PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora brassicae WOR.)

advertisement
PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora brassicae
WOR.) PADA KUBIS-KUBISAN DAN UPAYA
PENGENDALIANNYA
Cicu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jalan Perintis Kemerdekaan km 17,5, Makassar
ABSTRAK
Penyakit akar gada yang disebabkan oleh patogen tular tanah (Plasmodiophora brassicae Wor.) merupakan
penyakit penting pada tanaman kubis dan tanaman cruciferae lainnya. Patogen menyebabkan pembengkakan pada
akar dan kadang-kadang pada pangkal batang yang merupakan ciri khas dari penyakit tersebut. Pembengkakan
pada jaringan akar dapat mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air dari tanah ke daun. Keadaan
ini mengakibatkan tanaman menjadi layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati. Spora rehat patogen dapat bertahan
hidup di dalam tanah sampai 17 tahun. Populasi patogen sering merupakan campuran berbagai patotipe sehingga
mempersulit pengendaliannya. Penggunaan varietas resisten sebagai komponen pengendalian hama terpadu kurang
prospektif diterapkan dalam jangka waktu lama karena ras patogen berkembang cepat dan hanya sedikit kultivar
resisten yang tersedia. Pada beberapa kasus, penggunaan kapur dan fungisida efektif mengendalikan penyakit akar
gada, namun pada kasus yang lain cara ini kurang efektif. Pengendalian biologi dengan memanfaatkan mikroba
antagonis baru pada tahap percobaan di rumah kaca dan hanya sedikit yang berupa percobaan lapangan. Pemanfaatan
tanah supresif, bahan organik, solarisasi tanah, dan substan antiauksin dari mikroba merupakan komponen
pengendalian yang penting untuk pengelolaan penyakit akar gada di masa datang.
Kata kunci: Akar gada, Plasmodiophora brassicae, cruciferae, pengendalian penyakit
ABSTRACT
Clubroot disease (Plasmodiophora brassicae Wor.) on crucifers and its control
The clubroot disease caused by Plasmodiophora brassicae Wor., a soilborne pathogen, is a serious disease on
cabbage and other cruciferous crops worldwide. The disease causes swelling of parts of the roots and sometimes of
the stem base. These clubs inhibit nutrient and water transport, stunt the growth of the plant, and increase the
susceptibility to wilting. After some weeks the clubbed roots decay, weakening the support of the plant. Resting
spores of the pathogen can survive for more than 17 years in the soil and have highly variable pathogenicity
within field populations, making disease control difficult. The use of resistant cultivars is suggested as measures for
integrated disease control. Nevertheless, only small number of resistant cultivars have been released; beside, they
may be uselessness in long term due to the developing capability of pathogen in many physiological races. In many
cases, limes and fungicides gave a good control, but in other case, their effect was poor or negligible. Biological
control using antagonistic microbes has been explored, though still at green house and limited field experiments.
Utilization of suppressive soils, organic amendments, soil solarization, and antiauxin substans of microbes will be
important components of clubroot disease management in the future.
Keywords: Clubroot, Plasmodiophora brassicae, crucifers, disease control
P
enyakit akar gada (clubroot) yang
disebabkan oleh Plasmodiophora
brassicae Wor. merupakan salah satu
penyakit tular tanah yang sangat penting
pada tanaman kubis-kubisan (Brassica
spp.) di seluruh dunia (Karling 1968;
Voorrips 1995). Penyakit ini juga sering
disebut penyakit akar pekuk (Suryaningsih 1981; Semangun 1989) atau
penyakit akar bengkak (Djatnika 1989;
Hutagalung et al. 1989).
16
Menurut Karling (1968), kerugian
yang disebabkan oleh P. brassicae pada
tanaman kubis-kubisan di Inggris, Jerman,
Amerika Serikat, Asia, dan Afrika Selatan
mencapai 50–100%. Di Australia, patogen
ini menyebabkan kehilangan hasil sekitar
10% setiap tahun dengan kehilangan
pendapatan sebesar US$13 juta (Faggian
et al. 1999). Di Indonesia, penyakit ini
menyebabkan kerusakan pada kubiskubisan sekitar 88,60% (Widodo dan
Suheri 1995) dan pada tanaman caisin
sekitar 5,42−64,81% (Hanudin dan
Marwoto 2003).
Tingkat produksi tanaman kubiskubisan sering kali dipengaruhi oleh
serangan patogen P. brassicae yang
menyebabkan bengkak pada akar. Pembengkakan pada jaringan akar dapat
mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air dari dalam tanah ke
daun. Keadaan ini mengakibatkan tanamJurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
an layu, kerdil, kering dan akhirnya mati
(Karling 1968). Jika tanah sudah terinfestasi oleh P. brassicae maka patogen
tersebut akan selalu menjadi faktor
pembatas dalam budi daya tanaman famili
Brassicaceae karena patogen ini mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan dalam tanah.
