.9033
0.2513
0.2042
0.2133
Kurtosis
0.9998
-1.0553
6.0961
-0.9106
-1.1337
-2.0218
-1.0625
-1.2795
Skewness
0.8739
0.3813
2.4705
-0.0111
0.4893
-0.0880
0.9763
-0.8598
Range
0.8198
0.96
8.1
3.63
14.57
1
1
1
Minimum
0.0002
0.01
0.08
2.08
0.21
0
0
0
Maximum
0.82
0.97
8.18
5.71
14.78
1
1
1
22.5035
53.925
193.26
549.46
864.81
72
39
96
138
138
138
138
138
138
138
138
Sum
Count
Sumber : Data Olahan
Tabel 2
Uji t untuk Variabel Dependen LDR
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Ind
Ind Perangkat
Penginapan
Lunak
Mean
0.21984
0.0333
Variance
0.02254
0.00318
96
42
Observations
Pooled Variance
0.0167
Hypothesized Mean
Difference
0
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Df
t Stat
136
7.8023
P(T<=t) one-tail
7.2E-13
t Critical one-tail
1.65613
P(T<=t) two-tail
1.4E-12
t Critical two-tail
1.97756
t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Ind
Ind Perangkat
Penginapan
Lunak
Mean
0.21984
0.0333
Variance
0.02254
0.00318
96
42
Observations
Hypothesized Mean
Difference
Df
t Stat
0
134
10.5873
P(T<=t) one-tail
1E-19
t Critical one-tail
1.6563
P(T<=t) two-tail
2.1E-19
t Critical two-tail
1.97783
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 3
Ringkasan Hasil Regresi OLS
Variabel
C
LDR
0,5736
(0,0014)
TANG
GROW
TAGO
GDP
INF
DCON1
DCON2
DIND
-0,1232
(0,0000)
-0,0041
(0,0002)***
0,0592
(0,0041)***
-0,2389
(0,0022)***
-0,0017
(0,0150)**
0,3612
(0,0072)
0,8670
(0,0016)
0,2199
(0,0000)***
R-squared
0,7411
Adjusted R-squared
0,7251
F
46,168
Sig. F
0,0000***
*** signifikan pada tingkat keyakinan 1 %
** signifikan pada tingkat keyakinan 5 %
* signifikan pada tingkat keyakinan 10 %
Sumber : Data Olahan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4
Ringkasan Hasil Regresi Random Effect
Variabel
LDR
C
0,9158
(0,0000)
-0,1648
TANG
(0,0132)
-0,0116
GROW
(0,0000)***
0,1270
TAGO
(0,0057)***
-0,3887
GDP
(0,0000)***
-0,0025
INF
(0,0706)*
0,6144
(0,0000)
DCON1
1,3714
DCON2
(0,0000)
0,1897
DIND
(0,0000)***
Random Effects
_JSIT--C
0,0263
_JIHD--C
0,0381
_PASS--C
0,1489
_HSJI--C
0,1304
_MMIN--C
-0,1254
_PUPR--C
-0,1684
_OUEL--C
-0,2090
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
_HPRO--C
0,0252
_HPLA--C
0,0177
_BHOL--C
-0,0980
_HGCT--C
-0,0480
_OPHD--C
0,0612
_AMHD--C
0,1161
_HRYL--C
0,0257
_CTDV--C
-0,0696
_SLCO--C
0,0147
_SCGD--C
0,1051
_SIHL--C
0,0482
_GTGB--C
-0,0514
_RWLD--C
-0,1505
_TCBD--C
0,0922
_FGBD--C
0,0066
_BJLD--C
0,1353
_SLHB--C
0,0190
_ASBD--C
-0,1504
_KCBD--C
0,0591
_LNDM--C
-0,1050
_SCBD--C
0,0951
_PCEB--C
-0,0857
_GPBD--C
0,0339
_RLHB--C
-0,0425
_THBD--C
0,1053
_CEON--C
-0,0249
_DCIB--C
-0,0167
_MDEL--C
-0,0082
_OTLD--C
0,0107
_IFMS--C
-0,0076
_GNPC--C
0,0220
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
_MTTH--C
-0,0039
_CPBD--C
0,1198
_NCBD--C
-0,0539
_MTBD--C
-0,0351
_ANBD--C
0,0480
_EFMB--C
-0,0204
_YCBD--C
-0,0118
_MSBD--C
-0,0180
R-squared
0,3112
Adjusted R-squared
0,2686
F
7,2863
Sig. F
0,0000***
*** signifikan pada tingkat keyakinan 1 %
** signifikan pada tingkat keyakinan 5 %
* signifikan pada tingkat keyakinan 10 %
Tabel 5
Kesimpulan Hubungan Variabel Independen dengan LDR pada Ketiga Metode
Regresi
Expected
OLS
Random Effect
LDR
LDR
LDR
TANG
+
-
-
GROW
-
-***
-***
TAGO
+
+***
+***
GDP
-
-***
-***
INF
-
-***
-*
DCON1
-
+
+
DCON2
-
+
+
DIND
+
+***
+***
***
***
Coefficient
Variabel
Sig. F
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM09 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ACCOUNTING FOR RESTRUCTURING UNDER COMMON CONTROL ENTITIES:
AN ANALYSIS OF THE IMPLEMENTATION OF ACCOUNTING STANDARD
Edi Eko Cahyono
Desi Adhariani
Universitas Indonesia
Abstract
This paper addresses the issue of restructuring transaction under common
control entities. Based on the Indonesian accounting standard, this transaction does
not make any substantial changes in the economic ownership, even though
ownership of shares, assets or liabilities or other instruments of ownership changes.
Revision made in 2004 which is a revision to accounting standard number 38 year
1997 concerning restructuring accounting under common control entities is actually
a move to improve the quality of financial statement in order to face transparency
required in corporate management.
This paper analyses a series of cross ownership transactions done in PT X
and Y. These transactions, using similar accounting standard, result in different
implementation in the financial statements of the two companies. The analysis done
includes the qualitative characteristics of the quality of the two companies’ financial
reports. To compare the circumstances, similar analysis is also made to
companies listed in the Jakarta Stock Exchange (JSE) making the same
restructuring transactions. The status of government as common control entity is
also taken into account, related to the control that the government has in the
companies’ business activities.
The result of the research as well as the analysis shows that there is a weakness of
The Indonesian Accounting standard number 38 (Revision of 2004), particularly
related to the absence of transition regulations which results in different financial
reports, both in the transaction of cross-ownership made by PT X as well as PT Y
and by other listed companies in the Jakarta Stock Exchange. Different financial
statements have reflected different performances, manifested in significant amount.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
INTRODUCTION
Statement of Accounting standard number 38 (Revision of 2004) is an
accounting standardwhich regulates accounting matters related to restructuring
transactions including assets transfer, liabilities, stocks or other ownership
instruments between common control entities. This standar is a revision to the old
one which was approved by the Committee of Accounting standardand authorized
by Indonesia Institute of Accountant on September 5, 1997. As stated in the
welcoming remark of the institute general executive board, the standard number 38
was made to complement standard number 22 concerning business combination, in
order to balance accounting practices at international level. This issuance aims to
result in similar perceptions as well as uniformity in the accounting practices related
to restructuring transactions under common control entities. It is expected that with
the issuance of a separated standard, the accounting implementation of the
transactions will be of optimum equivalent.
In line with standard number 38 year 1997, as restructuring transactions
under common control entities do not result in changes of economic ownership of
assets, stocks, liabilities as well as other exchanged ownership instruments, then the
assets and liabilities whose ownership is exchanged (in their legal form) must be
recorded based on their book value like business consolidation based on pooling of
interest. The difference between the transfer price and the book value of each
restructuring transaction under common control entities is recorded in the account of
difference of restructuring transaction under common control entities. This balance
will then be presented as part of equity. The difference of transfer price and the book
value due to transactions under common control entities is not goodwill. The account
balance of this difference will not alter caused by further transfer of assets, liabilities,
stocks or other ownership instruments to entities which are not under common
control.
There are many companies in Indonesia which have major ownership
characteristics in one particular company. These companies are structured in
holding/parent entities, subsidiaries, and sub-subsidiaries, and they are built by
merger and acquisition. According to Palepu, Healy and Bernard (2004) these
mergers and acquisitions aim to enhance the new economic value of the
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
shareholders through the increase of economic of scale, company’s performance,
profit gained from exchanged resources and tax profit.
At present, restructuring is a crucial step to take for companies providing
telecommunication services. Restructuring is a way to reconstruct corporate
elements in order to keep the rate of profit as well as to maintain sustainable growth.
It is required to apply this policy due to the tight competition. Advancement of
telecommunication technology occurring as a result of digital technology, internet
and infrastructure network pushes telecommunication providing companies to keep
improving. The capability to do this may be gained from two sources, either from the
company itself or from external sources, through mergers, acquisitions, partnership
or alliance (Kartajaya, 2004)
Stakeholders need to scrutinize the impacts of restructuring on companies, in
order to make sure that restructuring transaction does not burden company’s
financial performance and it may benefit the company in the long term. In this
regard, financial statements must be able to reflect the true effects of financial
restructuring transactions on the companies.
PT X and PT Y are two telecommunication service companies which had
cross-ownership as one of the ways to restructure their companies in 2001 and
2002. At that time, these two companies were business entities owned by the
government, the percentage of the government’s stocks at PT X was 51, 19% while
at PT Y was 65%. The cross-ownership occurred as the stocks of PT T (35%) and
PT D (13%), previously owned by PT Y, was sold to PT X, whiles the stocks of PT B
(22, 5%), PT C (37, 66%) and PT D (13%), formerly owned by PT X, were sold to PT
Y.
In line with accounting standard number 38 year 1997, due to the
restructuring transaction between these two companies as well as the difference
between the transfer price and the book value of the traded shares, then per
December 31, 2002, there was an account of the difference of restructuring
transactions under common control entities in the equity of these two state-owned
companies. This balance was Rp. 4.467.740 million in PT Y and a negative (-) of Rp.
7.288.271 million in PT X. Based on this balance, it can be concluded that based on
these series of restructuring transactions, PT Y should have recognized a profit
whereas PT X should have suffered a loss.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
On December 15, 2002, the government of Republic of Indonesia sold
41.94% of its shares to a company in Mauritius. This activity has changed the status
of PT Y; it is now a a foreign investment company, which means that the control of
Indonesia government on this firm is no longer exercised. In accordance with the
implementation of accounting standard number 38 year 1997, then the account of
difference of restructuring transactions under common control entities of PT X and Y
does not change as recorded in the equity of these two companies. Based on
accounting standard number 38 year 1997, these account and balance will keep
appearing in the equity of both PT X and Y, even though the common control status
of these two companies has come to an end since the end of 2002.
Changes of accounting treatment related to restructuring transactions of PT X
and Y have occurred since the issuance of revision to accounting standard number
38 in 2004. Based on the 2004 revision, common control entities will lose their
common control nature when the assets, liabilities, shares or other ownership
instruments authorized under common control entities are transferred to entities
which are not under common control. One significant change caused by this revision
is that the account of difference of restructuring transaction under common control
entities may alter, and this change must be recognized as either a profit or a loss
which is actualized. This change is caused by the following things:
1. The loss of the essence of control between entities which once made
transactions.
2. The release of assets, liabilities, shares or other ownership instruments which
causes the difference of restructuring transactions under common control
entities to other parties which are not under common control.
In this regard, then PT Y recognized this difference which amounted to Rp.
4.467.740 million through the restatement of income statement of the book year of
2003. When it presented its 2004 income statement, PT Y recognized it as an
extraordinary profit. This resulted in the increase of PT Y net profit in the book year
of 2003, amounting to Rp. 6.081.971 million. The increase in net profit was followed
by the notation of financial statement of 2003 book year by the General Meeting of
Shareholders.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
A different treatment was made by PT X. Unlike PT Y, this company did not
recognize an extraordinary loss in its income statement, amounting to Rp. 7.288.271
million due to its restructuring transaction with PT Y; it only reclassified the account
of difference of restructuring transactions under common control entities in its equity
to be deducted from the retained earning balance, in the book year of 2005. In its
annual report, PT X stated that this was done as directed by Bapepam-LK.
Based on the things mentioned above, these different accounting treatments
on the two companies are worth noticing, considering that the difference not only
affects the company’s net profit, the amount of which is quite significant, but also
causes the delay of the filing of PT X financial statement in the Jakarta Stock
Exchange, which eventually will influence the rights of shareholders and other
stakeholders as well. On the other side, these two companies have listed their
shares in New York Stock Exchange, meaning that the number of interested
stakeholders increases.
THE ILLUSTRATION OF RESTRUCTURING TRANSACTION UNDER COMMON
CONTROL ENTITIES OF PT X AND PT Y
1. Transactions in 2001
On April 3, 2001, PT X signed a Conditional Sales & Purchase Agreement
with PT Y for several transactions of cross ownership of some companies. The
agreement included the following transactions:
1. Acquisition of PT X of 35% of common shares of PT A with a price of US$ 945
million.
2. Acquisition of PT Y of 22.5% of common shares of PT B with a price of US$ 186
million.
3. Acquisition of PT Y of 37.66% of common shares of PT C with a price of US$ 38
million, and conversion bond C, which was worth Rp. 4.501 million.
4. Acquisition of PT Y of all rights and novation of the entire liabilities of PT X
(persero) based on an agreement of Joint Operation (KSO) IV dated October 20,
1995 between PT X and PT MGTI, and all contracts in which PT X (Persero)
became a party related to all busines activities resulting from the cooperation
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
made based on the agreement of joint operation, along with the assets of PT X
operated as assets of Joint Cooperation Unit with a price of U$ 375 million.
These transactions were then abrogated on February 1, 2002.
Transactions of PT A, PT B and PT C were treated as restructuring
transactions under common control entities. The difference between the transaction
price paid or received and the book value of investment net asset gained or the
recorded value of sold investment was presented in the equity as “The difference of
restructuring transactions under common control entities”.
1. The presentation in PT X
PT X in the notation of its financial report for the book year of 2003 (audited)
presents this account with the following details:
Table 1
2001 Transaction of PT X (in Million Rp)
Differences
Differences
Transaction
Book Value of
value
Net
paid/(received)
Asset/Investment
A
10.782.450
1.466.658
337.324
-
8.978.468
-
8.978.468
B
(2.122.260)
-
-
(290.442)
(2.412.702)
(627.678)
(1.785.024)
C
(437.631)
116.834
-
-
(320.797)
(119.586)
(201.211)
Total
8.222.559
1.583.492
337.324
(290.442)
6.244.969
(747.264)
6.992.233
Transaction
Deferred
in Equity
Taxes
Changes-
Amount
Tax
After Tax
Net
Source: Annual Report of PT X year 2003
Based on table 1 the net difference of each restructuring transaction of PT X can be
concluded. Even though the balance of the difference of restructuring transactions is
not recognized in the income statement, if it is seen as an independent legal entity
doing divestment and a purchase of ownership of a subsidiary, then PT X in fact is
suffering a loss of Rp 6, 9 trillion. Of a purchase transaction of PT A, PT X is
suffering a loss of Rp. 8, 98 trillion, whereas from selling PT B and PT C, PT X gains
a profit of Rp. 1, 78 trillion and Rp. 201, 21 billion respectively. The difference of the
value of restructuring transactions under common control entities, which is worth Rp.
6.9 trillion, is presented in the equity of PT X financial statement of the book year of
2001.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2. The presentation in PT Y
In addition to the cross-ownership, PT Y on May 31, 2001 also acquired
100% of the capital of BMG from its shareholders with the price of US$ 248, 27
million and Rp. 1, 41 trillion. This transaction was recorded using a purchase
method. Goodwill derived from this transaction was Rp. 2.73 trillion. The surplus
difference of the acceptable value of the net assets of BMG on its recorded value
was Rp. 1, 72 trillion. BMG owns 45% of capital of B. After a direct acquisition from
PT X (22.5%) and indirect acquisition from BMG (45%), the amount of capital of PT
Y in B increased from 7.5% to 75%.
The purchasing transactions of the shares of PT B and C have caused PT Y
to suffer a loss of Rp. 2,09 trillion and Rp. 417 billion respectively. While from selling
PT A, PT Y earned a profit of Rp. 6, 86 trillion.
2. Transactions in 2002
On April 19, 2002, PT X and all the shareholders of PT D, they were France
Cables et Radio SA, PT Astratel Nusantara, PT Y, Marubeni Corporation,
International Finance Corporation (IFC) and NMP Singapore PTe, Ltd (collectively
known as sellers), signed a conditional sales & purchase agreement (CSPA), from
which PT X gained all the shares of D through the mechanism of escrow account.
PT X paid the purchase with promisory notes, in stages, the amount of which was
US$ 390.308.972. Shares were not transferred at once, but in stages instead, with
the following scheme:
− 30 % of shares on the initial closing date, done on August 1, 2002, and
amended to August 15, 2002.
− 15% of shares on the interim closing date, at the latest was on
SePTember 30, 2003.
− 55 % of shares on the follow up closing date, at the latest was on
December 31, 2004.
Based on Stockholders Voting Agreement (SVA) dated August 15, 2002,
each shareholder of D gave an authority which permitted PT X to issue an
authorization or a proxy letter which enabled PT X to gain voting rights from the
escrow shares. SVA also regulates certain requirements which are in fact
shareholder protective rights of sellers. Therefore, PT X has the rights to nominate
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
all members of the directors as well as the commissioners of PT D. Based on the
changes in the closing of initial transactions concerning the amandment of CSPA on
August 1, 2002, then PT X has gained control of as well as has consolidated PT D
since August 15, 2002.
1. Presentation in PT X
In connection with the ownership of 13% of PT D by PT Y, then there are
restructuring transactions under common control entities. The difference of
restructuring transaction under common control entities is counted from 13% of
ownership of PT D by PT Y multiplied by the total difference between the purchasing
price (net) and the historical value of the net assets (13% x 2.277.216 million).
2. Presentation in PT Y
The record made by PT Y is different from that of PT X. PT Y recognizes the
difference due to the restructuring transactions under common control entities in 3
periods, which is parallel with the submission realization of the shares of PT Y to PT
X, it was in 2002, 2003 and 2004.
In the notation of the financial report, PT Y does not present the calculation of
the difference of restructuring transaction under common control entities resulting
from the selling transaction. Yet, in the report of changes in consolidated equity, the
PT presents profit on investment selling on PT D to PT X with the use of pooling of
ownership as much as Rp. 109.185 million in 2002 (for 5,9% shares) and Rp. 32.307
million (for 1,95% shares) in 2003. The rest of ownership, that is 7.15%, was done in
2004, recognized with a different method due to an important event which will be
explained further.
3. Important Events affecting Cross-Ownership transaction
3. 1. The sales of the state-owned- shares in PT Y
Based on the Shareholder Agreement (SHA) made by the government,
Indonesian Comumunication Limited (ICL) and STT (shareholders of ICL), the
government sold the shares owned by the state in PT Y as many as
434.250.000, serial number B (representing 41.94% ownership), with the
transaction closing date December 20, 2002.
The selling of shares owned by the Government has changed the status of PT
Y, from Persero to Foreign Capital Investment, which was approved by The Ministry
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
of Justice and Human Rights on March 23, 2003. This condition has reduced the
rights owned by the government related to its shares of ownership, they are:
− The government of the Republic of Indonesia has agreed to vote jointly with ICL
for a period of one year concerning dividend payment, changes in PT
budgeting, business mergers, consolidation and acquisition made by the PT.
− The government no longer has the votes adhering to shares of serial number A
Dwiwarna, concerning the determination of management of PT Y which allows
the government to appoint one director and one commissioner only to sit in the
management.
As these transactions occurred before the issuance of Revision of 2004 to
ACCOUNTING Standard number 38, then the loss of common control status due to
the loss of government control of PT Y by the end of 2003 does not change the
balance of the difference of restructuring transaction under common control.
2. The sales of shares of PT A by PT X to STM.
Cross Ownership transaction between PT X and PT Y in 2001 has increased
the ownership of PT X in PT A to 77.72%.
On April 3, 2002, PT X made a CSPA with SPM, in which PT X sold 23,223
common shares (or representing 12.72% of ownership) of PT A with a price of US$
429.000.000 (or equals to Rp. 3.948.945 million). This transaction has decreased
the ownership of shares of PT X in PT A from 77.72% to 65%. STM is a PT under an
indirect ownership of Temasek (Holding) Singapore.
As this transaction happened before the issuance of Revision of 2004 to
Accounting Standard number 38, then the selling of shares of PT A to parties which
are not under common control, which were obtained previously by restructuring
transaction under common control entities, does not affect the balance of the
difference due to the restructuring transaction under common control entities.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4. The Presentation of Cross-Ownership transaction since Accounting
Standard number 38 (Revision of 2004) took into effect
1. Presentation of PT X
Based on the Capital Market Supervisory Agency and Indonesian Financial
Institutions (BAPEPAM) concerning the initial implementation of accounting standard
38 (Revision of 2004) by public companies, companies are required to reclassify the
account of the difference of restructuring transaction under common control entities
as direct adjustment to retained earnings balance on the date of initial
implementation if common control relationship has no longer been in effect per
January 1, 2005. Therefore, the balance of the difference of restructuring transaction
under common control entities on January 1, 2005, which was worth Rp. 7.288.271
million obtained from cross-ownership transaction between PT X and PT Y, was
reclassified by debiting the balance of retained earnings on January 1, 2005.
Reclassification resulted appears in the equity part so the value of net equity does
not change.
The balance of the difference of restructuring transactions under common
control entities which was worth Rp. 90.000 million in 2005 was a new transaction
between the government of the Republic Indonesia and PT X. PT X signed a
agreement on the Implementation of Compensation of Early Termination of
Exclusivity Rights with the Ministry of Communication and Informatics, in which the
government agreed to pay as much as Rp 478.000 million to the PT in stages. In
2005, the government made its first payment amounting to Rp. 90.000 million. PT X
recorded this value as common control transaction between the government as a
shareholder and PT X, which was worth Rp. 90.000 million.
2. Presentation of PT Y
In 2004, PT Y implemented the Accounting Standard number 38 (Revision of
2004) earlier. PT Y recognized the actualization of profit on the cross-ownership
transaction with PT X, which had been credited to the “difference of restructuring
transaction under common control entities” before. PT Y represented a consolidated
financial statement for the year 2003 for the restrospective acknowledge of the
actualization of the profit to Extraordinary account – Profit actualized on the
difference of restructuring transaction under common control entities” in 2003 as
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
much as Rp. 4.499.947 million, based on the balance of the difference of
restructuring transaction under common control entities which existed before. This
realization was made due to the divestment of the government shares which
resulted in the loss of common control between PT X (persero) and PT Y.
ANALYSIS AND DISCUSSION
1. Analysis of the Qualititative Characteristics of the Financial Statements of
PT X and PT Y on the implementation of Accounting Standard number 38
(Revision of 2004).
The analysis of qualitative characteristics of the financial statement of PT X
and PT Y will be explained based on the types of qualitative characteristics which
must be present in a company’s financial report.
The effect caused by changes of accounting standard has affected the quality
of the presentation of the financial report of PT X and PT Y. The absence of
regulation concerning the transition implementation of Accounting Standard number
38 (Revision of 2004) has made a significant difference between the financial report
of PT X and that of PT Y, which is indeed caused substantially by a similar
transaction.
The basic revision of Accounting Standard number 38 for the year 1997 which
was made in 2004 concerning cross –ownership transaction made between PT X
and PT Y dealt with paragraph 17 Accounting Standard number 38 (Revision of
2004), stating that the balance of account of restructuring transaction under common
control entities may change, in this case are particularly caused by:
The loss of common control status between PT X and PT Y since the
divestment of the government shares in PT Y eliminated the common control in PT
Y.
The selling of shares owned by the subsidiary has caused an account of
difference of restructuring transaction under common control entities, which was the
selling of PT A to STM.
However, Accounting Standard number 38 (Revision of 2004) paragraph 20
explains that if a change of difference of restructuring transaction under common
control entities occurs due to the loss of common control status between common
control entities to parties or the release of assets, liabilities, shares or other
ownership instruments which underlies the creation of difference of restructuring
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
transaction under common control entities to other parties not under common
control, then the balance of difference of restructuring transaction under common
control entities is recognized as a profit or loss which is actualized.
In terms of realization period, Accounting Standard number 38 Revision of 2004
does not explicitly explain when the realization must take place. Paragraphs 18-20
which address the realization of accounting treatment that must be made do not
provide any guidance related to the time of implementation.
