BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya isu pencemaran dan keracunan
merkuri (Hg)1 yang berdampak sangat buruk terhadap manusia dan lingkungan
hidup dan juga dilatarbelakangi oleh pengaturan penggunaan merkuri dan
pembuangan limbah industri yang mengandung zat merkuri. Berkembangnya
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK ) dan industrialisasi2 secara global
memacu terjadinya pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah dan udara
secara global oleh zat merkuri (Hg) secara berlebihan.
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh dampak perkembangan
industri harus dapat dikendalikan, karena bila tidak dilakukan sejak dini akan
menimbulkan permasalahan yang serius bagi kelangsungan hidup manusia
maupun lingkungan hidup global.
Salah satu contoh isu pencemaran merkuri di Indonesia adalah matinya
ribuan ikan akibat aliran limbah merkuri di sungai dan keracunan warga akibat
terpapar merkuri di lokasi sekitar penambangan emas di kawasan Aceh jaya.
1
Keracunan merkuri (Hg) juga dikenal dengan istilah mercurialism yaitu penyakit yang
disebabkan oleh paparan mercuri dan senyawanya yang efeknya dapat merusak ginjal, otak dan
paru-paru,
Masran
Saimima,
2013,
Cited
Sabtu,
8
Nopember
2013,
http://www.slideshare.net/masransaimima1/ keracunan-merkuri?related=1.
2
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem
pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi adalah bagian dari
proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya
dengan inovasi teknologi. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Cited Sabtu, 8 Nopember 2014
http://id. wikipedia.org/wiki/Industrialisasi.
1
Yang diindikasikan oleh kadar merkuri pada rambut warga yang mencapai kadar
maksimum, hal ini diungkapkan oleh Kepala Bapedal Aceh.3
Beliau mengutip hasil penelitian Kementrian Lingkungan Hidup, dimana
responden diteliti berdasarkan kadar merkuri pada rambut. Yang secara statistik
menunjukkan bahwa rambut warga setempat sudah terpapar merkuri. Selain itu
juga dicurigai bahwa pada air, ikan, rambut manusia dan makhluk hidup lain
yang dicurigai terpapar merkuri adalah tanaman. Hal ini terjadi karena tanah
berpotensi tercemar merkuri serta sifat merkuri yang tidak terurai, melainkan
hanya berpindah antarhewan, tanaman dan manusia.4
Dari isu di atas dapat kita tangkap bahwa logam berat seperti merkuri
(Hg) atau yang disebut juga dengan Raksa merupakan satu golongan logam
transisi yang berbentuk cair pada suhu kamar dan mudah menguap.
Logam merkuri banyak dipergunakan dalam proses penambangan emas
skala kecil. Selain untuk kegiatan penambangan emas skala kecil, logam merkuri
juga dipergunakan di berbagai bidang kehidupan manusia dan lingkungan.
Selama kurun waktu beberapa tahun merkuri telah banyak dipergunakan dalam
bidang pertanian dan industri. Merkuri dapat berada dalam berbagai senyawa.
Contohnya garam merkuri sering digunakan dalam krim pemutih dan krim
antiseptik.
3
KLH, 2012, Pemantauan Penggunaan Merkuri Pada Pertambangan Emas Skala Kecil
Di Kecamatan Krueng Sabee, Kab. Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
4
Tribun News Regional Sumatra, Rabu, 27 Agustus 2014, “Limbah Merkuri Yang
Meracuni Warga Teunon Sudah Diambang Batas Maksimum”, Cited Rabu 5 Nopember 2014,
http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/27/limbah-mercuri-yang-meracuni- warga-teunonsudah-diambang-batas-maksimum.
2
Saat ini mulailah disadari efek buruk dari zat merkuri bagi manusia dan
lingkungan hidup yang sebagian besar dari zat merkuri itu dihasilkan dari sisa
industri secara global, menurut United Nations Environment Programme (UNEP)
sekitar 10220 ton setiap tahunnya.5 Semua komponen merkuri yang masuk ke
dalam tubuh manusia baik dalam bentuk unsur merkuri (Hg0), Merkuri
Anorganik (Hg2+ dan Hg22+) dan Merkuri organic (organo mercury), apabila
mengendap secara terus-menerus dalam tubuh makhluk hidup seperti manusia,
akan menyebabkan kerusakan pada otak, hati dan ginjal. Hal ini disebabkan
karena endapan merkuri yang menumpuk berakibat buruk pada sistem saraf
pusat.6 Salah satu contoh katastropik7 akibat keracunan zat merkuri bagi manusia
dan lingkungan hidup adalah “Minamata Desease” yang terjadi di teluk
Minamata Jepang.
