4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DETERJEN CAIR
Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan
bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga
untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama
masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985).
Bhairi (2001), menambahkan deterjen merupakan molekul amfipatik, yaitu
suatu senyawa yang mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal
juga sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan permukaan air.
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi
tiga jenis yaitu;
1. Deterjen ionik, memiliki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik
bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien
untuk memecah ikatan protein-protein.
2. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik
untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan
ikatan protein-protein.
3. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan
deterjen nonionik.
Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan
dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponenkomponen deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi
dengan karakteristik yang baik. Menurut Schueller dan Ramanowsky (1998)
emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang
terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Emulsi
dapat distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat
melalui pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi.
Sedangkan menurut Suryani et. al. (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan
berbagai macam bahan yang memiliki perbedaan kepolaran ke dalam satu
campuran yang homogen.
4
Di dalam SNI (06-0475-1996), deterjen cair dikategorikan sebagai
pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan
penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian
serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua kelompok deterjen
cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian (kelompok P) dan yang
digunakan dalam pencucian alat-alat dapur (kelompok D). Pada penelitian ini
deterjen yang dihasilkan akan diaplikasikan untuk keperluan mencuci pakaian.
Standar SNI (06-0475-1996) untuk deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI
No.
Kriteria
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan:
Bentuk
Bau dan warna
-
Cairan homogen
Khas
2
pH 25o C
-
6–8
3
Bahan aktif
%
Min. 10
4
Bobot jenis
g/ml
1.0 – 1.2
5
Total mikroba
Koloni/g
Maks 1 x 105
Sumber : SNI 16-4075-1996
B. METIL ESTER SULFONAT (MES)
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik
(Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester. Metil
ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam lemak atau
transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan alkohol
(Gervasio, 1996). Minyak/lemak yang digunakan dapat diperoleh dari minyak
kelapa sawit (CPO/PKO). Reaksi transesterifikasi minyak/lemak dapat dilihat
pada Gambar 1.
R’COOR” + R”’OH
R’COOR”’ + R”OH
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi minyak atau lemak (Gervasio, 1996)
5
Menurut De Groot (1991) terdapat beberapa pereaksi yang dapat
digunakan dalam proses sulfonasi, diantaranya gas SO3 murni, oleum, asam
klorosulfonat, asam sulfat dan NaHSO3. Selama proses sulfonasi gugus sulfonat
dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi alfa dan
gugus ester. Bila –SO3 terikat pada kedua tempat tersebut akan terbentuk
disulfonat. Selama berjalannya reaksi disulfonat bertindak sebagai sulfonator bagi
metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakukan dengan cara melepaskan –SO3
dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk
molekul MES (Gervasio, 1996).
Reaksi sulfonasi pembentukan metil ester sulfonat (MES) menurut Pore
(1983) dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins
(2001) dapat dilihat pada Gambar 3.
O
O
R – CH2 – C – OCH3 + NaHSO3
R – CH – C – OCH3
SO3Na
Gambar 2. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1983)
O
R – CH – C – OCH3
SO3Na
Gambar 3. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001)
Pada industri deterjen yang berkembang saat ini, surfaktan yang umum
digunakan adalah LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). Namun LAS memiliki
kelemahan yaitu sulit untuk di degradasi oleh lingkungan.
Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh MES adalah sebagai berikut;
pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari
pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain MES memiliki
toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES
dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi
yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. LAS merupakan salah satu
6
surfaktan yang dihasilkan dari minyak bumi sebagai komponen penyusun deterjen
yang banyak digunakan di dunia. (Watkins, 2001)
C. DEKSTRIN
Dekstrin adalah produk yang dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim
tertentu atau dengan hidrolisa pati secara basah yang dikatalis dengan asam
(Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Menurut Acton (1979), dekstrin adalah produk
degradasi pati sebagai hasil hidrolisis tidak sempurna pati dengan katalis asam
atau enzim pada kondisi yang dikontrol. Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan
berwarna putih sampai kuning keputihan.
Hidrolisa pati akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih
mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga
terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-D-(1,4)- glukosidik menjadi
ikatan α-D-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih
cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pada pati asalnya (Satterthwaite
dan Iwinski, 1973). Sedangkan menurut Furia (1975) dekstrin merupakan hasil
modifikasi pati yang dilakukan dengan memecahkan ikatan glukosida pada rantai
molekulnya. Konversi pati tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan
viskositas dari pati aslinya, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipergunakan
pada konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati aslinya.
