kompetensi pengalihan (transfer competence)

advertisement
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
KOMPETENSI PENGALIHAN (TRANSFER COMPETENCE)
DALAM PENERJEMAHAN
Aris Wuryantoro
Fakultas Sastar & Bahasa, Universitas Gunadarma
[email protected] & [email protected]
ABSTRAK
Penerjemahan merupakan pengalihan makna (transferring the meaning) dari bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran. Oleh karena itu, seorang penerjemah dituntut mempunyai kompetensi dalam
penerjemahan, salah satunya adalah kompetensi pengalihan (transfer competence). Dalam proses
penerjemahan, pengalihan pesan mendapatkan porsi tersendiri oleh penerjemah karena dalam tahap ini
penerjemah harus mampu mengalihkan atau mentransfer isi, makna dan pesan yang terkandung dalam
teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran agar hasil penerjemahannya sesuai dengan kriteria
penerjemahan, yakni tepat, jelas dan wajar.
Kata kunci: penerjemahan, bahasa sumber, bahasa sasaran, pengalihan, kompetensi pengalihan.
PENDAHULUAN
Kompetensi merupakan hal penting dalam
pelbagai bidang, termasuk dalam bidang
penerjemahan. Penerjemahan, dalam arti umum,
merupakan suatu kegiatan menyalin atau
mengalihkan teks dari bahasa satu (bahasa
sumber) ke bahasa yang lain (bahasa sasaran).
Dalam mengalihkan teks ini, seorang penerjemah
harus mempunyai cara atau strategi yang handal
agar makna yang terkandung dalam teks bahasa
sumber dapat disampaikan dalam bahasa
sasaran tanpa ada yang tercecer sedikitpun.
Kemampuan dalam mengalihkan pesan tersebut
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang
dimiliki oleh penerjemah baik pengetahuan
khusus
tentang
penerjemahan
maupun
pengetahuan umum dalam bidang lain atau
pengetahuan linguistik dan nonlinguistik.
Pada tulisan ini, penulis sedikit menyoroti
kompetensi penerjemahan yang harus dimiliki
oleh
penerjemah
khususnya
kompetensi
pengalihan atau transfer competence seperti
yang di tawarkan oleh Neubert (1994).
PEMBAHASAN
Penerjemahan
Larson (1984) menyatakan bahwa penerjemahan
merupakan pengalihan makna dari bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Pengalihan ini
dilakukan dari bentuk bahasa pertama ke dalam
bentuk bahasa kedua melalui struktur semantik.
Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
pengalihan makna merupakan unsur yang sangat
penting
dalam
menerjemahkan
dengan
memperhatikan struktur semantiknya. Kegiatan
ini membutuhkan kemampuan tersendiri bagi
D4
seorang penerjemah karena bila penerjemah
kurang mampu dalam melakukan kegiatan
mengalihkan makna yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum
mengambil keputusan maka hasil yang
dicapainya kurang maksimal ataupun akan siasia.
Proses Penerjemahan
Proses ialah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan sengaja. Proses penerjemahan
ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan
amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran atau sistem kegiatan dalam aktivitas
menerjemahkan (Nababan, 1999). Oleh karena
itu, seorang penerjemah dalam melakukan
kegiatannya harus teliti dan sabar karena bila ada
kesalahan yang dilakukan pada satu tahapan
dapat menimbulkan kesalahan pada tahap
berikutnya dan pada akhirnya dapat berakibat
fatal terhadap pengguna atau pembaca teks
terjemahannya.
Proses penerjemahan terdiri dari tiga
tahap, yaitu 1) analisis teks bahasa sumber
(TSu),
2)
pengalihan
pesan,
dan
3)
restrukturisasi.
Tahap analisis teks bahasa sumber
Seorang penerjemah sebelum menerjemahkan
sebuah buku atau teks, dia hendaknya
melakukan peninjauan atau reviewing terhadap
teks yang akan ditanganinya (Sudarmadji, 2005).