Dilatarbelakangi oleh kesadaran yang besar akan bahaya keracunan zat
merkuri bagi lingkungan hidup dan manusia oleh masyarakat serta Negara-negara
di dunia, maka untuk mengatur penggunaan zat merkuri dan mengatur
pengelolaan zat merkuri, diadakanlah Konferensi oleh Negara-negara di dunia
yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Badan PBB
5
UNEP, Mercury Acting Now, Cited (Kamis, 6 Nopember 2014),
http://www.unep.org/chemicalsandwaste
Portals/9/Merkuri/Publications/Merkuri%
20Acting%20Now.pdf.
6
Zul Alfian, 2006, “Merkuri: Antara Manfaat Dan Efek Penggunaannya Bagi
Kesehatan Manusia Dan Lingkungannya, Pidato Pengukuhan jabatan Guru besar Tetap
Universitas Sumatra Utara”, USU e repository, Cited Selasa 4 November 2014.
7
Katastropik berasal dari bahasa Inggris yaitu kata “catastrophic” adalah kata sifat
turunan dari “catastrophe” yang paling tidak punya dua makna yang cukup berbeda, yaitu (1) titik
balik drama dan (2) bencana (besar) mendadak.
3
United Nations Environment Programme. Konferensi tersebut melahirkan
Perjanjian Internasional baru yaitu Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013.8
Konvensi Minamata memuat pengaturan tentang penggunaan merkuri dan
pengelolaan merkuri bagi masyarakat global. Konvensi Minamata dibuka
penandatangannya dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014.9
Konvensi Minamata akan mulai berlaku (entry into force) pada tahun 2017.10
Indonesia merupakan salah satu Negara penandatangan konvensi ini, namun
sampai saat ini belum ada ratifikasi oleh pemerintah Indonesia ke dalam
peraturan hukum nasional. Sementara kebutuhan pengaturan hukum yang tegas
akan penggunaan merkuri dan pengelolaan merkuri sangatlah mendesak terutama
bagi masyarakat dan lingkungan hidup yang dirugikan olehnya.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan oleh penulis di
atas maka dapat ditarik Pemasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu:
a. Bagaimanakah urgensi ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri
2013 oleh Indonesia ?
b. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap pelanggaran Konvensi
Minamata tentang Merkuri 2013 ?
8
Diplomatic Conference for the Minamata Convention on Mercury, Cited (5 Nopember
2014),
http://www.unep.org/chemicalsandwaste/MinamataConvention/
DiplomaticConference/tabid/105832/Default.aspx.
9
UNEP Treaty Collections, 2013, Minamata Convention On Merkuri, Article 29, Cited
(4
Nopember
2014),
http://www.unep.org/hazardoussubstances/Portals/9/
Merkuri/Documents/dipcon/CONF_3_Minamata%20Convention%20on%20Merkuri_
final%2026%2008_e.pdf.
10
Margaretha Quina, 2013, Indonesian Center For Environment Law, “Konvensi
Minamata: Persiapan Implementasi Nasional”, Cited (Jumat, 7 Nopember 2014),
http://www.icel.or.id/2013/11/28/konvensi-minamata-persiapan-implementasi-nasional.
4
1.3.
Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini akan mengkaji pengaturan dampak pencemaran dan
keracunan zat merkuri kepada manusia dan lingkungan hidup sebagai isu global
yang memerlukan pengaturan hukum secara internasional yaitu hukum
lingkungan internasional, karena permasalahan ini melibatkan aktor negaranegara, organisasi internasional dan perusahaan industri baik perusahaan
nasional, maupun multinasional yang memanfaatkan zat merkuri untuk proses
produksinya. Urgensi tentang aturan hukum secara internasional tersebut dijawab
oleh Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 yang diprakarsai oleh United
Nations Environment Programme (UNEP), maka penelitian ini juga akan
membahas tentang dibentuknya konvensi ini.