Menurut Fennema (1985), apabila dekstrin dilarutkan ke dalam air, maka
gugus-gugus hidroksil dari monomer-monomer dekstrin (unit-unit D-glukosa)
akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air di sekitarnya. Gugus
hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil lainnya dari
sesama monomer sehingga terbentuk kristal apabila air dihilangkan dengan cepat
misalnya dengan proses pengeringan atau penggorengan. Jika dalam suatu bahan
terdapat molekul-molekul polar seperti alkohol, ester dan keton (komponenkomponen flavour), maka komponen-komponen tersebut akan menggantikan
posisi molekul air dan terperangkap ke dalam matriks yang amorf. Struktur
molekul dekstrin dapat dilihat pada Gambar 4.
7
Gambar 4. Struktur Molekul Dekstrin (Fennema, 1985)
Menurut Lewis (1989), dekstrin merupakan bahan yang aman (Generally
Recognize as Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi manusia.
Dekstrin berfungsi sebagai thickener dan memperbaiki panampakan produk
sehingga sering digunakan sebagai bahan campuran serbuk minuman, permen dan
macam-macam kue. Dekstrin termasuk ke dalam bahan pengisi yang dapat
menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan suatu larutan untuk membentuk
suatu kekentalan tertentu.
D. FORMULASI DETERJEN CAIR
Formula yang digunakan dalam pembuatan deterjen cair merupakan
formula yang berasal dari Matheson (1996) yang telah dimodifikasi dengan
menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan penggunaan dekstrin
sebagai bahan pengental untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan emulsi.
Formula tersebut menyebutkan bahwa deterjen cair terdiri dari surfaktan, soap,
builders, hydrotropes, other (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume,
coloring). Sedangkan menurut Bird (1983) bahwa bahan baku deterjen terdiri atas
surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta enzim. Formulasi deterjen cair
menurut Matheson (1996) dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Formulasi Deterjen Cair
Bahan
Surfaktan
Soap
Builders
Hydrotropes
Others (enzymes, bleach, optical brigtener,
perfume, coloring)
Konsentrasi
20% - 40%
0% - 5 %
0% - 10%
5% - 10%
1% - 2%
Sumber : Matheson, 1996
Pada penelitian ini, formulasi Matheson (1996) dimodifikasi dengan
menggunakan surfaktan yang ramah lingkungan yaitu MES (Metil Ester Sulfonat)
dan SLS (Sodium Lauril Sulfat). Pada formulasi ini tidak dipergunakan soap dan
hydrotropes. Soap (sabun) pada formulasi ini berfungsi sebagai pembusa dan
membantu kerja surfaktan dalam membentuk emulsi. Fungsi sabun dalam
formulasi tersebut telah digantikan oleh surfaktan SLS (Sodium Lauril Sulfat).
Dalam formulasi ini hydrotropes berfungsi sebagai penstabil larutan
deterjen yang terbentuk serta sebagai zat tambahan yang dapat membantu
melarutkan bahan-bahan pembuat deterjen yang mempunyai nilai kepolaran
berbeda (Matheson, 1996). Pada formulasi yang dikembangkan, hydrotropes tidak
digunakan karena pada formulasi tersebut telah ditambahkan dekstrin dan MES
yang diduga dapat meningkatkan kestabilan emulsi.
1. Surfaktan
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mengandung hidrokarbon
yang tidak larut dalam air dan hidrokarbon yang larut dalam air. Hidrokarbon
yang larut dalam air dikenal dengan gugus hidrofilik, sedangkan hidrokarbon
yang tidak larut dalam air disebut gugus hidrofobik/lipofilik (Matheson, 1996).
Gugus hidrofobik surfaktan terdiri dari rantai hidrokarbon C8-C18 yang
dapat berupa senyawa alifatik, aromatik atau gabungan dari keduanya. Sedangkan
gugus hidrofilik surfaktan dapat berupa gugus anionik, kationik atau nonionik.
Menurut Ilyani (2002), surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan air,
sehingga kotoran dapat lepas dari kain. Surfaktan juga berfungsi sebagai
9
emulsifier yang dapat menjaga minyak tetap terdispersi dan tersuspensi sehingga
minyak tersebut tidak tepisah.
Tegangan permukaan merupakan gaya tarik menarik antar molekul dalam
sebuah larutan. Setiap molekul dalam jumlah besar saling berikatan dengan
molekul-molekul yang berada di dekatnya dengan kekuatan tarik yang sama
besar, sehingga menimbulkan suatu lapisan yang memisahkan antara larutan
dengan udara (Hargreaves, 2003).
