BAB 1 - Digital Library UNS

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam dan kaum muslimin punya peranan penting dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Datang sejak abad pertama hijriah Islam memberikan inspirasi yang
besar dalam mengantar bangsa ini menjadi Indonesia. Dimana saja lahan dakwah
terbuka, kaum muslim selalu berkiprah dengan maksimal dan optimal. Tak
terkecuali dalam lahan partai politik, sejak mula Indonesia berdiri umat Islam
Indonesia telah turut berperan dalam percaturan politik nasional.
Peran umat Islam dalam kancah politik telah mempunyai konstribusi
tersendiri. Pada tahun 1920 sebuah organisasi yang merangkumi berbagai gerakan
Islam berdiri dengan nama Partai Sarikat Islam ( PSI ) gabungan dari berbagai
organisasi–organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan
organisasi Islam lainnya.
Pembentukan partai politik Islam Masyumi pada masa kemerdekaan
Indoneia telah dirintis oleh umat Islam Indonesia sejak masa penjajahan Belanda,
masa pendudukan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda umat Islam dan juga
golongan–golongan lain merasakan ketidakadilan
dari praktik kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia di bumi Indonesia
sendiri.
Pada masa pendudukan Jepang kekuatan umat Islam masih terpecahpecah menjadi beberapa gerakan dan organisasi. Beberapa pemimpin Islam
mengambil inisiatif untuk membentuk wadah yang dapat mempersatukan
1
2
kekuatan dan aspirasi umat Islam, oleh karena itu dibentuk MIAI. Berdirinya satu
organisasi Islam, yaitu Majelis Islam A’laa Indonesia ( MIAI ) persatuan dalam
MIAI dipandang dapat menjawab tantangan keadaan waktu itu. MIAI merupakan
Dewan Islam Indonesia tertinggi yang didirikan di Surabaya pada tanggal 21
September 1937, atas usaha K.H. Abdul Wahab, K.H. Ahmad Dahlan, dan W.
Wondoamiseno1. Terbentuk sebagai hasil konggres-konggres Al – Islam yang
berlangsung sejak tahun 19212. Organisasi ini adalah suatu permusyawaratan,
suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan dari beberapa
perhimpunan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.
MIAI sebagai organisasi Islam, dalam perkembangannya mendapatkan
simpati luar biasa dari kalangan umatnya. Hal ini mengakibatkan pihak Jepang
waspada terhadap pertumbuhan organisasi tersebut yang semakin pesat dan besar.
Pada bulan Oktober 1943, akhirnya MIAI dibubarkan karena MIAI bagi Jepang
masih kurang memuaskan karena tidak memenuhi harapannya yaitu memegang
kontrol terhadap ulama ditolak. Pembubaran MIAI diikuti dengan terbentuknya
organisasi baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi yang
diberi status hukum langsung pada hari didirikannya, yaitu tanggal 22 November
1943,3 merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam di Indonesia. Jepang
berhasil menghapuskan bayangan federasi anti kolonial. Masyumi merupakan
sebuah badan federatif perjuangan umat Islam Indonesia yang beranggotakan
semua Organisasi Umat Islam di Indonesia dibawah pimpinan K.H. Hasyim
1
H.Aboebakar, 1957, Sejarah Hidup K.H.A.Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
Jakarta: Panitia Peringatan Almarhum K.H.A.Wahid Hasyim, halaman 311.
2
3
H.Aboebakar, Ibid., halaman 309.
George Mc.Turnan Kahin, 1997, Nasionalime dan Revolusi di Indonesia, Surakarta:
Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan, halaman 139-141.
3
Asy’ari, sejak saat itu Masyumi memegang peranan aktif dalam menggerakkan
rakyat untuk melawan kaum penjajah4.
Masyumi adalah gabungan dari 4 perkumpulan besar yang bernafaskan
Islam yakni; Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perserikatan Umat Islam dan
Persatuan Ummat Islam Indonesia. Kegiatan semua partai tersebut diatas
kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem Multi partai di Zaman
Merdeka.
Masyumi menjadi wahana bagi partisipasi muslim. Tindakan ini telah
meletakkan dasar untuk kegiatan politik Islam yang akan diselenggarakan
bersama-sama yang nanti akan menjadi suatu kekuatan politik utama selama
Revolusi kemerdekaan, dan menjadikan pemimpin mereka bagian dari elite
Indonesia, sangat bertentangan dengan polis kolonial Belanda.
Masyumi
umumnya
tidak
berbeda
dengan
kegiatan
organisasi
pendahulunya MIAI, seperti mengadakan kegiatan sosial untuk menolong fakir
miskin dan pengumpulan dana, dan kegiatan dakwah dan pengembangan hidup
beragama, ceramah-ceramah keagamaan, penerbitan majalah Soeara Moeslimin
Indonesia5.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno atas nama bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi itu
merupakan perwujudan formal dari salah satu gerakan revolusi Indonesia untuk
menyatakan baik kepada diri sendiri maupun kepada dunia luar, bahwa mulai saat
4
M.Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, sebuah potret pasang
surut,Jakarta: Rajawali, halaman 70.
