FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI BASIS LEGITIMASI

advertisement
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI BASIS LEGITIMASI
DALAM PELAYANAN PUBLIK
Bambang Irawan
Abstract. The low quality of public services in Indonesia have long been public complaints. People
often find it difficult to gain access to public services, while the public service is essentially
designed and organized to meet the needs of the community. By building a good performance of
public services, the government can actually build a good relationship with the community and
expand its legitimacy in the public eyes. This paper attempts to strengthen the basis of legitimacy
based on institutional theory and social capital. Regulatory factors, norms, culture and moral
cognisi be in this study is expected to strengthen basic lagitimasi in public service.
Keyword: legitimacy, regulations, norms, culture-cognisi, moral
Abstrak. Rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia sudah lama
menjadi keluhan
masyarakat. Masyarakat sering mengalami kesulitan untuk memperoleh akses terhadap pelayanan
publik, sedangkan pelayanan publik pada hakikatnya dirancang dan diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan membangun kinerja pelayanan publik yang baik,
sesungguhnya pemerintah bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dan
memperluas legitimasinya di mata publik. Tulisan ini mencoba untuk memperkuat basis legitimasi
berdasarkan teori institusi dan modal sosial. Faktor regulasi, norma, budaya-kognisi dan moral yang
menjadi kajian dalam ini diharapkan dapat memperkuat dasar lagitimasi dalam pelayanan publik.
Keyword : legitimasi, regulasi, norma, budaya-kognisi, moral
Sebagaimana dipahami bahwa esensi
pemerintahan adalah pelayanan kepada
masyarakat, oleh karena itu pemerintah tidak
diadakan untuk dirinya sendiri tetapi untuk
melayani masyarakat serta menciptakan kondisi
yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Pemerintah
sebagai pelayan masyarakat (public service)
sudah seharusnya memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan yang
berkualitas selain bermanfaat bagi masyarakat
juga bermanfaat terhadap citra aparat pemerintah itu sendiri dan dengan sendirinya
membentuk legitimasi terhadap pelayanan
publik yang diberikan.
Untuk mengembangkan pelayanan publik
yang berorientasi kepada warga negara, dituntut
adanya pelayanan yang berorientasi pada
kepentingan publik. Negara dalam hal ini tidak
lagi dinilai sebagai satu-satunya aktor yang
berperan dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam era reformasi, sistem demokrasi
menuntut adanya kekuasaan yang terdesentralisasi dimana masing-masing komponen memiliki otonomi relatif terhadap
komponen yang lain, sehingga tidak ada satu
elemen dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang mendominasi kelompok yang lain.
Munculnya aktor-aktor penting selain negara
(yaitu masyarakat sipil dan sektor bisnis) dalam
kehidupan sosial mengurangi dominasi peran
negara sehingga negara menjadi semakin bisa
diakses oleh siapa pun dengan berbagai macam
kepentingannya.
Konsep tersebut terkenal
dengan governance, sebagai keseluruhan
interaksi antara sektor public dan private dalam
mencari solusi atas masalah dan peluang bagi
publik.
Dari perspektif governance, pemerintah
dituntut untuk menunjukkan sebagai sebuah
pemerintahan yang demokratis, efisien, dan
memiliki sumber daya aparatur yang memiliki
kehandalan akibat tekanan politik maupun
tekanan kesulitan anggaran dan keuangan. Akar
persoalan situasi ini terletak pada model
pemerintahan yang tidak mampu beradaptasi
dengan turbulensi perubahan lingkungan yang
sedang terjadi.
Legitimasi dapat dilihat sebagai penilaian
sosial terhadap penerimaan, kesesuaian, dan
atau keinginan (Zimmerman dan Zeitz, 2002).
Dari perspektif governance, legitimasi dalam
pelayanan publik dapat dimaknai sebagai
penerimaan, kesesuaian atau keinginan
masyarakat terhadap organisasi yang melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya, yang
menjadi pertanyaan adalah factor-faktor apa
saja yang dapat mewujudkan legitimasi bagi
organisasi?
Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan hubungan antara teori institusi dan
legitimasi organisasi (Farjoun, 2010; Pfeffer,
2005). Teori institusi dipahami sebagai struktur
dan aktivitas kognisi, norma dan regulasi yang
menyediakan stabilitas dan pemaknaan terhadap
prilaku sosial (Scott, 1998: 133). Faktor-faktor
atau elemen-elemen institusi inilah yang
nantinya akan diteliti lebih jauh dalam
memahami legitimasi pada organisasi pelayanan publik. Disamping itu, sebagai sebuah
konstruksi sosial (Harvey and Schaefer, 2001),
legitimacy tidak terlepas dari masalah
moralitas. Legitimasi sebaiknya memperhitungkan moral dominand an tanggung jawab
sosial dalam masyarakat di mana organisasi
beroperasi meskipun nilai-nilai organisasi ada
yang bertentangan dengan harapan masyarakat
(Kennedy dan Fiss, 2009).
Teori Institusi
Kata institusi diterjemahkan dari istilah
Inggris yaitu institution atau social institutions,
yangsering
dipadankan
dengan
social
organizations, yaitu aspek-aspek sosial yang
hidup di masyarakat dan menjadi acuan dalam
berperilaku dan bermasyarakat. Walaupun tidak
ada kesepakatan tunggal tentang defenisi
institusi, kebanyakan ahli mengikuti kriteria
North (1991: 97-112) yang membedakan antara
institusi dengan organisasi. Institusi, seperti
agama dan norma-norma lainnya, adalah
semacam ”the rules of the game” yang terdiri
dari aturan-aturan legal formal dan normanorma sosial informal yang mengatur perilaku
individu dan menstruktur interaksi sosial
(institutional
frameworks).
Organisasi,
sebaliknya, adalah sekelompok orang-orang
yang diciptakan untuk mengatur tindakan
mengelompok mereka dalam menghadapi
kelompok lainnya. Bentuk organisasi yang
mudah dipahami misalnya perusahaan, sekolah,
klub, asosiasi profesi dan sebagainya.
Meskipun North (1991) adalah salah satu
pakar yang pertama menjelaskan tentang
institusi informal ini, North secara konsisten
lebih menekankan institusi-institusi formal
seperti konstitusi dan hukum sebagai aturan
dasar atau ”the fundamental rules of the game”
(1991: 97). Para ahli setelah North mengkritik
terhadap konsepnya yang tidak menjelaskan
mengapa individu mengikuti sebagian aturan,
namun tidak mengikuti sebagian lainnya.
Seperti halnya Nee (2005: 52), yang
menganggap bahwa North tidak terlalu menjelaskan peranan institusi-institusi informal
yang membentuk hubungan antarindividu, lalu
membentuk institusi-institusi ekonomi yang
unik.
