peran guru menurut perspektif ki hadjar dewantara

advertisement
PERAN GURU MENURUT PERSPEKTIF
KI HADJAR DEWANTARA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Agus Setiawan
NIM. 1112011000056
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017 M/1438
ABSTRAK
Agus Setiawan (1112011000056). “Peran Guru Menurut Perspektif Ki
Hadjar Dewantara”.
Tujuan penelitian ini untuk memberikan pemahaman kepada para pendidik
khusunya para guru bagaimana peran guru yang baik menurut Ki Hadjar
Dewantara, dan untuk memberikan pemahaman kepada guru bagaimana
perspektif Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Teknik analisis dalam
penelitian ini adalah teknik content analysis (analisis isi). Teknik analisis isi
(content analysis) dimaksudkan untuk membedah peran guru menurut perspektif
Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam pemikiran-pemikiran dan gagasangagasan beliau yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidik yang baik adalah yang
menjadi teladan bagi anak didiknya lalu dapat mengarahkan dan menuntun
dengan benar tanpa adanya paksaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar
mereka menjadi manusia yang merdeka batinnya, pikirannya, serta tenaganya dan
dengan pendidikan, mereka dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa,
bangsa dan agama, sehingga bisa mengangkat derajat negaranya. Pandangan
beliau tentang peran guru yang baik atau ideal tercermin dari semboyan-semboyan
yang telah ia canangkan, misalnya ing ngarso sung tulodo (apabila di depan
memberi contoh), ing madyo mangun karso (apabila di tengah memberi
semangat), tut wuri handayani (apabila di belakang memberi dorongan). Terakhir
adalah momong, among, ngemong yang memiliki arti supaya para guru dapat
mendidik anak muridnya dengan cara mengasuh dan memberi nilai-nilai yang
positif dalam kehidupan mereka. Bukan mengasuh dengan cara paksaan,
melainkan dengan memperhatikan dan menuntun atau mengarahkan agar anak
didik bebas untuk mengembangkan diri, supaya semua peserta didik dapat
merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaganya. Karena pendidikan bertujuan
untuk memanusiakan (memerdekakan) manusia. Dan pendidikan yang diinginkan
oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang
mencerminkan budaya bangsanya sendiri agar menjadi manusia yang mandiri dan
tidak
bergantung
pada
orang
lain.
i
ABSTRACT
Agus Setiawan 1112011000056. “The Role of Teachers According to
Perpective of Ki Hadjar Dewantara”.
The purpose of this study is to provide insight to educators especially teachers
how the role of good teachers by Ki Hadjar Dewantara, and to provide insight to
the teachers how Ki Hadjar Dewantara’s perspective on education.
This study includes qualitative research. The data in this study is the
technique of content analysis. Content analysis is intended to dissect the role of
educators in the perspective of Ki Hadjar Dewantara contained in the thoughts and
ideas that he later presented in descriptive form.
The results of this study indicate that Educators should be role models for
their students and can direct and guide it right without any coercion potential of
the learners so that they become a man of independent inner, mind, and energy
and education, they can become useful human for the homeland, nation and
religion, so that it can raise the degree of his country. Ki Hadjar Dewantara on the
thinking about the role of the teacher is actually reflected on some of his ideas in
education, such as ing sung ngarso tulodo (when in front to give an example),
madyo ing Mangun Karso (if in the middle of passion), tut wuri Handayani (if in
the back of encouragement). Lastly is momong, among, ngemong, which means
that teachers can educate students by way of parenting by giving positive values
in their lives. And not caring by coercion, but by observing and guided or directed
that their students are free to develop itself respectively. And so that all learners
are able to free his mind, his thoughts, his strength also. Because education is
supposed to humanize (liberating) human. And education desired by the father of
our national education Ki Hadjar Dewantara namely education that reflects the
culture of its own people in order to be a man who is independent and not rely on
others.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT
yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat
kesehatan yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta seluruh keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang senantiasa
mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama
Islam. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan hambatan dalam
penulisan skripsi. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
menulis. Namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan
tersebut dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungannya baik secara moril dan materil, sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, sebagai Ketua Jurusan Pendidikan
Agama IsIam (PAI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu
memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama
penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.
3. Marhamah
Saleh,
Lc.,
M.A,
sebagai
Sekretaris
Jurusan
PAI
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memberikan
bimbingan dan dukungan kepada penulis untuk segera merampungkan
skripsi.
4. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum, sebagai dosen pembimbing dengan penuh
kesabaran dan keikhlasannya telah membimbing, memberikan saran dan
iii
masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kemudahan pembuatan
surat-surat serta sertifikat.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur
yang dibutuhkan.
7. Orang tua tercinta, Bapak Warsito, dan Ibu Subtiah yang tidak henti-hentinya
mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan
materil kepada penulis. Serta adik saya Rifqi Maulaaya Ramadhan yang terus
memberikan semangat untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Annisa Nur Utami yang tidak hentinya memberikan dukungan dan semangat,
serta bantuan yang sangat berarti kepada penulis dalam menyusun skripsi.
9. Sahabat seperjuangan penulis, Abdul Fattah, Afrizal Haqqul Yaqqin, Ahmad
Ray Fuad Zeins, Jeis Adli Ribhan, dan M. Dhiya Habibi yang memberikan
dukungan motivasi dan doa serta menemani mengisi hari-hari yang telah
dilalui penulis.
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012
khususnya Sahabat-sahabat PAI B 2012, atas kebersamaan dan bantuan yang
sangat berarti bagi penulis selama masa perkuliahan.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat berdoa mudah-mudahan
bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan
menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat.
Amin yaa robbal ‘alamin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif, namun
dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat
iv
untuk semua pihak, minimal bagi penulis sendiri. Akhirnya hanya kepada Allah
jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallahu A’lam Bishawab.
Ciputat, 6 Februari 2017
Agus Setiawan
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 5
C. Batasan Masalah .................................................................................. 5
D. Perumusan Masalah ............................................................................ 6
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Peran ................................................................................. 8
B. Pengertian Pendidikan ........................................................................ 9
C. Pendidik (Guru) ................................................................................. 12
1. Pengertian Guru ............................................................................ 12
2. Hakikat dan Ciri Pendidik (Guru) .............................................. 13
3. Kode Etik Guru ............................................................................. 15
4. Kompetensi Guru .......................................................................... 16
5. Sikap Profesional Guru ................................................................ 22
D. Guru dalam Pandangan Islam ......................................................... 27
E. Hasil Penilitian yang Relevan ........................................................... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ............................................................ 36
B. Metode Penelitian .............................................................................. 36
C. Fokus Penelitian ................................................................................. 37
vi
D. Prosedur Penelitian ........................................................................... 37
E. Sumber Data ...................................................................................... 38
F. Analisis Data ...................................................................................... 39
G. Teknik Penulisan ............................................................................... 40
BAB IV PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG GURU
A. Biografi Ki Hadjar Dewantara ......................................................... 41
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara ........................................ 41
2. Pendidikan yang Pernah Ditempuh Ki Hadjar Dewantara ...... 44
3. Sekolah Perguruan Taman Siswa ................................................ 45
4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara ........................................... 48
B. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan .................. 49
C. Metode Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ..................................... 56
D. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Guru di Indonesia ...... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 67
B. Saran ................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu
bangsa. Ibarat investasi yang menghasilkan sesuatu, pendidikan pun
merupakan kegiatan menginvestasikan manusia dalam jangka waktu yang
sangat panjang (human capital).1 Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama dari
segala pihak untuk menjadikan pendidikan yang bermutu. Tidak mudah
memang merealisasikannya di negara yang amat kaya ini. Akan tetapi jika
melihat dari para pejuang pendidikan terdahulu seperti R.A. Kartini yang
dengan gigih memperjuangkan emansipasi wanita agar mendapatkan
pendidikan dengan semboyannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dan Ki
Hadjar Dewantara yang pantang menyerah dengan semboyan “Tut Wuri
Handayani” dan mendirikan sebuah perguruan pendidikan dengan nama
Taman Siswa, membuktikan bahwa pendidikan begitu amat penting.
Dalam proses pendidikan formal dan non formal, pendidik memegang
peran yang sangat penting dan menentukan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pendidik merupakan orang dewasa baik secara kodrati (orang tua) maupun
secara profesi (menjadi pendidik karena tugas jabatan) bertanggung jawab
dalam menumbuhkembangkan anak didik.2 Pada pendidikan formal, pendidik
lebih dikenal dengan sebutan guru. Sesuai dengan istilah jawa, guru “digugu
dan ditiru”. Falsafah ini menegaskan, tugas guru adalah memberi ilmu yang
diterima oleh peserta didik. Selain itu, pembimbing dan pengarah peserta
didik agar mengembangkan potensinya serta pemberi contoh bagi peserta
didik.
Guru termasuk orang yang menjadi penentu keberhasilan atau prestasi
yang akan diraih oleh peserta didik baik secara akademik maupun secara sikap.
1
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 18.
2
Uyoh Sadulloh, dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 128.
1
2
Dalam bidang akademik, guru harus memiliki pengetahuan yang luas agar
menjadi pemicu peserta didik untuk meningkatkan prestasinya. Sedangkan
secara sikap, guru dituntut memiliki sopan santun, akhlak yang baik, kepatuhan
dalam beribadah, dan sebagainya, agar dapat menjadi tauladan bagi peserta
didik. Tugas guru bukan hanya menyampaikan suatu pelajaran atau materi saja,
melainkan berperilaku yang baik agar peserta didik dapat mencontoh perilaku
guru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seorang
guru berperilaku yang tidak baik di kesehariannya, maka bukan tidak mungkin
peserta didik akan mencontoh apa yang dilakukan oleh guru, karena itu adalah
sebagian dari pendidikan secara tidak langsung dari sang guru.
Belajar dari kisah yang dialami Jepang, ketika kota Hiroshima dan
Nagasaki dibom oleh Sekutu, sang prajurit melapor kepada pimpinannya. Hal
yang pertama kali ditanyakan oleh pimpinan negara tersebut adalah berapa
orang guru yang selamat. Baginya, begitu pentingnya peran guru bagi
kemajuan negaranya kelak. Dewasa ini, jika melihat dari fenomena yang ada,
banyak sekali polemik yang terjadi pada pendidikan Indonesia. Seperti halnya
yang marak dibicarakan akhir-akhir ini, misalnya: kurangnya guru profesional,
minimya guru yang memahami hakekatnya sebagai guru, soal UN yang bocor,
hingga pengulangan Ujian Nasional karena mengalami kebocoran seperti yang
terjadi tahun lalu. Entah siapa yang pantas dan harus disalahkan pada polemik
kali ini, yang jelas itu semua tidak terlepas dari peran pendidik dalam
pembelajaran. Pendidiklah yang setiap hari bertatap muka dengan dan
mengetahui perkembangan apa saja yang dialami peserta didik.
Ada banyak sekali tokoh pendidikan di Indoneisa. Akan tetapi Bapak
Pendidikan Nasional yang sudah kita kenal dan paling kita kenang, adalah Ki
Hadjar Dewantara. Salah satu filosofi beliau dalam dunia pendidikan adalah
sebuah semboyan yang berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi teladan, di tengah
memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Maksudnya ialah bahwa
seorang pendidik haruslah menjadi teladan bagi para peserta didik, menjadi
pembimbing yang baik, dan juga dapat mendorong dalam arti mensupport
3
peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama.
Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah R.M. Suwardi Suryaningrat. Ia
seorang putera keturunan bangsawan. Ia dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889
(yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional) di Yogyakarta
sebagai cucu dari Sri Paku Alam Ke III, anak dari Pangeran Suryaningrat,
putera sulung dari permaisuri dan Sri Paku Alam ke III tersebut.3 Suwardi yang
sejak berusia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, sampai
akhir hayatnya menjadi pemimpin Umum Persatuan dan Perguruan Taman
Siswa.4
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Adapun pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.5 Mendidik adalah menuntun atau mengarahkan peserta
didik agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan mencapai tujuannya
menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Peran guru yang
diinginkan oleh beliau ialah seorang guru menjadi teladan bagi anak didiknya
lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan,
dan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada Undang-Undang Guru dan
Dosen nomor 14 tahun 2005 bahwa pendidik profesional dengan tugas utama:
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan
menegah.6 Artinya tugas seorang guru bukan hanya mengajar dan mendidik
peserta didiknya, akan tetapi juga harus membimbing dan mengarahkan
mereka kepada jalan yang benar, melatih kemampuan mereka agar dapat
3
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, (Jakarta:
PT. Gunung Agung, 1980), h. 3.
4
ibid., h. 4.
5
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
2011), cet. 4, h. 20.
6
Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4
mengembangkan potensinya, dan dapat menilai dan mengevaluasi hasil belajar
dan tingkah laku mereka selama di sekolah.
Jika dilihat dari sisi pendidik zaman sekarang, banyak pendidik yang
kurang menyadari hakekat dan perannya sebagai pendidik. Banyak dari mereka
yang menganggap menjadi guru adalah pekerjaan semata, hanya untuk
mengajar dan menyampaikan pelajaran kepada peserta didiknya. Tidak sedikit
dari mereka yang seperti acuh tak acuh kepada tingkah laku anak didiknya baik
di dalam maupun di luar sekolah. Sehingga hal ini berdampak pada sikap atau
perilaku siswanya di lingkungan mereka, terbukti dengan masih maraknya
siswa yang tawuran, karakter siswa yang kurang baik, banyaknya siswa yang
sudah bersifat hedonisme, dan sebagainya. Padahal, peran pendidik sangat
dibutuhkan.
Tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3
menyebutkan,
bahwa
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dengan demikian, tujuan tersebut wajib dilaksanakan
oleh guru di sekolah. Guru menjadi eksekutor dalam pendidikan di sekolah
kepada para peserta didiknya.
Proses pendidikan yang akan didapatkan peserta didik haruslah melalui
guru yang kompeten, yaitu guru yang memiliki kompetensi untuk mengajar
dan mendidik. Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang dapat diwujudkan dalam
hasil kerja nyata yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. 7 Adapun
kompetensi guru merupakan penguasaan kemampuan yang harus ada dalam
7
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar
Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 29.