The only guideline about the time of the realization is the time when Accounting
Standard number 38 Revision of 2004 started to be in effect, that was the effective
date. Paragraph 22 explains that it is to be in effect for the construction and
presentation of financial reports made on or after January 1, 2005, even though the
events causing the changes (realization) on the account balance of difference of
restructuring transaction under common control entities happened in the years
before 2005.
However, paragraph 22 also recommends early implementations. The
interpretation is that the actualization of this balance account can be made before
2005. As there is suggestion to realize the account balances happening before
2005, then there are choices for the PT’s management when to actualize the
account balances as long as they are not against the accounting principles or other
accounting standards.
PT Y implemented the Accounting Standard number 38 (Revision of 2004) by
recognizing the profit realization on cross-ownership transaction which was before
credited to “the difference of restructuring transaction under common control entities”
to “extraordinary account – actualized retained earning on the difference of
restructuring transaction under common control entities” in 2003 as much as Rp.
4.4999.947 million. PT Y implemented it when the PT presented the financial report
of 2004 book year.
As previously explained, based on the regulation of BAPEPAM-LK related to
the early implementation of Accounting Standard 38 (Revision of 2004) by public
companies, PT X reclassified the balance of difference of restructuring transactions
under common control entities on January 1, 2005 as much as Rp. 7.288.271 million
derived from cross-ownership transaction between PT X and PT Y by debitting the
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
balance of retained earning on January 1, 2005. This reclassification does not affect
the amount of total equity per December 31, 2005.
The BAPEPAM regulation and the reclassification of the balance of the
difference of restructuring transaction under common control entities into the
balance of retained earnings show a mismatch with Accounting Standard number 38
(year 2004) especially with paragraph 20. For PT X, the impact raised is that the
cross-ownership transactions are not releaved in the income statement, either during
the time when the transaction happened or during the time when the common
control status with PT Y came to an end, that was when the selling of a subsidiary
(PT A) which was obtained from common control entities to a third party took place,
and when the Accounting Standard number 38 (Revision of 2004) started to take
effect.
In accordance with the notation of financial statement of PT X in 2005, the
reclassification of balance done by PT X is to implement the changes in accounting
policies caused by the new accounting standards. Reclassification by deducting the
retained earnings has similiar characteristics with retrospective implementation, as
explained in paragraph 45 Accounting Standard number 25 concerning net profit or
loss for the ongoing period, basic mistakes and changes in accounting policies
(reformat 2007), that is:
”45. A change in accounting policies must be implemented in a retrospective
way by reporting the amount of each adjustment made which is related with previous
period as an adjustment in the balance of retained earning at the initial period,
unless the amount cannot be determined appropriately. Comparative information
must be restated, unless it is considered impractical to apply it.”
As regulated in paragraph 42 of ACCOUNTING Standard number 25 year 1995,
a change made in accounting policy due to an implementation of an imposed
financial accounting standardshould be accounted for, based on the transition
regulation set in related ACCOUNTING STANDARD. If there are no transition
regulations and for all changes of other accounting policies, policies of changes in
accounting policies must be implemented based on paragraph 45 (and paragraph 48
and 49) ACCOUNTING Standard number 25 year 1995 stated above.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Since there are no transition regulations in ACCOUNTING Standard number 38
(Revision of 2004), then companies must implement accounting treatment in a
retrospective way, unless the amount adjusted in the retained earning cannot be
determined in an accePTable manner. That’s why, it is in line with the a
retrospective accounting treatment as stated in paragraph 45 ACCOUNTING
Standard number 25 year 1995 to reclassify the balance of difference of
restructuring transaction under common control entities into the balance of retained
earnings, both by PT X and other listed companies. These other listed companies
have gone through 4 (four) conditions based on paragraph 17 of ACCOUNTING
Standard number 38 (Revision of 2004).
One of the benefits gained by companies applying retrospective implementation
is the restatement of comparative information due to retrospective implementation
does not make any changes in the financial statement having been agreed by
shareholders (the General Meeting of Shareholders) or the one having been noted
or kePT by an authorized party (for example regulators of capital market), and there
is neither a change nor an adjustment in the income statement.
The re-presentation of financial statement of 2003 by PT Y which resulted in the
increase of net profit from Rp. 1.569.967 million to Rp. 6.081.974 million in fact could
be the potential to increase dividends paid to shareholders in a significant amount.
However, the shareholders did not take advantage of this situation and there was
only a ratification of net profit for the book value of 2003 in the Annual General
Meeting of Shareholders for the year book of 2004 instead.
1. Understandable
During the Cross-Ownership transactions, both PT X and PT Y acknowledged a
difference between book value and transfer price into the equity as an account of
difference of restructuring transactions of common control entities. As entities which
are under the government control, then profit or loss yielded by each party will
automatically increase or decrease owner’s capital. Therefore, users of financial
reports will find no difficulties in recognizing the effect of these transactions in the
financial reports of both PT X and PT X Tbk.
Realization of either a profit or loss in the income statement is intended for
users of financial statements, especially of income statement. These users will
immediately know the changes in the PT’s financial position. They evaluate the
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
income statement every year in order to find out the growth as well as the
performance of the PT.
User of financial reports, particularly of income statement, will get information
that the profit contribution of PT A to the PT is very big. However, the income
statement is not capable of providing information that there there has been a
sacrifice borne by PT X (Persero), that is the negative difference amounting to Rp.
8.978.468 million due to the acquisition of
PT A from PT Y. This was indeed
reflected in the decrease of equity occurring in 2001, and was also stated in the
notation of financial report, yet, it was not revealed in the income statement.
With the loss of common control between PT X and PT Y, then this balance is
no longer a negative difference of equity subtractor, but is now a loss in acquisition,
made by a PT, which is supposed to be revealed in the income statement. However,
this acknowledgment is in line with ACCOUNTING Standard number 25 which
regulates changes in accounting policies due to changes in accounting standards
which do not provide transition regulation. Sound knowledge is required from users
of financial statement in order to understand these circumstances.
From the point of PT Y, it is quite easy for users of income statement to
understand the actualization of either a profit or a loss in the cross-ownership
transaction. This is because the realization is presented as an extraordinary account
separated from the PT’s retained earning of the ongoing operation. Therefore, the
financial statement calculates the cost and benefit rising from the cross-ownership
transaction.
2. Relevance
Relevance concePT is related to substantive, information, predictive value and
confirmatory value, which emphasizes that relevant economic information will result
in different economic decision.
If it is considered based on the limitation of materiality set by BAPEPAM
regulation number IX E.2. year 2001 concerning Material transaction and changes in
business main activities, then this cross-ownership transaction has met the material
criteria (10% of revenue or 20% of equity).
The income statement of PT X will change significantly due to the different
accounting treatment on the balance of account showing the difference of
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
restructuring transaction of common control entities. This significant decrease in
profit very much influences the PT, it especially affects the dividend rights of
stockholders.
This difference is some kind of information relevant to decision
makers, particularly the RUPS of PT X (or the General Meeting of Shareholders).
The decision to pay dividends of the net profit of the book year 2005 as decided in
the Annual General Meeting year 2006 might have been different if accounting
treatment conducted had been in line with Paragraph 20 ACCOUNTING Standard
number 38 (Revised 2004) which only yielded a net profit of Rp. 705.295 million.
The decrease of equity value in the year 2001 and 2002 due to Crossownership transaction shows Confirmatory Value, meaning that in substance the PT
has sacrificed a lot in order to survive and increase its performance. The difference
of restructuring transactions has significantly reduced the equity value of PT X,
which amounts to (-) Rp. 7.288.271 million or equals to 49.8% of the amount of
equity in 2002, which was worth Rp. 14.613.617 million. However, as the realization
of this activity is not presented in the income statement, then the Confirmatory Value
lessens, though it can still be found in the retrospective acknowledgment in the
balance sheet, which is in accordance with ACCOUNTING Standard number 25
Year 1995.
Next, it will be very difficult to accurately determine the predictive value as the
financial performance stated in the income statement of PT X only implicitly reflects
the result gained from Cross-Ownership transaction. In this transaction the profit
contribution of PT A to PT X is increasing, yet the sacrifice experienced during the
acquisition of PT X is not shown.
3. Reliability
Financial report should avoid misleading conception, material mistakes, and
certainly it should provide reliable presentation. Values that should exist in reliable
financial report among others are the principle of substance over form, neutrality,
sound consideration and also completeness.
With the absence of common control status between PT X and PT, then
Cross-Ownership should be treated as common acquisition transaction. Based on
either legal or economic substances, parties involved in the transaction should
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
acknowledge that both sides sustain either loss or gain over the transaction of
trading PT’s subsidiaries.
In common control entities, realization of loss and profit resulting from the
difference between book value and conversion price is the consequences of either
losing common control status or
selling assets, liabilities, stocks, and other
ownership instruments to parties that are not part of common control entities. Thus,
when PT Y is sold to a third party, then both profit and loss over the transaction
between state-owned enterprises should be actualized on the same period..
Figure 1.
The absence of common control status between PT X and PT Y
State-Owned Enterprises
PT
(
PT )XTbk
PT IndosatTbk
PT Y
Subsidiaries
Subsidiaries
Indosat
PT
PT
Y
Subsidiaries
Gain / Loss
is Realized
Realization of the difference between book value and acquisition price by PT
Y was realized in 2003, while the absence of common control status between PT X
and PT Y became effective in 2002. This shows that there is periodicity problem of
mismatching between the period of the event that required profit realization and the
period of profit realization itself.
Same thing happened to PT X. Reclassification in 2005 or the imposition of
ACCOUNTING STANDARDNo. 38 (Revision of 2004) has made the period of the
event resulting in profit or loss realization refrain from the period of recognition in the
company’s financial statement. As for PT X, realization period is shown with the
selling of government’s stocks in PT Y and the selling of part of PT A’s stocks to the
party that is not in the common control.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4. Comparability
Principle of comparability is implemented in the form of re-presentation of
financial reports of the previous years by both companies. With the implementation
of ownership consolidated method, when the Cross-Ownership transaction occurs,
both PT X and PT Y re-presented the financial statements of the previous years.
In the 2001 financial statement, PT X re-presented its Balance Sheet in the
year of 2000 as well as its Income Statement in 2000 and 1999. For the purpose of
reporting, PT X merged with PT A as if both companies had been merged since the
beginning of the presented period.
Same thing goes for PT Y. On its financial statement in 2001, PT Y represented its Balance Sheet in 2000 as well as its Profit and Loss Statement in 2000
and 1999, to show as if the acquisition had occurred since the beginning of
presented period in the consolidated financial statement in 1999. Adjustments have
been made to those presentations to include part of PT B’s business and
consolidation of PT C’s net assets.
Transition in accounting standardwhich resulted in material transition caused
difficulties for financial statement end-users in doing the analysis to obtain
comparable
financial
statement.
Same
thing
goes
for
ACCOUNTING
STANDARDNo. 38 in 1997 and ACCOUNTING STANDARDNo. 38 Revision in
2004. Fundamental changes lying on the accounting treatment to the difference of
book value and conversion price impose difficulties in comparing financial
statements containing restructuring transactions under common control entities that
occurred in years prior to the imposition of ACCOUNTING STANDARDNo. 38
(Revision in 2004).
In the period of implementation of Revision of 2004 to ACCOUNTING
STANDARDNo. 38, both companies applied different treatment over realization of
balance from the differences of restructuring transaction under common control
entities. In the year of 2004, PT Y re-presented its Balance Sheet of 2003 as well as
the Income Statements of 2003 and of 2002, and implemented ACCOUNTING
STANDARDNo. 38/2004 by realizing the balance from the difference of restructuring
transaction under common control entities in an extraordinary post in 2003. As a
result, the net profit of PT Y in 2003 increased from Rp. 1. 569.967 million to Rp.
6.081.974.
Meanwhile PT X did the reclassification of the balance from the
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
differences of restructuring transaction to the retained earning in 2005, so that both
the equity value of 2005 and the Income Statement remained the same.
When all parts of financial statement (including Balance Sheet, Income
Statement, statement of equity conversion and statement of cash flow) of PT Y,
starting from Cross-Ownership transaction up to the realization of the balance
differences of restructuring transaction under common control entities, are represented, , then the financial statement is comparable as each part of it describes
Cross-Ownership transaction.
For the purpose of comparing PT X’s financial statement from CrossOwnership transaction to the balance realization of the differences of restructuring
transaction under common control, then analysts have to make
necessary
adjustment by submitting the impact of Cross-Ownership transaction into the Income
Statement.
2. Comparison Between A Case and the Implementation of ACCOUNTING
STANDARDNo. 38 (Revision of 2004) to listed companies in the Jakarta Stock
Exchange
Comparison between Cross-Ownership transactions of PT X and PT Y to
restructuring transaction under common control entities by listed companies in the
Jakarta Stock Exchange is for the purpose of finding out if there are differences in
accounting treatment in implementing ACCOUNTING STANDARDNo. 38 (Revision
of 2004), and to what extent that accounting treatment illustrates the quality of
information of a company’s financial statement.
Research
to
find
out
about
the
implementation
of
ACCOUNTING
STANDARDNo. 38 (Revision of 2004) to all listed companies in the Jakarta Stock
Exchange began with the identification of listed companies involved in restructuring
transaction under common control entities, according to the list of listed companies
in the period of ACCOUNTING STANDARDNo. 38 (Revision of 2004) in 2005. The
author made a review on the existence of assets conversion, liabilities, stocks or
other ownership instruments conducted by those listed companies
in order to
reorganize all entities in one group of business.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
The availability or unavailability of an activity of restructuring transaction
under common control entities in a company based on their financial statement can
be viewed in terms of:
1. Account balance of the difference of restructuring transaction under common
control entities, concerning either the existence or transition.
2. Re-statement of financial statement from the beginning of comparison period
caused by the usage pooling of interest method in consolidating business and
acquisition. Special accounts that might appear in the re-presented financial
account are:
-
Liabilities document over restructuring transaction of common control
entity (Balance Sheet).
-
Capital document over restructuring transaction of common control
entity (Balance Sheet).
-
Minority rights over PT’s subsidiary’s net assets.
-
Profit performance from restructuring transaction of common control
entity (Income Statement).
Surveys on 326 listed companies in the Jakarta Stock Exchange showed the
following result:
1.
86 companies dealt with restructuring transactions under common control
entities
even before 1997 (ACCOUNTING STANDARDNo. 38 was
applicable before revision) until 2005.
2.
240 companies did not deal with
restructuring transactions under
common control entities.
Further research on listed companies dealing with restructuring transaction
under common control entities showed various kind of transactions, which are as
follows:
1. Stocks acquisition on common control subsidiaries by 49 (forty nine)
companies.
2. The selling of stock ownership of common control subsidiaries or sold to
common control party by 11 (eleven) companies.
3. Selling or buying fixed assets by 6 (six) companies.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4. Merger between companies with other common control companies, by 7
(seven) companies.
5. Dilusi over stocks ownership on companies’ subsidiaries for not using the
rights to get initial offering in issuing common control subsidiaries new
stocks, was conducted by 3 (three) companies.
6. Conversion of liabilities, receivables and bonds into stocks ownership or
fixed assets, was conducted by 3 (three) companies.
Restructuring transaction under common control entities which was conducted
before the year of 1997 occured to 4 (four) companies, and the rest was conducted
in the period of 1997 until 2005.
To get the exact comparison on the implementation of ACCOUNTING
STANDARDNo. 38 (Revision in 2004) between PT X - PT Y and emiten of Jakarta
Stock Exchange, then the restructuring transaction under common control entities of
listed companies in the Jakarta Stock Exchange must have same pattern with those
of PT X – PT Y, which include the following two activities:
1.
Activity of new transaction which resulted in the balance of the difference
of transactional restructuring value of common control entity in PT’s equity.
ACCOUNTING Standard number 38 (Revision in 2005) did not change the
accounting treatment in ACCOUNTING Standard number 39 in 1997,
which was applied to this activity.
2.
Activity of restructuring transaction under common control which caused
the adjustment (realization) of balance account of the difference of
transactional restructuring value of common control entities in PT’s equity
and was not considered as new transaction. ACCOUNTING Standard
number 38 (Revision in 2004) adjusted the accounting treatment in
ACCOUNTING Standard number 38 in 1997, which was applied to this
activity.
Of 86 listed companies conducting restructuring transaction under common
control entities during the period of survey, apart from PT Y and PT X, it turned out
that only 7 (seven) listed companies conducted both the two activities mentioned
above.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Transactions that can result in the adjustment (realization) account of the
difference of transactional restructuring value between common control entities, is
preceded by initial transaction that can result in this account.
Initial transaction
occurred from the beginning of the PT’s establishing. However, this balance account
has existed since ACCOUNTING Standard number 38 / 1997 became effective.
According to the old standard of ACCOUNTING STANDARD, this account remains
the same if substances of common control no longer exist. With the Revision of
2004, this account can be adjusted and is realized in accordance with the conditions
exist on paragraph 17, as follows:
1. The absence of status of common control conducted by companies.
2. Selling stocks to PT’s subsidiaries that can cause the difference of
common control restructuring transaction to the uncommon control
party.
Analysis of the implementation of ACCOUNTING Standard number 38
Revision in 2004 on the activities of transaction that can result in the adjustment
(realization) of account of common control entity restructuring transaction, will be
explained in accordance with those kind of activities.
1. The absence of common control status experienced by companies
The absence of substance of common control status is caused by the inexistence
characteristic of control or being controlled or being under the same control, between
parties conducting restructuring transaction under common control entities, both
directly and indirectly. Of 7 (seven) listed companies, there are 2 (two) companies
which lose the substance of common control. They are:
1. PT Bank Buana Indonesia Tbk (BBIA)
2. PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP)
With the absence of common control substance status, there are no
restructuring transactions between common control entities.
Therefore, the
difference between conversion price and book value of assets, liabilities, stocks and
other ownership instruments that was diverted must be recognized as realization of
loss or profit. The loss of common control status caused the changes in the legal
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
form of ownership over assets, liabilities, stocks and other ownership instruments
being exchanged, and was followed by the adjustment of ownership economic
substance.
The followings are the result of analysis on both companies. To simplify
the presentation, account of the difference of restructuring transaction under
common control entities will be called STRES.
1. PT Bank Buana Indonesia Tbk (BBIA)
The above Table showed that the balance of the difference of restructuring
transaction under common control entities has negative balance. It means that as a
separate legal entity, the company’s position actually suffers a loss on selling land
and building. Since the transaction in 1997, the company recognized this substance
of loss in the account of the difference of restructuring transaction under common
control entities as a decreasing equity of the amount of Rp. 6.220 million.
Then, in 2005, they deleted this account balance by adding Rp. 6.220
million to that account. ACCOUNTING Standard number 38 Revision of 2004 stated
that the balance of the difference of restructuring transaction under common control
entities should be recognized as realization of either a profit or a loss. Based on the
Income Statement and Statement of company’s Equity Adjustment in 2005, there
was no realization of either a profit or a loss.
As a result, equity in 2005 increased to as much as Rp. 6.220 million as
the consequences of the realization.
This is not in accordance with the real
condition where the PT should actually suffer a loss over the transaction.
If we see the overall equity from 1997 to 2005, then the elimination or the
realization of account balance of the difference of restructuring transaction under
common control entities in 2005 in fact eliminated the substance of surplus/deficit of
book value from the conversion price of the exchanged assets. Thus, the Financial
Statement did not reflect the condition of the real economic events.
2. PT Indocement Putra Prakarsa Tbk (INTP)
The above table shows how companies applied ACCOUNTING Standard
number 38 Revised in 2004 earlier. For that purpose, the company re-presented its
statement equity’s adjustment in the book year of 2003 and 2004. It eliminated the
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
balance of the difference of restructuring transaction under common control entities
resulting from the above five transactions and realized it in the form of deduction to
retained earning.
Substantially, the flow of transaction is presented accurately in the balance
sheet. Yet, though the flow of transaction is already substantially depicted in the
balance sheet, the absence of recognition reflected in the Income Statement will
reduce the reliability of Financial Statement itself. In the absence of common control
substance, then the profit or loss resulting from the merger and acquisition
transactions should be reflected in the Income Statement. Financial Statement endusers could then comprehend the position of the company’s profit in the current year,
after all revenues are deducted by all current liabilities.
In the case of PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, the sum of account
balance of the difference of restructuring transaction under common entities realized
in the year of 2003 amounted to negative (-) Rp. 1.496.515 million. This
has
exceeded the net profit of 2003 which amounted to Rp. 670.290 million.
The
company wouldl suffer a loss if they realized this balance in the Income Statement.
As for financial statement end-users, the difference resulted was considered as
relevant information in the decision making process.
IV.2.2 Stock Redemption on company’s subsidiary’s Causing the Difference of
Restructuring Transaction under common control entities to Uncommon Control
Party.
The stock redemption on company’s subsidiary which underlaid the difference
of restructuring transaction under common control to parties which were not under
common control occurred in 5 (five) companies, including PT X. Analysis of those
five companies are as follows:
1. PT Barito Pacific Timber Tbk (BRPT)
On conversion transaction of 14.45% PT Musi Hutan Persada shares
owned by Marubeni Corporation for company’s liabilities settlement, the treatment
applied was the same as of PT X. Only it was applied earlier which was on stock
selling period to third party in the year of 2003. The company omitted the balance
difference of restructuring transaction under common entities resulting from this
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
transaction, and reclassified it to retained earning. Thus, the Income Statement did
not completely show the impact of this transaction.
On the second transaction, there was the release the entire stocks of PT
Musi Hutan Persada as much as of
39.55% to Japan Indonesia Petrochemical
Investment Corporation, realization was done in accordance with the provision of
paragraph 20 ACCOUNTING Standard number 38 Revision of 2004 which
recognized transaction balance of common control entity restructuring as a realized
loss even though this action could affect on the decreasing of the company’s net
earning in the year of 2005 which amounted to Rp. 1.554 billion.
2. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP)
Restructuring transaction with common control entity has been done by PT
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk since before ACCOUNTING Standard number
38/ 1997 became effective. Selling investment to uncommon control party made the
company do the reclassification which had been done earlier by PT X, e.g. to
financial statement for the year of 2003. Thus, the Income Statement did not fully
present the impact of this transaction.
3. PT Kageo Igar Jaya Tbk (IGAR)
PT Kageo Igar Jaya Tbk acquired shares of PT Avesta Continental Park
from Chronicle Trading Ltd (PT’s subsidiary) to increase direct ownership from
52,7% to 76,47%. The selling of subsidiary to uncommon control party in the year of
2001, caused the company to reclassify as what had been done earlier by PT X, e.g.
on the Income Statement of 2004. Thus the Income Statement did not fully present
the impact of the transaction.
4. PT Prasidha Aneka Niaga Tbk (PSDN)
PT Prasidha Aneka Niaga Tbk reduced the balance difference of
restructuring transaction resulting from selling subsidiary to uncommon control party
as illustrated in the table above.
Record on Income Statement showed the
realization recognition over the difference of restructuring transaction under common
control entities as profit in investment in shares of stock in the consolidated Income
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Statement in the year of 2005.
Yet, there’s no profit recognition in the Income
Statement especially in other revenues (expenses) or extraordinary post.
Profit in the investment in shares of stock in the Income Statement
however only presented profit in selling subsidiary to third party, not the realization of
difference balance of common control entity restructuring transaction which actually
became profit or loss which was not realized because of PT’s common control status
when acquisition of subsidiary occurred.
5. PT Tirta Mahakam Resources Tbk (TIRT)
PT Tirta Mahakam Resources Tbk acquired shares of PT Windu
Nabatindo Lestari in 2003 from common control party and sold it to PT Bumitama
Gunawijaya Agro (uncommon control entity) in 2005. By selling subsidiary to
uncommon control party in 2005 caused the PT to reclassify as has been done by
PT X, e.g. on the Income Statement of 2005. The Income Statement did not fully
present the impact of transaction. However, transaction disclosure is already in
accordance with the retrospectively recognition on the conversion of accounting
policy over the conversion of accounting standardbecause of the absence of
provision on transition.
IV. 3. Comparison of ACCOUNTING Standard number 38 (Revision of 2004) with
the International Accounting standardand United States Accounting Standard.
PT X and PT Y are companies listed in the Jakarta Stock Exchange and
New York Stock Exchange so that they have to obey the Indonesian, the United
States as well as the International accounting standards.
IV.3.1. The International Accounting Standards
International accounting standardconcerning merger-related accounting is
International Financial Reporting Standard (IFRS) No. 3, issued by the International
Accounting standardBoard (IASB) and has become effective since March 31st 2004.