Berbagai upaya penanggulangan
penyakit akar gada telah dilakukan, antara
lain perbaikan drainase, perlakuan tanah,
perlakuan benih, penggunaan varietas
resisten, penggunaan bahan kimia, dan
pemanfaatan mikroorganisme antagonis.
Makalah ini menguraikan hasil-hasil
penelitian yang berkaitan dengan penyakit akar gada, termasuk penyebab dan
upaya penanggulangannya untuk menunjang peningkatan produksi tanaman
kubis-kubisan melalui perbaikan pengelolaan penyakit tersebut.
Plasmodiophora brassicae
WOR.
Plasmodiophora brassicae dianggap
sebagai pseudofungi atau organisme
yang menyerupai fungi (Agrios 1997).
Siklus penyakit dimulai dengan perkecambahan satu zoospora primer dari
satu spora rehat haploid di dalam tanah.
Zoospora primer ini mempenetrasi rambut akar dan selanjutnya masuk ke dalam
sel inang (Aist dan Williams 1971 dalam
Voorrips 1995). Setelah penetrasi rambut
akar atau sel epidermis inang oleh zoospora primer, protoplas yang berinti satu
terbawa masuk ke dalam sel inang,
kemudian terjadi pembelahan miosis dan
pembentukan plasmodium primer oleh
protoplas. Setelah mencapai ukuran
tertentu, bergantung pada ukuran sel
epidermis inang, plasmodium primer
membelah menjadi beberapa bagian
yang kemudian berkembang menjadi
zoosporangia (Alexopoulos et al. 1996).
Setiap zoosporangium mengandung 4
atau 8 zoospora sekunder yang dapat
terlepas melalui lubang atau pori-pori
pada dinding sel inang (Agrios 1997).
Naiki et al. (1984) dalam Voorrips (1995)
menyatakan bahwa zoospora sekunder
dapat menginfeksi kembali rambut akar,
yang menyebabkan perkembangan aseksual patogen menjadi cepat. Setelah
miosis, terbentuk inti diploid baru, yang
kemudian berkembang menjadi spora
rehat haploid dan terlepas masuk ke dalam
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
tanah ketika akar yang sakit rusak
(Voorrips 1995).
Perkecambahan spora terjadi pada
pH 5,50–7,50 dan tidak berkecambah pada
pH 8 (Karling 1968). Kisaran suhu bagi
perkembangan patogen adalah 17,80–
25oC dengan suhu minimum 12,20oC dan
maksimum 27,20oC (Agrios 1997). Tingkat
infeksi juga ditentukan oleh jumlah spora
rehat patogen. Suspensi yang mengandung paling sedikit 10 6–108 sel spora
setiap ml sangat efektif untuk melakukan
infeksi. Menurut Djatnika (1989), 104 sel
spora masih mampu menginfeksi tanaman.
Gejala infeksi yang tampak di atas
permukaan tanah adalah daun-daun
tanaman layu jika hari panas dan kering,
kemudian pulih kembali pada malam hari,
serta kelihatan normal dan segar pada pagi
hari. Jika penyakit berkembang terus,
daun-daun menjadi kuning, tanaman
kerdil, dan mungkin mati atau hidup
merana (Karling 1968). Pembengkakan
akar merupakan ciri khas penyakit akar
gada. Bentuk dan letaknya bergantung
pada spesies inang dan tingkat infeksi.
Akar yang membengkak akan makin besar
dan biasanya hancur sebelum akhir musim
tanam karena serangan bakteri dan cendawan lain (Agrios 1997). Apabila infeksi
terjadi pada akhir musim tanam, ukuran
gada biasanya kecil dan tanaman dapat
bertahan hidup (Karling 1968).
PENYEBARAN PENYAKIT
Penyakit akar gada pertama kali diketahui
di Indonesia pada tahun 1950 di daerah
Sukabumi, Jawa Barat. Pada musim
hujan tahun 1975/1976 penyakit tersebut
juga ditemukan di Kebun Percobaan
Margahayu, Lembang (Suhardi dan
Suryaningsih 1976). Menurut Djatnika
(1984), P. brassicae telah menyebar di
Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan
terutama di Jawa Barat. Pada tahun 1988
bahkan sudah ditemukan pada tanaman
petsai di Jeneponto, Sulawesi Selatan
(Hutagalung et al. 1989). Saat ini penyakit
tersebut telah menyebar ke daerah-daerah
penghasil kubis dan tanaman dari famili
Brassicaceae lainnya (Widodo dan Suheri
1995).
Patogen dapat terpencar di alam
melalui tanah dengan berbagai cara atau
perantara, misalnya perlengkapan usaha
tani, bibit pada saat pemindahan ke
lapangan, hasil panen, air permukaan,
angin dan melalui pupuk kandang.
Patogen juga dapat ditularkan oleh biji
melalui konta-minasi permukaan biji
dengan tanah yang terinfeksi. Selain itu
sejumlah tanaman cruciferae liar dan
beberapa tanaman inang lain yang rentan
terhadap penyakit akar gada dapat
menjadi tempat bertahan hidup patogen
pada saat tanaman budi daya tidak ada
(Karling 1968).
