1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat masa kini

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat masa kini yang sedang mengalami globalisasi semakin
intens disuguhi musik pop (pop music), baik yang sengaja diputar untuk
konsumsi pribadi maupun kebetulan didengar di radio, televisi, atau media lain,
dan baik yang dinikmati secara mendalam maupun sambil lalu. Sebagian
besarnya adalah remaja dan dewasa, termasuk perempuan dan ibu rumah
tangga. Mereka tidak saja berasal dari perkotaan tetapi juga pelosok-pelosok
desa.
Musik pop adalah salah satu genre musik dunia yang sudah
sedemikian lama dikenal dalam sejarah permusikan. Ketersebaran dan
keberterimaan musik pop karena popularitasnya sebagai budaya pop di
antaranya berhasil digambarkan oleh pakar budaya pop John Storey. Dalam
bukunya Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Storey (2006: 117)
menyatakan, musik pop saat ini ada di mana-mana, telah menjadi bagian yang
tidak terelakkan dari kehidupan, bisa ditemui di mal perbelanjaan, supermarket,
jalanan, tempat kerja, televisi, bioskop, radio, di samping di toko-toko musik,
dalam koleksi musik pribadi, gramofon, dan berbagai konser dan festival.
Contoh paling relevan dari kedahsyatan musik pop adalah pencapaian
fenomenal Michael Jackson (1958-2009) asal Amerika Serikat. Musisi
eksentrik ini sangat bertalenta dalam mencipta musik (syair/lirik, melodi,
2
komposisi), menyanyi, dan membawakan lagu dengan gaya panggung
(koreografi) dan tarian yang selalu mendatangkan kekaguman. Rekor penjualan
album Thriller-nya yang mencapai lebih dari 100 juta kopi pada tahun 1982
belum terpecahkan sampai saat ini. Gaya popnya yang sensasional sering
menjadi pencipta gaya dan kecenderungan (trend-setter) yang ditiru di manamana. Jackson atau Jacko bahkan menjadi legenda tidak saja dalam musik pop
tetapi juga ikon pop secara umum dengan sebutan raja pop (the king of pop)
(Lampiran III) sepopuler makanan cepat saji McD dan minuman Coca Cola
dalam budaya pop Amerika yang lebih dahulu mendunia hingga memunculkan
istilah McDonaldisasi dan Cocakolonisasi yang bermakna globalisasi.
Sebagai bagian dari budaya global, musik pop tidak saja ada, hidup,
dan berkembang di Amerika Serikat, yang di era kapitalisme global merupakan
aal muasal, inspirasi, dan pemimpin dunia dalam hal budaya pop, tetapi dapat
ditemui di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan bahkan di berbagai
wilayah politik-geografi-sosial-budaya yang lebih kecil. Dengan itu, musik pop
tidak hanya bersifat global dan nasional melainkan kedaerahan yang
berkembang sesuai ragam masyarakat daerah yang ada. Untuk menyebut
beberapa, saat ini terdapat musik pop daerah, seperti musik pop Batak dan
Minang di Sumatera, musik pop Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, musik
pop Sunda di Jawa Barat, dan musik pop Bali di Bali.
Sebagai musik pop daerah di wilayah Provinsi Bali, musik pop Bali
menggunakan kekhasan budaya Bali yang membedakannya dengan seluruh
jenis musik pop yang ada, baik musik pop daerah lain maupun musik pop
3
Indonesia dan Barat. Ciri umum yang paling mencolok dari musik pop Bali
adalah
penggunaan
lirik/syair
berbahasa
Bali.
Pada
tahap
awal
perkembangannya, selain lirik berbahasa Bali, musik pop Bali menggunakan
notasi dengan tangga nada pentatonik berlaras pelog-slendro-pemero dan alat
musik tradisional, seperti gangsa, kendang, cengceng, dan suling.