This IFRS no. 3 substitutes International Accounting Standards (IAS) No. 22 with
significant changes.
Although IFRS No. 3 has substituted IAS, there is no
amendment or revision to ACCOUNTING Standard number 22 year 1995.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
ACCOUNTING Standard number 22 of 1995 and IFRS Number 3 of 2004
explicitly stated in the part of standard scope that the standard will not be applied on
common control entity restructuring transaction. With this exception, DSAK then
issued special standard that is ACCOUNTING Standard number 38 of 1997 and
ACCOUNTING Standard number 38 (Revision in 2004) about accounting of
restructuring transaction under common control entities.
On the contrary, IASB does not issue special standard for this transaction.
Merger activity by common control entity is not prohibited to apply either IFRS No. 3,
or other methods (Epstein & Jermakowicz, 2007). Selecting certain accounting
policy must be consistently in line with the selection of accounting policy which is
regulated in International Accounting standard(IAS) Number 8 about Accounting
Practices, Changes in Accounting Estimates and Errors. Entities must be concerned
with all of these.
Exposure Draft from the Amendment of IFRS Number 3 published by
IASB on June 2005 also does not regulate restructuring transaction under common
control entities. IASB also does not establish special standard to regulate it. In
appendix B of paragraph BC9 of the Exposure Draft, it is stated that IASB will
consider regulation about common control entity restructuring accounting for the
future time.
Based on those things, if the implementation of Cross-Ownership
transaction by PT Y and PT X is in accordance with the international standard, then
both companies could choose the most appropriate accounting method as long as it
is in accordance with IFRS Number 3.
The focus of International Accounting
standardis that the method selected does not conflict with the IAS Number 8, which
regulates
the
provision
of
retrospective
implementation
as
regulated
in
ACCOUNTING Standard number 25 in 1995.
IV.3.2. United States Standard
Due to the status of PT X and PT Y whose shares are listed at NYSE, then
both companies must obey the United Stated Generally Accepted Accounting
Principles (US. GAAP). Both companies hand over their financial statements to
BAPEPAM-LK
(Capital Market Supervisory Agency) in line with ACCOUNTING
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
STANDARD, and to US Securities and Exchange Commission (SEC) according to
US GAAP.
IFRS Number 3, paragraph 2 concerning the scope of FSAB Statement
Number 141 year 2001 and FASB Statement Number 141 Revision 2007 concerning
Business Combination also do not provide regulation on common control entity
restructuring transaction. FASB Statement Number 141 paragraph B4 and FSAB
Statement Number 141 (Revised 2007) paragraph B59 stated that the agency
considers common control entity business consolidation accounting will be
determined in other project.
FSAB nevertheless provides guidelines in common control entity business
consolidating accounting, that is on FSAB Statement Number 141 Appendix D
paragraph D11-D18. It is stated in the net assets transferred must be recorded at
their carrying amounts of the acquired company. The Balance Sheet and Income
Statement should be presented as if the transaction were done from the initial period
of financial statement presentation. Thus the previous financial statement has to be
re-presented.
In this case, ACCOUNTING Standard number 38 /1997 and
ACCOUNTING Standard number 38 Revised in 2004 provide the same statement.
FSAB Statement Number 141 Paragraph 14 and Appendix D Paragraph
D13 stated that particularly for part of ownership acquisition of non controlling equity
interest in subsidiary, then the method applied is the purchasing method, even
though the acquisition on non controlling equity interest is conducted by holding PT,
its subsidiary or even other affiliated companies.
Besides, FSAB does not provide guidelines concerning the different
recognitions between book value and acquisition price in the statement. This is the
difference between FSAB and ACCOUNTING Standard number 38/1997 as well as
ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004).
The FSAB Statement Number 141 (Revised in 2007) in Appendix D
provides instruction on the implementation of common control entity restructuring
transaction, that is:
“D9. When accounting for a transfer of assets or exchange of shares between
entities under a common control, the entity that receives the net assets or the equity
interests should initially recognize the assets and liabilities transferred at their
carrying amounts in the accounts of the transferring entity at the date of transfer.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
(FAS 141, D12) If the carrying amounts of the assets and liabilities transferred differ
from the historical cost of the parent of the entities under common control, for
example, because push-down accounting had not been applied, then the financial
statements of the receiving entity should reflect the transferred assets and liabilities
at the historical cost of the parent of the entities under common control. (EITF Issue
90-5)”
The provision above shows that the value of net assets of the acquired
company should be recognized at their carrying amounts. If the carrying amounts of
the net assets transferred differ from historical cost of the acquired parent company,
then the value transferred to the company acquired another company is the historical
cost recorded in a main book of the acquired company.
FSAB Statement Number 141 year 2001 and the revision conducted in
2001 did not provide guidelines for the absence of common control substance
between the two companies doing the transaction.
Records Number 43 letter k on the financial statement of PT Y with 20F
format arranged to meet the United States Accounting standard, declared that in
accordance to United States accounting standard, profit
or loss documentation
resulting from business merger transaction can only be done in the absence of
common control characteristic. Thus, the difference realization of common control
entity restructuring transaction of PT Y’s extra ordinary profit in 2003 should be
eliminated and reversed to its initial position.
Based on that, it is concluded that profit can not be realized in the absence
of common control status, because that profit resulted from common control
restructuring transaction.
Acquisition profit is recognized in transaction between
uncommon control entities as regulated in FASB Statement Number 141 through
purchase method practice.
IV.4. Review on Government Status as Common Control Entity
The government has various functions related to its position as the executive
function of a Country.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV.4.1. Government as Business Regulator
The government functions as business regulator can be seen in the
provision of Article 33 paragraph (2) and (3) of Last Amendment (fourth) of 1945
Constitution, that is:
Article 33 paragraph (2):
(2). Branches of production which are important for the state and which affect the
lives of most people shall be controlled by the state.
Article 33 paragraph (3):
(3). Land and water, and the natural resources found therein, shall be controlled by
the state and shall be exploited for the maximum benefit of the people.
Based on both articles for the purpose of people prosperity, the President
through his technical Ministers makes regulations on business sectors in Indonesia.
The following tables are the examples of Government regulator’s role:
Table 16
Besides that, the government also put into effect regulations on certain
aspects which require considerable attention for business world, among others,
Regulations Number 40/2007 on corporation, Regulation Number 13/2003 on
Manpower, Regulation Number 19/2003 on BUMN, Regulation Number 19/2002 on
Copyrights, and Regulation Number 23/1997 which regulating Environmental
Management.
PT X and PT Y which are engaged in telecommunications services, have
to obey all of the provisions specified in the Regulation Number 36/1999 on
Telecommunications.
Government applies specific regulations for companies
engaging in telecommunications business, through various kinds of administration
regulations of the regulation Number 36/1999 in the form of Government Regulation,
the decree of the Minister of Information and Communication, the decree of Official
in charge under the Minister of Information and Telecommunication, Bureau of
Indonesian Telecommunication Regulation etc.
In the notation on Financial Statement of PT Y for the book year of 2004
stated
that
following
the
regulation’s
reformation
Bridging the Gap between Theory and Practice
on
regulation
for
FACM01 - 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Telecommunication
sector
through
Regulation
Number
36/1999
on
Telecommunications and the decree of Minister of Communications of Republic of
Indonesia Number
KM 72/1999 on the Blue print of the Government Policy on
Indonesian Telecommunications, PT Y made a Cross-Ownership transaction.
The decision of the Minister of communications of Republic of Indonesia
Number KM 72/1999 on the Blue Print of Government Policy
on Indonesian
Telecommunications on Article 2 affirmed that it is essential to use the blue print as a
guidance
in
establishing
regulations
and
organization
of
national
telecommunications.
Based on further analysis, the departure point of Cross-Ownership
transaction began with the Blue Print of Government Policy on Indonesian
Telecommunications. According to appendix 1 on State-Owned Enterprise (BUMN)
administrator telecommunications restructuring on Section 2, in accordance with the
policy to repositioning and restructuring of PT X and PT Y as the administrators of
full fixed telecommunication provider and competitive, then internal restructuring in
PT X and PT Y needs to be done in order to:
1. eliminate
joint
ownership
by
PT
X
and
PT
Y
in
an
affiliated
telecommunications PT.
2. eliminate subsidiaries ownership engaged in core business or in the same
services area with their holding PT.
3. release joint obligation with other PT as required by Regulation Number
36/1999 about Telecommunications.
In the year of 2000 before Cross-Ownership transaction existed, PT X and
PT Y are in the position of having joint ownership on subsidiaries as follows:
1. PT A
-
PT X ownership of 42,72%
-
PT Y ownership of 35%
2. PT B
-
PT X ownership of 42,72%
-
PT Y ownership of 35%
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3. PT C
-
PT X ownership of 37,66%
-
PT Y ownership of 32,64%
With the existence of the Blue Print of Government Policy on Indonesian
Telecommunications, then the Cross-Ownership between PT X and PT Y has to be
eliminated, and both companies made the Cross-Ownership transactions in 2001.
Thus, it is concluded that the Cross-Ownership transactions are the consequences
of Government Policy as telecommunications business regulator.
Apart from its role as sectoral regulator, the Government is also in charge for
collecting taxes which is in line with the power given by Constitutional 1945 Article
23A affirmed that the annual state budget shall be laid down by law, that is Taxes
Regulations, among others Regulation Number 16 / 2000 on the General Provisions
and Taxes Procedures, etc.
As tax collector, Government through director general of Taxes also
collecting taxes resulted from common control entity restructuring transactions by PT
X and PT Y.
IV.4.2. Government as Capital Market Regulator.
Besides regulating subsidiaries business sector, Government becomes
regulator in the Indonesian capital market, .through an agency under the Minister of
financial of the Republic of Indonesia, that is Capital Market Supervisory Agency –
Financial Institution (BAPEPAM - LK).
Regulation Number 8/1995 on Capital
Market, Regulation Number 40/2007 on Corporations, and other regulations
regulated on Corporations are used as law basis.
As a regulator of Capital Market, Government work through Capital Market
Supervisory Agency – Financial Institution (BAPEPAM – LK). The Capital Market
Supervisory Agency – Financial Institution (BAPEPAM – LK) has issued various
regulations for Stock Exchange, Clearing and Underwriting Institutions, Institution of
Saving and Settlement, Mutual Fund, Securities PT, Securities Agent, Investment
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Consultant, Mutual Fund Agent, Capital Market Supporting Agency, Capital Market
Supporting Profession, Emiten dan Public Companies, etc.
IV.4.3. Government as State-Owned Enterprise (BUMN) Shares Holder
Government through the Minister of BUMN is the share holder in
corporations as well as public corporations, in accordance with Government
Regulation Number 41/2003.
The management of corporations and public
corporations is regulated in Government Regulation (PP) Number 12/1998 about
corporation and Government Regulation Number 13/1998 about Public Corporation.
Government is the owner of public corporation’s capital. In corporation, government
could share the ownership with another party.
In Corporation of Public companies, Government has all Dwiwarna shares
of A series which have particular rights. As for common shares, government position
is equal to other share holders, according to the amount of shares owned.
IV.4.4 Government as Business Entity
Controlling is the power to determine financial and operational policy of a
PT in order to be able to get the benefit of subsidiary’s activities. Controlling is
considered to be present if the holding company has more than 50% shares on
company’s subsidiary, directly or indirectly (through other subsidiary).
According to ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004),
holding company is a company that owns one or more subsidiaries. Thus, holding
company is a company. In this case, the Government of the Republic of Indonesia
functions as the capital owner on public company and the share holder on
corporation, so that the Government of the Republic of Indonesia can not be
considered as company.
According to ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004), the
common control entity are individual, PT, or other entity, directly or indirectly
(through one or more intermediary), control or being controlled by or under the same
common control. Thus, the definition of controller party could be extended. With no
limitation on other entity, then the Government of Republic of Indonesia can be
considered as an entity.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
In this case, Cross-Ownership transaction exist when the Government of
the Republic of Indonesia own 51,19% shares of PT X and 65% shares of PT Y.
Both ACCOUNTING Standard number 22 and IFRS Number 3 affirmed
that even though a PT has 50% or less voting rights, control is considered to be
present if one of the following conditions can be proved:
1. has more than 50% voting rights
2. has the rights to manage financial policy and operation of other PT based on
the budget or agreement.
3. the authority to select and discharged most of member of other PT’s
committee.
4. has the capability of controlling majority votes in the committee meeting
With PT Y’s redemption stock in the end of 2002, shares belong to the
Government of the Republic of Indonesia on PT Y become 15%. The Government
of Republic of Indonesia does not have all of the four conditions affirmed in
ACCOUNTING Standard number 22 and IFRS Number 3 above. That is the reason
why the Government lost the control characteristic on PT Y.
From business entity point of view, then the Government should recognize
the impact resulting from subsidiary’s stock trading transaction conducted by StateOwned Enterprise. In this case, the Government has to recognize the net position of
subsidiary’s stock trading transaction (Cross-Ownership) by PT X and PT Y:
1. From PT X, loss realization resulting from Cross-Ownership transaction
amounted Rp. 7.288.271 million.
2. From PT Y, profit realization resulting from Cross-Ownership transaction
amounted rp. 4.499.947 million.
Profit or loss realization resulted from the Cross-Ownership transaction in
2001 to control party (Government) is minus (-) rp. 7.288.271 million added by Rp.
4.499.947 million so that the net loss for the Government as business entity
amounted to Rp. 2.788.324 million.
It is important to emphasize that the Government’s loss position is the
logical consequences of the Cross-Ownership transaction in 2001 which is triggered
by the Blue Print of Government Policy on Indonesia Telecommunications from its
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
multi function role as regulator. The loss will be compensated with the increase in
Government’s revenue section on the prospect of PT X and PT Y’s performances
after PT A became PT X’s subsidiary and the acquisition of C and B by PT Y in the
period of post Cross-Ownership transaction.
V.I. Conclusion
Based on the article, the conclusions are as follows:
1. Different implementation of ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in
2004) on the Cross-Ownership transaction between PT X and PT Y result in
different quality of financial statement based on qualitative characteristic of
financial statement. The quality of PT Y’s financial statement which realized
profit from the difference of common control entity restructuring transaction
illustrates a better quality of financial statement, especially on the Income
Statement.
2. Different implementation, especially on the
balance realization of the
difference of common control entity restructuring transaction caused by the
absence of transition provision of ACCOUNTING Standard number 38
(Revised in 2004).
Most of listed companies which lost common control
substance made retrospective reclassification and implementation in
accordance with ACCOUNTING Standard number 25/1995 and the provision
of
Capital
Market
Supervisory
Agency
(BAPEPAM)
on
the
initial
implementation of ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004) by
public PT.
3. Until now, there are no International accounting standards and United States
accounting standardwhich clearly regulate consolidated business transaction
by common control entities into a particular standard.
United States
accounting standardprovides the same guidelines as ACCOUNTING
Standard number 38/1997 in the initial transaction, yet they prohibit realization
of the difference of common control entity restructuring transaction, as has
been regulated in ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004).
The International accounting on the other hand does not provide specific
instruction.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4. Government has various task as general/sectoral regulator, capital market
and business entity regulator,. Each role has its part in Cross-Ownership
transaction, as policy maker triggered Cross-Ownership transaction, tax
collector of the Cross-Ownership transaction, and as the owner of the
company doing the Cross-Ownership transaction. In the Cross-Ownership
transaction, Government as a controlling business entity is in the position of
suffering loss.
V.2.Remarks
1. Revision on the Financial Accounting standardshould provide provisions on
transitions.
If not, standard must be supplied with guidance on certain initial
implementation or guidance with reference to ACCOUNTING Standard number
25/1995. Capital Market Supervisory Agency (BAPEPAM) provision on the initial
implementation of ACCOUNTING Standard number 38 (Revised in 2004) is only
effective to public PT so that the non-public PT has the potential of facing the same
problem as PT X and PT Y.
2. Government status as controlling entity needs to be further examined, considering
the principle of Government’s fairness and interdependency , that can regulate the
overall aspects of all listed companies’ business activity. This can create potential
conflicts of interest
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral
Colloquium, and Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
REFERENCES
Baker, Richard E., Lembke, Valdean C., King, Thomas E & Jeffrey, Cynthia G.
Advanced Financial Accounting, 7th Ed. New York : Mc Graw-Hill
Companies, Inc.
Beams, Floyd A, Anthony, Joseph H., Clement, Robin P & Lowensohn, Suzanne.
Advanced Accounting 9th Ed. New Jersey : Pearson Education International,
Inc.
Eddey, Peter H (1995). Accounting for Corporate Combination & Association. 4th
Ed. Sydney : Prentice Hall Australia PTy. Ltd.
Epstein, Barry J. & Jermakowicz, Eva K. Willey IFRS 2007 : Interpretation and
Application of International Financial Reporting Standards. New Jersey :
John WIlley & Sons, Inc.
Hendriksen, Eldon S & Breda, Michael F Van (2002). Teori Akunting. Edisi
Kelima. Jakarta : Penerbit Interaksara
Ikatan Akuntan Indonesia (2007). Standar Akuntansi Keuangan Per 1
SePTember 2007. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.
Kartajaya, Hermawan, Yuswohadi & Madyani, Dewi (2004). On Becoming
Costumer Centric PT – Transformasi Telkom menjadi perusahaan berbasis
pelanggan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Laporan Tahunan PT Bursa Efek Jakarta Tahun 2005.
Laporan Tahunan PT Telkom (Persero) Tbk tahun buku 2001 s.d. 2006.
Laporan Tahunan PT Indosat Tbk tahun buku 2001 s.d. 2006.
Post, Alexandra M (1994). Anatomy of A Merger. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Purba, Marisi P. (2005). Akuntansi Penggabungan Usaha . Jakarta : PT Ray
Indonesia.
Schroeder, Richard G, Clark, Myrtle W & Cathey, Jack M (2005). Financial
Accounting Theory And Analysis : Text Readings and Cases. 8th Ed. New
Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Tjager, I Nyoman, Alijoyo, F.A, Djemat, Humprey R. & Soembodo, Bambang
(2003). Corporate Governance : Tantangan dan Kesempatan bagi
Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta : PT Prenhalindo.
www.iasb.org
www.fsb.org
www.jsx.co.id
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM01 - 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH PENGUMUMAN MERGER
BURSA EFEK JAKARTA DAN BURSA EFEK SURABAYA
TERHADAP HARGA DAN VOLUME PERDAGANGAN
Ulfi Maryati
Politeknik Universitas Andalas
Sylvia Veronica Siregar
Universitas Indonesia
Abstract
The aim of this paper is to investigate the effect of Jakarta Stock Exchange
(JSX) and Surabaya Stock Exchange (SSX) merger announcement on abnormal
return (AR) and trading volume activity (TVA). The announcement consists of three
event dates: (1) SSX Extraordinary General Meeting of Shareholders agreed to
merge with JSX on Desember 6
th,
2006, (2) signing the agreement of merger of
SSX and JSX at Annual General Meeting of Shareholders on October 30, 2007, and
(3) the first day operational of Indonesia Stock Exchange on Desember 3rd 2007.
Our samples consist of 45 LQ-45 firms. The event window of the research is 11 days
(t-5, t-0, and t+5) and 5 days (t-2, t-0, and t+2).
The results using either 5 trading days or 11 trading days event window show
that the market give a positive reaction (there is significant increase in AR and TVA
after event date compared to before event date) regarding the merger
announcement between SSX and JSX.
Keywords: merger announcement, abnormal return, trading volume activity
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 1 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perkembangan informasi yang tersedia di pasar modal memiliki peranan
yang penting untuk mempengaruhi segala macam bentuk transaksi perdagangan di
pasar modal. Hal ini disebabkan karena para pelaku di pasar modal akan melakukan
analisis lebih lanjut terhadap setiap pengumuman atau informasi yang masuk ke
pasar modal tersebut. Informasi yang bersifat ekonomi umumnya memiliki kaitan
langsung dengan dinamika pasar modal. Sejumlah penelitian telah banyak dilakukan
untuk mengamati pengaruh ekonomi dan non ekonomi. Penelitian sebelumnya yang
meneliti peristiwa ekonomi diantaranya oleh Beaver (1968), Ball dan Brown (1968),
dan Morse (1981) menemukan bahwa informasi yang dipublikasikan mengakibatkan
reaksi baik harga maupun reaksi volume perdagangan. Bamber dan Cheon (1995)
juga menyebutkan bahwa perhatian pada kesamaan antara reaksi harga dan
volume atas informasi yang dipublikasikan cenderung menyebabkan peneliti
memandang bahwa harga dan volume sebagai ukuran substitusi terhadap reaksi
pasar.
Di Indonesia, penelitian terkait
dengan publikasi laporan keuangan
menggunakan pendekatan volume perdagangan atau harga saham pernah
dilakukan oleh Beza dan Na’im (1998) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat
peningkatan perdagangan yang signifikan setelah publikasi laporan keuangan.
Menurut Hastuti dan Sudibyo (1998) rata-rata volume perdagangan saham relatif
setelah event publikasi laporan keuangan menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan dibandingkan dengan sebelum event. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Junaedi (2005) menemukan bahwa pengungkapan informasi yang dilakukan
perusahaan melalui laporan tahunan belum dijadikan sebagai salah satu sumber
informasi yang penting dan menentukan dalam proses pengambilan keputusan
investasi yang tercermin dari volume perdagangan serta return saham yang
diperdagangkan.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 2 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Selain publikasi laporan keuangan, beberapa penelitian juga menguji dampak
dari peristiwa lain, seperti merger perusahaan terhadap harga dan volume
perdagangan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Keown (1992) menemukan
bahwa volume perdagangan meningkat secara drastis sebagai reaksi adanya
pengumuman merger. Tetapi penelitian yang meneliti peristiwa ekonomi seperti
merger bursa saham belum banyak dilakukan bila dibandingkan dengan penelitian
peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan karena merger bursa saham merupakan
peristiwa yang jarang terjadi di suatu negara.
Setelah melalui proses penggabungan yang cukup panjang, akhirnya Bursa
Efek Surabaya (BES) memberikan tanda persetujuan untuk dimerger dengan Bursa
Efek Jakarta (BEJ) yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB) pada tanggal 30 Oktober 2007. BEJ dengan BES menjadi Bursa
Efek Indonesia (BEI) paling lambat 30 November 2007. Selanjutnya BEI mulai aktif
3 Desember 2007 dan akan ada masa transisi untuk kedua bursa sampai tahun
2008. Selama masa transisi masing-masing bursa akan menjalankan operasinya
sendiri-sendiri (Pasaribu, 2007).
Pengumuman merger BEJ dan BES merupakan salah satu informasi yang
secara teoritis dapat menyebabkan perubahan harga dan volume perdagangan
saham. Merger BEJ dan BES bertujuan meningkatkan efisiensi dan likuiditas
transaksi saham di pasar modal, sehingga bursa Indonesia memiliki daya saing.
Hasil kajian dari Lembaga Manajemen UI yang telah diserahkan kepada manajemen
BES pada 9 November 2007 memperlihatkan kinerja BES akan jauh meningkat jika
perseroan bergabung dengan BEJ karena akan terjadi efisiensi dan itu terlihat dari
berkurangnya beban usaha.
Melalui pembentukan BEI berbagai target telah dibuat. Salah satunya
penambahan jumlah emiten, dari 346 emiten menjadi 500 emiten. Dengan
bertambahnya jumlah emiten, maka akan dapat mempengaruhi aktivitas volume
perdagangan saham (trading volume activity) di Indonesia. Peningkatan jumlah
perusahaan yang masuk bursa menjadi perusahaan terbuka (go public), melalui
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 3 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
penawaran saham perdana (IPO) ke pasar akan membantu perusahaan
menghimpun dana untuk berekspansi. Ekspansi tersebut selanjutnya bisa
berdampak terhadap perkembangan perekonomian riil masyarakat.
Menurut Yulyanto, penulis berita kategori bursa efek dan pasar modal,
setelah aktif pada hari Senin (03/12/07) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
dibuka meningkat dan berada pada level 2.703,53 atau mengalami rebound sebesar
15,20 poin (0.57%). Meningkatnya IHSG pada BEI merupakan respon positif dari
para pelaku pasar (investor) dan hal ini menjadi permulaan yang cukup baik bagi
aktifnya BEI (www.mybusinessblogging.com/stock-market, diakses tanggal 10
Januari 2008). Pada saat pembukaan perdagangan hari pertama BEI tahun 2008
oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Menkeu Sri Mulyani melaporkan kinerja
BEI pasca merger sangat menggembirakan dengan peningkatan secara signifikan
seluruh indikator perdagangan seperti aktivitas transaksi, pergerakan indeks,
maupun minat investor asing untuk berinvestasi di Pasar Modal Indonesia. IHSG
mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan pada tanggal 11 Desember 2007
IHSG mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yang mencapai level 2.810,962.