PENGENDALIAN
Penggunaan Varietas Resisten
Pemuliaan tanaman untuk memperoleh
varietas yang resisten berjalan lambat
(Dobson et al. 1983). Salah satu penyebabnya adalah di beberapa tempat populasi P. brassicae mempunyai patotipe atau
ras fisiologi yang berbeda. Reyes et al.
(1974) melaporkan terdapat sembilan jenis
gulma dari cruciferae yang rentan terhadap ras 6. Di lahan pertanaman kubiskubisan di Jawa Barat ditemukan empat
ras P. brassicae (Djatnika 1990c). Menurut
Wallenhammar (1996), patogenesitas P.
brassicae pada tanaman caisin cv. Granat
dan kultivar-kultivar brassica lainnya
menunjukkan variasi pada tanah yang
berbeda. Dalam tanah, populasi P. brassicae umumnya terdiri atas campuran
berbagai patotipe.
Varietas resisten dapat kehilangan
sifat resistensinya atau dipatahkan resistensinya akibat perkembangan ras-ras
fisiologi patogen (Reyes et al. 1974).
Bahkan penanaman suatu varietas secara
terus-menerus pada lahan yang sama akan
merangsang timbulnya ras yang lebih
virulen (Agrios 1997). Seaman dalam
Voorrips (1995) mengemukakan bahwa
penurunan resistensi kubis cv. Badger
Shipper dalam beberapa tahun setelah
pelepasan kemungkinan disebabkan oleh
seleksi dari genotipe patogen. Hal yang
sama dikemukakan oleh Kuginuki et al.
(1999) bahwa sejumlah kultivar caisin
yang resisten dapat menjadi peka pada
beberapa daerah pertanaman di Jepang
karena seleksi patogenesitas dalam
populasi P. brassicae.
Kultur Teknis
Pengapuran tanah dapat mengendalikan
penyakit jika kepadatan spora rehat
rendah, namun aplikasinya tidak efektif
pada tanah yang terkontaminasi sangat
parah (Colhoun dalam Wallenhammar
17
1996). Aplikasi 60 t/ha kalsium karbonat,
sodium karbonat, dan gipsum selama 3
tahun dapat mengendalikan penyakit dan
meningkatkan hasil kubis dengan memuaskan, tetapi kepadatan inokulum di
dalam tanah tidak menurun secara nyata,
dan jika kandungan kalsium tanah kembali
rendah dapat menginduksi penyakit
(Fletcher et al. dalam Wallenhammar
1996). Pengapuran tanah dengan CaO
11,20 t/ha atau 20 t/ha belum mampu
menekan kejadian dan intensitas serangan penyakit dengan nyata pada
tanaman kubis (Djatnika 1989; Herdian
2000). Menurut Myers et al. (1981),
pengapuran pada jenis tanah yang
berbeda memberikan hasil pengendalian
penyakit yang berbeda pula.
Efektifitas pengapuran tanah dipengaruhi oleh distribusi atau redistribusi
kapur dalam tanah (Dobson et al. 1983),
tetapi peranan kapur dalam menekan
penyakit belum diketahui secara pasti.
Namun demikian peningkatan pH tanah
setelah aplikasi kapur diduga dapat
mengontrol patogen. Menurut Agrios
(1997), serangan penyakit akar gada
paling parah terjadi pada pH tanah 5,70.
Perkembangan penyakit akan menurun
pada pH tanah 5,70−6,20 dan tertekan pada
pH 7,80. Selanjutnya ditekankan pentingnya memerhatikan faktor-faktor yang
berhubungan dengan distribusi kapur,
termasuk persiapan tanah, kelembapan
tanah, tekstur tanah, interval inkubasi
antara aplikasi kapur dan penanaman,
serta jenis pupuk yang digunakan.
Sumber pupuk nitrogen mempengaruhi serangan dan indeks (keparahan)
penyakit akar gada baik pada tanah yang
diberi kapur maupun yang tidak diberi
kapur (Dobson et al. 1983). Ca(NO3)2
merupakan sumber pupuk nitrogen yang
paling baik pada tanah yang diberi kapur,
diikuti oleh KNO3 + Ca(NO3) 2. Sebaliknya, (NH4)2SO4, nitrapirin, dan urea tidak
cocok digunakan pada lahan yang
terinfeksi, khususnya pada tanah yang
tidak diberi kapur, karena tingkat serangan
dan indeks penyakit akar gada cukup
tinggi (Tabel 1). Gunadi dan Asandhi
(1988) melaporkan bahwa intensitas
serangan akar gada dipengaruhi oleh
sumber dan takaran pupuk nitrogen yang
digunakan. Pupuk nitrogen yang paling
baik adalah chilean sodium nitrat (CSN)
dengan takaran 135 kg N/ha, kemudian
chilean potash nitrat (CPN) dan potash
nitrat (PN) dengan takaran 135 kg N/ha.