5
diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.8
Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan guru, pelatihan, maupun
belajar mandiri atau otodidak dengan memanfaatkan sumber belajar yang
tersedia.
Kompetensi yang harus dimiliki setiap guru yaitu: kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagodik merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki guru
yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar. Lalu kompetensi
kepribadian berkaitan dengan tingkat laku pribadi guru itu sendiri yang kelak
harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.9
Selanjutnya kompetensi sosial merupakan kompetensi yang berhubungan
dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk
sosial. Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan dengan
penyelesaian tugas-tugas keguruan. Keempat kompetensi tersebut sesuasi
dengan apa yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara terhadap guru dalam
melaksanakan tugasnya.
Dari semua pemaparan di atas telah jelas, seberapa pentingnya peran para
guru dalam pendidikan. Dengan memahami peran dirinya sebagai pendidik,
dengan melihat dan mendalami perjuangan tokoh pendidikan pada masa
perjuangan dahulu, maka para guru dapat meneruskan perjuangan para
pahlawan, khususnya yang berjuang di bidang pendidikan dan membantu
memajukan bangsa. Oleh karna itu, setiap pendidik haruslah memahami dan
mengerti bagaimana peran dan hakekat pendidik dalam hal ini adalah guru,
sehingga menjadi pendidik yang profesional yang diharapkan oleh para
pendahulunya. Dengan menjelaskan semua hal tersebut, penulis membuat
skripsi berjudul: Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar Dewantara.
8
Kusnandar, Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 55.
9
Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2011), cet. 3, h. 42.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dijelaskan, maka dalam hal ini
diperoleh beberapa masalah di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Masih terdapat guru yang kurang sadar dalam memahami peran dirinya di
dunia pendidikan;
2. Masih adanya guru yang belum memaknai dan meresapi pandangan Ki
Hadjar Dewantara tentang peran seorang guru dalam dunia pendidikan.
3. Adanya pendidik yang belum mengaplikasikan perannya sebagai guru
sebagaimana yang diinginkan atau dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
C. Batasan Masalah
Dari semua persoalan yang telah diidentifikasi di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini dibatasi pada peran pendidik, dalam hal ini yaitu peran
guru, yang berkaitan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam skripsi ini adalah: “Bagaimana peran guru menurut perspektif
Ki Hadjar Dewantara”.
E. Tujuan Penelitian
Setiap karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu
juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan permasalahan-permasalahan
yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang diharapkan tercapai dari
skripsi ini adalah untuk mengetahui peran guru menurut perspektif Ki Hadjar
Dewantara
7
F. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini penulis berharap dapat:
1. Secara
teoritis,
khazanah
intelektual
yang
sesuai
dengan
pertanggungjawaban ilmiah bagi mahasiswa;
2. Secara praktis:
a. Bagi penulis, memberikan motivasi untuk penulis agar terus belajar lebih
banyak serta dapat memperoleh pengalaman langsung dalam mengenal,
mempelajari, menghargai jasa pahlawan di bidang pendidikan khususnya
Ki Hadjar Dewantara.
b. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk
meneliti dan mengkaji lebih lanjut terkait peran guru menurut perspektif
Ki Hadjar Dewantara.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Peran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah “perangkat tingkah
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.1
Peran tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya
berbeda akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya,
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran dan status
bisa diibaratkan seperti dua sisi mata dari satu mata uang yang sama, dan
kelekatannya sengat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki
peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat,
walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang dengan orang lain, akan
tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya.
Sedangkan menurut Wahjosumijo, peran adalah “sejumlah tanggung jawab
atau tugas yang dibebankan dan harus dilaksanakan oleh seseorang”.2
Selanjutnya, Soerjono Soekanti mengatakan, “peranan (role) merupakan aspek
dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan”.3
Sarlito Wirawan Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa
harapan tentang status adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya
tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 854.
2
Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
155.
3
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 210.
8
9
seseorang yang mempunyai peran tertentu.4 Demikianlah hubungan antara
status dan peran.
Dikutip oleh Soleman B. Toneko dari pendapat Koentjaraningrat tentang
peran, ia mengatakan, “adapun segala cara berlaku dari individu-individu untuk
memenuhi kewajiban dan untuk mendapatkan hak-hak tadi, merupakan aspek
dinamis dari status atau kedudukan. Cara-cara berlaku itu disebut peranan,
yang dalam bahasa asingnya disebut role.5
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat diartikan bahwa yang
dimaksud dengan peran adalah perilaku, sikap, kewajiban untuk mendapatkan
hak-haknya yang khusus, yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu
status tertentu dalam masyarakat.
B. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie, yang
berarti “pendidikan”, orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam
pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos, Istilah ini
berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).6
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia memerlukan
pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut
akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan
secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.7
Dalam GBHN Tahun 1973 dikemukakan pengertian pendidikan, bahwa
“pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk
4
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h.
235.
5
Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 88.
6
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17.
7
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 28.
10
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di
dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup”.8
Beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut:
1. M. Ngalim Purwanto: pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan
rohaninya ke arah kedewasaan.9
2. M. Alisuf Sabri: pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk
membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak atau
peserta didik secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan.10
3. Hasbullah: dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Istilah pendidikan atau peadagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan secara sengaja oleh orang
dewasa kepada anak-anak agar menjadi dewasa.11
4. Nurani Soyomukti: pendidikan adalah segala suatu dalam kehidupan yang
memengaruhi pembentukan berfikir dan bertindak individu. Kurun waktu
kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan perubahan-perubahan
cara berfikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.12
5. Syaiful Sagala: pendidikan itu dapat dipahami sebagai proses melatih
peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan melalui sejumlah
pengalaman belajar sesuai bidangnya dan pikiran, sehingga peserta didik
memilliki karakter unggul menjunjung tinggi nilai etis dalam berinteraksi
dengan masyarakat sebagai bagian dari pengabdiannya dan dalam
memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya. Fungsi utama
8
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 5.
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 11.
10
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 7.
11
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 1.
12
Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 29.
9
11
pendidikan memberikan layanan akademik melalui proses ketatalaksanaan
pendidikan yang dipandu oleh kaidah atau aturan yang berlaku.13
Sejalan dengan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, ada
yang berpendapat bahwa dalam pengertian pendidikan itu harus terkandung
hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Bahwa pendidikan itu tidak lain merupakan usaha dari manusia.
b. Bahwa usaha itu dilakukan dangan sengaja atau secara sadar.
c. Bahwa usahanya itu dilakukan oleh orang-orang yang merasa bertanggung
jawab kepada masa depan anak.
d. Bahwa usahanya berupa bantuan atau bimbingan rohani dan dilakukan
secara teratur dan sistematis.
e. Bahwa yang menjadi objek pendidikan itu adalah anak/peserta didik yang
masih
dalam
pertumbuhan/perkembangan
atau
masih
memerlukan
pendidikan.
f. Bahwa batas/sasaran akhir pendidikan adalah tingkat dewasa atau
kedewasaan.14
Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan
nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar
nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab atas tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaannya.15
Pendidikan dalam sejarah peradaban manusia adalah salah satu komponen
kehidupan yang paling urgen. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan
semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di
muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, kita mendapatkan
bahwa pendidikan telah berproses semenjak Allah menciptakan manusia
13
Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 43.
14
M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 7.
15
Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2003), h. 5.
12
pertama, Adam yang berada di surga, di mana Dia mengajarkan nama-nama
yang para malaikat sendiri pun sama sekali belum mengenalinya.16
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
suatu tuntunan atau bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang
kepada orang yang lain. Dan tuntutan atau bimbingan itu harus dapat
mengarahkan
potensi-potensi yang dimiliki oleh anak didik yang bersifat
menumbuhkan serta mengembangkan baik jasmani maupun rohaninya masingmasing.
C. Pendidik (Guru)
1. Pengertian Guru
Pendidik dapat diartikan secara luas dan sempit. Pendidik secara luas
adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Pendidik
secara arti sempit adalah orang-orang yang telah disiapkan secara sengaja
untuk menjadi guru dan dosen.17 Hal ini selaras dengan Undang-Undang
yang menyatakan, bahwa pendidik merupakan orang yang memiliki tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan
menegah.18
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidik merupakan orang
yang berperan penting dalam pendidikan yang bertugas mendidik, mengajar
dan bertangung jawab atas keberhasilan peserta didik. Di Indonesia pendidik
biasa dikenal dengan sebutan guru di mana guru melakukan kegiatankegiatan tersebut kepada para siswanya.
Firman Allah swt.:
‫َي ْس فَعِ ه‬
‫َّللا اله ِريْهَ آ َمىُ ْىا ِم ْى ُك ْم َواله ِريْهَ أ ُ ْوتُىا ال ِع ْل َم دَ َز َجات‬
16
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 17.
Made Pirdata, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 276.
18
Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
17
13
Artinya: “Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (dari kalangan kamu)
beberapa derajat”. (Q.S. al-Mujadalah: 11)
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung
jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab
pertama dan utama terletak pada orang tua berdasarkan pada firman Allah
seperti yang tersebut dalam al-Qur’an:
‫َازا‬
ً ‫س ُك ْم َوأ َ ْه ِل ْي ُك ْم و‬
َ ُ‫ قُ ْىا أ َ ْوف‬. . .
Artinya: “. . . Peliharalah dirimu dan anggota keluaragamu dari ancaman
neraka” (Q.S. at-Tahrim: 66)
Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik,
yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi psikomotorik, kognitif, maupun afektif. Pengaruh pendidikan di
dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar,
mendasar, mendalam. Akan tetapi, pada zaman modern ini pengaruh itu
boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif (sikap). Pengaruh
pendidikan di sekolah juga besar dan luas serta mendalam, tetapi hampirhampir hanya pada segi perkembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan
psikomotor (keterampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah
hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi, guru yang
dimaksud di sini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid
atau biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di
sekolah.19
2. Hakikat dan Ciri-Ciri Pendidik (Guru)
Sebagai profesi yang memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang
memadai, membuat pendidik memahami betul apa hakikat dirinya sebagai
19
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja
Rosydakarya, 2007), cet. 7, h. 74-75.
14
pendidik, yang dalam hal ini disebutkan sebagai guru. Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.20
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai pendidik yaitu:
a. Pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing, dan melatih;
b. Pekerjaan
kemanusiaan
dengan
fungsi
merealisasikan
seluruh
kemampuan kemanusiaan yang dimiliki;
c. Petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat
untuk menjadi warga yang lebih baik.21
Pendidik merupakan pekerjaan yang profesional dan tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang. Maka dari itu, pendidik memiliki ciri-ciri
yang menunjukkan identitas dirinya yang dikemukakan oleh Robert W.
Richey (1974) dalam buku Djaman Satori, yaitu:
a. Para guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan
kemanusiaan dari pada mementingkan kepentingan pribadi
b. Para guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan
untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk
menjadi organisasi guru;
c. Para guru dituntut untuk memiliki pengalaman dan keterampilan yang
tinggi dalam hal bahan mengajar, metode, anak didik, dan landasan
kependidikan;
d. Para guru dalam organisasi profesional memiliki publikasi profesional
yang dapat melayani guru;
e. Para guru diusahakan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan untuk
mengembangkan kompetensinya;
20
21
Kusnandar, op. cit., h. 54.
Aan Hasanah, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 23.
15
f. Para guru diakui sebagai sebuah profesi;
g. Para guru memiliki kode etiknya tersendiri.22
Dengan demikian, hakikat dan ciri-ciri guru tidak dapat dipisahkan dari
diri seorang guru. Dengan hakikat, guru memahami dan memaknai tugasnya
dengan tepat. Dengan ciri-cirinya, guru memahami apa yang seharusnya ia
lakukan.
3. Kode Etik Guru
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada
umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UndangUndang 1945 turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indoenesia 17 Agustus 1945. Oleh karena itu guru
Indonesia
terpanggil
untuk
menunaikan
karya-karyanya
dengan
memedomani kode etik sebagai berikut:
a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila
b. Guru memiliki dan melaksanakan kejuruan profesional
c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukan bimbingan dan pembinaan
d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang
keberhasilan proses belajar mengajar
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitar untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama
terhadap pendidikan
f. Guru secara pribadi dan sama-sama megembangkan dan meningkatkan
mutu martabat profesinya
22
Djaman Satori, dkk., Profesi Keguruan, (Jakarta: Kotak Pos, 2005), h. 120.
16
g. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial;
h. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
i. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan. 23
Kode etik seorang guru menjadi norma, aturan, dan landasan dalam
melakukan suatu kegiatan, baik itu kegiatan dengan lembaga pendidikan,
peserta didik, orang tua, masyarakat hingga lingkungan sekitar.
4. Kompetensi Guru
Kompetensi adalah kumpulan pengetahuan, perilaku, dan keterampilan
yang harus dimiliki guru untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
pendidikan. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan
belajar mandiri dengan memanfaatkan sumber belajar.24 Pengertian tersebut
menjelaskan bahwa kompetensi merupakan segala aspek yang harus dimiliki
guru agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Usman (2005) dalam
Kusnandar menyatakan bahwa kompetensi, adalah “sesuatu hal yang
menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif
maupun yang kuantitatif”.25
Penulis sependapat dengan pengertian di atas, bahwa kompetensi
merupakan seluruh kemampuan yang harus dimiliki seseorang baik berupa
pengetahuan, perilaku maupun keterampilan yang diwujudkan melalui kerja
nyata (tindakan) agar dapat mencapai tujuan.
23
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruaan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), h. 34.
Jejen Musfah, op.cit., h. 27.
25
Kusnandar, op. cit., h. 51.