Pada penutupan perdagangan tahun 2007, IHSG ditutup pada level 2.745,826 atau
meningkat 52.08% dari level penutupan di tahun 2006 yaitu sebesar 1.805,523
(www.presidensby.info, diakses tanggal 4 Januari 2008).
I.2. Permasalahan Penelitian
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah peristiwa pengumuman
merger BEJ dan BES mengandung muatan informasi, yang tercermin pada
meningkatnya nilai rata-rata Abnormal Return (AR) dan nilai rata-rata Trading
Volume Activity (TVA) sesudah tanggal peristiwa dibandingkan dengan sebelum
tanggal peristiwa?
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 4 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
II. TELAAH STUDI TERDAHULU
Beaver (1968) menguji aktivitas volume perdagangan saham pada saat
pengumuman laporan keuangan dengan periode diluar pengumuman. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa aktivitas volume perdagangan saham pada minggu
pengumuman lebih tinggi 33% dibanding aktivitas volume perdagangan saham
diluar periode pengumuman.
Kim dan Verrecchia (1991) menyimpulkan bahwa volume perdagangan
merupakan suatu fungsi peningkatan dari perubahan harga absolut, dimana harga
merefleksikan tingkat informasi. Perdagangan saham dapat terjadi jika para investor
memiliki ketepatan yang berbeda untuk menginterpretasikan private disclosure
information yang mereka peroleh. Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan
kepercayaan, sehingga pada akhirnya mendorong terjadinya perdagangan. Bamber
dan Cheon (1995) melakukan penelitian tentang reaksi harga dan volume
perdagangan terkait dengan adanya pengumuman laba. Mereka menyimpulkan
bahwa frekuensi pengumuman laba menghasilkan reaksi volume dan harga yang
berbeda, dimana besarnya reaksi harga dan kecilnya reaksi volume atau besarnya
reaksi volume dan kecilnya reaksi harga mencapai 20%-24% dari sampel yang
digunakan.
Beza dan Na’im (1998) menguji pergerakan volume perdagangan di Bursa
Efek Jakarta sebagai reaksi atas publikasi laporan keuangan. Kesimpulan dari
penelitian mereka adalah tidak terbukti adanya kenaikan perdagangan yang
signifikan setelah publikasi laporan keuangan.
Sedangkan beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan
merger antara lain oleh Keown (1992) dan Prager (1998). Keown (1992) meneliti
dampak pengumuman merger terhadap volume perdagangan, menemukan bahwa
volume perdagangan meningkat secara drastis sebagai reaksi adanya pengumuman
merger. Kemudian Prager (1998) meneliti dampak harga (price effects) pada bank
yang melakukan merger horizontal menemukan bahwa merger tersebut secara
substansial dapat meningkatkan konsentrasi pasar. Atas hasil tersebut mereka
menginterpretasikan bahwa merger dapat meningkatkan kekuatan pasar bagi bank
yang melakukan merger.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 5 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III. METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Pengembangan Hipotesis
Suatu peristiwa dikatakan memiliki kandungan informasi (information content)
jika peristiwa tersebut mampu merubah persepsi investor, sehingga ia mau
melakukan tindakan sesuai dengan persepsinya tersebut (Beaver, 1968). Apabila
ada informasi tentang pengumuman suatu peristiwa (misalnya: peristiwa merger)
maka diharapkan pasar akan bereaksi pada saat pengumuman tersebut diterima.
Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham perusahaan
yang bersangkutan. Reaksi ini dapat diukur dengan menggunakan perhitungan
abnormal return (AR) dengan menggunakan analisis event study.
Selain itu, untuk mengetahui adanya aktivitas perdagangan saham pada saat,
sebelum, dan setelah pengumuman merger juga digunakan analisis trading volume
activity (TVA) yang melihat dari sisi jumlah saham yang diperdagangkan selama
periode event. Menurut Morse (1981) volume perdagangan saham dapat
merefleksikan semua aktivitas investor di pasar, yaitu secara keseluruhan
perdagangan saham di pasar.
Berdasarkan program dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia tahun 20052009, berita tentang merger BEJ dan BES yang telah dipublikasikan oleh media
masa dan elektronik, dan kronologis merger dari Bapepam-LK, maka penulis
menduga reaksi pasar yang signifikan terjadi pada beberapa event yaitu:
1. Event RUPSLB Pemegang Saham BES menyetujui merger dengan BEJ tanggal
6 Desember 2006
Pemilihan event date tanggal 6 Desember 2006 adalah karena pada tanggal ini
Pemegang
Saham
penggabungan
usaha
PT
BES
BES
dan
memberikan
BEJ
dengan
persetujuan
pendahuluan
catatan-catatan
tertentu
berdasarkan hasil kajian merger yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen
FEUI. Hal ini berarti kedua pihak telah menyetujui untuk pembahasan proses
merger selanjutnya, dimana BEJ telah terlebih dahulu menyetujui dilakukannnya
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 6 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
merger tersebut. Turunnya izin pendahuluan dari pemegang saham BES untuk
aksi merger itu adalah langkah maju karena pemegang saham BES pernah
mengindikasikan keberatan merger dan memutuskan untuk menolak merger
(www.detikfinance.com, diakses tanggal 17 November 2007). Investor pun
dapat menjadikan event persetujuan pendahuluan merger ini sebagai pertanda
angin segar bagi perkembangan pasar modal ke depan yang lebih kompetitif
dan lebih luasnya peluang untuk berinvestasi.
2. Event penandatanganan merger BEJ dan BES di RUPSLB tanggal 30 Oktober
2007
Event ini dipilih karena pada tanggal 30 Oktober 2007 BES memberikan tanda
persetujuan untuk dimerger dengan BEJ yang diputuskan dalam RUPSLB.
Peristiwa merger kedua bursa saham ini telah lama dinanti-nanti oleh pelaku
pasar. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan di Semarang dan Surabaya
sudah tergambarkan betapa banyaknya variasi minat, keinginan, bahkan dengan
pengetahuan yang masih terbatas dari pelaku ekonomi untuk bisa berpartisipasi
di dalam bursa saham pasar modal yang baru kita (www.antara.co.id, diakses
tanggal 12 November 2007). Dengan adanya persetujuan merger BEJ dan BES,
investor dan calon emiten lebih yakin untuk berinvestasi di bursa yang baru
karena tidak ada lagi kendala yang akan menghambat proses merger yang telah
berlangsung cukup lama dan tinggal menunggu proses persetujuan pergantian
nama dari Depkum HAM.
3. Event hari pertama operasional Bursa Efek Indonesia tanggal 3 Desember 2007
Pada tanggal 1 Desember 2007 BEI telah efektif beroperasi dan telah mendapat
persetujuan nama menjadi Bursa Efek Indonesia oleh Depkum HAM 3 hari
sebelumnya.
Tanggal 3 Desember 2007 dipilih sebagai event date karena
tanggal 1 Desember 2007 tersebut jatuh pada hari Sabtu, dimana bursa libur dari
aktivitas seperti biasanya, maka perdagangan BEI baru aktif tanggal 3
Desemberr 2007. Pada hari pertama perdagangan BEI ini yaitu hari
Senin,
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka meningkat dan berada pada
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 7 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
level
2.703,53
atau
mengalami
rebound
sebesar
15,20
poin
(0.57%)
(www.mybusinessblogging.com/stock-market, diakses tanggal 4 Desember
2007). Meningkatnya IHSG pada BEI merupakan respon positif dari para pelaku
pasar (investor) dan hal ini menjadi permulaan yang cukup baik bagi aktifnya
BEI.
Untuk menguji pengaruh pengumuman merger BEJ dan BES yang terdiri dari
3 event date terhadap harga dan volume perdagangan, maka disusunlah hipotesis
untuk masing-masing event date dan untuk pengaruh kumulatif dari ketiga event
date tersebut. Hipotesis secara kumulatif dirumuskan dengan alasan bahwa
terdapat kemungkinan hasil pengujian masing-masing event date tidak signifikan
akan tetapi secara kumulatif terdapat reaksi pasar yang signifikan. Hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
H1 : Rata-rata AR saham sesudah RUPSLB Pemegang Saham BES menyetujui
merger lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H2 : Rata-rata AR saham sesudah event penandatanganan merger BEJ dan
BES di RUPSLB lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H3 : Rata-rata AR saham sesudah event hari pertama operasional Bursa Efek
Indonesia lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H4 : Kumulatif rata-rata AR sesudah event pengumuman merger BEJ dan BES
lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H5 : Rata-rata TVA saham sesudah event RUPSLB Pemegang Saham BES
menyetujui
merger lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H6 : Rata-rata TVA saham sesudah event penandatanganan merger BEJ dan
BES di RUPSLB lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H7 : Rata-rata TVA saham sesudah event hari pertama operasional Bursa Efek
Indonesia lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
H8 : Kumulatif rata-rata TVA sesudah event pengumuman merger BEJ dan BES
lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 8 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
III.2. Penghitungan Abnormal Return (AR) dan Trading Volume Activity (TVA)
Penelitian ini menggunakan market-adjusted model dalam mengestimasi
return sekuritas. Sehingga jika menggunakan model ini, peneliti tidak perlu
menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi karena return
sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar. Model ini
beranggapan bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu
sekuritas adalah return indeks pasarnya (Rmt) pada saat tersebut, yang dapat dicari
dengan menggunakan data IHSG (Hartono, 2003:445). Alasan lain penggunaan
model ini adalah dikarenakan pasar modal di Indonesia seperti diketahui memiliki
nilai dan volume transaksi perdagangan yang relatif sedikit. Harga saham di bursa
cenderung bergerak hanya pada hari-hari atau peristiwa tertentu saja. Sehingga
dalam
menggunakan
market-adjusted
model
tidak
akan
ditemui
kesulitan
dikarenakan perdagangan di sekitar hari pengumuman cenderung lebih banyak
(Junaedi, 2005). Market-adjusted model digunakan selain alasan diatas juga
memiliki efektifitas yang tidak kalah dari model-model lainnya (Brown, 1980). Rumus
untuk menghitung abnormal return (AR) adalah:
ARi,t = Ri,t – Rmt
Dimana:
ARi,t = Abnormal return saham i pada hari t
Ri,t
= Return aktual untuk saham i pada hari t, yang dihitung dengan menggunakan
rumus [(Pi,t – Pi,t-1) / Pi,t-1]
Rmt = Return indeks pasar (return ekspetasi) pada hari t, yang dihitung dengan
menggunakan rumus [(IHSGi,t – IHSGi,t-1) / IHSGi,t-1]
Sedangkan untuk menghitung aktivitas volume perdagangan (TVA) (Beaver,
1968):
TVAi,t =
pada waktu t
pada waktu t
Periode jendela (event window) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
11 hari kerja bursa yaitu 5 hari sebelum peristiwa, 1 hari event date, dan 5 hari
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 9 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
sesudah peristiwa (t-5, t-0, dan t+5). Hal ini untuk menghindari bias dengan
peristiwa lain sehingga jendela tidak terlalu panjang. Jika periode jendela terlalu
panjang akan menghilangkan dampak peristiwa tersebut, yang mengakibatkan nilai
rata-rata antara sebelum dan setelah peristiwa menjadi tidak berbeda (sudah
terkoreksi). Periode jendela 11 hari juga pernah digunakan oleh Baldric dan Twenty
(2005). Penelitian ini juga akan menggunakan periode jendela 5 hari (t-2, t-0, dan
t+2). Alasan menggunakan perbandingan dengan periode jendela 5 hari adalah
walaupun periode jendela 11 hari sudah merupakan periode jendela yang pendek,
event window diperpendek lagi menjadi 5 hari untuk mengeliminasi bias informasi.
Event window 5 hari ini juga pernah digunakan oleh Sanders (1992) dalam
penelitiannya.
III.3. Sumber Data
Data yang dipergunakan adalah data sekunder yang bersumber dari
database Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) yang diakses melalui internet, JSX
Monthly, Indonesian Capital Market Directory, dan data yang tersedia di Pusat
Referensi Pasar Modal (PRPM) BEI. Disamping itu peneliti juga menggunakan
internet untuk mengetahui informasi kejadian penting di sekitar tanggal peristiwa
pengumuman merger BEJ dan BES.
III.4. Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar (listed)
di BEJ (sebelum merger) dan BEI (setelah merger) pada periode 6 Desember 2006,
30 Oktober 2007, dan 3 Desember 2007. Adapun sampel dari penelitian ini adalah
saham-saham LQ-45 sesuai dengan periode masing-masing peristiwa.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 10 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
IV. ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN
IV.1. Analisis Hasil Abnormal Return
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah rata-rata abnormal return
saham sesudah event date meningkat dari sebelum event date.
Hal ini untuk
melihat apakah pasar bereaksi terhadap pengumuman merger.
H1 : Rata-rata AR saham sesudah RUPSLB Pemegang Saham BES menyetujui
merger lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Rata-rata abnormal return harian saham LQ-45 pada event date pertama
tanggal
6 Desember 2006 yang disajikan pada Tabel 4.1 menunjukkan ada 6
hari bursa yang menghasilkan abnormal return positif yang menunjukkan pasar
bereaksi secara positif atas event tersebut. Rata-rata abnormal return pada event
pertama ini bergerak naik setelah adanya pengumuman
RUPSLB Pemegang
Saham BES menyetujui merger dan mencapai puncaknya pada hari ke-1 (t+1). Dari
Tabel 4.2 juga terlihat bahwa rata-rata abnormal return selama 5 hari setelah event
terlihat lebih besar dibandingkan dengan sebelum event. Peningkatan rata-rata AR
setelah event date dibandingkan sebelumnya terbukti signifikan lebih besar
dibandingkan sebelum event date.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama event date pertama,
pengumuman ini memiliki kandungan informasi yang mampu mendorong investor
untuk melakukan aktivitas investasi (H1 tidak ditolak).
H2 : Rata-rata AR saham sesudah event penandatanganan merger BEJ dan
BES di RUPSLB lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Pergerakan rata-rata abnormal return harian saham LQ-45 pada event date
30 Oktober 2007 pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata AR
positif dinikmati oleh investor kecuali pada t-2 dan t+4 dimana investor memperoleh
rata-rata abnormal return negatif. Setelah event date terdapat kecenderungan AR
terus menurun.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 11 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Berdasarkan hasil pengujian dalam Tabel 4.4 terlihat bahwa nilai rata-rata AR
sesudah pengumuman secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan sebelum
pengumuman. Hasil pengujian tersebut mengindikasikan bahwa selama event
penandatanganan merger BEJ dan BES di RUPSLB tidak memiliki kandungan
informasi yang mendorong investor untuk melakukan aktivitas investasi (H2 ditolak).
Hasil pengujian H2 jika dikaitkan dengan H1 menunjukkan perbedaan reaksi dari
investor. Kemungkinan pada event date pertama investor melakukan reaksi
berlebihan (overreaction) terhadap informasi, akan tetapi menyadari reaksi mereka
yang berlebihan tersebut sehingga pada event date kedua terjadi koreksi.
H3 : Rata-rata AR saham sesudah event hari pertama operasional Bursa Efek
Indonesia lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Pada event date ketiga, rata-rata abnormal return menunjukan nilai yang juga
berfluktuasi. Rata-rata AR bernilai negatif menjelang event hari pertama operasional
Bursa Efek Indonesia, pada saat event, dan 3 hari setelah event. Kemungkinan
semakin menurunnya rata-rata AR menjelang event ketiga adalah karena adanya
reaksi negatif yang dilakukan oleh pasar berupa aksi profit taking (ambil untung).
Pada tanggal 30 November 2007 Bursa Efek Jakarta akhiri sesinya dengan
pelemahan
dan
aksi
ambil
untung
pun
mulai
merundung
lantai
bursa
(www.Vibiznews.com, diakses tanggal 4 Desember 2007).
Hasil pengujian rata-rata AR pada Tabel 4.6 juga memperlihatkan rata-rata
AR yang bernilai negatif dan mengalami penurunan setelah event date. Hasil
pengujian pada event date ketiga ini hampir sama halnya dengan event date kedua
dimana rata-rata AR setelah peristiwa tidak meningkat dibandingkan dengan
sebelum peristiwa. Pasar tidak menganggap event hari pertama operasional Bursa
Efek Indonesia merupakan suatu sinyal yang positif (good news), bahkan pasar
cenderung menilai sebagai suatu sinyal yang negatif (bad news). Hal ini dapat dilihat
dari nilai rata-rata AR bertanda negatif pada saat sebelum dan setelah
pengumuman pada Tabel 4.6. Kemungkinan hal ini terjadi karena informasi
mengenai event merger sudah begitu lama dan sempat tertunda beberapa kali dari
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 12 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
jadwalnya sehingga pasar lebih cenderung wait and see terhadap perkembangan
pasar modal ini.
Terjadi penurunan rata-rata AR yang sangat tajam terjadi pada saat event (t0) dan setelah event date kembali bergerak naik. Negatif abnormal return pada t-0
kemungkinan dikarenakan minimnya informasi yang masuk ke pasar pada saat
tersebut (Beaver, 1968). Pasar terlihat cukup optimis dengan hasil merger pasar
modal yang baru dimana adanya kenaikan rata-rata abnormal return setelah event
walaupun secara statistik tidak signifikan peningkatannya.
Berdasarkan hasil pengujian H3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata AR
saham setelah event tidak signifikan meningkat dibandingkan dengan sebelum
peristiwa. Ini berarti pelaku pasar tidak merespon event tersebut (H3 ditolak). Hasil
pengujian H3 menunjukkan reaksi investor yang sama dengan H2 dimana tidak ada
reaksi lagi dari investor pada event date ketiga karena kemungkinan pada event
date pertama investor telah melakukan overreaction.
H4 : Kumulatif rata-rata AR sesudah event pengumuman merger BEJ dan BES
lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Pada Tabel 4.7 kumulatif rata-rata AR setelah event ternyata masih lebih
besar dibandingkan dengan sebelum event sehingga uji signifikansi terhadap
kumulatif rata-rata AR memperlihatkan t-hitung (1.550) lebih besar dari t-tabel
(1.301) pada α=10%. Jadi dapat disimpulkan secara keseluruhan pengumuman
merger BEJ dan BES berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham (H4 tidak
ditolak).
IV.2. Analisis Hasil Trading Volume Activity
Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah terdapat peningkatan rata-rata
aktivitas volume perdagangan di hari-hari setelah pengumuman merger. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat hipotesis tentang abnormal return diatas. Selain itu,
hipotesis ini merupakan salah satu cara (selain mengamati harga saham pada
hipotesis sebelumnya) untuk melihat reaksi pasar terhadap pengumuman merger,
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 13 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
yakni dengan mengamati aktivitas volume perdagangannya. Perubahan volume
mencerminkan kepercayaan atau pengharapan investor individual (Beaver 1968;
Karpoff, 1986).
H5: Rata-rata TVA saham sesudah event RUPSLB Pemegang Saham BES
menyetujui
merger lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Dari Tabel 4.8 dapat terlihat bahwa pada event date pertama secara
keseluruhan rata-rata TVA menjelang diumumkannya sampai setelah event terus
meningkat dan bernilai positif. Rata-rata TVA tertinggi terjadi pada t+2 setelah event
date. Kemungkinan penyebabnya adalah karena keterlambatan investor dalam
mengantisipasi informasi mengenai event RUPSLB Pemegang Saham BES
menyetujui merger. Berdasarkan kronologis merger, rentang waktu antara
pemegang saham PT BEJ telah memberikan ijin prinsip kepada Direksi untuk
melakukan penggabungan dengan PT BES pada tanggal 18 Mei 2006 ke event date
pertama terlalu lama.
Selama event date pertama, rata-rata TVA mengalami pergerakan atau ada
kenaikan aktivitas volume perdagangan dari sebelum event date ke setelah event
date. Nilai rata-rata TVA pada Tabel 4.8 menunjukkan rata-rata TVA pada periode
setelah event lebih besar dibandingkan dengan rata-rata TVA sebelum event.
Peningkatan tersebut signifikan sehingga H5 tidak ditolak. Hasil ini mengindikasikan
investor optimis pengumuman merger mampu mendongkrak kinerja perusahaan,
sehingga investor melakukan peningkatan transaksi pedagangan sebagai reaksi
atas pengumuman tersebut.
H6: Rata-rata TVA saham sesudah event penandatanganan merger BEJ dan
BES di RUPSLB lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Untuk event tanggal 30 Oktober 2007 pada Tabel 4.10 juga menunjukkan
pola yang sama dengan event tanggal 6 Desember 2006 yang memperlihatkan
bahwa rata-rata TVA meningkat dan bernilai positif. Peningkatan ini sifatnya
bertahap dari t+1 sampai t+5, sehingga nilai rata-rata TVA sesudah event menjadi
lebih besar dibandingkan dengan rata-rata sebelum event.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 14 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Pada Tabel 4.11 menunjukkan adanya peningkatan aktivitas perdagangan
setelah event sebesar 0.54%. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi merger telah
diterima investor dan mereka melakukan perubahan volume dalam portofolio
mereka.
Bentuk
reaksi
positif
dan
kepercayaan
investor
terhadap
telah
ditandatanganinya merger BEJ dan BES di RUPSLB juga diikuti oleh IHSG yang ikut
mengalami peningkatan yang pesat (lihat lampiran 16). Peningkatan rata-rata TVA
yang sifatnya bertahap dari t+1 sampai t+5 menyebabkan nilai rata-rata TVA
sesudah event menjadi sedikit lebih besar dibandingkan dengan sebelum event.
Peningkatan ini ternyata tidak didukung oleh uji t yang menunjukkan nilai yang tidak
signifikan, sehingga H6 ditolak. Jadi dapat disimpulkan event date kedua ini relatif
tidak memiliki kandungan informasi yang mampu meningkatkan ekspektasi investor
untuk melakukan transaksi investasi.
H7 : Rata-rata TVA saham sesudah event hari pertama operasional Bursa Efek
Indonesia lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Pada event date ketiga menunjukkan hal yang sama dengan event date
kedua dimana rata-rata TVA sebelum tanggal 3 Desember 2007 tidak meningkat
secara signifikan dari rata-rata TVA sesudah tanggal 3 Desember 2007.
Peningkatan yang tidak signifikan ini dapat dilihat pada Tabel 4.13 (H7 ditolak).
Pada event date ketiga ini, tidak ada tanggapan oleh investor individual
berupa peningkatan langsung volume transaksi yang signifikan, melainkan hanya
sedikit saja peningkatan volume transaksi yang terjadi. Pergerakan aktivitas
perdagangan yang cenderung stabil pada event date kedua juga terjadi pada event
date ketiga. Perubahan yang sedikit ini juga tidak diikuti oleh reaksi harga pada
event date yang sama karena perubahan dalam aktivitas volume perdagangan yang
biasanya bersifat individual, didasarkan pada persepsi, dan ekspektasi individual
investor terhadap kehadiran informasi tersebut.
H8 : Kumulatif rata-rata TVA sesudah event pengumuman merger BEJ dan
BES lebih besar dibandingkan dengan sebelum event
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 15 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Hasil pengujian kumulatif rata-rata TVA dengan event window 11 hari pada
Tabel 4.14 memperlihatkan ada kenaikan kumulatif rata-rata TVA sesudah event
dibandingkan dengan sebelum event dan nilainya signifikan pada α=1%. Hasil
pengujian telah membuktikan bahwa memang terdapat pengaruh pengumuman
merger BEJ dan BES terhadap kumulatif rata-rata TVA saham seluruh perusahaan
sampel walaupun dari pengujian rata-rata TVA per event date pada tabel
sebelumnya hanya event date pertama saja yang signifikan pada α=10%. Jadi dapat
disimpulkan bahwa hasil pengujian terhadap nilai kumulatif rata-rata TVA dengan
event window 11 hari menunjukkan pengumuman merger mempengaruhi aktivitas
perdagangan di BEI.
IV.3. Perbandingan Hasil Pengujian Abnormal Return dan Trading Volume
Activity
Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bab 3, sebagai perbandingan
penelitian ini juga akan menguji rata-rata AR dan rata-rata TVA dengan event
window 5 hari yang akan disajikan pada Tabel 4.15 dan Tabel 4.16. Hasil pengujian
pada Tabel 4.15 yaitu rata-rata abnormal return dengan event window 5 hari
memperlihatkan hasil yang sama dengan event window 11 hari. Kumulatif rata-rata
AR setelah event juga lebih besar dibandingkan dengan sebelum event dan hasil
pengujian signifikansi juga sama yaitu tidak menolak hipotesis alternatif. Hasil
kumulatif rata-rara AR yang signifikan ini tercermin dari kumulatif rata-rata AR yang
meningkat setelah event baik pada event date pertama, kedua maupun ketiga.