Sejarah musik pop Bali tercatat sejak rekaman pertama yang sangat
sukses yang dilakukan Band Putra Dewata pimpinan Anak Agung Made Cakra
pada tahun 1970 dengan album/lagu Kosir Dokar yang mencapai puncak
popularitasnya pada tahun 1976. Pada dasawarsa 1980-an muncul modernisasi
musik pop Bali lewat Yong Sagita dan beberapa musisi yang lain dengan
adanya pergeseran ke tema ringan dengan kritik sosialnya dan tangga nada
diatonik. Dengan dukungan teknologi produksi, sistem ekonomi, dan budaya
musik baru dalam masyarakat sebagaimana disinggung Frith (1988; 2006),
musik pop Bali mengalami industrialisasi dalam dasawarsa 1990-an dengan
banyaknya bermunculan studio rekam dan musisi serta masifnya peredaran
produk-produk terkait dengan bermulanya era CD (compact disc) di mana Widi
Widiana dengan nuansa Mandarinnya tampil sebagai ikon.
Secara politik, di era reformasi atau pascaruntuhnya Orde Baru (sejak
1998), bidang musik, termasuk musik pop Bali, semakin mendapat tempat
dengan pencanangan 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif dan bahkan
ekonomi kreatif dilegitimasi dengan keberadaan Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II di bawah
SBY-Boediono. Kegiatan ekonomi kreatif memasukkan musik sebagai salah
4
satu dari 15 unsurnya di mana musik dijelaskan sebagai kegiatan kreatif yang
berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta
rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta musik/lagu, pertunjukan musik,
penyanyi, dan komposisi musik. Unsur musik tentu terkait dengan sejumlah
unsur lainnya dalam ekonomi kreatif tersebut, seperti unsur video, film, dan
fotografi, unsur seni pertunjukan, unsur televisi dan radio, dan sebagainya.
Dicantumkannya musik dalam program pembangunan pemerintah
seperti itu mengisyaratkan, musik pop (sebagai bagian dari musik secara
umum) tidak dapat dilihat dari aspek kultural dan ekonomi saja tetapi juga dari
aspek politik. Budaya musik pop demikian kompleks karena yang terlibat di
dalamnya tidak saja seniman musik dan pebisnis/swasta (industri musik) tetapi
juga masyarakat dan pemerintah. Menurut Street (1986: 23), politik musik
(politics of music) merupakan paduan dari kebijakan negara, praktik bisnis,
pilihan artistik, dan respons khalayak.
Sebagai persoalan yang banyak berkutat di ranah bisnis dengan segala
implikasi ekonomi, sosial, budaya, dan politiknya, industrialisasi musik pop
Bali secara common sense seperti tanpa masalah karena di permukaan tampak
diterima begitu saja (given) oleh masyarakat. Seolah-olah industrialisasi
tersebut hanya menyangkut hubungan sederhana antara musisi (penyanyi/pencipta lagu/pemain musik) dan masyarakat konsumen/penikmatnya saja,
padahal di luar itu, terdapat kekuasaan-kekuasaan yang bekerja dengan
ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan yang dimilikinya, yang
5
menunjukkan praktik (practice) yang penuh pergulatan antarpihak dalam
memerebutkan makna.
Karena
mengandung
ideologi,
yakni
kesadaran
palsu
(false
consciousness), yang sudah mengakar dalam kesadaran dan pemahaman umum
(common sense), industrialisasi musik pop Bali seolah-olah menyediakan mata
pencarian yang layak bagi musisi di satu sisi dan kepuasan artistik tertentu bagi
masyarakat konsumen di sisi lain. Baik musisi yang bekerja untuk pemilik
modal maupun masyarakat yang menjadi objek konsumsi produk musik
tersebut tidak menyadari bahwa mereka berada dalam kontrol kapital. Musisi
yang menjadi bagian dari masyarakat adalah korban sistem bagi hasil padahal
pembagian antara pemilik modal dan musisi yang dipekerjakannya seharusnya
dibuat lebih adil. Hal seperti ini sudah lama menjadi kekhawatiran tokoh
Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (Sindhunata, 1983: 84) yang, menurutnya,
kategori produktif tampak objektif pada dirinya tetapi sebenarnya merupakan
semacam ideologi yang menyembunyikan kenyataan sesungguhnya yang
memang buruk, yakni masyarakat yang digerakkan secara alamiah oleh kapital.