Menurut Hargreaves (2003) ketika molekul surfaktan berada di dalam air,
gugus hidrofiliknya berikatan kuat dengan molekul air (ikatan antar molekul
polar), sedangkan gugus hirofobiknya (non-polar) mempunyai kecenderungan
untuk menjauh dari molekul air. Gugus hidrofilik surfaktan bergerak ke
permukaan air dan berikatan dengan molekul udara, sehingga membuat tegangan
permukaan air menurun.
Schuller dan Romanowsky (1998), menyatakan bahwa pada konsentrasi
yang cukup molekul-molekul surfaktan beragregat membentuk sebuah struktur
spherical yang disebut missel. Pada bentuk ini rantai hidrofobik berorientasi ke
dalam missel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi ke luar missel. Pada kondisi
tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi missel kritis (KMK)
atau critical micelle concentration (CMC). Digunakan surfaktan MES dan SLS
dalam formulasi deterjen cair pada penelitian ini. Ilustrasi molekul surfaktan dapat
dilihat pada Gambar 5.
Hidrofobik
Hidrofilik
Gambar 5. Ilustrasi molekul surfaktan (Anonim, 2009)
SLS adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat
ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang
SLS berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki
daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di
Inggris mengkombinasikan SLS dengan surfaktan anionik lainnya dalam
formulasi deterjen cair (Woolat, 1985).
10
Pada penelitian ini menggunakan SLS dengan nama dagang Texapon N70. Menurut Greenberg, et. al (1954), senyawa ini merupakan campuran garam
natrium
dari senyawa alkil sulfat primer. Rumus molekulnya adalah
C12H25OSO3Na. Senyawa ini berbentuk hablur, berwarna putih atau kuning pucat,
bau lemah dan khas, sangat mudah larut dalam air dan larutannya berkabut.
Kegunaan senyawa ini adalah sebagai surfaktan, selain itu senyawa ini berguna
sebagai bahan pembersih dan pengemulsi.
2. Builders
Builders merupakan komponen penting kedua dalam formula deterjen
karena berfungsi meningkatkan efisiensi kinerja surfaktan. Fosfat merupakan
salah satu builders dalam formulasi deterjen. Sodium tripolifospat (STPP)
merupakan salah satu contoh dari fosfat yang paling penting dalam pembuatan
deterjen bubuk. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mencegah kain putih
menjadi keabu-abuan dan memiliki karakteristik yang memperkuat deterjen
dalam mencuci ketika komponen organik deterjen tidak ada. Secara umum fungsi
sodium tripolifospat adalah meningkatkan kekuatan menghilangkan dan
mengendapkan kotoran dan membantu deterjen memiliki struktur yang baik
(Sasser, 2001).
Menurut Wittcoff dan Reuben (1980), tujuan penambahan builders adalah
untuk mengkelat ion-ion Ca2+ dan Mg2+. Builders dalam deterjen akan
melindungi/menghalangi redoposisi kotoran akan kembali ke permukaan. Rumus
bangun sodium tripolifosfat terlihat pada Gambar 6.
_
O
P
O
P
O
P
O
5 Na+
Gambar 6. Rumus bangun STPP (Wittcoff dan Reuben 1980)
3. Bleaching
Bleaching (pemutih) adalah bahan yang digunakan untuk memutihkan
pakaian yang dicuci. Salah satu bahan pemutih yang digunakan dalam formulasi
deterjen adalah H2O2 (Hidrogen Peroksida). Menurut Broze (1999) hidrogen
11
peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen,
sehingga dapat digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu yang rendah. Berikut
ini adalah persamaan reaksi proses pemutihan:
H2 O2 + X
H2O + XO (pigmen teroksidasi)
4. Parfum
Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang
berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi
berbahan sintetis. Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk
memberikan aroma yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat
pencucian (Gunter dan Lohr, 1987). Pada umumnya penggunaan konsentrasi
parfum maksimal adalah 1.0 persen.
E. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN KINERJA DETERJEN CAIR
Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan kualitas
system emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai pH, viskositas, bobot jenis,
dan stabilitas emulsi. Sedangkan untuk menentukan kualitas kinerja produk
digunakan analisa terhadap parameter daya pembusaan, stabilitas busa, daya
deterjensi.