Pada Tabel 4.16, hasil uji signifikansi kumulatif rata-rata TVA dengan event
window 5 hari sama dengan event window 11 hari yaitu tidak menolak hipotesis.
Namun terdapat perbedaan hasil pengujian signifikansi per event date yaitu pada
event pertama dan kedua. Pada event date pertama dengan event window 11 hari
menunjukkan hasil pengujian tidak menolak hipotesis H5 sedangkan pada event
window 5 hari menunjukkan hasil menolak hipotesis H5.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 16 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Sebaliknya pada event date kedua, hasil pengujian dengan event window 11
hari menunjukkan menolak hipotesis H6 sedangkan pada event window 5 hari
menunjukkan hasil tidak menolak hipotesis H6. Kemungkinan perbedaan hasil
pengujian pada event window yang berbeda ini terjadi karena sudah adanya
tambahan informasi lain pada event window
11 hari yang menyebabkan bias
sehingga event yang diteliti tidak kelihatan atau tidak terlihat jelas reaksi dari event.
Tetapi, secara keseluruhan, hasil pengujian menunjukkan pasar bereaksi terhadap
event merger BEJ dan BES.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 17 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
V. PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Hasil pengujian hipotesis terhadap event date pertama dengan event window 11
hari menunjukkan bahwa investor bereaksi positif atas pengumuman merger BEJ
dan BES.
2. Hasil pengujian hipotesis terhadap event date kedua dengan event window 11
hari menunjukkan bahwa rata-rata AR dan rata-rata TVA sesudah event tidak
berbeda secara signifikan dengan sebelum event penandatanganan merger BEJ
dan BES di RUPSLB. Yang mungkin disebabkan adanya overreaction dari
investor atas event pertama.
3. Hasil pengujian hipotesis terhadap event date ketiga dengan event window 11
hari hampir sama dengan event date kedua yaitu rata-rata AR dan rata-rata TVA
menunjukkan secara statistik tidak terdapat peningkatan signifikan antara ratarata AR dan rata-rata TVA sebelum dan setelah event.
4. Hasil pengujian nilai kumulatif rata-rata AR dan kumulatif rata-rata TVA dengan
event window 11 hari menunjukkan bahwa kumulatif rata-rata AR dan kumulatif
rata-rata TVA setelah event lebih besar dibandingkan dengan sebelum event dan
pengumuman merger BEJ dan BES berpengaruh signifikan terhadap harga dan
volume perdagangan saham.
5. Hasil pengujian rata-rata AR dan rata-rata TVA dengan event window 5 hari
menunjukkan hasil yang sedikit berbeda dibandingkan dengan event window 11
hari. Kemungkinan perbedaannya adalah karena sudah adanya tambahan
informasi lain pada event window 11 hari yang menyebabkan bias sehingga event
yang diteliti tidak kelihatan atau tidak terlihat jelas reaksi dari event.
6. Secara umum temuan empiris penelitian ini menunjukkan bahwa investor
bereaksi positif terhadap event ekonomi yang terjadi yaitu pengumuman merger
BEJ dan BES.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 18 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
V.2. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini merupakan studi peristiwa (event study) yang mengamati pengaruh
suatu peristiwa (dalam hal ini merger BEJ dan BES) pada periode tertentu tetapi
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi harga dan volume perdagangan
saham pada periode penelitian tidak diamati dan diasumsikan tidak berpengaruh.
2. Sampel yang diteliti hanya terbatas pada saham LQ-45.
3. Penentuan event window yang paling tepat untuk mengetahui reaksi investor atas
suatu peristiwa merupakan hal yang penting dalam event study. Event window 5
hari dan 11 hari yang digunakan dalam penelitian ini belum tentu merupakan
event window yang paling tepat.
V.3. Saran untuk Penelitian Selanjutnya
1. Meneliti kemungkinan faktor-faktor lain selain event yang mempengaruhi harga
dan volume perdagangan saham pada periode penelitian, seperti tingkat bunga,
inflasi, serta pengaruh makro lainnya.
2. Menggunakan sampel yang lebih banyak untuk lebih mewakili pasar secara
keseluruhan.
3. Mengevaluasi dan menggunakan event window yang lebih tepat untuk melihat
reaksi investor di pasar modal Indonesia.
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 19 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Moin. (2003). Merger, Akuisisi dan Divestasi. Edisi 1 Yogyakarta, Ekonsia.
Arief Budiarto & Murtanto. (2002). ”Event Study : Telaah Metodelogi dan
Penerapannya di Bidang Ekonomi dan Keuangan”, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, Vol. 4. 3 Desember 2002, 295-320.
Beaver,
William
H.
(1968).
“Information
Content
of
Annual
Earnings
Announcements”. Journal of Accounting Research Vol. 6. Pp. 67-92
Bowman, Robert G. (1983). “Understanding and Conducting Event Studies”. Journal
of Business Finance and Accounting Vol. 1 Iss.4.pp.561-58.
Daniel, Wahyu. Merger BEJ-BES Tunggu Persetujuan Depkum dan HAM. 17
Oktober 2007. <www.detikfinance.com> (4 Desember 2007).
Fama. E,L, et al. (1969). “The Adjustment of Stock Prices to New Information”.
International Economic Review. February Vol. 10 Pb 1-2.
Frider Sinaga, Pengaruh Pemilihan Umum 2004 Terhadap Harga Saham di BEJ,
Karya Akhir, Magister Akuntansi FE UI Jakarta.
Gaughan, Patrick A. (2002). Merger and Acquitition and Corporate Structuring. 3rd
ed. NewYork: John Wiley & Sons.
Gujarati, D.N. (2003). Basic Econometrics. 4th ed. McGraw-Hill, New York
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 20 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Gustia, Irna. Hari Pertama BEI IHSG Pecahkan Rekor. 3 Desember 2007
<www.detikfinance.com> (4 Desember 2007).
Husnan Suad. (2005). Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, Edisi ke4,UPP
AMP YKPN, Agustus 2005
Ikatan Akuntan Indonesia. (2002). Standar Akuntansi Keuangan. Per 1 April 2002.
Jakarta. Salemba Emban Patria.
Jogianto H.M., Dr.MBA.,Akt. (2003). Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi
Ketiga, BPFE, Yogyakarta
Junaedi, Dedi. (2005). Dampak Tingkat Pengungkapan Informasi Perusahaan
Terhadap Volume Perdagangan dan Return Saham. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia Vol.2 No. 2
Karpoff, Jonathan M. (1987). “The Relation Between Price Changes and Trading
Volume: A Survey”, The Journal of Financial and Qualitative Analysis, Vol. 22,
No. 1. (Mar., 1987) pp. 109-126
Kuncoro, Mudrajat, Ph.d. (2003). Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi; Bagaimana
Meneliti & Menulis Tesis?. Penerbit Erlangga.
MacKinlay, A. Craig. (1997).“Event Studies in Economics and Finance”, Journal of
Economic Literature Vol. XXXV March. Pp. 13-39
Morse, Dale. (1981). “Price and Trading Volume Reaction Surrounding Earning
Announcements : A closer Examination”, Journal of Accounting Research,
Vol. 19 No. 2, Autumn, pp. 374-383
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 21 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Prager Robin A. & Hannan Timothy H. (1998). ”Do Substantial Horizontal Mergers
Generate Significant Price Effect ? Evidence From The Banking Industry”,
The Journal of Industrial Economics, Vol.XLVI, Desember 1998.
Rahayuningsih. Secercah Asa Setelah BEJ-BES Digabungkan. 12 November 2007.
www.unisosdem.org (15 November 2007)
Sanders, Ralph W,Jr.; John S. Zdanowicz. (1992). “Target Firm Abnormal Return
and Trading Volume Around the Intiation of Change in Control Transactions”.
The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 27, No.1. Maret 1992,
pp. 109-129
Sartono R. Agus. (1998). Manajemen Keuangan, Edisi ke-3, BPFE – Yogyakarta.
Siregar, Syafaruddin. (2004). Statistik Terapan untuk Penelitian. Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Siregar, Baldric dan Selvia, Twenty .(2005). “Reaksi Pasar Modal terhadap Hasil
Pemilihan Umum dan Pergantian Pemerintahan Tahun 2004”. Jurnal
Akuntansi dan Manajemen, Volume XVI Tahun 1 April 2005; hal. 35-49
Sunariyah. (2000). Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, Edisi ke-2, UPP AMP
YKPN, Maret 2000.
Wells, William H .(2004).”A Beginner’s Guide To Event Studies”. Journal of
Insurance Regulation.Vol 22 no 4
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 22 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Weston J. Fred & Brigham Eugene F. (1997). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan,
Edisi ke-9, Jilid 2, Erlangga, Jakarta.
Wibisono, Ardian. Pemegang Saham BES Belum Setujui Merger dengan BEJ. 11
Mei 2006. <www.detikfinance.com> (17 November 2007).
Wibowo, Sigit. Proses Merger BEJ dan BES Harus Efisien. 7 Desember 2006.
<www.sinarharapan>
Yulyanto.
Bursa
Efek
(11 September 2007).
Indonesia
(BEI)
Mulai
Aktif.
4
Desember
2007.
<www.mybusinessblogging.com/stock-market> ( 10 Januari 2008).
Yulyanto. Optimisme IHSG Dipenghujung Tahun 2007. 28 Desember 2007.
<www.mybusinessblogging.com/stock-market> ( 10 Januari 2008).
____ Penggabungan Usaha PT BEJ dan PT BES. (2007). Bapepam-LK
____ Merger BEJ-BES: Cost Pasar Modal Jadi Murah, Pengembangan Pasar Makin
Fokus. 17 September 2007. <www.republikaonline.com> (4 Desember 2007).
____ Presiden SBY Buka Perdagangan Hari Pertama Bursa Efek Indonesia. 2
Januari 2008. <www.hukmas.depkeu.go.id/HukmasNews/Berita> ( 21
Januari 2008).
____ Presiden Buka Perdagangan Hari Pertama 2008 Bursa Efek. 2 Januari 2008.
<http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2008/01/02/2623.html> (4
Januari 2008).
____
Pemegang
Saham
<www.antara.co.id>
Setujui
Merger
30
Oktober
2007.
(4 Desember 2007).
Bridging the Gap between Theory and Practice BEJ-BES.
FACM11 - 23 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
____ IHSG Ditutup Menguat 12,173 Poin. 30 Oktober 2007. <www.bisnisindonesia
.com> ( 4 Desember 2007)
____ IHSG Cetak Rekor Baru, BBNI Pimpin Rebound Saham Perbankan. 3
Desember 2007. <www.Vibiznews.com> ( 4 Desember 2007).
____ IHSG BEJ Terjun Bebas. 16 Mei 2006. < www.kompas.com> ( 4 Desember
2007).
____
BEJ
dan
BES
Tunjuk
<www.riauposonline.com>
Konsultan
Merger.
16
Maret
2007.
( 11 September 2007).
____IHSG Ditutup Merah Tipis Oleh Profit Taking. 30 November 2007.
<www.Vibiznews.com> (4 Desember 2007).
____ Menkeu: BEJ dan BES Merger Jadi Bursa Efek Indonesia. 8 September 2007.
<www.antara.co.id> (12 November 2007).
____ Merger BEJ-BES Untungkan Investor. 31 Oktober 2007.
<www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ekonomi-bisnis/index.php>
(12 November 2007).
____ Oktober, Merger BEJ-BES Terealisasi. 28 September 2007.
<www.fasarindo.wordpress.com> (12 November 2007)
____ www.bapepam.go.id.
____ www.jsx.co.id
____ www.wikipedia.org
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 24 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.1
Rata-Rata Abnormal Return Event Date Pertama (6 Desember 2006)
Hari ke-
AAR
-5
-0.0054
-4
-0.0026
-3
-0.0028
-2
0.0011
-1
0.0007
0
-0.0004
1
0.0167
2
0.0066
3
0.0047
4
0.0058
5
-0.0002
Tabel 4.2
Hasil Pengujian Rata-Rata Abnormal Return Event Date Pertama
Event Window 11 hari
Periode
Sebelum
Event
Setelah
Event
AAR
-0.0018
0.0067
Standar
Deviasi
t-hitung
p-value
-3.196*
0.0015
0.0113
0.0124
Kesimpulan
Analisis
Tidak
Menolak H1
* Signifikansi pada α = 1%
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 25 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.3
Rata-Rata Abnormal Return Event Date Kedua (30 Oktober 2007)
Hari ke-
AAR
-5
0.0038
-4
0.0005
-3
0.0022
-2
-0.0054
-1
0.0016
0
0.0033
1
0.0038
2
0.0005
3
0.0022
4
-0.0054
5
0.0016
Tabel 4.4
Hasil Pengujian Rata-Rata Abnormal Return Event Date Kedua
Event Window 11 hari
Periode
Sebelum
Event
Setelah
Event
AAR
0.005
6
0.001
7
Standar
t-
Deviasi
hitung
Kesimpulan
Analisis
0.0139
-0.389
0.3495
Menolak H2
0.0181
Bridging the Gap between Theory and Practice p-value
FACM11 - 26 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.5
Rata-Rata Abnormal Return Event Date Ketiga (3 Desember 2007)
Hari ke-
AAR
-5
0.0015
-4
0.0049
-3
-0.0058
-2
-0.0034
-1
0.0008
0
-0.0133
1
0.0083
2
0.0008
3
0.0088
4
-0.0035
5
-0.0044
Tabel 4.6
Hasil Pengujian Rata-Rata Abnormal Return Event Date Ketiga
Event Window 11 hari
Periode
Sebelum
Event
Setelah
Event
AAR
0.0004
0.0020
Standar
t-
Deviasi
hitung
Kesimpulan
Analisis
0.0115
-0.839
0.203
Menolak H3
0.0132
Bridging the Gap between Theory and Practice p-value
FACM11 - 27 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.7
Hasil Pengujian Kumulatif Abnormal Return Event Window 11 hari
AAR
AAR
Sebelum
Setelah
Event
Event
Pertama
-0.0018
Kedua
Event
Kesimpulan
t-hitung
p-value
0.0067
-3.196*
0.002
Tidak Menolak
0.0056
0.0017
-0.389
0.350
Menolak
Ketiga
-0.0004
-0.0020
-0.839
0.203
Menolak
Kumulatif
0.0002
0.0064
1.510**
0.069
Tidak Menolak
Analisis
AAR
*Signifikan pada α=1%
**Signifikan pada α=10%
Tabel 4.8
Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Pertama (6 Desember 2006)
Hari ke-
ATVA
-5
0.0117
-4
0.0166
-3
0.0126
-2
0.0128
-1
0.0190
0
0.0241
1
0.0151
2
0.0509
3
0.0213
4
0.0169
5
0.0143
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 28 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.9
Hasil Pengujian Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Pertama
Event Window 11 hari
Periode
Sebelum
Event
Setelah
Event
ATVA
0.014
5
0.023
7
Standar
Deviasi
t-hitung
p-value
0.089
0.0222
-1.370*
Kesimpula
n Analisis
Tidak
Menolak
H5
0.0474
*Signifikansi pada α=10%
Tabel 4.10
Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Kedua (30 Oktober 2007)
Hari ke-
ATVA
-5
0.0058
-4
0.0049
-3
0.0047
-2
0.0041
-1
0.0045
0
0.0043
1
0.0042
2
0.0065
3
0.0063
4
0.0053
5
0.0045
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 29 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.11
Hasil Pengujian Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Kedua
Event Window 11 hari
Periode
Sebelum
Event
Setelah Event
ATVA
0.004
8
0.005
4
Standar
Deviasi
t-hitung
p-value
Kesimpulan
Analisis
0.114
0.0066
-1.222
Menolak H4
0.0086
Tabel 4.12
Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Ketiga (3 Desember 2007)
Hari ke-
ATVA
-5
0.0041
-4
0.0040
-3
0.0049
-2
0.0064
-1
0.0052
0
0.0045
1
0.0068
2
0.0054
3
0.0061
4
0.0065
5
0.0022
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 30 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.13
Hasil Pengujian Rata-Rata Trading Volume Activity Event Date Ketiga
Event Window 11 hari
Periode
ATVA
Standar
Deviasi
Sebelum Event
0.0049
0.0074
Setelah Event
0.0054
0.0088
t-hitung
p-value
-0.675
0.252
Kesimpulan
Analisis
Menolak H6
Tabel 4.14
Hasil Pengujian Kumulatif Rata-Rata TVA Event Window 11 hari
ATVA
ATVA
Sebelum
Setelah
Event
Event
Pertama
0.0145
Kedua
Event
Kesimpulan
t-hitung
p-value
0.0237
-1.370**
0.089
Tidak Menolak
0.0048
0.0054
-1.222
0.114
Menolak
Ketiga
0.0049
0.0054
-0.675
0.252
Menolak
Kumulatif
0.0242
0.0345
5.940*
0.000
Tidak Menolak
Analisis
ATVA
*Signifikan pada α=1%
**Signifikan pada α=10%
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 31 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.15
Hasil Pengujian Rata-Rata AR Event Window 5 hari
dan Perbandingan dengan Event Window 11 Hari
Panel A:
Hasil Pengujian Rata-Rata AR Event Window 5 hari
AAR
Event
AAR
Sebelum
Setelah Event
Event
t-hitung
p-value
Kesimpulan
Analisis
Pertama
0.0092
0.0117
-2.608*
0.006
Tidak Menolak
Kedua
-0.0019
0.0024
-0.963
0.171
Menolak
Ketiga
-0.0128
0.0045
-1.113
0.136
Menolak
Kumulatif
-0.0055
0.0186
1.876**
0.034
Tidak Menolak
AAR
*Signifikan pada α=1%
** Signifikan pada α=5%
Panel B: Perbandingan Hasil Pengujian Rata-Rata AR Event Window 11 Hari &
5 Hari
Kesimpulan Analisis
Kesimpulan Analisis
Event Window 11 Hari
Event Window 5 Hari
Tidak Menolak (α=1%)
Tidak Menolak (α=1%)
Kedua
Menolak
Menolak
Ketiga
Menolak
Menolak
Tidak Menolak (α=10%)
Tidak Menolak (α=5%)
Event
Pertama
Kumulatif AAR
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 32 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel 4.16
Hasil Pengujian Rata-Rata TVA Event Window 5 hari
dan Perbandingan dengan Event Window 11 Hari
Panel A: Hasil Pengujian Rata-Rata TVA Event Window 5 hari
ATVA
ATVA
Sebelum
Setelah
Event
Event
Pertama
0.0159
Kedua
Event
Kesimpulan
t-hitung
p-value
Analisis
0.0330
-1.177
0.123
Menolak
0.0043
0.0054
-1.944**
0.029
Tidak Menolak
Ketiga
0.0058
0.0061
-0.317
0.376
Menolak
Kumulatif
0.0260
0.0445
4.346*
0.000
Tidak Menolak
ATVA
*Signifikan pada α=1%
** Signifikan pada α=5%
Panel B: Perbandingan Hasil Pengujian Rata-Rata TVA Event Window 11 Hari
& 5 Hari
Kesimpulan Analisis
Kesimpulan Analisis
Event Window 11 hari
Event Window 5 Hari
Tidak Menolak (α=10%)
Menolak
Kedua
Menolak
Tidak Menolak (α=5%)
Ketiga
Menolak
Menolak
Tidak Menolak (α=1%)
Tidak Menolak (α=1%)
Event
Pertama
Kumulatif ATVA
Bridging the Gap between Theory and Practice FACM11 - 33 -
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PENGARUH LEVERAGE TERHADAP VALUE OF THE FIRM
PADA DIVERSIFIED FIRMS DAN SPECIALIZED FIRMS
( Studi Empiris di BEI )
M.F Christiningrum
Universitas Indonesia
Abstract
Penelitian ini ingin melihat pengaruh leverage terhadap value of the firm pada perusahaan
yang tergolong Diversified Firms dan Specialized Firms. Sampel penelitian terdiri atas 33
diversified firms dan 27 specialized firms (perusahaan yang tidak memiliki perusahaan
induk dan anak yang multi segment). Periode pengamatan sampel dimulai dari tahun 2003
– 2005. Hasil penelitian atas 60 perusahaan yang tergolong dalam 12 industri di Bursa
Efek Indonesia menunjukkan bahwa variabel profitabilitas ( yang diproksi dengan EBIT)
memiliki hubungan negatif signifikan dengan excess value, hal ini menunjukkan bahwa
semakin
besar
keuntungan
perusahaan
semakin
memiliki
kecederungan
untuk
menurunkan nilai perusahaannya. Hal ini sangat bertentangan dengan teori yang
menyatakan bahwa Nilai Perusahaan sangat dipengaruhi oleh tingkat profitabilitas
perusahaan tersebut. Adapun DUMMY yaitu proksi yang menunjukkan bahwa kelompok
perusahaan yang terdiversifikasi memiliki kemampuan untuk meningkatkan value of the
firm perusahaannya lebih tinggi dari kemampuan rata-rata perusahaan dalam kelompok
specialized, meskipun hasil menunjukkan memiliki hubungan positif namun tidak signifikan.
Tanda positif pada Size, PPE, CAPEX dan CFO juga konsisten dengan teori value of the
firm, dimana perusahan akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilainya sejalan
dengan pertumbuhan Total Asset nya, belanja Investasi dan Kapital sebagai usaha untuk
melakukan ekspansi usahanya. Dan ini terbukti berpengaruh dari arah positif yang
dihasilkan penelitian ini.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 1
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
1.
PENDAHULUAN
Persaingan yang ketat dalam dunia bisnis, membuat perusahaan berlomba untuk
menghasilkan Value of The Firm yang paling maksimal sehingga dapat menjawab
tantangan dunia usaha dan mampu bertahan dalam kondisi tersebut (Jensen &
Meckling,1976). Penciptaan Value of The Firm dapat dilakukan melalui strategi dan policy
manajemen keuangan perusahaan yang efisien, jitu dan berkesinambungan. Untuk itu
perusahaan banyak dihadapkan pada berbagai strategi yang
memungkinkan untuk
dilakukan dan dijalankan sebagai bagian dari peningkatan nilai, namun pemilihan strategi
mana yang tepat sasaran dan sesuai sangat bergantung pada kondisi dan kekuatan
potensial yang dimilikinya, yang tentunya memiliki spesifikasi dan kekhususan bagi
masing-masing perusahaan dan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan
lainnya.
Selama ini banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya
(Holthousen 1981; Leftwich 1981; Collins, Rozeff dan Dhaliwal, 1981 dan Lys 1984)
berkaitan dengan melihat hubungan antara leverage dan valuation, atau antara
diversification dan valuation. Adapun penelitian yang berkaitan dengan melihat ketiga
aspek diatas, yaitu leverage, diversification dan valuation sekaligus masih sangat sedikit.
Beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan mengelompokkan perusahaan
kedalam 2 kelompok besar, yaitu perusahaan yang terspesialisasi (specialized firms) dan
kelompok yang terdiversifikasi (multi business segment) sebagai obyek penelitiannya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang terdiversifikasi lebih memiliki
kemampuan untuk memperoleh Free Cash Flow (Whited 2001). Namun kesempatan
berinvestasi lebih rendah pada kelompok perusahaan ini, dibandingkan perusahaan yang
terspesialisasi (Lang dan Stulz 1994; Berger dan Ofek, 1995).
Pada umumnya perusahaan yang terdiversifikasi cenderung ingin melakukan over
investment karena memiliki Free Cash Flow yang baik. Peranan leverage sangat besar
dalam mengurangi masalah keagenan (agency problems) karena keberadaan leverage ini
lah yang pada akhirnya membantu meredam keinginan over investment tersebut (Jensen,
1986). Pada model agency–based structure, dikatakan bahwa leverage dapat membantu
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 2
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
meningkatkan nilai perusahaan karena keberadaannya dapat mengurangi biaya keagenan,
dengan kata lain dapat disimpulkan nilai dari perusahaan yang terdiversifikasi meningkat
seiring dengan terjadinya peningkatan leverage. Penelitian yang dilakukan menunjukkan
dukungan terhadap hipotesis tersebut, bahwa nilai dari perusahaan yang terdiversifikasi
meningkat dengan adanya leverage. Namun kecenderungan ini diperkirakan tidak terjadi
pada specialized firms (Ruland dan Zhou 2005).