Peninjauan tidak lain merupakan proses
pengenalan awal seorang penerjemah terhadap
teks bahasa sumber dengan cara memeriksa
seluruh bagian teks secara fisik dari awal sampai
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
akhir. Fokus utama peninjauan ini adalah bentuk
teks, jika bahan terjemahan berupa buku maka
anatomi buku yang menjadi tujuannya. Bentuk
teks tergantung pada jenis masing-masing teks,
teks ilmiah berbeda dengan teks non ilmiah, teks
pengantar (textbook) berbeda dengan teks cerita
anak-anak, dan sebagainya.
Setelah menyelesaikan peninjauan,
seorang penerjemah harus membaca teks yang
akan diterjemahkan sekurang-kurangnya sekali
secara menyeluruh. Ini harus dilakukan sebelum
menerjemahkan sepatah kata pun. Bila dirasa
masih kurang, ada baiknya dibaca berulangulang sampai teks dikuasai betul atau dengan
kata lain teks menjadi miliknya. Dalam membaca
teks, tugas utama seorang penerjemah adalah
mencari gagasan utama dan secara otomatis
juga melakukan analisis teksnya karena mau
tidak mau dia akan berhadapan dengan unsur
linguistik dan nonlinguistik yang terkandung
dalam teks bahasa sumber. Unsur linguistik
merujuk pada unsur kebahasaan yang meliputi
kata, frasa, klausa, dan kalimat. Analisis tatarantataran kalimat itu perlu dilakukan karena pada
dasarnya setiap teks terbentuk dari tatarantataran tersebut. Unsur nonlinguistik diantaranya
adalah unsur budaya yang dimiliki oleh penulis
teks bahasa sumber yang sangat mempengaruhi
karyanya dan unsur budaya ini membutuhkan
kejelian tersendiri bagi seorang penerjemah
dalam melakukan tugasnya karena masingmasing bahasa mempunyai sistem dan budaya
yang berbeda-beda.
Tahap pengalihan pesan
Setelah memahami makna dan struktur bahasa
pada teks bahasa sumber, penerjemah kemudian
dihadapkan pada tahap berikutnya yaitu tahap
pengalihan pesan. Pada tahap ini, penerjemah
dituntut untuk dapat mengalihkan isi, makna dan
pesan yang terkandung dalam teks bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Tahap
pengalihan pesan merupakan tahap yang paling
sulit bagi seorang penerjemah karena dia harus
mampu menemukan padanan makna pada
bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Proses
pengalihan isi, makna, dan pesan itu merupakan
proses batin karena proses tersebut berlangsung
dalam pikiran penerjemah yang tidak tampak oleh
mata manusia. Pencarian padanan makna
merupakan inti penerjemahan dan masalah
padanan selalu terkait dengan dua masalah
pokok, yaitu masalah kebahasaan dan kultural
(Nababan, 2004:). Oleh karena itu, kompetensi
pengalihan sangat berperan bagi seorang
penerjemah dalam melakukan kegiatannya yang
memerlukan
strategi-strategi
tertentu.
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
(Kompetensi pengalihan ini akan dibahas pada
subbab tersendiri). Setelah menemukan padanan
makna yang tepat dan untuk mendapatkan
terjemahan yang lebih baik yang sesuai dengan
tujuan penerjemahan, maka penerjemah perlu
menyusun
kembali
atau
menyelaraskan
terjemahannya ke dalam bahasa sasaran.
Tahap restrukturisasi/penyelarasan
Restrukturisasi adalah proses terakhir dalam
menerjemahkan yakni dengan cara menyusun
kembali atau menyelaraskan teks yang telah
diterjemahkan (draft awal) ke dalam bahasa
sasaran. Tujuan dari proses ini tidak lain untuk
menghasilkan teks terjemahan dengan tingkat
keselarasan yang berterima dalam bahasa
sasaran. Tahap ini mencakup kesatuan gagasan,
keutuhan
gaya
bahasa,
keberterimaan
terjemahan, pengecekan ejaan atau tulisan dan
ketuntasan penerjemahan yang mengacu pada
kriteria terjemahan yang baik yakni ketepatan,
kejelasan dan kewajaran. Tahapan dilakukan
agar teks terjemahan tampak seperti teks aslinya.