Penggunaan urea dengan takaran 135 kg
18
N/ha, CPN, PN, dan CSN 67,50 kg N/ha
tidak dianjurkan karena intensitas penyakit justru akan meningkat (Tabel 2).
Penggunaan mulsa jagung tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap intensitas penyakit dan bobot
brangkasan tanaman kailan (Herdian
2000). Ekstrak bawang putih pada kondisi
semilapang tidak mempengaruhi serangan
penyakit (Djatnika 1990b). Selanjutnya
Djatnika (1991) melaporkan bahwa ekstrak
gulma (babadotan) dapat menekan diameter akar bengkak dari 8,36 mm menjadi
4,09 mm, tetapi tidak dapat meningkatkan bobot daun petsai secara nyata.
Tumpang sari kailan dengan rumput
jepang juga tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap intensitas penyakit dan
nilai produksi tanaman kailan (Herdian
2000).
Rotasi tanaman dengan tanaman
selain famili Brassicaceae memerlukan
waktu lama karena spora rehat patogen
dapat bertahan hidup di dalam tanah
hingga 17 tahun (Wallenhammar 1996).
Nielson dalam Wallenhammar (1996)
menyimpulkan bahwa penanaman cruciferae setiap 4 tahun tidak cukup untuk
mengendalikan penyakit. Rotasi dengan
tanaman rape (oilseed rape) setiap 6–8
tahun dapat mencegah serangan yang
berat. Namun demikian, efek rotasi tanaman dengan mudah dapat tereliminasi jika tanah di sekitarnya terinfeksi patogen
dan terangkut ke lahan perlakuan rotasi
melalui alat-alat pertanian, kaki atau
sepatu pekerja. Selain itu keberadaan
gulma cruciferae dapat menstimulasi
kelangsungan hidup patogen. Oleh
karena itu pengendalian gulma harus
dilakukan.
Perbaikan drainase tanah dapat
mengurangi kehilangan hasil, tetapi cara
tersebut kurang efektif khususnya selama
periode curah hujan tinggi (Rowe dan
Farley 1979). Pengendalian dengan cara
perendaman lahan hanya dapat dilakukan
pada lahan sawah (Djatnika 1989).
Tabel 1. Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap serangan dan indeks
penyakit akar gada pada tanaman caisin.
Tanah diberi kapur
Sumber
nitrogen
Ca (NO 3)2
KNO 3 + Ca(NO3)2
(NH4)2SO2
(NH 4)2SO2 + nitrapirin
Urea
Urea + nitrapirin
Tanah tidak diberi kapur
Tanaman
terserang (%)
Indeks
penyakit
Tanaman
terserang (%)
Indeks
penyakit
0
24
32
35
32
38
0
0,3
0,4
0,5
0,4
0,4
86
99
100
100
100
100
1,4
2,5
2,8
2,7
2,9
2,6
Sumber: Dobson et al. (1983).
Tabel 2. Pengaruh penggunaan pupuk urea dan chilean nitrat terhadap
kadar serat krop, bahan terlarut dan intensitas serangan penyakit
bengkak akar, Lembang 1987.
Perlakuan
U-135
CSN-135
CSN-67,50
CPN-135
CPN-67,50
PN-135
PN-67,50
Kadar serat krop
(%)
Bahan terlarut
(%)
Intensitas serangan
bengkak akar (%)
2,69
3,01
3,61
3,37
2,68
3,20
3,68
7,68
7,19
7,30
7,44
7,44
7,49
7,50
2,50
0,75
1,50
1,25
2,00
1,25
1,75
Sumber: Gunadi dan Asandhi (1988).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Pengendalian Kimiawi
Fumigasi tanah dengan metil bromida
dapat mematikan P. brassicae, tetapi cara
ini tidak dianjurkan di lapangan karena
berbahaya dan mahal. Pengendalian
dengan fungisida tidak selalu menunjukkan hasil yang memuaskan. Pencelupan
akar bibit dalam cairan fungisida yang
mengandung pentachloro-nitrobenzene
(PCNB) atau derivat benzimidazole dapat
mengurangi intensitas penyakit akar gada
dalam beberapa kasus saja (Reyes et al.
1974), tetapi tidak efektif jika digunakan
pada tanah yang mengandung banyak
pupuk kandang (Rowe dan Farley 1979).
Hal ini disebabkan fungisida yang diaplikasikan tidak dapat mencapai tanah yang
mengandung patogen karena terhalang
oleh pupuk kandang, atau dengan kata
lain sebagian fungisida yang diaplikasikan hanya menempel pada pupuk kandang.
