implementasi desentralisasi kewenangan dalam

advertisement
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR
DI KALIMANTAN BARAT
PENELITIAN
KERJASAMA ANTARA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
UNIVERSITAS PANCA BHAKTI, PONTIANAK
KALIMANTAN BARAT
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur di Panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan dan kemampuan. Sehingga penelitian yang berjudul "IMPLEMENTASI
DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER
DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT". Adapun penelitian ini bertujuan
sebagai bahan kajian atas desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir di Kalimantan Barat untuk kemudian menjadi bahan masukan bagi Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dalam menjalankan fungsinya di
bidang pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang di bidangnya (termasuk
dalam hal ini UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, dijadikan sebagai bahan hukum sekunder dalam kajian hukum dan
dapat memberikan masukan kepada Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dalam
pengambilan kebijakan terhadap implementasi pembagian kewenangan.
Selanjutnya dengan selesainya penelitian ini diucapkan terima kasih kepada
yang terhormat:
1. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) atas
kerjasamanya dan kepercayaan kepada Universitas Panca Bhakti.
2. Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Daerah Republik Indonesia
(DPD-RI) atas kerjasamanya dalam penelitian ini.
3. Rektor Universitas Panca Bhakti yang telah memberikan kepercayaan kepada
!
!
1!
Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, dalam melakukan penelitian ini.
4. Dekan Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti yang banyak memberi
masukan dalam penelitian ini.
5. Seluruh staf pada instansi terkait baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota
yang telah memberikan data, informasi dan masukan yang sangat berharga
terhadap penelitian ini.
Demikianlah laporan hasil penelitian ini disampaikan untuk menjadi bahan
kajian bagi DPD-RI.
Akhirnya hanya Kepada Allah swt juga diserahkan seraya memohon taufiq
dan hidayahnya, dan diberi keampunan dari segala salah dan dosa. Semoga penelitian
ini bermanfaat bagi semua.
Amiin, ya Rabbal'alamin.
Pontianak, 8 Juli 2013
Tim Peneliti
!
!
2!
ABSTRAK
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR
DI KALIMANTAN BARAT
Riset ini, mengkaji
persoalan yang terkait dengan
implementasi
desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Kalimantan
Barat. Mengingat selama ini praktek yang terjadi, potensi akan kekayaan sumber daya
alam yang melimpah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kalimantan Barat,
ternyata belum dapat mendatang kemakmuran dan kesejahtaeraan
masyarakat
sekitarnya ---balutan kemiskinan, infrastruktur yang tidak memadai, fasilitas dan
anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang sangat minim yang
sering mereka terima---. Disisi lain, kekayaan yang melimpah tersebut, mendorong
timbulnya persaingan yang bersifat destruktif dan eksploitatif antar daerah yang
memiliki wilayah pesisir. Masing-masing daerah, berupaya mengeksplorasi dan
mengeksploitasi
sumberdaya
wilayah
pesisir
secara
berkelebihan,
tanpa
memperhatikan ekosistem dan keberlanjutannya.
Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Kalimantan Barat dengan foKus
pada wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan
Kabupaten Kubu Raya dengan pertimbangan pada wilayah tersebut merupakan
wilayah pesisir, dimana penelitian ini dilakukan hendak mengungkap bagaimana
pengimplementasian pelaksanaan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat serta bagaimanakah mewujudkan
desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
yang dapat mengakomodasi
keseimbangan kepentingan dan kelembagaan
di
Kalimantan Barat.
Metode Sampling yang dipergunakan adalah purposive sampling yaitu penarikan
sampel bertujuan, karena sampel yang diperlukan dalam penelitian ini harus memiliki
karakteristik tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian.!Berdasarkan tehnik
!
!
3!
sampling di atas, maka sistem pilihan sampel yang paling urgen untuk dipergunakan adalah
Snow ball sampling yaitu memilih (menentukan) salah satu sampel sebagai informan awal
selanjutnya terus menggelinding laksana bola salju kepada sampel-sampel lanjutan dan baru
akan berakhir pada suatu sampel/informan yang tidak memunculkan varian baru , dan dalam
penelitian ini, masing-masing dipilih 1 (satu) orang informan awal masing-masing
Kabupaten/Kota pada lokasi penelitian yaitu ; (1) Bappeda; (2) Dinas Kelautan dan
Perikanan; (3) Bagian Hukum Setda Kabupaten/Kota; (4) Balegda DPRD Kabupaten/Kota;
(5) Pihak-pihak
lain
terkait yang
dianggap mengetahui pokok masalah
yang
diteliti
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa desentralisasi kewenangan pengelolaan
sumberdaya pesisir di Kalimantan Barat sebagaimana tampak di Kabupaten/Kota
dalam wilayah kajian penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang,
Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki
konstribusi yang signifikan dalam pembangunan daerah bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open
access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi
kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis,
degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan.
Faktor
belum
menguatnya
implementasi
desentralisasi
kewenangan
pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi
dan kebijakaan yang ada serta Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas
basis kultural akibat
semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter
sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya.
Upaya mewujudkan
desentralisasi
kewenangan di bidang
Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi
Pengelolaan
keseimbangan kepentingan dan
kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat
konsisten
meninggalkan
keengganan
untuk
membagi
kewenangan
dengan
pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan
mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal
!
!
4!
peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut
mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan
masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan
sumberdaya pesisir.
Sebagai upaya mewujudkan
desentralisasi
kewenangan di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan
dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya
pesisir berbasis masyarakat.
!
!
5!
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
ABSTRAK SKRIPSI………………………………………….…………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….
DAFTAR TABEL………………………………………………………………....
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. MasalahPenelitian ...................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 6
D. Kerangka Pemikiran ................................................................... 8
BAB II TINJAUAN TEORETIK TENTANG DESENTRALISASI
KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER
DAYA PESISIR ............................................................................... 15
A. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan
1. Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan .................... 15
2. Implementasi Pembagian Urusan Pemerintah Dalam
Skema Otonomi Daerah ....................................................... 19
3. Peraturan Daerah Sebagai Sarana Yuridis Dalam
Melaksanakan Otonomi Daerah ............................................ 26
!
!
6!
B. Wilayah Pesisir dan Sumber Daya Pesisir................................. 32
C. Desentralisasi Kewenangan di Bidang Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir ................................................................. 36
D. Keterbatasan Kemampuan Hukum di Bidang Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di
Kalimantan Barat ....................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 46
A. Metode Pendekatan ................................................................... 46
B. Lokasi Penelitian dan Sample.................................................... 47
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 48
D. Analisa Data ............................................................................... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 51
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 51
1. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten
Sambas ................................................................................. 51
2. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota
Singkawang ........................................................................... 66
3. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten
Pontianak............................................................................... 81
4. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten
Kubu Raya ............................................................................. 103
!
!
7!
B. Pembahasan dan Analisis ....................................................... 112
1. Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir .......................... 112
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permasalahan Dalam
Pengimplemtasian Desentralisasi Kewenangan di Bidang
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan
Barat ...................................................................................... 119
3. Upaya Mewujudkan Desentralisasi Kewenangan di Bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Dapat Mengakomodasi
Keseimbangan Kepentingan dan Kelembagaan di Kalimantan
Barat ...................................................................................... 123
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 130
DAFTAR PUSTAKA
!
!
!
!
8!
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
: Luas Kabupaten Sambas Tiap Kecamatan .......................
51
Tabel 2
: Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas ...
53
Tabel 3
: Keadaan Luas Laut Pengelolaan di Kabupaten Sambas ..
55
Tabel 4
: Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Sambas ..........................
55
Tabel 5
: Obyek Wisata di Wilayah Kabupaten Sambas ..................
58
Tabel 6
: Vegetasi Mangrove dan Fauna .........................................
72
Tabel 7
: Obyek Wisata Pantai Yang Sudah Dikelola di Kota
Singkawang Bedasarkan Kecamatan ................................
75
Tabel 8
: Luas Kabupaten Pontianak Tiap Kecamatan ....................
83
Tabel 9
: Keadaan Luas Hutan Mengrove di Kabupaten
Pontianak ...........................................................................
85
: Karang dan Terumbu Karang Yang Terdapat di
Kabupaten Pontianak ........................................................
86
Tabel 11
: Potensi Wisata Laut di Wilayah Kabupaten Pontianak ......
88
Tabel 12
: Luas Wilayan Kabupaten Kubu Raya Tiap Kecamatan .....
104
Tabel 13
: Sebaran Sungai per Kecamatan Kabupaten Kubu Raya ..
105
Tabel 14
: Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Kubu Raya .....................
105
Tabel 15
: Jenis Potensi Wisata per Lokasi di Kecamatan Pesisir .....
107
Tabel 16
: Daftar Areal Tambak Budidaya Perikanan per
Kecamatan ........................................................................
107
Tabel 10
!
!
9!
!
!
10!
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Suaka Alam Laut Tanjung Belimbing (selimpai) Paloh ......
57
Gambar 2 : Abrasi di Pantai .................................................................
62
Gambar 3 : Degradasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten
Pontianak ...........................................................................
93
Gambar 4 : Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai
Untuk Pemukiman .............................................................
94
Gambar 5 : Aktifitas Penambangan Tanah, Batu dan Pasir di
Pesisirt Kabupaten Pontianak ...........................................
97
Gambar 6 : Sedimentasi di Beberapa Muara Sungai Pesisir
Kabupaten Pontianak ........................................................
102
Gambar 7 : Abrasi dan Akresi Yang Terjadi di Pesisir Pantai
Kabupaten Pontianak ........................................................
103
!
!
!
!
11!
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia
yang sangat kaya dan potensial, dengan jumlah pulau yang dimiliki kurang
lebih 17.508 pulau, panjang garis pantai mencapai 95.000 km. Kondisi
tersebut memposisikan pantai Indonesia merupakan pantai terpanjang kedua
setelah Kanada, serta luas wilayah laut mencakup 70 persen dari total luas
wilayah Indonesia. Begitupula secara geografis letak kepulauan Indonesia
sangat strategis yakni di daerah tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan
Australia), dua samudera (Pasifik dan India), serta merupakan pertemuan tiga
lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia dan Pasifik) menjadikan
kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan dan pesisir
yang berlimpah. Baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati, sumberdaya
yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih maupun jasa-jasa lingkungan
seperti industri maritim, perhubungan laut, energi kelautan, serta wisata
bahari.
Sesuai amanat UUD RI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional
bernegara telah menggariskan bahwa pemanfaatan
melimpah dalam wilayah NKRI
kekayaan SDA yang
dipergunakan untuk
sebesar-besar
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, kekayaan sumber
daya laut dan pesisir yang melimpah tersebut, harus dapat dipergunakan
1"
"
2"
"
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Fakta menunjukkan bahwa
sekitar 60% (170 juta) rakyat Indonesia hidup dan menggantungkan hidupnya
di wilayah laut dan pesisir. Namun ironisnya potensi kekayaan SDA yang
melimpah, belum dapat mendatang kemakmuran
dan kesejahtaeraan
masyarakat sekitarnya, balutan kemiskinan dan marginalisasi akses justru
yang sering mereka terima.
Disisi lain, kekayaan yang melimpah tersebut, malahan mendorong
timbulnya persaingan yang bersifat destruktif dan eksploitatif antar daerah
yang mengabaikan ekosistem dan keberlanjutannya1, bahkan ada sebagian
penduduk pesisir dengan alasan untuk bertahan hidup, menjadi semakin
terbiasa untuk memanfaatkan sumber daya pesisir melalui cara-cara yang
bertentangan dengan kaedah pelestarian. Hutan mangrove yang memegang
peranan penting dalam pemeliharaan kelestarian ekosistem
pantai telah
ditebangi secara tidak terkendali. Berbagai jenis ikan karang penghuni
perairan pantai seringkali ditangkapi dengan menggunakan bom atau tenaga
listrik, bahkan dengan menaburkan racun. Lahan pertambakan yang dikelola
investor dijarah beramai-ramai karena merasa tidak mendapatkan bagian
keuntungan secara adil.
Realitas demikian, tentunya harus dapat dipahami secara bijak dan
arif
bagi pengampu kepentingan, dalam setiap mendisain
regulasi dan
kebijakan, yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir, baik dalam
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1
Dalam tataran praktis, adanya kebijakan desentralisasi disektor sumber daya alam, yang
memungkinkan daerah, dengan dalih kepentingan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah
(PAD), terutama pada daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Melalui suatu kebijakan
dan regulasi yang intinya memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan
tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutannya.
"
"
3"
"
skala nasional maupun lokal. Regulasi dan kebijakan pengelolaan wilayah
pesisir, semestinya dapat mengakomodasi keseimbangan/mengkompromikan
antara dua kepentingan yang berbeda. Kepentingan pertama, untuk
mendapatkan manfaat ekonomi dari sumber-sumber kekayaan pesisir dan laut
guna menunjang upaya peningkatan ekonomi
pelaku
usaha dan
kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir. Sedangkan kepentingan yang kedua,
adanya jaminan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan pesisir dan laut
dilakukan secara rasional dan bertanggungjawab, agar dapar berlangsung
dalam jangka waktu yang tidak terbatas dari generasi ke generasi. Perbedaan
kepentingan yang demikian ini, semestinya tidak dimaknai secara dikotomis
atau
dipertentangkan.
mengakomodasi
dua
berkeadilan. Desain
progresif2
dibidang
Melainkan
dicarikan
titik
kepentingan
tersebut
secara
instrumen
temu
proporsional
hukum yang berkarekter
pengelolaan
wilayah
yang
pesisir,
dapat
dan
responsif dan
kiranya
dapat
dipertimbangkan sebagai solusinya.
Apabila
dicermati
secara
normatif,
pengaturan
pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan sebagian besar merupakan urusan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat, sehingga bersifat sektoral sentralistik. Keadaan
ini hendak dirubah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
2
Hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respons atau sarana tanggapan
terhadap kebutuhan dan aspirasi social (Philippe Nonet dan Selznick, Law and Society in
Transition, Toward Responsive Law, Harper Colophone Books, New York, 1978, hal 14-15, 5354 dan 73-76). Dalam hal tipologi hukum ini, juga dikenal istilah lainnya seperti yang dipakai oleh
Mahfud dengan mengutip Marryman yaitu : populistik, ortodoks/elitis/konservatif. (Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1998, halalaman: 25
"
"
4"
"
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang tersebut, Pemerintah
Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional dan agama3. Dalam hubungannya otonomi daerah, maka
pengaturan/hukum yang efektif perlu dilakukan dalam rangka: (1) prakarsa
kebutuhan lokal; (2) lebih memberi peluang kaum miskin untuk terlibat
dalam penentuan kebijakan; (3) ,meningkatkan akses masyarakat pada
pemerintah;
(4)
mengurangi
resistensi
terhadap
pembangunan;
(5)
mengurangi kemacetan administrasi; (6) lebih efektif memobilisasi sumber
daya lokal; (7) lebih mudah membangun koordinasi4.
Meskipun telah diterbitkan UU tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, ternyata belum dapat menghadirkan
pengelolaan
wilayah pesisir
secara memadai dan optimal. Praktek egosektoral dan perebutan klaim
kewenangan serta benturan kepentingan secara tidak proporsional, kerap
terjadi antara departemen satu dengan departemen lainnya, antara pemerintah
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
3
Perubahan masyarakat yang berlangsung cepat dewasa ini, menyebabkan hukum juga
perlu cepat berubah. Salah satu bentuk perubahan tersebut adalah sentralisasi kekuasaan ditangan
Pemerintah Pusat berubah menjadi desentralisasi, yaitu setiap daerah mempunyai otonomi masingmasing untuk mengelola pemerintahan didaerahnya. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan
untuk mengatur, mengurus dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan kepentingan dan potensi
daerahnya, Lihat Dalam, Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum Indonesia, Penerbit
Kurnia Kalam, Yogyakarta, 2005, Halaman: 4-5
4
Lihat dalam Suriansyah Murhani, Pengawasan Pemerintahan Daerah, Mediatama,
Yogyakarta, 2008, halaman: 43
"
"
5"
"
pusat dan pemerintah daerah, terutama apabila didalam kesatuan ruang
terdapat lebih dari satu jenis sumber kekayaan alam.
Padahal
menimbulkan
dan
semestinya,
permasalahan,
kewenangan
apalagi
sampai
sektoral
tidak
menimbulkan
perlu
konflik
kepentingan dan kelembagaan. Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah
ditetapkan batasannya oleh peraturan perundangan tentang pembentukannya,
termasuk batas-batas wilayah yurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang
meliputi seluruh wilayah negara. Oleh karena itu kewenangan dan klaim
teritorial secara eksklusif yang dilakukan oleh sektor-sektor tertentu dapat
dipastikan akan melampaui wewenang yang telah diserahkan kepadanya.