Kompetensi Penerjemahan
Penerjemah adalah pelaku utama dalam proses
penerjemahan. Penerjemahlah yang dapat
memperkecil jurang komunikasi antara penulis
teks bahasa sumber dengan pembaca teks
bahasa sasaran. Tugas untuk menjembatani
komunikasi tersebut tidaklah mudah dan tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa adanya
kompetensi dan pengalaman yang baik di bidang
penerjemahan. Kompetensi merupakan sistem
yang mendasari pengetahuan dan ketrampilan
yang membuat seseorang dapat melakukan
kegiatan
tertentu.
Jadi,
kompetensi
penerjemahan dapat diartikan sebagai sistem
yang mendasari pengetahuan dan ketrampilan
yang
diperlukan
agar
seseorang
dapat
menerjemahkan (PACTE dalam Nababan, 2004).
Neubert (1994) memberi ukuran kualitatif
pada kompetensi penerjemahan, yaitu: (1)
Language competence atau kompetensi bahasa.
Para penerjemah harus kompeten baik dalam
bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Mereka
harus tahu sistem leksikal, gramatikal dan
morfologis dari kedua bahasa tersebut.
Kemudian, mereka juga harus sadar akan
perubahan pada item-item leksikal dalam bahasa
sumber dan sasaran secara umum yang
tercermin pada kamus atau referensi lainnya; (2)
Textual competence atau kompetensi tekstual.
Para penerjemah pada umumnya berhubungan
dengan berbagai jenis teks. Oleh karena itu
mereka terbiasa dengan bagaimana kalimat-
D5
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
kalimat dikombinasi ke dalam bentuk paragraf,
dan paragraf ke dalam teks. Tergantung pada
domain,
mereka
menerjemahkan,
para
penerjemah harus pandai dalam menyusun
bahasa sumber dan bahasa sasaran; (3) Subject
competence atau kompetensi bidang ilmu.
Kompetensi dalam sistem linguistik baik dari
bahasa sumber dan bahasa sasaran serta
kebiasaan dengan fitur –fitur tekstual teks bahasa
sumber dan teks bahasa sasaran tidak menjamin
hasil terjemahannya berkualitas. Penguasaan
dalam permasalahan bidang atau subject matter
yang diterjemahkan merupakan aspek penting
lainnya. Harap diperhatikan bahwa kompetensi
dalam permasalahan bidang bukanlah hal yang
mutlak harus dimiliki oleh penerjemah, namun
mereka harus tahu cara dan piranti yang
dibutuhkan.
Pengetahuan
terhadap
permasalahan bidang mempermudah proses
pemahaman terhadap teks bahasa sumber yang
akan mempengaruhi proses produksi pada teks
bahasa sasaran. Hal ini juga memberi solusi
untuk penerjemah terhadap istilah-istilah khusus
yang
harus
disampaikan;
(4)
Cultural
competence atau kompetensi budaya. Jika
bahasa sumber terselimuti oleh unsur budaya,
kompetensi budaya sangatlah diperlukan.
Penerjemah harus paham dan mengetahui
tentang wujud kebudayaan pada bahasa sumber
dan bahasa sasaran, yaitu wujud kebudayaan
berupa ide-ide atau gagasan atau mantifact,
wujud kebudayaan berupa perilaku atau
kebiasaan atau sociofact, dan wujud kebudayaan
berupa benda-benda atau produk atau artifact;
dan (5) Transfer competence atau kompetensi
pengalihan. Kompetensi pengalihan merujuk
pada strategi dan taktik mengalihkan teks bahasa
sumber ke dalam teks bahasa sasaran dengan
berbagai kemampuan yang dimiliknya, seperti
pengetahuan atau world knowledge, kebahasaan,
dan budaya.
Pengalihan dan Kompetensi Pengalihan
Pengalihan (transfer)
Kata transfer berasal dari bahasa Latin transfere
yang berarti ‘to carry over or across’ (Pym, 1992).
Ini berarti bahwa kata transfer atau pengalihan
merupakan pergerakan dari suatu benda secara
fisik dari satu tempat dan masa ke tempat dan
masa yang lain. Pengalihan di sini merupakan
pengalihan pesan yang ada pada teks bahasa
sumber ke dalam teks bahasa sasaran.