5
M.Ali Haidar, 1994, Nahdatul Ulama dan di Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama , halaman 102.
4
itu nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan Negara
termasuk di dalamnya adalah menentukan Tata Negara6.
Salah satu esensi dari munculnya Negara baru adalah adanya suatu
pemerintahan. Langkah pertama yang dilakukan para pemimpin nasional adalah
melembagakan Negara. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan
sidangnya yang kemudian berhasil memilih Soekarno sebagai Presiden dan Moh.
Hatta wakilnya. Dalam masa revolusi fisik sampai tercapainya kemerdekaan,
partai–partai politik yang ada semakin memperoleh ruang dalam pemerintahan.
Ini semakin dikokohkan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X
tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai – partai politik.
Partai–partai
tersebut
digunakan
sebagai
sarana
perjuangan
untuk
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Partai
politik memainkan peran sentral dalam kehidupan politik dan proses
pemerintahan. Maklumat yang menghapuskan sistem satu partai nasional dan
melalui maklumat itulah lahir banyak partai politik yang mewakili berbagai aliran
ideologi politik yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat7. Beberapa hari
setelah maklumat wakil presiden itu dikeluarkan partai–partai lama maupun baru
bermunculan.
Salah satu perkembangan di dalam kehidupan politik setelah berdirinya
Negara Republik Indonesia, ialah kebijaksanaan dikeluarkannya Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai–partai politik.
6
Joenrato, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,
halaman 2.
7
Samsuri, 2004, Politik Islam Anti Komunis pergumulan Masyumi dan PKI di Arena
Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Safiria Insani Press dan Magister Studi Islam Universitas Islam
Indonesia, halaman 2.
5
Maklumat Pemerintah ini mendapat tanggapan yang hangat dengan kemunculan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dipimpin oleh dr. Sukiman
Wirdjosandjoyo. Dengan adanya ketentuan tersebut, hal itu membawa perubahan
pula bagi Masyumi yang telah dibentuk pada masa Jepang. Berbeda dengan
Masyumi buatan Jepang yang semula merupakan federasi dari organisasi Islam
yang ada, demi menjaga kedudukan Jepang di Indonesia, akhirnya berubah
menjadi partai politik pada tanggal 7 – 8 November 19458 melalui kongges umat
Islam di Yogyakarta.
Pembentukan Masyumi sebagai hasil kongges di Yogyakarta dimotivasi
oleh keinginan untuk menjadikan Masyumi sebagai partai politik tunggal Islam
yang dapat menyalurkan aspirasi politik umat, sebagai cerminan potensi mereka
yang sangat besar dan kongkrit. Menurut pengamatan pada masa itu, suatu masa
kongkrit tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ke
tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi syari’ah dalam
kehidupan bernegara pada pasca kemerdekaan Indonesia9.
Munculnya
Masyumi pada tahun 1945 dapat pula dipandang sebagai
jawaban positif umat terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tertanggal 3
November 1945 yang mendorong pembentukan partai–partai, seperti halnya MIAI
atau Masyumi “ buatan jepang “ maka masyumi bentukan kongres Yogyakarta ini
mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama modernis dan tradisional
disamping dari pemimpin umat non ulama Jawa – Madura.
8
9
Samsuri, Ibid., halaman 2.
Ahmad Syafii Maarif, 1985, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, halaman 111.
6
Masyumi lahir sebagai partai politik ketika Indonesia berada pada masa
revolusi. Pada masa ini dituntut perjuangan dalam dua hal bidang, yakni
pertempuran bersenjata, khususnya dalam berhadapan dengan Belanda dan
Jepang. Kedua perjuangan politik, partai Masyumi adalah merupakan partai
politik terbesar masa demokrasi liberal. Partai politik merupakan alat yang ampuh
bagi manusia dalam mencapai tujuan politiknya.
Perkembangan partai telah menampakan sejarahnya dalam kurun waktu
dan tempat tertentu, tergantung kebudayaan yang dianut oleh suatu masyarakat.
Sejalan dengan diterapkannya system pemerintahan parlementer di tahun 1950,
partai politik menjadi sangat dominan dalam periode tersebut. Periode ini dapat
disebut sebagai satu–satunya masa yang mendukung bagi tumbuh dan
berkembangnya partai politik. Pada masa ini pula terlihat berbagai gejolak politik
terutama dikabinet dan parlemen. Panggung politik Indonesia menjadi semakin
dikuasai oleh ketegangan antara tiga golongan terkemuka diantaranya adalah
golongan Nasionalis , Organisasi Islam, dan golongan Komunis.