Ruang lingkup yang akan dikaji secara mendalam adalah :
1.
Kebutuhan Indonesia meratifikasi instrumen hukum yang mengatur tentang
penggunaan dan pembuangan limbah merkuri di bidang industri. Meskipun
Indonesia telah menandatangani Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013
akan tetapi sampai sekarang belum ada wujud ratifikasi dalam Peraturan
perundangan nasional. Maka penelitian ini akan mengkaji urgensi ratifikasi
terhadap Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 oleh Negara-negara
pesertanya, khususnya Indonesia.
2.
Penelitian ini juga mengkaji tanggung jawab negara terhadap pelanggaran
Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 serta akibat hukum bagi
Indonesia jika meratifikasinya.
5
1.4.
Orisinalitas Penelitian
Sifat keaslian atau orisinalitas dari penelitian ilmiah mengenai “Ratifikasi
Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013
Oleh Negara Peserta Bagi
Masyarakat Internasional (Khususnya Indonesia) Dalam Mengatur Penggunaan
Dan Pengelolaan Zat Merkuri (Hg)” ini melalui pendekatan hukum internasional
yang bersifat yuridis normatif, berdasarkan pengamatan penulis dari sumber
media seperti internet, merupakan topik penelitian ilmiah yang baru untuk tujuan
penulisan skripsi di bidang hukum internasional, namun sebagai pembanding
yang menunjukkan orisinalitas penelitian ini maka penulis mencantumkan
penelitian sebelumnya yaitu berupa jurnal dalam ilmu hukum, yang berkaitan
dengan tanggung jawab Negara terhadap lingkungan hidup dengan topik yang
berbeda sebagai berikut:
No.
1
Judul Penelitian
Penulis
Rumusan Masalah
Indonesia’s
Responsibility For
Coral
Reef
Damage
In
Kepulauan Seribu
Natalia Yeti Puspita,Tisa
Windayani, A.
Aris
Swantoro (Jurnal Mimbar
Hukum Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada,
Vol. 25 No. 2) Tahun
2013.
1.How does international
law rule on state
responsibility
for
environmental damage
within stage territory?
6
2.What
is
the
responsibility
of
indonesia as a state party
to the convention on
biological diversity in
1992 with regards to the
damage to coral reefs in
the kepulauan seribu?
1.5.
Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini meliputi :
1.5.1. Tujuan Umum
Penelitian sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan
menempati kedudukan yang sangat penting dikarenakan untuk menemukan halhal baru yang aktual mengenai perkembangan ilmu tersebut, menggali
permasalahan-permasalahan yang ada saat ini untuk diungkap keberadaannya,
memecahkan masalah yang timbul menjadi penghalang dan penghambat
kehidupan secara terfokus dengan solusi-solusi yang praktis, serta mensinergikan
antara das sollen dan das sein dengan dikaitkannya antara teori-teori dan hukum
positif dan kenyataan yang dihadapi.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Menemukan sebab-sebab yang mengakibatkan Konvensi Minamata
tentang Merkuri 2013 belum diratifikasi.
2. Menemukan model praktik realisasi tanggung jawab Negara terhadap
pelanggaran Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013.
1.6.
Manfaat Penulisan
1.6.1.
1.
Manfaat Teoretis
Menemukan permasalahan yang perlu diatasi dalam rangka ratifikasi
Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 ke dalam sistem hukum
nasional Indonesia.
2.
Mengkaji dasar ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 dan
penerapan ke dalam hukum nasional.
7
1.6.2.
Manfaat Praktis
Menemukan pola penyelesaian sengketa yang dapat digunakan sebagai
dasar pelaksanaan tanggung jawab Negara dalam hal Indonesia menjadi pihak
dalam suatu sengketa menurut Konvensi Minamata tentang Merkuri.
1.7.
Landasan Teoritis
Landasan teori yang penulis gunakan dalam penelitian tentang ratifikasi
Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 ini adalah:
1.
Teori-Teori Mengikatnya Hukum Internasional
Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah hukum dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yang
bukan bersifat perdata.11 Kaidah hukum dan asas hukum tersebut memiliki sifat
mengikat dan berlaku di antara subjek-subjeknya, yaitu negara dan negara serta
negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain. Bagaimanakah
Hukum Internasional itu dapat mengikat subjek-subjeknya terutama negaranegara, sementara hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif penuh
seperti halnya hukum nasional ?