Anthony Pym berpendapat bahwa
hubungan antara transfer dan translation ada tiga
bagian, yaitu: 1) transfer atau pengalihan yang
merupakan proses dari ketidakberadaan menjadi
D6
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
keberadaan yang dilakukan oleh penerjemah
dengan dukungan pengetahuan yang dimilikinya
baik pengetahuan bidang ilmu, linguistik dan non
linguistik; 2) translating atau penerjemahan yang
merupakan proses transformasi dari keberadaan
(makna) yang diwujudkan ke dalam teks bahasa
sasaran dengan berbagai kemungkinan. Secara
implisit pada langkah ini masih ada langkah yang
perlu dilakukan oleh seorang penerjemah
terhadap hasil terjemahannya agar menjadi teks
terjemahan yang sesuai dengan tujuan
penerjemahan. Dalam tahap ini, penerjemah
harus menyelaraskan hasil terjemahannya agar
sesuai dengan sistem bahasa sasaran yang
digunakan agar terjemahannya tepat, jelas dan
wajar; dan 3) translated text merupakan hasil
akhir dari seorang penerjemah terhadap teks
yang harus dikerjakan dengan berbagai
pertimbangan dan proses yang cukup rumit dan
panjang agar isi, makna, dan pesan yang
terkandung dalm teks bahasa sumber dapat
dialihkan ke dalam bahasa sasaran tanpa
menghilangkan isi pesan sedikitpun. Terjemahan
yang baik tampak seperti karya aslinya bukan
seperti terjemahan (1992).
Hubungan tersebut berasal dari
pernyataannya yang menyatakan bahwa,..if ther
were no material transfer, if texts were not moved
across time and space, there would be no
translation (Pym, 1992). Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara teks (teks bahasa
sumber), pengalihan, dan terjemahan sangatlah
erat. Meskipun ada teks bahasa sumber bila tidak
diadakan proses pengalihan oleh penerjemah
maka tidak akan ada terjemahan. Begitu juga
sebaliknya, sangatlah tidak masuk akal bila ada
proses pengalihan namun tidak ada bahan yang
dialihkan
(teks
bahasa
sumber)
untuk
menghasilkan terjemahan. Teks bahasa sumber
tidak akan menghasilkan terjemahan yang baik
apabila tidak dilakukan proses pengalihan yang
baik juga. Sehingga keberadaan terjemahan tidak
akan terjadi secara serta merta tanpa didahului
dengan
proses
pengalihan.
Karena
kedudukannya yang sangat menentukan, maka
tidaklah berlebihan jika Pym menyebutkan bahwa
translation depends on transfer (1992).
Kompetensi pengalihan (transfer competence)
Kompetensi pengalihan merupakan salah satu
kompetensi penerjemahan yang harus dimiliki
oleh seorang penerjemah. Kompetensi ini
merupakan salah satu kunci keberhasilan dari
seroang penerjemah untuk mendapatkan hasil
terjemahan yang sesuai dengan tujuannya dan
dapat dilakukan dengan efektif. Kompetensi ini
mencakup strategi dan taktik yang digunakan
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
oleh penerjemah dalam mengatasi masalahmasalah yang dihadapinya dengan berbekal
pengetahuan penerjemahan khususnya dan
pengetahuam umum, linguistik dan non linguistik.
Strategi adalah cara seseorang dalam
melakukan sesuatu hal guna mencapai tujuan.
Banyak pakar penerjemahan mendefinisikan
strategi penerjemahan. Lorscher, 1991 (dalam
Darwish, 1999) mengatakan bahwa strategi
penerjemahan merupakan prosedur global yang
mencakup serangkaian paling sedikit tahapan
pemecahan masalah yang mana penerjemah
bekerja dengan berbagai pertimbangan untuk
mengambil keputusan tertentu seputar teks. Dari
pernyataan
ini
tersirat
bahwa
dalam
menerjemahkan seorang penerjemah tidak hanya
mencari padanan sebagai wujud dari pemecahan
masalah namun mencakup berbagai tahapan
yang harus dilakukan sebagai suatu proses
pengambilan keputusan yang harus dilakukan
agar isi, pesan dan makna yang terkandung
dalam teks bahsa sumber dapat tersampaikan ke
dalam bahasa sasaran dengan tepat, jelas dan
wajar.