Masa Demokrasi Liberal diwarnai banyaknya partai politik dan semakin
meningkatnya pertentangan pendapat atau ideologi tersebut, menjadikan
demokrasi liberal sebagai suatu sistem yang jauh dari stabil 10. Dinamika politik
selama masa demokrasi Liberal terlihat dari jumlah pergantian kabinet yang
demikian cepat dari kabinet satu ke kabinet yang lain. Keadaan yang demikian
banyak menimbulkan masalah baik dibidang sosial, ekonomi, politik dan militer.
Pada masa demokrasi liberal ini dua partai besar yakni masyumi dan PNI secara
silih berganti memegang peranan yang penting baik didalam pemerintahan.
10
Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia Kumpulan Karangan,
Jakarta: PT. Gramedia, halaman 4.
7
Kurun waktu antara tahun 1949 hingga 1950 dapat disebut sebagai suatu
periode yang relative memiliki persatuan dalam perjuangan. Tujuan utama setiap
orang, juga bagi kalangan Islam adalah membela kemerdekaan dan kebebasan
menghadapi musuh bersama dari luar.
Masyumi bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia
dan Agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Pengertian tersebut merupakan suatu keinginan untuk dapat mewujudkan susunan
Negara yang berdasarkan keadilan menurut ajaran–ajaran Islam. Oleh karenanya,
dalam mewujudkan masyarakat dan Negara Islam tersebut perlu memperkuat dan
menyempurnakan asas-asas pada undang – undang dasar, yaitu Pancasila
Rencana untuk mengadakan pemilihan umum nasional diumumkan pada
tanggal 5 Oktober 1945. badan pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang
menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan
proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga Negara yang berusia
18 tahun11.
Kabinet Burhanudin Harahap berhasil menjalankan pemilu yang telah
direncanakan pada tahun 1946. Pemilihan Umum kedua yang berlangsung pada
bulan September dan Desember 1955 ini sangat menarik perhatian12. Hal ini
dikarenakan pemilu 1955 merupakan konsensus tertinggi yang pertama kali
dicapai pada pasca revolusi nasional.
11
Herbert Feith, 1999, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Keputusan Populer
Gramedia, halaman 2.
12
Arsip Pidato Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan Republik Indonesia
Mr.Burhanuddin Harahap, Pengumuman Pelaksanaan Pemilu 1955, Arsip tersimpan di
Perpustakaan Mandala Bhakti Semarang.
8
Alasan penulis untuk mempelajari dan mengkaji masalah Partai Masyumi
di Surakarta didasari pada keinginan untuk melihat sejauh mana perkembangan
partai politik Masyumi di Surakarta walaupun Surakarta bukan merupakan tempat
lahir gerakan tersebut maupun pusat kedudukan organisasi pergerakan tersebut,
namun di Surakarta partai politik Masyumi itu ada dan berkembang dengan baik
hingga Indonesia merdeka. Partai politik Masyumi mampu merebut kursi
terbanyak dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sejak tahun 1946 hingga
1949 partai Masyumi menempati 6 kursi disusul PNI dengan jumlah 5 kursi.13
Pemilu 1955 di Surakarta partai politik Masyumi dan PKI saling serang
menyerang dalam bentuk pamlet untuk menarik massa sehingga sering terjadi
ketegangaan didalam masa kampaye. Sikap permusuhan Masyumi terhadap PKI
antara lain ditujukan pada sikap politik yang berbeda. PKI dengan menghalalkan
segala cara, dan prinsip-prinsip komunisme yang dianut PKI berlawanan secara
diametral dengan prinsip-prisip keagamaan yang dianut oleh Masyumi. Serangan
anti komunis para tokoh Masyumi gencar dilakukan, baik di lapangan kampaye
maupun perdebatan di media cetak. Sjarif Usman, ketua dewan redaksi Suara
Masyumi dan ketua bidang penerangan di DPP Masyumi, di depan massa Islam
Kota Surakarta pada 10 April 1955 menyerukan kepada orang-orang Islam yang
menjadi anggota PKI, SOBSI atau organisasi-organisasi Komunis yang lainnya
agar meninggalkan partai atau organisasi Komunis dan kembali ke dalam partai
atau organisasi Islam. Majelis Syuro Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa hokum
Islam tentang komunisme yang diputuskan dalam muktamar VII Masyumi pada
13
Panitia Peringatan Hari Jadi Kodya Surakarta, tanpa tahun, Peringatan Hari Jadi
Kodya Surakarta ke – 16, Surakarta: Pemerintah Daerah Surakarta, halaman 5.
9
3 - 7 Desember 1954 di Surabaya antara lain menyatakan bahwa komunisme
menurut hukum Islam adalah kufur.14
Partai Masyumi di Surakarta mendapatkan suara yang cukup banyak
dengan peringkat ke 3 setelah PNI, PKI, sedangkan Masyumi tidak memperoleh
kemenangan, Masyumi memiliki basis di seluruh kabupaten. Artinya walaupun
tidak menang tapi memperoleh suara yang cukup siginifikan.