Untuk menjawab persoalan tersebut ada beberapa teori yang dikemukakan
tentang dasar mengikatnya hukum internasional yaitu:
a. Teori Hukum Alam
Teori ini merupakan teori hukum yang tertua serta memiliki pengaruh
besar atas hukum internasional. Salah satu tokoh teori hukum alam modern
adalah Hugo Grotius yang melepaskan teori ini dari sifat keagamaan. Yang
11
Mocthar Kusumaadmadja dan Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Jakarta, h. 1-2.
8
memandang manusia sebagai makhluk berakal. Menurut para penganut ajaran
hukum alam, hukum internasional bersifat mengikat karena hukum internasional
itu adalah hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Hukum
internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam.
Kemudian teori ini disempurnakan oleh Emmerich Vattel dalam bukunya Droit
De Gens, ia antara lain mengatakan:
“ We use the term necessary Law of Nations for that law which result
from applying the natural law to nations. It is necessary because nations are
absolutely bound to observe it. It contains these preceipts which the natural law
dictates to states, and it is no less binding upon them. It is upon individuals.”12
Pada dasarnya teori hukum alam ini berlandaskan pada kaidah moral dan
keadilan individual-individual yang membentuk suatu bangsa-bangsa dan
kemudian
membentuk
masyarakat
internasional.
Sebagai
masyarakat
internasional harus dapat hidup berdampingan dengan baik satu sama lain.
b. Teori kehendak negara (voluntaris) untuk tunduk kepada hukum
internasional
Teori ini memandang bahwa dasar mengikatnya hukum initernasional
adalah berdasarkan atas kehendak negara untuk tunduk pada hukum
internasional, pada dasarnya negara merupakan sumber segala hukum dan hukum
internasional itu mengikat karena Negara itu atas kemauan sendiri untuk tunduk
pada hukum internasional. Tokoh dari aliran ini adalah Hegel, selain itu George
Jellineck dengan Selbst-limitation-theorie. Lalu Zorn yang berpendapat bahwa
12
Ibid., h. 46-48.
9
hukum internasional itu tidak lain adalah hukum tata negara yang mengatur
hubungan luar suatu negara (Auszeres Staatrecht).
Teori ini memiliki suatu kelemahan yang tidak dapat menerangkan secara
memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang bergantung pada
kehendak negara dapat mengikat negara itu, bagaimana bila suatu negara
membatalkan niatnya untuk terikat pada hukum internasional.13
c. Teori mengikatnya hukum internasional berdasarkan kehendak bersama
(Vereinbarungs Theorie)
Teori ini berusaha mengatasi teori kehendak Negara, dimana Triepel
mengungkapkan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi Negara bukan
karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya
suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara,
untuk tunduk pada hukum internasional.14
Teori ini juga menerangkan sifat mengikatnya hukum kebiasaan
(customary law) yang artinya kehendak untuk terikat diberikan secara diam-diam.
Pada hakikatnya teori ini mendasarkan pada persetujuan negara untuk diikat oleh
hukum internasional, teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum
perjanjian antara negara-negara.
d. Teori norma hukum sebagai dasar mengikatnya hukum internasional yang
dikemukakan oleh aliran objektivis dan Mazhab Vienna.
Teori ini memandang bahwa kehendak manusia sebagai subjek hukum
saja tidak mungkin menjadi dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan.
13
14
Ibid., h. 49.
Ibid., h. 50.
10
Sebab ia dapat melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik
kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu. Berdasarkan teori ini
persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya
suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan
berlaku lepas dari kehendak negara. Jadi norma hukumlah yang merupakan dasar
terakhir mengikat hukum internasional.