24
17
Kompetensi guru ialah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki guru
untuk mencapai tingkatan guru profesional.26 Mulyasa dalam Jejen Musfah
menyatakan, “kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan
personal, teknologi, sosial, dan spriritual yang secara kafah membentuk
kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi,
pemahaman
terhadap
peserta
didik,
pembelajaran
yang mendidik,
pengembangan pribadi dan profesionalitas”.27
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa kompetensi guru merupakan
kemampuan yang harus dimiliki guru baik berupa kemampuan teknologi,
sosial, dan spiritual untuk menjadi guru profesional yang dapat mewujudkan
kinerjanya secara tepat dan efektif.
Guru memiliki wewenang untuk melakukan reformasi kelas (classroom
reform) dalam rangka melakukan perubahan perilaku peserta didik secara
berkelanjutan yang sejalan dengan tugas perkembangannya dan tuntutan
lingkungan di sekitar. Guru sebagai arsitek perubahan perilaku peserta didik
dan sekaligus sebagai model panutan para peserta didik dituntut memiliki
kompetensi paripurna.28
Pendidik atau guru merupakan sebuah profesi, maka dibutuhkan
kompetensi yang menunjang profesionalitasnya. Untuk menjadi seorang
guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi utama yaitu:
pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
a. Kompetensi Pedagogik
Pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang
lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif antara pendidik dengan siswa.
26
Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, op. cit., h. 31.
Jejen Musfah, op. cit., h. 27.
28
Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2012), cet. 33, h. 103.
27
18
Sedangkan kompetensi pedagogik adalah sejumlah kemampuan guru
yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar siswa.29
Kompetensi ini terdiri atas lima subkompetensi, yaitu: memahami
peserta didik secara mendalam; merancang pembelajaran, termasuk
memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran;
melaksanakan pembelajaran; merancang dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran;
dan
mengembangkan
mengaktualisasikan berbagai kompetensi.
peserta
didik
untuk
30
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kompetensi pedagogik
merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki guru yang berkaitan
dengan kemampuan guru dalam mengajar. Kegiatan dalam kompetensi
ini merupakan hal-hal yang harus dilakukan guru dalam memahami apa
yang akan diajarkan. Melakukan pembelajaran hingga mengevaluasi juga
merupakan kemampuan yang harus dilakukan guru dalam memenuhi
kompetensi pedagogik.
Badan Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah: kemampuan dalam
pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau
landasan kependidikan; (b) pemahaman tentang peserta didik; (c)
pengembangan kurikulum atau silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e)
pelaksanaan pembelajaraan yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil
belajar; (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.31
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
pedagogik meliputi pemahaman tentang konsep pendidikan dan
bagaimana fungsi lembaga pendidikan dan seorang pendidik agar dapat
memahami dan sepenuhnya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
setiap individu peserta didik yang ada di lingkungan sekolah. Memahami
29
30
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 33.
Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2013),
h. 22.
31
Jejen Musfah, op. cit., h. 30-31.
19
tentang perangkat pembelajaran yang meliputi pengembangan silabus,
RPP, cara mengajar hingga mengevaluasi.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan
tingkah laku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai
luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.32 Kompetensi ini
terdiri dari lima subkompetensi, yaitu kepribadian yang mantap dan
stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan berakhlak mulia.33
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal.
Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan
(yang harus di-gugu dan di-tiru). Sebagai seorang model guru harus
memiliki
kompetensi
yang
berhubungan
dengan
pengembangan
kepribadian (personal competencies), di antaranya:
1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama
sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama
3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan
sistem nilai yang berlaku di masyarakat.
4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya
sopan santun dan tata krama.
5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik. 34
Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi yang melihat pada
pribadi seorang guru. Idealnya, seorang guru harus memiliki kepribadian
yang baik sehingga dapat menjadi contoh dan panutan bagi orang
sekitarnya, baik itu peserta didik bahkan masyarakat.
32
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 42.
Sudarwan Danim, op. cit, h. 23.
34
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. 3, h. 145.
33
20
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, pada pasal 28 ayat 3, ialah kemampuan pendidik sebagai bagian
dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul ecara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik dan masyarakat sekitar.35
Kompetensi tersebut berhubungan dengan kemampuan guru sebagai
anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial. kompetensi ini
berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan
sebagai makhluk sosial, meliputi:
1) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman
sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
2) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap
lembaga kemasyarakatan.
3) Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun
secara kelompok.
Kompetensi sosial memiliki tiga sub ranah. Pertama, mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Sub
kompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif
dengan peserta didik. Kedua, mampu berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. Ketiga, mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta
didik dan masyarakat sekitar.36
Dalam kompetensi sosial, guru dituntut dapat berinteraksi dengan
baik, komunikatif dan interaktif dengan orang-orang yang dijumpainya
baik di linkungan rumah, sekolah maupun masyarakat.
35
36
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 63.
ibid, h. 24.
21
d. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan
dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan
kompetensi yang sangat penting, karena langsung berhubungan dengan
kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang
guru dapat dilihat dari kompetensi ini, di antaranya:
1) Kemampuan untuk menguasai landansan kependidikan, misalnya
paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional,
tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran.
2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham
tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori
belajar, dan lain sebagainya.
3) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang
studi yang diajarkan.
4) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi
pembelajaran.
5) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan
sumber belajar.
6) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
7) Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
8) Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya
paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
9) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk
meningkatkan kinerja.37
Kompetensi profesional terdiri dari dua ranah sub kompetensi.
Pertama, sub kompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait
dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar
yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan
metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan bahan ajar;
memahami
37
hubungan
konsep
Wina Sanjaya, op. cit., h. 145-146.
antarmata
pelajaran
terkait;
dan
22
menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, sub kompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan,
memiliki indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan
kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.38
Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang mengharuskan
guru memahami betul segala sesuatu di sekolah. Memahami kurikulum
sekolah, keadaan fisik dan psikis siswanya, kemampuan menguasai
berbagai ilmu pengetahuan dan dapat merelevansikannya dengan
kehidupan nyata.
5. Sikap Profesional Guru
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di
masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak
menjadi panutan atau teladan masyarakat. Masyarakat terutama akan melihat
bagaimana sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah memang patut
diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya,
meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak
didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara
bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat,
sering menjadi perhatian masyarakat luas.39
a. Sikap Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ialah segala
peraturan-peraturan pelaksanaan baik dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, di pusat maupun di daerah, maupun
departemen lain dalam rangka pembinaan pendidikan di negara kita.
Sebagai contoh, peraturan tentang (berlakunya) kurikulum sekolah
tertentu, pembebasan uang sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP),
38
39
ibid, h. 24.
Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 42-43.
23
ketentuan tentang penerimaan murid baru, penyelenggaraan evaluasi
belajar tahan akhir (EBTA), dan lain sebagainya.40
Untuk menjaga agar guru Indonesia tetap melaksanakan ketentuanketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan, kode etik guru Indonesia mengatur hal tersebut. Seperti yang
tertera dalam dasar kesembilan dari kode etik guru, dasar ini juga
menunjukkan bahwa guru Indonesia harus tunduk dan taat kepada
pemerintah Indonesia, tidak mendapat pengaruh yang negatif dari pihak
luar yang ingin memaksakan idenya melalui dunia pendidikan. Dengan
demikian, setiap guru Indonesia wajib tunduk dan taat kepada segala
ketentuan-ketentuan pemerintah. Dalam bidang pendidikan ia harus taat
kepada kebijaksanaan dan peraturan, baik yang dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun departemen lain yang
berwenang mengatur pendidikan, di pusat dan di daerah dalam rangka
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan di Indonesia.
b. Sikap Terhadap Oraganisasi Profesi
Oraganisasi
PGRI
merupakan
suatu
sistem
dimana
unsur
pembentuknya adalah guru. Oleh karena itu, guru harus bertindak sesuai
dengan tujuan sistem. Ada hubungan timbal balik antara profesi dengan
organisasi,
baik
dalan
melaksanakan
kewajiban
maupun
dalam
mendapatkan hak.41
Usaha peningkatan dan pengembangan mutu profesi dapat dilakukan
secara perseorangan oleh para anggotanya, ataupun juga dapat dilakukan
secara bersama. Lamanya program peningkatan pembinaan itu pun
beragam
sesuai
dengan
yang
diperlukan.
Secara
perseorangan,
peningkatan mutu profesi seorang guru dapat dilakukan baik secara
formal maupun secara informal. Peningkatan secara formal merupakan
peningkatan mutu melalui pendidikan dalam berbagai kursus, sekolah,
maupun kuliah di perguruan tinggi atau lembaga lain yang berhubungan
40
41
ibid., h. 44.
ibid., h. 45.
24
dengan bidang profesi. Di samping itu, secara informal guru dapat saja
meningkatkan mutu profesinya dengan mendapatkan informasi dari
media massa (surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain) atau dari
buku-buku yang sesuai dengan bidang profesi yang bersangkutan.
c. Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam hal ini kode etik guru Indonesia menunjukkan kepada kita
betapa pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan
mewujudkan perasan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota
profesi. Hubungan sesama anggota profesi dapat dilihat dari dua segi,
yakni hubungan formal dan hubungan kekeluargaan.
Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka
melakukan tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah
hubungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan dalam rangka
menunjang tercapainya keberhasilan anggota profesi dalam membawakan
misalnya sebagai pendidik bangsa.42
Sejatinya manusia tidak bisa lepas dari pertolongan orang lain.
Begitu pula dengan guru. Agar dapat mencapai keberhasilan dalam
menjalankan tugas sebagai seorang guru, oleh karenanya dibutuhkan
hubungan yang baik dengan teman sejawat, baik yang sifatnya resmi
maupun tidak.
d. Sikap Terhadap Anak Didik
Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik memandang manusia
sebagai kesatuan yang bulat, utuh baik jasmani maupun rohani, tidak
hanya berilmu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Guru dalam
mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau
perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial,
maupun yang lainnya sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan
agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang
mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan. Peserta didik
42
ibid., h. 47.
25
tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada
kehendak dan kemauan guru.43
Dalam berperilaku terhadap siswa, guru seharusnya memperlakukan
peserta didik bukan sebagai objek yang harus menerima apapun yang
disampaikan guru. Guru seharusnya memperlakukan siswa sebagai subjek
yang sama-sama dapat berfikir dan berkembang sehingga dapat
bekerjasama dalam mencapai suatu ilmu pengetahuan.
e. Sikap Terhadap Tempat Kerja
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di
tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan
sebaik-baiknya oleh setiap guru, dan guru berkewajiban menciptakan
suasana yang demikian dalam lingkungannya. Untuk menciptakan
suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
guru sendiri dan hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat
sekeliling.
Guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik dengan berbagai
cara, baik dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai, maupun
dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta peraturan organisasi
kelas yang mantap, ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan.44
Suasana kerja memang mendukung tingkat produktivitas seseorang
dalam bekerja begitu pula dengan guru. Dalam bekerja guru tentu dapat
menciptakan suasana yang senyaman mungkin baik di lingkungan
sekolah pada umumnya dan di dalam kelas pada khususnya. Guru dapat
membangun komunikasi yang baik dan positif dengan semua insan
sekolah sehingga tercipta suasana yang demikian pula. Di dalam kelas
guru dapat merevormasi kelas sedemikian rupa agar suasana kelas
nyaman dan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
43
44
ibid., h. 50.
ibid., h. 50-51.
26
f. Sikap Terhadap Pemimpin
Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru
maupun organisasi yang lebih besar (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan
pihak atasan.
Sudah jelas bahwa pemimpin suatu unit atau organisasi akan
mempunyai kebijaksanaan dan arahan memimpin organisasinya, di mana
tiap anggota organisasi dituntut berusaha untuk bekerja sama dalam
melaksanakan tujuan oraganisasi tersebut. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif,
dalam pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program yang
sudah disepakati, baik di sekolah maupun di luar sekolah.45
Tentu saja, agar tujuan organisasi tercapai perlu adanya kerjasama
antar anggota dalam mewujudkannya. Sekolah, dalam hal ini dipimpin
oleh kepala sekolah yang mana biasanya akan ada pergantian kepala
sekolah secara berkala, hal ini akan menyebabkan penyusuaian terus
menerus terhadap kepala sekolah dan kepemimpinannya. Semua anggota
organisasi baik kepala sekolah dan guru harus tetap bersinergi dan fokus
dengan ketercapaian tujuan sekolah, meskipun mungkin akan ada gaya
kepemimpinan yang berbeda dari setiap kepala sekolah yang ditugaskan.
g. Sikap Terhadap Pekerjaan
Guru dituntut baik secara pribadi maupun secara kelompok, untuk
selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Guru sebagaimana
juga dengan profesi lainnya, tidak mungkin dapat meningkatkan mutu
dan martabat profesinya bila guru tidak meningkatkan atau menambah
pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut, karena ilmu dan
pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai
dengan kemajuan zaman.
45
ibid., h. 52.
27
Untuk meningkatkan mutu profesi, guru dapat melakukannya secara
formal maupun informal. Secara formal, artinya guru mengikuti berbagai
pendidikan lanjutan atau kursus yang sesuai dengan bidang tugas,
keinginan, waktu, dan kemampuannya. Secara informal guru dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui media massa
seperti televisi, radio, majalah, ilmiah, koran, dan sebagainya, ataupun
membaca buku teks dan pengetahuan lainnya yang cocok dengan bidang
yang diampu.46
Menjadi guru bukan hanya mengajar tapi juga belajar. Belajar karena
setiap peserta didik memiliki potensinya masing-masing. Belajar karena
setiap peserta didik hidup di zaman yang berbeda dengan yang dialami
guru. Belajar karena lingkungan dan pola pikir yang kian berkembang.
Jika seorang guru tidak mau belajar, maka ia akan menjalankan
profesinya dengan apa adanya.
D. Guru dalam Pandangan Islam
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan ustadz,
murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Menurut peristilahan
mempunyai tempat tersendiri dan tugas masing-masing.
Ustadz, biasa digunakan untuk memanggil professor. Murabbi, berasal dari
kata rabb. Tuhan adalah sebagai rabb al-amin dan rab al-nas yakni yang
menciptakan, mengatur, memelihara alam seisinya termasuk manusia.
