2 profesionalisme guru dan peningkatan mutu pendidikan di era

advertisement
2
PROFESIONALISME GURU DAN PENINGKATAN MUTU
PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Ahmadireja*
* STAI Muhammadiyah Tulungagung
[email protected]
Abstract
In order to achieve high quality in the field of education, the role of
the teacher is very important and is very major. For that, the
professionalism of the teacher should be enforced by way of the
fulfillment of the terms of competencies that must be mastered by
every teacher, both in the field of material science expertise and
mastery of the methodology. Teachers should be responsible for
their duties and must develop friendship with fellow teachers
through participation and organization of teacher professional
development. To achieve conditions that professional teachers, the
teachers have to make quality orientation and professionalism of
teachers as their work ethic and make it as a cornerstone of
orientation behavior in the duties of his profession. Therefore, the
code of ethics of the teaching profession must be upheld. During its
development, it was realized that the teaching profession is not in an
ideal position as expected, but should continue to strive towards the
best. At the time of implementation of regional autonomy and
decentralization of education along with the growth and
development of information technology is very rapid, it is understood
that many of the challenges and opportunities that must be overcome
to be completed by the teacher education providers and institutions.
Kata Kunci: Profesionalisme, Mutu, dan Otonomi Daerah.
Pendahuluan
Tuntutan terhadap lulusan dan layanan lembaga pendidikan yang bermutu
semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja.
Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang
memungkinkan peluang lembaga pendidikan asing membuka sekolahnya di
Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga penyelenggara pendidikan
dan pasar kerja akan semakin berat.
387 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan
yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan
kecuali hanya mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan
serta produk-produk akademik dan layanan lainnya, yang antara lain dicapai
melalui peningkatan mutu pendidikan.
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, apa
dan mengapa mutu, etos kerja dan profesionalisme guru serta tantangan dunia
pendidikan terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan otonomi daerah
atau desentralisasi pendidikan.
Paradigma Baru
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan
paradigma baru manajemen pendidikan yang difokuskan pada otonomi,
akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan
pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu. 1
1. Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan
dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh
argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai
agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan
konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif
dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses
dan hasil belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan.
Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk
dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat
produk atau hasil dan jasa tersebut.
2. Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan
kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat
dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam
penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/staf non
akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan
standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak
bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak- hak profesi yang
mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan
tangan birokrasi di atasnya.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output
dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut
kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan
dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan
1
Wirakartakusumah, “Lokakarya MMT IPB” Pengertian Mutu Dalam Pendidikan,
Bogor: Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret 1988.
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 388
kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi
(keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk
penggunaan semua sumberdayanya.
4. Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi
tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi
tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi
lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau
jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan
independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi
pendidikan untuk Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi
Nasional (BAN) dan sekolah-sekolah menengah ke bawah oleh Badan
Akreditasi Sekolah (BAS).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan
memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai,
manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang
dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses
pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara
internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila
dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu evaluasi terpenting dalam
pendidikan adalah evaluasi diri (self evaluation) yang dilakukan bertahap
dan terus menerus atas seluruh komponenkomponen pendidikan.
Peningkatan Mutu
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Setiap orang selalu mengharapkan
bahkan menuntut mutu dari orang lain, sebaliknya orang lain juga selalu
mengharapkan dan menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu bukanlah
sesuatu yang baru, karena mutu adalah naluri manusia. Benda dan jasa sebagai
produk dituntut mutunya, sehingga orang lain yang menggunakan puas karenanya.
Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat dari barang atau jasa, yang
menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik
kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang secara sadar
dilakukannya disebut “kinerja”. Kinerja itulah yang dituntut mutunya, sehingga
muncul istilah “mutu kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut bermutu jika dapat
menemuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Oleh karena itu,
maka suatu produk atau jasa sebagai kinerja harus dibuat sedemikian rupa agar
dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Dalam pembicaraan
tentang mutu, terdapat unsur-unsur yang terkait, yaitu: produk dan jasa, penghasil
produk/jasa, pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang bermutu dan
kepuasan.
Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena ada yang
memerlukan. Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil
389 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut
pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan adalah cerminan dari apa saja yang
diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil produk/jasa.