Menurut Nee (2005: 55), yang dimaksud
dengan institusi adalah sistem dominan dari
elemen-elemen yang bersifat formal dan
informal seperti; kebiasaan, kesepakatankesepakatan, norma-norma,dan keyakinan yang
dibagi bersama (shared beliefs), dimana para
aktor mendasarkan tindakannya ketika memenuhi kepentingan masing-masing. Dari
defenisi ini, Nee (2005) menggambarkan
institusi sebagai struktur sosial yang menyediakan pedoman untuk melakukan tindakan
bersama dengan cara memberikan aturan
tentang
kepentingan setiap individu dan
memperkuat hubungan antara mereka, karena
perilaku seseorang dipengaruhi oleh orang lain.
Kerangka institusi inilah yang membentuk
perilaku ekonomi masyarakat (Nee, 2005: 56).
Melalui konsepsi ini, Nee (2005) memperbaiki
konsep yang dirintis North (1991) yang terlalu
menggunakan perspektif ekonomi dalam
melihat bahwa perilaku ekonomi individu tidak
dipengaruhi oleh individu lain, melainkan oleh
pasar (market) dan negara (state) (Toboso,
2001: 765-784). Victor Nee (2005: 56)
menjelaskan bahwa perilaku ekonomi seseorang
dipengaruhioleh orang lain (actors are
influenced by other actors). Konsepsi tentang
perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh orang
lain ini terkait dengan konsep perilaku yang
berlandaskan budaya.
Institusi menurut Portes (2006) adalah aturan
main (rules of the game)organisasi yang
merupakan satuan peraturan (formal atau
informal), yang mengarahkan hubungan antara
berbagai peran (roles) dalam organisasi seperti
keluarga, sekolah, pemerintahan, agama dan
sebagainya.Adapun struktur sosial (social
structure) atau organisasi terdiri dari individu
yang menjalankan peran dan terpola dalam
sebuah status yang bersifat hirarkis. Antara
budaya (culture) yang menekankan peranan
nilai (values) dan lembaga (institutions) dengan
struktur sosial (social sturcture) atau organisasi
dapat dilihat sebagai evolusi hirarki pengaruh
yang saling berhubungan. Norma-norma budaya
adalah hal terdalam (deep) atau tebal (thick) dan
struktur sosial adalah hal terluar (surface) atau
tipis (thin) (Portes, 2006: 233-262).
Sebahagian
besar
literatur
hanya
membandingkan perbedaan institusi (institutions) dengan organisasi (organizations).
Konsep tentang defenisi keduanya sampai saat
ini masih menjadi bahan perdebatan yang sengit
dikalangan sarjana sosial. Di kalangan sosiolog
maupun antropolog, istilah institusi sering
dibingungkan dengan organisasi. Uphoff (1986)
memberikan gambaran yang jelas tentang
keambiguan antara institusi dan organisasi yang
secara umum penggunaannya dapat dipertukarkan: “What contstitutes an ‘institution’ is
asubject of continuing debate among social
scientist…The term institution andorganization
are commonly used interchangeably and this
contributes to ambiguityand confusion”.
Dengan kata lain, belum terdapat istilah yang
disepakati di kalangan sarjana sosiologi tentang
social institutions. Misalnya, Uphoff (1986: 9)
mengatakan bahwa institusi memiliki dua
bentuk, satu mengacu pada peran (roles) dan
lainnya adalah struktur (structures).
Beberapa sarjana mencoba untuk mengaitkan
kedua konsep ini,misalnya Whitley (1996:411),
sebagaimana dia katakan: ”Business systems
are particular forms of economic organisation
that have become established and reproduced
in certain institutional contexts – local,
regional, national orinternational”. Dengan
kata lain bahwa sistem bisnis merupakan
bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang
partikular yang telah terlembagakan dan
diproduksi kembali sesuai dengan kondisi
waktu dan tempat dimana bisnis itu berada. Hal
ini sejalan dengan pendapat Uphoff (1986)
bahwa institusi merupakan sekumpulan norma
dan perilaku yang telah mentradisi dalam waktu
yang lama dan digunakan untuk mencapai
tujuan bersama. Institusi cenderung diartikan
tradisional, sedangkan organisasi cenderung
dipahami dalam konsep modern.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami
bahwa institusi dan organisasi berada dalam
satu rangkaian kesatuan. Organisasi merupakan
bentuk struktur sosial mapan dari institusi.
Organisasi dalam sebuah struktur sosial berarti
di dalamnya terdapat peran dan struktur yang
sudah ditetapkan tugasnya masing-masing.
Orang-orang yang terlibat di dalam struktur
sosial ini dapat diketahui dengan jelas sesuai
dengan fungsinya dan setiap individu diikat
oleh seperangkat hukum dan norma-norma
sosial yang dipegang bersama, sehingga jika
ada yang melanggar kesepakatan itu akan
diberikan sanksi.
Institusi pada dasarnya bersifat informal
kemudian berkembang menjadi institusi
struktur organisasi yang jelas. Begitupun
dengan Nee (2005: 55-57), dalam teori
institusional baru ini (new institutionalism),
menjelaskan institusi sebagai sebuah sistem
dominan dari elemen formal dan informal yang
saling berhubungan seperti kebiasaan (customs),
keyakinan yang dianut bersama (shared belief),
perjanjian (conventions), norma (norms), aturan
(rules), dimana aktor melandasi perbuatannya
ketika memenuhi kepentingan-kepentingan
mereka. Sehingga, perubahan institusi tidak
hanya melibatkan pembentukan ulang aturanaturan formal tapi secara fundamental menuntut
adanya pengaturan kembali (rearrangement)
dari kepentingan, norma,dan kekuasaan. Dan
semua proses kemunculan, resistensi, dan
transformasi dari struktur institusi ini berdasarkan pada rasionalitas yang kontekstual
(context-bond rationality), yaitu rasionalitas
yang berdasarkan konteks masyarakat tertentu
dan tertanam dalam hubungan-hubungan
interpersonal. Jika konsep rasionalitas pada
perspektif ekonomi klasik sepenuhnya rasional
demi maksimalisasi keuntungan individu, maka
rasionalitas yang sesuai konteks sosial adalah
yang berlandaskan pada budaya, agama, dan
kebiasaan setempat.
Lewat konsep ini, Nee tidak hanya
menjelaskan sosiologi ekonomi tapijuga
ekonomi institusional yang baru, yang
membantu kita untuk memahami lebihbaik
hubungan antara individu dan kelompok yang
menciptakan kegiatan-kegiatanekonomi secara
bersama-sama dalam menghadapi aturan-aturan
formal yang mengatur praktek ekonomi.
Dengan kata lain, Nee (2005) memperkaya
perdebatan antara ekonomi formalis yang pada
prinsipnya tidak melekat secara sosial (social
disembededdness) dengan ekonomi substantif
yang melekat secara sosial (social embededdness).
Selama ini, ekonomi dipahami sebagai ilmu
empirik yang tergantung pada nilai-nilai yang
bersifat positif dan mengabaikan nilai normatif.