Di satu sisi dapat dipastikan bahwa, sebagai industrialisasi,
keberadaan musik pop Bali dikuasai ideologi kapitalisme, khususnya sejak
dasawarsa 1990-an sampai saat ini. Di sisi lain, dengan basis kebudayaan
Balinya sebagai musik pop daerah Bali, industrialisasi musik pop Bali tidak saja
berideologi kapitalisme melainkan terdapat sejumlah ideologi lain di dalamnya
di mana antar-ideologi tersebut terkait satu sama lain dan posisi kapitalisme
tampak dominan. Sebagai ideologi, semuanya mengandung kepentingan-
6
kepentingan (interests)-nya karena setiap ideologi dibentuk untuk tujuan-tujuan
kepentingan dari kekuasaan-kekuasaan yang ada. Dengan kepentingan
pembesaran keuntungannya, pemilik modal dalam industri musik pop Bali
berhasil menghaluskan gerakan ekonomi modernnya sedemikian rupa dengan
memadukan secara elegan ideologi-ideologi lain yang ada. Dengan begitu,
seolah-olah industrialisasi musik pop Bali hanya untuk kepentingan pelestarian
dan pengembangan seni-budaya Bali atau hanya merupakan kebutuhan
masyarakat Bali padahal ia lebih merupakan kebutuhan kapitalisme untuk
mencari keuntungan ekonominya.
Gerakan globalisasi dalam industrialisasi musik pop Bali ternyata juga
menyebabkan permasalahan tersendiri dalam entitas musik pop Bali yang telah
dianggap sebagai bagian dari seni-budaya (kebudayaan) Bali itu sendiri.
Idealnya berlangsung paduan yang lebih proporsional dalam kreasi musik pop
Bali antara globalitas dan lokalitas tetapi yang terjadi adalah pergeseranpergeseran di mana musik pop Bali tersebut semakin kehilangan aspek-aspek
lokal/tradisionalnya. Globalitas di sini mencakup segi-segi teknologisasi dan
ekonomisasi musik pop Bali sedangkan lokalitas adalah keberadaan budaya dan
tradisi Bali (termasuk pendukungnya), yang terlihat dalam sistem tangga nada,
alat musik, bahasa syair/lirik, dan kemasan produk musik pop Bali.
Ketergeseran kandungan budaya lokal dalam produk-produk musik
pop Bali di antaranya dapat dibuktikan pada semakin minimalnya penggunaan
elemen-elemen tangga-nada pentatonik berlaras pelog-slendro-pemero dan olah
estetik suara musik tradisional Bali. Hampir seluruh produk musik pop Bali
7
masa kini bertangga nada diatonik sebagaimana halnya sistem tangga nada
musik pop Barat dan Indonesia. Bahkan, berkat perkembangan dan kecanggihan
teknologi musik modern, suara alat musik tradisional Bali dapat diprogram
sedemikian rupa dengan komputer dan dalam banyak hal digantikan alat musik
modern. Semakin umumnya penggunaan teknologi musical instrument digital
interface (MIDI) dalam proses rekaman dan minus one dalam pertunjukan jelas
meminggirkan peran musisi (pemain musik) pop Bali yang umumnya adalah
orang Bali.
Selain elemen tangga nada dan alat musik, gaya penyajian dan
pengemasan (packaging) musik pop Bali, termasuk penampilan musisinya,
semakin kurang merepresentasikan otentisitas identitas budaya Bali. Budaya
Bali dalam musik pop Bali sering bersifat tempelan (pelengkap). Tata busana,
gaya
bernyanyi,
teknik
komunikasi,
koreografi,
dan latar panggung
merepresentasikan budaya pop yang menghibur (entertaining) tetapi sering
kurang mencirikan kebalian. Bahkan belakangan ini, semakin banyak produk
musik pop Bali yang elemen bahasa dan cara ekspresi (ungkap)nya kurang Bali
padahal bahasa Bali merupakan ciri terpenting musik pop Bali itu sendiri.