Demikian pula klaim fungsional maupun administratif tidak perlu dilakukan
secara unilateral, karena akan mengacaukan prinsip-prinsip pembagian kerja
setiap sektor. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa wewenang setiap
sektor merupakan visualisasi dari kewenangan negara sebagai satu kesatuan
otoritas.
Bertitik dari kondisi krusial tersebut, maka
dengan
judul:
Implementasi
Desentralisasi
dilakukan
Kewenangan
penelitian
Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Di Kalimantan Barat.
B. PERMASALAHAN
Selaras dengan otonomi daerah yang diiringi dengan semakin
menguatnya tuntutan demokratisasi, peranan masyarakat (stakeholders) di
daerah, maka proses rancang bangun hukum terhadap pengelolaan kawasan
"
"
6"
"
pesisir, pulau-pulau kecil
hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan
integralistik dan sinergisitas dengan sistem nilai dan kelembagaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. Permasalahan krusial terkait
dengan implikasi desentralisasi kewenangan harus dikelola secara bijak.
Pola pengelolaan sumber daya pesisir
dengan relasi konfliktual, harus
dihindari, karena tidak saja berdampak terhadap semakin masifnya degradasi
dan kerusakan lingkungan sumber daya pesisir dan kelautan, namun juga
menimbulkan pragmentasi sosial
yang berujung pada terjadinya konflik
ditengah-tengah masyarakat.
Beritik dari fokus kajian tersebut, maka permasalahan yang dianggap
signifikan untuk diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
pengimplementasian
pelaksanaan
desentralisasi
kewenangan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di
Kalimantan Barat?
2. Mengapa terjadi konflik kepentingan dan kelembagaan
dalam
mengimplementasikan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir
3. Bagaimanakah
mewujudkan
di Kalimantan Barat ?
desentralisasi
kewenangan di bidang
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi
keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian.
"
"
7"
"
Adapun tujuan dalam penelitian meliputi:
a. Mentelaah
dan
mengungkapkan
pelaksanaan
desentralisasi
kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di
Indonesia.
b. Menjelaskan secara komprehensif implikasi krusial
dengan
implementasi desentralisasi kewenangan
sehubungan
Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat
c. Menemukan
solusi yang akomodatif sehubungan dengan adanya
konflik kepentingan dan kelembagaan terkait dengan implementasi
desentralisasi kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
di Kalimantan Barat
2.
Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya
dalam lapangan politik hukum dan penyelenggaraan otonomi daerah
di bidang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan
Barat
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan
pemikiran kepada pemerintah dan legislatif dalam rangka rancangbangun pembaruhuan hukum di bidang Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat.
"
"
8"
"
D. KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan
menurut Wirosuprojo mempunyai makna suatu
perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan
teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai
dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pembangunan merupakan upaya
manusia dalam mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan serta
wilayahnya5 . Ditegaskan oleh Otto Soemarwoto,6, bahwa sumber daya
lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama
eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya regenerasi
atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat digunakan secara lestari. Akan
tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami
kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi
atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan. Menurut Sonny Keraf,
tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup dan SDA yang
terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional,
sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran
dan kerusakan, seperti di laut, pesisir,
hutan, atmosfer, air, tanah, dan
seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab,
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
5
Lihat dalam Worosuprodjo, S.,. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berbasis Spasial
Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada
Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. 2007, halaman
6
Otto Soemarwoto, op. cit., hlm. 59.
"
"
9"
"
tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab
utama dari kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan.7
Terkait hal tersebut, menurut Djajadiningrat8, keberadaan hukum
dibidang sumber daya alam idealnya dapat dipergunakan sebagai instrumen
mengendalikan perilaku manusia, untuk tidak melakukan tindakan yang
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya
alam, sehingga generasi mendatang tetap mempunyai sumber dan penunjang
bagi kesejahteraan dan mutu hidupnya. Namun yang terjadi, seperti yang
diungkapkan Harsanto Nursadi9,
dari perspektif hukum dan kebijakan,
kerusakan SDA dan pencemaran lingkungan hidup cenderung disebabkan
oleh paradigma politik hukum yang dianut pemerintah untuk mengelola SDA
dan lingkungan hidup. Secara konkret, paradigma ini dapat dilihat dari
instrumen hukum (legal instrument) yang digunakan pemerintah
untuk
mengatur penguasaan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Jika
dicermati secara kritis, maka ditemukan fakta hukum bahwa substansi dan
produk hukum negara (state law) dalam bentuk perundang-undangan
mengenai pengelolaan SDA yang ada cenderung bernuansa sentralistik,
bersifat sektoral, bercorak represif, dan mengedepankan pendekatan sekuriti
(security approach).
Menurut Eri Damaryanti, wilayah pesisir dan laut termasuk masuk
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
7
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002, halaman. xiii.
Lihat dalam Djajadiningrat, Imam Hendargo Ismoyo & Rijaluzzaman (Penyunting);
Ecolabelling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, PT.Bina Rena Pariwara, Jakarta,
1995. Dan Ida Bagus Wyasa Putra; Hukum Lingkungan Internasional, Perspektif Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2003, halaman 24
9
Harsanto Nursadi, Perlindungan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Pencemaran Teluk
Buyat (PT Newmont) dan Pembalakan Liar di Tapanuli Selatan (PT Torganda), 2007, halaman 67
8
"
"
10"
"
ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk
dalam kategori sumberdaya komunal. Namun yang kerap terjadi adalah
intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut termasuk
pulau kecil sebagai obyek kepemilikan negara sehingga pengaturannya diurus
secara sepihak oleh negara tanpa mempertimbangkan masyarakat sekitarnya.
Implikasi lebih lanjut, mengakibatkan terciptanya suatu relasi, yang bersifat
subordinasi antara rakyat dengan pemerintah, dalam pengertian bahwa rakyat
dalam posisi yang inferior dan pemerintah kedudukan yang superior.
Organisasi otonom yang ada di masyarakat harus ditundukkan pada “ raksasa
organisasi“, yaitu negara, yang dianggap sebagai pemegang kedaulatan yang
bersifat tunggal untuk mengatur rakyat. Keadaan ini menempatkan hukum
negara dalam posisi di persimpangan, karena sesungguhnya ada organisasi
lain (asli ) yang tetap eksis secara laten berlaku dimasyarakat10.
Lebih lanjut Harsanto Nursadi
11
, menegaskan, selain pengaturan
yang terpisah dari sisi perundang-undangan, kewenangan untuk mengelola
SDA tersebut juga terpisah-pisah pada instansi yang berbeda-beda, sehingga
dalam pengambilan keputusan sering kali terjadi ketidakharmonisan antara
satu instansi dengan instansi lainnya. Kondisi tersebut sebenarnya bukanlah
hal yang salah karena masing-masing instansi mengerjakan tugas pokok
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
10
Dalam perkembangnnya, dikenal dua teori yang memberikan pengertian tentang
kedaulatan. Pertama, monoisme yang menyatakan kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat dibagibagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang tertinggi dalam negara (baik person
maupun institusi). Kedua, Pluralisme, yang menyatakan negara bukanlah satu-satunya organisasi
yang mempunyai kedaulatan. Banyak organisasi-organisasi lain yang berdaulat terhadap orangorang dalam masyarakat, sehingga tugas negara hanyalah mengkoordinir organisasi yang berdaulat
dibidangnya masing-masing, dalam Robert A Dahl“Democracy and Its Critics” sebagai kata ganti
untuk gagasan demokrasi yang semakin meluas, dikutip oleh Hendra Nurtjahjo, dalam Filsafat
Demokrasi, PSHTN-FHUI, 2005, halaman 23
11
Ibid halaman 69
"
"
11"
"
fungsi (”tupoksi”) sesuai yang dimilikinya. Dalam hukum administrasi
negara, tugas pemerintahan tebagi pada instansi-instansi/bagian/sub bagian
yang ada dalam struktur organisasi pemerintahan. Hal yang seharusnya terjadi
adalah koordinasi termasuk dalam pengambilan keputusan di bidang Sumber
Daya Alam.
Mencermati terdapat pertentangan kepentingan-kepentingan
dalam
pengelolaan Sumber daya wilayah pesisir yang terumus dalam instrumen
hukum, maka melalui pemetaan posisi hukum yang diungkapkan Satjipto
Rahardjo12, menunjukkan ada dua kemungkinan posisi hukum, yaitu sebagai
berikut:
(1)
sebagai
sarana
untuk
mencairkan
pertentangan
(conflictoplossing), dan (2) sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya
pertentangan lebih lanjut (conflictversterking). Pada masyarakat yang tidak
berlandaskan kesepakatan nilai-nilai, maka pembentukan hukum selalu
merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang ada dalam
masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya pertentangan nilai-nilai dan
kepentingan dalam masyarakat akan cenderung untuk mendorong dilakukan
pembentukan hukum dengan jalan membuat kompromi di antara hal yang
bertentangan itu. Kompromi ini merupakan pilar pokok dari hukum. Jika
masing-masing pihak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, dan
realitas kebersamaan yang seharusnya dibangun kemudian dilalaikan, maka
secara sosial kehadiran hukum tersebut bersifat disfungsional.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
12
Ibid, Satjipto Raharjo
"
"
12"
"
Ditegaskan oleh Anis Ibrahim13, bahwa proses pembentukan hukum
tersebut menjadi tidak demokratis manakala pengakomodasian nilai-nilai dan
kepentingan masyarakat yang beragam itu didominasi oleh pihak-pihak kuat
dan dominan tertentu. Jika ini terjadi berarti dalam pengelolaan nilai-nilai dan
kepentingan yang berbeda-beda itu pada ujungnya berakhir dengan
penundukan nilai-nilai yang dihayati dan kepentingan golongan yang lemah
oleh golongan yang kuat.
ketidaksinkronan
antara
Adanya suatu kondisi ketidakharmonisan atau
satu
peraturan
perundang-undangan
dengan
peraturan yang lain, baik yang sifatnya sederajat maupun yang ada di
bawahnya, antara lain disebabkan:14
1. Kebijaksanaan-kebijaksanaan antar instansi Pemerintah Pusat yang
saling bertentangan;
2. Adanya perbedaan antara kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
3. Adanya rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
kurang tegas atau jelas dan megundang perbedaan dan penafsiran;
dan
4. Adanya benturan antara wewenang instansi-instansi Pemerintah
karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.
Salah satu upaya untuk menjaga agar desentralisasi kewenangan tetap
berada dalam kesatuan sistem hukum nasional adalah dipegangnya prinsip
bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam menetapkan kebijakan
daerah didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
13
Anis Ibrahim, Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik Dan
Hukum Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Disertasi PDIH Undip,
Semarang 2008, Halaman 174
14
Abdul Bari Azed, “Harmonisasi….”., Op.Cit., Hlm. 364.
"
"
13"
"
samping itu, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam kaitan upaya
harmonisasi produk hukum Pusat dan Daerah, antara lain, yakni:15
a. Pengaturan substansi hukum di Daerah harus dapat memperkuat
sendi-sendi negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum, sendi
kerakyatan (demokrasi), dan sendi kesejahteraan social, dan
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan.
b. Pengaturan substansi produk legislasi Daerah harus diupayakan
sedemikian rupa agar tetap berada di dalam bingkai negara kesatuan
Republik Indonesia. Kondisi-kondisi kekhususan atau keistimewaan
daerah, keberadaan dan penerapan hukum agama dan hukum adat,
serta keraifan local yang akan lebih memperkaya sistem hukum
nasional, harus mendapat tempat yang wajar dalam pengembangan
hukum di daerah.
c. Dari segi pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah, baik Perda
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dapat dilihat setara dengan
undang-undang, dalam arti semata-mata merupakan produk hukum
lembaga legislatif. Namun, dari segi isinya, sudah seharusnya
kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup
wilayah berlaku yang sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih
rendah dibanding dengan peraturan dengan ruang lingkup wilayah
pemberlakuan yang lebih luas. Dengan demikian, Undang-Undang
lebih
tinggi
kedudukannya
daripada
Perda
(Provinsi/Kabupaten/Kota). Karena itu, sesuai prinsip hirarki
peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.
d. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan hukum, termasuk
badan legislative Daerah, mutlak dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi yang menjadi tanggungjawabnya sepanjang yang menyangkut
pengaturan bidang pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga
Daerah, dengan memperhatikan prinsip-prinsip manajemen pada
umumnya guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta
profesionalisme. Untuk bidang legislasi koordinasi antara legislatif
dan eksekutif sangat penting untuk ditingkatkan; dan
e. Pemberdayaan legislasi daerah tidak akan efektif jika tidak disertai
dengan upaya pengembangan budaya hukum atau peningkatan
kesadaran hukum masyarakat.
Untuk menciptakan hukum yang efektif, harus meliputi pembangunan
keseluruhan komponen sistem hukum, seperti yang diajukan Lawrance
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
15
Abdul Bari Azed, Ibid., Hlm 364-366.
"
"
14"
"
Friedman baik yang menyangkut materi hukum (legal substance), struktur
hukum (legal structure) maupun budaya hukum (legal structure) dan sarana
serta prasarana hukum16. Dalam hal ini Arief Sidharta mengusulkan, sistem
hukum pusat dan daerah di Indonesia harus mengandung ciri:
(1). Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara; (2).
Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis
kedaerahan dan keyakinan keagamaan; (3). Sejauh mungkin
berbentuk tertulis dan terunifikasi; (4). Bersifat rasional yang
mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran
(redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai; (5).
Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang
memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan
putusan oleh pemerintah; (6). Responsif terhadap perkembangan
aspirasi dan ekspektasi masyarakat.17
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
16
Lawrence M.Friedman, 1977 The Legal System: A Social Science Perspective, New
York: Russel Sage Foundation, halaman 89
17
Bernand Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum, Mandar Maju Bandung, 2000,
halaman 212
"
"
15"
"
"
BAB II
TINJAUAN TEORETIK TENTANG DESENTRALISASI KEWENANGAN
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR
A. PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DAN PEMBAGIAN
KEWENANGAN
1. Otonomi Daerah dan Pembagian Kewenangan
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang telah diubah,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-undang, sistem
Pemerintahan Indonesia telah memberikan keleluasaan yang sangat luas
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan
otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi,
peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan
memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan
keanekaagaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap
sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional
dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan
terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional.
Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian,
dan
pemanfaatan
sumberdaya
masing-masing
serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta prinsip-prinsip demokrasi,
"
"
15"
16"
"
peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman antar daerah.18
Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan
Pemerintah Pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana
mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah.
Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari
daerah ke tingkat pusat, maka sejak kebijakan otonomi daerah, arus
dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat
penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat
dipelihara dengan sebaik-baiknya, karena dalam sistem yang berlaku
sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah besarnya jurang ketidakadilan
struktural yang tercipta dalam hubungan antar pusat dan daerah19
Esensi kebijakan otonomi daerah sebenarnya berkaitan dengan
gelombang demokratisiasi yang berkembang luas dalam kehidupan
nasional. Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka
restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu
dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi
kewenangan. Jika
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
18
Jimly Asshidiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, disampaikan dalam
“Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan budget bagi Anggota DPRD se-Provinsi (baru) Banten,
yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategic and sciences (IASS), di
Anyer,Banten, 2 Oktober 2000, hal 2
19
Jimly Asshiddiqie; Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai
Pustaka, Jakarta, 1998, hal 51
"
"
17"
"
kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara
vertikal, maka kebijakan dekosentrasi pada pokoknya merupakan
kebijakan
pembagian
kewenangan
birokrasi
pemerintahan
secara
horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan
sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin
demokratis dan berdasar atas hukum,20
Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu
dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan
kewenangan dari pemerintah ke masyarakat. Justru inilah yang harus
dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti
yang sesungguhnya . Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di
daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang
keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.21
Sistem otonomi Indonesia saat ini mengacu pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah , dimana
menjelaskan
bahwa
bentuk
negara
kesatuan
Republik
Indonesia
merupakan amanat konstitusi, dan salah satu ciri negara kesatuan adalah
kekuasaan (power) yang sangat besar di tangan Pemerintah Pusat. Melalui
kekuasaan yang bertumpuk di pusat tersebut, denyut kehidupan dalam
berbagai aspek bernegara dipompakan dari pusat dengan segala
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
20
21
Ibid
Ibid
"
"
18"
"
kelengkapan aparaturnya. Oleh karenanya Pemerintah Daerah praktis
hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat.
Sebagaimana pernyataan menimbang huruf a Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan :
“Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat , serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalm sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
menjelaskan bahwa ; “Pemerintahan Daerah dalam menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Berdasarkan
ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan pemerintah daerah
sebagai daerah otonom dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan
tujuan tertentu untuk pengembangan daerah.
Pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan
daerah otonom untuk mengatur daerah sendiri dan mengurus kepentingan
masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat berdasarkan perundangundangan. Dengan catatan lainnya bahwa otonomi daerah adalah sisi
acuan pemerintah yang ingin melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yaitu
dengan melaksanakan otonomi yang luas dan bertanggungjawab.