(Shin dan Stulz, 1998; Scahrfstein dan Stein, 2000) meneliti bahwa leverage dapat
digunakan sebagai alat untuk membantu mengontrol pola perilaku seperti cross-subsidi
antara anak perusahaan yang lemah (poorly performing subsidiaries) yang kerap dijumpai
pada jenis perusahaan yang terdiversifikasi. Leverage juga dapat memberi dampak negatif
pada valuation. Sebagai contoh ancaman kebangkrutan meningkat dengan adanya
leverage. Biaya bankruptcy seharusnya relatif lebih rendah pada perusahaan yang
terdiversifikasi, dibanding pada perusahaan yang terspesialisasi (Lewellen, 1971).
Leverage juga meningkat karena kondisi underinvestment (Stulz 1990) dan (Peyer dan
Shivdasani 2001). Biaya underinvestment, seharusnya juga akan menurun pada
perusahaan yang terdiversifikasi karena kondisi low of growth opportunities yang mereka
hadapi dibanding pada perusahaan yang terspesialisasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan potential leverage untuk mengurangi
biaya keagenan akan lebih besar pada perusahaan yang terdiversifikasi dibanding pada
perusahaan yang terspesialisasi, sebagai akibat tingginya free cash flows dan rendahnya
kesempatan untuk berinvestasi. Disisi lain terdapat efek negatif berkaitan dengan biaya
kebangkrutan dan underinvestment, sehingga diduga bahwa leverage memberi kontribusi
pada peningkatan nilai perusahaan yang terdiversifikasi, tetapi tidak pada perusahaan
yang terspesialisasi. Penelitian yang penulis lakukan ini adalah replikasi atas penelitian
William Ruland dan Ping Zhou, yang berjudul Debt, Diversification, and Valuation; Review
of Quantitative Finance and Accounting, 25:277 – 291, (2005)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh leverage terhadap value of the firms pada perusahaan yang
terdiversifikasi (diversified firms) ?
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 3
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2. Bagaimana pengaruh leverage terhadap value of the firms pada perusahaan yang
terspesialisasi (specialized firms) ?
3. Apakah penggunaan leverage untuk meningkatkan value of the firms memberikan
dampak lebih besar pada perusahaan yang terdiversifikasi (diversified firms), dibanding
pada perusahaan yang terspesialisasi (specialized firms) ?
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada manajer, kreditur dan pemegang
saham serta masyarakat, bahwa terdapat pengaruh yang berbeda pada peningkatan nilai
perusahaan di perusahaan yang terspesialisasi dan pada perusahaan yang terdiversifikasi
dengan adanya leverage, melalui kemampuan mengurangi biaya keagenan (agency cost).
Sehingga diharapkan para pihak memiliki pertimbangan dalam menetapkan kebijakan
leveragenya, dan melihat kondisi yang berbeda dari kedua jenis perusahaan tersebut,
dimana pada perusahaan yang terdiversifikasi dengan kondisi free cash flow yang tinggi,
dan kesempatan berinvestasi yang lebih rendah memungkinkan untuk menggunakan
leverage dengan lebih baik, karena dapat memangkas biaya keagenan tersebut.
2.
LANDASAN TEORI
2.1. Valuation Models
Terdapat beberapa pendekatan dalam menilai atau menentukan nilai perusahaan,
yang dibedakan atas penilaian equity dalam bisnis dan penilaian untuk seluruh (entire)
bisnis. Model yang paling konservatif dan klasik yang pertama hanya melihat penilaian
didasarkan pada equity cash flows yangbersumber dari deviden, yang menjadi pusat
perhitungan adalah DDM Model (Devident Discount Models). (Damodaran, 2006). Model
yang kedua pendekatan yang lebih modern adalah dengan memperhitungkan equity cash
flow yang bukan hanya berasal dari deviden, namun juga berasal dari free cash flow
lainnya, disebut FCFE Model (Free Cash Flow to Equity Model), disini perhitungan lebih
didasarkan
pada
potential
deviden,
dan
bukan
actual
deviden
sebagai
dasar
perhitungannya.(Damodaran, 2006) .Konsep Free Cash Flow adalah aliran kas yang
dihasilkan dari operasi utama perusahaan setelah dikurangi investasi dalam new capital.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 4
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Adapun jumlah Investasi bersih (net investment) diperoleh dari peningkatan nilai invested
capital dari tahun sebelumnya. (Koller, Goedhart, Wessels, 2005).
Berger & Ofek (1995) menggunakan Excess Value sebagai ukuran penilaian
perusahaan. Value diukur dari nilai pasar yang dimiliki perusahaan relatif terhadap rata-rata
industrinya. Excess value adalah perbedaan antara log natural atas nilai pasar (market
value) perusahaan dengan log natural dari imputed value. Market Value merupakan
penjumlahan dari book value of debt dengan market value of equity perusahaan. Imputed
value adalah nilai penjualan perusahaan (company’s sales) dikalikan industry median
market value to sales ratio.
2.2. Leverage
Didalam proses menilai perusahaan, juga ditelaah bagaimana financial leverage dapat
berpengaruh pada nilai perusahaan. Terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh
yaitu default risk, taxes, dan agency cost. Peningkatan proporsi hutang dapat berdampak
meningkatkan maupun menurunkan nilai perusahaan. Sehingga strategi optimal financing
mix dapat digunakan untuk memaksimumkan nilai perusahaan. (Damodaran, 2006).
Struktur pembiayaan yang optimal dapat digunakan untuk menyeimbangkan antara
penggunaan hutang yang sehat dengan tetap menjaga komposisi debt ratio yang dapat
memberikan biaya modal yang paling minimal, ini dapat menggunakan Cost of capital
approach, maupun APV (Adjusted Present Value) approach. Untuk dapat menghubungkan
antara cost of capital dan optimal capital structure, maka harus menghubungkan nilai
perusahaan dan cost of capital itu sendiri. Hubungan ini dicari dengan menghitung aliran
arus kas perusahaan setelah memperhitungkan biaya operasi, pajak dan capital
investment untuk future growth, berupa belanja aktiva tetap dan modal kerja ( biaya bunga
belum diperhitungkan), dapat diformulasikan sebagai berikut : (Damodaran, 2006)
Free cash flow to firm :
EBIT (1-t) – (Capital Expenditures – Depreciation) –
Change in Working capital
Sehingga jika tujuan adalah memaksimalkan value of the firm, berarti harus dapat
meminimalkan cost of capital, dengan menemukan optimal financing mix (debt-equity mix).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 5
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
2.3. Biaya keagenan (Agency Cost)
Biaya keagenan (Agency cost) adalah biaya yang muncul dalam perusahaan yang
berkaitan dengan masalah-masalah
yang ada karena perbedaan tujuan antara
manajemen dan shareholder (divergent management-shareholder objectives) dan karena
adanya information asymmetry. Terdapatnya asimetri informasi yang muncul diantara
pemegang saham dan Board of Director merupakan salah satu contoh klasik dari principal–
agent problem. Agen ( dalam hal ini manager) bekerja untuk kepentingan pemegang
saham, namun principal tidak selalu dapat memberi banyak perhatian khusus secara terus
menerus pada manager selaku agen. Oleh karenanya, terjadinya informasi asimetri
merupakan hal yang umum dari masalah keagenan yang dipicu dari adanya moral hazard
dan adverse selection (seleksi atas informasi yang dilakukan oleh manager). (Scott, 2000)
2.4.Value of the firm hubungannya dengan leverage dan biaya keagenan
Menurut (Ross and Westerfield, 2005) ketika perusahaan memiliki hutang, akan timbul
konflik antara pemegang saham dan kreditur. Oleh karena, pemegang saham cenderung
menerapkan strategi yang menguntungkan dirinya, yang pada akhirnya memunculkan atau
memberikan penalty pada biaya keagenan (agency cost). Strategi ini mahal, karena akan
menurunkan nilai pasar (market value) dari perusahaan.
Menurut teori keagenan terdapat berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang
berbeda, yang potential menimbulkan masalah keagenan (Jensen Meckling, 1976; Watts,
1977;Watts dan Zimmerman, 1990). Pihak-pihak yang terkait tersebut adalah Manajemen,
kreditur, Board of Directors, pegawai dan para stakeholders lainnya. Manajemen, terutama
CEO, memiliki tujuan utama mereka. Yang paling klasik adalah membangun kerajaan
bisnisnya sendiri, menghindari resiko dalam berinvestasi dan memanipulasi angka-angka
keuangan untuk dapat memperoleh bonus dan option kepemilikan saham (Opportunistic
approach theory) (Scott, 2000).
Kreditur (Bondholders) memiliki karakteristik yang berbeda lagi, cenderung memilih
untuk menghindari resiko sepanjang hal tersebut dapat memungkinkan kembalinya
investasi mereka dan terjaminnya pembayaran bunga yang menjadi haknya. Sementara
dari sisi pemegang saham, cenderung untuk melakukan investasi yang beresiko. Jika
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 6
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
resiko tersebut ternyata memberi tingkat pengembalian yang tinggi, maka return terbesar
akan mereka nikmati, sementara jika terjadi kegagalan dalam berinvestasi resiko tersebut
berbagi dengan pihak kreditur (bondholders). Tentu saja hal ini diketahui dan dipahami
oleh para kreditur, oleh karenanya mereka akan menetapkan tingkat bunga yang tinggi,
untuk menutupi resiko dan kemungkinan terjadinya kegagalan investasi, dan ini akan
berakibat pada meningkatnya cost of capital perusahaan. (Scott, 2000). Board of Directors
dalam berbagai literatur digambarkan sebagai aliansi antara manajemen dan pemegang
saham, namun dalam teori-teori terbaru mereka masing-masing memiliki tujuan yang
berbeda-beda.
2.5 Hasil Pengujian Terdahulu
Hasil Pengujian Rholand dan Zhou (2005), yang sebagian akan di replikasi untuk
membuktikan apakah penelitian yang sama juga dapat dilakukan pada perusahaanperusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perusahaan yang terdiversifikasi secara
substansial menunjukkan lebih banyak hutang, lebih besar dan lebih menguntungkan,
dan ini juga konsisten dengan hasil penelitian Berger dan Ofek (1995).
2. Perbandingan pada cash flows juga menunjukkan bahwa diversified firms menghasilkan
cash flow lebih tinggi daripada specialized firms. Hasil ini menunjang hipotesis bahwa
pada perusahaan yang terdiversifikasi memiliki kemampuan yang meningkat untuk
melakukan overinvestment relatif terhadap perusahaan yang terspesialisasi, sesuai
dengan Jensen (1986).
3. Hasil pengujian pada model menggunakan Fama dan Macbeth (1973) untuk melihat
adanya hubungan antara leverage, diversification dan valuation. Digunakan regresi
cross-sectional tahunan untuk mengurangi estimation error antar perusahaan. Prosedur
Fama dan Macbeth (1973) juga meningkatkan ketepatan pengukuran slope dan
mengurangi volatility. Jadi model ini mengontrol cross – sectional regression dan
temporal heterogeneity.
4. Data juga menunjukkan variable independent EBIT dan CAPEX, memiliki hubungan
positif terhadap excess value, ini juga konsisten dengan Berger dan Ofek (1995). Fama
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 7
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
dan Macbeth (1973) juga menunjukkan bahwa SIZE memiliki hubungan positif dengan
excess value. Fama dan Macbeth (1973) dan fixed affects model, menunjukkan adanya
hubungan yang positif dan kuat antara DEBT dan excess value perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Ruland dan Zhou (2005) menguji Hipotesis yang menyatakan
bahwa
leverage
meningkatkan
nilai
perusahaan
yang
terdiversifikasi
melalui
kemampuannya mengurangi agency cost. Disini leverage dan excess value ditentukan
secara endogen. Ini menghasilkan kesimpulan bahwa perusahaan dengan excess value
yang tinggi memiliki kesempatan tumbuh yang lebih besar pula dan berarti semakin besar
kebutuhan akan investasi pada barang modal (capital).
3.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah berdasarkan replikasi dan
pengembangan atas penelitian Ruland dan Zhou (2005), dan berbagai pendapat dari
jurnal-jurnal terdahulu. Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah:
1. Diversified firms memiliki perbedaan yang signifikan dengan specialized firms, dalam
aspek cash flow dan investment opportunities.
-
Diversified
firms
lebih
memiliki kemampuan untuk menghasilkan Free Cash
Flow yang tinggi (Whited, 2001)
-
Diversified firms memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan kesempatan
berinvestasi dibandingkan dengan specialized firms (Lang & Stulz, 1994; Berger
& Ofek, 1995)
2.
Perusahaan dengan kondisi Free Cash Flow yang tinggi, namun rendah dalam
kesempatan berinvestasi, akan kesulitan dalam usahanya untuk bertumbuh. Peranan
leverage disini sangat besar untuk mengurangi agency problems dalam over
investment, karena keberadaan hutang akan berpengaruh di free cash flow nya.
Sehingga Manajer akan mengurangi kemungkinan terjadinya over investment. Ini
diungkapkan juga dalam The Agency Based Capital Structure Model yang memprediksi
tentang hal tersebut (Jensen, 1986).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 8
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3.
Point di atas mengakibatkan diversified firms cenderung memiliki arus kas yang besar
namun NPV kesempatan berinvestasi yang lebih rendah dari specialized firm. Leverage
membantu mengendalikan kondisi ini dengan adanya Cross-Subsidi antar anak-anak
perusahaan yang kuat terhadap yang lemah (Shin & Stulz, 1998; Scharfstein & Stein,
2000)
4. Dapat disimpulkan kemampuan leverage untuk mengurangi agency cost sangat tinggi,
dalam diversified firms dibandingkan pada specialized firms. Hal ini disebabkan
tingginya cash flow dan rendahnya kesempatan berinvestasi, disisi lain berakibat pada
rendahnya investasi & bancruptcy cost, sehingga dapat disimpulkan bahwa leverage
memberi kontribusi pada nilai perusahaan khususnya diversified firms, tapi tidak terjadi
pada kelompok specialized firms (Ruland & Zhou, 2005)
Berdasarkan proposisi yang telah dijelaskan diatas, maka penulis mencoba merumuskan
hipotesis-hipotesis penelitian yang akan diuji. Adapun perumusan hipotesis atas pengujian
adalah sebagai berikut:
H1 : Terdapat peningkatan Excess Value yang lebih tinggi pada perusahaan
yang terdiversifikasi daripada perusahaan yang terspesialisasi karena
penggunaan leverage
H2 :
Terdapat pengaruh negatif terhadap peningkatan Excess Value karena
penggunaan leverage pada perusahaan yang terspesialisasi.
H3 :
Size berpengaruh positif terhadap peningkatan Excess Value
H4 :
EBIT dan CAPEX berpengaruh positif terhadap peningkatan Excess
Value
H5 :
Dividend Yield berpengaruh positif terhadap peningkatan Excess Value
H6 :
PPE & PPE^2 berpengaruh positif terhadap peningkatan Excess Value
H7 :
CFO berpengaruh positif terhadap peningkatan Excess Value
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 9
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Tabel. Determinan dalam Value of The Firm
Hipotesis
Determinan Value of The Firm
Prediksi Hubungan
H1
Dummy
(+/-) Excess Value
H2
D DEBT
(+) Excess Value
H3
Size
(+) Excess Value
H4
EBIT & CAPEX
(+) Excess Value
H5
Divident Yield
(+) Excess Value
H6
PPE & PPE2
(+) Excess Value
H7
CFO
(+) Excess Value
Gambar 3.1. menggambarkan kerangka penelitian yang akan menjelaskan metode
pengujian dan model penelitian ( akan dijelaskan selanjutnya), yang akan digunakan untuk
menguji hipótesis.
3.1 Gambar Kerangka penelitian
Variabel Independen :
-
Debt
D = 1 u/ diversified
firms, 0 u/ yang lain
SIZE
EBIT
CAPEX
Devidend Yield
PPE
PPE^2
CFO
Variabel Dependen :
Excess Value=Market
Value- ImputedValue
3.2. Model Penelitian .
Didasarkan pada model dari Berger & Ofek (1995), merupakan multiple regresi, yang
terdiri atas dependent dan independent variable, yaitu :
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 10
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
1. Variabel Dependen
Pengukuran ini menggunakan Excess Value sebagai dependent variabel. Excess
Value diukur dari nilai pasar yang
dimiliki
perusahaan relatif
terhadap
rata-rata
industrinya. Excess value adalah perbedaan antara log natural atas nilai pasar (market
value) perusahaan dengan logaritma natural dari imputed value. Market value disini
merupakan penjumlahan dari book value of debt dengan market value of equity
perusahaan.
Untuk perusahaan yang terspesialisasi, imputed value adalah nilai dari penjualan
perusahaan (company’s sales) dikalikan dengan ratio dari nilai tengah dari rata-rata market
value industry terhadap penjualan (the industry median market value to sales ratio).
Untuk perusahaan yang terdiversifikasi, pertama dihitung imputed value dari tiap
segmen bisnis. Imputed value perusahaan diperoleh dengan cara mencari jumlah rata-rata
dari imputed value tiap segmen usaha. Pada Berger & Ofek (1995), selanjutnya Ruland
dan Zhou (2006) merata-ratakan imputed values segment didasarkan pada nilai
penjualannya.
Untuk meyakinkan bahwa nilai tengah (median) dari tiap sampel cukup meyakinkan,
setiap industry harus memasukkan paling sedikit 5 perusahaan sebagai sampel. Disini
peneliti menggunakan 5 sample perusahaan untuk setiap industry yang terpilih untuk
menjadi obyek penelitian.
2. Variabel Independen:
Pengujian atas seluruh hipotesis adalah untuk melihat arah dari koefisien regresi dari
masing-masing variable independen dan untuk melihat seberapa besar pengaruh dari
masing-masing variable tersebut dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap variable
dependen. Variabel independen penelitian adalah :
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 11
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
1. D (yaitu Nilai 1 untuk diversified firm, Nilai 0 untuk yang lainnya)
2. DEBT dan D*DEBT, Berger dan Ofek meneliti tingkat signifikansi dari negative
coefficient pada diversifikasi, yang diinterpretasikan sebagai pengukuran Valuation
Discount untuk perusahaan yang terdiversifikasi.
3.
SIZE
merupakan variable yang merepresentasikan ukuran perusahaan yang
dinyatakan dengan log natural dari Total Asset perusahaan. Diharapkan size
perusahaan akan memberi pengaruh, bahwa semakin tinggi total assets perusahaan
semakin besar excess value yang dihasilkan.
4. EBIT merupakan variable yang menunjukkan besaran earning yang dihasilkan
perusahaan sebelum memperhitungkan bunga dan pajak. Merupakan rasio dari
Earning Before Interest and Taxes
terhadap Sales perusahaan. Earning akan
memberi pengaruh positif pada peningkatan Excess Value.
5.
CAPEX
merupakan variable yang merepresentasikan rasio antara Capital
Expenditure terhadap Sales.Diharapkan dalam penelitian ini hubungan yang positif
antara regressor dan dependent variable.
6.
Dividend Yield merupakan rasio antara Dividen saham biasa terhadap Market
value of the equity.Deviden yield diharapkan akan memberi pengaruh positif dengan
semakin tinggi deviden yield, akan semakin meningkat Market Value perusahaan.
7.
PPE merupakan rasio antara Aktiva Tetap bersih ( Net Property plant and
equipment) terhadap sales. Pengkuadratan atas PPE dilakukan untuk mengkoreksi
agar tingkat error nya menjadi normal.
8.
CFO merupakan ratio antara Arus Kas yang berasal dari operasi (Cash from
operating activities) terhadap PPE
Aggarwal dan Samwick (2003) mengidentifikasi variable tambahan diatas yang
berpengaruh terhadap valuation. Variabel tersebut adalah dividend yield, persentase nilai
bersih property plant dan equipment terhadap sales (PPE), nilai bersih property plant dan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 12
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
equipment kuadrat, dan aliran kas untuk plant dan equipment. Dalam model hubungan
antara Excess Value (EV) dan leverage untuk specialized firms ditunjukkan dengan β2.
Pada perusahaan yang terdiversifikasi, hubungan ini dinyatakan dengan menjumlahkan β2
+
β3. Seperti telah disebutkan sebelumnya β2. memiliki arah negative. Sesuai dengan
hipotesis bahwa leverage memberi lebih besar manfaat bagi diversified firms, jadi prediksi
arah dari β3 adalah positif.
Jadi dapat dijabarkan rancangan model awal dalam formula sebagai berikut :
EV = α1 + β1D + β2 DEBT +β3D*DEBT + β4 SIZE + β5 EBIT + β6 CAPEX
+ β7 DIVYIELD + β8 PPE + β9 (PPE)2 + β10 CFO + ε
Keterangan :
Excess Value (EV) = log natural market value – log natural imputed value
Market Value (MV) = Σ (book value of debt + market value of equity)
Imputed Value (IM) = company’s sales x industry median market value to sales ratio
D
= Nilai 1 untuk diversified firm, Nilai 0 untuk yang lainnya
DEBT
= Book Value dari Long Term Debt / Book Value Total Asset
D*DEBT
= Product of D dan DEBT ( bentuk interaksi untuk diversifikasi dan
leverage)
β2
= memiliki arah – (negative sign)
β3
= memiliki arah + (positive sign)
SIZE
= Ukuran perusahaan, yang dinyatakan dengan log natural
dari Total Asset
EBIT
CAPEX
= Earning Before Interest and Taxes / Sales
= Capital Expenditure / Sales
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 13
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
DIVYIELD
= common dividends divided by the market value of equity
PPE
= net property plant and equipment to sales
CFO
= cash from operating activities to net property plant and
equipment
3.3. Data dan seleksi sampel :
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan non random, yaitu suatu cara pemilihan
elemen-elemen dari populasi untuk menjadi anggota sampel dimana setiap elemen tidak
mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih, dengan menggunakan metode purposive
sampling yang menetapkan beberapa criteria. Melihat data yang ada sangat sedikit
perusahaan yang dapat dikelompokkan kedalam Specialized firms, sehingga terjadi
kekurangan data untuk mendapatkan keluaran statistik yang memadai. Untuk mengatasi
hal tersebut maka dilakukan penambahan data dari beberapa industri yang kemudian
diolah secara cross sectional.
Adapun sebagai sampel penelitian, diperoleh data sebagai berikut :
1. Penelitian ini dibatasi hanya menggunakan data-data keuangan perusahaan, baik yang
masuk kategori diversified firms maupun specialized firms yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia .
2. Data sampel penelitian terdiri atas 33 (tiga puluh tiga) perusahaan yang masuk dalam
kategori diversified firms dan 27 (dua puluh tujuh) specialized firms (perusahaan yang
tidak memiliki perusahaan induk dan anak yang multi segment).
3. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini data sekunder yaitu data perusahaan
diambil dari 12 industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, masing-masing diambil 5
perusahaan untuk setiap industri, dan mengeluarkan industri yang memiliki kurang dari 5
perusahaan yang go public di industri tersebut seperti industry rokok, telekomunikasi dan
transport. Serta tidak memasukkan industri yang anggotanya banyak terkait dengan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 14
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
lembaga keuangan sebagai anak perusahaannya; seperti banking, securities, Insurance
dan berbagai holding yang bergerak dalam Investment Company.
4. Periode pengamatan sampel dimulai dari tahun 2003 – 2005 dan telah mempublikasikan
laporan keuangan berturut-turut selama periode pengamatan sample. Data penelitian
diperoleh dari laporan keuangan tahunan yang telah dipublikasikan yang diperoleh dari
Indonesian Capital Market Directory dan Annual Report JSX.
5. Untuk penelitian ini karena keterbatasan data, tidak memasukkan variabel control OWN
seperti yang dilakukan Rholand dan Zhou (2006).
6. Outlyers (5% yang berada pada range tertinggi dan terendah) akan dieliminasi, untuk
menghilangkan efek bias.
7. Mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Berger dan Ofek (1995), Rholand dan Zhou
(2006) mengeluarkan lembaga keuangan, dan perusahaan yang memiliki segmen dalam
bidang keuangan, karena tidak terdapat EBIT pada jenis perusahaan tersebut. Juga
mengeluarkan perusahaan-perusahaan yang nilai penjumlahan absolute atas penjualan
per segmen dan asset nya tidak berada dalam range 99% sampai 101% dari total
penjualan dan total asset yang dilaporkan pada annual report.
8. Penelitian ini menggunakan Excess value metric hanya untuk memeriksa adanya
hubungan antara leverage, diversification dan excess value. Meskipun dasar dari excess
value adalah subject dari measurement error, tidak ada alasan untuk memperkirakan
adanya bias yang besar yang berkaitan dengan variable yang diuji.