Hal ini ditambah karakteristik masyarakat Surakarta yang berbeda dengan
masyarakat lainnya, terutama dalam hal aspirasi politik. Surakarta sejak tahun
1946 telah menjadi kota oposisi dengan konflik politik dan ketegangan yang terus
berlangsung. Surakarta dijadikan basis kekuatan politik oleh berberapa organisasi
politik dan kepartaian, sehingga kecenderungan dan gejala yang terjadi sama
seperti pusat jadi juga terlihat pertentangan antara kelompok nasionalis, agama,
dan komunis.
Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan kearah yang lebih
baik bagi perjalanan politik nasional. Peta politik Indonesia secara dratis, yaitu
dengan semakin berkurangnya peranan partai-partai politik kecuali yang dekat
dengan Presiden Sukarno. Masa jatuh bangun partai politik dalam pemerintahan,
dijadikan senjata untuk melumpuhkan partai politik yang tidak sehaluan dengan
Presiden Sukarno.
Ekonomi negara makin tak terurus, ketidakpuasan makin meluas dan
puncaknya negara dihadapkan pada kenyataan tercetusnya pergolakan di daerahdaerah antara kurun waktu 1957-1958. Di mulai dengan dibentuknya kabinet
Djuanda pada tahun 1957-1958 untuk mengatur partai politik agar supaya partai
14
Samsuri, op.cit., halaman 79.
10
politik dapat dikendalikan dalam menjaga “stabilitas politik” oleh Presiden
Sukarno. Masyumi mengecam pembentukan kabinet ini yang dianggapnya
melanggar konstitusi.15 Puncaknya dengan meletusnya pemberontakan PRRI di
Bukittinggi pada bulan Februari-Maret 1958, di sini beberapa tokoh Masyumi
Pusat ikut terlibat walaupun keterlibatan tokoh-tokoh itu bersifat perorangan,
namun akibatnya sampai pula pada partai.
Pada titik inilah Presiden Sukarno kemudian menemukan jalan bagi
campur
tangannya
secara
langsung
dalam
pemerintahan
dengan
mengesampingkan peranan partai-partai yang semakin tersingkir tahun-tahun
setelah itu menunjukkan bahwa frekwensi campur tangan Presiden mengarahkan
pada apa yang digagaskannya sebagai Demokrasi Terpimpin. Sebuah tatanan yang
lebih mengarahkan sifat kepimpinan yang diktator ketimbang sebuah citra
demokrasi yang sehat. Masyumi yang memang sejak semula selalu menempuh
cara-cara konstitusional dalam memecahkan persoalan, dengan terus terang
menampilkan sikap kritis terhadap move-move politik Presiden Sukarno yang
cenderung bergeser ke kiri, sejak saat itulah jurang perbedaan antara Presiden
Sukarno yang mulai berkoalisi dengan PKI di satu pihak dari Masyumi dengan
kelompok-kelompok pro-demokrasi dan anti PKI dilain pihak makin tak
terjembatani.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan
konstituante. Sejak saat itu secara resmi sistem parlementer terlempar dari sistem
politik Indonesia digantikan oleh Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem
15
SU.Bajasut, 1972, Alam Pikiran dan Djejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito,
Surabaya: Documenta, halaman 78.
11
pemerintahan yang baru ini Soekarno membentuk DPR-GR yang semua
anggotanya diangkat oleh Presiden. Masyumi adalah satu-satunya partai Islam
yang paling keras melancarkan kritik. Ketegangan politik antara Soekarno dan
Masyumi berpuncak pada dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200 / 1960
yang diumumkan pada 17 Agustus 1960.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan hal tersebut, studi penelitian ini berusaha untuk
mengungkap masalah Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun 1955-1960.
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas maka masalah utama
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan sosial politik di Surakarta pada tahun 1954 - 1960 ?
2. Bagaimana perkembangan Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun
1954 -1960 ?
3. Bagaimana Dinamika Hubungan Partai Cabang Masyumi dengan
Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 1954 -1960 ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian yang berjudul Partai Masyumi Cabang
Surakarta Pada Tahun 1954 -1960 adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana keadaan sosial politik di Surakarta pada
tahun 1954 -1960.
12
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Partai Masyumi Cabang
Surakarta pada tahun 1954 -1960.
3. Untuk mengetahui Dinamika hubungan Partai Masyumi Cabang Surakarta
dengan Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 1954 -1960.
D. Manfaat Penelitian
Maksud manfaat atau kegunaan penelitian adalah manfaat langsung
ataupun tidak langsung yang diperoleh dari penerapan penelitian. Adapun yang
diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi peminat sejarah
Partai Masyumi Cabang Surakarta pada masa orde lama.
2. Sebagai tambahan referensi bagi peminat masalah-masalah Sejarah Partai
Islam di Indonesia.