Dalam konteks teoretis, industrialisasi musik pop Bali, sebagai bagian
dari industrialisasi budaya pop, memiliki permasalahan inherennya dalam hal
asal muasal atau sumber budaya pop (musik pop Bali) itu sendiri dan
pemasarannya kepada masyarakat setempat (Bali) yang merupakan sumber
budaya tersebut. John Fiske dalam bukunya Understanding Popular Culture
menyatakan, budaya populer dalam masyarakat industri berkontradiksi dengan
8
sumbernya. Di satu pihak, budaya tersebut diindustrialisasi –komoditaskomoditasnya dihasilkan dan didistribusikan oleh industri yang dimotivasi oleh
keuntungan yang hanya mengikuti kepentingan-kepentingan ekonominya
sendiri tetapi di lain pihak, budaya tersebut adalah budaya masyarakat. Untuk
dikategorikan ke dalam budaya populer, suatu komoditas juga harus membawa
kepentingan-kepentingan masyarakat (2011: 25). Kenyataannya, meskipun di
permukaan tampak sinergis dan saling menguntungkan satu sama lain, justru
hubungan antara pelaku industrialisasi budaya pop dan masyarakat Bali, yaitu
antara aspek produksi (dan distribusi) di satu sisi dan konsumsi masyarakat di
sisi lain sebenarnya begitu kompleks dan kontradiktif.
Pertautan budaya, ekonomi, dan politik (masyarakat, industri terkait,
dan pemerintah) bidang musik pop Bali yang di dalamnya berlangsung jalinan
kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media yang digambarkan
sebelumnya membuktikan pentingnya penelitian berparadigma kritis bertema
industrialisasi musik pop Bali seperti ini. Dengan berkembangnya globalisasi di
segala bidang kehidupan melalui sasaran subjek dan objek penelitian yang
relatif kompleks dengan mengurai ideologi, kepentingan, dan praktik pergulatan
makna industrialisasi musik pop Bali sebagaimana telah digambarkan,
penelitian ini dirancang bermetode kualitatif dengan eklektisasi teori-teori kritis
yang menjadi karakteristik kajian budaya.
Dalam industrialisasi musik pop Bali, tidak terelakkan terjadi
perebutan ruang makna di antara pelaku industri (pemilik modal) dan musisi
(pencipta lagu, penyanyi, pemain musik, dan sebagainya), konsumen,
9
masyarakat Bali umumnya, dan pemerintah. Di antara mereka berlangsung
pergulatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di satu sisi, di samping di sisi
lain berlangsung kontestasi
internal
antarpemilik modal, antarmusisi,
antarsaluran distribusi, antarmedia, dan sebagainya, sebagai bagian dari sistem
kapitalisme musik pop Bali. Karena peta-peta makna dalam industrialisasi
musik pop Bali bersifat plural dan kompleks serta diperebutkan banyak pihak,
masing-masing pihak tersebut dalam artikulasinya melibatkan praktik-praktik
pergulatan yang berbeda-beda dalam memproduksi makna.
Penelitian ini signifikan dilakukan dalam rangka emansipasi para
pelaku industri dan/atau budaya dalam industrialisasi musik pop Bali
mengingat, seperti dimaksudkan oleh Hall, kajian budaya menekankan
pentingnya perubahan dan representasi dari dan untuk kelompok-kelompok
sosial yang terpinggirkan (Barker, 2005: 6). Salah satu kekhasan kajian budaya
dalam menelisik konsep budaya adalah tekanan yang diberikan pada perlintasan
dan perpotongan antara kekuasaan dan makna dengan visi jauh ke depan untuk
mempromosikan perubahan sosial sekaligus meningkatkan ”kondisi hidup
manusia” (Barker, 2014: 64). Karenanya, kajian budaya membutuhkan suatu
perubahan sosial demi kehidupan yang lebih baik melalui emansipasi
(emancipation). Emansipasi dalam konteks penelitian ini dimaksudkan sebagai
upaya kajian budaya dalam melakukan pemberdayaan kepada kelompokkelompok sosial yang terpinggirkan dalam industrialisasi musik pop Bali, baik
emansipasi yang dilakukannya sendiri akibat tindakan peneliti maupun
emansipasi yang secara langsung peneliti lakukan terhadap mereka.