Padahal, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang
paling bergantung pada nilai dan paling
normatif diantara ilmu-ilmu sosial lainnya.
Model dan teorinya akan selalu didasarkan pada
sistem nilai tertentu yang terkait dengan
pandangan tentang hakikat manusia dan
lingkukngannya. Konsep kunci Nee (2005)
menegaskan mekanisme sosial dimana aspek
formal dan informal saling berhubungan dan
menjadi dasar bagi setiap manusia dalam
mencapai kepentingan ekonominya. Menurut
Nee, aspek formal yang terdiri dari peraturanperaturan formal dari negara seperti undangundang
(institutional
environment)
berhubungan secara dialektis dengan aspek
informal seperti norma-norma dan nilai-nilai
agama (shared belief), jaringan sosial
(socialnetwork), kelekatan sosial (social
embededdness) yang sesuai konteks sosialbudaya tertentu. Kedua aspek formal dan
informal menurut Nee (2005) mempengaruhi
perilaku manusia dalam melakukan kegiatankegiatan ekonominya.Teori institusional baru
menelaah tentang bagaimana institusi memainkan peran yang vital dalam menstrukturisasi transaksi-transaksi sosial dan ekonomi dan
memahami dasar dari norma-norma sosial,
jaringan sosial dan keyakinan (sharedbeliefs)
yang krusial dalam menjelaskan persoalan yang
terjadi dalam praktek ekonomi modern.
Adapun inti dari teori Institusional baru
dirumuskan oleh seperti yang disebutkan oleh
Goodin dalam Budiarjo (2008:98) meliputi
aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya
dalam suatu konteks yang dibatasi secara
kolektif. Pembatasan tersebut merupakan
institusi-institusi, yaitu pola norma dan pola
peran yang telah berkembang dalam kehidupan
sosial dan perilaku dari mereka yang memegang
peran itu. Adapun peran yang dimaksud telah
ditentukan secara sosial dan mengalami
perubahan terus-menerus, meskipun, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga
memberi keuntungan bagi individu atau
kelompok dalam mengejar proyek mereka
masing-masing. Hal ini disebabkan karena
faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu
dan kelompok, juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan
kelompok-kelompok. Pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari
tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu dan
bermaksud untuk mewujudkan, memelihara,
dan memberi peluang serta kekuatan yang
berbeda kepada individu dan kelompok masingmasing.
Dalam berbagai teori tentang organisasi, jika
prinsip-prinsip organisasi mengadopsi normanorma yang ada di lingkungannya maka
organisasi menjadi terinstitusionalisasi. Proses
institusionalisasi dalam organisasi dijelaskan
oleh berbagai pakar sosiologi seperti Selznick
(1949) yang mengatakan bahwa terdapat dua
bentuk organisasi, yaitu sebagai ekspresi
struktural dari tindakan rasional, sebagai
instrumen mekanis yang dirancang untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan organisasi
dianggap sebagai sebuah sistem organik yang
adaptif, dipengaruhi oleh karakter-karakter
sosial dari partisipasinya dan juga beragam
tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh
lingkungannya. Selznick (1949) menambahkan
bahwa institusionalisasi adalah sebuah proses
yang akan terjadi kepada organisasi setiap
waktu, yang merefleksikan sejarah organisasi,
sekelompok orang-orang dengan kepentingankepentingan yang diciptakannya, dan caranya
beradaptasi dengan lingkungannya. Jadi, proses
institusionalisasi adalah menanamkan nilai yang
melampaui persyaratan teknis dari sebuah
organisasi. Dengan kata lain, organisasi yang
mengadaptasi nilai-nilai lingkungan (atau
institusi-institusi
sosial
sekitar)
berarti
organisasi tersebut sedang melakukan institusionalisasi.
Teori Modal Sosial
Dalam praktek ekonomi, modal sosial
amatlah penting dan dianggap sebagai
pelengkap institusi. Modal sosial adalah juga
institusi sosial itu sendiri. Dalam studi tentang
sosiologi ekonomi, persoalan modal sosial
(social capital) menjadi penting untuk
menjelaskan hubungan-hubungan ekonomi
yang menghasilkan produk-produk ekonomi
dan non-ekonomi (Putnam 2000). Modal sosial
ini menjadi syarat untuk diterima menjadi
anggota dari sebuah jaringan sosial. Salah satu
modal sosial adalah kepercayaan terhadap pihak
lain atau trust, kewajiban, norma dan sanksi.
Jadi, modal sosial yang dimaksud disini adalah
bentuk-bentuk organisasi sosial seperti nilai dan
norma, kepercayaan serta jaringan sosial yang
mendukung kerjasama untuk mencapai tujuan
tertentu.
Kepercayaan (trust) diajarkan dalam
pengertiannya yang berbeda, yaitu bahwa trust
sebagai modal spiritual (spiritual capital).
Barro (2004) memberikan analogi modal
spiritual ini seperti modal manusia (human
capital) dalam sistem konvensional. Bourdieu
(2002) membedakan antara modal spiritual
(spiritualcapital)
dengan
modal
agama
(religious capital). Yang pertama mencakup
aspek yang lebih luas pada masyarakat yang
lebih beragam, dijalankan oleh pola produksi,
konsumsi, pertukaran dan konsumsi yang lebih
kompleks (extrainstitutional).Sedangkan yang
kedua dihasilkan dalam sebuah lembaga yang
hirarkis (institutional) (Verter, 2003: 150-174).
Victor Nee melalui New Institutionalism
sebenarnya hanya melanjutkan konsep modal
sosial (social capital) yang sudah diperkenalkan
sebelumnya oleh beberapa sarjana seperti
Putnam (1993 dan 2000). Modal sosial ini
tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi
antar orang setiap hari, tidak berlokasi pada diri
pribadi atau dalam struktursosial, tapi pada
hubungan antar individu. Konsep ini sama
dengan institusi-institusi informal dalam
kerangka berfikir Nee (2005).
Putnam (1993) membagi modal sosial
menjadi dua; antara bondingsocial capital dan
bridging social capital. Yang pertama mengacu
pada modal sosial yang berasal dari identitasidentitas yang bersifat eksklusif seperti
kelompok yang berbasis keluarga, suku atau
agama. Dan yang kedua bersifat inklusif karena
mengacu pada jaringan kelompok yang lebih
luas melewati basis keluarga, suku atau agama
yang cenderung homogen.
Konsep Putnam ini memang yang paling
sempit dibanding teoritis yang lain seperti oleh
Coleman (1988) yang mendefinisikan modal
sosial sebagai “a variety ofdifferent entities,
with two elements in common: they all consist
of some aspect ofsocial structure, and they
facilitate certain actions of actors — whether
personal orcorporate actors — within the
structure”. Dengan kata lain modal sosial
merupakan berbagai entitas yang berbeda,
dengan dua elemen yang sama: mereka semua
terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan
mereka memfasilitasi tindakan tertentu dari
aktor-aktor apakah pribadi atau perusahaan
dalam struktur tertentu. Konsep ini memasukkan hubungan-hubungan horizontal dan vertikal
sekaligus, serta juga perilaku di dalam dan
antara seluruh pihak dalam masyarakat. Dari
keterangan tersebut modal sosial itu adalah
sebuah produk sosial yang bersifat dinamis
(dynamic social construction).