Aliran
mengungkapkan
ini
melandasi
tentang
pendirian
kaidah
dasar
mazhab
viena,
(grundnorm)
mazhab
daripada
viena
hukum
internasional, Hans Kelsen sebagai tokoh yang terkenal dalam aliran ini
menganggap bahwa asas pacta sunt servanda sebagai kaidah dasar (grundnorm)
hukum internasional.15
Kekuatan mengikat hukum internasional muncul dari kaidah hukum itu
sendiri yang dibentuk oleh subjek-subjek hukum internasional. Sebagai contoh
apabila suatu perjanjian internasional dibentuk oleh negara-negara, maka
pembentuk perjanjian internasional tersebut harus menaati apa yang telah
dibentuk dan dikonsensuskan oleh suatu ketentuan hukum yaitu prinsip pacta
sunt servanda.16
Pacta harus diartikan secara umum, yaitu setiap pactum atau persetujuan
yang merupakan pencerminan dari kehendak dua atau lebih negara untuk
mengikatkan diri, sehingga setiap pactum selalu dimaksudkan untuk mengikat
berdasarkan hukum internasional. Sedangkan servanda berarti diwajibkan
15
Ibid., h. 52.
F. A. Whisnu Situni, SH., 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum
Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 2-3.
16
11
(required) oleh hukum internasional untuk dipatuhi (to be observed) dengan
itikad baik (good faith).17
e. Teori Fakta Kemasyarakatan (Fait Sosial) dari Mazhab Perancis.
Teori ini menghubungkan kekuatan mengikat hukum internasional dengan
kenyataan hidup manusia. Teori ini dikemukakan oleh Fauchile, Scelle dan
Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada factor
biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia. Dimana faktor seperti naluri
sosial yang dimiliki oleh manusia yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa yang
mempunyai kebutuhan untuk bersosialisasi. Jadi kenyataan sosial bahwa
mengikatnya hukum internasional itu mutlak perlu untuk terpenuhinya kebutuhan
manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.18
2.
Landasan Teori Tentang Tanggung Jawab Negara
Berdasarkan hukum internasional, apabila tindakan suatu negara
merugikan negara lainnya, maka negara yang dirugikan atas tindakan negara
tersebut berhak akan ganti kerugian. Ganti kerugian bergantung pada keadaankeadaan peristiwa. Kerugian yang menimbulkan pertanggungjawaban suatu
negara dapat bermacam-macam jenisnya, yang dapat berupa perbuatan atau
kelalaian. Pertanggung jawaban negara diatur dengan ukuran internasional dan
bergantung pada hukum internasional, kapan dan sampai dimana perbuatan atau
kelalaian itu merupakan kesalahan.19
Secara umum unsur-unsur tanggung jawab negara adalah :
17
Ibid, h. 15.
Ibid., h. 53.
19
F. Isjwara SH, LL.M., 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, h.
18
147.
12
1.
Ada perbuatan atau kelalaian (act or mission) yang dapat dipertautkan
(imputable) kepada suatu negara;
2.
Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu
kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun
dari sumber hukum internasional lainnya.
Teori tentang tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi :
a. Risk Theory / Teori Resiko yang menimbulkan absolut liability / strict
liability / objective responsibility.
Yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan
yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu
sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Menurut teori ini manakala
suatu pejabat negara atau agen negara telah melakukan tindakan yang
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain maka negaranya bertanggung jawab
menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut
dilaksanakan dengan maksud baik atau jahat.20
Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa
negara peluncur (launching state) mutlak bertanggungjawab untuk membayar
kompensasi untuk kerugian dipermukaan bumi atau pada pesawat udara yang
sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.21
20
Huala Adolf, 1989, Aspek-Aspek Negara dalam hukum Internasional, Rajawali
Pers, Jakarta, h. 187.
13
b. Teori kesalahan / Fault Theory yang menimbulkan tanggung jawab Negara
subjective / liability based on fault.
Yaitu tanggungjawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika
dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu.
Menurut JG Starke terdapat batas antara hukum internasional dan hukum
nasional ini berkenaan dengan:
a.
Pelanggaran kewajiban atau kelalaian oleh sesuatu negara yang
mengakibatkan pertanggungan jawaban.
b.
Kekuasaan (wewenang) badan negara yang melakukan kesalahan itu.
Pelanggaran atau kelalaian pada instansi terakhir harus merupakan
pelanggaran atau kelalaian akan suatu asas hukum internasional. Pertanggungan
jawaban negara tidak ada karena hukum nasional saja, negara tidak dapat
membela diri dengan mengemukakan bahwa badan yang melakukan kesalahan
itu melampaui kewenangannya atau sama sekali tidak berwenang menurut hukum
nasional.