10
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini
dirumuskan ke dalam tiga pertanyaan yang saling berkaitan berikut.
(1) Bagaimana bentuk industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali
yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan budaya, kapital, dan media?
(2) Ideologi dan kepentingan apa yang bekerja dalam industrialisasi musik pop
Bali di wilayah Provinsi Bali?
(3) Bagaimana praktik pergulatan makna industrialisasi musik pop Bali di
wilayah Provinsi Bali secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara
pihak-pihak yang terlibat?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, memahami,
dan mendeskripsikan fenomena budaya pop dalam indistrialisasi musik pop
Bali di wilayah Provinsi Bali dengan keterlibatan berbagai pihak di dalamnya.
Persoalan tersebut dianalisis secara kritis sehingga bisa diuraikan ideologi dan
kepentingan yang bekerja dalam industrialisiasi tersebut di samping praktik
pergulatan makna terkait dengan kompleksnya persoalan dan banyaknya pihak
yang terlibat. Sebagai sebuah kajian budaya, sasarannya tidak lain adalah upaya
emansipasi bagi kelompok-kelompok terpinggirkan di dalamnya.
11
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai rumusan masalah di atas, penelitian ini secara khusus dilakukan
untuk tujuan-tujuan berikut.
(1) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan bentuk industrialisasi
musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali yang dihasilkan oleh jalinan
kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media.
(2) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan ideologi dan
kepentingan yang bekerja dalam industrialisasi musik pop Bali di wilayah
Provinsi Bali.
(3) Untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan praktik pergulatan
makna industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali secara
ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihak-pihak terlibat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan wawasan
keilmuan kajian budaya (cultural studies) tentang fenomena industrialisasi
budaya pop di daerah, dalam hal ini musik pop Bali. Sebagai bagian dari
penelitian kajian budaya yang bersifat kritis, fenomena industrialisasi musik
pop Bali ditelaah dari aspek-aspek ideologi, kepentingan, dan praktiknya.
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi ilmiah bagi perkembangan kajian
budaya dan sejumlah disiplin ilmu lain yang terkait.
12
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat bagi pemerintah,
kalangan swasta, musisi, dan masyarakat, di mana musisi berada di antara
kalangan swasta dan masyarakat. Bagi pemerintah/negara, penelitian ini
bermanfaat sebagai bahan pembuatan kebijakan (policy) kebudayaan,
khususnya kesenian, terutama seni musik daerah Bali, dalam hal ini musik pop
Bali. Bagi kalangan pengusaha/swasta (pelaku industri musik pop Bali), baik
pemilik
modal
maupun
musisi,
penelitian
ini
bermanfaat
menjaga
keberlangsungan industrialisasi musik pop yang menguntungkan secara
ekonomi sembari mengembangkan budaya daerah yang menjadi isi (content)
musik pop Bali. Khusus bagi musisi pop Bali, penelitian ini bermanfaat bagi
proses pemberdayaannya dalam konteks industrialisasi sehingga mereka bisa
memainkan peran yang lebih signifikan di dalamnya. Bagi masyarakat,
penelitian ini bermanfaat memberikan pemahaman bahwa kebudayaan daerah
mereka harus tetap hidup dalam proses globalisasi di samping memiliki
kesadaran kritis bahwa mereka adalah bukan semata-mata objek/sasaran
konsumsi dalam proses industrialisasi musik pop Bali.
Kebermanfaatan bagi pemerintah/negara dan swasta/pengusaha,
diharapkan pada akhirnya bermanfaat bagi upaya emansipasi masyarakat Bali
sebagai pelaku/pemilik kebudayaan Bali di mana industrialisasi musik pop Bali
ada. Hal ini karena penelitian ini berposisi sebagai sebuah kajian budaya yang
secara kritis menyediakan jalan bagi emansipasi seperti itu.
Download