Namun begitu, satu hal yang dilupakan oleh
teoritis modal sosial seperti yang dikembangkan
oleh Putnam adalah apa yang disebut oleh
Woolcock (2001:13-14) sebagai lingking social
capital, yaitu modal sosial yang melingkupi
sekelompok orang-orang yang berbeda-beda
dalam kondisi yang berbeda pula sepertimereka
yang berada di luar kelompok mereka yang
membuat mereka mampu memperoleh sumber
daya yang lebih banyak dibanding yang tersedia
di masyarakat mereka sendiri. Linking social
capital ini semacam tahap ketiga setelah dua
modalsosial yang diperkenalkan oleh Putnam,
yaitu bonding social capital dan bridging social
capital. Seperti sebuah hubungan sosial yang
dibangun oleh berbagaikelompok luar yang
inklusif sehingga memampukan mereka
berhubungan dengan pemerintah.
Bourdieu (1986) dalam Sobel (2002: 139)
menjelaskan bahwa modal sosial adalah “an
attribute of an individual in a social context”.
Portes (1998) menjelaskan bahwa ada dua
perspektif yang berbeda dalam memahami
modal sosial. Pandangan pertama melihat dari
perspektif individual seperti yang disebutkan di
atas. Sedangkan pandangan kedua menekankan
pentingnya
peleburan
individu
dalam
lingkungan sosialnya. Pandangan kedua ini
melihat modal sosial sebagai sifat dari
organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan
kepercayaan (trust). (Portes 1998: 18).
Menurut Putnam (2000:19), modal sosial
mengacu pada hubungan antar individu,
jaringan sosial (social networks) dan normanorma sosial (social norms) seperti saling
memberi dan menerima dan kepercayaan (trust)
yang muncul di antara individu. Modal sosial
merupakan hubungan-hubungan yang tercipta
dan norma-norma yang membentuk kualitas dan
kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat
dalam spectrum yang luas, yaitu sebagai perekat
sosial (social glue) yang menjaga kesatuan
anggota masyarakat secara bersama-sama.
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural, seperti agama, tradisi,
atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000).
Coleman (1988) menjelaskan bahwa jaringan
social (social network) merupakan struktur yang
memfasilitasi modal sosial. Ada dua bentuk
jaringan sosial, yakni jaringan sosial tertutup
dan terbuka. Dalam jaringan sosial tertutup
(closed social networks) setiap pelaku dapat
terkoneksi dengan pelaku lainnya berdasarkan
norma yang bertujuan menimalkan dampak
negatif dan mekmaksimalkan dampak positif
(Arregle et al. 2007). Dalam model jaringan
sosial tertutup, terdapat kepercayaan yang
tinggi yang membuat biaya transaksi antar
anggota rendah karena mereka beranggapan
bahwa setiap orang memiliki ketaatan pada
norma yang ada. Bagaimanapun, jaringan sosial
dengan tingkat kedekatan yang tinggi dapat
pula bertindak dalam melarang adanya anggota
baru dan modal sosial menjadi instrument dari
deskriminasi. Dalam model jaringan terbuka,
keterkaitan dengan banyak orang tidak begitu
erat, hal ini disebabkan tidak semua aktor
mengetahui pelaku lainnya dalam sebuah
jaringan sosial (Arregle et al. 2007). Dalam
sistem jaringan terbuka (open social networks),
setiap anggota kelompok lebih mudah untuk
mengakses sumber daya dan informasi baru,
namun dalam struktur terbuka ini juga memiliki
kesulitan dalam memberikan sanksi terhadap
pelaku yang gagal dalam memenuhi
kewajibannya, dengan demikian berarti mengurangi kepercayaan terhadap jaringan sosial
tersebut.
Secara teoritis, jaringan sosial penting dalam
memahami tindakan kolektif dalam tiga cara:
Pertama, jaringan sosial mengintervensi hingga
proses tindakan kolektif, pada saat permulaan
dengan membangun atau me-nguatkan identitas
pribadi yang menciaptakan potensi untuk
berpartisipasi dan di bagian akhir ketika
individu memiliki pilihan dan persepsi untuk
membuat orang lain mengambil tindakan.
Kedua, jaringan sosial menyediakan kaitan
antara pendekatan stuktural, yang menekankan
aturan tentang identitas, nilai dan jaringan sosial
sebagai persetujuan atau penekanan partisipasi
dan pendekatan fungsional, yang menekankan
pada peran organisasi kemanusiaan. Ketiga,
dikarenakan jaringan sosial merupakan bentuk
dari pilihan dan persepsi (preference and
perception) individu yang membentuk dasar
keputusan untuk berpartipasi. Kesemuanya itu
membentuk hal yang sifatnya stabil seperti nilai
dan identitas ataupun hal yang mudah berubah
seperti pilihan dan persepsi (Passy, 2003: 2223)
Teori Legitimasi
Berger dan Luckmann (1990) dalam
Manuaba (2011:226) menyatakan bahwa
institusionalisasi bukanlah suatu proses yang
stabil walaupun dalam kenyataannya lembagalembaga sudah terbentuk dan mempunyai
kecenderungan untuk bertahan terus. Akibat
berbagai sebab historis, lingkup tindakantindakan yang sudah dilembagakan mungkin
saja mengalami pembongkaran lembaga
(deinstitusionalization). Proses-proses institusionalisasi ini acapkali diikuti dengan proses
selanjutnya yang disebut legitimasi. Fungsi
legitimasi adalah untuk membuat pemahaman
yang sudah dilembagakan menjadi tersedia
secara objektif dan masuk akal secara subjektif.
Legitimasi harus melakukan penjelasanpenjelasan dan pembenaran-pembenaran mengenai unsur-unsur penting dari tradisi
kelembagaan. Legitimasi menjelaskan tatanan
kelembagaan dengan memberikan kesahihan
kognitif dan martabat normatif.
Oleh karena itu, legitimasi merupakan hal
yang penting bagi sebuah institusi, batasanbatasan yang ditekankan oleh norma-norma dan
nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan
tersebut mendorong pentingnya analisis
perilaku institusi dengan memperhatikan
lingkungan. Suchman (1995: 574) menjelaskan
bahwa “Legitimacy is a generalized perception
or assumtion that the action of an entity are
desirable, proper or approriate within some
socially constructed system of norms, value,
beliefed, and defenitions”.Dengan kata lain
bahwa legitimasi adalah generalisasi persespsi
atau asumsi bahwa tindakan tersebut sungguh
diperlukan, tepat atau cocok dengan sistem
konstuksi sosial yang meliputi norma, nilai,
keyakinan dan defenisi. Dalam konteks
pemerintahan, Coicaud (2002) menjelaskan
bahwa legitimasi adalah pengakuan atas
kebenaran dalam memerintah, sedangkan
Johnson et al. (2006: 57) menjelaskan bahwa
legitimasi merupakan konstruksi secara kolektif
atas realitas sosial.