"
"
19"
"
Dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu pasal 18 ayat (8)
dinyatakan “Pemerintah Pusat memberikan otonomi yag luas kepada
daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing,
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang
lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”.
Hal-hal yang diatur dan diurus oleh Pemerintah Daerah ialah tugastugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan,
prakarsa dan kemampuan daerahnya.22
2. Implementasi Pembagian Urusan Pemerintah Dalam Skema Otonomi
Daerah.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional tidak dapat dilepaskan dari dinamika otonomi daerah23. Sebagai
daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
menyelenggarakan
kepentingan
masyarakat
berdasarkan
prinsip
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
22
Agus Salim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum,Bogor,
Ghalia Indonesia, 2007, hal 114
23
Sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup
panjang dengan dinamikanya yang mengalami pasang surut. Jika dicermati pelaksanaan otonomi
atau desentralisasi pemerintahan tidak terlepas dari perkembangan konfigurasi politik yang ada,
artinya konfigurasi politik yang ada akan menentukan relasi pemerintah pusat dan daerah.
Konfigurasi politik yang otoriter cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang sentralistik
(dekonsentrasi), dan sebaliknya konfigurasi politik yang demokratis cenderung akan melahirkan
relasi pemerintahan yang desentralistik (otonomi luas). Pada prinsipnya pemberian otonomi daerah
menekankan pada pada aspek keadilan, demokrasi, pemerataan dan partisipasi masyarakat serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan hal ini merupakan bentuk paradigma baru dalam pengelolaan manajemen system
pemerintahan daerah yang berkarekter desntralisasi.
"
"
20"
"
keterbukaan, partisipasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk
mendukung
penyelenggaraan
otonomi
daerah
tersebut
diperlukan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah. Secara
umum, pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi, daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sejalan dengan itu, maka pemerintah mengesahkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, dan
telah diganti dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah24. Secara normatif dalam
Undang-undang tersebut, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri
berdasarkan
aspirasi
masyarakat
dalam
seluruh
bidang
pemerintahan25.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
24
Keluarnya paket kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah
memberikan angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana daerah diberikan
kewenangan yang luas untuk mengelola dan mendayagunakan segenap potensinya untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran masyarakat.
25
Kewenangan sering dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak mengatur
dan mengelola rumah tangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenangan adalah
kekuatan formal perangkat negara untuk mengambil keputusan yang bersifat mengikat dan
memaksa terhadap warga negara. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrumen administratif
untuk mengelola urusan. Dari perspektif pemberdayaan, kewenangan identik dengan “pancing”
yang bisa digunakan oleh pemerintah lokal untuk memancing ikan di kolam, meski kolam dan ikan
itu sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, kewenangan akan memperkuat posisi dan
"
"
21"
"
Realitas dari penyelenggaraan otonomi daerah, ternyata dalam
implementasinya sering melupakan hakekat dari otonomi itu sendiri.
Jiwa
atau semangat otonomi undang-undang pemerintahan daerah tersebut diatas,
adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur
urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup dalam pengertian kesatuan
masyarakat hukum disini tidak hanya pemerintah Kabupaten/ Kota saja,
tetapi
juga
meliputi
para
pelaku
bisnis
lokal,
NGO/organisasi
kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih kecil
seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga dan Rukun
Tetangga. Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak diterima oleh
daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/
Kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya,
undang-undang tentang pemerintahan daerah
lebih mencerminkan
pengaturan tentang “otonomi pemerintahan daerah” dari pada “otonomi
daerah” itu sendiri.
Sesungguhnya dalam penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah
otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada
pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang
sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan
tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom
dalam bertindak. Kewenangan akan membuat otonomi, dan bahkan skala yang lebih tinggi akan
membuat kedaulatan.
"
"
22"
"
secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi enam hal: 1)
politik luar negeri ; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) moneter; 5) yustisi ; 6)
dan agama.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan
pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent
senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada
bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang
diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Urusan yang menjadi kewenangan
daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan
wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan
dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemrintahan yang
bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Tampaknya implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong
terjadinya perubahan secara struktural, fungsional, dan kultural dalam
keseluruhan tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu
perubahan yang sangat esensial berkenaan dengan kedudukan, tugas pokok
dan fungsi Pemerintah
Perwujudan dari tujuan pembangunan hukum di daerah tersebut,
tentunya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pembangunan nasional
secara keseluruhan, yang pedoman dan arah pembangunannya telah
"
"
23"
"
tercantum pada Undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-Nasional) Tahun 2005 s/d
2025. Sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tersebut, maka setiap
pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
berkewajiban
untuk
menyesuaikannya melalui pembuatan Peraturan Daerah tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP-Daerah) dan proses tahapan
pembangunannya dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Menengah Nasional (RPJPM) untuk setiap 5 (lima ) tahun.
Dalam hubungannya pengaturan kewenangan, secara tegas dinyatakan
pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka segala
urusan pemerintahan yang dahulu berada pada pemerintahan pusat, sekarang
berada pada kewenangan pemerintah daerah yang meliputi bidang
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang,
perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan,
kependudukan
dan
catatan
sipil,
pemberdayaan
perempuan
dan
perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial,
ketenagakerjaan dan transmigrasi, koperasi dan usaha kecil dan menengah,
penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olahraga,
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan
umum, administrasi, keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan
persediaan, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan,
"
"
24"
"
perpustakaan, komunikasi dan informasi, pertanian dan ketahanan pangan,
kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan,
perdagangan dan perindustrian.
Dalam konsepsi negara kesatuan pada dasarnya kewenangan
penyelenggaraan urusan pemerintah ada pada pemerintah pusat. Daerah
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan sebagai urusan yang telah
diserahkan atau dilimpahkan kepada daerah. Pola penyerahaan atau
pembagian wewenang ini umumnya menginakan tiga cara, yaitu: (1)
pembagian secara rutin (untravires doctrine); (2) pembagian secra umum
(open anda arragements atau general competence); dan (3) sistem
campuran dari keduanya. Pola Ultravires terbatas pernah diterapkan pada
masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1974, yaitu dengan cara merinci
beberapa kewenangan sebagai urusan pangkal yang ditetapkan dalam
undang– undang tentang pembentukan daerah otonomi dan setiap waktu
dapat ditambah atau ditarik kembali dengan Peraturan Pemerintah. Pola
ultravires secara penuh diterapkan saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004,
yaitu dalam PP No. 38 Tahun 2007. Pola kedua (general competence)
pernah diterapkan dalam berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 dan Penpres No.
6 Tahun 1959. Sementara pola campuran diterapkan melalui UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pola pembagian wewenang
tersebut secara skematik disajikan dalam ragaan dibawah ini:
"
"
25"
"
Ragaan I
Ragam Pola Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Daerah
Pembagian"
wewenang"
Ultravires""
Terbatas""
UU"No."
22/1948FUU"
No.5/1974"
Penuh""
General"
competence"
Campuran""
UU"No."1/1945"
&"Penpres"No."
5/1959"
UU"No."
22/199"
UU"No."
Ultravires"
provinsi"
32/2004"&"PP"
No.38/2007"
General"
competence"
kab/kota"
Pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada daerah,
berdasarkan asas dekonsentrasi dan dapat pula menugaskan kepada daerah
berdasarkan asas tugas perbantu (medebewind). Luasnya kewenangan
tersebut mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
pemerintahan mulai dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan
pengawasan pembangunan. Posisi kemandirian yang begitu luas, bukan
berarti daerah akan berkotak-kotak, terlepas dan bebas dari supervise dari
Penyelenggaraan dan pembinaan pengawasan pemerintah pusat, oleh karena
itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah otonom merupakan subsistem dan sub-organisasi dari pemerintah pusat. Untuk menghindari sistem
"
"
26"
"
negara dalam negara maka penyelenggaraan otonomi daerah harus
berlandaskan pada konstitusi nasional maupun pada peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku secara nasional, meliputi bidang: politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama,
sehingga tidak keluar dari koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Peraturan Daerah Sebagai Sarana Yuridis Dalam Melaksanakan
Otonomi Daerah
Dalam mewujudkan kewenangan daerah dan tugas pembantuan,
memiliki hak dan kewajiban
peraturan daerah
maka masing-masing daerah menerbitkan
kabupaten/kota atau provinsi. Hal ini dilakukan agar
dalam pelaksanaan kewenangan di atas mendapatkan legalitas dan kepastian
dalam pelaksanaannya dengan kata lain peraturan daerah merupakan sarana
yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas
pembantuan.
Mengingat peranan peraturan daerah yang demikian penting, dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunan peraturan (legislasi)
daerah perlu direncanakan dan disusun secara hati-hati. Selain tidak boleh
bertentangan dengan asas kepatutan, kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah yang disusunpun
harus dapat mewujudkan adanya kepastian hukum, kegunaan dan keadilan
di dalam masyarakat. Dengan perencanaan yang matang berbagai perangkat
hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
"
"
27"
"
dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala
prioritas yang jelas.
Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah yang merupakan
sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai
konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan
kemandirian dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu satuan
pemerintahan yang merdeka. Kemandirian itu sendiri mengandung arti
bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti
bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan
perundang-undangan, Dalam hubungan tersebut, maka pemerintahan
daerah,
atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
menetapkan kebijakan daerah, yang dirumuskan dalam berbagai produk
hukum daerah, seperti: Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan
ketentuan daerah lainnya26.
Memperhatikan ketentuan UU No 32 Tahun 2004 pasal 22 huruf n
mengandung suatu prinsip bahwa daerah berkewajiban membentuk
peraturan perundang-undangan. Kalimat ini harus dimaknai sebagai suatu
aturan yang hanya dapat diberlakukan di suatu daerah salah satunya adalah
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
26
Didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah
menggariskan bahwa pembentukan Peraturan daerah adalah dalam kerangka penyelenggaraan
otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan (Pasal 136 ayat (2) dibuat untuk
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1
angka 6). Dengan prinsip “berdasarkan aspirasi masyarakat”. Dalam Penjelasan UU tersebut juga
ditegaskan bahwa “… penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat”.
"
"
28"
"
Peraturan Daerah. Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang strategis,
karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi “ pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Adapun fungsi dari
peraturan daerah itu sendiri27 adalah :
1. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah
dan tugas pembantuan sebagaimana amanat UUD RI Tahun 1945
dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
2. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, serta
penyalur aspirasi masyarakat di daerah. Namun, pengaturannya
tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
3. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan
daerah.
4. Sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan Perda harus tunduk pada ketentuan
hierarki peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang
mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, dalam wadah negara
kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat
subordinat dan independen. Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam
arti luas, sebagai tujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan
kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial
dalam masyarakat dan mejaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di
daerah
yang
bersangkutan
atas
dasar
keadilan,
untuk
mencapai
keseimbangan dan kesejahteraan umum. Secara substansial Peraturan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
27
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI
"
"
29"
"
Daerah mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan
kehendak undang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya
kepada daerah.
Materi muatan Peraturan Daerah termasuk juga Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota tidak dibenarkan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (4) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi”. Sesuai penjelasan Pasal 136 ayat (4) tersebut,
”bertentangan dengan kepentingan umum” dimaksud adalah kebijakan
berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya
pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta
kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa: membentuk
Peraturan Daerah terdapat 3 (tiga) aspek penting yang perlu diperhatikan
oleh setiap Perancang Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
1. Aspek kewenangan, sesuai dipersyaratkan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: Peraturan Perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
"
"
30"
"
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan pembentukan
Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur
dalam : Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:”Pemerintahan Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”; Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 25 huruf c, Pasal 42
ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang masing-masing berbunyi
sebagai berikut:
(1) Pasal 25 huruf c:”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD”;
(2) Pasal 42 ayat (1) huruf a:” DPRD mempunyai tugas dan wewenang
membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama”;
(3) Pasal 136 ayat (1) :”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD”.
"
"
31"
"
Selanjutnya
dalam rangka pelaksanaan kewenangan pembentukan
Peraturan Daerah telah ditetapkan beberapa peraturan yang meliputi:
(1) Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2005 tentang
Program Legislasi Daerah;
(3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah;
(4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;
(5) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ tanggal
25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan
Daerah.
2. Aspek keterbukaan; Setiap pembentukan Peraturan Daerah diperlukan
adanya keterbukaan yaitu pemberian kesempatan kepada masyarakat baik
dari unsur akademisi, praktisi, maupun dari unsur masyarakat terkait
lainnya untuk berpartisipasi, baik dalam proses perencanaan, persiapan,
penyusunan
dan/atau
dalam
pembahasan
Raperda
dengan
cara
memberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau saran
pertimbangan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
3. Aspek Pengawasan yaitu pembentukan Peraturan Daerah dilakukan
pengawasan, baik berupa pengawasan preventif maupun pengawasan
"
"
32"
"
represif terhadap Peraturan Daerah. Pengawasan preventif dilakukan
dalam bentuk evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang
APBD, Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi
Daerah, dan Raperda tentang Penataan Ruang. Terkait dengan
pengawasan preventif, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 903/2429/SJ Tanggal 21 September 2005 tentang
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD/Perubahan APBD
dan
Rancangan
Peraturan
Kepala
Daerah
tentang
Penjabaran
APBD/Perubahan APBD Tahun 2006. Mengenai evaluasi dilakukan
dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum,
menyelaraskan dan menyesuaikan materi Peraturan Daerah dengan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Peraturan Daerah
lainnya.
B. WILAYAH PESISIR DAN SUMBER DAYA PESISIR
Berdasarkan sudut pandang ekologis, wilayah pesisir dan laut yaitu
Estuaria, Hutan Mangrove, Padang Lamun, Terumbu Karang, Pantai (berbatu,
berpasir dan berlumpur) dan Pulau-Pulau Kecil merupakan lokasi beberapa
ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif.
Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.27/2007 PWP-3K) menyebutkan
bahwa: Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
"
"
33"
"
Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik
kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi
di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan
kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ditegaskan
bahwa Perairan pesisir dan laut yang berbatasan dengan daratan melipurti
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria teluk, perairan dangkal,
rawa payau dan laguna.
Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan
perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah antara garis
pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut,
dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta
dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang
materinya berupa kerikil.
Menurut Dahuri, dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir dibatasi
oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup daerahdaerah dimana proses-proses oseanografi (angin laut, pasang-surut, pengaruh
air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua,
kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat
"
"
34"
"
(sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang
disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa
air yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau
sedang) dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar
volumenya.
Karakteristik yang demikian dinyatakan bahwa secara alamiah
wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap).
Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara
massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah
jebakan cemaran (pollutants trap).
Lebih lanjut kawasan pesisir Indonesia terkenal dengan kekayaan dan
keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat
pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber
daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia
yang handal serta didukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan
pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi
pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena
merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut,
serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat
kaya .
Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak
untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk
"
"
35"
"
meregulasi pemanfaatannya.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya
hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang
lamun, mangrove dan biota laut lainnya; sumberdaya nonhayati meliputi
pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur
laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan
berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang
terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di Wilayah Pesisir.
Sumberdaya
pesisir
adalah
sumberdaya
alam,
sumberdaya
binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah
pesisir. Potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok
yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2)
Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan
(4) Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services).
Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang,
rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan
budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Sumberdaya tidak dapat
pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas.
Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal energy convertion),
pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa
lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.
"
"
36"
"
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut
sepertiga dari kewenangan provinsi 12 (duabelas) mil yang meliputi
kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya
alam dan tanggung jawab untuk melestarikannya.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas tentang pengertian
sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati,
sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.
Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove
dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral
dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
C. Desentralisasi
Kewenangan Di Bidang
Pengelolaan
Sumber Daya
Wilayah Pesisir.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini
menegaskan ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
dikenal dengan ideologi hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak
"
"
37"
"
menguasai negara tersebut bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu
pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang hukum publik
kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana
wewenang
tersebut
harus
digunakan
untuk
mencapai
sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sesuai amanat konstitusi tersebut, maka pemanfaatan
kekayaan SDA yang melimpah dalam wilayah NKRI dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian,
kekayaan sumber daya laut dan pesisir yang melimpah tersebut,harus dapat
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Untuk itu dalam rangka penyusunan regulasi dan kebijakan di bidang
pengelolaan Sumber daya pesisir
desentralisasi
sebagai bagian dari pelaksanaan
harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
pemerintahan negara yang digariskan dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesa tahun 1945, Pasal 1 ayat (1): Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, ayat (2): Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ayat (3):
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai salah satu indikator
pembangunan daerah, penyusunan regulasi dan kebijakan di daerah terikat
pada ketentuan Undang-Undang Dasar mengenai Pemerintahan Daerah yang
tercantum dalam Bab VI, Pasal 18 ayat (1): Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Ayat
"
"
38"
"
(2): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Selanjutnya, diatur dalam ayat (5): Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, ayat (6):
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan dan ayat
(7): Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Desentralisasi memberikan peluang kepada daerah yang memiliki
sumber daya alam melimpah untuk terciptanya suatu tata pengelolaan
pemerintahan yang lebih adil, khususnya dalam hal hubungan keuangan dan
pemanfaatan sumber daya alam, dengan pemerintah pusat maupun dengan
daerah lainnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
tercantum dalam Pasal 18A, ayat (1): Hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dan ayat (2): Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Desentralisasi kewenangan di bidang pengelolaan pengelolaan
Sumber daya pesisir
idealnya akan mendorong tata kelola pemerintahan
"
"
39"
"
daerah yang berpihak kepada prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan
berkelanjutan, yang dapat dilakukan oleh daerah yang memiliki potensi
sumber daya alam yang besar namun pemanfaatannya secara ekonomis
beresiko besar terhadap fungsi ekologis. Karena kondisi kewilayahannya,
daerah semacam ini dapat (berpotensi) mengajukan diri sebagai daerah yang
karena kekhasan kondisi alamnya sebagai daerah yang pengelolaannya
bersifat khusus. Daerah yang memiliki kekhasan diberikan pengakuan oleh
negara, sebagaimana datur dalam Pasal 18B ayat (1): Negara mengakui dan
menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan mengenai
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B
ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Secara operasional apabila menyangkut perubahan atau pembentukan
Undang-Undang, dalam rangka pelaksanaan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus maka pemerintah daerah dapat mengusulkan perubahan atau
mengajukan rancangan undang-undang melalui Dewan Perwakilan Daerah.
Mengenai hal ini disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1): Dewan Perwakilan
Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah,
pembentukan
dan
pemekaran
"
"
serta
penggabungan
daerah,
40"
"
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan ayat (2):
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa dalam hal pelaksanaan pemerintahan
daerah, Dewan Perwakilan Daerah memiliki kewenangan pengawasan (Pasal
22D ayat 3), sebagai berikut: Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
"
"
41"
"
D. Keterbatasan Kemampuan Hukum
Di Bidang Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Kalimantan Barat
Pada hakekatnya
pembangunan tidak dapat dilepaskan dari
kebutuhan akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup.
Kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk menunjang
kebutuhan pembangunan bersifat tidak tak-terbatas. Hal ini mengandung
makna bahwa sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembangunan, mau
tidak mau tingkat kelangkaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
hidup akan semakin nyata. Dalam hubungan ini, UUD RI Tahun 1945
sebagai landasan konstitusional dalam bernegara telah menggariskan bahwa
pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk sebesar-besar kemakmuran
seluruh masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan,
penggunaan sumberdaya alam khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil harus sebijaksana mungkin sehingga tidak mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang dapat mengancam kelestariannya28.
Mengingat wilayah pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil biasanya
masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena
termasuk dalam kategori sumberdaya komunal. Namun yang kerap terjadi
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
28
Dalam relasinya tersebut, penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam
proses pembangunan harus memperhatikan konservasi dan upaya rehabilitasi untuk
melestarikannya, keseimbagan alam harus dijaga, dan timbulnya dampak negatif harus
dikendalikan seminimum mungkin. Dalam hubungan ini maka penting diketahui secara tepat
potensi dan kondisi sumber-daya alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang serta
kecenderungan-kecenderungan di masa mendatang. Selain itu juga perlu diperhitungkan kerusakan
dan degradasi lingkungan hidup akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk itu perlu diketahui
berbagai metode untuk menilai potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai dasar bagi
penyusunan kebijakan pengelolaannya.
"
"
42"
"
adalah intervensi negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir, laut
termasuk pulau kecil sebagai obyek proses nasionalisasi atau kepemilikan
negara sehingga pengaturannya diurus oleh negara29. Padahal, seiring dengan
proses nasionalisasi tersebut, pengaturan lokal yang sudah ada menjadi
kehilangan basis legal dan secara perlahan tidak lagi digunakan oleh
masyarakat. Hal ini kemudian mengakibatkan kekosongan pengaturan di
wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya komunal seperti wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Akibatnya
secara de Jure
melekat rejim stated
management, namun kenyataan yang berlaku adalah penggunaan rejim open
access secara de facto30. Artinya, akibat ketidakmampuan negara menegakkan
aturan yang dibuatnya sendiri, kemudian mengakibatkan perubahan sistem
penguasaan yang berdampak terhadap kelangsungan sumberdaya tersebut.
Karena banyaknya wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil yang secara de
facto menjadi open access31, maka terjadilah kegiatan seperti pencurian ikan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
29
Ostrom mencatat ada banyak bukti kegagalan yang ditemukan ketika suatu
pemerintahaan administratif mencoba mengatur suatu sumberdaya komunal dalam cakupan
wilayah yang luas. Pada tahun 1950 sampai dengan 1960-an, masa setelah pasca perang dunia
kedua, banyak negara berkembang menasionalisasikan seluruh wilayah, yaitu tanah dan
perairannya. Namun yang terjadi adalah Negara tidak mampu melakukan pengawasan karena
kekurangan dana maupun personel. Lihat dalam Ostrom, Elinor, 1999, Coping with Tragedies of
the Commons in Annual Reviews (www.Annual Reviews.org), halaman: 32
30
Karakteristik sumber daya yang demikian ini, memberikan kesan seolah-olah
pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (P3K) dapat dikuasai oleh
sembarang orang, disembarang waktu dan oleh sembarang alat. Konstruksi sosial yang seperti,
mengakibatkan kondisi sosial ekonomi bersifat konfliktual antara pemilik modal (umumnya
nelayan pemilik trawl/lamdas) dengan nelayan tradisonal dan nelayan buruh, karena adanya
perbedaan dan keterbatasan akses dalam memanfaatkan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil (P3K) dilaut antara nelayan tradisional dan nelayan pemilik modal, Bandingkan
dalam Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2008, halaman: 16.
31
Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik Bersama (open access) tersebut yakni: (1)
Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi secara ekonomi, 3) Kemiskinan nelayan, dan (4)
Konflik antarpengguna sumberdaya alam. Christy menawarkan solusinya dengan penerapan penggunaan
wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989, halaman 56).
"
"
43"
"
oleh kapal asing, penangkapan ikan dengan metode merusak, pengkaplingan
wilayah laut untuk usaha tertentu, dan lain sebagainya.
Lebih
lanjut,
berdasarkan
pengalaman
di
beberapa
lokasi
sumberdaya komunal, ditemukan32 bahwa: (1) Pemanfaatan berlebih dan
pengrusakkan bukanlah faktor penentu maupun penyebab utama yang harus
dipertimbangkan oleh berbagai pihak pemanfaat jika menghadapi dilema
bersama (common dilemma;. (2). Pemerintah nasional seringkali tidak
berhasil dalam upaya merancang peraturan yang efektif dan seragam untuk
mengatur sumberdaya yang penting dalam satuan ruang yang luas33.
Kondisi dilematis ini merupakan
cermin dari
keterbatasan
kemampuan dari hukum, mengingat kehadiran hukum sesungguhnya untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam asyarakat, maka
hukum di satu pihak memperlihatkan kecenderungan konservatif, arrtinya,
berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, akan
tetapi di lain pihak juga memperlihatkan modernisme, yang berusaha
mendorong dan mengarahkan perubahan. Meskipun secara teoretik selalu
berorientasi untuk mengarahkan perubahan, akan tetapi dalam aras praksis,
hukum memiliki karakteristik “selalu tertinggal dengan objek yang
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
32
Lihat dalam tulisan Coping with Tragedies of the Common oleh Elinor Ostrom, 1999,
Annual Reviews. Kesalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil
http://www.huma.or.id, halaman 4.
33
Temuan di atas kemudian menyampaikan pesan penting yang harus diperhatikan oleh
para pengambil kebijakan untuk pengaturan tenurial wilayah P3K, berdasarkan fungsi dan
ketersediaannya, serta kondisi para pemanfaat yang memiliki akses terhadap sumberdaya komunal
tersebut dan Pemerintah harus berbesar hati untuk memberikan wewenang kepada wilayah yang
menjadi sumberdaya komunal untuk dikelola dan diaturnya sesuai kearifan lokalnya.
"
"
44"
"
diaturnya.” Dari titik ini, tampak betapa letak keterbatasan hukum dengan
mainstream dogmatika hukum atau positivisme hukum34.
Dalam implementasi UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang secara spesifik mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan wilayah pesisir
secara memadai dan optimal.
Praktek egosektoral dan
kewenangan serta benturan kepentingan
terjadi
perebutan klaim
secara tidak proporsional, kerap
antara departemen satu dengan departemen lainnya,
antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama apabila didalam kesatuan
ruang terdapat lebih dari satu jenis sumber kekayaan alam.
Seharusnya kewenangan
sektoral
tidak perlu menimbulkan
permasalahan, apalagi sampai menimbulkan konflik kepentingan dan
kelembagaan. Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah ditetapkan batasannya
oleh peraturan perundangan tentang pembentukannya, termasuk batas-batas
wilayah yurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang meliputi seluruh wilayah
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
34
Positivisme hukum ada dua bentuk; pertama, positivism yuridis. Bahwa hukum
dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivesme
adalah pembentukkan struktur-struktur rasional sitem-sistem yuridis yang berlak. Sebab, hukum
dipandang sebagai hasil pengelolaan ilmiah belaka akibatnya pembentkkan hukum menjadi makin
professional. Dalam positivism yuridis ditambah bahwa hukum adalah closed logical system.
Artinya, peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta
bimbingan dari norma sosil, politik daan moral. Tokohnya seperti R. von Jhering dan John Austin.
Kedua, positivesme sosiologi, hukum dipandang sebagai terbuka bagi kehidupan masyarakat.
Dalam positivesme sosiologi, hukum diangap sebagai terbuka bagi masyarakat, yang harus
diselidiki melalui metode-metode ilmiah; A. Comte, menjadi perintis positivism ini dengan
menciptakan suatu ilmu pengetahuan baru, yakni “Sosiologi” . Aliran ini, paling mencerminkan
hubungan yang erat antara hukum dan negara, lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kaninsius
Yokyakarta, 1991, hal. 32; J.J. von Schmid, Het Denken Over Staat en Recht in de Negentiende
Eeuw, diterjemahkan Boentarman, Erlangga, Jakarta, 1985; juga lihat, Julius Stone, Law and the
Social Sciences in the Second Half Century, University of Minnesota Press, 1966, khususnya,
halaman.9-10
"
"
45"
"
negara. Oleh karena itu kewenangan dan klaim teritorial secara eksklusif yang
dilakukan oleh sektor-sektor tertentu dapat dipastikan akan melampaui
wewenang yang telah diserahkan kepadanya. Demikian pula klaim fungsional
maupun administratif tidak perlu dilakukan secara unilateral, karena akan
mengacaukan prinsip-prinsip pembagian kerja setiap sektor. Secara mendasar
dapat dikatakan bahwa wewenang setiap sektor merupakan visualisasi dari
kewenangan negara sebagai satu kesatuan otoritas.
Perebutan klaim kewenangan serta benturan konflik kepentingan,
bermula karena perbedaan interpretasi maupun implementasi peraturan
perundangundangan. Apabila terjadi permasalahan perundang-undangan
dan/atau interpretasi hukum antara pemerintahan daerah dan pemerintah pusat
penyelesaian dapat ditempuh melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi. Dalam Pasal 24A ayat (1) ditegaskan bahwa: Mahkamah Agung
berwenang
mengadili
pada
tingkat
kasasi,
menguji
peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam Pasal 24C
ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
"
"
46"
"
"
B A B III
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses
penelitian. Penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan
yang sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Penelitian ini merupakan kegiatan
ilmiah yang berupaya untuk memperoleh pemecahan suatu masalah. Karena itu,
penelitian sebagai sarana dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, analisis dan
konstuktif terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, pilihan metode secara sosio-legal35 dianggap
yang tepat. Tipe pendekatan sosio legal ini, menurut Sulistyowati Irianto36
dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empirisrne
kualitatif di dalam satu penelitian/kajian. Dengan demikian kajian hukum,
tidak terkungkung menjadi penelitian dogmatis sekaligus juga tidak liar
menjadi penelitian non-hukum. Penggunaan sekaligus dua pendekatan tersebut
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
35
Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa pendekatan socio legal research
dimaksudkan untuk mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan
lembaga-lembaga sosial lainnya. Disini, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif
yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan
variabel-variabel sosial yang lain. Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat,
disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab (independent variable) yang
menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial (Ronny Hanitijo Soemitro,
Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988, halaman: 34-38).
36
Sulistyowati Irianto, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2009, halaman: 177.
"
"
46"
47"
"
ditujukan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum supaya hukum benarbenar hadir untuk mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi
kalangan marjinal yang realitasnya sering diabaikan dalam studi hukum
normatif.
2. Lokasi Penelitian dan Sampel
Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Kalimantan Barat dengan
focus pada wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten
Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya dengan pertimbangan pada wilayah
tersebut merupakan wilayah pesisir dan Peneliti relatif lebih mengenal dan
dekat dengan lingkungan komunitas sasaran penelitian, sehingga keadaan ini
akan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian lapangan, karena
halangan-halangan, seperti: transportasi, diskusi, perijinan dan birokrasi relatif
mudah untuk di atasi. Hal ini sesuai dengan tipe informasi dalam penelitian
kualitatif sebagaimana dikemukakan Sanapiah Faisal untuk memahami
keadaan yang terbatas jumlahnya, dengan fokus yang mendalam dan rinci.
Metode Sampling yang dipergunakan adalah purposive sampling yaitu
penarikan sampel bertujuan, karena sampel yang diperlukan dalam penelitian
ini harus memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
penelitian.
Berdasarkan tehnik sampling di atas, maka sistem pilihan sampel
yang paling urgen untuk dipergunakan adalah Snow ball sampling
yaitu
memilih (menentukan) salah satu sampel sebagai informan awal selanjutnya
"
"
48"
"
terus menggelinding laksana bola salju kepada sampel-sampel lanjutan dan
baru akan berakhir
pada suatu sampel/informan yang tidak memunculkan
varian baru , dan dalam penelitian ini, masing-masing dipilih 1 (satu) orang
informan awal masing-masing Kabupaten/Kota pada lokasi penelitian yaitu ;
(1) Bappeda; (2) Dinas Kelautan dan Perikanan; (3) Bagian Hukum Setda
Kabupaten/Kota; (4) Balegda DPRD Kabupaten/Kota; (5) Pihak-pihak
lain
terkait yang dianggap mengetahui pokok masalah yang diteliti.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
a. Pengumpulan data primer, dilakukan dengan menggunakan wawancara dan
observasi. Wawancara dalam penelitian ini, peneliti memilih
metode
wawancara tidak berstruktur atau “unstructured interview” yaitu pertanyaan
diajukan secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan
pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan tujuan agar
arahnya lebih terbuka dan bisa didapatkan informasi yang lebih luas, serta
wawancara dapat berlangsung secara lues. Observasi dalam penelitian ini
hanya melakukan pengamatan dengan tidak berpartisipasi aktif atau “nonparticipant observation”. Pada tahap eksplorasi terfokus, penggunaannya
secara terfokus sesuai dengan pilihan domain yang dijadikan fokus
penelitian.
"
"
49"
"
b. Pengumpulan data sekunder41, dilakukan melalui penelitian kepustakaan
(library research)
yaitu penelitian data melalui studi pustaka terhadap
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen atau catatan, literatur,
serta hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisa Data
Analisa data yang dipergunakan adalah model interaktif,
seperti
skema di bawah ini:
Pengumpulan
data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan dan Verifikasi
Model analisis jenis ini diperkenalkan oleh Matthew B. Miles42, yang
mekanisme kerjanya merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus
secara bolak-balik, sehingga masalah reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara
berurutan sebagai satu rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.
Oleh karena itu teknis analisis dari perspektif emic(dari dalam) dan etic (dari
luar) sudah dimulai sejak awal yang dilakukan secara simultan.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
41
lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Op Cit, halaman: 11-12.
Matthew B.Miles, Analisis Data Kualitatif (terjemahan), Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Perss), Jakarta, 1992, halaman: 9
42
"
"
50"
"
"
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Sambas
1.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Sambas
Kabupaten Sambas merupakan
daerah bagian
paling utara
Provinsi Kalimantan Barat yaitu diantara 2°08' Lintang Utara serta
0°33' Lintang Utara dan 108°39' Bujur Timur serta 110°04' Bujur
Timur. Panjang pantai ±198,76 km dan panjang perbatasan negara ±97
km. Secara administratif, l etak geografis Kabupaten Sambas adalah
adalah:
Utara
: Serawak (Malaysia Timur) dan Laut Natuna
Selatan
: Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang
Timur
: Kabupaten Bengkayang dan Serawak
Barat
: Laut Natuna
Luas
Kabupaten
Sambas
memiliki luas daratan adalah
6.395,70 Km² atau sekitar 4,36 persen dari luas wilayah Provinsi
Kalimantan Barat. dengan dikelilingi perairan laut seluas 1.467,84 Km².