Di sisi lain, Snell-Hornby (1988)
berpendapat bahwa strategi penerjemahan
mencakup
penggolongan
dan
penciptaan
hubungan yang berlipat ganda baik dalam
hubungan budaya dan bahasa pada tingkat
fonologis dan sematis. Berdasarkan sitiran ini
dapat diketahui bahwa strategi penerjemahan
merupakan suatu kegiatan yang signifikan yang
dilakukan
oleh
penerjemah
guna
mengungkapkan makna yang tersimpan dalam
teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran
dengan memperhatikan hubungan budaya dan
bahasa.
Dengan demikian, strategi penerjemahan
merupakan cara penerjemah dalam memecahkan
permasalahan guna mencari makna dan
padanannya yang dilakukan secara bertahap
dengan mempertimbangkan berbagai unsur yang
terlibat, seperti unsur budaya, bahasa dan disiplin
ilmu yang tercakup dalam teks bahasa sumber
untuk disampaikan kepada para pembaca
bahasa sasaran (target readers) melalui teks
bahasa sasaran atau hasil terjemahannya.
Strategi
penerjemahan
ini
akan
sangat
berpengaruh terhadap hasil penerjemahan yang
dilakukan oleh penerjemah yang meliputi
pengetahuan bidang ilmu, padanan makna, dan
penyesuaian struktur (Nida dan Taber, 1969).
Pengetahuan bidang ilmu
Seorang penerjemah hendaknya menguasai
betul bidang ilmu yang dihadapinya yang termuat
dalam
teks
yang
harus
diterjemahkan.
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
Kemungkinan banyak hal yang tak terbayangkan
sebelumnya oleh penerjemah ternyata terlalu
banyak permasalahan pada bidang ilmu yang
dikerjakannya yang dapat menjadi penghambat
dalam menerjemahkan secara efektif. Ini
bukanlah ekses dari pengetahuan yang
terkandung namun merupakan ketidakmampuan
untuk berimajinasi bagi seorang penerjemah
dalam melakukan tugasnya.
Bila
penerjemah sama sekali tidak mengetahui bidang
ilmu yang dihadapinya, tidak mustahil hasil
terjemahan akan sangat rancu dan jauh dari
tingkat keberhasilan. Karena tugas penerjemah
adalah mencari padanan kata atau ungkapan,
maka suatu kata atau ungkapan yang sama
kemungkinan mempunyai makna yang berbeda
bila terdapat pada bidang ilmu yang berbeda
pula.
Padanan Makna
Padanan
merupakan
inti
dari
setiap
penerjemahan. Dengan kata lain, setiap kegiatan
penerjemahan dimaksudkan untuk mencari
padanan makna yang sama dalam bahasa
sasaran. Dalam mencari padanan makna
seringkali menimbulkan masalah. Nababan
(2004) menemukan tiga alasan mengapa
padanan terjemahan sulit dicapai. Pertama, kita
sulit mendapatkan penafsiran yang sama
terhadap suatu teks yang dilakukan oleh dua
orang yang berbeda, bahkan pada dua
kesempatan yang berbeda. Kedua, penerjemah
tidak bisa dipisahkan dari penafsiran subjektif
penerjemah terhadap teks bahasa sumber. Oleh
karena itu, menghasilkan efek yang objektif
terhadap teks bahasa sumber yang sama dengan
penafsiran objektif pembaca sasaran merupakan
harapan-harapan yang tidak realistis. Ketiga,
adalah tidak mungkin bagi penerjemah untuk
menentukan cara pembaca merespon teks
bahasa sumber ketika teks tersebut dihasilkan
untuk pertama kalinya.