E. Kajian Teori dan Tinjauan Pustaka
Tema studi ini adalah sejarah Partai Masyumi. Oleh karena pokok
permasalah dalam tema ini kompleks, maka konsep-konsep dan teori ilmu lain
dipergunakan untuk menerangkan peristiwa yang sedang ataupun telah terjadi.
Disamping itu, konsep-konsep dapat dipergunakan sebagai alat pemahaman dalam
membantu penganalisaan pada uraian-uraian dari bab-bab yang dikembangkan
dalam penelitian.
Untuk menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan tema yang
diambil, maka mengunakan literatur dan referensi yang relevan dan menunjang
13
tema yang diangkat. Literatur tersebut dijadikan media untuk mengkaji,
menelusuri dan nengungkap pokok permasalahan.
Manusia menurut Plato dan Aristoteles, tidak dapat dipisahkan dari politik
karena manusia adalah “Zoon Politicon” atau makhluk berpolitik. Orang yang
tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak
mempunyai kebutuhan politik adalah sama dengan binatang. Sifat politik adalah
kekhususan manusia. Setiap manusia adalah politisi dan setiap manusia yang tidak
mengerti politik bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Sejarah
manusia berawal dari kegiatan yang brcorak politik.
Istilah politik sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “politiek” asal
katanya dari bahasa yunani yaitu kata “polis” yang artinya negara atau kota. Hal
ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan manusia senantiasa berkisar pada
kegiatan kenegaraan.16
Dalam buku Pendidikan Politik Ikwanul Muslimin karya Ruslan Utsman
Abdul Muis, tahun 2000. Disebutkan bahwa politik menurut Islam adalah
akitivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara
keseluruhan negara dan masyarakat yang sejalan dengan ideologi mayoritas
rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan saling bantu antara
pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya agar politik
memberikan pengaruhnya yang konkret pada realitas sosial, yang membawa pada
perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang menumbuhkan kecerdasan
bangsa secara harmonis.17
16
17
Prisma, 12 November 1981, halaman 3.
Ruslan Utsman Abdul Muis, 2000, Pendidikan Politik Ikwanul Muslimin, Surakarta:
Era Intermedia, halaman 79
14
Dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional tahun 1945-1965 Karya
Deliar Noer, tahun 1987. Menjelaskan mengenai berdirinya partai-partai Islam
pada masa merdeka. Salah satunya Partai Politik Islam Masyumi yang didirikan
pada tanggal 7 November 1945 pada kongres umat Islam di Yogyakarta. Menurut
Deliar Noer dalam buku ini agama dan politik tidak bisa dipisahkan, oleh karena
berpolitik itu adalah bagian dari ibadah. Pemikiran ini dapat dikembangkan bahwa
kehidupan kenegaraan harus diwarnai agama sebagai bagian dari ibadah. Nilainilai hidup yang diberikan Islam tidak hanya tuntunan hidup perorangan tapi juga
tuntunan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Ada beberapa buku yang digunakan sebagai bahan acuan dalam
pengkajian masalah sistem partai di Indonesia, diantaranya adalah sebuah buku
yang ditulis oleh Miriam Budiardjo, tahun 1996 yang berisi tentang sistem
kepartaian. Partai politik telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi
bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi
seluruh masyarakat dewasa. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan
faktor utama yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses pemilu,
maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung
antara rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain. Partai politik umumnya
dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau
yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Di negara-negara jajahan
partai-partai politik sering didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar
dewan perwakilan rakyat, setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya
proses urbanisasi, komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah
15
kuat kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai.
Partai politik pada hakekatnya merupakan suatu organisasi yang terdiri dari
sekelompok orang yang mempunyai cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi-orientasi
yang sama, dimana organisasi ini berusaha untuk memperoleh dukungan dari
rakyat
dalam
rangka
usahanya
memperoleh
kekuasaan
dan
kemudian
mengendalikan atau mengontrol jalannya pemerintahan, yang kesemuannya itu
pada gilirannya sebagai pangkal tolak organisasi tersebut, dalam usahanya
merealisir atau melaksanakan program-programnya yang telah ditetapkan.
Partai politik di Indonesia pertama-tama lahir dalam zaman kolonial
sebagai manisfestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua
organisasi, apakah bertujuan sosial, politik, dan agama memainkan peranan yang
penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Perkembangan kepartaian
masa pendudukan Jepang banyak mengalami hambatan
semua partai lama
dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam
diperkenakan membentuk organisasi sosial yang dinamakan Masyumi, disamping
beberapa organisasi baru diprakasai oleh penguasa.18
Di Indonesia sistem kepartaiannya dapat dilihat sistem kepartaian
kontemporer di tanah air dari segi jumlahnya, maka klasifikasi dari Maurice
Duverger dapat digunakan. Maurice Duverger cenderung melihat sistem
kepartaian dari segi jumlahnya dan membagi tiga bagian: yaitu sistem partai
tunggal (one party system), sistem dwi partai (two party system) dan sistem multi
18
Miriam Budiardjo, 1996, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 217.