Mu’allim, berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu.
Mu’addib, berasal dari kata adab yang berarti moral, etika dan adab. Mudarris,
dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusan yang berarti terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih mempelajari. Mursyid, bisa
digunakan untuk guru dalam tariqah (tasawuf).47
46
ibid., h. 53-54.
Sungkring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h. 19.
47
28
Karakteristik dan tugas pendidik dalam pendidikan Islam dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Ustadz adalah seorang guru yang dituntut untuk komitmen terhadap
profesionalisme dalam mengemban tugas.
2. Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam
sekitar.
3. Mu’allim
adalah
orang
yang
menguasai
ilmu
dan
mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer
ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi.
4. Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa
depan.
5. Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi
serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan,
dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan
mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuan.
6. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi
diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.48
Pada intinya dari keenam istilah-istilah pendidik (guru) dalam Islam
memiliki tugas yang hampir sama, yaitu mendidik, mentransfer ilmu,
mengarahkan, mengembangkan potensi yang dimiliki anak didiknya, dan
menjadi teladan yang dapat dicontoh oleh peserta didik.
Ahmad Tafsir dalam Sungkring mengatakan, bahwa pendidik dalam Islam
adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta
48
ibid, h. 20
29
didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). Pendidik
berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada
peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai
tingkat
kedewasaan,
mampu
berdiri
sendiri
dan
memenuhi
tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba
dan khalifah Allah SWT, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial
dan sebagai makhluk individu yang mandiri. Jadi pendidik adalah orang
dewasa yang memberikan bimbingan, memiliki kapasitas ilmu, sehat jasmani
dan ruhani, ikhlas menjalankan perintah Allah SWT, demi pengabdian pada
bangsa dan agama.49
Jika melihat pada al-Qur’an dan al-Sunnah dijumpai pula istilah-istilah
yang merujuk kepada pengertian guru atau orang yang berilmu. Diantaranya
istilah al-alim/ulama, ulu al-ilm, ulu al-Bab, ulu al-Nuha, ulu al-Absyar,alMudzakir/Ahlu ahl Dzikr, al-Muzakki, al-Rasihun fil-Ilm dan al-Murabbi, yang
semuanya tersebar pada ayat-ayat al-Qur’an.50 Istilah yang mengacu kepada
pengertian guru dapat pula ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW. Dalam
hubungan ini dijumpai kata alim seperti dalam hadits yang artinya: Jadilah
kamu sebagai orang yang alim (berpengetahuan/guru), atau sebagai muta’allim
(orang yang mencari ilmu), atau pendengar, atau sebagai pengikut/simpatisan
setia, dan janganlah jadi orang yang kelima, yaitu orang yang tidak memilih
salah satu dari posisi tersebut.51
Ada empat hal yang berkenaan dengan guru. Pertama, seorang guru harus
memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu
menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala
ciptaan tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga ia dapat
mengarahkan hasil kerja dari kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan.
Kedua, seorang guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan
49
ibid, h. 81.
Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 43
51
ibid, h, 48
50
30
emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya,
sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah SWT.
Ketiga, seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala
perbuatan dan akhlak tercela. Keempat, seorang guru harus berfungsi sebagai
pemelihara, pembina, pengarah, pebimbing, dan pemberi bekal ilmu
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan kepada orang-orang yang
memerlukannya.52
Syaikh Ahmad al-Rifai yang dikutip oleh Sungkring mengungkapkan
bahwa seseorang dapat dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam
pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria sebagai berikut:
1. Alim, yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariah Nabi
Muhammad SAW. Sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang
komprehensif.
2. Adil, yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan
dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya
bertugas mentransformasikan ilmu kepada peserta didiknya namun juga
pendidik harus mampu menjadi contoh dari suri tauladan bagi seluruh
peserta didiknya. Dikhawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik
atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima anak didik (peserta
didik), namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung
pada kesesatan.
Penulis sependapat dengan dua krateria pendidik (guru) yang dipaparkan
oleh Syaikh Ahmad al-Rifai di atas, yaitu alim dan adil. Dua hal itu menjadi
dasarnya karena jika seorang guru bukan termasuk yang alim maka ia pun akan
kesulitan dalam mengajar karena tidak ada yang ia tahu dan bisa disampaikan
kepada peserta didik. Sedangkan adil di sini menjadikan seorang guru yang
dapat ditiru oleh peserta didiknya dan menjadi teladan bagi mereka. Jangankan
apa yang telah diajarkan oleh gurunya, bahkan yang dilihat oleh anak didik dari
gurunya akan diingat dan menjadi contoh.
52
ibid, h. 47
31
Mengenai kedudukan seorang guru dalam Islam, bahwasannya kedudukan
guru dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya.
Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain
adalah suatu pengamalan yang paling dihargai oleh Islam. Asma Hasan Fahmi
dalam Ahmad Tafsir yang mengutp kitab Ihya’ al-Ghazali, yang mengatakan
bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar maka ia sesungguhnya telah
memilih pekerjaan besar dan penting. Tingginya kedudukan guru dalam Islam
merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri.53
Secara normatif, Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap
pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan
pendidik setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul. Sebab, pendidik selalu
terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam amat menghargai
pengetahuan. Tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi
ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan orang yang memiliki ilmu, sebab
tidak dapat dibayangkan bila tidak ada pendidik di dunia ini. Dan karena Islam
adalah agama, maka pandangan tentang pendidik dan kedudukan pendidik
tidak terlepas dari nilai-nilai yang luhur. Firman Allah SWT dalam Q.S. atTaubah (9): 122.54
ُ‫طائِفَة‬
َ ‫َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمىُ ْىنَ ِليَ ْى ِف ُس ْوا َكافهةً فَلَ ْى ََل وَفَ َس ِم ْه ُك ِّل فِ ْسقَة ِم ْى ُه ْم‬
َ‫ِل َيتَفَقه ُهىا ِفي ال ِدّي ِْه َو ِليُ ْىر ُِز ْوا قَ ْى َم ُه ْم إِذَا َز َجعُ ْىا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعله ُه ْم َي ْحرَ ُز ْون‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Ayat tersebut adalah kewajiban untuk menuntut ilmu, kemudian
mengajarkannya dan memberi peringatan (pelajaran) kepada mereka yang tidak
menuntut ilmu. Islam sedemikian tinggi memberikan penghargaan kepada guru
53
54
Ahmad Tafsir, op. cit., h. 76.
Sungkring, op. cit., h. 82.
32
(pendidik), yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber
pada Tuhan. Ilmu datang dari Tuhan, ilmu tidak terpisah dari guru, maka
kedudukan pendidik amat tinggi dalam Islam.55
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu
pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Allah SWT:
. . . ‫ ََل ِع ْل َم لَىَا هإَل َما َعله ْمتَىَا‬. . .
Artinya: “... tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali Engkau ajarkan
kepada kami ...” (al-Baqarah: 32)
Dari dua kalam Ilahi yang telah disampaikan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa adanya anjuran untuk menuntut ilmu, dan kemudian
mengamalkannya serta menyampaikannya kepada orang lain sehingga menjadi
peringatan bagi orang-orang yang tidak atau malas untuk menuntut ilmu.
Seperti dalam istilah yang berbunyi “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bila
tsamarin”, yang artinya kurang lebih ialah ilmu yang tidak diamalkan seperti
pohon yang tidak berbuah. Dan istilah lainnya yaitu “utlubul ‘ilma
walaubissiin”, maksudnya adalah tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina.
Juga pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini
semuanya bersumber dari Allah SWT. Maka semua ilmu yang guru sampaikan
haruslah merujuk dari dua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’anul
Karim dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Ilmu datangnya dari Tuhan. Guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang
menembus langit ini telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu
tidak terpisah dari Allah, dan ilmu tidak terpisah dari guru. Maka kedudukan
guru amatlah tinggi dalam Islam.
Kedudukan guru yang demikian tinggi dalam Islam kelihatannya memang
berbeda dari kedudukan guru di dunia Barat. Perbedaan itu jelas karena di
Barat kedudukan itu tidak memiliki warna kelangitan. Hubungan guru dengan
murid juga berbeda. Perbedaan itu juga karena hubungan guru dengan murid di
55
Sungkring, op. cit., h. 83.
33
Barat tidak memiliki nilai kelangitan tersebut. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila di Barat guru tidak lebih dari sekedar orang yang
pengetahuannya lebih banyak daripada murid. Hubungan guru dan murid juga
tidak lebih dari sekedar hubungan pemberi dan penerima. Maka wajarlah bila
di Barat hubungan guru dan murid adalah hubungan kepentingan antara
pemberi dan penerima jasa (ilmu pengetahuan). Karena itu, hubungan juga
diikat oleh pembayaran yang dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi.
Dalam sejarahnya, hubungan guru dengan murid dalam Islam ternyata
sedikit demi sedikit telah berubah, nilai-nilai ekonomi sedikit demi sedikit
mulai masuk. Misalnya seperti:
1. Kedudukan guru dalam Islam semakin merosot.
2. Hubungan guru dan murid semakin kurang berkurang nilai luhurnya,
penghargaan (penghormatan) murid terhadap guru semakin turun.
3. Harga karya mengajar semakin tinggi.56
Memang jika dilihat fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa secara
tidak disadari budaya Barat telah masuk ke dalam dunia pendidikan. Dari
kurang ihtiramnya murid kepada gurunya, hingga perlakuan tidak terpuji yang
dilakukan oleh seorang guru pada muridnya atau sebaliknya. Juga ada pendidik
yang asal menyampaikan pelajaran di kelas, tetapi ketika di luar kelas ia seperti
lepas dari tanggung jawabnya sehingga melakukan apapun semaunya bahkan
perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang menjadi panutan
peserta didik. Karena kedudukannya sebagai guru hanya dianggap sebagai
profesi atau pekerjaan untuk mencari penghasilan. Padahal kedudukan seorang
guru lebih dari itu, lebih tinggi dari pekerjaan lainnya. Guru bukan saja ketika
di dalam kelas atau sekolah, tetapi menjadi guru yang bisa digugu dan ditiru
oleh orang lain di manapun ia berada.
Lalu mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam dan juga ahli
pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik
adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk
56
Ahmad Tafsir, op.cit., h. 77.
34
mengajar,
sebagian
dalam
bentuk
memberikan
dorongan,
memuji,
57
menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
Pendapat lain menjelaskan bahwa tugas pokok pendidik adalah mendidik
dan mengajar. Selain itu tugas mendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah
SWT. Sungkring mengutip dari Abdurrahman al-Nahlawi yang menyebutkan
tugas utama pendidik yaitu, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai
pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi
pengajaran yakni menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan
serta nilai-nilai agama kepada manusia.58
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tugas seorang guru bukan hanya
mendidik dengan mengajarkan suatu pelajaran kepada peserta didik. Guru
harus pula mendidik dengan cara memberikan dorongan atau motivasi,
mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didiknya, memberi contoh yang
baik dan menjadi suri tauladan yang dapat diteladani oleh peserta didik, guru
juga membiasakan mereka dengan perbuatan atau kelakuan yang baik yang
mencerminkan akhlak seorang muslim, bahkan mendidik dengan hukuman.
Karena hukuman itu dibolehkan dalam Islam, tetapi cukup sewajarnya saja dan
tidak melewati batas dalam memberikan hukuman tersebut.
E. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:
1. Nursida Azhari Rumeon, Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
dengan Konsep Pendidikan Islam,
mahasiswi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan
Pendidikan Agama Islam, yang telah mendapatkan gelar S.Pd.I pada tahun
2011.
57
58
ibid, h. 78.
Sungkring, op.cit., h. 84.
35
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan mencari,
mengumpulkan,
membaca
dan
menganalisis
buku-buku
yang
ada
relevansinya dengan masalah peneliti. Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah konsep pendidikan Islam relevan dengan pemikiran Ki
Hadjar Dewantara dilihat dari prinsip, sistem, metode dan tujuan
pendidikan.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan
ialah peneliti meneliti bagaimana peran guru menurut perspektif Ki Hadjar
Dewantara.
2. Imam Faizal, Pemikiran Hamka tentang Guru, mahasiswa Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah mendapatkan gelar S.Pd. pada
tahun 2016.
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan mencari,
mengumpulkan,
membaca
dan
menganalisis
buku-buku
yang
ada
relevansinya dengan masalah peneliti. Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah pemikiran Hamka tentang guru dilihat dari prinsip,
sistem, metode dan tujuan pendidikan.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan
ialah peneliti meneliti bagaimana peran guru menurut perspektif Ki Hadjar
Dewantara.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar
Dewantara” ini dilakukan dalam waktu empat bulan, dengan pengaturan waktu
sebagai berikut: pada bulan September 2016 sampai bulan Desember 2016
digunakan untuk mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari buku cetak yang ada di perpustakaan dan juga artikel, jurnal,
website, serta sumber lain yang mendukung penelitian ini, terutama yang ada
hubungannya dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
pemikirannya tentang pendidik atau guru di Indonesia, sebagai penguat dalam
penulisan skripsi. Tahap selanjutnya adalah menyusun data dalam bentuk hasil
penelitian dari sumber-sumber yang telah ditemukan.
B. Metode Penelitian
Metode ilmiah diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data
empiris yang valid dengan tujuan penemuan, pembuktian, dan pengembangan
suatu pengetahuan tertentu sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.1
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dengan secara
deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.2 Penelitian
1
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2011), cet. 14, h. 2-3.
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya,
2010), cet. 28, h. 6.
36
37
kualitatif atau pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang
memerlukan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh, berhubungan
dengan objek yang diteliti dalam menjawab permasalahan untuk mendapat
data-data kemudian dianalisis dan mendapat kesimpulan penelitian dalam
situasi dan kondisi tertentu.3 Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor dalam
Lexy J. Moleong, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari objek yang diamati.4
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
kualitatif merupakan metode penelitian yang memerlukan pemahaman
mendalam dan menyeluruh terhadap data yang dikaji sehingga mendapatkan
data-data, kemudian dijabarkan secara objektif dan deskriptif.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai peran guru menurut
perspektif Ki Hadjar Dewantara.