Daerah Pemerintahan Kabupaten Sambas
pada tahun 2010
t erbagi menjadi 19 Kecamatan dan 183 Desa serta 1 UPT. Kecamatan
terluas adalah Kecamatan Sajingan Besar dengan luas 1.391,20 km²
atau 21,75 persen sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Salatiga
dengan luas sebesar 82,75 Km² atau 1,29 persen dari luas wilayah
"
"
51"
51"
"
Kabupaten Sambas.
Panjang pantai tiap kecamatan menurut LAPAN (2003) dalam
BPS Kabupaten Sambas (2011) yaitu: Kecamatan Selakau sepanjang
13,51 km; Kecamatan Pemangkat (20,49 km); Kecamatan Jawai dan
Kecamatan Jawai Selatan sepanjang 42,53 km; Kecamatan Teluk
Keramat sepanjang 19,67 km; dan Kecamatan Paloh sepanjang 102,
km.
TABEL 1
Luas Kabupaten Sambas Tiap Kecamatan
No
Kecamatan
Ibukota
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Selakau*
Selakau
Selakau Timur
Selakau Tua
Pemangkat*
Pemangkat
Semparuk
Semparuk
Salatiga*
Salatiga
Tebas
Tebas
Tekarang
Tekarang
Sambas
Sambas
Subah
Subah
Sebawi
Sebawi
Sajad
Tengguli
Jawai*
Sentebang
Jawai Selatan*
Matang Terap
Teluk Keramat
Teluk Kramat
Galing
Galing
Tangaran*
Simpang Empat
Sejangkung
Sejangkung
Sajingan Besar
Sajingan Besar
Paloh*
Liku
Kabupaten Sambas
Sumber : BPS Kabupaten Sambas, 2011
*Kecamatan pesisir
"
"
Luas
(km2)
129,51
162,99
111,00
90,15
82,75
395,64
83,16
246,66
644,55
161,45
94,94
193,99
93,51
554,43
333,00
186,67
291,26
1.391,20
1.148,84
6.395,70
Persentase Luas
(%)
2,02
2,55
1,74
1,41
1,29
6,19
1,30
3,86
10,08
2,52
1,48
3,03
1,46
8,67
5,21
2,92
4,55
21,75
17,96
100,00
52"
"
Sebagai salah satu wilayah kabupaten di Propinsi Kalimantan
Barat, Kabupaten Sambas memiliki karakteristik lokasi yang spesifik
jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia dan perlu
mendapat perhatian dalam kegiatan pembangunan wilayah, yaitu:
a) Memiliki wilayah laut
b) Memiliki perbatasan negara di laut
c) Memiliki wilayah perbatasan negara di daratan
Selama ini terdapat 2 (dua) jalur lintas batas yang menjadi pintu
keluar masuk masyarakat kedua negara secara tradisional, yaitu jalur
Aruk (Kecamatan Sajingan Besar) – Biawak (Sarawak Malaysia) dan
jalur Temajok (Kecamatan Paloh) – Teluk Melano (Sarawak Malaysia).
Wilayah pesisir Kabupaten Sambas merupakan bagian dari
daratan
Propinsi
Kalimantan
Barat
berbatasan
dengan
Laut
Natuna/Laut Cina Selatan, berada pada 2°08’ Lintang Utara serta
0°33’ Lintang Utara.
1.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Sambas memiliki sumberdaya alam yang potensial
terutama
sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
yang
belum
dimanfaatkan secara optimal, padahal sektor Kelautan dan Perikanan
apabila dikelola dengan optimal mempunyai prospek yang menjanjikan
dalam upaya
mendukung pertumbuhan perekonomian, penyediaan
lapangan kerja, sumber protein, wisata dan lain-lain, apalagi Kabupaten
Sambas berbatasan langsung
dengan Laut
"
"
Natuna dan Laut Cina
53"
"
Selatan yang merupakan pintu gerbang pengelolaan wilayah laut
II
pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
1.b.(1) Panjang Pantai
Panjang pantai Kabupaten Sambas menurut LAPAN
(2003) sekitar 198,76 Km dengan rincian sebagai berikut :
! Kecamatan Selakau
: 13,51 Km
! Kecamatan Pemangkat dan Salatiga : 20,49 Km
! Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan : 42,53 Km
! Kecamatan Tangaran
: 19,67 Km
! Kecamatan Paloh
: 102,56 Km
1.b.(2) Hutan Mangrove
Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas memiliki spesies
cukup beragam seperti; Api-api (Avicennia Sp), Bakau
(Rizhopora Sp), Pedada (Sonneratia Sp), Nyirih (Xycarpus
granatum), Berus (Bruguiera Sp) dan Nipah (Nypa)
seluas
7.720,5 Ha dengan rincian sebagai berikut.
TABEL 2
Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Sambas
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Lokasi
Luas (Ha) Kerusakan (ha) Kecamatan
Selakau
102,5
41,0
Selakau
Muara Sungai Selakau
80,0
32,0
Selakau
Sungai Sebangkau & Tj. Bila
152,0
76,0
Pemangkat
Penjajab
10,0
10,0
Pemangkat
S. Sentebang – Prt. Tumpak Urat
186,0
130,2
Jawai
Pampang – Simpang Empat
60,0
36,0
Jawai
Muara Sungai Paloh
660,0
264,0
Paloh
HL. Sungai Bemban
6.430,0
1.326,0
Paloh
Tj. Kalang Bau
40,0
16,0
Jawai
Jumlah
7.720,5
1.931,2
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Sambas Tahun 2012
"
"
54"
"
1.b (3) Terumbu Karang
Terumbu karang yang terdapat di Kabupaten Sambas pada
umumnya adalah terumbu karang pinggiran dan terumbu karang
penghalang. Terumbu karang pinggiran (fringing reefs) yaitu
karang yang tumbuh mulai dari tepian pantai pulau dan banyak
terdapat di Pulau Merendam. Sedangkan terumbu karang
penghalang (barrier reef) merupakan terumbu yang dipisahkan
dari daratan pantai oleh goba/laguna (lagoon). Terumbu karang
ini di Kabupaten Sambas tidak terlalu luas, menyebar dan tidak
muncul ke permukaan pada saat surut terendah ditemukan di
pesisir Kecamatan Paloh yang sebagian besar masih baik.
Daerah terumbu karang ini biasa dikenal dengan nama “Paloh
Niger” dengan luas 1.080 ha dan alur pelayaran dengan luas
2.520 ha dengan kondisi yang masih baik serta Gosong Niger di
Tanjung Datok sekitar ± 10 mil laut dari Tanjung Datok.
1.b.(4) Luas Laut Pengelolaan
Luas Laut Pengelolaan Kabupaten Sambas 1.467,84 Km2.
Kecamatan Paloh yang merupakan kecamatan yang berbatasan
langsung dengan Negara Malaysia memiliki laut pengelolaan
terluas yaitu seluas 758,94 km2.
"
"
55"
"
TABEL 3
Keadaan Luas Laut Pengelolaan di Kabupaten Sambas
No
1.
2.
3.
4.
5.
Luas Laut (Km2)
Kecamatan
Selakau
Pemangkat dan Salatiga
Jawai dan Jawai Selatan
Tangaran
Paloh
Persentase (%)
99,97
151,62
314,72
142,59
758,94
6,81
10,33
21,44
9,71
51,71
Jumlah
1.467,84
100,00
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Sambas Tahun 2012
1.b.(5) Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan data BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat,
Kabupaten Sambas memiliki 6 pulau yang terdiri dari 5 pulau di
daerah pesisir dan 1 buah merupakan pulau pedalaman. Pulaupulau di daerah pesisir antara lain : (1) Pulau Belacan; (2) Pulau
Pikah; (3) Pulau Pontianak; (4) Pulau Tua, dan (5) Pulau
selimpai. Sedangkan Pulau pedalaman adalah Pulau Bungin
yang berada di Kecamatan Sambas. Pulau-pulau tersebut
semuanya tidak berpenghuni kecuali Pulau Selimpai terdapat 20
KK yang mendiami pulau.
TABEL 4
Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Sambas
No.
1.
Pulau
Belacan
Kec.
Jawai
Selatan
Arti
Terasi
Sejarah
Nama
Bentukny
a
menyerup
ai terasi,
"
"
Koordinat
Lintan
Bujur
g
1011’43 108058’
” LU
06” BT
Keterangan
TBP,
batuan
cadas,
pohonpohon besar, ada
mercusuar,
luas
56"
"
No.
Pulau
2.
Pikah
3.
Pontianak
4.
Tua
5.
Selimpai
6.
Kec.
Arti
Sejarah
Nama
dulu
diimiliki
oleh
Panglima
Daud
Dulu
banyak
bekatan
1012’22
” LU
108057’
22” BT
1016’10
” LU
108058’
59” BT
Tua
1043’29
” LU
109015’
24” BT
Selamat
datang
1049’19
” LU
109020’
06” BT
Sejenis
kera
Pecahan
dari Pulau
Panjang
yang ada
di
Pontianak
Paloh
Keterangan
900 m2
TBP,
dikelilingi
batuan cadas, ada
daratan
di
tengahnya, keliling
200 m, potensi
pariwisata,
kepemilikan
penduduk
setempat
TBP,
dikelilingi
batuan cadas, ada
pohon mangga dan
kelapa,
keliling
500 m, potensi
pariwisata, tampat
singgah nelayan,
terdapat
karang
langka
bernama
karang
puting
beliung,
di
Indonesia ada 2
tempat yaitu di
Bali
&
Pulau
Pantian
TBP, ada kebun
kelapa & cemara,
luasnya kira-kira
1,5 ha, pada bulan
April & Juni ada
penyu
bertelur,
potensi pariwisata
Berpenghuni ada
20
KK,
mata
pencaharian
berkebun
dan
nelayan,
tempat
penangkaran
penyu, luas 10 ha,
ada pohon cemara
TBP,
pantai
berbakau,
ditengahnya
terdapat daratan
Ada kapal 1023’24 109014’
karam & ” LU
36” BT
terjadi
sedimenta
si
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten
Sambas Tahun 2012
Bungin
Sambas
Gundukan
"
"
Koordinat
Lintan
Bujur
g
57"
"
1.b.(6) Konservasi Pesisir
Kawasan konservasi pesisir yang terdapat di Kabupaten
Sambas berupa Suaka Alam Laut (SAL), Taman Wisata Alam
(TWA), dan Cagar Alam (CA) dengan luas total 277,68 km².
Kawasan suaka alam laut berada di dua lokasi yaitu SAL
Tanjung Belimbing/Selimpai dan SAL Sungai Liku dengan luas
masing-masing sekitar 9,26 km2 dan 1,54 km².
Gambar 1 Suaka Alam Laut Tanjung Belimbing (Selimpai) Paloh
1.b.(7) Wisata Pesisir
Pariwisata salah satu sektor yang dapat meningkatkan
perekonomian daerah sekaligus dapat menciptakan lapangan
kerja serta kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah.
Dengan keragaman jenis tempat wisata yang ada di
Kabupaten Sambas, maka Kabupaten Sambas berpotensi untuk
pengembangan
dan
pendayagunaan
berbagai
potensi
kepariwisataan karena memiliki keindahan alam yang sangat
"
"
58"
"
baik untuk pariwisata, sehingga Kabupaten Sambas lebih
dikenal
sebagai
daerah
tujuan
wisata
oleh
masyarakat
Kalimantan Barat. Kawasan pesisir yang merupakan bagian dari
wilayah Kabupaten Sambas juga memiliki potensi pariwisata
yang cukup potensial untuk dikembangkan, baik pariwisata
pantai dan bahari, pariwisata religius maupun pariwisata buatan.
TABEL 5
Obyek Wisata Di Wilayah Kabupaten Sambas
No Kecamatan
1
2
Selakau
Salatiga
3
Pemangkat
4
5
Jawai
Selatan
Jawai
6
Paloh
Nama Obyek Wisata
1. Pantai Polaria
Jenis Wisata
2. Masjid Siradjul
Islam
Parit Baru
Pantai Laut dan
Gunung Batu
Wisata Sejarah
1. Air Terjun
2. Taman Rekreasi
G.Selindung
3. Pantai Tanjung
Gunung
Parit Pasir
Selindung
Wisata Alam
Wisata Alam
Parit Baru
Wisata Alam
Taman Rekreasi Tj.
Batu
1. Pantai Kalang Bau
2. Pantai Bukit Raya
1. Pantai Dungun Laut
2. Pantai Sentebang
1. Pantai Tanah Hitam
2. Goa Batu Belidak
3. Pantai Pulau Tua
4. Pantai rekreasi G.
Besi
5. Air Terjun B.
Lintang
6. Pantai Tj. Selimpai
Pemangkat
Kota
Jawai Laut
Jawai Laut
Dungun Laut
Sentebang
Tanah Hitam
Tanah Hitam
Nibung
Nibung
Wisata Alam
Sebubus
Wisata Alam
Sebubus
7. Batu Bejamban
Sebubus
Pantai Lokasi
Penyu
Wisata Alam
"
"
Lokasi
( Desa)
Sungai Rusa
Pantai Laut Bahari
Pantai laut bahari
Pantai Laut Bahari
Pantai Laut Bahari
Pantai Laut
Wisata Alam
Pantai Laut
Wisata Alam
59"
"
8. Pantai Temajuk
Sebubus
Pantai Laut
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Sambas Tahun 2012
1.b (8) Perikanan
Pesisir dan laut Kabupaten Sambas cukup luas, sehingga
sebagian
besar
penduduk
di
kecamatan
pesisir
bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembudidaya ikan.
Setiap tahun, jumlah nelayan dan pembudidaya ikan meningkat
kecuali pada pembudidaya keramba air laut yang mengalami
penurunan. Untuk nelayan, sebagian besar menangkap ikan di
laut daripada perairan umum. Sedangkan untuk nelayan,
sebagian besar membudidayakan ikan di tambak daripada di
kolam, keramba air tawar maupun keramba air laut.
Masyarakat
perikanan
di
Kabupaten
Sambas
juga
memiliki kelompok-kelompok yang terdiri dari Kelompok
Pembudidaya Ikan, Kelompok Usaha Bersama di bidang
penangkapan ikan dan Kelompok Pengolahan dan Pemasaran.
Dengan adanya kelompok-kelompok ini diharapkan antar
anggotanya dapat saling bekerja sama, saling membantu untuk
kesejahteraan anggota kelompoknya.
1.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Wp-3-K)
Keberadaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian,
"
"
60"
"
permasalahan dan kendala yang dihadapinya juga cukup besar yang
tidak mudah untuk diatasi. Permasalahan utama yang dihadapi antara
lain adalah pencemaran laut akibat pembuangan limbah, pencurian ikan,
penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing), degradasi habitat
pesisir dan pulau-pulau kecil (mangrove, terumbu karang, padang
lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumber daya,
belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai,
terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi,
dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah
pesisir, khususnya petani ikan dan nelayan skala kecil. Permasalahan
tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembangunan
yang
tidak
memperhatikan
konsep
keberlanjutan/lestari
dan
keterpaduan. Pembangunan kelautan dan perikanan dituntut untuk
terpadu antar sektor dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan untuk
keberlanjutan.
Dengan 7 (tujuh) Kecamatan yang terletak di pesisir dari 19
Kecamatan yang ada dengan panjang pantai 198,76 meter, Kabupaten
Sambas tentunya memiliki keunggulan yaitu potensi sumberdaya alam
yang dapat dikembangkan, dan apabila dikelola secara maksimal akan
mendapatkan profit. Selain itu mempunyai tanggung jawab untuk dapat
menjaga kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya alam tersebut.
Kawasan pesisir termasuk dalam kategori kawasan sensitif atau rentan
terhadap berbagai tekanan. Kesalahan dalam mengidentifikasi berbagai
"
"
61"
"
isu dan permasalahan di kawasan pesisir, akan mengakibatkan
kesalahan/kurang tepatnya pengelolaan wilayah tersebut. Identifikasi
isu dan permasalahan di kawasan pesisir sangat penting dilakukan
sebagai dasar dalam perencanaan wilayah dalam rangka pengelolaan
kawasan pesisir yang lestari dan berkelanjutan.
Identifikasi isu-isu strategis pengelolaan WP-3-K di Kabupaten
Sambas merupakan “grand design” yang menggambarkan arah dan
sasaran pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum.
Identifikasi ini berangkat dari isu-isu pengelolaan masing-masing
kecamatan. Akan tetapi, karakteristik isu-isu pengelolaan ini di
Kabupaten Sambas cenderung seragam hanya pada kecamatan tertentu
perlu menjadi perhatian utama, misalnya untuk kecamatan atau daerah
perbatasan.