Dowling dan
Pfeffer (1975: 122)
memberikan alasan yang logis tentang
legitimasi organisasi
bahwa
Organisasi
berusaha menciptakan keselarasan antara nilainilai sosial yang melekat pada kegiataannya
dengan norma-norma perilaku yang ada dalam
sistem sosial masyarakat dimana organisasi
adalah bagian dari sistem tersebut. Selama
kedua sistem nilai tersebut selaras, kita dapat
melihat hal tersebut sebagai legitimasi
organisasi. Ketika ketidak selarasan aktual atau
potensial terjadi di antara kedua sistem nilai
tersebut, maka akan ada ancaman terhadap
legitimasi organisasi.
Adapun yang melandasi adanya legitimasi
adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara
organisasi
dengan
masyarakat
dimana
organisasi beraktivitas dan menggunakan
sumber ekonomi. Shocker dan Sethi (1974: 67)
memberikan penjelasan bahwa semua institusi
sosial tidak terkecuali organisasi beroperasi di
masyarakat melalui kontrak sosial, baik
eksplisit maupun implisit, dimana kelangsungan
hidup dan pertumbuhannya didasarkan pada:
pertama, hasil akhir yang secara sosial dapat
diberikan kepada masyarakat luas; kedua,
distribusi manfaat ekonomi, sosial atau politik
kepada kelompok sesuai dengan kekuasaan
yang dimiliki.
Di dalam masyarakat yang dinamis, tidak
ada sumber kekuasaan (power) institusional dan
kebutuhan terhadap pelayanan yang bersifat
permanen. Oleh karena itu suatu institusi harus
lolos uji legitimasi dan relevansi dengan cara
menunjukkan bahwa masyarakat memang
memerlukan jasa organisasi dan kelompok
tertentu yang memperoleh manfaat dari
penghargaan yang diterimanya betul-betul
mendapat persetujuan masyarakat.
Dowling dan Pfeffer (1975:124) mengatakan bahwa legitimasi tidak dapat
didefiniskan hanya dengan mengatakan apa
yang legal atai ilegal. Harapan masyarakat
terhadap perilaku perusahaan dapat bersifat
implisit dan eksplisit (Deegan 2000 : 254).
Menurut Deegan (2000) bentuk eksplisit dari
kontrak sosial adalah persyaratan legal,
sementara bentuk implisitnya adalah harapan
masyarakat yang tidak tercantum dalam
peraturan legal (uncodified community expectation). Ada tiga alasan yang menyebabkan
terjadinya korelasi yang tidak sempurna antara
hukum dan norma/nilai sosial (Dowling dan
Pfeffer 1975). Pertama, meskipun hukum sering
dianggap sebagai refleksi dari norma dan nilai
sosial, sistem hukum formal mungkin terlalu
lambat dalam mengadaptasi perubahan norma
dan nilai sosial di masyarakat. Kedua, sistem
legal didasarkan pada konsistensi sedangkan
norma mungkin kontradiktif. Ketiga, masyarakat mungkin mentolerir perilaku tertentu tapi
tidak menginginkan perilaku tersebut tercantum
dalam aturan hukum.
Dapat
dikatakan
bahwa
legitimasi
merupakan hasil dari proses institusionalisasi,
sehingga dampak dari perubahan institusi yang
ditandai dengan tingginya ketidakpastian
lingkungan berpengaruh terhadap legitimasi
organisasi. Dalam kondisi ini, legitimasi
menjadi penting bagi keberlanjutan organisasi
(Suchman, 1995). Legitimasi menjadi sumber,
dan organisasi membutuhkannya
untuk
memperoleh akses ke sumber lingkungan
lainnya.
Faktor-faktor Institusional dan Modal
Sosial yang Membetuk Legitimasi
Walaupun
institusi
dibentuk
dari
institutionalisasi lingkungan organisasi yang
dinyatakan pada level keseimbangan dan
kesinambungan, institusi juga merupakan objek
perubahan (Scott, 2001; Dowling dan Pfeffer,
1975). Proses perubahan tersebut dapat bersifat
incremental dan terputus (Scott, 2001:48) yang
bersumber dari faktor eksternal organisasi
seperti perubahan politik, ekonomi dan proses
sosial atau faktor internal organisasi seperti
pemunculan dan penurunan aktor yang
memiliki kekuatan besar (powerful actors) atau
aktivitas-aktivitas organisasi (Galvin, 2002).
Perubahan secara institusional ini menciptakan
sumber tekanan pada organisasi yang pada
akhirnya memotivasi organisasi untuk berubah.
Dalam kaitannya dengan perubahan, institusi
dapat menjadi bebeda tergantung pada
perubahan yang dilakukan, baik berupa aturan
formal dan regulasi yang dapat berubah dalam
waktu singkat, atau atau secara informal yang
secara mendalam menyatu di dalam budaya
masyarakat yang terlihat sulit berubah. Institusi
yang berubah secara formal tanpa mempertimbangkan model informal memiliki resiko
dalam keberhasilan proses perubahan secara
instistusional (Ovin, 2001).
Legitimasi Organisasi
Legitimasi
merupakan
konsep
yang
menjelaskan keberadaan garis batas antara
organisasi dan lingkungan sosial-budaya
dimana organisasi itu ada dan beraktivitas.
Organisasi yang terlegitimasi merupakan
representasi dari evaluasi organisasi oleh sistem
sosial. Legitimasi organisasi merupakan bentuk
penghargaan dari stakehoder yang menilai
bahwa organisasi selah sesuai dengan standar
atau model tertentu.
Ada dua pendekatan dalam memahami
keberadaan legitimasi yaitu strategis dan
institusional (Suchman, 1995). Pendekatan
strategis memandang legitimasi sebagai sumber
daya operasional diperolah oleh organisasi dari
lingkungan sosialnya dan kemudian menggunakannya memperoleh sumber daya lainnya
(Suchman, 1995; Dowling and Pfeffer, 1975).
Di sisi lain, yakni perspektif institusional
mengadopsi pandangan yan lebih pasif pada
organisasi, yang menganggap bahwa organisasi
ditentukan oleh lingkungan sosial dan keputusan manajerial dibentuk oleh pemerimaan
sistem kepercayaan yang luas (Suchman, 1995).
Walaupun penulis kurang sependapat dengan
pernyataan kepasifan organisasi, namun tidak
dipungkiri bahwa perubahan organisasi melalui
tekanan lingkungan sosial melalui proses adopsi
dan adaptasi oleh organisasi melalui proses
pengambilan keputusan yang merupakan
tuntutan atas legitimasi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Scott (1991) bahwa organisasi
tidaklah pasif dan dapat membuat pilihan
strategis,
terutama
dalam
menjelaskan
legitimasi.