Apabila hukum
internasional
mengatakan bahwa negara itu
bertanggung jawab maka hukum internasional berlaku, sekalipun menurut hukum
nasional tidak. Maka negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya
sebagai alasan untuk tidak melakukan kewajiban internasional.22
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian atas suatu
pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya akan
22
Ibid, h. 148-149.
14
digunakan untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.23 Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di
dalam gejala bersangkutan.24
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif yang berarti penelitian yang
mengacu pada norma hukum. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum
normatif terdiri atas:
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
2. Penelitian terhadap sistematika hukum;
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
4. Penelitian sejarah hukum;
5. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau norma hukum sebagai
suatu bangunan hukum yang terkait dengan suatu peristiwa hukum.25 Oleh karena
itu penulis menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu dari sejumlah
pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif.
23
Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 27-28.
24
Ibid, h. 38.
25
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 36.
15
1.8.2. Jenis Pendekatan
Penelitan hukum normatif
pada umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis
macam pendekatan yaitu :26
1. Pendekatan Kasus (the case approach);
2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach);
3. Pendekatan Fakta (Fact Approach);
4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and conseptual
approach);
5. Pendekatan Frase (Words and Phrase Approach);
6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach);
7. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Kasus (Case
Approach)
yang
bertujuan
mempelajari
norma-norma
hukum
yang
diaktualisasikan dalam praktek hukum yang menelaah kasus yang berkaitan
dengan aspek hukum dari bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan
oleh zat merkuri yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah
merkuri. Serta pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yang
menelaah mengenai urgensi pengaturan penggunaan serta pembuangan zat
merkuri dalam berbagai bidang industri secara global dari perspektif hukum
internasional dan pendekatan Fakta (Fact Approach) yang menelaah fakta-fakta
mengenai bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan oleh zat merkuri
yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah merkuri.
26
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, h. 60.
16
1.8.3. Bahan Hukum
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif sehingga bahan hukum yang digunakan berdasarkan atas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat
umum,
terdiri
atas
peraturan
perundang-undangan,
yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar, konvensi
ketatanegaraan dan perjanjian internasional (traktat). Bahan hukum primer
bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil
tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang
untuk itu. Dalam penulisan skripsi ini akan menggunakan bahan hukum
primer berupa peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan
yang lebih khusus. 27
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan
peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal
ilmiah, surat kabar / koran, pamflet, brosur, karya tulis hukum, atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di
internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu aspek hukum
dari bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan oleh zat
merkuri yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah merkuri
27
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 144-154, dikutip dari
Mukti Fajar MD dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 34.
17
dan mengenai urgensi pengaturan penggunaan serta pembuangan zat
merkuri dalam berbagai bidang industri secara global dari perspektif
hukum internasional.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum dalam karya tulis
ini berupa Kamus besar bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain. 28
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan adalah teknik
studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber
kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara
membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut kemudian dikelompokkan
secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian yang
bertujuan untuk menyusun skripsi ini.
Untuk menunjang penelitian ini maka bahan-bahan hukum diperoleh dari:
1.
Pengumpulan bahan hukum primer yang diperoleh dengan cara
mengumpulkan peraturan perundang-undangan Nasional dan perjanjian
Internasional (traktat) yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
2.
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan secara penelitian
kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang
berasal dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran, pamflet,
brosur, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat
28
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.
18
dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
1.8.5. Teknik Analisis
Teknik pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara, setelah bahan
hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu
dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa
adanya.29 Yang selanjutnya kedua bahan hukum tersebut diberikan penilaian
(evaluasi), kemudian dilakukan intepretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi.
Argumentasi tersebut dilakukan oleh peneliti untuk memberikan penilaian
mengenai benar atau salah apa yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta
atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik
kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan
hukum yang lain.
Selain itu penulis menggunakan teknik analisis yaitu pemaparan secara
mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya
membentuk
suatu
kesatuan
yang
saling
berhubungan
secara
logis.30
Menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan yang bersangkutan dengan masalah
kemudian dianalisa kebenaran tersebut.31
29
Roni Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Ghalia indo, Jakarta, h. 93.
Ibid.
31
Amirudin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 25.
30
19
Download