Adanya produk/jasa yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan
melebihi dari sekedar kebutuhan dan harapan pelanggan/ penggunanya, yang
ditandai dengan kepuasan.
Ciri-ciri mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan) ditandai dengan: (1)
ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan
(unsur menyenangkan pelanggan), (4) bertanggung jawab atas segala keluhan
(complain) pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan
pelayanan, (7) variasi layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan
ketersediaan atribut pendukung. 2
Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan tepat waktu
seperti yang disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau tertundanya waktu dari
yang telah disepakati menjadi cacat mutu karena cidera janji. Akurasi pelayanan
atau ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh pelanggan juga
merupakan salah satu dari ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau kemelencengan
dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat
bahkan mendatangkan kerugian bagi pelanggan. Untuk itu menjadi penting
melakukan proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses
produksi/layanan dilakuan.
Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan pelanggan, sehingga
kesopanan dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan pelanggan
menjadi unsur penting untuk menjaga mutu. Ungkapan sehari- hari dalam dunia
bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya adalah berusaha menyenangkan pembeli
agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan lain.
Setiap penghasil produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala
yang telah diperbuatnya, ia harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko
yang diakibatkan oleh pekerjaan itu. Semua yang menjadi keluhan (complain)
pelanggan harus dipertanggung jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang
dipesan/dibutuhkan sesuai janji kesepakatan sebelumnya, maka dia harus
bertanggung jawab untuk menggantinya.
Sebagai penghasil produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan
sarana dan kemampuan yang diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa
penghasil produk/jasa haruslah profesional dan kompeten dengan bidangnya.
Selain itu, sebagai penghasil produk/jasa haruslah memberikan kemudahan
kepada pelanggan untuk mendapatkan produk/jasa tersebut, baik yang
berhubungan dengan waktu, tempat, atau kemudahan menjangkaunya.
Bentuk pelayanan hendaknya juga bervariasi, sehingga banyak pilihan
bagi pelanggan. Inovasi haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk
menunjang variasi layanan tersebut. Sedapat mungkin pelayanan bersifat pribadi
lebih ditonjolkan, sehingga tidak terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada
penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan pelayanan harus pula
2
Slamet Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu
Terpadu (Bogor: IPB Bogor, 1999), h lm. 21.
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 390
diciptakan, misalnya berhubungan dengan lokasi/ruangan, fasilitas pelayanan
yang memadai seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan,
dan ketersediaian informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Peranan atribut pendudukung seperti lingkungan yang nyaman, kebersihan
yang standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain- lain yang bersifat penunjang
sangat diperlukan bagi suksesnya pelayanan mutu. Oleh karena itu perlu
diperhatikan.
Konsep mutu sebenarnya selain bersifat absolut juga bersifat relatif dari
pelanggannya. Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada suatu produk/jasa yang
standar tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh suatu lembaga yang
memiliki otonomi untuk itu. Mutu suatu produk/jasa yang bersifat relatif berarti
tergantung pada konsumennya/pelanggannya bagaimana mereka menetapkan
standar kebutuhan dan harapannya.
Mengapa produk/jasa harus bermutu? Dalam persaingan bebas kita
seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau pelanggan
(customers). Jika produk/layanan hasil kinerja kita tidak bermutu, maka customers
akan meninggalkan kita, karena ada alternatif lain yang bisa dipilih oleh mereka.
Jika penghasil produk/jasa ingin tetap berlangsung usahanya (dipakai oleh
customers), maka ia harus menjaga mutu bahkan meningkatkan mutu produk/jasa
layanannya seiring dengan tuntutan kebutuhan dan harapan customers.
Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet adalah mengadung
unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability), (2) keterjaminan (assurance), (3)
penampilan (tangibility), (4) perhatian (emphaty), dan (5) ketanggapan
(responsiveness). 3
Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur,
tepat waktu pelayanan, terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang
dipergunakan/diperoleh, dan ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan.
Keterjaminan suatu mutu jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil
produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya,
tampil dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya.
Penampilan adalah sosok dari produk/jasa dan hasil karyanya. Misalnya
bersih, sehat, teratur dan rapi, enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan
harmonis, dan buatannya baik.
Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan
(seandainya saya dia). Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian
terhadap pelanggan, melayani dengan ramah dan memuaskan, memahami
keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap penuh
simpati.
Adapun ketanggapan adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian
terhadap keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat
memberi respon pada permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan dan
mengatasi keluhan pelanggan.
3
Ibid, hlm. 25.
391 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha
pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan
kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam
lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling
tidak empat kelompok. 4 Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan
mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan
primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima
manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait
dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau
lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai
pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang
ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat
pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang
keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu
yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan
tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan
(internal customers).
Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan
lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka
termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka
berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan
berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik
kebanggaan maupun finansial. 5
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi
kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga
haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing- masing pelanggan diatas.
Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan
pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan
pendidikan.
Etos Kerja dan Profesionalisme Guru
Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang
dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi
profesi yaitu: profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi.
Gilley dan Eggland mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia
berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya
diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi aspek yaitu6 :
a. Ilmu pengetahuan tertentu
4
Sallis Ed ward, Total Quality Management in Education (London: Kogam Page, 1993),
hlm. 206.
5
Ravik Karsidi, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di
Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari 2000.
6
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland, Principles of Human Resourches Development
(New Yo rk: Addison Wesley Pub. Co mpany. Inc., 1989), hlm. 76.
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 392
b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
c. Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan
standar pengukuran profesi guru. Proses profesional adalah proses evolusi yang
menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan
profesi ke arah status professional (peningkatan status). Secara teoritis menurut
Gilley dan Eggland pengertian professional dapat didekati dengan empat
prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi
karakteristik, dan orientasi non-tradisonal. 7
1. Orientasi Filosofi
Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu pertama
lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi.
Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan
dengan aturan-aturan formal. Pendekatan kedua yang digunakan untuk
tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu
pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan
aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu
pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanya.
Pendekatan ketiga: electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur,
teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran
akademis.
Proses profesionalisasi dianggap merupakan
kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu.
berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan
pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi
diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.
kesatuan dari
Pendekatan ini
lebih baik dari
profesi memang
2. Orientasi Perkembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan
profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu- individu yang
memiliki minat terhadap profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu
lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman
atau kualifikasi tertentu.
e. Penetuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat
akademis) dan pengalaman di lapangan.
3. Orientasi Karakteristik
7
Ibid, hlm. 17.
393 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan.
Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, satu dengan
yang lain saling terkait:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Kode etik
Pengetahuan yang terorganisir
Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
Sertifikat keahlian
Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku
tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara
anggota profesi
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek
oleh anggota profesi
4. Orientasi Non-Tradisional
Perspektif pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal
yang menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu
diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan
kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi
elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk
pentingnya sertifikasi professional dan perlunya standarisasi profesi untuk
menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.
Tentu saja, pekerjaan guru tidak diragukan untuk dapat dikatakan
sebagai profesi pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan
untuk melakukan pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap
dapat dilakukan oleh siapa saja. Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling
tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan.
Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang
berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma
kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat
diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan
struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar
yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Kompetensi tersebut
adalah pemilikan kemampuan atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat
pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dipandang perlu
sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Menurut Surya guru yang
profesional harus menguasai keahlian dalam kemampuan materi keilmuan
dan ketrampilan metodologi. 8
Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas
pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara,
lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus
mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru.
8
203.
Muhammad Surya, Percikan Perjuangan Guru (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm.
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 394
Disinilah peran Perguruan Tinggi Pendidikan dan organisasi profesi guru
(seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antar keduanya menjadi sangat
diperlukan. Lembaga Pendidikan dalam memproduk guru yang profesional
tidak dapat berjalan sendiri, kecuali selain harus bekerjasama dengan
lembaga profesi guru, dan sebaliknya.
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus
mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi guru tenaga
kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya
penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode
etik dan pengembangan profesi masing- masing.
Orientasi mutu, profesionalisme dan menjunjung tinggi profesi harus
mampu menjadi etos kerja guru. Untuk itu maka, kode etik profesi guru
harus pula ditegakkan oleh anggotanya dan organisasi profesi guru harus
pula dikembangkan kearah memiliki otoritas yang tinggi agar dapat
mengawal profesi guru tersebut.