Isu-isu strategis pengelolaan WP-3-K Kabupaten Sambas, antara lain;
1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia;
Tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat pesisir/nelayan rendah
merupakan suatu isu yang berkembang Indonesia, salah satu
penyebab dari rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian baik
formal maupun non-formal diakibatkan pola pikir yang secara turun
temurun diadopsi oleh masyarakat pesisir dimana pendidikan bukan
hal mutlak untuk meningkatkan kesejahteraan, dimana dengan
ketersediaan sumberdaya perikanan yang melimpah dan melakukan
aktifitas di laut dengan sendirinya kebutuhan dapat terpenuhi.
"
"
62"
"
Kenyataannya dengan perkembangan yang pesat ditambah terjadinya
kerusakan ekosistem pesisir menyebabkan hasil tangkapan ikan
menurun dan produktifitas perairan juga rendah, menyebabkan
masyarakat semakin terpuruk.
2) Mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim global;
Bencana yang timbul di pesisir Kabupaten Sambas adalah
sedimentasi, abrasi, intrusi air laut, banjir pasang (rob) karena
kenaikan muka air laut. Elevasi kawasan pesisir yang cenderung
hampir datar ini menyebabkan banjir pasang (rob) terjadi hingga ke
pemukiman warga. Terutama saat pasang tertinggi, rumah-rumah
banyak yang terendam. Keadaan banjir sangat rawan terjadi pada
saat air dalam keadaan pasang terutama pada bulan-bulan yang
memiliki curah hujan tinggi (Oktober-Januari).
Gambar 2 Abrasi di Pantai
"
"
63"
"
3) Pengembangan sarana dan prasarana yang kurang memadai
dan hankam khususnya daerah perbatasan;
Khususnya di Kecamatan Paloh yang merupakan kecamatan pesisir
yang berbatasan dengan negara Malaysia. Infrastruktur dan
aksesibilitas di kecamatan tersebut masih minim. Kaitannya dengan
pertahanan dan keamanan, maka kecamatan ini harusnya lebih
diprioritaskan untuk saat sekarang. Apabila infrastruktur dan
aksesibilitas telah memadai tentunya akan berdampak positif bagi
perekonomian di daerah tersebut.
4) Penataan kesadaran, kepastian, penegakan dan kedaulatan
hukum;
Rendahnya kesadaran dan penegakan hukum tidak terlepas dari
rendahnya
kualitas
sumberdaya
manusia
baik
di
kalangan
masyarakat maupun aparat penegak hukum yang berada di wilayah
pesisir. Lemahnya penaatan dan penegakan hukum ini antara lain
tercermin dari sikap dan pengetahuan masyarakat tentang hukum
yang
masih
rendah,
khususnya
yang
berhubungan
dengan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Beberapa masalah yang sering muncul antara lain banyaknya
nelayan yang menangkap ikan dengan cara-cara merusak seperti
pengeboman atau dengan potas (racun sianida), belum dipatuhinya
"
"
64"
"
batas/jalur penangkapan yang telah dibuat, dan banyaknya
penebangan hutan mangrove di daerah sempadan pantai.
5) Pencemaran, degradasi dan konservasi sumberdaya hayati;
Wilayah pesisir merupakan tempat terakumulasinya segala macam
limbah yang dibawa melalui aliran air, baik limbah cair maupun
padat. Sampah sering ditemukan berserakan di sepanjang pantai dan
semakin banyak di dekat permukiman, khususnya permukiman yang
membelakangi pantai. Permukiman seperti itu dikategorikan sebagai
permukiman
kumuh
yang
fasilitas
sanitasi
dan
kebersihan
lingkungannya sangat buruk.
6) Pengembangan ekonomi, wisata bahari dan peningkatan
kesejahteraan;
Wilayah pesisir Kabupaten Sambas memiliki banyak obyek wisata
pesisir atau wisata bahari. Pengembangan wisata bahari tidak hanya
tergantung dari faktor sumberdaya alam saja, tetapi perlu
memperhitungkan faktor lain yang tidak kalah pentingnya seperti,
penyediaan fasilitas, aksesibilitas, keamanan dan sikap masyarakat
sekitarnya dalam menerima kedatangan pengunjung.
7) Pengelolaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya;
Penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak, seperti lampara
dasar
(lamdas)
dapat
merusak
ekosistem
perairan,
dimana
berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kabupaten Sambas
tahun 2011, jumlah alat tangkap lamdas yang beroperasi di daerah
"
"
65"
"
ini berjumlah 240 unit atau 7,3%. Dengan pengoperasian alat
tangkap tersebut, maka dasar perairan teraduk terus-menerus,
mengalami kerusakan dan berperan dalam proses abrasi akibat dari
tidak adanya penahan arus dari dasar perairan. Dengan rusaknya
ekosistem dasar perairan, maka akan mengakibatkan degradasi
sumberdaya perikanan di daerah tersebut
8) Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat;
Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil
perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik
partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat
dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembagalembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain
itu, dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat
nilai produk perikanan.
9) Integrasi penataan ruang.
Penyusunan rencana tata ruang yang telah dilakukan selama ini
belum mengintegrasikan wilayah pesisir, baik dalam RTRW
Propinsi
maupun
RTRW
Kabupaten.
Dalam
kenyataannya,
pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyak
terjadi pelanggaran, misalnya pendirian bangunan dan atau
pengusahaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan
rusaknya hutan mangrove di jalur hijau (green belt). Belum adanya
penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir berkaitan erat dengan
"
"
66"
"
belum adanya peraturan yang mendukung secara tegas upaya
penataan ruang wilayah pesisir tersebut.
Penataan ruang merupakan salah satu usaha untuk menekan
terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk
pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan
jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir
semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumberdaya wilayah
pesisir tetap atau cenderung berkurang. Di sisi lain pemanfaatan
sumberdaya wilayah pesisir yang ada saat ini kurang ramah
lingkungan dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini akhirnya akan
menurunkan daya dukung sumberdaya wilayah pesisir. Untuk itu,
perlu integrasi antar pemangku kepentingan dalam penyusunan tata
ruang agar terintegrasi dan meminimalisir konflik.
2. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota Singkawang
2.a. Gambaran Umum dan Kondisi Georafis Kota Singkawang
Kota Singkawang merupakan Pemerintah Kota di Kalimantan
Barat yang terbentuk pada tanggal 17 Oktober 2001 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001. Kota ini terbentuk dari
pemekaran wilayah Kabupaten Bengkayang dengan luas wilayah 504
km2 (50.400 Ha).
Secara geografis Kota Singkawang terletak antara 1080 51’
47.6” sampai dengan 1090 10’ 19” Bujur Timur (BT) dan antara 000
44’ 55.85” sampai dengan 010
"
"
01’ 21.51” Lintas Utara (LU) dan
67"
"
berbatasan dangan wilayah sebagai berikut (Kota Singkawang Dalam
Angka 2009) :
! Sebelah Utara dengan Kabupaten Sambas
! Sebelah Selatan dan Timur dengan Kabupaten Bengkayang
! Sebelah Barat dengan Laut Natuna
Dengan kondisi geografis demikian maka Kota Singkawang
mempunyai hinterland yang meliputi Kab. Sambas, Kab. Bengkayang,
Kab. Landak dan Kab. Pontianak yang dapat merupakan suatu kawasan
pertumbuhan.
Jalur
sutra
Pontianak-Singkawang-Sambas
dan
jalur
Singkawang- Bengkayang-Jagoi Babang merupakan urat nadi penting
dalam sIstem transportasi eksternal Kota Singkawang. Selain itu Kota
Singkawang juga mempunyai akses mudah hubungan keluar negeri
(Sarawak-Malaysia) melalui Pos Lintas Batas (PLB) Entikong, Kab.
Sanggau dan ke depan juga akan dikembangkan akses keluar negeri
Malaysia dan Brunei melalui Aruk (Kab. Sambas) dan Jagoi Babang
(Kab. Bengkayang) serta tidak begitu jauh jaraknya dengan Natuna,
Batam dan Singapura. Hal inilah yang menjadikan Kota Singkawang
sangat strategis letaknya dan dapat menjadi pusat pertumbuhan dan
pusat
bisnis/perdagangan
di
wilayah
Bengkayang-Sambas) dan sekitarnya.
"
"
Singbebas
(Singkawang-
68"
"
2.a.(1). Oseanografi
Karakteristik oseanografi diambil dari sekitar Pantai
Kota Singkawang yang terletak disisi Kota Singkawang yang
memiliki kontur pantai yang landai dan sebagian curam.
Kedalaman perairan di kawasan/wilayah ini sudah mencapai
200 m pada beberapa meter dari pantai. Selanjutnya teluk yang
merupakan perairan laut di depan Kota Singkawang,
mempunyai kedalaman 320 m pada bagian terjal. Di sebelah
Selatan, perairan Singkawang yang berbatasan dengan perairan
Kabupaten Pontianak yang berhubungan bebas dengan Selat
Karimata dan Laut Natuna.
2.a.(2) Pasang-Surut
Pasang
surut
adalah
fenomena
naik
turunnya
permukaan air laut. Setiap daerah memiliki tipe pasang surut
yang berbeda, tergantung dari letak geografis, kontur
kedalaman dan morfologi pantai. Pola pasang-surut di perairan
Singkawang diperkirakan memiliki ciri-ciri yang sama dengan
pola pasut di perairan pantai Barat Provinsi Kalimantan Barat
secara keseluruhan. Pola pasut di perairan Singkawang
merupakan rambatan pasut dari perairan yang jauh lebih luas
yaitu Lautan Cina Selatan. Untuk sampai ke perairan
Singkawang, rambatan pasut Lautan Cina Selatan dapat
melalui dua kemungkinan. Pertama, melalui Laut Natuna,
"
"
69"
"
masuk ke perairan Kalimantan Barat arah Barat, selanjutnya
masuk ke perairan Singkawang dari arah Utara. Kedua, melalui
Laut Jawa di sebelah Selatan Pulau Kalimantan, kemudian
membelok ke Utara memasuki selat karimata dan terus menuju
perairan Singkawang. Di sebelah Selatan perairan Singkawang
dibatasi oleh celah-celah yang sempit dan oleh pulau-pulau
kecil seperti pulau Kabung, Lemukutan, dan Talang Besar.
Melihat kondisi tersebut, rambatan pasut menuju perairan
Singkawang lebih terbuka dari arah Selatan dibandingkan dari
arah Utara.
2.a.(4) Topografi
Kota Singkawang merupakan kota pantai sekaligus
perbukitan. Kondisi topografi Kota Singkawang meliputi
dataran tinggi (pegunungan) terdapat pada bagian Selatan dan
Timur, landai / datar di bagian Tengah, Barat dan Utara dengan
ketinggian 0 – 2 M DPL serta berbatasan dengan pantai pada
bagian sisi Barat. Kota Singkawang juga dialiri oleh Sungai
Singkawang dan beberapa sungai kecil lainnya. Sungai
Singkawang mengalir dari Timur menyusuri kaki perbukitan
ke arah Barat. Daerah hulu atau bagian timur Kota Singkawang
adalah perbukitan dengan puncak tertinggi terdapat pada
beberapa gunung seperti Gunung Pasi (± 770 m) dan Gunung
Raya (± 947 m). Kemiringan di daerah perbukitan antara 10 %
"
"
70"
"
sampai 30 % sedangkan di daerah puncak antara 30 % sampai
dengan 60 % dan daerah Tengah dan hilir merupakan dataran.
Di daerah bagian tengah kota yaitu di sekitar sungai terdapat
daerah berupa rawa-rawa.
2.b. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Singkawang
Adapun potensi sumber daya
pesisir dan laut di Kota
Singkawang adalah sebagai berikut:
2.b.(1). Panjang Pantai
Panjang pantai Kota Singkawang ± 27,60 Km terbentang dari
Kelurahan Sedau Kecamatan Singkawang Selatan sampai
Kelurahan Semelagi Kecil Kecamatan Singkawang Utara.
Potensi pantai yang tidak terlalu panjang ini menyediakan
berbagai potensi sumber daya alam (SDA) hayati (misalnya
ikan, udang, lobster) dan non hayati (pantai berpasir yang
indah, terumbu karang) yang cukup dan beragam. Di daerah
pantai
dikembangkan
tambak
udang
bagi
kecamatan
Singkawang Utara maupun objek wisata pantai yang spesifik
bagi Kecamatan Singkawang Selatan yang bersempadan
langsung dengan laut. Akan tetapi sumber daya alam di
wilayah pantai banyak yang belum dikelola dengan baik
sehingga manfaat riil secara berkelanjutan belum dirasakan
manfaatnya secara optimal oleh masyarakat di wilayah pantai
"
"
71"
"
serta belum mampu memberikan kontribusi PAD yang tinggi
kepada Pemerintah Kota Singkawang.
2.b.(2). Luas Laut
Luas laut Kota Singkawang sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang dihitung secara vertikal kearah laut sepanjang 4 mil
adalah 157,648 Km2 (15.764 Ha).
Potensi laut di Kota
Singkawang selain kaya akan berbagai jenis ikan dan udang,
juga sangat potensial bagi pengembangan wisata bahari.
2.b.(3). Hutan Mangrove
Hutan Mangrove di Kota Singkawang memiliki spesies
cukup
beragam
ditumbuhi
vegetasi
mangrove
dengan
penyebaran yang tidak merata. Kondisi pantai yang terjal dan
sempit, mangrove yang tumbuh di lokasi ini sangat tipis yang
umumnya didominasi oleh jenis Api-api (Avicennia Alba Sp),
Rhizaphora mucronata, R.conjugata, Bruguiera parviflora,
Ceriops decandra, Bakau (Rizhopora Sp), dan Nipah (Nypa).
Dari panjang pantai yang ditumbuhi mangrove hanya sekitar
15 % dari luas 726,30 Ha lahan mangrove yang ada.
Siklus perkembangan perikanan dimulai dari terumbu
karang dan hutan mangrove, Kota Singkawang mempunyai
potensi hutan manggrove yang cukup besar akan tetapi 80 %
sudah mengalami kerusakan. Potensi yang terdapat di hutan
"
"
72"
"
mangrove antara lain beberapa jenis flora dan fauna yang
biasanya hidup di habitat pesisir:
TABEL 6
Vegetasi Mangrove dan Fauna
Vegetasi mangrove di wilayah pesisir Kota
Singkawang:
Fauna penting yang tinggal di
mangrove :
" Biasanya berasosiasi dengan terumbu
karang: Bakau (Rhizophora mucronata)
" Pada lahan yang baru terbentuk : Api-api
(Avicennia marina dan Avicennia alba)
" Di daerah hulu : Nipah (Nypa fruticans),
Pedada (Sonneratia caseolaris) dan
Xylocarpus granatum
Untuk itu diperlukan
" Kepiting bakau (Scylla serrata)
" Udang, udang galah, dan
berbagai jenis ikan laut
(kerapu,kakap dll)
" Udang lobster
perhatian yang serius dari semua
pihak dalam memperbaiki kondisi mangrove, agar dapat
meningkatkan produksi hayati dari hutan mangrove tersebut.
2.b.(4). Terumbu Karang dan Padang Lamun
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling
produktif dan paling tinggi keragaman hayatinya. Fungsi dan
manfaat terumbu karang bagi Kota Singkawang antara lain : 1)
Tempat hidup (habitat) berbagai biota laut, 2) Sebagai
pelindung pantai dari erosi, dan 3) Sebagai tempat objek
wisata.
Terumbu karang yang terdapat di Kota Singkawang
dengan luas 31 Ha pada umumnya adalah terumbu karang
pinggiran dan terumbu karang penghalang. Terumbu karang
pinggiran (fringing reefs) yaitu karang yang tumbuh mulai dari
"
"
73"
"
tepian pantai pulau dan banyak terdapat di Pulau Simping.
Sedangkan
terumbu
karang
penghalang
(barrier
reef)
merupakan terumbu yang dipisahkan dari daratan pantai oleh
goba/laguna
(lagoon).
Terumbu
karang
ini
di
Kota
Singkawang tidak terlalu luas, menyebar dan tidak muncul ke
permukaan pada saat surut terendah ditemukan di pesisir
Sedau Kecamatan Singkawang Selatan yang sebagian besar
55-70 % kondisi karang masih hidup (baik), sedangkan di
beberapa tempat lain sebagian besar 66,7-71,7 % dalam
keadaan mati (rusak). Dilihat dari jenis-jenis ikan karang yang
hidup di perairan tersebut masih banyak. Hal ini terlihat dari
jenis ikan hias yang tertangkap di perairan Pantai Singkawang,
meliputi antara lain ikan kepe-kepe, pakol, bendera dan lepu
ayam.
Lamun merupakan tumbuhan laut berbunga sejati
(Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di
perairan yang salinitasnya cukup tinggi. Padang lamun di Kota
Singkawang dan sekitarnya terdapat di perairan pantai yang
landai, tenang dan terlindung, di dataran lumpur/pasir pada
batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di
dataran terumbu karang, seperti di sekitar teluk dan pulaupulau kecil di sekitar Kota Singkawang.