Penggunaan dazomet di beberapa
negara dapat menanggulangi serangan
penyakit akar gada, tetapi penelitian
Djatnika (1989) menggunakan bahan yang
sama dengan dosis 40 g/m2 tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Menurut Horiuchi et al. (1982), pengendalian
dengan pestisida sulit diterapkan pada
lahan yang ditanami tanaman kubiskubisan secara terus-menerus. Penanaman tanaman sejenis secara berulang
pada lahan yang sama akan meningkatkan populasi dan virulensi patogen
sehingga patogen makin sulit dikendalikan, termasuk dengan pestisida.
Beberapa fungisida mempunyai
efikasi yang terbatas bila kepadatan spora
rehat dan virukasi P. brassicae tinggi
(Tanaka et al. 1997). Flusulfamida telah
digunakan secara luas dalam produksi
cruciferae di Jepang (Tanaka 1996). Selanjutnya Tanaka et al. (1999) melaporkan
bahwa flusulfamida mempengaruhi stadia
awal dari siklus hidup P. brassicae, dan
diduga menghambat perkecambahan
spora rehat atau menurunkan viabilitas
spora-spora primer yang terlepas dari
spora rehat, namun tidak efektif mengendalikan P. brassicae yang sudah ada
dalam sel korteks.
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati patogen tular tanah
menggunakan mikroba antagonis telah
banyak dilaporkan. Pengendalian hayati
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
dengan mikroba tanah Mortierella sp.
yang dikombinasikan kapur setara 2 t
CaO/ha pada percobaan semilapangan
dapat menekan persentase dan intensitas
serangan penyakir akar gada serta meningkatkan bobot daun kubis, sedangkan
peranan Gliocladium sp. dan Chaetomium sp. tidak tampak (Djatnika 1990a).
Sebaliknya Gliocladium sp. dapat mengurangi serangan penyakit akar gada pada
tanaman petsai walaupun hasilnya belum
memuaskan (Labuan 1990). Widodo et al.
(1993) melaporkan bahwa penggunaan
mikroba antagonis Pseudomonas spp.
kelompok fluoresen dapat menekan
serangan tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap bobot basah tanaman caisin.
Namun, perlakuan benih dan penyiraman
tanah dengan isolat-isolat mikroba
tersebut di lapangan tidak berpengaruh
nyata terhadap luas serangan, indeks
penyakit, dan bobot basah krop kubis
(Primawardona 1995).
Narisawa et al. (1998) menemukan 16
dari 322 isolat cendawan pengkolonisasi
akar yang dapat menurunkan keparahan
penyakit akar gada pada caisin yang
ditanam pada tanah steril. Dari isolat-isolat
tersebut, dua isolat Heteroconium
chaetospira (Hyphomycetes) dapat
menekan penyakit akar gada pada tanah
yang tidak steril. H. chaetospira dapat
menurunkan serangan penyakit akar gada
hingga 97% dan layu Verticillium 67%
pada tanaman sawi putih (Narisawa et al.
2000).
Pengendalian hayati dengan Phoma
glomerata menunjukkan aktivitas biokontrol terhadap penyakit akar gada
pada tanaman caisin dan turnip yang
ditanam pada media sekam tanah yang
terinfestasi P. brassicae, tetapi pengendalian tersebut kurang efektif dibanding
dengan Epoxydon dari P. glomerata (250
µ g/ml) (Arie et al. 1998). Epoxydon pada
awalnya dimurnikan dari kultur broth
Phoma sp. oleh Closse et al. (1966)
sebagai substan antitumor (Arie et al.
1998). Beberapa substan antiauksin
tersebut dilaporkan dapat mengurangi
keparahan penyakit akar gada pada
tanaman caisin. Kebanyakan substan
tersebut pitotoksik pada konsentrasi
tinggi, tetapi penggunaan 2,3,5 triodobenzoic acid hampir sempurna menekan
penyakit pada konsentrasi 10 µ g ml tanpa
pitotoksik.
Secara alami tanah mengandung
mikroorganisme yang mampu menekan
perkembangan patogen dalam tanah. Jika
keseimbangan mikroorganisme dalam
tanah terganggu maka efek penekanan
tersebut akan hilang. Sebagian besar
mikroorganisme antagonis tersebut hidup
sebagai saprofit. Kemampuan adaptasi
mikroorganisme terhadap berbagai kondisi lingkungan dapat dimanfaatkan
sebagai agen pengendali hayati patogen
tanaman (Baker dan Cook 1974).
Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa pengendalian hayati terjadi secara
alami seperti adanya tanah supresif
(suppressive soil) pada areal pertanian.
Hal ini salah satu penyebabnya adalah
adanya peran aktif mikroorganisme
antagonis dalam tanah (Hornby 1983).