16
partai ( multi party system).19 Di Indonesia pola kepartaian massa menunjukan
keanekaragaman, pola dalam masa merdeka dalam bentuk sistem multi partai.
Menurut Sartori memiliki derajat relevasi yang tinggi, karena melihat sistem
kepartaian berdasarkan jarak ideologi dan membagi tiga bagian: pluralisme
sederhana, pluralisme moderat dan pluralisme ekstrem, sehingga bermunculan
partai-partai politik dengan ideologi yang tidak seragam. Dengan demikian
kepartaian kembali ke pola multi partai yang telah dimulai dalam zaman kolonial.
Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan stabil.
Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 membawa penyerderhanaan
dalam jumlah partai dalam arti bahwa jelas telah muncul empat partai besar, yakni
Masyumi, PNI, NU, dan PKI.
Herbert Feith dalam bukunya Pemilihan Umum 1955 di Indonesia tahun
1999. Secara ekstensif membahas mengenai pemilu pertama tahun 1955, yang
diharapkan pemilu yang merupakan obat mujarab terwujudnya kestabilan politik
di Indonesia. Pemilu 1955 dipandang paling demokratis karena diikuti oleh
banyak partai. Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 1955 dalam masa
demokrasi liberal mempunyai arti sangat penting dan membawa perubahanperubahan besar pada fungsi partai politik. Partai politik mengubah kegiatankegiatannya yang sangat ditentukan oleh percaturan politik tingkat nasional di ibu
kota, menjadi kegiatan-kegiatan yang membuka saluran-saluran komunikasi
massa dengan jalan mengorganisasi diri secara luas sampai tingkat desa.
Pembahasan pertama dalam buku ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi
terjadinya pemilu sampai pada pembuatan Undang-Undang Pemilu yang isinya
19
Zainal Abidin Amir, 2003, Peta Islam Politik (Pasca-Soeharto), Jakarta: Pustaka
LP3ES, halaman 23.
17
seperti mengenai organisasi penyelenggaraan pemilu, siapa saja yang berhak
mengajukan sebagai calon dan pendaftaran pemilih. Pembahasan yang kedua
adalah membahas mengenai tahap kampanye. Herbeith dalam bukunya ini
berpendapat bahwa ada dua hal menandai dimulainya kampanye (DPR) yaitu
kampanye tahap pertama dimulai sejak disahkannya RUU Pemilu dan kampanye
tahap kedua dimulai sejak pengesahan tanda gambar. Pertarungan yang sengit
antara PKI dan Masyumi juga dibahas. Selanjutnya pembahasan mengenai
pemungutan suara dan menganalisis hasil-hasil pemilu tersebut.
Analisis Herbert di dalamnya ada pembahasan mengenai perkembangan
aliran-aliran di Indonesia. Konsep berdasarkan pola aliran menjadi menonjol,
tatkala kehidupan politik dalam masyarakat bukan didasarkan pada ideologi
politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi-organisasi sosial dengan
kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastuktur sosial
dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Terbentuk suatu aliran politik yang
terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis.
Buku ini menerangkan lima aliran politik yang berkembang di Indonesia
yaitu: komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), Islam (Masyumi, NU),
tradisionalisme jawa (PNI, PKI) dan sosialisme demokrat (PSI). Penggolongan
demikian ini menurut Herbert Feith dianggap mampu mendobrak kesemrawutan
pandangan ideologi yang muncul di Indonesia pada awal kemerdekaan, sehingga
mampu berkembang menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang berarti dan
harmonis. Partai politik pada pemilu 1955 yang secara ideologis menonjol dan
mampu mendapatkan dukungan mayoritas dari pemilih dalam pemilu 1955,
adalah: PNI, Masyumi, PKI, dan NU.
18
Buku karya Samsuri berjudul Politik Islam Anti Komunis Pergumulan
Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal,tahun 2004. Beisi mengenai
politik nasional di masa demokrasi liberal yang memperlihatkan peran Partai
Masyumi menghadapi Partai Komunis Indonesia antara tahun 1950 sampai
dengan 1957. Selama era demokrasi liberal tersebut terjadi pergumulan penting
yang dilakukan kelompok muslim dengan kelompok komunis. Sikap permusuhan
Masyumi terhadap PKI antara lain ditujukan pada sikap politik PKI yang telah
menghalalkan segala cara, dan prisip-prisip komunisme yang dianut PKI
berlawanan secara diametral dengan prisip-prisip keagamaan yang dianut oleh
Masyumi. Perang pamflet dan perkelahian antara pendukung Masyumi dan PKI
mewarnai dalam masa kampaye pemilu 1955.