Perbedaan stakeholder pada setiap gradasi
lingkungan
memberikan
berbagai
jenis
legitimasi ketika menilai kepatuhan organisasi
untuk memenuhi persyaratan standar regulasi,
normatif, budaya-kognitif dan moral. Pada
umumnya organisasi fokus menghadapi
tantangan bagaimana memprioritaskan lembaga
berfungsi pada tingkat lingkungan yang
berbeda. Selain itu, gradasi lingkungan berubah
sepanjang waktu dan di banyak tempat (Scott,
2001). Adapun yang menjadi tantangan adalah
dalam mengidentifikasikan gradasi lingkungan
yang relevan yang dapat dipertimbangkan
ketika organisasi menjelaskan legitimasi
mereka secara strategis.
Dalam menjelaskan proses legitimasi,ada
tiga proses yang disebutkan dari kajian lieratur
yakni memperoleh, memelihara, dan memperbaiki legitimasi (Suchman,1995:586). Pada
penelitian ini, penulis lebih melihat pada proses
bagaimanaorganisasi yang beroperasi mendapatkan legitimasi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Suchman(1995) yang menjelaskan
kaitan proses ini dengan buruknya institusionalisasi lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan strategis bahwa proses memperoleh
legitimasi yang dinamis paling tepat untuk
dipertimbangkan. Selain itu akan diteliti pula
faktor-faktor apa saja yang dibutuhkan dalam
menjamin terciptanya kebijakan publik yang
adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam kajian literatur, ada beragam tipologi
legitimasi tergantung pada konteks yang diteliti
dan masalah penelitian yang khusus (Suchman
1995; Dacin, Oliver dan Roy 2007). Bahkan,
institusi sebagai sumber legitimasi dapat menjelaskan jenis legitimasi yang diberikan. Scott
(2001) memperluas pandangan mengenai
institusi dan menganggap sumber legitimasi
terdiri darielemen regulasi, norma dan budayakognisi, yang memberikan stabilitas dalam
interaksi manusia.
Regulasi
Legitimasi yang bersumber dari peraturan
adalah kesesuaian dengan peraturan, aturan
standar dan hukum (Scott, 2003; Zimmerman
dan Zeitz, 2002),yang menurut definisi
memiliki karakter formal. Pada umumnya,
organisasi berbadan hukum seperti pemerintah,
asosiasi, organisasi profesi dan yang lainnya,
telah menetapkan proses regulasi secara
eksplisit (explicit regulative processes) (Scott
1995) yang meliputi aturan, pemantauan dan
sanksi jika terjadi ketidaksesuaian (Scott, 1995;
Zimmerman dan Zeitz,2002). Ketiga dimensi
ini merupakan ukuran dalam penerapan elemen
regulasi di dalam organisasi.
Dengan demikian, aturan hukum dan
regulasi adalah institusi formal yang mewakili
sumber legitimasi peraturan dan badan
pemerintah yang memberikan kewenangan itu
adalah lembaga-lembaga negara diberbagai
tingkat regional, lokal, nasional dan internasional. Penelitian sebelumnya menunjuk-kan
bahwa regulasi adalah sumber pertama organisasi yang mencoba untuk mendapatkan untuk
mendapatkan legitimasi. Misalnya, Delmar dan
Shane (2004) me-nemukan bahwa organisasi
yang badan hukum dan menjalankan kegiatannya memiliki kemungkinan lebih tinggi kelangsungan hidup. Dengan mendapatkan legitimasi
dari sisi regulasi berarti organisasi telah
mendapatkan legitimasi secara peraturan untuk
menjalamkan operasionalnya.
Norma
Legitimasi yang berdasarkan norma adalah
kepatuhan terhadap norma-norma dan nilai-nilai
informal secara luas diterima (Scott, 2003).
Dalam hal ini, pertimbangan legitimasi secara
normatif sebagai sebuah konstruksi sosial
informal yang telah dikembangkan dan
dilembagakan seiring dengan waktu dan
kebutuhan. Scott (2001) mendefinisikan nilai
sebagai konsep-konsep dari yang diinginkan
yang berhubungan dengan standar untuk setiap
struktur yang ada atau perilaku dapat
dibandingkan. Norma mengandung pengertian
bagaimana sesuatu harus dilakukan (Scott,
2001). Dengan kata lain, nilai adalah prinsip
moral secaraumum dan norma adalah petunjuk
konkrit untuk berperilaku. Norma terbentuk dari
nilai (values) yang dianut yang menjadi aturan
tentang boleh dan tidaknya sebuah perbuatan.
Komponen dasar dari norma adalah petunjuk
(prescription), evaluasi (evaluation) and
kewajiban (obligation) Ligero, 2011). Ketiga
dimensi ini merupakan ukuran dalam
memahami elemen normatif. Organisasi harus
menerapkan tidak hanya sosial norma umum
tetapi juga berbagai standar yang berasal dari
berbagai aspek profesional yang berbeda (Di
Maggio dan Powell, 1983).
Budaya-Kognisi
Legitimasi yang berdasarkan budaya-kognisi
adalah kesesuaian dengan kepercayaan budaya
secara luas dipegang dan praktek yang takenfor-granted (diambil begitu saja) (Scott 2001).
Elemen kognitif dapat digambarkan sebagai
aturan yang menentukan jenis aktor yang
memungkinkan ada, apakah struktural fitur
yang digunakan, prosedur apa mereka dapat
mengikuti, dan apa makna yang berhubungan
dengan tindakan ini.
Sumber-sumber budaya-kognitif dalam
legitimasi adalah asumsi yang taken-forgranted pada sistem sosial (Scott 2001), yang
memiliki karakter informal. Menurut Suchman
(1995), dimensi kultural-kognitif legitimasi
yang paling halus dan paling kuat dan juga yang
paling sulit
untuk
mendapatkan dan
memanipulasi. Davis dan Greve (1997:6)
menjelaskan bahwa pendekatan kognitif
berfokus pada berbagi kerangka pemikiran
(shared frameworks) atas penafsiran pelaku,
yang
memungkinkan
mereka
untuk
memperoleh definisi umum dari situasi tertentu.
Dengan demikian, legitimasi berasal dari
mengadopsi kerangka acuan umum yang
konsisten dengan yang berlaku dalam sistem
sosial. Namun dalam perspektif kognitif atau
budaya-kognisi tidak boleh dipahami secara
keliru, karena fokus kajian bukan pada kognisi
individual, tetapi pada realitas taken-forgranted konstruksi sosial yang memandu
tindakan organisasi (Zucker, 1977). Adapun
dimensi yang digunakan ialah aturan (rules)
yang pada dasarnya merupakan pengganti dari
realitas sosial dan perumusan (formulas) yang
berarti cara mendapatkan (Ligero, 2011).