Murakami et al. (2000) melaporkan adanya
keterlibatan faktor biotik dan abiotik dalam
menekan penyakit akar gada pada tanah
supresif. Faktor biotik berperan penting
dalam penekanan penyakit pada tanah
kondusif. Indeks penyakit akar gada yang
lebih rendah pada tanah yang tidak
disterilkan daripada tanah yang disterilkan, baik pada tanah supresif
maupun tanah kondusif, menunjukkan
bahwa faktor biotik berpengaruh pada
penekanan penyakit pada kedua tanah
tersebut. Selain itu, penekanan penyakit
yang masih terjadi pada tanah supresif
bahkan setelah disterilisasi menunjukkan
bahwa faktor abiotik juga berperan dalam
penekanan penyakit pada tanah tersebut
(Gambar 1). Menurut Agrios (1997),
penekanan penyakit pada tanah supresif
terjadi karena adanya satu atau beberapa
mikroorganisme antagonis pada tanah
tersebut. Antagonisme ini bekerja melalui
antibiotik yang dihasilkan, melalui kompetisi terhadap makanan atau parasitisme
langsung terhadap patogen, sehingga
tidak memberi peluang bagi patogen
untuk mencapai populasi yang dapat
menyebabkan penyakit yang parah.
Penambahan berbagai jenis bahan
organik (pupuk hijau, pupuk kandang,
sisa-sisa tanaman atau sampah organik)
ke dalam tanah dapat menyeimbangkan
mikroflora tanah dan telah diakui sebagai
suatu pendekatan biologi yang prospektif
dalam perbaikan pengelolaan penyakit
tular tanah. Cicu (2005) melaporkan bahwa
perlakuan tanah untuk pembibitan
dengan pemberian pupuk kandang ayam
5 kg/m2 yang diaplikasikan 6 minggu
sebelum bibit kubis disemai dapat menurunkan indeks penyakit akar gada dan
meningkatkan produksi kubis dengan
nyata. Hal ini berkaitan dengan peningkatan mikroflora rizosfer akar kubis,
19
Indeks penyakit
120
d
100
b
bc
c
4
80
10 spora
g/tanah
6
10 spora
g/tanah
c
60
a
40
b
20
SHA
SHA
HA
HA
a
SLA
SLA
produksi kubis di lapangan. Penurunan
indeks penyakit diduga berkaitan dengan
peningkatan mikroflora tanah (terutama
cendawan dan aktinomisetes) akibat efek
kumulatif peningkatan suhu tanah. Walaupun Horiuchi et al. (1982) menduga
tidak ada kaitannya antara penekanan
penyakit akar gada pada perlakuan solarisasi tanah dengan peranan mikroorganisme antagonis, peneliti lain dengan jenis
patogen berbeda melaporkan adanya
korelasi positif antara solarisasi tanah
dengan peranan mikroorganisme antagonis (Katan et al. 1976; Gamliel dan
Katan 1991).
LA
LA
0
Jenis tanah
Gambar 1.
Pengaruh sterilisasi tanah terhadap indeks penyakit akar gada pada
tanah supresif LA dan kondusif HA. Huruf yang sama yang mengikuti
histogram tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda Tukey
(P > 0,05). LA = Low-humic Andosols; HA = Haplic Andosols; SLA =
tanah LA yang disterilisasi; SHA = tanah HA yang disterilisasi
(Murakami et al. 2000).
terutama cendawan dan aktinomisetes
yang secara alami diduga berperan menekan patogen melalui proteksi pada akar sehingga ketahanan tanaman inang
terhadap infeksi patogen meningkat.
Solarisasi tanah sebagai suatu disinfestasi tanah alternatif, merupakan
proses pemanasan tanah di bawah mulsa
plastik transparan pada suhu yang
merugikan patogen tular tanah, dan
mampu mengendalikan berbagai jenis
penyakit tanaman (Stapleton dan DeVay
1986), termasuk penyakit akar gada pada
tanaman cruciferae (Horiuchi et al. 1982;
Widodo dan Suheri 1995; Cicu 2005).
Solarisasi tanah selama 5–7 minggu
sebelum tanam dapat menekan kejadian
dan indeks penyakit akar gada serta
meningkatkan produksi tanaman kubis di
lapangan (Widodo dan Suheri 1995).
Penekanan penyakit tidak disebabkan oleh pengaruh langsung dari
peningkatan suhu tanah, tetapi oleh efek
kumulatif dari suhu tanah harian selama
solarisasi berlangsung. Efek ini dapat
meningkatkan populasi mikroba rizosfer
terutama aktinomisetes yang diduga
berperan langsung menekan P. brassicae.
Hal yang sama dilaporkan oleh Cicu
(2005), bahwa solarisasi tanah pembibitan
yang dikombinasikan dengan pemberian
pupuk kandang ayam 5 kg/m2 selama 6
minggu dapat menurunkan indeks penyakit akar gada dan meningkatkan
KESIMPULAN
Patogen tular tanah P. brassicae Wor.
menyebabkan penyakit akar gada (clubroot) pada tanaman cruciferae. Patogen
ini sering merupakan campuran berbagai
patotipe dan dapat membentuk spora
rehat yang dapat bertahan hidup dalam
tanah atau pada sisa-sisa tanaman dalam
jangka waktu lama. Patogen dapat
menular melalui berbagai perantara seperti perlengkapan usaha tani, bibit, hasil
panen, pupuk kandang, air permukaan,
angin, dan melalui biji yang terkontaminasi.