Buku Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi karya Syaifullah,
tahun 1997. Menjelaskan mengenai hubungan formal dan langsung secara
menyolok terjadi ketika terlibat dalam pembentukan Masyumi pada 7 November
1945 di Yogyakarta dan bahkan menjadi salah satu pilar utama dan anggota
istimewa dalam Masyumi. Intesitas hubungannya dengan Masyumi sangatlah
tinggi, hal itu ditunjukkan oleh sikap setia kepada Masyumi sampai partai ini
membubarkan diri. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis sejak awal
kelahirannya telah memilih jalan pergerakan di wilayah sosial-keagamaan yang
memusatkan perhatian pada cita-cita pembentukan masyarakat yang utama.
Kendati Muhammadiyah lebih memposisikan dalam menempatkan diri sebagai
gerakan sosial-keagamaan yang non-politik, organisasi Islam ini dalam
perkembangan sejarahnya memiliki keterlibatan dalam kehidupan politik nasional
dan aktif dalam kegiatan-kegiatan politik yang bersifat langsung dalam
19
perjuangan kekuasaan untuk memperebutkan posisi-posisi politik dalam
pemerintahan.
Keterlibatan yang bersifat formal, langsung dan praktis itu maka
Muhammadiyah pada era Masyumi banyak mengalami gesekan dan pertentangan
dengan kelompok Lain secara politik. Sementara itu kebaradaan Muhammadiyah
dalam Masyumi sendiri tidaklah mulus yaitu ditandai dengan hubungan yang
mesra antara tahun 1945 sampai dengan 1953 dan hubungan yang renggang
antara tahun 1956 sampai dengan 1959. Hubungan itu putus sama sekali
bersamaan dengan bubarnya Masyumi. Kehadiran Muhammadiyah dalam
Masyumi secara politik tentu menguntungkan Muhammadiyah, selain bagi umat
Islam pada umumnya. Muhammadiyah dalam tempo yang cukup mendominasi
kebaradaan Masyumi baik dalam keanggotaan maupun dalam memberikan
sumbangan kader-kadernya dalam pemerintahan.
F. Metode Penelitian
Penelitian mengenai Partai Masyumi Cabang Surakarta Pada Tahun 1954 1960 ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah
adalah mengumpulkan, menguji, dan menganalisa secara kritis rekaman-rekaman,
peninggalan masa lampau serta usaha untuk melakukan sintesa dari data-data
masa lampau tersebut menjadi kajian yang dapat dipercaya20.
Langkah-langkah yang digunakan dalam metode penelitian sejarah ini
terdiri dari empat langkah ; pertama, heuristik yaitu kegiatan atau suatu proses
pengumpulan sumber-sumber sejarah. Dalam langkah ini dilakukan pengumpulan
20
Louis Gottschalk, 1983, Mengerti Sejarah,, Jakarta: Universitas Indonesia Press,
halaman 32.
20
sumber data sebanyak-banyaknya tetapi sumber data tersebut masih dalam
cakupan tema dan permasalahan penelitian. Kedua, kritik sumber atau penilaian
data, merupakan suatu proses menilai atau mengkritik sumber baik secara intern
maupun ekstern. Kritik intern dipergunakan untuk mengetahui kredibilitas
informasi yang diperoleh. Sedangkan kritik ekstern dipergunakan untuk
mengetahui otentisitas informasi yang diperoleh. Ketiga, interpretasi, dilakukan
untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan secara kronologis dengan
fakta-fakta yang diperoleh dan telah lulus kritik. Keempat, historiografi atau
penulisan sejarah. Pada langkah ini disajikan hasil penelitian yang berupa
penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat. Kisah itu isinya
terbagi dalam bab-bab, sub-sub, dan butir-butir, dari sub-bab yang didasarkan atas
prinsip “serialisasi”. Oleh sebab itu laporan disusun menurut teknik penulisan
sejarah.
1. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer
diperoleh melalui studi dokumen atau arsip sedangkan sumber sekunder diperoleh
melalui studi pustaka (Library research).
a. Studi Bahan Dokumen atau Arsip
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Berita Partai
Politik Islam Masyumi, Anggaran Dasar Partai Masyumi, Membetulkan
Tujuan Masyumi dalam Wajah baru, Cita-cita Masyumi, Buletin Dewan
Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Tengah, Pamflet Masyumi, Pengurus
Pusat Panitia Masyumi Surakarta Koochi, Mosi Masyumi daerah
21
Surakarta, Pidato Perdana Menteri Burhanuddin Harahap tentang
pelaksanan pemilu 1955, Peta Politik Jawa Tengah Tahun 1956, Hasil
Sementara Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu juga
sumber majalah dan koran sejaman.
b. Wawancara
Wawancara
dilakukan
dengan
beberapa
orang
yang
mampu
memberikan informasi sesuai dengan tema yang diambil. Dalam
wawancara penulis berangkat dari informasi pangkal yang selanjutnya
akan diperoleh informan-informan lain yang merupakan pelaku dari
peristiwa tersebut. Informan pangkal dari penelitian ini adalah H.Achmad
Sulaiman yang selanjutnya berdasarkan informasi tersebut penulis
mendapatkan informan lain.