D. Prosedur Penelitian
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Dalam hal ini akan selalu ada hubungan
antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin
dipecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu proses pengadaan data
untuk keperluan penelitian.
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian biografi, yaitu studi tentang
individu yang meliputi pemikiran dan pengalamannya yang dituliskan kembali
dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip, dalil atau hukum-hukum dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Tujuan penelitian ini
untuk mengungkap pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau
3
4
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: IKAPI, 2013), cet. 5, h. 17.
ibid., h. 4.
38
mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek
tersebut memposisikan dirinya sendiri.
Penulis juga menggunakan metode pendekatan studi tokoh atau
pendekatan sejarah, objek yang dikaji adalah pemikiran seorang tokoh baik itu
pesoalan-persoalan, situasi, atau kondisi yang mempengaruhi terhadap
pemikirannya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif
dengan mengacu pada filosofi fenomenologis yaitu menganggap bahwa
keberadaan sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau
gejala yang memancar dari objek yang diteliti.5 Pada penelitian ini penulis
melihat dari fenomenan peranan guru pada saat ini dengan merefleksi dengan
perspektif pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara.
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu, teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah mengumpulkan data literer
yaitu bahan pustaka yang koheren (sejalan) dengan objek pembahasan yang
dimaksud.6
E. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu:
1. Sumber Data Primer
Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumbersumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.7 Adapun yang
menjadi data primer dalam penulisan skripsi ini adalah buku karya Ki
Hadjar Dewantara yaitu Pendidikan.
5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 31.
6
ibid, h. 24.
7
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89.
39
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber
lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi
interpretasi terhadap sumber primer.8 Sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan Ki
Hadjar Dewantara seperti Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan
ditangkap, dipenjarakan, dan diasingkan, visi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara, dan lain sebagainya. Juga mencari sumber reverensi yang
relevan dengan judul melalui situs internet.
F. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan
analisis data (descriptif analysis) yaitu menggunakan data terkait dengan
masalah yang diteliti dan menguhubungkannya data lain untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh.
Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik content analysis
(analisis isi). Analisis isi menurut Weber dalam Lexy menyatakan bahwa
seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku
atau dokumen. Dan Holsti memberikan definisi yang menyatakan bahwa kajian
isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui
usaha menemukan karakteristik pesan, dilakukan secara objektif dan
sistemastis.9 Dari penjelasan tersebut, penulis berpendapat bahwa kajian isi
atau analisis isi merupakan metode penelitian memanfaatkan buku atau
dokumen yang dikaji dan disusun secara objektif dan sistematis.
Analisis isi atau content analysis dalam skripsi ini dimaksudkan untuk
membedah peranan guru menurut perspektif Ki Hadjar Dewantara yang
tertuang dalam karyanya dan kemudian diuraikan kembali sebagaimana hasil
analisis, dengan maksud untuk memahami jalan dan perkembangan
pemikirannya serta makna yang terkandung di dalamnya.
8
9
ibid., h. 91.
Lexy. J. Moleong, op.cit., h. 220.
40
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
BAB IV
PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG GURU
A. Biografi Ki Hadjar Dewantara
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara
Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah R.M. Suwardi Suryanigrat. Ia
adalah seorang putera keturunan bangsawan yang dilahirkan pada tanggal 2
Mei 1889 (yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional) di
Yogyakarta sebagai cucu dari Sri Paku Alam Ke III, anak dari Pangeran
Suryaningrat, putera sulung dari permaisuri dan Sri Paku Alam ke III
tersebut.
Suwardi pernah bersekolah di STOVIA (School tot opleiding van
Indische Artsen) di Betawi, tetapi tidak menyelesaikannya. Selama tinggal
di Betawi inilah, juga semasa anak-anak dan remaja dalam lingkungan
keluarga, ia mendapatkan penggemblengan mental dan jiwa kebangsaan
yang mendalam.1
Suwardi mulai belajar di Stovia pada 1905. Pada tahun-tahun pertama
dari masa kuliahnya, Suwardi sering libur dan bercuti pulang ke
Yogyakarta. Hal ini menyebabkan orang tua Suwardi khawatir jika faktor
sibuk dan lelah oleh perjalanan akan mengendorkan semangat belajar
Suwardi. Maka pada tanggal 4 Nopember 1907 dia dinikahkan dengan R.A.
Sutartinah, putri G.P.A. Sasraningrat. Sesudah itu keluarga baru Suwardi
pindah ke Bogor tinggal dalam satu rumah dengan R.M. Prawiraningrat,
kakek tertua Sutartinah.
Suwardi sempat lima tahun belajar di Stovia. Di tahun 1910
beasiswanya dicabut, karena ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat.
Ia meninggalkan Stovia, lalu bekerja pada pabrik gula Kali Bagor di
1
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 3.
41
42
Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rath-kamp di
Yogyakarta.
Selama bekerja sebagai pembantu apoteker Rath-kamp di Yogyakarta
pada tahun 1911, Suwardi menulis berita dan karangan-karangan di suratsurat kabar Sedyo Tomo (bahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Jawa (bahasa
Belanda di Yogyakarta, dan de Expres (bahasa Belanda) di Bandung.2
Pekerjaan rutin rupanya kurang cocok bagi jiwa Suwardi. Lalu ia pun
terjun ke dalam lapangan jurnalistik. Semangat juangnya dalam bidang
sosial dan politik mulai berkobar-kobar, dan bakat jurnalistiknya
berkembang dengan pesat.
Hal ini diketahui oleh Douwes Dekker setelah membaca tulisan-tulisan
Suwardi dalam harian-harian di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Juga dalam
harian De Expres yang dipimpin oleh Douwes Dekker sendiri dan
diterbitkan di kota Bandung.
Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk pindah ke Bandung dan
turut mengasuh De Expres. Di kota ini Suwardi kemudian menjadi Ketua
Perhimpunan Sarekat Islam didampingi oleh Abdul Muis dan A.H.
Wignyadisastra, pemimpin redaksi harian Kaoem Moeda.
Pada tanggal 6 September 1912 didirikanlah partai politik “Indische
Partij”. Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Dokter Cipto
Mangunkusumo merupakan tokoh-tokoh pimpinan dari perhimpunan itu.
Tiga serangkai itu menjelajahi pulau Jawa untuk mempropagandakan
“Indische Partij” dan mereka mencapai sukses besar.
Banyak orang pribumi masuk menjadi anggota partai. Juga orang-orang
non pribumi, orang-orang Indo Belanda, Cina dan Arab. Melalui alat
medianya De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur,
gerakan nasional mereka ternyata menggemparkan masyarakat dan
menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.3 Pada
tanggal 13 September 1913, Tiga Serangkai meninggalkan tanah air.
2
Bambang S. Dewantara, 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: PT Garuda
Metropolita Press, 1989), h. 50.
3
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 3-4.
43
Dengan kapal Bullow milik Maskapai Pelayaran Jerman, mereka bertolak ke
Eropa untuk melanjutkan perjuangan.4
Enam tahun lamanya dari tahun 1913 sampai 1919 Suwardi dan
keluarga hidup dan berjuang di negeri Belanda sebagai orang buangan. Ia
memanfaatkan waktunya selama di Belanda untuk meneruskan propaganda
politiknya dengan tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar, baik yang ada
di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Kecuali itu, dia pun
memanfaatkan waktu untuk belajar dan berhasil mendapatkan Akte Guru
Eropa. Sesudah kembali ke tanah air untuk sementara masih meneruskan
perjuangan politiknya. Baru pada tanggal 3 Juli 1922, dia bersama istri dan
kawan-kawannya mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Perjuangannya
untuk menciptakan sistem pendidikan nasional tidak luput dari gangguangangguan pemerintah kolonial Belanda. Enam tahun sesudah Taman Siswa
berdiri dan berkembang di seluruh pelosok tanah air, Suwardi berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara, dan Sartinah berganti nama menjadi Nyi
Hadjar Dewantara.5
Suwardi yang sejak berusia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara, sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin Umum Persatuan dan
Perguruan Taman Siswa. Dengan nama Suwardi Suryanigrat ia akan
dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan nama Ki Hadjar
Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Suwardi pernah menjadi anggota KNIP dan DPR, juga menjadi Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ia dianugerahi Bintang Maha
Putera Kelas I oleh Presiden Republik Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara Meninggal pada tanggal 26 April 1959, tetapi
sebelumnya pada tanggal 19 Desember 1956 ia dianugerahi gelar Doktor
Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan oleh Senat Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta.6
4
Bambang S. Dewantara, op. cit., h. 80.
ibid., h. 82.
6
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 4.
5
44
2. Pendidikan yang Pernah Ditempuh Ki Hadjar Dewantara
Sebelum Ki Hadjar Dewantara memulai pendidikannya di STOVIA, ia
terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar III Belanda.
Setelah tamat dari Sekolah Dasar III Belanda, Sang Maestro Pendidikan
Nasional itu sempat masuk ke sekolah guru di Yogyakarta, tetapi ia tidak
sampai tamat. Bukan niatnya untuk tidak sekolah, juga bukan karena ia
tidak suka menjadi guru. Akan tetapi ia meninggalkan sekolah guru tersebut
semata-mata karena ingin menyambut tawaran dan menerima kesempatan
menikmati beasiswa di STOVIA yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin
Sudirohusodo yang kala itu sengaja datang ke Pakualaman. Ia pun
menempuh sekolah Dokter Jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima tahun
(1905-1910).7
Namun, di luar dugaan bahwa Soewardi (Nama Asli Ki Hadjar
Dewantara) tidak berhasil menamatkan sekolahnya di STOVIA. Sejarah
mencatat bahwa dalam perjalanan saat bersekolah di sana, ia termasuk
seorang yang kurang beruntung dalam hal kesehatan. Ia sakit selama empat
bulan sehingga tidak bisa bersekolah dan belajar sebagaimana layaknya
siswa lain. Selama sakit itu pula, ia tidak dapat belajar dengan baik sehingga
tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswa dicabut. Ia meninggalkan sekolahnya
dengan terpaksa, lantaran tidak mampu membiayainya.8
Pengalaman pahit di STOVIA tidak menyurutkan semangat Ki Hadjar
Dewantara untuk terus maju dalam banyak hal. Ia tetap dikenal gurunya
sebagai sosok yang berkualitas dan cerdas. Kepandaian Ki Hadjar
Dewantara dalam Bahasa Belanda misalnya, hal tersebut mendorong
direktur STOVIA mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya
itu. Penjelasan dari direktur sekolahnya sangat membantunya dalam mencari
pekerjaan, di antaranya ia sempat bekerja pada laboratorium Pabrik Gula
7
Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Kanisius,
2013), h. 48.
8
ibid, h. 49.
45
Kalibogor, Banyumas. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Yogyakarta dan
bekerja sebagai pembantu apoteker di Ratkamp.9
Bisa dibilang Bapak Pendidikan Nasional kita yaitu Ki Hadjar
Dewantara adalah seorang yang beruntung sekaligus kurang beruntung. Ia
beruntung karena termasuk seseorang yang cerdas dan memiliki kualitas
yang sudah diketahui oleh banyak orang. Ia juga kurang beruntung perihal
kesehatan tubuhnya. Akan tetapi bukan pejuang namanya jika ia putus asa
dan menyerah setelah beasiswanya dicabut. Sebagai bukti, setelah ia angkat
kaki dari STOVIA, ia tetap berjuang untuk bangsanya. Ia terus belajar
membaca, menulis dan terlibat aktif dalam berbagai organisasi politik.10
Hal tersebut cukup membuktikan bahwa bagi Ki Hadjar Dewantara,
belajar harusnya tidak hanya terpaku pada lembaga pendidikan atau selama
kegiatan belajar mengajar berlangsung di sekolah saja, melainkan kapan pun
dan di mana pun kita berada di sana kita bisa belajar. Dan ini yang bisa
dipelajari oleh generasi muda Indonesia, manakala terhimpit permasalahan
ekonomi misalnya, jangan menyerah jangan putus asa karena semua yang
ada di dunia ini bisa untuk dipelajari, kita dapat belajar kapan pun di mana
pun.
3. Sekolah Perguruan Taman Siswa
Taman Siswa adalah satu badan perguruan yang sudah dilaras dengan
kepentingan dan keperluan rakyat, yang diserahkan kepada perhatian rakyat
umum pula. Sedangkan guru-gurunya adalah golongan anak bangsa sendiri,
yang rela dan keikhlasan hatinya bersedia dan menyerahkan diri untuk
keperluan rakyat dalam perkara pengajaran dan pendidikan.11
Didirikannya sekolah Perguruan Taman Siswa adalah sebagai bentuk
impian dan harapan Ki Hadjar Dewantara untuk meretas dan menumbuhkan
kesadaran setiap golongan bumiputra akan hak-haknya yang dibelenggu
9
ibid, h. 52.
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 50.
11
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 10.
10
46
oleh kepentingan pihak penjajah. Sekolah Perguruan Taman Siswa resmi
berdiri pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Di sekolah ini Ki Hadjar
Dewantara berusaha memadukan pengetahuannya tentang pendidikan gaya
eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional.12
Pada pembukaan sekolah, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan
beberapa hal terkait dengan asas dan tujuan sekolah ini. Adapun asas dan
tujuan dari “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” adalah sebagai
berikut:
Pertama, jika sebuah bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang sehat
secara lahir dan batin, maka sistem pendidikan dan pengajaran yang
diberikan pada rakyat harus didasarkan pada prinsip nasional, kultur dan
budaya yang ada pada masyarakatnya sendiri.
Kedua,
sistem
pendidikan
yang
diberikan
oleh
Governemen
(pemerintahan) Hindi Belanda hanya digunakan untuk menyiapkan kaum
Inlander (pribumi) menjadi buruh, karena hanya dilakukan untuk
mendapatkan ijazah semata, tanpa didasarkan pada tujuan untuk memahami
pendidikan dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk kemajuan jiwa
dan raga.