Di dalam aktivitas penerjemahan, seorang
penerjemah akan selalu dihadapkan dengan
berbagai masalah makna, seperti makna leksikal,
makna gramatikal, makna kontekstual, makna
tekstual, makna sosio-kultural dan sebagainya
(Soemarno dalam Sudarno, 2003). Pada proses
pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran penerjemah akan mengalami
banyak kesulitan. Hal ini dikarenakan bahwa
makna kata itu mempunyai hubungan yang erat
dengan aspek-aspek sosio-kultural pemakai
bahasa sumber. Kemampuan untuk mencari
padana makna yang terkandung dalam bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran merupakan
syarat mutlak bagi seorang penerjemah. Makna-
D7
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
makna yang dicarikan padanannya meliputi
makna leksikal, makna gramatikal, makna
kontekstual, makna tekstual, makna sosio-kultural
dan makna implisit.
Untuk mencari padanan makna, ada
strategi yang ditawarkan oleh para pakar
penerjemahan yang didasarkan atas pendekatan
penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah.
Adapun strategi-strategi tersebut meliputi: (1)
Penambahan informasi. Untuk mendapatkan
padanan yang sesuai dengan bahasa sumber
apabila dibutuhkan kita dapat menambahkan
informasi dalam bahasa sasaran. Menurut
Newmark (1988), informasi yang ditambahkan
biasanya bersifat kultural (sebagai akibat
perbedaan antara budaya bahasa sumber dan
budaya bahasa sasaran, teknis (yang terkait
dengan topik bahasan teks), atau linguistis (untuk
menjelaskan penggunaan kata yang tidak taat
asas). Penambahan informasi dapat ditaruh
dalam teks (misalnya dengan meletakkannya
dalam tanda kurung), atau di luar teks (misalnya
dengan
menggunakan
catatan
kaki).
Penambahan informasi yang demikian dipandang
sebagai penjelasan tambahan untuk konsepkonsep khusus budaya dan bersifat wajib untuk
tujuan keterbacaan (Baker, 1992).
Penambahan informasi untuk membuat sesuatu
menjadi spesifik juga diperlukan jika terjadi
ketaksaan dalam informasi bahasa sasaran, dan
apabila perlukan spesifikasi ini untuk menghindari
ketaksaan acuan. Ditambahkan pula, untuk
unsur-unsur semantik yang terkandung secara
implisit dalam bahasa sumber perlu dinyatakan
secara eksplisit dalam bahasa sasaran. Di
samping itu, penambahan informasi juga
diperlukan karena pergeseran dari bentuk pasif
ke aktif atau sebaliknya, dan perubahan kelas
kata untuk menghindari kesalah tafsiran (Nida,
1964) dan (2) Penghilangan informasi. Menurut
Baker (1992), penghilangan kata tertentu dapat
dilakukan agar sesuai dengan pola semantik dan
gramatikal bahasa sasaran. Penghilangan di sini
merupakan penghilangan isi bukan penyelarasan
struktur untuk menghasilkan terjemahan yang
gramatikal. Di sisi lain, Nida (1964) menyatakan
bahwa penghilangan kata atau informasi
diperlukan untuk menghindari kekakuan dan halhal yang berlebih-lebihan dan strategi ini
diterapkan khususnya jika bahasa sumber
cenderung merupakan bahasa yang berlebihlebihan (redundant).
Penyesuaian Struktur.
Penyesuaian struktur merupakan strategi penting
untuk memperoleh padanan yang tepat.
Penyesuaian struktur juga disebut pergeseran
D8
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
tataran (Catford, 1965) atau transposisi (Vinay
dan Darbelnet, 1977 dan Machali, 2000) atau
alterasi yang merupakan perubahan grammar
dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
(Newmark, 1988). Hal yang sama juga dikatakan
oleh Bell (1991) bahwa pergeseran dari satu
bahasa ke bahasa lainnya berarti mengubah
bentuk bahasa. Perubahan bentuk bahasa bisa
berarti perubahan kategori (dari kata ke frasa),
kelas kata (dari kata kerja ke kata benda), dan
susunan kata.