"
"
74"
"
Ekosistem padang lamun mempunyai produktivitas
tinggi yang menghasilkan senyawa organik yang dihasilkan
lamun masuk ke dalam rantai makanan, melalui hewan-hewan
herbivora atau melalui proses dekomposisi berbagai serasah.
Keberadaan ekosistem lamun penting bagi ekosistem terumbu
karang dan bakau di Kota Singkawang sebagai penyangga dan
mempunyai interaksi di antara ketiga ekosistem tersebut.
Keanekaragaman biota padang lamun juga cukup tinggi,
diantaranya sejumlah invertebrata, yaitu moluska, (Pinna,
Lambis dan Strombus), Echinodermata (teripang, bulu babi
dan bintang laut), krustasea (udang dan kepiting), serta
beberapa jenis polychaeta.
Ancaman yang dihadapi ekosistem padang lamun di
Kota Singkawang dan sekitarnya antara lain sebagai berikut :
1. Gangguan
fisik
akibat
pengerukan,
penimbunan,
pembangunan tambak dan lalu lintas perahu atau kapal.
2. Penangkapan ikan dengan racun dan bom.
2.b.(5). Objek Wisata
Obyek wisata ini dapat dijangkau dengan mudah dari
pusat kota Singkawang. Taman wisata pantai di Taman Pasir
Panjang Indah, Palm Beach, dan Sinka Island adalah kawasan
wisata bahari yang paling terkenal di Kota Singkawang, selain
"
"
75"
"
karena keindahan alamnya, juga karena kemudahan untuk
mencapai lokasinya.
TABEL 7
Objek Wisata Pantai Yang Sudah Dikelola Di Kota Singkawang
Berdasarkan Kecamatan
No
1.
Kecamatan
Singkawang
Selatan
Nama Objek
1. Taman Pasir Panjang
Indah
2. Palm Beach
3. Sinka Island
- Sinka Zoo
-Rindu Alam
-Pasir Pendek
Wisata
Lokasi
(Desa)
Pasir Panjang
Pasir Panjang
Sedau
Jenis
Wisata
Ket.
Pantai
Pantai
Pantai dan
Kebun
Binatang
Sumber : Renstra Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Singkawang, 2009
2.c. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil Kota Singkawang
Isu - isu
pengelolaan di wilayah pesisir Kota Singkawang
merupakan isu-isu pokok yang menjadi prioritas adalah :
1) Rendahnya Sumber Daya Manusia dan Dukungan Teknologi Di
Wilayah Pesisir
Sumber daya manusia pengelola wilayah pesisir di Kota
Singkawang relatif masih rendah dibandingkan dengan besarnya
potensi di wilayah pesisir. Tingkat pendidikan formal pengelola
(pemanfaat) wilayah pesisir rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sehingga
"
"
76"
"
sistem pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumber daya wilayah
pesisir masih banyak yang bersifat tradisional (baik itu perikanan
tangkap maupun perikanan budidaya).
Dukungan teknologi di wilayah pesisir dirasakan masih
minim, baik itu teknologi penangkapan ikan, budidaya perikanan,
maupun teknologi pengolahan hasil perikanan. Aktivitas nelayan
tangkap, petani budidaya maupun pengolahan hasil perikanan hanya
mengandalkan pengalaman yang didapat secara turun temurun,
sehingga hasilnya belum optimal.
2) Degradasi Habitat Wilayah Pesisir
Sumber Daya Wilayah Pesisir Kota Singkawang dari hari ke
hari terus mengalami penurunan kualitasnya, terutama menyangkut
kerusakan terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove
(termasuk abrasi pantai). Seperti umumnya kerusakan pantai
menurut penyebabnya terjadi dibagi menjadi dua katagori, yaitu
kerusakan yang disebabkan oleh alam dan kerusakan oleh manusia.
Akibat alam adalah, kerusakan yang disebabkan oleh siklus alam itu
sendiri yang merubah bentuk tepian pantai, karena terletak pada laut
terbuka sehingga rentan terhadap proses pergeseran pasir oleh
ombak yang memukul pantai hingga terjadi proses pengikisan. Bila
pantai terus mengalami erosi, pohon-pohon akan tumbang dan mati.
Sedangkan akibat ulah manusia adalah karena aktivitas
manusia untuk mengembangkan hunian dan lahan usaha, seperti
"
"
77"
"
perluasan lahan untuk tanaman kelapa, pengambilan kayu-kayu dari
hutan bakau untuk dijadikan bahan bakar atau dimanfaatkan untuk
keperluan lainnya, sehingga tidak ada lagi penghalang (barrier)
pantai yang mampu melindungi pantai untuk menjaga kekuatan
tanah yang lemah.
Kerusakan sumber daya wilayah pesisir tersebut di atas sudah
menunjukan pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Hutan
mangrove yang menurut hasil penelitian dari berbagai kalangan
menunjukkan pada kondisi yang cukup berbahaya, karena dengan
terjadinya degradasi terhadap hutan mangrove pada akhirnya juga
mengakibatkan terjadinya abrasi pantai, di sisi lain ketergantungan
masyarakat terhadap hutan mangrove dan pantai juga cukup tinggi.
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka akan terus terjadi abrasi
pantai. Usaha untuk mencegah terjadi perluasan abrasi pantai sudah
dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti dengan membuat
kubus/balok dari semen yang diletakan dipantai untuk menahan
gempuran ombak, namun biaya yang dikeluarkan untuk usaha ini
cukup tinggi dan tidak terlalu efektif dibandingkan dengan hutan
mangrove.
Selain degradasi sumber daya wilayah pesisir seperti tersebut
di atas, kualitas airnya terindikasi juga mengalami penurunan, yang
sebab utamanya dikarenakan aktivitas penambangan emas dan
budidaya perikanan (tambak). Sumberdaya perikanan pada dasarnya
"
"
78"
"
bersifat Common Property, artinya kepemilikannya bersifat umum
serta open access yang berarti bahwa akses terhadapnya bersifat
terbuka. Selain dari itu, sumberdaya perikanan juga bersifat mampu
pulih (renewable), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Oleh
sebab itu sumberdaya perikanan perlu dikelola dengan baik guna
mencegah upaya penangkapan yang melewati ambang kemampuan
regenerasinya (over fishing) dan Illegal, Unregulated, Unreported
(IUU) Fishing.
3) Minimnya Informasi Mengenai Potensi Sumber Daya Pesisir
Potensi sumber daya yang terdapat di wilayah pesisir Kota
Singkawang, baik itu menyangkut perikanan tangkap dan budidaya,
terumbu karang, hutan mangrove, kawasan konservasi, maupun
kawasan
pariwisata
masih
minim
informasinya
terutama
menyangkut jumlah dan luas daerah budidaya perikanan (banyak
pembukaan lahan untuk budidaya perikanan yang tidak ada izin,
lokasinya di tempat terpencil dan sulit untuk dijangkau oleh aparat
penegak hukum, jumlah terumbu karang dan padang lamun, beserta
daerah penyebarannya, dan daerah-daerah yang berpotensi untuk
pengembangan daerah wisata (ekowisata). Potensi sumber daya
wilayah pesisir di lapangan jauh lebih besar dan potensial
dibandingkan dengan data yang tersedia.
"
"
79"
"
4) Perkembangan Pembangunan Wilayah Pesisir yang tidak
merata
Dibandingkan
dengan
wilayah
lainnya
perkembangan
pembangunan di wilayah pesisir jauh tertinggal dibandingkan
dengan daerah lain (daratan), banyak daerah-daerah potensial untuk
pengembangan kawasan pertanian, perikanan, dan pariwisata, namun
selama ini masih belum dikembangkan secara optimal (selama ini
ada daerah yang kurang potensial tetapi dipaksakan untuk
dikembangkan
menjadi
daerah/kawasan
perikanan,
dan
lain
sebagainya).
Di daerah pesisir terdapat PPI dan TPI, namun masih
berskala kecil dan minim fasilitasnya; tingkat pelayanan kesehatan
dan prasarana air bersih bagi masyarakat di wilayah pesisir masih
sangat kurang; kondisi perumahan nelayan masih jauh dari
sederhana; kondisi jalan, jaringan irigasi dan rawa di wilayah pesisir
belum mencukupi untuk menunjang kawasan pesisir; dan fasilitas
pasca panen belum tersedia untuk meningkatkan mutu hasil
perikanan.
5) Lemahnya Perlindungan dan Keselamatan di Wilayah Pesisir
Sebagai masyarakat nelayan pada daerah pesisir pantai dan
pulau-pulau kewajiban mereka tentunya adalah untuk mampu
melindungi potensi yang ada di laut dan di pesisir untuk menjaga
"
"
80"
"
agar tidak merusak lingkungannya, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk berkelanjutan.
Menyediakan kelengkapan kapalnya dengan alat navigasi dan
komunikasi yang sesuai dengan kebutuhan para nelayan dengan akan
diberikan izin untuk berlayar jika sudah dilengkapi.
Hak para nelayan tentunya mendapatkan perlindungan dari
pemerintah agar kegiatan para nelayan dapat terlidungi dari
tantangan alam yang tak menentu, sehingga informasi tentang
perubahan cuaca dapat dideteksi sebelum terjadi dengan memasang
peralatan klimatologi, peralatan automatic water level dan radio
pantai untuk menyebarkan informasi keadaan laut tepat waktu.
Dengan demikian semua kapal-kapal nelayan akan merasa aman
dalam bekerja di tengah laut sepanjang hari.
6) Lemahnya Perekonomian Masyarakat Di Wilayah Pesisir
Kondisi masyarakat pesisir (nelayan dan keluarganya) masih
tergolong miskin. Kelompok nelayan dan koperasi nelayan sangat
sedikit dan bahkan di daerah tertentu tidak ada sama sekali. Program
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir banyak yang tidak
mengenai
sasaran
dan
masih
perekonomian masyarakat pesisir.
belum
mampu
mengangkat
Di wilayah pesisir kesadaran
masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga masih
sangat rendah, sehingga mereka hanya berpikiran mencari uang
"
"
81"
"
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa ada keinginan
untuk mengelola keuangan dengan sistem yang lebih baik lagi.
7) Lemahnya Kelembagaan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
Instansi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya di
wilayah pesisir cukup banyak, seringkali pengelolaannya tumpang
tindih dan tidak jarang juga terjadi konflik dalam pengelolaannya.
Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan yang bersifat terpadu
dari berbagai instansi yang terkait, agar pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dapat dilakukan secara optimal dengan tetap
mengutamakan aspek kelestarian fungsi lingkungan di wilayah
pesisir.
Dukungan peraturan di tingkat daerah terhadap pengelolaan
sumber daya di wilayah pesisir juga kurang, sehingga di tingkat
implementasi sering terjadi benturan kepentingan dan kewenangan,
terutama
menyangkut
kepentingan
dan
kewenangan
antara
Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain, atau antara
Kabupaten/Kota dengan Provinsi.
3. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Pontianak
3.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Pontianak
Kabupaten Pontianak merupakan salah satu dari 14 (empat belas)
kabupaten dan kota yang memiliki pesisir di wilayah Provinsi
Kalimantan Barat. Luas wilayah Kabupaten Pontianak (luas daratan dan
perairan) menurut Permendagri No. 06 Tahun 2008 Tentang Kode dan
"
"
82"
"
Data Wilayah Administrasi Pemerintahan adalah 2.797,88 km2 atau
sekitar 1,90% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat yaitu
146.807 km2. Dari 9 (sembilan) kecamatan yang ada di Kabupaten
Pontianak, terdapat 6 (enam) kecamatan yang termasuk wilayah pesisir
yaitu Kecamatan Siantan, Segedong, Sungai Pinyuh, Mempawah Hilir,
Mempawah Timur dan Sungai Kunyit. Luas kecamatan pesisir tersebut
mencapai 1.876,540 km2 atau 67,070% dari total luas Kabupaten
Pontianak.
Secara geografis Kabaupaten Pontianak terletak pada posisi
0°44' Lintang Utara serta
109°21,5' Bujur Timur.
0°0,4' Lintang Selatan dan
108°24'-
Karakter fisik wilayah terdiri dari daerah
daratan dan pulau-pulau pesisir yang memiliki lautan. Secara
administratif Perbatasan Kabupaten Pontianak adalah sebagai berikut :
Utara
: Berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang
Selatan
: Berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya dan Kota
Pontianak
Timur
: Berbatasan dengan Kabupaten Landak
Barat
: Berbatasan dengan Laut Natuna
Kabupaten Pontianak terletak di kawasan pantai Barat Provinsi
Kalimantan Barat sehingga sebagian besar wilayahnya dikategorikan
sebagai kawasan pesisir yang memiliki karakter fisik dan sosial
ekonomi pesisir khususnya yang berkaitan dengan aktivitas perikanan
dan kelautan yang cukup besar.
"
"
83"
"
Berdasarkan RT/RW Kabupaten Pontianak tahun 2011-2013,
luas wilayah Kabupaten Pontianak tercatat 2.073,888 km2 yang terbagai
atas 9 kecamatan. Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Pontianak, 6
kecamatan merupakan kecamatan pesisir dengan garis pantai yang
cukup panjang. Kawasan pesisir Kabupaten Pontianak memiliki cukup
banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan khususnya pembangunan wilayah
Kabupaten Pontianak.
Tabel 8
Luas Kabupaten Pontianak Tiap Kecamatan
No
.
Kecamatan
Luas
Persentase Luas
(km2)
(%)
1. Siantan
129,51
2,02
2. Segedong
162,99
2,55
3. Sungai Pinyuh
111,00
1,74
4. Anjongan
90,15
1,41
5. Mempawah Hilir
82,75
1,29
6. Mempawah Timur
395,64
6,19
7. Sungai Kunyit
83,16
1,30
8. Toho
246,66
3,86
9. Sadaniang
644,55
10,08
Kabupaten Pontianak
6.395,70
100,00
Sumber : RT/RW Kabupaten Pontianak, 2011-2030
3.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Pontianak memiliki sumberdaya
potensial terutama sumberdaya
pesisir
alam
yang
yang belum dimanfaatkan
secara optimal, padahal sektor pesisir apabila dikelola dengan optimal
mempunyai prospek yang menjanjikan dalam upaya
mendukung
pertumbuhan perekonomian, penyediaan lapangan kerja, sumber
"
"
84"
"
protein, wisata dan lain-lain, apalagi Kabupaten Pontianak berbatasan
langsung dengan Laut Natuna
3.b.(1) Lingkungan Biofisik Wilayah Pesisir dan Laut
Sumberdaya Wilayah pesisir dan laut yang dimiliki
Kabupaten Pontianak sangat beragam jenis maupun potensinya,
dari berbagai jenis dan potensi sumberdaya pesisir dan laut
tersebut ada yang dapat diperbaharui (renewable resources)
sepereti ikan, biota perairan lainnya, hutan mangrove, padang
lamun, rumput laut, serta ekosistem pantai, dan kemudian
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources) seperti bahan tambang, dan mineral lainnya. Selain
sumber daya yang dapat dan tidak dapat diperbaharui tersebut,
sumberdaya pesisir dan laut lainnya juga dapat berupa jasa
lingkungan seperti media transportasi dan komunikasi, industri
maritim, keindahan alam yang bisa dijadikan obyek wisata
bahari dan penyerapan limbah yang dapat dikelola dengan baik.
Potensi sumberdaya alam yang cukup dominan dan
potensial untuk dikembangkan antara lain adala tanah untuk
lahan pertanian dan perkebunan, sumberdaya mineral, wisata
alam, hutan bakau (mangrove), pulau-pulau kecil, terumbu
karang, padang lamun dan pantai.
3.b.(2) Hutan Mangrove
Hutan Mangrove sering juga disebut hutan pantai,
hutan pasng surut, hutan payau atau hutan bakau. Hutan
"
"
85"
"
mangrove merupakan hutan tropika yang khas sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
terlindung dari gempuran mbak yang kuat dan berada pada
pantai yang landai. Kawasan pantai berhutan bakau/mangrove di
Kabupaten Pontianak tercatat seluas 2.021 Ha dengan rincian
sebagai berikut.
Tabel 9
Keadaan Luas Hutan Mangrove di Kabupaten Pontianak
No
1.
2.
3.
4.
.
Kecamatan
Sungai Kunyit
Mempawah Hilir
Siantan
Sungai Pinyuh
Luas (Ha)
30
479
912
600
Keterangan
Jumlah
2.021
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Kabupaten Pontianak Tahun 2011
3.b (3) Terumbu Karang
Karang (reef coral) merupakan individuorganisme yang
hidup di sekitar terumbu karang, sedangkan terumbu karang
(coral reefs) sebagai suatu kumpulan karang dan ekosistem yang
merupakan masyarakat organisme. Terumbu karang dasar
perairan dan berupa bentukan bahan kapur (CaCO3) yang cukup
kuat menahan gaya gelombang laut. Organisme-organisme yang
dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang
karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae.