Moral
Legitimasi yang bersumber dari moral
merupakan penyesuaian terhadap standarstandar sosial tentang benar atau salah.
Suchman (1995:579) menjelaskan bahwa yang
dijadikan sandaran dalam penilaian adalah
apakah perbuatan atau kegiatan adalah hal yang
benar untuk dilakukan. Disamping itu, penilaian
tersebut, pada gilirannya merefleksikan
keyakinan mengenai aktivitas yang dilakukan
mengarah kepada kesejahteraan sosial, yang
merupakan desain dari sistem nilai dari kontrak
sosial. Legitimasi berdasarkan moral berbeda
dengan yang bersumber dari kognisi. Pada
pendekatan moral, focus kajian ada pada
kebenaran yang mendukung lingkungan sosial,
sedangkan pada pendekatan kognisi perolehan
legitimasi bersifat taken-for-granted antara
tujuan organisasi dan kegiatan yang mendukung
lingkungan sosial tanpa didasari oleh penilaian
yang cermat (Droege, lane dan Spiller,
2011:104). Lebih lanjut Droege, lane dan
Spiller (2011:104-105) menjelaskan pembagian
moral dalam mewujudkan legitimasi yang
terdiri atas konsekuensi, prosedur, struktur dan
personal.
Legitimasi berdasarkan moral berawal dari
usaha organisasi untuk mempertahankan prilaku
etisnya hingga pemenuhan respon terhadap
tekanan sosial-politik dalam bertindak dalam
tanggung jawab yang lebih luas (Long dan
Driscoll:2008:178).
Legitimasi
sebaiknya
memperhitungkan moral dominan dan tanggung
jawab sosial dalam masyarakat di mana
organisasi beroperasi meskipun nilai-nilai
organisasi ada yang bertentangan dengan
harapan masyarakat (Kennedy dan Fiss, 2009).
Kesesuaian terhadap tekanan-tekananyang
diberikan oleh difusi harapan sosial baru yang
tidak kompatibel dengan arahan institusional
(Seo dan Creed,2002), pada gilirannya akan
mengganggu institusi dan menghasilkan
perubahan nilai-nilai sosial tentang legitimasi
sebuah organisasi. Aksi moral merupakan
proses dari modal sosial, karena kegiatan
komunitas aktor bergerak ke arah perbaikan
atas masalah yang ada dan menciptakan
kehidupan yang lebih baik (Kang dan
Glassman, 2010).
Simpulan
Basis institusi dan modal sosial me-rupakan
hal yang paling penting dalam memahami
sumber legitimasi pada organisasi pelayanan
publik.
Pemahaman
pemerintah
yang
terimplementasi pada model pelayanan publik
yang responsif akan memberikan penguatan
akan legitimasi tersebut. Partisipasi masyarakat
dalam pelayanan publik akan menjadikan
pelayanan publik lebih kaya akan kepentingan
publik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arregle, J. L., M. A. Hitt, D. G. Sirmon, and P.
Very. 2007. The Development of
Organizational Social Capital: Attributes of
family firms. Journal of Management
Studies 44 (1):73-95.
Barro, Robert J. 2004. “Spirit of Capitalism:
Religion and Economic Development.”
Harvard International Review, Winter, 2004.
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu
Politik (Edisi Revisi), (PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Coicaud, J.M., 2002. Legitimacy and Politics:
Acontobution To Study Of Political Right
dan Political Respnsibility. New York :
Camcridge University Press.
Coleman, J. S., 1988. Social Capital In The
Creation Of Human Capital. The American
Journal of Sociology 94 (Supplement): S95S120.
Dacin, T., Oliver, C., and Roy, J.P., 2007. The
Legitimacy of Strategic Alliances: An
Institutional
Perspective,
Strategic
Management Journal, 28: 2, 169-189. Ovin,
Rasto. 2001. The Nature of Institutional
Change in Transition. Post-Communist
Economies, 13: 2, 133-146.
Dakhli, M., de Clercq, D., 2004. Human
Capital, Social Capital, And Innovation: a
multi-country study. Entrepreneurship &
Regional Development, 16, March, pp. 107–
128.
Dasgupta, P., 2005. Economics of Social
Capital. Economic Record, 81(S1), S2-S21.
Daubon, R.E. and Saunders, H.H., 2002.
Operationalising Social Capital: A Strategy
to Enhance Communities’ ‘Capacity to
Concert’. International Studies Perspectives,
2, 176-191.
Davis, G. F., and Greve. H.R., 1997. Cooperate
Elite Networks And Governance Changes In
The 1980s. American Journal of Sociology,
103, 1-37.
Deegan C, (2000), Finacial Accounting Theory,
Sydney :McGraw-Hill
Delmar, F. and Shane, S., 2004. Legitimating
First: Organizing Activities And The
Survival Of New Ventures. Journal of
Business Venturing 19, p. 385‐410.
Dowling, J. and Pfeffer, J. 1975, 'Organisational
Legitimacy:
Social
Values
And
Organisational
Behaviour',
Pacific
Sociological Review, Vol. 18, Iss. 1, pp. 122136.
Droege, S. Lane, M. And Spiller, S. 2011,
Intersecting Three Muddy Roads: Stability,
Legitimacy, and Change, Journal of
managerial Isuues, Vol. XXIII (1):96:112
Farjoun, M. 2010. “Beyond Dualism: Stability
and Change as Duality.” Academy of
Management Review 35(2): 202-225.
Fukuyama, F., 2002. Social Capital and
Development: The Coming Agenda. SAIS
Review, XXII(1), 23-37.
-------------------. 2000. “Social Capital”, in
Harrison, L., Huntington, S. (ed.) (2000)
Culture Matters: How Values Shape Human
Progress. New York: Basic Books.
Galvin, T.L. 2002. Examining Institutional
Change: Evidence from the Founding
Dynamics of U.S. Health Care Interest
Associations. The Academy of Management
Journal, 45: 4, 673-696.
Grootaert, C. & van Bastelaer, T., 2002.
Introduction and overview. In C. Grootaert,
van Bastelaer, T. (Eds.), The role of social
capital
in
development
(pp.
118).Cambridge, UK. Cambridge University
Press.
Harvey, B., & Schaefer, A., (2001. Managing
Relationships
With
Environmental
Stakeholders: A study of U.K. water and
electricity utilities. Journal of Business
Ethics, 30, 243–260.
Idemudia, U. 2007. “Community Perceptions
and Expectations: Reinventing the Wheels of
Corporate Social Responsibility Practices in
the Nigerian Oil Industry.” Business and
Society Review 11(23): 369-405.
Isham, J. Kelly, T. & Ramaswamy, S., 2002.
Social Capital and well-being in developing
countries: an introduction. In J. Isham, Kelly,
T. & Ramaswamy, S. (Eds.), Social capital
and economic development: Well-being in
developing
countries
(pp.