1. Nilai pH
Menurut teori asam-basa Lowry, asam sebagai zat yang mampu
menghasilkan proton dan basa sebagai penerima proton. Lebih lanjut proton
didefinisikan sebagai atom H yang kehilangan satu elektronnya (H+) sehingga
hanya memiliki satu muatan positif, dengan massa sedikit lebih kecil dibanding
atom H. Sedangkan teori asam-basa Lewis, asam sebagai radikal, ion atau
molekul yang sanggup menerima elektron (Bird, 1993).
Teori
Arhenius
menyebutkan
bahwa
senyawa
asam
sanggup
membebaskan ion hidrogen apabila dilarutkan di dalam air. Kekuatan asam
(derajat keasaman) ditentukan oleh sifat basa dari pelarut yang digunakan
(kemampuan menarik proton). Derajat keasaman adalah fungsi logaritmik dari
konsentrasi ion H+ di dalam larutan (Respati, 1992).
12
2. Viskositas
Viskositas atau kekentalan adalah indeks hambatan alir cairan (Bird, 1993;
Respati, 1992). Di dalam Kodeks Kosmetika RI (1986), viskositas didefinisikan
sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan satu permukaan lain dalam
kondisi yang ditentukan, apabila ruang diantaranya diisi oleh cairan tersebut.
Definisi lainnya shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu
diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tersebut (Suryani et. al.,
2000).
Standar Nasional Indonesia tidak mencantumkan nilai viskositas yang
harus dipenuhi oleh produk deterjen cair. Stephan Co., salah satu produsen
surfaktan di Amerika menyatakan nilai viskositas sediaan pembersih cair berada
didalam kisaran 500 cp hingga 2000 cp.
3. Bobot Jenis
Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai berat suatu cairan per
satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Waistra (1996) nilai bobot jenis spesifik
pada suhu tertentu. Bobot jenis deterjen cair ditentukan oleh bobot jenis
komponen-komponen penyusunnya. Perbedaan bobot jenis komponen penyusun
sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas
emulsi tersebut dengan meningkatnya kecederungan fenomena creaming.
4. Stabilitas Emulsi
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh suhu, jenis dan konsentrasi emulsifier,
kondisi penyimpanan dan aktivitas mikroorganisme. Pada dasarnya nilai stabilitas
emulsi terkait dengan kualitas emulsi tersebut dikaitkan dengan waktu. Dengan
kata lain berkaitan dengan faktor penyimpanan produk emulsi (Waistra, 1996).
5. Daya Pembusaan
Busa adalah agregat dari buih, sedangkan buih merupakan emulsi gas
dalam cairan (Stubenrauch et al., 2003; Bird, 1993). Buih-buih yang saling
berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut
menjadi 120°. Formasi tersebut mirip dengan sarang lebah. Dinding yang
terbentuk dari cairan ini memisahkan fase gas dalam ruang-ruang polihedral. Pada
proses pembersihan oleh deterjen cair, busa berperan dalam mempertahankan
kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003).
13
6. Stabilitas Busa
Busa yang dihasilkan oleh produk deterjen cair juga harus stabil agar
bertahan lebih lama selama proses pencucian berjalan. Stabilitas busa dikaitkan
dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan
menghubungkan volume busa terhadap waktu. Selain dipengaruhi oleh jenis
surfaktan, stabilitas busa dipengaruhi oleh suhu dan laju drainase (Stubenrauch et.
al., 2003).
7. Daya Deterjensi
Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing
yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa
larutan surfaktan. Sedangkan deterjen merupakan bahan yang digunakan untuk
meningkatkan daya pembersihan oleh air (Hanson, 1992).
Proses deterjensi tejadi melalui pembentukan missel-missel oleh surfaktan
yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat
pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan
adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Hanson, 1992). Gambar mengenai
proses pembentukan missel-missel oleh surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim, 2009)
Sedangkan menurut Hargreaves (2003) proses deterjensi oleh deterjen
adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan berikatan dengan kotoran
dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan molekul air, sehingga membawa
kotoran larut dalam air. Sedangkan pada konsentrasi tinggi surfaktan akan
membentuk missel dan kotoran akan di hilangkan dari permukaan kain dengan
14
melarutkannya dalam bentuk mikro emulsi. Gambar proses deterjensi dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses deterjensi oleh deterjen (Hargreaves, 2003)
8. Kadar Fosfat
Fosfat total merupakan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun
terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor anorganik biasanya disebut soluble
reactive phosphorus, misalnya ortofosfat. Keberadaan fosfor secara berlebihan
yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan
alga di perairan (Effendi, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian total
fosfat dalam produk deterjen.
15
Download