Ketiga, menempuh pendidikan dengan masuk di sekolah-sekolah milik
Governemen Hindia Belanda hanya akan membuat kaum Inlander
bergantung pada bangsa penajajah. Keadaan seperti itu tidak akan pernah
hilang jika hanya dilawan dengan menggunakan kekuatan dan pergerakan
politik saja. Sebab hal itu hanya bisa dimusnahkan dengan cara mendirikan
sekolah sendiri sebagai tempat untuk menyebarkan semangat hidup merdeka
di kalangan Inlander, yang dapat dilakukan dengan jalan pendidikan dan
pengajaran secara nasional.
Keempat, kaum nasionalis harus memiliki semangat, kemauan dan
keberanian untuk membuat sistem pendidikan dan metode pengajaran baru
yang didasarkan pada kultur sendiri, dan dilakukan demi kepentingan kaum
Indlander.
12
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 69.
47
Kelima, menjadikan metode among sebagai langkah yang tidak
menghendaki adanya perintah dan paksaan dalam pendidikan dan
pengajaran, melainkan harus memberikan tuntunan dan arahan, agar peserta
didik dapat berkembang secara lahir dan batin.
Keenam, demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan yang seluas-luasnya,
maka sistem pendidikan dan pengajaran nasional harus dibuat dengan
berdasarkan pada prinsip sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri yang dapat
dilakukan dengan cara berhemat.
Ketujuh, diperlukan sikap demokratisasi dalam menjalankan sistem
pendidikan dan pengajaran dengan tujuan agar tidak hanya lapisan atas
(kalangan bangsawan dan priyai) saja yang mendapatkan pendidikan dan
menjadi kaum terpelajar. Tapi pendidikan dan pengajaran yang sebenarbenarnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.13
Dalam apa yang telah disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada
pembukaan sekolah Taman Siswa, ia bermaksud mendirikan lembaga
pendidikan yang mengacu pada kultur dan budaya Indonesia sendiri, karena
pada waktu itu kebanyakan sekolah yang ada di Indonesia didirikan dengan
gaya negara penjajah yakni Belanda. Dan karena ketidakadilan yang ia lihat
bahwa pendidikan yang diberikan kepada para pribumi adalah untuk
menjadikan mereka buruh atau pekerja pada akhirnya dan tidak untuk
memajukan pendidikan, jiwa, dan raganya mereka. Juga pendidikan pada
saat itu hanya diperuntukkan kepada kalangan bangsawan dan priyai,
padahal pendidikan yang sebenarnya haruslah diterima dan dinikmati oleh
seluruh rakyat yang ada.
Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara ingin bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang mandiri dan tidak ingin bangsa pribumi menjadi bangsa yang
bergantung pada negara yang menjajahnya. Lalu memiliki semangat untuk
berjuang untuk kemajuan bangsa sendiri dalam hal pendidikan dan
pengajarannya.
13
Haidar Musyafa, Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara. Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Taman Siswa (1889-1959), (Jakarta: Imania, 2015), h.
267-268
48
Sejak Perguruan Taman Siswa berdiri, Ki Hadjar Dewantara secara
total mengabdikan dirinya demi membangkitkan kesadaran setiap golongan
bumi putra akan hak-haknya sebagai manusia. Baginya, perjuangan sebuah
bangsa yang terjajah dalam arti seluas-luasnya adalah dalam dan melalui
pendidikan yang humanis-nasionalis.
4. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara
Harmoni dan Among, buku dengan ketebalan mencapai 557 halaman,
merupakan buku kumpulan 116 tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan yang pernah diterbitkan oleh surat kabar, majalah, ataupun yang
pernah dibacakan sebagai pidato selama kurun waktu mulai tahun 1928
hingga 1954. Artikel-artikelnya ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan
Jawa. Untuk keperluan penerbitan artikel bahasa Belanda dan Jawa juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini merupakan buku
pertama dari dua buku lainnya yang berisi kumpulan tulisan mengenai
kebudayaan sedangkan buku ketiga tentang politik, jurnalistik, dan
kemasyarakatan.
Gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dikelompokkan
menjadi tujuh bab di dalam buku tersebut, yaitu bab tentang pendidikan
nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian,
pendidikan keluarga, ilmu budaya Jawa, ilmu adab dan bahasa. Tiap bab
berisi antara 8 sampai 39 judul artikel. Dengan artikel terbanyak dalam
kelompok politik pendidikan. Memang gagasan Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pendidikan
yang berlaku pada masa tersebut, yaitu politik pendidikan kolonial.
Penilaian tentang perkembangan Taman Siswa sejak awal kelahiran
sampai masa kini, memusat pada komentar dan kritik atas gagasan dasar Ki
Hadjar Dewantara dan peranannya melalui ciptaannya dalam proses
nasionalisasi pengajaran di Indonesia. Sumbangannya dalam masyarakat
kolonial, masa awal perkembangan dan konteks kebudayaan Jawa,
49
kedudukannya dalam mengisi kemerdekaan sesudah melampaui revolusi
Indonesia dan sumbangannya di bidang filsafat kebudayaan.
Penilaian lain menempatkan Ki Hadjar Dewantara sebagai tradisionalis,
yang mewakili citra banyak orang tentang “Tukang Kebun Pelajar” yang
mendambakan keserasian dalam hidup. Segala penilaian kritis ilmiah itu
banyak membuka pola yang tercipta dalam sejarah Indonesia modern,
sehingga menjadi ciri khas kebudayaan sendiri. Maka dengan demikian,
karya Ki Hadjar Dewantara yang tersebar adalah perguruan Taman Siswa
bersama cita-cita pendidikannya.
Selain Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga menulis risalah yang
merupakan canang perjuangannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander
was... atau yang artinya “Seandainya Saya Orang Belanda...”. Ini
merupakan karangan terkenal yang merupakan sindiran yang tajam sekali
yang ditujukan kepada Belanda karena ketidakpuasan dan ketidakadilan di
dalam daerah jajahan, tetapi keseluruhan cita-cita revolusioner Ki Hadjar
Dewantara sebagai kebulatan dapatlah diketahui apabila telah dibaca artikel
lain yang berjudul Een voor Allen, Allen voor Een yang artinya “Satu untuk
Semuanya, Semuanya untuk Satu”.
Satu lagi karya Ki Hadjar Dewantara yang dapat kita baca sampai saat
ini adalah buku yang berjudul “Pendidikan”, buku ini dicetak oleh
percetakan Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1962. Serta buku
“Sariswara” yang berisi permainan dengan lagu Jawa.14
B. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
14
Nursida Azhari Rumeon, “Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan
Konsep Pendidikan Islam”, Skripsi pada Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011,
h. 19-20, tidak dipublikasikan.
50
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 15
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tumbuh anak.16
Dan pendidikan menurut paham Taman Siswa ialah pendidikan yang
beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel nationaal) dan ditunjukkan
untuk keperluan kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan
rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk
kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.17
Kata pendidikan dan pengajaran sering kali dipakai beriringan dalam
lembaga pendidikan. Sebenarnya gabungan kedua perkataan itu dapat
mengeruhkan pengertiannya yang asli. Sebenarnya yang dinamakan pengajaran
tidak lain dan tidak bukan ialah salah satu bagian dari pendidikan. Jelasnya,
pengajaran ialah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta
juga memberi kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat
berfaedah untuk hidup anak-anak baik lahir maupun batin.
Menurut pengertian umum, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.18
Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan
bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat).
Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak
tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar pada kekuatan sendiri.
Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya
lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.19
15
Uyoh Sadulloh, dkk, op.cit., h. 5.
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14.
17
ibid, h. 15.
18
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 20.
19
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 3.
16
51
Dapat diketahui bahwa pendidikan yang diinginkan Ki Hadjar Dewantara
ialah pendidikan yang bertujuan menjadikan peserta didiknya mandiri atau
tidak bergantung kepada orang lain dan dapat mengembangkan potensi yang
ada pada dirinya masing-masing. Dengan cara menuntun dan mengarahkan
anak didiknya untuk mencapai kodratnya dan kebahagiaannya serta
keselamatannya, juga agar mereka berguna bagi nusa dan bangsa juga
agamanya sehingga dapat mengangkat martabat negaranya kelak.
Tidak salah jika Indonesia menjadikan seorang sosok pahlawan pendidikan
Ki Hadjar Dewantara menjadi Bapak Pendidikan Nasiaonal. Ia telah berjuang
memerdekakan Indonesia tanpa syarat, pengabdian yang telah diberikan
terhadap bangsa yang dicintainya. Karya-karya yang membuat Indoensia
bangga terhadapnya pun sering dilakukan. Beberapa karyanya berkaitan
dengan pendidikan yang patut kita renungi hingga saat ini. Menurutnya
kemerdekaan Indonesia tidak dapat diraih hanya dengan perjuangan politik dan
senjata saja, tetapi juga pendidikan haruslah dipentingkan bagi seluruh
kalangan.
Pendidikan di Indonesia harusnya tidak memakai syarat paksaan. Momong,
among, ngemong. Caranya tidaklah memaksa, guru hanya diharuskan
mencampuri kehidupan anak didik atau peserta didik kalau ternyata dirinya
ada di atas jalan yang salah.
Tiada memakai dasar “regering, tucht en orde” tetapi “orde en vrede”
(tertib dan damai, tata tentrem). Guru akan selalu menjaga kelangsungan
kehidupan batin sang anak dan harus lah ia dijauhkan dari tiap-tiap paksaan.
Tetapi guru pun tiada akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Guru hanya
harus mengamat-amati, agar anak dapat bertumbuh menurut kodrat. Tucht
(hukuman) itu maksudnya untuk mencegah kejahatan. Dan sebelum terjadi
kesalahannya, aturan hukumannya sudah tersedia. Orde (ketertiban) yang
dimaksudkan dalam pendidikan Barat teranglah sudah hanya paksaan dan
hukuman. Dari sebab itu dasar pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar
Dewantara menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat
menentukan syarat-syarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan
52
oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun
tidak akan peserta didik dapatkan.
Semua itu adalah syarat-syarat guru yang hendak berusaha mendatangkan
rakyat yang merdeka, dalam arti kata yang sebenar-benarnya yaitu lahirnya
tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri
karena kekuatan sendiri.20
Adapun pendidikan nasional merupakan pendidikan yang merujuk kepada
kebudayaan bangsa sendiri dan mengutamakan masyarakat. Oleh sebab
tersebut, Ki Hadjar Dewantara menawarkan sistem among yang menyokong
kodrat alam anak-anak didik, bukan dengan perintah dan larangan, tetapi
dengan tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin anak dapat
berkembang dengan baik sesuai dengan kodratnya. Sistem among ini
didasarkan pada dua hal, yaitu:
1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menggerakkan dan menghidupkan
kekuatan lahir dan batin, sehingga dapat hidup merdeka
2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Untuk merealisasikan pemikirannya tersebut, maka didirikanlah perguruan
Taman Siswa. Pada kongres pertamanya tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara
mempertegas pemikirannya dengan mengemukakan lima asas yang dikenal
dengan Panca Darma. Kelima asas tersebut adalah asas kemerdekaan, asas
kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.
Ki Hadjar Dewantara juga melontarkan konsep belajar tiga dinding dalam
kelas. Filosofi yang digunakan bukanlah sembarangan. Ia beranggapan bahwa
selama ini kita belajar di kelas dengan empat dinding yang menjulang ke atas,
jendela yang begitu tinggi dan menyebabkan peserta didik tidak bisa melihat
alam secara bebas, ditambah lagi dengan pajangan para pahlawan yang
mimiknya begitu menyeramkan. Itu semua membuat batasan antara kita
sebagai manusia dan alam. Maka dari itu ia menyarankan untuk belajar tiga
dinding agar tidak ada perbedaan di antara kita. Mengingat filosofi yang
20
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 13-14.
53
dimiliki oleh orang Padang yaitu alam takamang, jadi guru di mana menjadikan
alam sebagai guru dalam kehidupan ini.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang hingga saat ini digunakan oleh
pendidikan Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani (di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyan tersebut ikut
mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya dan memberikan euforia yang
begitu besar bagi warga Indonesia. Semboyannya yang paling terkenal yaitu
“Tut Wuri Handayani” yang hingga saat ini selalu tertempel di topi, dasi, dan
tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMA.
Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara lebih mengedepankan pada
tiga ajaran pokok (tiga fatwa pendidikan Taman Siswa), yaitu:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada,
maka mantep itu datang juga yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, dan bandel. Percaya akan memberikan pendirian yang
tegak. Maka kemudiannya kandel (berani) dan bandel (tidak lekas
ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri.
3. Neng, ning, nung, nang. Kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat
dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau
sudah ada ketiga-tiganya itu, maka kemenangan akan jadi bahagia.21
Pertama, tetep, antep, mantep. Artinya, dalam menjalankan sistem
pendidikan, maka pertama-tama yang harus dibentuk (baik guru maupun
murid) adalah dengan membentuk ketetapan pikiran dan jiwa, memberikan
jaminan pada keyakinan sendiri, dan membentuk kemantapan dalam
memegang prinsip hidup yang diyakini.
Istilah tetep dalam filosofinya adalah mengajarkan guru dan murid untuk
memiliki ketetapan cara berpikir yang selaras dengan nilai-nilai sosial dan
budaya bangsa sendiri. Dengan filosofi antep, Ki Hadjar Dewantara berusaha
21
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14.
54
untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan dapat
diibaratkan sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang pada kepercayaan
diri dan sikap pemberani. Istilah mantep adalah usaha yang ia lakukan untuk
menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan adalah
upaya yang menghantarkan seseorang untuk memajukan dirinya. Sehingga
memiliki orietasi yang jelas untuk meraih impian dan cita-citanya.