3-17).
Cheltenham, UK: Edward Elgar.
Jeyariaj, A., C. Charles, C. Balser, and G.
Griggs.
2004.
Institutional
Factors
Influencing E-Business Adoption.
Johnson, C., Dowd, T. J. and Ridgeway, C. L.,
2006. "Legitimacy as a Social Process,"
Annual Review of Sociology (32) 1, pp. 5378.
Kennedy, M. T. and P. C. Fiss. 2009.
“Institutionalization,
Framing,
and
Diffusion: The Logic of TQM Adoption and
Implementation Decisions Among U.S.
Hospitals.” The Academy of Management
Journal 52(5): 897-918.
Landry R., Amara N., Lamari M., 2002. ‘Does
Social Capital Determine Innovation? To
What Extent?’ Technological Forecasting
and Social Change, Vol. 69, pp. 681–701.
Long, B. S, and C, Driscoll, 2008. Codes of
ethics and the pursuit of organization
legitimacy: Theorical, and empirical
constributions, Journal of Bussiness ethics,
77:173-189
Ligero, F. Rigquel, 2011. Social legitimacy of
Golf tourism: An Aplication to th e Golf
Courses of Andalusia, Enlghtening Turism.
A Pathmaking Journal, Vol 1 (1) : 152-173
Manuaba, I. B. Putera, 2011. Memahami Teori
Konstruksi Sosial, Jurnal Masyarakat
Kebudayaan Dan Politik, Volume 21, Nomor
3:221-230
Narayan, D. 2002. Bonds and bridges: Social
capital and poverty. In J. Isham, Kelly, T. &
Ramaswamy, S. (Eds.), Social capital and
economic development: Well-being in
developing
countries
(pp.
58-79).
Cheltenham, UK: Edward Elgar.
Navarro, J., Ruiz, M. (1997). Teoría
Institucional y Teoría de la Organización.
Anales de Economía y Administración de
Empresas, 5, 135-152.
Nee, Victor, 2005. “The New Institutionalisms
in Economics and Sociology,” in Neil J.
Smelser and Richard Swedberg (eds),
(2005). Handbook of Economic Sociology.
Russel
Sage
Foundation:
Princeton
University Press.
North, Douglas C. 1991. “Institutions.” Jorunal
of Economic Perspectives 5:97-112.
---------------------.1993.
“Institutions
and
Credible
Commitment.”
Journal
of
Institutional and Theoretical Economics 145:
11-23.
Ovin, Rasto. 2001. The Nature of Institutional
Change in Transition. Post-Communist
Economies, 13: 2, 133-146.
Passy, F. 2003. Social networks matter. But
how? In M. Diani & D. McAdam (Eds.),
Comparative Politics. New York; NY:
Oxford University Press.
Pfeffer, J. 2005. Great Minds in Management,
edited by K. G. Smith and M. A. Hitt, New
York, NY: Oxford University Press.
Portes, Alejandro, 2006. “Institutions and
Development: A Coceptual Reanalysis.”
Population and Development Review 32 (2):
233-262 (June).
-----------------------. 1998. ‘Social Capital: Its
Origins and Applications in Modern
Sociology’, Annual Review of Sociology, vol.
24, pp.1-24.
Putnam, Robert D. 1993. “The Prosperous
Community: Social Capital and Public Life”.
The American Prospect, 4: 13.
------------------------. 2000. Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American
Community. New York: Simon and Schuster.
Sánchez, A. Vargas, Ligero¸ F. Riquel, 2010.
An
institutional
approach
to
the
environmental management systems of golf
courses in Andalusia, European Journal of
Tourism, Hospitality and Recreation Vol. I,
Issue 1, pp. 24-38,
Scott,
W.R.
1995,
Institutions
and
Organizations, Thousand Oaks, CA: Sage,
1st edition.
Scott,
W.R.
2001,
Institutions
and
Organizations, Thousand Oaks, CA: Sage,
2nd edition.
------------------. 2003, Organizations: Rational,
Natural and Open Systems. New Jersey:
Prentice Hall, 5th edition.
Scott, W.R. and Meyer, J.W. 1991. The
Organization
of
Societal
Sectors:
Propositions and Early Evidence. In W. W.
Powell and P. J. DiMaggio (Eds.), in The
New Institutionalism in Organizational
Analysis, 108-140. Chicago: The University
of Chicago Press.
Schein, E.H. 2004, Organizational Culture And
Leadership, third edition, San Fransisco:
Jossey-Bass.
Selznick, Philip 1949. TVA and the Gross
Roots. Bekeley and Los Angeles: University
of California Press.
Seo, M. and D. Creed. 2002. “Institutional
Contradictions, Praxis, and Institutional
Change: A Dialectical
Perspective.”
Academy of Management Review 27(2): 222247.
Shocker, A. D. & Sethi, S.P. 1974, An approach
to incorporating social preferences in
developingcorporate action strategies in The
Unstable Ground: Corporate Social Policy
in a Dynamic Society, ed. S.P. Sethi, (pp. 6780), Melville, California.
Sobel, J. 2002, ‘Can we trust social capital?’,
Journal of Economic Literature, vol. XL, pp.
139-154.
Suchman, Mark, C., 1995. Managing
Legitimacy: Strategies and Institutional
Approach, Academy
of Management
Review, 20 (3). 571-610
Swanson, E.B., and Ramiller, N.C. 1997.The
organizing vision in information systems
innovation.Organization Science, 8 (5). 458–
474.
Teo, H., K. Wei, and I. Benbasat. (2003).
Predicting
intention
to
adopt
interorganizational linkages: An institutional
perspective. MIS Quarterly 27 (1) : 19–49.
Toboso, F. (2001). "Institutional Individualism
and Institutional Change: the Search For a
Middle Way Mode of Explanation", in
Cambridge Journal of Economics, vol. 25,
no.6, November, p. 765-784.
Uphoff, Norman. 1986. Local Instutional
Development; An Analitical Sourcebook.
West Hartford. Kumarian Press.
Verter, Bradford. Spiritual capital: Theorizing
Religion with Bourdieu against Bourdieu
Sociological Theory, 21(2), 50-174. (2003).
Wallner, Jennifer Policy Studies Journal; Aug
2008; 36, 3; ProQuest Research Library pg.
421
Whitley, Richard 1996. “Business Systems and
Global Commodity Chains: Competing or
Complementary Forms of Economic
Organisation?” Competition and Change 1
(4): 411-25.
Woolcock, M. (2002). Social capital in theory
and practice: Where do we stand? In J.
Isham, Kelly, T. & Ramaswamy, S. (Eds.),
Social capital and economic development:
Well-being in developing countries (pp. 1839). Cheltenham, UK: Edward Elgar.
Zimmerman, M.A. and G.J. Zeitz (2002),
Beyond Survival: Achieving New
Venture
Growth
by
Building
Legitimacy, Academy of Management
Review, 27: 3, 414-443.
Download