3.4. Analisis Data dan Uji Pelanggaran Asumsi
Prosedur yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan
prosedur Ordinary least square (OLS) dengan menggunakan bantuan program software
SPSS versi 16.0 dan Eviews versi 4.1. Asumsi- asumsi atau persyaratan yang mendasari
estimasi koefisien regresi dengan metode OLS tersebut agar mendapatkan estimasi
parameter yang bersifat BLUE ( Best Linear Unbiased Estimator).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 15
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Statistik Deskriptif
EV
DUM
DEBT DDEBT
SIZE
EBIT
CAPEX DIVYIE
LD
PPE
PPE2
CFO
Mean
0.0793 0.55000 0.21976 0.13694 13.7301 0.0185 0.05887 1.01169 0.82229 1.65140 0.14682
23
0
5
0
5
47
3
4
5
4
2
Median
0.0015 1.00000 0.14910 0.05078 13.7226 0.0360 0.03605 0.00000 0.46641 0.22186 0.06525
23
0
7
3
2
45
3
0
0
1
1
Maximu 2.3087 1.00000 1.18003 1.59228
m
31
0
6
0
3.00EMinimu 1.6519 0.00000 0.00237
06
m
64
0
2
Std.
Dev.
0.7346 0.50169 0.21881 0.24021
38
2
4
2
Skewne 0.5833 0.20100 1.80400 4.04090
ss
82
8
4
2
17.7129 0.4235 0.66133 6.88333 5.87700 35.4155 1.51805
9
76
0
3
8
1
0
11.0582 1.7802 0.00133 0.00000 0.03300 0.00113 0.32032
6
63
7
0
7
2
4
1.24264 0.2698 0.09445 1.67205 0.96185 4.78043 0.30761
9
32
8
1
3
9
4
0.47847 4.9913 4.72589 1.93505 2.79730 6.08862 2.03001
9
74
4
9
9
9
8
Kurtosis 4.3478 1.04040 7.45688 23.7323 3.81432 34.312 29.1928 6.41480 13.9726 43.0003 8.72426
10
4
0
2
4
07
5
5
3
8
3
Jarque- 7.9448 10.0040 82.2037 1237.86 3.94723 2700.2 1938.50 66.5967 379.245 4370.78 123.127
Bera
29
8
4
2
3
53
4
9
9
9
7
Probabi 0.0188 0.00672 0.00000 0.00000 0.13895 0.0000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
lity
28
4
0
0
3
00
0
0
0
0
0
Sum
4.7593 33.0000 13.1859 8.21640 823.809 1.1128 3.53235 60.7016 49.3377 99.0842 8.80934
53
0
0
8
0
04
8
6
3
2
5
Sum
Sq.
Dev.
31.841 14.8500 2.82490 3.40439 91.1063 4.2957 0.52641 164.949 54.5845 1348.30 5.58295
86
0
6
5
8
63
1
5
1
3
2
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
Observ
ations
Keterangan :
Nilai Mean, Median, Maximum, dan Minimum sesuai dengan rasio masing-
masing yang ada di tabel sumber data. Histogram dan Statistik Deskriptif dapat
dilihat di Lampiran 2.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 16
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
•
Mean nilai rata-rata dari data cross-section untuk masing-masing variabel terikat dan
regressor. Rata-rata ratio Excess Value (EV) adalah 0,079 atau 7,9%. Rata-rata
Dummy variabel (DUM) adalah 0,55. Adapun rata-rata rasio Hutang (DEBT) sebesar
0,2197 atau 21,97% dan rata-rata dummy dikali rasio hutang (DDEBT) adalah 0,1369
atau13,69%. Rata-rata ratio EBIT sebesar 0,0185 atau 1,85%, sedangkan rata-rata
ratio CAPEX adalah0,0588 atau 5,88%. Rata-rata ratio Dividen yield (DIVYIELD) adalah
1,011 atau 101,1%, sedangkan rata-rata ratio PPE adalah 0,822 atau 82,2. Adapun
rata-rata ratio CFO sebesar 0,1468 atau 14,68%.
•
Median adalah nilai tengah dari data ketika data diurutkan dari kecil ke besar. Median
merupakan ukuran yang robust untuk pemusatan distribusi. Nilai Median yang jauh
berbeda dengan nilai mean ada pada variabel yaitu Excess Value, yaitu 0,0015
dibandingkan dengan mean 0,0793, kemudian variabel DDEBT 0,0508 dibandingkan
dengan mean 0,0508, variabel DIVYIELD 0,0000 dibandingkan dengan mean 1,01169,
variabel PPE^2 sebesar 0,22 dibanding mean 1,651 dan CFO sebesar 0,06 dibanding
mean sebesar 0,1468. Hal ini disebabkan median lebih kurang sensitif terhadap outlier
disbanding mean.
•
Standar deviasi merupakan ukuran penyebaran dari data. Nilai standar deviasi masing
masing untuk EV adalah 0,7346, DUM adalah 0,5021, DEBT adalah 0,2188, DDEBT
adalah 0,2402, SIZE adalah 1,2426, EBIT adalah 0,2698, CAPEX adalah 0,0944,
DIVYIELD adalah 1,6720, PPE adalah 0,9618, PPE^2 adalah 4,7804 dan terakhir CFO
adalah 0,3076.
•
Skewness (kecondongan) menunjukkan penyimpangan dari bentuk distribusi simetris.
Jika kecondongan mendekati nilai nol berarti data bersifat makin simetris. Dari ke
sebelas variabel tersebut diatas yang memiliki bentuk simetris adalah variabel EV, DUM
dan SIZE. Untuk seluruh variabel tersebut diatas memiliki nilai positif, berarti data
cenderung condong ke kanan, kecuali EBIT yang memiliki nilai negatif dan berarti
memiliki kecondongan ke kiri.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 17
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
•
Kurtosis merupakan ukuran kepuncakan dari distribusi data. Nilai kurtosis normal
adalah 3, sehingga variabel EV, DEBT, SIZE dan DIVYIELD memiliki kurtosis yang
normal. Sedangkan yang memiliki kurtosis sangat besar adalah variabel EBIT yaitu
34,31, CAPEX yaitu 29,19, PPE 43,00 .
•
Test statistik Jarque- Bera merupakan ukuran pengujian dari distribusi normal data.
Dengan tingkat α = 5%. maka seluruh data tidak terdistribusi normal, Sebagai catatan
test statistic JB digunakan untuk sampel yang berjumlah besar.
4.2. Hasil Regresi Sebelum Uji Pelanggaran Asumsi
Berikut adalah hasil output regresi I sebelum dilakukan pengujian atas pelanggaran
asumsi:
a. Output Eviews:
Dependent Variable: EV
Method: Least Squares
Date: 05/27/08 Time: 14:11
Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
DUM
0.208260 0.168830 1.233544
0.2233
DEBT
0.497309 1.545741 0.321728
0.7490
- 1.511887 -0.779518
0.4394
DDEBT
1.178544
SIZE
0.080853 0.080829 1.000299
0.3221
EBIT
- 0.564899 -2.901770
0.0055
1.639206
CAPEX
0.473063 0.979802 0.482815
0.6314
DIVYIELD
0.024651 0.060280 0.408937
0.6844
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 18
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PPE
0.426678 0.242581 1.758910
0.0848
PPE2
- 0.044801 -0.698332
0.4883
0.031286
CFO
C
0.391471 0.321217 1.218710
0.2288
- 0.999532 -1.472985
0.1472
1.472296
R-squared
0.430383
Mean dependent
var
Adjusted R-
0.314135
squared
S.D. dependent
var
S.E. of regression 0.608405
Akaike info
criterion
Sum squared
18.13766
Schwarz criterion
resid
Log likelihood
3
0.73463
8
2.00819
0
2.39215
3
-
F-statistic
49.24569
Durbin-Watson
0.07932
2.058872
3.70227
3
Prob(F-statistic)
stat
0.00096
6
Hasil Prob Fstat menunjukkan nilai yang < 5%, menunjukkan bahwa persamaan regresi
(model) signifikan. Dengan kata lain seluruh variabel tidak sama dengan nol (0)
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 19
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
b. Output SPSS:
ANOVA(b)
ANOVAb
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
13.704
18.138
31.842
df
10
49
59
Mean Square
1.370
.370
F
3.702
Sig.
.001a
a. Predictors: (Constant), CFO, SIZE, DUM, CAPEX, PPE2, DDEBT, DIVYIELD, EBIT,
PPE, DEBT
b. Dependent Variable: EV
Dengan menggunakan SPSS hasil ANOVA menunjukkan sama dengan output eviews,
dimana F stat memiliki nilai sama dengan 3,702 dan significance 0,001.
4.3. Uji Pelanggaran Asumsi
4.3.1.Uji Multikolinearitas
1. Dengan melihat indikasi dari nilai R2, nilai F dan nilai t statistic masing- masing
variabel.
Dari hasil output SPSS dan Eviews diatas diperoleh nilai R2 yang tidak terlalu tinggi,
yaitu 0.43 serta nilai F significant sebesar 3,70. Pengamatan terhadap hasil pengujian t
dari koefisien masing- masing predictor hampir seluruhnya tidak signifikan, kecuali untuk
variabel EBIT dan PPE. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, apakah disebabkan oleh karena
adanya multikolineritas atau bukan.
2. Menggunakan pair wise correlation
Dengan menggunakan hasil output pair wise correlation dari Eviews sebagai berikut ini,
nampak bahwa hanya pasangan DEBT dan DDEBT yang memiliki hubungan antar
variabel bebas dengan nilai diatas 0.80, yaitu sebesar 0.926. Dengan demikian dapat
disimpulkan sementara tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius dalam model
ini.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 20
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Correlations
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
EV
DUM
DEBT
DDEBT
SIZE
EBIT
CAPEX
DIVYIELD
PPE
PPE2
CFO
EV
DUM
DEBT
DDEBT
SIZE
EBIT
CAPEX
DIVYIELD
PPE
PPE2
CFO
EV
DUM
DEBT
DDEBT
SIZE
EBIT
CAPEX
DIVYIELD
PPE
PPE2
CFO
EV
1.000
.176
.221
.282
.246
-.449
.062
-.075
.489
.416
-.068
.
.089
.045
.015
.029
.000
.319
.284
.000
.000
.303
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
DUM
.176
1.000
.120
.176
.137
-.121
-.012
-.007
-.070
-.094
.083
.089
.
.181
.089
.147
.178
.463
.479
.297
.237
.265
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
DEBT
.221
.120
1.000
.926
.370
-.444
.071
-.297
.334
.121
-.332
.045
.181
.
.000
.002
.000
.294
.011
.005
.178
.005
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
DDEBT
.282
.176
.926
1.000
.220
-.651
-.005
-.207
.312
.151
-.297
.015
.089
.000
.
.046
.000
.484
.056
.008
.124
.011
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
SIZE
.246
.137
.370
.220
1.000
.043
.123
-.028
.347
.228
-.046
.029
.147
.002
.046
.
.372
.174
.415
.003
.040
.364
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
EBIT
-.449
-.121
-.444
-.651
.043
1.000
.245
.250
-.308
-.283
.396
.000
.178
.000
.000
.372
.
.030
.027
.008
.014
.001
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
CAPEX
.062
-.012
.071
-.005
.123
.245
1.000
.190
.176
.032
.110
.319
.463
.294
.484
.174
.030
.
.073
.089
.405
.200
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
DIVYIELD
-.075
-.007
-.297
-.207
-.028
.250
.190
1.000
-.230
-.145
.461
.284
.479
.011
.056
.415
.027
.073
.
.038
.135
.000
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
PPE
.489
-.070
.334
.312
.347
-.308
.176
-.230
1.000
.897
-.224
.000
.297
.005
.008
.003
.008
.089
.038
.
.000
.043
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
PPE2
.416
-.094
.121
.151
.228
-.283
.032
-.145
.897
1.000
-.141
.000
.237
.178
.124
.040
.014
.405
.135
.000
.
.142
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
CFO
-.068
.083
-.332
-.297
-.046
.396
.110
.461
-.224
-.141
1.000
.303
.265
.005
.011
.364
.001
.200
.000
.043
.142
.
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
3. Menggunakan regresi bantuan (auxiliary regression)
Berikut adalah ringkasan hasil regresi bantuan dari masing- masing variabel independent.
Variabel Tak
Bebas
R2
Adjusted R2
F statistic
Prob(Fstatistic)
DUM
0.125504
-0.031905
0.797310
0.620314
DEBT
0.945159
0.935287
95.74685
0.000000
DDEBT
0.952433
0.943871
111.2385
0.000000
SIZE
0.378119
0.266181
3.377918
0.002638
EBIT
0.729975
0.681371
15.01868
0.000000
CAPEX
0.267541
0.135698
2.029241
0.055183
DIVYIELD
0.382418
0.271253
3.440102
0.002298
PPE
0.884760
0.864017
42.65321
0.000000
PPE^2
0.856431
0.830588
33.14048
0.000000
CFO
0.357047
0.241316
0.357047
0.241316
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 21
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dari tabel terlihat bahwa hanya variabel DUM dan CFO yang memiliki nilai probabilitas Fstatistic lebih besar dari 5 persen, sedangkan variabel DEBT, DDEBT, SIZE, EBIT,
CAPEX, DIVYIELD, PPE dan PPE^2 probabilitas F-statistic nya lebih kecil dari 5 persen
yang mengindikasikan bahwa pada variabel-variabel tersebut patut dicurigai adanya
masalah multikolinearitas.
Deteksi Klein menunjukkan bahwa ada beberapa yang memiliki Koefisien Determinasi
diatas Koefisien Determinasi (R-squared) model asli 0.430383, yaitu variabel DEBT,
DDEBT, EBIT, PPE dan PPE^2 dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada masalah
multikolinearitas dengan deteksi Klein pada variabel-variabel tersebut.
4. Menggunakan VIF, TOL, CI dan Eigenvalue
VIF, Tolerance >10 ada masalah multikol
Condition
Variabel
Tolerance
VIF
Eigenvalue
Index
DUM
0.874
1.144
2.254
1.52
DEBT
0.055
18.234
1.146
2.132
DDEBT
0.048
21.023
0.721
2.688
SIZE
0.622
1.608
0.582
2.993
EBIT
0.27
3.703
0.418
3.532
CAPEX
0.732
1.365
0.374
3.731
DIVYIELD
0.618
1.619
0.233
4.732
PPE
0.115
8.678
0.045
10.791
PPE2
0.137
7.311
0.017
17.699
CFO
0.643
1.556
0.003
43.739
Dari table diatas, Nilai Tolerance yang mendekati 0, terlihat pada variable DEBT dan
DDEBT, yaitu 0.055 dan 0.048, yang menunjukkan adanya multikolinearitas. Bila dilihat
dari nilai VIF rata-rata kurang dari 10 yang berarti multikolinearitas tidak menjadi masalah
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 22
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
yang serius, kecuali untuk DEBT dan DDEBT yang memiliki nilai lebih dari 10, yaitu yaitu
18.234 dan 21.023. Ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Adapun nilai eigenvalue
apabila mendekati nol berarti terdapat multikolinearitas. Dari data diatas, yang mendekati 0
adalah variable PPE, PPE^2 dan CFO. Bila dilihat dari nilai CI, maka menurut Gujarati (
2003) terdapat multikolinearitas moderat apabila CI berada diantara nilai 10- 30, dan
severe multicolinearity bila CI diatas 30. Sedangkan dari table diatas nilai Condition Index
yang berada diatas nilai 10 adalah PPE^2 dan CFO.
Dari seluruh hasil evaluasi dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat multikolieritas
moderat antar variabel bebas, yang tidak menimbulkan masalah serius dalam model
penelitian ini, dan diduga berasal dari variabel DEBT, DDEBT dan PPE serta PPE^2.
Treatment atas multikolinearitas tersebut akan dilakukan setelah treatment yang lain,
dengan alasan sifat dari multikol tersebut tidak menimbulkan masalah yang serius dalam
model penelitian.
4.3.2.Uji Heteroskedastisitas
1. Metode Grafik
Jika nilai- nilai ε
i
2
diplot dengan nilai variabel bebas akan ditemui suatu pola atau bentuk
yang tidak random. Gambar dibawah ini menunjukkan pola hipotesis yang bersifat random,
sehingga mengindikasikan adanya heteroskedastis. Gambar pengujian atas variabel
lainnya secara lengkap dapat dilihat pada lampiran dengan kesimpulan yang sama, yaitu
terdapat indikasi heteroskedastis.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 23
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3
2
EV
1
0
-1
-2
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
2.4
2.8
ERR
Dari hasil plot grafik menunjukkan pola yang acak, sehingga dapat disimpulkan bahwa data
mengandung masalah hetero namun dalam tingkat yang tidak serius.
2. Uji Formal dengan White Heteroscedasticity
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
0.837444
Probability
0.65332
5
Obs*R-squared
17.07497
Probability
0.58478
9
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 05/27/08 Time: 14:15
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 24
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
C
DUM
11.63466 7.163031 1.624265
0.1122
- 0.158819 -1.679071
0.1009
0.266669
DEBT
DEBT^2
0.844079 2.203524 0.383059
0.7037
- 4.504284 -1.393625
0.1711
6.277284
DDEBT
DDEBT^2
4.009193 3.157162 1.269872
0.2115
- 4.474471 -0.317386
0.7526
1.420134
SIZE
- 1.047637 -1.521433
0.1360
1.593909
SIZE^2
EBIT
0.055780 0.037830 1.474462
0.1482
- 0.973202 -1.798346
0.0797
1.750154
EBIT^2
0.953976 2.079422 0.458770
0.6489
CAPEX
- 2.586798 -1.738943
0.0897
4.498293
CAPEX^2
6.450083 4.127211 1.562819
0.1260
DIVYIELD
- 0.143219 -0.242195
0.8099
0.034687
DIVYIELD^2
0.025669 0.027842 0.921949
0.3621
PPE
0.170226 0.555287 0.306555
0.7608
PPE^2
1.077019 1.055129 1.020746
0.3135
PPE2
- 0.967139 -1.088772
0.2828
1.052994
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 25
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
PPE2^2
- 0.005249 -0.261351
0.7952
0.001372
CFO
CFO^2
1.664050 0.596628 2.789093
0.0081
- 0.582017 -2.408889
0.0207
1.402015
R-squared
0.284583
Mean dependent
0.30229
var
Adjusted Rsquared
-
S.D. dependent
4
0.49231
0.055240 var
S.E. of regression 0.505727
Akaike info
2
1.73556
criterion
Sum squared
10.23040
Schwarz criterion
3
2.43367
resid
Log likelihood
8
-
F-statistic
0.83744
32.06689
Durbin-Watson
2.321265
4
Prob(F-statistic)
0.65332
stat
5
Uji formal White Heteroscedasticity diatas terlihat bahwa Prob obs*R squared > 5%, hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat heterokedastisitas dalam model, dengan demikian
membuktikan bahwa varians data penelitian bersifat homoskedastis, karena dengan α =
5% hasilnya tidak signifikan dimana H1 ditolak dan
Ho
diterima. Dengan perkataan lain
memang tidak ada masalah heteroskedastisitas.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 26
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
3. Uji Spearman Correlation
Correlations
Spearman's rho
EV
DUM
DEBT
DDEBT
SIZE
EBIT
CAPEX
DIVYIELD
PPE
PPE2
CFO
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
EV
1.000
.
60
.175
.181
60
.131
.320
60
.114
.384
60
.310*
.016
60
-.161
.219
60
-.003
.980
60
-.036
.787
60
.363**
.004
60
.366**
.004
60
-.059
.652
60
DUM
.175
.181
60
1.000
.
60
.065
.623
60
.254*
.050
60
.088
.504
60
.038
.775
60
-.047
.719
60
.033
.803
60
-.055
.676
60
-.067
.612
60
.171
.191
60
DEBT
.131
.320
60
.065
.623
60
1.000
.
60
.920**
.000
60
.454**
.000
60
-.041
.757
60
.027
.836
60
-.359**
.005
60
.466**
.000
60
.457**
.000
60
-.224
.085
60
DDEBT
.114
.384
60
.254*
.050
60
.920**
.000
60
1.000
.
60
.433**
.001
60
-.017
.900
60
.058
.660
60
-.326*
.011
60
.460**
.000
60
.451**
.000
60
-.187
.153
60
SIZE
.310*
.016
60
.088
.504
60
.454**
.000
60
.433**
.001
60
1.000
.
60
.083
.529
60
.190
.146
60
.086
.512
60
.327*
.011
60
.320*
.013
60
.090
.496
60
EBIT
-.161
.219
60
.038
.775
60
-.041
.757
60
-.017
.900
60
.083
.529
60
1.000
.
60
.496**
.000
60
.496**
.000
60
-.091
.491
60
-.097
.462
60
.586**
.000
60
CAPEX
-.003
.980
60
-.047
.719
60
.027
.836
60
.058
.660
60
.190
.146
60
.496**
.000
60
1.000
.
60
.226
.083
60
.201
.124
60
.201
.123
60
.315*
.014
60
DIVYIELD
-.036
.787
60
.033
.803
60
-.359**
.005
60
-.326*
.011
60
.086
.512
60
.496**
.000
60
.226
.083
60
1.000
.
60
-.375**
.003
60
-.366**
.004
60
.339**
.008
60
PPE
.363**
.004
60
-.055
.676
60
.466**
.000
60
.460**
.000
60
.327*
.011
60
-.091
.491
60
.201
.124
60
-.375**
.003
60
1.000
.
60
.999**
.000
60
-.180
.168
60
PPE2
.366**
.004
60
-.067
.612
60
.457**
.000
60
.451**
.000
60
.320*
.013
60
-.097
.462
60
.201
.123
60
-.366**
.004
60
.999**
.000
60
1.000
.
60
-.192
.142
60
CFO
-.059
.652
60
.171
.191
60
-.224
.085
60
-.187
.153
60
.090
.496
60
.586**
.000
60
.315*
.014
60
.339**
.008
60
-.180
.168
60
-.192
.142
60
1.000
.
60
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari data hasil uji menggunakan spearman correlation (Gujarati hal 407) terlihat bahwa
yang memiliki hubungan antara dua variabel terdapat tanda bintang, hal ini menunjukkan
adanya masalah hetero.
4. Uji Park
Dependent Variable: LOG(ERR)
Method: Least Squares
Date: 05/27/08 Time: 17:34
Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
DUM
- 0.728328 -0.902655
Bridging the Gap between Theory and Practice
0.3711
FACM12- 27
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
0.657429
DEBT
- 6.668272 -0.659679
0.5125
4.398916
DDEBT
SIZE
4.153057 6.522225 0.636755
0.5272
- 0.348691 -0.014121
0.9888
0.004924
EBIT
CAPEX
1.693577 2.436952 0.694957
0.4904
- 4.226830 -0.506827
0.6145
2.142273
DIVYIELD
- 0.260044 -0.372524
0.7111
0.096872
PPE
1.583173 1.046487 1.512845
0.1367
PPE2
- 0.193268 -2.044326
0.0463
0.395103
CFO
- 1.385720 -0.481943
0.6320
0.667838
C
- 4.311946 -0.563867
0.5754
2.431364
R-squared
0.124598
Mean dependent
var
2.89997
0
Adjusted Rsquared
-
S.D. dependent
0.054056 var
S.E. of regression 2.624636
Akaike info
criterion
Sum squared
337.5471
Schwarz criterion
resid
Log likelihood
2.55645
0
4.93190
4
5.31586
7
-
F-statistic
136.9571
Bridging the Gap between Theory and Practice
0.69742
5
FACM12- 28
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Durbin-Watson
2.498351
Prob(F-statistic)
stat
0.72196
4
Uji Park memanfaatkan bentuk regresi untuk melihat adanya heteroskedastisitas. Terlihat
dengan uji Park hampir semua koefisien dalam variabel independen tidak signifikan,
kecuali variabel SIZE. Sehingga dapat disimpulkan adanya heterokedastisitas.