Kinerja Guru
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi
sentral didalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka
guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain
berkaitan dengan kinerja dantotalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.
Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru
didalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara kepada
menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisisisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan
mungkin ada system yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh
terhadap permasalahan tadi.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana
kinerja guruakan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah
dari system pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan,
maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri.
Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan
mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut.
Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal,
dan tidak demikian halnya guru professional. Selain itu, kinerja guru juga sangat
ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga
memiliki tanggungjawab dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu
ketika berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu
LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang
disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM
mandiri, cerdas, bertanggungjawab dan berkepribadian.
Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan,
dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien
395 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja terbentuk bilamana masingmasing struktur memilikitanggung jawab dan memahami akan tugas dan
kewajiban masing- masing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang
bebasmelakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran
empuk bagi parakritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sitawar
sidingin di dalammemperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari
kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikandampak terhadap kinerja guru
yang bersangkutan.
Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative
kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak
akan pernah putus asa, dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam
melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik
terhadap kinerja guru perlu dilakukan,tanpa itu bagaimana guru mengetahui
kinerja yang sudah dilakukannya selamaini, dengan demikian akan menjadi bahan
renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.Indikator suatu bangsa sangat
ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya,dan indicator sumber daya
manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.Semakin tinggi
sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya,
dandemikian pula sebaliknya.
Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerjaguru.Bila
kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal didalam
menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan
tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik,
tentunya secaraakan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.Ukuran
kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi
yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya.
Semua itu akan terlihatkepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam
menjalankan tugas keguruannya di dalam kelasdan tugas kependidikannya di luar
kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya
mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses
pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi
yangakan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta
alat penilaian apayang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.Kinerja guru dari
hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terusditingkatkan.
Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru
akankerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman
yang semakintidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era
global, semua serba cepat,serba dinamis, dan serba kompetitif.Kinerja guru akan
menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan,
apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik.
Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih
dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan
berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya
untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 396
lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik
dari kinerja hari ini.
Tantangan Profesi Guru
1. Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi
teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu
dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang
demikian akan mengubah pola hubungan guru- murid, teknologi instruksional
dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk
menyesuaikan hal demikian itu.
Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang
pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru
menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika
yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman
para praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan
peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah
tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas
belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan
menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber
informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi
sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk
mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani
dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta
peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai- nilai ujian
yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa
depan. 9
Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan
suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya,
tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di
masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik,
sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara
tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat
lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber
belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan
datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak
dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi
yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak
dapat tergantikan, misalnya hubungan guru- murid dalam fungsi
9
Sayling Wen, Future of Education (Masa Depan Pendidikan) alih bahasa Arvin Saputra
(Batam: Lucky Publisher, 2003), hlm. 54.
397 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa
kebersamaan, kohesi sosial, dan lain- lain. Teknologi informasi hanya mungkin
menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau
sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara
klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan
melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara
individu. 10 Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan
oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi
untuk menunjang peran profesinya.
Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim
pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan
teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi
informasi yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka
perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan
akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus
menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan
bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan.
Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan
mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis
teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu
pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam
pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta
bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan Kini
Paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke
paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak
urusan yang semula dikelola secara sentralistik. 11 Menurut Tjokroamidjoyo,
bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan
pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan
melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa
kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam
pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu
dibuka selebar- lebarnya. 12
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik
telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian
dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara.
Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada
posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses menca ri solusi dan
10
Ravik Karsidi, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan…, hlm. 77.
UUD 1945 No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: UUD 1945, 1999.
12
Fasli Jalal dan Dedi Supriyadi (ed), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah (Yogyakarta: Adicipta, 2001), h lm. 87.
11
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 398
meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang
lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas
kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual
maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat
dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka
masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri.
Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda
pembangunan itu sendiri, lebih- lebih dalam era globalisasi. Peran serta
masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban.
Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat
untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan bagi dirinya
atau kelompoknya. 13
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke
daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga
daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah:
(1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalahmasalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3)
menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik,
(4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional
yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah.
Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan
dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu
pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang
menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah
bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada
bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada
beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah
tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pe ndidikan
Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan
standar kompetensi minimum; (3) Kandungan minimal konten setiap bidang
studi, khususnya yang menyangkut ilmu- ilmu dasar; (4) Standarstandar teknis
yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum
dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan
kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar,
tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak
yang berkepentingan.
Demikian pula di lembaga- lembaga pendidikan lainnya nonsekolah,
ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab
pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga p endidikan itu sendiri,
lebih- lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara. Cara untuk
penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai
13
Ravik Karsidi, Manajemen Mutu Terpadu…, hlm. 35.
399 Edukasi, Volu me 02, No m or 01 , J uni 20 14: 386 -40 0
dengan kondisi masing- masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan
lembaga pendidikan itu berada.
Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer
pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung
sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat
(termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar
untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam
pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era
otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga
pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya
jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output
yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan
harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai
dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok
masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu
pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjad i tanggung jawab bersama
antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
Penutup
Dalam rangka mencapai mutu yang tinggi dalam bidang pendidikan,
peranan guru sangatlah penting bahkan sangat utama. Untuk itu, maka
profesionalisme guru harus ditegakkan dengan cara pemenuhan syarat-syarat
kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap guru, baik di bidang penguasaan
keahlian materi keilmuan maupun metodologi. Guru harus bertanggung jawab
atas tugas-tugasnya dan harus mengembangkan kesejawatan dengan sesama guru
melalui keikutsertaan dan pengembangan organisasi profesi guru.
Untuk mencapai kondisi guru yang profesional, para guru harus
menjadikan orientasi mutu dan profesionalisme guru sebagai etos kerja mereka
dan menjadikannya sebagai landasan orientasi berperilaku dalam tugas-tugas
profesinya. Karenanya, maka kode etik profesi guru harus dijunjung tinggi.
Dalam perkembangannya, disadari bahwa profesi guru belum dalam posisi
yang ideal seperti yang diharapkan, namun harus terus diperjuangkan menuju
yang terbaik. Pada saat diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan yang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya teknologi
informasi yang sangat pesat, dipahami bahwa banyak tantangan sekaligus peluang
yang harus dihadapi untuk dapat diselesaikan oleh para guru dan lembaga
penyelenggara pendidikan.
Tantangan dan peluang tersebut antara lain: (1) berubahnya peran guru
dalam manajemen proses belajar mengajar, (2) kurikulum yang terdesentralisasi,
(3) pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi
informasi, (4) usaha pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan (5)
penegakan profesionalisme guru. Para guru mempunyai tantangan untuk dapat
beradaptasi dengan sebaik-baiknya dalam situasi transisi, agar dapat memperkecil
dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya. Menyikapi hal- hal
demikian, tidak lain maka para guru haruslah dapat mengembangkan suatu
Ahmadireja - Profesionalisme Guru dan Peningkatan Mutu… 400
perilaku adaptif agar berhasil mengemban profesinya di era otonomi daera h dan
era global ini. Dengan cara demikian, karena guru adalah “soko guru” pendidikan,
mudah-mudahan peningkatan mutu pendidikan di era otonomi daerah segera akan
tercapai.
Daftar Pustaka
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland. Principles of Human Resourches
Development. New York: Addison Wesley Pub. Company. Inc. 1989.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta. 2001.
Karsidi, Ravik. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di
Pondok Assalam. Surakarta 19 Februari 2000.
_______, Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan
Pendidikan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang
Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendid ikan.
Universitas Sebelas Maret, 2004.
Sallis, Edward. Total Quality Management in Education. London: Kogam Page,
1993.
Slamet, Margono. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen
Mutu Terpadu. Bogor: IPB. 1999.
Surya, Muhammad. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu. 2003.
Wirakartakusumah, Aman. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan. Lokakarya MMT
IPB. Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret 1998.
Wen, Sayling. Future of Education (Masa Depan Pendidikan), alih bahasa Arvin
Saputra, Batam: Lucky Publisher. 2003.
Download