Tujuan-tujuan perubahan tersebut antara
lain menghasilkan struktur yang sesuai dengan
kaidah bahasa sasaran, untuk menghasilkan
terjemahan yang sepadan secara semantik,
untuk memperoleh gaya bahasa yang tepat dan
sepadan, dan untuk menghasilkan muatan
komunikasi yang sepadan (Nida, 1964) dan
penyesuaian struktur juga digunakan untuk
mendapatkan makna yang mudah dipahami dan
tidak janggal untuk dialihkan ke dalam bahasa
sasaran dengan memperhatikan pada wacana,
kalimat, kata dan bunyi (Nida, 1969).
Newmark (1988) membagi perubahan
bentuk menjadi empat tipe. Tipe pertama adalah
perubahan bentuk tunggal ke bentuk jamak atau
perubahan posisi kata sifat (misal posisi kata sifat
dalam bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia
). Tipe kedua merujuk pada perubahan yang
diperlukan jika struktur gramatikal bahasa
sasaran tidak terdapat dalam bahasa sasaran.
Tipe ketiga adalah perubahan bentuk bahasa
yang diperlukan apabila penerjemahan harfiah
masih dapat menghasilkan terjemahan gramatikal
namun terasa tidak alamiah dalam bahasa
sasaran. Tipe keempat berbentuk penggantian
kesenjangan leksikal dengan struktur yang
gramatikal.
KESIMPULAN
Dari sedikit uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa dalam kegiatan penerjemahan, seorang
penerjemah dituntut untuk memiliki kompetensi
penerjemahan,
khususnya
kompetensi
pengalihan. Kompetensi pengalihan ini akan
sangat mempengaruhi penerjemah dalam proses
menerjemahkan teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran yang dilatarbelakangi oleh
pengetahuan penerjemah baik pengetahuan
umum, khusus, linguistik dan non linguistik. Hal
ini diberlakukan karena apabila seorang
penerjemah kurang mempunyai kompetensi
seperti yang disebutkan di atas, maka
dikhawatirkan pemindahan isi, makna, dan pesan
yang terkandung dalam bahasa sumber tidak
akan tersampaikan ke dalam bahasa sasaran
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
bahkan dapat berakibat fatal bagi pembaca
terjemahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bell , R. T. 1991. Translation and Translating:
Theory and Practice. London : Longman
Catford, J. C. 1965. A Linguistik Theory of
Translation. London : Longman
Darwish, Ali. 1999. Towards a Theory of
Constrains
in
Translation.
Dalam
http://www..surf.net.au/writescope/translatio
n/constrains.html
Nababan, M.R. 1999. Teori Menerjemahkan
Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Nababan, M. R., D. Edi Subroto, dan Sumarlam.
2004. Keterkaitan antara Latar Belakang
penerjemah dengan Proses penerjemahan
dan
Kualitas
Terjemahan.
Laporan
Penelitian. Surakarta : PPs UNS
Neubert, Albrecht. 1994. Competence in
Translation: A complex skill, how to study
and how to teach it. In Hornby, S. H, F.
Pochaker, dan K. Kaindl. (eds). Translation
Kompetensi Pengalihan Dalam Penerjemahan……
Wuryanto
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
Studies: An Interdisipline. Amsterdam :
John Benjamin Publishing Company, hal
411-420.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of
Translation. New York : Prentice-Hall
International
Nida, E. A. 1964. Towards a Science of
Translating. Leiden : E. J. Brill
Nida, E. A dan Charles R. T. 1969. The Thoery
and Practice of Translation. Leiden : E. J.
Brill
Pym, Anthony. 1992. Translation and Text
Transfer: An Essay on the Principles of
Intercultural Communication. Frankfurt am
Main : Peter Lang
Sudarno, A. P. 2003. Kualitas terjemahan Buku
teknik Reinforced Concrete Fundamentals
Ke dalam Bahasa Indonesia. Thesis
Program Pasca Sarjana. Surakarta : UNS
Sudarmaji. 2005. Kendali Kualitas Terjamahan
dalam Industri Penerbitan. Dalam Procedding
International
Conference
on
Translation:
Translation, Discourse and Culture. Surakarta :
Fakultas Sastra dan PPs UNS
D9
Download