Penanggulangan penyakit akar gada
perlu dilakukan secara terintegrasi.
Pengendalian dapat dilakukan dengan
memanfaatkan mikroorganisme antagonis alami dalam tanah melalui tanah
supresif, bahan organik, solarisasi tanah,
dan aplikasi mikroba antagonis seperti
Mortierella sp., Gliocladium sp., Chaetomium sp., Pseudomonas spp. kelompok
fluoresen, Phoma glomerata, dan H.
chaetospira, serta substan antiauksin
mikroorganisme. Penggunaan varietas
resisten juga merupakan alternatif pengendalian yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology. 4th ed. Academic Press, San Diego, California,
London. 635 p.p
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims, and M. Blackwell. 1996. Introductory to Mycology. 4th
ed. John Wiley and Sons, Inc., New YorkChichester-Brisbane-Toronto Singapore.
869 p.p.
20
Arie, T., Y. Kobayashi, G. Okada, Y. Kono, and
I. Yamaguchi. 1998. Control of soilborne
clubroot disease of cruciferous plants by
epoxydon from Phoma glomerata. Plant
Pathol. 47: 743−748.
Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological
Control of Plant Pathogens.WH Freeman
and Company, San Francisco. 433 p.p.
Cicu. 2005. Penekanan penyakit akar gada pada
tanaman kubis melalui perlakuan tanah
pembibitan. Jurnal Hortikultura 15(1): 58−
66.
Djatnika, I. 1984. Upaya penanggulangan P.
brassicae Wor. pada tanaman kubis-kubisan.
hlm. 30−32. Prosiding Seminar Hama dan
Penyakit Sayuran, Cipanas, Mei 1984.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Djatnika, I. 1989. Upaya pengendalian Plasmodiophora brassicae Wor. penyebab
penyakit akar bengkak pada Brassica spp.
Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Djatnika, I. 1990a. Pemanfaatan mikroba tanah
untuk pengendalian Plasmodiophora brassicae Wor. pada kubis (Brassica oleracea
Linn). Buletin Penelitian Hortikultura
19(1): 32−35.
Djatnika, I. 1990b. Pengaruh kapur, Haplosporangium sp., ekstrak bawang putih dan
mulsa terhadap patogenesitas Plasmodiophora brassicae Wor. pada caisin
(Brassica campestris sp. chinensis (Rupr)
Olls.). Buletin Penelitian Hortikultura
20(1): 81−89.
Djatnika, I. 1990c. Penentuan ras fisiologi
Plasmodiophora brassicae Wor. di pusat
pertanaman kubis Jawa Barat. Hortikultura
29: 30−36.
Djatnika, I. 1991. Pengaruh ekstrak gulma
terhadap patogenesitas Plasmodiophora
brassicae Wor. pada tanaman petsai. Buletin
Penelitian Hortikultura 21(1): 93−98.
Dobson, R.L., R.L. Gabrielson, A.S. Baker,
and L. Bennett. 1983. Effects of lime
particle size and distribution and fertilizer
for-mulation on clubroot disease caused by
Plasmodiophora brassicae. Plant Dis. 67:
50−52.
Faggian, R., S.R. Bulman, A.C. Lawrie, and I.J.
Porter. 1999. Specific polymerase chain
reaction primers for the detection of Plasmodiophora brassicae in soil and water.
Phytopathology 89: 392−397.
Gamliel, A. and J. Katan. 1991. Involvement
of flourescent pseudomonas and other
microorganisms in increased growth response of plants in solarized soil. Phytopathology 81: 494−502.
Gunadi, N. dan A.A. Asandhi. 1988. Pengaruh
penggunaan pupuk urea dan chilean nitrat
terhadap serapan hara, kualitas hasil dan
serangan penyakit bengkak akar kubis
bunga. Buletin Penelitian Hortikultura
16(3): 81−86.
Hanudin dan B. Marwoto. 20003. Pengendalian
penyakit layu bakteri dan akar gada pada
tanaman tomat dan caisin menggunakan
Pseudomonas fluorescens. Jurnal Hortikultura. 13(1): 58−66.
Herdian, A. 2000. Pengaruh mulsa, sistem
tanam tumpang sari dan pengaturan pH
tanah terhadap penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.). Skripsi.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Horiuchi, S., M. Hori, S. Takahashi, and K.
Shimizu. 1982. Factors responsible for
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
development of clubroot suppressing effect
in soil solarization. Bull. Chugoku Natl.
Agrric. 20: 25−48.
Hornby, D. 1983. Suppressive soils. Annu. Rev.
Phytopathol. 21: 65−85.
Hutagalung, L., R. Haruna, A. Rajab, C. Badaruddin, dan W. Mustafa. 1989. Penemuan
penyakit bengkak akar pada tanaman petsai
di Sulawesi Selatan. Prosiding Kongres
Nasional X dan seminar ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Denpasar,
Bali. 14−16 November 1989 hlm. 244−
246.