Dengan memiliki sikap yang tetep, antep, dan mantep maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi
manusia-manusia yang memiliki kualitas lahir dan batin. Sehingga akan
memberikan manfaat besar bagi diri, keluarga dan masyarakat sesuai dengan
zaman yang dilaluinya.22
Lalu kedua, ngandel, kandel, dan bandel. Ngandel di sini Ki Hadjar
Dewantara maksudkan bahwa sistem pendidikan itu harus dapat berdiri tegak
di atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bermartabat, tanpa ada campur
aduk dengan budaya-budaya Barat yang dipenuhi dengan kebebasan. Kandel
atau seseorang yang berpendirian tegak adalah mereka yang memiliki prinsip
yang kuat dalam hidupnya. Dengan memiliki kepribadian kandel, ia berharap
pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa dapat membentuk murid maupun
gurunya untuk menjadi pribadi yang berani, memiliki kewibawaan dan
memiliki sikap ulet dalam memegang prinsip hidupnya. Dan bandel
maksudnya bahwa seseorang yang berpendidikan harus memiliki jiwa yang
tahan banting, tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan-kegagalan
dalam hidup.
Dengan memiliki sikap ngandel, kandel, dan bandel, maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi
manusia-manusia yang unggul, berani memegang teguh kebenaran dan
memiliki nyali yang besar dalam menghadapi perubahan-perubahan hidup,
seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman.23
22
23
Haidar Musyafa, op. cit., h. 284.
ibid, h. 285.
55
Dan ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Filosofi ini Ki Hadjar Dewantara
maksudkan bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tujuan untuk
membentuk kepribadian yang religius. Sebab kepandaian dan kedalaman ilmu
seseorang tidak akan pernah memiliki makna jika tidak didasari dengan
keyakinan bahwa semua ilmu itu bersumber dari Gusti Allah. Oleh karenanya,
pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati dan jiwa
(neng), membuat seseorang semakin mengingat Sang Maha Kuasa, dalam
keheningan (ning), membuat seseorang memperoleh ketenangan hidup secara
lahir dan batin (nang), dan membuat seseorang semakin merenungi
kekurangan-kekurangan dirinya (nung).
Dengan menerapkan filosofi neng, ning, nung, dan nang maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi pribadi
yang tidak hanya berwawasan pikirannya. Tapi juga menjadi pribadi yang
memiliki kesucian pikiran, ketenangan batin, kepandaian melakukan evaluasi
diri, dan semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa dengan kesediannya untuk
melakukan tirakat (mengingat-Nya dalam keheningan).24
Sedari dulu, Ki Hadjar Dewantara telah menyadari bahwa salah satu hal
terpenting untuk bangsa ini adalah pendidikan. Banyaknya gagasan yang ia
ciptakan tentang pendidikan merupakan bentuk kepedulian terhadap kemajuan
bangsa ini. Terbukti dengan terkenalnya pemikiran dia seperti sistem among
hingga terbentuknya Taman Siswa yang dikenal pula dengan lima asas atau
Panca Darma, konsep belajar tiga dinding, tiga fatwa pendidikan Taman Siswa
yang dikenal dengan tetep, antep, mantep, nganel, kandel, bandel dan neng,
ning, nang, nung. Serta yang sangat amat terkenal yaitu filosofi pendidikannya
yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan
Tut Wuri Handayani yang menjadi simbol pendidikan saat ini.
24
ibid, h. 286.
56
C. Metode Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Sifat, sistem, dan metode pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara
diringkas ke dalam empat kemasan, yaitu asas Taman Siswa, Panca Darma,
adat istiadat, dan semboyan atau perlambang.
Asas Taman Siswa dirumuskan pada Tahun 1922, yang sebagian besar
merupakan asas perjuangan untuk menentang penjajah Belanda. Asas-asas itu
adalah sebagi berikut:
1. Kemerdakaan individu untuk mengatur diri sendiri. Kebebasan ini dibatasi
oleh kepentingan umum, yaitu jangan sampai mengganggu ketertiban dan
kedamaian umum.
2. Kemerdekaan dalam berpikir, mengembangkan perasaan, dan kemauan
melakukan sesuatu.
3. Kebudayaan sendiri, sebagai dasar kehidupan, bukan hanya intelektualnya.
4. Kerakyatan, yaitu pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat.
5. Hidup mandiri, ialah berusaha menghidupi diri sendiri, dan tidak menerima
bantuan yang mengikat.
6. Hidup sederhana, agar mampu membiayai diri sendiri.
7. Mengabdi kepada anak, semua kegiatan yang dilakukan adalah untuk
kepentingan perkembangan anak-anak.
Asas di atas direvisi pada tahun 1947 menjadi dasar-dasar Taman Siswa,
agar sesuai dengan tuntutan zaman yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama
Panca Darma, dengan isi seperti berikut:
1. Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama manusia
dan makhluk Tuhan lainnya. Meningkatkan kesucian jiwa dan cinta kasih.
2. Kebangsaan, ialah bersatu dalam suka dan duka, tetapi menghindari
chaufinistis. Dan tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan.
3. Kebudayaan,
yaitu
kebudayaan
nasioanal
harus
dilestarikan
dan
dikembangkan. Untuk ini Dewantara mengemukakan konsep Tri Kon, yaitu:
a. Kontinu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara terusmenerus.
57
b. Konsentrasi, kebudayaan itu harus terpusat pada kebudayaan bangsa
Indonesia. Terhadap kebudayaan asing haruslah selektif.
c. Konvergensi, kebudayaan-kebudayaan asing yang sudah diseleksi
diintegrasikan ke dalam kebudayaan-kebudayaan asli bangsa Indonesia.
d. Kodrat alam, manusia adalah bagian dari alam, maka manusia harus
dibina dan berkembang sesuai dengan kodrat alam.
e. Kemerdekaan/kebebasan, setiap anak harus diberi kesempatan bebas
mengembangkan diri sendiri. Mereka perlu mendisiplinkan diri sendiri
untuk mengejar nilai-nilai hidup sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
Kemasan yang berikutnya adalah mengenai adat istiadat, yang berupa
aturan tidak tertulis. Alasan dibutuhkannya adat adalah karena adat menurut
pendapat orang-orang terdahulu dapat menghidupkan batin manusia dan dapat
mendekatkan jarak antara guru dengan siswa. Sementara itu peraturan tertulis
mereka pandang seperti mesin saja. Adat istiadat yang dimaksud yaitu:
1. Sebutan Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan yang sudah kawin, dan Ni
untuk
perempuan
belum
kawin. Panggilan-panggilan kasta dalam
maasyarakat feodal dihilangkan, agar bersifat demokratis.
2. Melenyapkan sikap majikan-buruh, dengan tidak memberikan gaji,
melainkan kebutuhan nyata serta sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
3. Sebutan bapak dan ibu kepada guru, sebagai lambang kekeluargaan yang
harmonis.
Yang terakhir adalah mengenai semboyan atau perlambang. Hal ini
diadakan sebab Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa semboyan bisa secara
langsung mempengaruhi hati anak serta dapat dengan mudah mengingatnya.
Semboyan-semboyan itu antara lain ialah:
1. Kita berhamba kepada sang anak, yang artinya sama dengan mengabdi
kepada anak pada asas Taman Siswa Nomor tujuh.
2. Lebih baik mati terhormat daripada hidup nista, ialah terutama untuk
menggerakkan hati anak-anak dalam mengejar dan membela kebenaran.
58
3. Dari natur ke arah kultur, yang artinya dari ilmiah/kodrati ke arah
berbudaya.25
Metode pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dijadikan sebagai lambang
dalam berlangsungnya proses pendidikan di Taman Siswa seiring berjalannya
waktu acap kali direvisi oleh sang tokoh. Hal ini dikarenakan agar metode
tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti pada asas Taman Siswa
yang direvisi menjadi Panca Darma, kemudian adat istiadat yang diperlukan
untuk membangun budaya dan keakraban antar sesama manusia.
D. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Guru di Indonesia
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Uyoh Sadulloh yang dikutip dari
Ahmadi dan Uhbiyati, bahwasannya mendidik adalah menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.26
Guru dapat dikatakan sebagai ujung tombak kegiatan sekolah. Tanpa
adanya guru, kegiatan belajar mengajar di sekolah tidaklah berjalan baik.
Karena tugasnya mengajar, maka guru harus mempunyai wewenang mengajar
berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sebagai tenaga pengajar,
setiap guru/pengajar harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang
proses belajar mengajar atau pembelajaran. Dengan kemampuan itu, guru dapat
melaksanakan perannya, yakni:
1. Sebagai fasilitator, yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi siswa
untuk melakukan kegiatan belajar.
2. Sebagai pembimbing, yang membantu siswa mengatasi kesulitan dalam
proses pembelajaran.
3. Sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang
menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar.
25
26
Made Pirdata, op. cit., h. 127-129.
Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 3.
59
4. Sebagai komunikator, yang melakukan komunikasi dengan siswa dan
masyarakat.
5. Sebagai model, yang mampu memberikan contoh baik kepada siswanya
agar berperilaku baik.
6. Sebagai elevator, yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar
siswa.
7. Sebagai inovator, yang turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaruan
kepada masyarakat.
8. Sebagai agen moral dan politik, yang turut membina moral masyarakat,
peserta didik, serta menunjang upaya-upaya pembangunan.
9. Sebagai agen kognitif, yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta
didik dan masyarakat.
10. Sebagai manajer, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga
proses pembelajaran berhasil.
Di samping harus memiliki kemampuan profesional pembelajaran, setiap
guru selaku tenaga kependidikan harus memiliki kemampuan kepribadian dan
kemampuan kemasyarakatan. Kedua jenis kemampuan terakhir ini turut
menunjang pelaksanaan kemampuan profesional dalam belajar mengajar.27
Saat ini, banyak berpandangan bahwa peranan guru hanya mendidik dan
mengajar saja. Sebenarnya salah satu peran guru lainnya yaitu menjadi teladan
bagi peserta didik dan dapat menuntun dan mengarahkan potensi yang
dimilikinya ke arah yang lebih baik sehingga dapat berkembang dan berguna
bagi masyarakat dan lingkungan di mana pun ia berada.
Pandangan modern seperti yang dikemukakan oleh Adam dan Dickley
bahwa peran guru sesungguhnya sangat luas, meliputi: guru sebagai pengajar
(teacher as an instructor), guru sebagai pembimbing (teacher as a counsellor),
guru sebagai ilmuwan (teacher as scientist), guru sebagai pribadi (teacher as a
person).
27
Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995), h. 9.
60
Bahkan dalam arti yang lebih luas, di mana sekolah merupakan atau
berfungsi juga sebagai penghubung antara ilmu dan teknologi dengan
masyarakat, di mana sekolah merupakan lembaga yang turut mengemban tugas
memodernisasi masyarakat dan di mana sekolah turut serta secara aktif dalam
pembangunan. Maka dengan demikian peranan guru menjadi lebih luas, yaitu
meliputi juga: guru sebagai penghubung (teacher as communicator), guru
sebagai modernisator, guru sebagai pembangun (teacher as constructor).28
1. Guru sebagai pengajar
Guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah (kelas). Ia
menyampaikan pelajaran agar peserta didik memahami dengan baik semua
pengetahuan yang telah disampaikan. Selain dari itu ia juga berusaha agar
terjadi perubahan sikap, keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial,
apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang diberikannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, maka guru perlu memahami
sedalam-dalamnya pengetahuan yang akan menjadi tanggung jawabnya dan
menguasai dengan baik metode dan teknik.29
2. Guru sebagai pembimbing
Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada peserta didik agar
mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya
sendiri,
mengenal
diri
sendiri,
dan
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya.
Para peserta didik membutuhkan bantuan guru dalam hal mengatasi
kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan pendidikan, kesulitan memilih
pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial, dan interpersonal. Dan harus
dipahami bahwa pembimbing yang terdekat dengan peserta didik adalah
guru itu sendiri.
3. Guru sebagai pemimpin
Sekolah dan kelas adalah suatu oraganisasi, di mana guru adalah
sebagai pemimpinnya. Guru berkewajiban mengadakan supervisi atas
28
Direktorat Jendral Kelembangaan Agama Islam, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga
Kependidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 71.
29
ibid, h. 72.
61
kegiatan belajar peserta didik, membuat rencana pengajaran bagi kelasnya,
mengadakan manajemen belajar sebaik-baiknya, melakukan manajemen
kelas, dan mengatur disiplin kelas secara demokratis.
Dengan kegiatan manajemen ini guru ingin menciptakan lingkungan
belajar yang serasi, menyenangkan dan merangsang dorongan belajar para
anggota kelas.30
4. Guru sebagai ilmuwan
Guru dipandang sebagai orang yang paling berpengetahuan. Dia bukan
saja berkewajiban menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada
peserta didik, tetapi juga berkewajiban mengembangkan pengetahuan itu
terus menerus dan memupuk pengetahuan yang telah dimilikinya.
5. Guru sebagai pribadi
Sebagai pribadi setiap guru harus memiliki sifat-sifat yang disenangi
oleh para peserta didiknya, oleh orang tua, dan oleh masyarakat. Sifat-sifat
itu sangat diperlukan agar ia dapat melaksanakan pengajaran secara efektif.
Karena itu guru wajib berusaha memupuk sifat-sifat pribadinya sendiri
(intern) dan mengembangkan sifat-sifat pribadi yang disenangi oleh pihak
luar (ekstern). Tegasnya bahwa setiap guru perlu sekali memiliki sifat-sifat
pribadi, baik kepentingan jabatannya maupun untuk kepentingan dirinya
sendiri sebagai warga negara masyarakat.31
6. Guru sebagai penghubung
Sekolah berdiri di antara dua lapangan, yakni di satu pihak mengemban
tugas menyampaikan dan mewariskan ilmu, teknologi, dan kebudayakan
yang terus menerus berkembang dengan lajunya, dan di lain pihak ia
bertugas menampung aspirasi, masalah, kebutuhan, minat, dan tuntutan
masyarakat. Di antara kedua lapangan inilah sekolah memegang peranannya
sebagai penghubung di mana guru berfungsi sebagai pelaksana.