5. Uji Glejser
Setelah memperoleh nilai prediksi error dari regresi OLS, maka uji Glejser dilakukan
dengan meregresikan nilai dugaan error terhadap variabel X yang digunakan sebagai
pendekatan terhadap standar error kuadrat. Berikut hasil regresi Uji Glejser
Dependent Variable: MUTLAK_ERR
Method: Least Squares
Date: 06/08/08 Time: 10:34
Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
CAPEX
- 0.221280 -0.751714
0.4558
0.166339
CFO
DDEBT
0.154709 0.072544 2.132615
0.0380
- 0.341447 -0.123811
0.9020
0.042275
DEBT
0.162342 0.349092 0.465040
0.6440
DIVYIELD
0.050529 0.013614 3.711659
0.0005
DUM
0.014388 0.038129 0.377342
0.7075
EBIT
- 0.127578 -0.292308
0.7713
0.037292
PPE
- 0.054785 -1.448716
Bridging the Gap between Theory and Practice
0.1538
FACM12- 29
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
0.079368
PPE2
0.010854 0.010118 1.072763
0.2886
SIZE
- 0.018254 -0.900780
0.3721
0.016443
C
R-squared
0.344822 0.225736 1.527548
0.485085
Mean dependent
0.1331
0.17286
var
Adjusted R-
0.380000
squared
S.D. dependent
6
0.17450
var
S.E. of regression 0.137403
2
Akaike info
criterion
0.96765
5
Sum squared
0.925100
Schwarz criterion
resid
0.58369
1
Log likelihood
40.02964
F-statistic
4.61613
3
Durbin-Watson
1.997119
Prob(F-statistic)
0.00012
stat
6
Dari hasil pengujian diatas, terlihat hampir semua koefisien dalam variabel independen
tidak signifikan kecuali variabel DDEBT, sehingga dapat disimpulkan adanya
heteroskedastisitas.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pengujian diatas membuktikan bahwa
terdapat heteroskedastisitas dalam model regresi awal ini.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 30
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
4.4. Treatment Untuk Mengatasi Multikolinearitas
4.4.1 Uji Spefisikasi Model
Berdasarkan
pembahasan
tentang
multikolinearitas,
terlihat
bahwa
terdapat
multikolinearitas pada variabel DEBT, DDEBT, EBIT, PPE dan PPE^2. Untuk itu perlu
dilakukan uji model dengan mengeluarkan variabel-variabel tersebut. Alasan mengeluarkan
variabel tersebut dari model karena saling memiliki hubungan, walaupun secara teori
variabel-variabel tersebut digunakan sebagai proksi dalam leverage dan valuation. Namun
karena memiliki sifat yang sama, maka dalam pengujian variabel-veriabel tersebut secara
bergantian dihilangkan dari uji model.
Berikut adalah hasil ringkasan dari masing-masing pengujian :
R2
Model
Adjusted
AIC
SIC
2
R
Mula-mula (full)
0.430383 0.314135
2.008190
2.392153
DEBT dikeluarkan
0.429180 0.326432
1.976967
2.326024
DDEBT dikeluarkan
0.423319 0.319517
1.987181
2.336239
PPE
0.394419 0.285414
2.036081
2.385139
PPE^2
0.424714 0.321163
1.984760
2.333817
PPE^2 0.422052 0.331393
1.956043
2.270195
DEBT, PPE dan PPE^2 0.336685 0.247393
2.060475
2.339721
DEBT
dan
dikeluarkan
dikeluarkan
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 31
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Dengan membandingkan nilai Adjusted R2, dan AIC serta SIC pada table diatas, maka
model yang terbaik adalah dengan mengeluarkan variabel DEBT dan PPE2, karena nilai
Adjusted R2, dan AIC serta SIC terendah, sehingga merupakan model yang terbaik. Hasil
output Eviews setelah dikeluarkannya variabel DEBT dan PPE2 dari model adalah sebagai
berikut:
Dependent Variable: EV
Method: Least Squares
Date: 06/08/08 Time: 11:02
Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable
Coefficie Std. Error t-Statistic
Prob.
nt
DUM
DDEBT
0.199733 0.164291 1.215728
0.2297
- 0.465037 -1.278512
0.2069
0.594555
SIZE
0.098063 0.072512 1.352360
0.1822
EBIT
- 0.448846 -3.286097
0.0018
1.474952
CAPEX
0.710974 0.922590 0.770629
0.4445
DIVYIELD
0.010356 0.054608 0.189640
0.8503
PPE
0.272416 0.099254 2.744633
0.0083
CFO
0.344473 0.307679 1.119585
0.2681
- 0.944987 -1.687944
0.0975
C
1.595086
R-squared
0.422052
Mean dependent
var
Adjusted Rsquared
0.331393
S.D. dependent
var
Bridging the Gap between Theory and Practice
0.07932
3
0.73463
8
FACM12- 32
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
S.E. of regression 0.600701
Akaike info
1.95604
criterion
Sum squared
18.40295
3
Schwarz criterion
2.27019
resid
5
Log likelihood
-
F-statistic
4.65540
49.68130
Durbin-Watson
0
2.103295
Prob(F-statistic)
0.00025
stat
8
Hasil dengan menggunakan model yang telah direvisi tanpa variabel DEBT dan PPE2 yang
digunakan dalam penelitian ini menunjukkan indikasi telah bebas gangguan (tidak ada
masalah
heterokedastisitas),
hal
ini
dibuktikan
dengan
hasil
pengujian
White
Heteroskedasticity pada tingkat α = 5%, sebagai berikut:
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
0.915502
0.55393
Probability
Obs*R-squared
14.27188
3
0.50501
Probability
7
4.4.2 Plot Untuk Melihat Kenormalan Data Residual Error
Hasil plot tersebut dapat dilihat pada ketiga gambar dibawah ini yang membuktikan
bahwa residual error telah memenuhi persyaratan normalitas, sebagaimana yang telah
disebutkan pada paragraf diatas, sehingga dapat dikatakan model yang dibentuk cukup
baik.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 33
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Error terdistribusi normal
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 34
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
14
Series:
R id l1
Sample
60
Observation
60
Mean
-1.68E16
Media
4.07E05
Maximu
Minimu
-1 1898
1 63468
Std.
D
Skewnes -0 55849
0 31090
Kurtosi
3 63243
JarqueB
1 96656
Probabil
it
0 37408
12
10
8
6
4
2
0
-
-
-
0.0
0.5
1.0
4.5. Analisis Hasil Penelitian
4.5.1. Evaluasi Model Regresi Final
Asumsi yang digunakan dalam melakukan pengujian model penelitian menggunakan
taraf nyata α = 5%, kecuali disebutkan nilai lainnya. Hal ini menyatakan bahwa tingkat
keyakinan yang digunakan penulis adalah 95%.
a. Evaluasi R2 dan Adjusted R2
Hal yang relevan untuk dievaluasi adalah adjusted R2 hal ini disebabkan karena
persamaan dalam model penelitian ini adalah regresi berganda dengan banyak variabel
regressor.. Adapun sebelum dilakukan treatment
nilai adjusted R2 adalah 0.3141.
Sedangkan setelah dilakukan berbagai treatment nilai adjusted R2 naik menjadi 0.3314.
Nilai ini menunjukkan bahwa model ini dapat menjelaskan variasi dalam Nilai Perusahaan
(Value of the Firm) untuk variabel terikat EV sebesar 33,14%. Artinya, variasi dalam
variabel EV dapat dijelaskan oleh variabel independen sebagai determinan dalam Value of
the firm sebesar 33,14%. Untuk teori keuangan dengan data yang bersifat cross-sectional
maka nilai ini masih kurang baik, diperlukan lagi independen variabel lain untuk
memperkuat variasi ini.
b. Uji F dan Uji t.
Hasil uji statistik F pada model regresi final adalah 14.27,
kita juga dapat langsung
mengetahui apakah H0 ditolak atau tidak dengan melihat nilai probability F-Stat, yaitu
nilainya 0.000258 siginifikan, karena lebih kecil α = 5%. Artinya variabel bebas dalam
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 35
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
model tersebut diatas secara bersama- sama dapat menjelaskan variasi variabel terikat:
EV dari rata- ratanya, atau secara bersama- sama model signifikan.
Hasil pengujian t-stat dapat dilihat pada hasil output Eviews diatas, menunjukkan bahwa
hanya parameter EBIT dan PPE yang significant (α = 5%) dan C pada tingkat nyata α =
10%, sedangkan variabel lainnya tidak signifikan.
c. Nilai AIC dan SIC
Selain adjusted R2, model juga dapat dipilih dengan menggunakan Akaike Information
Criterion (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SIC). Hal ini dapat dilakukan dengan
membandingkan dua buah model regresi atau lebih, maka model yang memiliki AIC dan
SIC terkecil merupakan model yang lebih baik. Sebelum dilakukan treatment awal, nilai AIC
dan SIC adalah masing masing 2,008 dan 2,392, setelah dilakukan treatment nilai AIC dan
SIC pada Model masing- masing menjadi 1,9560 dan 2,270. Hal ini menunjukkan bahwa
model terakhir lebih baik dari model awal sebelum dilakukan treatment, karena kedua nilai
AIC dan SIC tersebut lebih kecil dari model sebelumnya.
d. Evaluasi dari Standard Error of Regression.
Goodness of fit suatu model dapat dilihat juga dari nilai standar error regresi yang dapat
mencerminkan daya prediktif dari persamaan regresi tersebut. Sebelum dilakukan
treatment, S.E. of regression adalah 0.608405, setelah dilakukan treatment menjadi
0.600701. Dengan perkataan lain model regresi final setelah dilakukan treatment lebih baik
dari model awal sebelum dilakukan treatment.
4.5.2. Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis
Persamaan regresi dugaan menjadi:
EV i = - 1,5950 + 0,1997 D i – 0.5945 DDEBT i + 0.0980 SIZE i – 1,4749 EBIT i
+ 0,7109CAPEX i + 0.0103 DIVYIELD i + 0.2724 PPE i
+ 0.3444 CFO i
Berikut adalah rincian dari hasil pengujian terhadap hipotesis secara keseluruhan:
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 36
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Variables
C
Prediks Coefficie
i
nt
(+/-)
-
Std. Error
t-Statistic
Sig. t
Pengujian
Ho
0.944987 -1.687944 0.0975** H0 diterima
1.595086
DUMMY
(+)
0.199733
0.164291 1.215728 0.2297
H0 ditolak
DDEBT
(+)
-
0.465037 -1.278512 0.2069
H0 diterima
0.072512 1.352360 0.1822
H0 ditolak
0.448846 -3.286097 0.0018*
H0 diterima
0.594555
SIZE
(+)
0.098063
Profitability -
(+)
-
EBIT
1.474952
CAPEX
(+)
0.710974
0.922590 0.770629 0.4445
H0 ditolak
DIVYIELD
(+)
0.010356
0.054608 0.189640 0.8503
H0 ditolak
PPE
(+)
0.272416
0.099254 2.744633 0.0083*
H0 ditolak
CFO
(+)
0,344473
0,307679 1.119585 0.2681
H0 ditolak
F=
Sig. F =
19.60049
0.00000 0.5734
N = 84
Adj R2=
DW=
1.79
* Sig. pada tingkat α = 5%; ** Sig. pada tingkat α = 10%
Interpretasi dari persamaan regresi diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dummy
Dummy merupakan proksi dari jenis perusahaan yang bernilai 0 jika specialized dan 1 jika
diversified. Jika Dummy bernilai 1 pada perusahaan yang dikategorikan sebagai diversified
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 37
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
maka excess value akan meningkat sebesar 0.199 kali, dengan asumsi ceteris paribus.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien dari dummy bertanda positif dan
signifikan, berarti konsisten dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa pada
perusahaan yang terdiversifikasi adanya leverage akan berhubungan positif dan signifikan
mempengaruhi peningkatan value of the firm yang diproksikan dengan EV.
DDEBT
DDEBT merupakan ukuran efektifitas dari penggunaan hutang pada jenis perusahaan yang
dikelompokkan berdasarkan dummy. Jika terjadi kenaikan sebesar 1.00 kali dalam DDEBT,
maka akan terjadi penurunan sebesar 0.5945 kali dalam Excess Value. Hasil pengujian
terhadap hipotesis ini menghasilkan tanda negatif berlawanan dengan prediksi hasil
penelitian sebelumnya. Teori menyatakan bahwa hutang (leverage) memiliki efek yang
lebih besar pada perusahaan yang terdiversifikasi, karena memiliki kecenderungan untuk
menggunakan sources dari hutang untuk berbagai ekspansi,
sehingga excess value
berhubungan positif dengan DDEBT, namun Ho diterima.
Size
Apabila Size meningkat, maka Value of the firm (EV) juga meningkat sebesar 1%. Terbukti
bahwa tingkat pertumbuhan Asset mempengaruhi secara positif terhadap nilai perusahaan.
Hal ini sesuai dengan ekspektasi hasil penelitian sebelumnya, dimana tingkat pertumbuhan
asset memiliki hubungan positif dengan value of the firm.
Profitabilitas (EBIT)
Apabila tingkat profitabilitas yang diproksikan dengan variabel: EBIT naik sebesar 1.00
kali, maka excess value akan turun sebesar 1,47 kali. Hasil pengujian ini tidak dapat
menolak H0, secara signifikan. Hasil penelitian ini menemukan hubungan yang tidak
konsisten dengan penelitian sebelumnya menyatakan hubungan yang positif antara
profitabilitas dengan excess value.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 38
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
CAPEX
Hasil pengujian menunjukkan bahwa apabila investasi dalam capital yang diproksi dengan
CAPEX meningkat sebesar 1 kali maka excess value akan naik sebesar 0.71 kali. Terdapat
hubungan positif tidak signifikan antara value of the firm dengan pertumbuhan investasi di
kapital, dimana hubungan ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya.
DIVYIELD
Dividend Yield digunakan untuk mengukur pembagian dividen kepada shareholder
perusahaan. Penggunaan DivYield sebesar 1% akan meningkatkankan excess value
sebesar 0,0103 %. Koefisien yang relatif kecil pengaruhnya terhadap peningkatan Value of
the firm perusahaan. Penelitian ini menemukan perilaku hubungan positif namun tidak
signifikan, dan konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya, karena DivYield dapat
berpengaruh pada market value dari saham perusahaan dan pada akhirnya akan
meningkatkan Value of the firm yang diproksikan dengan EV.
PPE
Peningkatan PPE sebesar 1% akan berpengaruh pada kenaikan EV sebesar 0,27% secara
signifikan dengan tingkat kepercayaan 5%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa belanja Plant akan berpengaruh pada peningkatan nilai perusahaan.
CFO
Meningkatnya arus kas perusahaan dari operasi sebesar 1 kali akan menyebabkan
peningkatan EV sebesar 0,344 kali. Hal ini sesuai dengan prediksi bahwa arus kas operasi
berhubungan positif dengan peningkatan EV, terutama berasal dari operasi perusahaan.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 39
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Faktor – faktor atau determinan yang mempengaruhi Nilai Perusahaan yang
diproksikan dengan EV menurut Berger Ofek (1995) dan Rhouland Zhou (2006) meliputi:
variabel Dummy specialized atau diversified, perkalian dummy dengan ratio hutang
(DDEBT), Size perusahaan yang diproksikan dengan Ln Total Asset, profitabilitas (EBIT),
CAPEX, DivYield, PPE dan arus kas dari operasi perusahaan. Hasil penelitian atas 60
perusahaan yang tergolong dalam 12 industri di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan
bahwa variabel profitabilitas ( yang diproksi dengan EBIT) dan besaran PPE berpengaruh
secara signifikan dalam penentuan Nilai Perusahaan yang dinyatakan dalam excess value
( yaitu selisih antara Market Value dan Imputed Value). Variabel lainnya, yaitu DUM,
DDEBT, Size, CAPEX, DivYield dan CFO tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam
determinan Nilai Perusahaan di Indonesia , khususnya dalam 12 industri yang diteliti
dengan data tahun 2003 s/d 2005.
EBIT memiliki hubungan negatif signifikan dengan excess value, hal ini
menunjukkan
bahwa
semakin
besar
keuntungan
perusahaan
semakin
memiliki
kecederungan untuk menurunkan nilai perusahaannya. Hal ini sangat bertentangan
dengan teori yang menyatakan bahwa Nilai Perusahaan sangat dipengaruhi oleh tingkat
profitabilitas perusahaan tersebut. Adapun DUMMY yaitu proksi yang menunjukkan bahwa
kelompok perusahaan yang terdiversifikasi memiliki kemampuan untuk meningkatkan value
of the firm perusahaannya lebih tinggi dari kemampuan rata-rata perusahaan dalam
kelompok specialized, meskipun hasil menunjukkan memiliki hubungan positif namun tidak
signifikan. Tanda positif pada Size, PPE, CAPEX dan CFO juga konsisten dengan teori
value of the firm, dimana perusahan akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan
nilainya sejalan dengan pertumbuhan Total Asset nya, belanja Investasi dan Kapital
sebagai usaha untuk melakukan ekspansi usahanya. Dan ini terbukti berpengaruh dari
arah positif yang dihasilkan penelitian ini.
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 40
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
5.2 Keterbatasan Penelitian
1. Dari pengolahan data dan hasil penelitian, penulis menyadari masih terdapat banyak
keterbatasan dalam penelitian ini. Keterbatasan terutama berasal dari keterbatasan
data. Disini peneliti hanya mengambil data 5 perusahaan untuk tiap industrinya (
mengacu pada Berger dan Ofek, 1985), dan terdapat beberapa industri yang tidak
penulis masukkan sebagai bagian dari sampel, karena dalam industri tersebut terdapat
jumlah perusahaan yang kurang dari 5, atau perusahaan-perusahaan dalam industri
tertentu banyak terkait dengan anak perusahaan yang bergerak dalam bidang
perbankan, asuransi, leasing dan lembaga pembiayaan lainnya. Perusahaan dalam
kategori ini sangat sulit dimasukkan kedalam sample penelitian karena tidak memiliki
EBIT, sebagai salah satu variable kontrol yang diperlukan dalam pengujian.
2.
Selain keterbatasan pengumpulan data, penulis juga membatasi window penelitian,
hanya meliputi tahun 2003 s/d 2005. Rentang window penelitian yang lebih panjang
memungkinkan untuk dapat menambah ketelitian dan keakuratan hasil.
3.
Terdapat beberapa data, terutama mengenai Market value perusahaan, yang
merupakan hasil perkalian antara jumlah lembar saham beredar dengan closing price
saham pada transaksi akhir tahun, dimana fluktuasi closing price pada transaksi tutup
tahun pada umumnya memperlihatkan pergerakan yang tidak biasa.
5.3. Saran Penelitian
Dari hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan halhal sebagai berikut :
1. Pada kelompok perusahaan yang terdiversifikasi terdapat banyak kesempatan untuk
melakukan berbagai peluang investasi, dan ini menyebabkan kecenderungan untuk
melakukan Overinvestment. Peranan leverage sangatlah besar untuk meredam
keinginan overinvestment tersebut, karena pada kondisi perekonomian yang
bergejolak dan unpredictable, perhitungan untuk melakukan investasi harus dibuat
dengan matang. Untuk itu sangatlah perlu dilakukan analisis mendalam bagi setiap
proposal
investasi
pada
kelompok
terdiversifikasi
Bridging the Gap between Theory and Practice
terutama
oleh
principal,
FACM12- 41
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
bondholder, serta manajer sendiri, agar tidak muncul agency problem dibelakang
hari.
2. Bagi kelompok perusahaan yang tergolong pada specialized firms, kemampuan
untuk mengurangi biaya keagenan lebih kecil daripada perusahaan yang tergolong
difersified, akibat dari rendahnya kesempatan untuk berinvestasi. Untuk dapat terus
berkemampuan menciptakan serta meningkatkan value of the firm nya, maka
kelompok perusahaan ini pun harus sangat ketat melihat peluang investasi dan
kelayakan dari berbagai peluang yang ditawarkan. Tugas monitoring ini pun harus
dapat dijalankan oleh seluruh pihak yang terkait dalam masalah keagenan (agency
problems), yaitu owner, manager, dan bondholder.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan dengan memasukkan
variable Managerial Ownership, yang karena keterbatasan data, penulis tidak
memasukkannya dalam penelitian ini.
4. Agar menghasilkan keakuratan kesimpulan dan interpretasi hasil penelitian dimasa
yang akan datang sebaiknya perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan data
panel selama beberapa tahun dan jumlah sampel penelitian yang lebih banyak.
Dengan pertimbangan bahwa penentuan Nilai perusahaan bukanlah hasil yang
dapat diperoleh
dalam kurun waktu satu tahun saja, sehingga perlu dilihat
perkembangan dari tahun- tahun sebelumnya dari masing- masing variabel tersebut.
Selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian mengenai dampak
Leverage pada Value of the Firm yang menggunakan data panel dan pooled yang
diolah secara simultan antara kelompok Specialized dan Diversified yang pernah
dicoba dilakukan oleh Rhouland dan Zhou (2006).
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 42
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Daftar Pustaka
Abdul Aziz and Financial Distress Models: Testing of Hypotheses. Journal of Financial
Management, 18 (1), 55-63
Aggarwal, R.K. and A.A. Samwick, “Why do Managers Diversify Their Firms? Agency
Reconsidered”. The Journal of Finance 58, 71-118. (2003)
Allan Hodgson and Pete Stevenson Clarke (2000). Accounting Variables and Stock
Returns: The Impact of Leverage. Pacific Accounting Review, 12 (2), 37-64.
Amir D. Aczel and Jayavel Sounderpandian, Complete Business Statistics, 6th Edition,
2006 McGraw Hill
Ball R. and P. Brown (1968). An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.
Journal of Accounting Research, 6 (2), 159-178.
Berger, Phillip G. and Eli Ofek, “Diversification’s Effect on Firm Value”. The Jouenal of
Financial Economics 37, 39-65,(1995)
Damodaran Aswath, 2006, Damodaran on Valuation, Security Analysis for Investment and
Corporate Finance, 2nd Edition, John Willey
Fama, Eugene F. and James D. Macbeth, “Risk, Return, and Equilibrium Empirical Tests.
Journal of Political Economy 81, 607-636, (1973)
Fuad, 2006, Simultanitas dan “Trade-off” Pengambilan Keputusan Finansial dalam
Mengurangi Konflik Agensi: Peran dari Corporate Ownership, Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia, Vol.9, No.3, September 2006, Hal.327-345
Gujarati, D.N. (2003). Basic Econometrics. McGraw Hill, fourth edition.
Gujarati, D.N. (2006). Essensial of Econometrics. McGraw Hill, third edition.
Hair, Black,Babin,Anderson,Tatham, 2006, Multivariate Data Analysis, 6th Edition, Pearson
International Edition
Jensen,M.C. and W.H. Meckling, 1976, Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency
Costs and Ownership Structure, Journal of Finance 3, 305-360
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 43
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Jensen, Michael C, “Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance and Takeovers.
American Economics Review 76, 323-329, (1986)
John D. Finnerety and Douglas R. Emery (2004) The Value of Corporate Control and the
Comparable Company Method of Valuation. Journal of Financial Management, 33
(1), 91-98
Lang, Larry H.P. and Rene M. Stulz, “Tobin’s Q, Corporate Diversification, and Firm
Performance.” Journal of Political Economy 102, 1248-1280, (1994)
Nachrowi, N.D. & Usman, H. ( 2006). Pendekatan Popular dan Praktis EkonometrikaUntuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Nachrowi, N.D. & Usman, H. ( 2005). Penggunaan Tehnik Ekonometrika. Edisi Revisi.
Rajawali Press. Jakarta.
Richard R. Simonds, Ph.D (1999). Yield Capitalization Is Not a Declining Asset Valuation
Model. Assesment Journal, 6 (3), 36-40.
Scott, R.W.2000.Financial Accounting Theory 4th edition., Prentice Hall, New Jersey
Studz, Rene M., Managerial Discretion and Optimal Financing Policies.” Jurnal of Financial
Economics 26, 3-27, (1990)
Scharfstein, David S and Jeremy C.Stein, “The Dark Side of Internal Capital Markets:
Divitional Rent seeking and inefficient Investment.” The Journal of Finance 55, 2537
– 2564, (2000)
Tim Koller, Marc Goedhart and David Wessels (2005). Valuation University Edition,
McKinsey&Company 4th edition.,John Willey
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 44
The 2nd Accounting Conference, 1st Doctoral Colloquium, and
Accounting Workshop
Depok, 4-5 November 2008
Watts, R.L and J.L. Zimmerman.1986.Positive Accounting Theory, Prentice-Hall, New
Jersey
William Ruland and Ping Zhou (2005). Debt, Diversification, and Valuation. Review of
Quantitive Finance and Accounting, 25,277-291.
Whited, Toni M., “Is it Inefficient Investment that Causes the Diversification Discount?” The
journal of Finance 56, 1667 – 1691, (2001)
Zvi Bodie, Alex Kane and Alan J. Marcus, Investments 5th Edition, 2004, Irwin McGraw Hill
Bridging the Gap between Theory and Practice
FACM12- 45
Download