Karling, J.S. 1968. The Plasmodiophorales. 2nd
ed. Hafner Publishing Co., New York and
London. 256 p.p.
Katan, J., A. Greenberger, H. Alon, and A.
Grastein. 1976. Solar heating by polyethylene mulching for the control of
diseases caused by soil-borne pathogens.
Phytopathology 66: 683−688.
Kuginuki, Y., H. Yoshikawa, and M. Hirai. 1999.
Variation in virulence of Plasmodiophora
brassicae in Japan tested with clubrootresistant cultivars of chinese cabbage (Brassica rapa L. sp. pekinensis). European J.
Plant Pathol. 105: 327−332.
Labuan, K.S. 1990. Kemampuan antagonisme
Gliocladium sp. terhadap Plasmodiophora
brassicae Wor. penyebab penyakit bengkak
akar pada tanaman petsai (Brassica campestris L.). Laporan Masalah Khusus. Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 30
hlm.
Murakami, H., S. Tsushima, and Y. Shishido.
2000. Soil suppressiveness to clubroot
disease of chinese cabbage caused by
Plasmodiophora brassicae. Soil Biol.
Biochem. 32: 1.637−1.642.
Myers, D.F., R.N. Campbell, and A.S. Greathead.
1981. Clubroot of crucifers in California:
Soil respond differently to lime for clubroot
control. (Abstr) Phytopathology 71:
1005−1006.
Narisawa, K., S. Tokumasu, and T. Hashiba.
1998. Suppression of clubroot formation
in Chinese cabbage by the root endophytic
fungus, Heteroconium chaetospira. Plant
Pathol. 47: 206−210.
Narisawa, K., K.T. Ohki, and T. Hashiba. 2000.
Suppression of clubroot and Verticillium
yellows in Chinese cabbage in the field by
the root endophytic fungus, Heteroconium
chaetospira. Plant Pathol. 49: 141−146.
Primawardona, Y.F. 1995. Uji kemampuan Pseudomonas spp. kelompok fluoresen dalam
menekan Plasmodiophora brassicae Wor.
penyebab penyakit akar bengkak pada kubis.
Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Reyes, A.A., T.R. Devidson, and C.F. Marks.
1974. Races, pathogenicity and chemical
control of Plasmodiophora brassicae in
Ontario. Phytopathology 64: 173−177.
Rowe, R.C. and J.D. Farley. 1979. Evaluation
of soil applied fungicides to control clubroot
of radish on “muck” soil. Fungic, Nematic
Tests. Ann. Phytopathol. Soc. 34: 161.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. hlm. 173−
203.
Stapleton, J.J. and J.E. DeVay J.E. 1986. Soil
solarization: A non-chemical approach for
management of plant pathogens and pests.
Crop Prot. 5: 190−198.
Suhardi dan E. Suryaningsih. 1976. Laporan
survei clubroot di daerah Lembang. Buletin
Penelitian Hortikultura. 19−24.
Suryaningsih, E. 1981. Penyakit akar pekuk
(Plasmodiophora brassicae Wor.), penyebaran dan cara pemberantasannya. Kongres
Nasional Perhimpunan Fitopatologi
Indonesia ke VI Padang.
Tanaka, S. 1996. Recent progress in studies on
clubroot disease of crucifers. Shokubutsu
Boeki/Plant Prot. 50: 281−284.
Tanaka, S., S. Yoshihara, S. Ito, and M. KameyaIwaki. 1997. The influence of virulence of
Plasmodiophora brassicae population on
epidemiology of chinese cabbage clubroot
and efficacy of fungicides. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 63: 183−187.
Tanaka, S., S. Kochi, H. Kunita, S. Ito, and M.
Kameya-Iwaki. 1999. Biological mode of
action of the fungicide, flusulfamide, against
Plasmodiophora brassicae (clubroot).
European J. Plant Pathol. 105: 577−584.
Voorrips, R.E. 1995. Plasmodiophora brassicae: Aspects of pathogenesis and resistance
in Brassica oleracea. Euphytica 83: 139−
146.
Wallenhammar, A.C. 1996. Prevalence of Plasmodiophora brassicae in a spring oilseed
rape growing area in control Sweden and
factors influencing soil infestation levels.
Plant Pathol. 45: 710−719.
Widodo, M.S. Sinaga, I. Anas, dan M. Mahmud.
1993. Penggunaan Pseudomonas spp.
kelompok fluoresen untuk pengendalian
penyakit akar gada (Plasmodiophora
brassicae Wor.) pada caisin (Brassica
campestris L.var. chinensis Rupr. Olson).
Buletin Hama Penyakit Tumbuhan 6(2):
94−105.
Widodo and Suheri. 1995. Suppression of clubroot disease of cabbage by soil solarization.
Buletin Hama Penyakit Tumbuhan 8(2):
49−55.
21
Download