30
31
ibid, h. 73.
ibid, h. 74.
62
7. Guru sebagai pembaharu
Guru memegang peranan sebagai pembaharu, oleh karena melalui
kegiatan guru menyampaikan ilmu dan teknologi, contoh-contoh yang baik
dan lain-lain, maka akan menanamkan jiwa pembaharuan di kalangan
peserta didik.32
8. Guru sebagai pembangunan
Seorang guru baik sebagai pribadi maupun sebagai guru profesional
dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk membantu
berhasilnya rencana pembangunan masyarakat.33
Pendidikan yang terbaik bagi anak-anak Inlander menurut Ki Hadjar
Dewantara adalah dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada
mereka untuk meningkatkan potensi, kemudian mengekspresikannya dengan
cara yang kreatif dan bertanggung jawab. Untuk menjalankan misi dalam
menerapkan pendidikan seperti itu
bagi anak-anak Inlander, Ki Hadjar
Dewantara menerapkan tiga semboyan pendidikan di sekolah Taman Siswa.
Ketiga semboyan pendidikan yang diterapkan di sekolah Taman Siswa itu
sebagai berikut:
Pertama, ing ngarsa sung tulodo, apabila pendidik di depan ia harus
memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarsa artinya di
depan, sung/asung artinya memberi, dan tulodo yang artinya contoh.34
Dengan kata lain seorang guru adalah pendidik yang harus memberi
teladan yang baik kepada anak didiknya. Sebab guru adalah seorang figur
panutan yang harus digugu dan ditiru semua perkataan dan perbuatannya.35
Atau dalam pengertian lain ing ngarsa sung tulodo, artinya seorang pendidik
selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin yang
memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani
oleh para peserta didik.36
32
ibid, h. 75.
ibid, h. 76.
34
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 105.
35
Haidar Musyafa, op, cit., h. 288.
36
Bartolomeus Samho, op, cit., h. 78.
33
63
Kedua, ing madya mangun karsa, apabila pendidik berada di tengahtengah bersama anak didiknya ia harus mendorong kemauan anak,
membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk berinisiatif dan berbuat. Ing
madya artinya di tengah tengah, mangun yang artinya membangun, dan karso
yang berarti kehendak atau kemauan.37
Maksud lainnya ialah bahwa seorang guru adalah pendidik yang selalu
berada di tengah-tengah peserta didik. Terus-menerus membangun dan
menumbuhkan semangat peserta didik untuk terus menorehkan karya. Seorang
guru juga berkewajiban mengajak peserta didik untuk menggali ide dan
gagasan, sehingga mereka dapat berkembang menjadi manusia yang cerdas dan
berwawasan.38 Atau ing madya mangun karso, artinya seorang pendidik selalu
berada
di
tengah-tengah
para
peserta
didik
dan
terus-menerus
memprakasai/memotivasi peserta didiknya produktif dalam berkarya.39
Ketiga, tut wuri handayani, berasal dari bahasa Jawa yaitu: “tut wuri” yang
berarti mengikuti dari belakang, dan “handayani” yang berarti mendorong,
memotivasi, atau membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan
bahwa tut wuri handayani ialah mengakui adanya pembawaan, bakat, ataupun
potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak lahir. Dengan kata tut wuri
pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan dan memahami bakat atau
potensi yang muncul dan terlihat pada anak didik untuk selanjutnya
mengembangkan pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.40
Seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus memberikan dorongan
semangat dan menunjukkan arah yang benar untuk anak didiknya.41 Dalam arti
lain bahwa tut wuri handayani, seorang pendidik selalu mendukung dan
menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup
masyarakat. Pendidik mengikuti para muridnya dari belakang, memberi
kemerdekaan bergerak dan mempengaruhi mereka dengan kekuatannya, kalau
37
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106.
Haidar Musyafa, op, cit., h. 288.
39
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78.
40
Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 105.
41
Haidar Musyafa, op. cit., h. 288.
38
64
perlu dengan paksaan dan ketegasan apabila kebebasan yang diberikan kepada
para murid itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan
hidupnya.42
Jika dilihat lagi, konsep tut wuri handayani lebih dekat dengan aliran
konvergensi dari Willian Stren yang berpendapat bahwa perkembangan anak
ditentukan oleh interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki
anak dengan lingkungan, atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi
anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak,
dalam perkembangannya ada yang ditentukan oleh pembawaannya dan ada
yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung kepada mana yang lebih
dominan dalam interaksi antara keduanya.43
Pendidikan menurut konsep Ki Hadjar Dewantara merupakan hasil
interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki anak, di
mana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran aktif, tidak
menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya pendidik tidak
boleh dominan menguasai anak.44
Dan ketiga kalimat di atas juga mempunyai arti bahwa pendidik harus
dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat
mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkandung maksud membiarkan
peserta didik menuruti bakat dan kodratnya sementara guru memperhatikan.
Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti
membimbing atau mengajar. Dengan demikian membimbing mengandung arti
bersikap menentukan ke arah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang
berjiwa Pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya
menurut kehendak sang pendidik. Motto tut wuri handayani tersebut sekarang
telah diambil menjadi motto dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.45
Selanjutnya,
metode
pendidikan
yang
cocok
untuk
membentuk
kepribadian generasi muda di Indonesia adalah yang sepadan dengan makna
42
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78.
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., 105.
44
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106.
45
Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 50.
43
65
pedagogik, yakni momong, among, dan ngemong, yang berarti bahwa
pendidikan bersifat mengasuh. Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia
nilai-nilai. Dalam sistem among ini pengajaran berarti mendidik anak menjadi
manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya.
Sementara alat atau cara mendidik dalam metode among terdiri dari enam,
yakni:
1. Memberi contoh: pamong memberi contoh atau teladan yang baik dan
bermoral kepada peserta didik.
2. Pembiasaan:
setiap
peserta
didik
dibiasakan
untuk
melaksanakan
kewajibannya sebagai pelajar, sebagai anggota komunitas Taman Siswa dan
sebagai anggota masyarakat secara selaras dengan aturan hidup bersama.
3. Pengajaran: guru arau pamong memberikan pengajaran yang menambahkan
pengetahuan peserta didik sehingga mereka menjadi generasi yang pintar,
cerdas, benar, dan bermoral.
4. Perintah, paksaan, hukuman: diberikan kepada peserta didik bila dipandang
perlu atau manakala peserta didik menyalahgunakan kebebasan yang dapat
berakibat membahayakan kehidupannya.
5. Laku (perilaku): berkaitan dengan sikap rendah hati, jujur, dan taat pada
peraturan yang terekspresi dalam perkataan dan tindakan.
6. Pengalaman lahir dan batin: pengalaman kehidupan sehari-hari yang
diresapi dan direfleksikan sehingga mencapai tataran "rasa" dan menjadi
kekayaan
serta
sumber
inspirasi
untuk
menata
kehidupan
yang
membahagiakan diri dan sesama.
Dalam tugas mendidik dan mengajar oleh seorang guru, diperlukan pula
metode mengajar yang tepat yaitu dengan memberikan contoh atau menjadi
panutan bagi peserta didik sehingga apa yang diajarkan guru dapat dilihat dan
ditiru secara langsung oleh siswa. 46
Dengan demikian, keinginan Ki Hadjar Dewantara kepada semua pendidik
atau guru dengan metode momong, among, dan ngemong yaitu agar para guru
46
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78-79.
66
dapat mendidik peserta didik dengan cara mengasuh seperti anaknya sendiri.
Tetapi mengasuh di sini dengan memberi nilai-nilai yang positif dalam
kehidupan mereka. Dan bukan mengasuh dengan cara paksaan, melainkan
dengan memperhatikan dan menuntun agar peserta didik bebas untuk
mengembangkan dirinya masing-masing, supaya semua peserta didik dapat
merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaga.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan hasil analisis sebagaimana telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa peran guru menurut perspektif Ki
Hadjar Dewantara adalah pendidik yang menjadi teladan bagi anak didiknya
lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar mereka menjadi manusia yang
merdeka batinnya, pikirannya, serta tenaganya dan dengan pendidikan, mereka
dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, sehingga
bisa mengangkat derajat negaranya.
Pandangan beliau tentang peran guru yang baik atau ideal tercermin dari
semboyan-semboyan yang telah ia canangkan, misalnya ing ngarso sung
tulodo (apabila di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (apabila
di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (apabila di belakang
memberi dorongan). Ada pula momong, among, ngemong. Memiliki arti yaitu
agar para guru dapat mendidik anak muridnya dan cara mengasuh dengan
memberi nilai-nilai yang positif dalam kehidupan mereka. Bukan mengasuh
dengan cara paksaan, melainkan dengan memperhatikan dan menuntun atau
mengarahkan agar anak didiknya bebas untuk mengembangkan dirinya
masing-masing, lalu supaya semua peserta didik dapat merdeka batinnya,
pikirannya, juga tenaganya. Karena pendidikan bertujuan untuk memanusiakan
(memerdekakan) manusia itu sendiri.
Adapun pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan di Indonesia
dapat dilihat dari gagasannya dalam dunia pendidikan, seperti pada tiga fatwa
pendidikan yaitu: Tetep, antep, mantep. Ngandel, kandel, bandel. Dan neng,
ning, nung, nang. Pada intinya, pendidikan yang diinginkan oleh Bapak
Pendidikan
Nasional
Ki
Hadjar
Dewantara
67
yaitu
pendidikan
yang
68
mencerminkan budaya bangsanya sendiri agar menjadi manusia yang mandiri
dan tidak bergantung pada orang lain.
B. Saran
Setelah penulis melakukan pengkajian terhadap peran guru menurut
perspektif Ki Hadjar Dewantara, terdapat beberapa saran yang dapat penulis
sampaikan, di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk lembaga pendidikan, merupakan tanggung jawabnya dalam
menyiapkan tenaga pendidikan (guru-guru) yang profesional dan memiliki
integritas tinggi. Serta menerapkan sistem pendidikan sesuai dengan apa
yang digagas oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.
2. Untuk para guru yang sangat berperan penting dalam kemajuan bangsa
Indonesia dan mencetak generasi-generasi penerus bangsa, mulailah
memandang bahwa kedudukannya sebagai guru atau pendidik bukan hanya
sebagai sebuah profesi, akan tetapi sebagai seseorang yang layak dicontoh
dan menjadi teladan bagi para peserta didik. Juga memahami kembali dan
menerapkan keinginan pejuang Indonesia dalam dunia pendidikan yakni Ki
Hadjar Dewantara dalam mendidik muridnya dan mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh mereka, agar anak didik menjadi seseorang yang
merdeka lahir dan batin. Dan pula, tanamkan dalam hati bahwa mendidik
adalah bertujuan untuk memanusiakan manusia.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai. Reformasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2013.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Danim, Sudarwan. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta,
2013.
Dewantara, Bambang S. 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: PT Garuda
Metropolita Press, 1989.
Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa. Cet. IV, 2011.
Direktorat Jendral Kelembangaan Agama Islam. Wawasan Tugas Guru dan
Tenaga Kependidikan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.
Fattah, Nanang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012.
Hanafiah., dan Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT
Refika Aditama. Cet. XXXIII, 2012.
Harahap. A. H., dan Dewantara. B. S., Bambang. Ki Hadjar Dewantara dan
Kawan-kawan. Jakarta: PT Gunung Agung, 1980.
Hasanah, Aan. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996.
Iskandar. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: IKAPI. Cet. V, 2013.
Kusnandar. Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2007.
Malik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2013.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosydakarya. Cet. XXVIII, 2010.
70
Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber
Belajar Teori dan Praktik., Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011.
Musyafa, Haidar. Sang Guru: Novel Biografi Ki Hadjar Dewantara. Kehidupan,
Pemikiran, dan Perjuangan Pendiri Tamansiswa (1889-1959). Jakarta:
Imania, 2015.
Nata, Abudin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
Nursida Azhari Rumeon, “Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
dengan Konsep Pendidikan Islam”, Skripsi pada Program Strata 1 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan.
Pirdata, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005.
Sadulloh, Uyoh. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta, 2014.
Sagala, Syaiful. Etika dan Moralitas Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013.
Samho, Bartolomeus. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Satori, Djaman, dkk., Profesi Keguruan. Jakarta: Kotak Pos, 2005.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Soetjipto., dan Kosasi, Raflis. Profesi Keguruaan. Jakarta: PT Rineka Cipta,
2011.
Soyomukti, Nurani. Teori-teori Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
71
Sudagar, Fachruddin., dan Idrus, Ali. Pengembangan Profesionalitas Guru.
Jakarta: Gaung Persada Press. Cet. III, 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta. Cet. XIV, 2011.
Sungkring. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung, PT Remaja
Rosydakarya. Cet. VII, 2007.
Taneko, Soleman B. Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Jakarta: Rajawali, 1990.
Tanenji., dan Munawwaroh, Djunaidatul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2003.
Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Wahjosumijo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali,
1984.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Agus Setiawan, lahir di Lebak, Banten pada tanggal 30
November 1994 dari pasangan Warsito dan Subtiah.
Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Cikupa
pada tahun 2006. Tamat sekolah dasar lalu menjadi santri di
Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Gintung, Jayanti,
Tangerang selama enam tahun (2006-2012). Kemudian
melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2012 melalui jalur mandiri dan diterima di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semasa kuliahnya, anak pertama dari
dua bersaudara ini aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masa jabatan 2014-2015. Di luar bidang
akademik, kakak kandung dari M. Rifqi Maulaaya Ramadhan ini memiliki hobi
berolahraga terutama badminton dan futsal. Ia sering mewakili angkatannya
dalam pertandingan antar tingkatan maupun antar fakultas di kampus. Selain itu,
pria yang akrab dipanggil agus ini juga aktif dalam organisasi luar kampus seperti
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Dan saat ini ia menjadi bagian
dari sahabat Dompet Dhuafa yang merupakan lembaga sosial kemanusiaan.
Download