Wawancara penelitian ini adalah wawancara individu secara langsung.
Artinya, penulis mendatangi informan satu persatu. Dalam kunjungan
tersebut penulis menanyakan permasalahan yang dibahas.
c. Studi Pustaka (Library research)
Sebagai pendukung dan pelengkap sekaligus sebagai kerangka dasar
teori, maka penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka berupa
buku-buku karya ilmiah dan buku-buku pengetahuan. Beberapa buku yang
dijadikan sebagai acuan diperoleh dari Perpustakaan Nasional di Jakarta,
Perpustakaan Mandala Bakti di Semarang, Perpustakaan Daerah
Kotamadya Surakarta, Perpustakaan Islam Surakarta, Perpustakaan Pusat
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan
Seni Rupa.
22
2. Teknik Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses pencarian dan perancangan
sistematika semua data yang terkumpul agar peneliti mengetahui makna yang
telah ditemukan dan disajikan kepada orang secara bebas.
Analisa dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif21, artinya data-data
yang terkumpul selanjutnya diintegrasi atau ditafsirkan, kemudian dianalisa secara
kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu analisa yang mendasarkan sebab akibat
dari suatu permasalahan atau fenomena histories yang dimaksudkan supaya
peneliti ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan dimana penelitian terjadi tetapi
juga mampu menjelaskan gejala-gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini
kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif analisis.
G. Sistematika Penulisan
Penjabaran dari sistematika skripsi ini, diuraikan secara garis besar dalam
bentuk bab perbab. Penjabaran tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran
jelas terhadap isi keseluruhan isi skripsi ini. Dalam skripsi ini terdapat lima bab
yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang saling kait mengkait.
Bab pertama mengemukan latar belakang masalah yang kemudian
dijelaskan juga mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian teori dan tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tentang Sejarah Pemerintahan Kota Surakarta,
gambaran umum Kota Surakarta, mulai dari kondisi geografis yang meliputi letak
dan batas, keadaan wilayah, kondisi demografis, yang meliputi jumlah kepadatan
21
Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,
Jakarta: Gramedia, halaman 58.
23
penduduk, sampai pada keanekaragaman penduduk. Bab dua juga menjelaskan
tentang kondisi sosial politik yang dimulai munculnya partai di Kota Surakarta.
Bab ketiga menjelaskan tentang kodisi Partai Masyumi Cabang Surakarta
pada tahun 1954-1960. Sistem kepartaian yang mendukung kehidupan demokrasi
liberal
mendapat
ruang
geraknya
setelah
maklumat
pemerintah
yang
ditandatangani Mohammad Hatta, dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945,
tentang pembentukan partai-partai di Indonesia. Melalui maklumat itulah lahir
banyak partai politik yang mewakili berbagai aliran ideologi politik yang tumbuh
berkembang di tengah masyarakat. Bagi umat Islam, maklumat tersebut
merupakan peluang untuk membentuk partai politik Islam. Dibentuklah Partai
Masyumi yang direncanakan sebagai satu-satunya partai politik Islam berdasarkan
keputusan konggres umat Islam di Yoyakarta pada tanggal 7-8 November 1945.
sebelumnya pernah berdiri Masyumi buatan Jepang pada bulan Oktober 1943.
berbeda dengan Masyumi buatan Jepang yang oleh pemerintah pendudukan
Jepang dijadikan sebagai alat untuk mengkooptasi umat Islam demi kepentingan
sendiri. Masyumi hasil konggres Yogyakarta dimotivasi oleh keinginan untuk
menjadikan Masyumi sebagai partai politik tunggal Islam yang dapat
menyalurkan aspirasi politik umat. Bab ketiga ini juga menjelaskan mengenai
perkembangan Masyumi baik lingkup kota Surakarta maupun lingkup nasional.
Bab keempat menjelaskan tentang Dinamika Hubungan Partai Masyumi
Cabang Surakarta dengan Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 19541960. Bab ketiga ini juga menjelaskan mengenai Sejarah berdirinya Pimpinan
daerah Muhammadiyah di Surakarta, Muhammadiyah dalam politik. Dinamika
hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi, dan hubugan Masyumi dengan anak
24
organisasi pendukungnya yaitu: Sarekat Buruh Islam Indonesia, Gerakan Pemuda
Islam Indonesia dan Muslimat Masyumi dan Hubungan Partai Masyumi Cabang
Surakarta dengan Nahdatul Ulama.
Bab kelima merupakan kesimpulan yang ditarik dari uraian-uraian
sebelumnya yang sekaligus jawaban dari permasalahan-permasalahan pokok
penelitian ini.
Download