"
"
86"
"
Karang dan terumbu karang banyak terdapat di pesisir
Kabupaten
Pontianak
khususnya
pulau-pulau
kecil.
Keberadaannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 10
Karang dan Terumbu Karang yang terdapat di kabupaten Pontianak
1
Sungai Kunyit
Lokasi Penyebaran
Karang
Terumbu
Karang
Pulau Temajo Pulau Temajo
2
Sungai Kunyit
P.Setinjang
No
Kecamatan
P.Setinjang
3
Keterangan
Terumbu
Karang lebih
Menonjol ke
Timur
dan
Utara
Mempawah
Pulau Datuk
Pulau Datuk
Hilir
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten Pontianak Tahun 2011
3.b.(4) Padang Lamun
Padang lamun menghasilkan tumbuhan laut yang lebih
tinggi tingkatannya.Lamun umumnya membuat koloni pada
suatu kawasan di dasar laut melalui penyebaran buah sehingga
membentuk padang lamun yang luas di dasar laut. Lamun
merupakan
salah
satu
produsen
yang
paling
tinggi
produktivitasnya jika dibandingkan dengan karang, mangrove
serta ekosistem lainnya di perairan pesisir dan laut dangkal.
Oleh karena itu keberadannya cukup banyak, karena jumlahnya
yang banyak maka sering juga dinamakan padang lamun.
Kelompok tumbuhan ini merupakan tumbuhan berbiji tunggal.
"
"
87"
"
3.b.(5) Pantai Pesisir
Pantai pasir yang dimiliki Kabupaten Pontianak
terdapat di Kecamatan Sungai Kunyit, sebagian Mempawah
hilir. Pantai yang terkena abrasi dan beberapa kecamatan
lainnya yang memiliki pantai pasir relatif sedikit.Sebagian besar
pantai di Kabupaten pontianak kini terancam abrasi yang
semakin dekat dengan jalan raya atau jalan umum.
3.b.(6) Wisata Pesisir
Pariwisata salah satu sektor yang dapat meningkatkan
perekonomian daerah sekaligus dapat menciptakan lapangan
kerja serta kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah.
Dengan keragaman jenis tempat wisata yang ada di
Kabupaten Pontianak, maka Kabupaten Pontianak berpotensi
untuk pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi
kepariwisataan karena memiliki keindahan alam yang sangat
baik untuk pariwisata, sehingga Kabupaten Pontianak lebih
dikenal
sebagai
daerah
tujuan
wisata
oleh
masyarakat
Kalimantan Barat. Kawasan pesisir yang merupakan bagian dari
wilayah Kabupaten Pontianak juga memiliki potensi pariwisata
yang cukup potensial untuk dikembangkan, baik pariwisata
pantai dan bahari, pariwisata religius maupun pariwisata buatan.
"
"
88"
"
Tabel 11
Potensi Wisata Laut Di Wilayah Kabupaten Pontianak
No
1
2
3
4
5
6
Potensi Wisata
Lokasi
Keindahan alam pesisir Temajo, P. Kijing
Snorkling
Temajo
Renang
Temajo
Goa Bawah Laut
Keindahan Bawah laut
Selancar
Sumber : Laporan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil Kabupaten Pontianak Tahun 2011
1.b (8) Perikanan
Pesisir dan laut Kabupaten Pontianak cukup luas,
sehingga sebagian besar penduduk di kecamatan pesisir
bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembudidaya ikan.
Mencari ikan di laut adalah salah satu pekerjaan yang banyak
masyarakat. Dampak dari aktivitas nelayan banyak tumbuh
pengusaha perikanan baik itu agen-agen penampung maupun
pengelola ikanasin/industri pengolahan ikan. Besar kecilnya
produksi perikanan sngat dipengaruhi oleh sarana/prasarana
peralatan tangkap. Oleh karena itu apabila tidak memadai
peralatan tangkap, maka berdampak pada rendahnya pendapatan
nelayan di Kabupaten Pontianak.
3.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di
Kabupaten Pontianak
Keberadaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan
"
"
89"
"
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian,
permasalahan dan kendala yang dihadapinya juga cukup besar yang
tidak mudah untuk diatasi. Permasalahan utama yang dihadapi antara
lain adalah pencemaran laut akibat pembuangan limbah, pencurian ikan,
penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing), degradasi habitat
pesisir dan pulau-pulau kecil (mangrove, terumbu karang, padang
lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumber daya,
belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai,
terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi,
dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah
pesisir, khususnya petani ikan dan nelayan skala kecil. Permasalahan
tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembangunan
yang
tidak
memperhatikan
konsep
keberlanjutan/lestari
dan
keterpaduan. Pembangunan kelautan dan perikanan dituntut untuk
terpadu antar sektor dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan untuk
keberlanjutan.
Dengan 6 (enam) Kecamatan yang terletak di pesisir dari 9
Kecamatan yang ada dengan panjang pantai 89.227,25 meter,
Kabupaten Pontianak tentunya memiliki keunggulan yaitu potensi
sumberdaya alam yang dapat dikembangkan, dan apabila dikelola
secara maksimal akan mendapatkan profit. Selain itu mempunyai
tanggung jawab untuk dapat menjaga kelestarian dan keberlangsungan
sumberdaya alam tersebut. Kawasan pesisir termasuk dalam kategori
"
"
90"
"
kawasan sensitif atau rentan terhadap berbagai tekanan. Kesalahan
dalam mengidentifikasi berbagai isu dan permasalahan di kawasan
pesisir, akan mengakibatkan kesalahan/kurang tepatnya pengelolaan
wilayah tersebut. Identifikasi isu dan permasalahan di kawasan pesisir
sangat penting dilakukan sebagai dasar dalam perencanaan wilayah
dalam
rangka
pengelolaan
kawasan
pesisir
yang
lestari
dan
berkelanjutan.
Isu-isu pokok persoalan dalam pengelolaan wilayah pesisir di
Kabupaten Pontianak, diantaranya adalah :
1) Kegiatan Darat yang Mempengaruhi Laut/Perairan
Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan
terhadap berbagai tekanan. Berbagai tekanan baik oleh alam maupun
manusia dapat menyebabkan degradasi sumberdaya lingkungan.
Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan yang terjadi di
pesisir Kabupaten Pontianak yang berasal dari darat antara lain
(a) Degradasi Ekosistem Mangrove
Mangrove sebagai ekosistem pesisir dan laut memiliki arti yang
sangat penting baik secara ekologis, sosial dan ekonomi. Secara
ekologis mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan dan
udang (spawning area), pelindung pantai dari abrasi akibat arus
dan gelombang (coastal protection), penahan intrusi air laut dan
penyuplai nutrient (nutrient source) bagi lingkungan. Secara
sosial ekonomi, mangrove menghasilkan kayu untuk rumah
penduduk dan industri, tempat sumber ikan bagi manusia.
"
"
91"
"
Secara estetika, ekosistem mangrove mempunyai panorama
yang indah sebagai ekowisata bahari (marine ecotourism)
dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga
sangat penting untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi
(conservation area). Dengan berbagai fungsi ini, maka
ekosistem mangrove memiliki nilai yang tinggi sehingga harus
tetap di jaga kelestrian dan keutuhannya. Hasil penelitian
Martosubroto
dan
Naamin
(1979)
dan
Turner
(1985)
menyatakan luas hutan mangrove berbanding lurus dengan hasil
tangkapan udang berbanding lurus. Semakin luas hutan
mangrove maka hasil tangkapan udang juga meningkat. Luas
hutan mangrove 20 ha dapat menghasilkan 3 ton udang/tahun.
Dampak negatif yang sering muncul dari degradasi ekosistem
mangrove antara lain:
(1) Intrusi air laut.
(2) Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah
organik.
(3) Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir.
(4) Peningkatan abrasi pantai.
(5) Turunnya sumber makanan, tempat pemijah dan bertelur
biota laut yang dapat menyebabkan produksi tangkapan
ikan menurun.
"
"
92"
"
(6) Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan bencana
seperti tiupan angin dan gelombang air laut.
(7) Peningkatan pencemaran pantai.
Pada kawasan Pesisir Kabupaten Pontianak, degradasi ekosistem
mangrove terutama terjadi di Kecamatan Sungai Kunyit dan
Siantan. Dengan adanya degradasi ekosistem mangrove di
Kecamatan
Pesisir
Kabupaten
Pontianak,
maka
pantai
kehilangan pelindung (vegetasi mangrove), sehingga pada
daerah ini terjadi abrasi dan intrusi air laut.
a. Degradasi mangrove akibat faktor
manusia (penebangan pohon)
b. Abrasi pantai akibat hilangnya
ekosistem mangrove
c. Degradasi mangrove akibat faktor
alam (arus dan gelombang)
d. Degradasi mangrove akibat faktor
manusia (alih fungsi lahan mangrove)
Gambar 3: Degradasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Pontianak
"
"
93"
"
(b) Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai
Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai,
termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi sungai Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan
untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat
menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik
pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
a. Pemukiman Penduduk di Sempadan
Sungai Kec.Sungai Kunyit
b. Pemukiman Penduduk di Sempadan
Anak Sungai
c. Bangunan warung makan di sempadan pantai di Sengkubang
Gambar 4. Pemanfaatan Ruang Di Sempadan Sungai Dan Pantai Untuk
Pemukiman
"
"
94"
"
Pada wilayah pesisir Kabupaten Pontianak, sebagian
besar pemukiman nelayan berada pada bantaran sungai dan
langsung menempel pada bibir sungai. Rumah nelayan berada di
bantaran sungai yang seharusnya dilindungi. Pemilihan bantaran
sungai untuk pemukiman karena kemudahan akses menuju laut
maupun daratan (daerah menjual ikan). Selain itu juga karena
memudahkan nelayan menambatkan perahunya di sungai dekat
rumah masing-masing. Pasar-pasar kecamatan juga selalu
berada di dekat aliran sungai. Di Kecamatan Sungai Kunyit
misalnya, pusat perekonomian (pasar) dan pemukimanan berada
di sempadan sungai. Kondisi ini ini tentunya bertentangan
dengan KEPRES RI No. 32 Tahun 1990 pasal 16. Hal serupa
juga terlihat pada sempadan pantai, terutama pada daerah
Kecamatan Sungai kunyit, terutama di daerah yang telah terjadi
abrasi pantai, maraknya aktifitas tempat peristirahatan dan
jajanan yang berada di sepanjang bibir pantai dan berjarak
kurang dari 100 meter, ini sangat bertentangan dengan pasal 14.
Pasal 14 KEPPRES RI No. 32 Tahun 1990 dan UU
Nomor 27 Tahun 2007, kriteria sempadan pantai adalah daratan
sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk
kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi
ke arah darat.
"
"
95"
"
Sempadan pantai merupakan salah satu wilayah yang
harus dilindungi. Menurut KEPPRES RI No. 32 Tahun 1990
pasal 13, perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan
untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan mengganggu
kelestarian fungsi pantai.
(c) Degradasi Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang mempunyai peran yang sangat penting
dalam ekosistem perairan, selain sebagai tempat berkembang
biak dan tempat tinggal berbagai jenis ikan, terumbu karang
merupakan daerah pelindung/penyangga pantai yang melindungi
perairan pesisir.
Penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif
(merusak lingkungan), merupakan salah satu penyebab dari
kerusakan ekosistem, terutama ekosistem terumbu karang,
penggunaan bom, potasium, jaring trawl merupakan cara-cara
penangkapan ikan yang berakibat langsung terhadap kerusakan
terumbu karang. Selain itu, pemanasan global yang berdampak
pada peningkatan suhu juga mempengaruhi kerusakan terumbu
karang. Di Kalimantan Barat daerah-daerah yang menjadi
tempat bagi terumbu karang sudang mengalami kerusakan yang
cukup
mengkhawatirkan.
Berdasarkan
hasil
survey
dan
interpretasi data citra, kondisi terumbu karang yang ada di
Kabupaten Pontianak dalam kondisi rusak (di Pulau Temajo)
"
"
96"
"
dan sedang (di Pulau Dato’, Setinjang dan Damar). Sedangkan
untuk daerah sepanjang pantai di 6 kecamatan Pesisir Kabupaten
Pontianak tidak memiliki terumbu karang, dikarenakan kondisi
pantai yang berlumpur.
(d) Pencemaran Perairan
Wilayah pesisir merupakan tempat terakumulasinya
segala macam limbah yang dibawa melalui aliran air, baik
limbah cair maupun padat. Limbah cair disinyalir berupa
merkuri yang berasal dari penambangan emas tanpa izin (PETI)
yang banyak dilakukan oleh masyarakat di daerah hulu DAS,
terbawa ke pesisir oleh aliran sungai. Selain itu, fungsi lahan
menjadi perkebunan kelapa sawit di daerah hulu juga
menyebabkan kekeruhan di hilir sungai dan bermuara ke daerah
pesisir. Sedangkan limbah padat berupa sampah berasal dari
limbah rumah tangga yang dibuang masyarakat ke sungai
selanjutnya sampai ke laut. Sampah ini sering ditemukan
berserakan di sepanjang pantai. Demikian pula dengan sampah
yang banyak terdapat di dekat permukiman masyarakat pesisir.
Permukiman menjadi sangat kotor dan terlihat kumuh dengan
fasilitas sanitasi dan kebersihan lingkungannya sangat buruk.
(e) Penambangan Tanah dan Batu (Tambang Galian C)
Pesisir Kabupaten Pontianak merupakan daerah yang
terdiri dari daerah pantai dan perbukitan (gunung). Daerah
"
"
97"
"
pantai memiliki sumberdaya tanah dan batuan dan daerah
perbukitan memiliki potensi galian batu, tanah dan kerikil.
Penambangan tanah, batu dan banyak terdapat di
Kecamatan Sungai Pinyuh (Peniraman). Selain itu penambangan
tanah dan batu pada daerah perbukitan juga mengakibatkan
rawan longsor, erosi, rusaknya flora fauna dan merusak sumber
mata air. Aktifitas penambangan tanah dan batu di Pesisir
Kabupaten Pontianak dapat dilihat pada gambar berikut.
a. Penambangan tanah dan batu
b. Penambangan Tanah di
Peniraman
Gambar 5 Aktifitas penambangan tanah, batu dan pasir di Pesisir
Kabupaten Pontianak
2) Kegiatan Laut/Perairan yang Mempengaruhi Daratan
(a) Intensitas Penangkapan Ikan di Pantai dan Alat Tangkap
Berdasarkan
data
statistik
perikanan
tangkap
Kabupaten
Pontianak tahun 2010, 85% armada kapal penangkap ikan
didominasi oleh kapal kecil (0-5 GT), dengan operasi
penangkapan ikan terkonsentrasi pada wilayah perairan di
wilayah pengelolaan Kabupaten Pontianak (0-4 mil). Hal ini perlu
"
"
98"
"
menjadi perhatian karena dengan jumlah dimana hampir 85%
atau 1371 RTP yang melakukan operasi penangkapan ikan di
daerah tersebut secara terus menerus dikhawatirkan dapat
menurunkan daya dukung perairan dan menurunnya sumberdaya
perikanan.
Penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak, seperti pukat
tarik udang (trawl) dapat merusak ekosistem perairan, dimana
berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kab.Pontianak
tahun 2009-2010, jumlah alat tangkap trawl yang beroperasi di
daerah
ini
berjumlah
455
unit
atau
15,64%.
Dengan
pengoperasian alat tangkap pukat tarik (mini trawl), maka dasar
perairan teraduk terus-menerus, mengalami kerusakan dan
berperan dalam proses abrasi akibat dari tidak adanya penahan
arus dari dasar perairan. Dengan rusaknya ekosistem dasar
perairan, maka akan mengakibatkan degradasi sumberdaya
perikanan di daerah tersebut.
(b) Sedimentasi
Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang
ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu
cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah
hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut
oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang
terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari
material-material yang diangkut oleh angin.
"
"
99"
"
Di perairan, proses ini dapat meliputi pelepasan dalam bentuk
tersuspensi (suspension). Masuknya padatan tersuspensi ke
dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini
menyebabkan
menurunnya
laju
fotosintesis
fitoplankton,
sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada
gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai
makanan. Secara sederhana pada perairan yang mengalami
sedimen maka makhluk hidup yang dapat hidup pada perairan
tersebut juga sedikit. Kabupaten Pontianak merupakan Hilir dari
kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Barat
secara umum merupakan dataran rendah yang memiliki sungai
besar dan sungai kecil serta memiliki perairan laut yang
dangkal. Kondisi ini dapat menyebabkan mudah teraduknya
dasar perairan akibat arus dan gelombang. Sehingga sedimen
yang teraduk akan terbawa aliran air ke daerah pantai yang
selanjutnya menyebabkan pendangkalan di kawasan pantai.
Adanya limpasan sedimen dari daratan melalui aliran sungai
juga memiliki peran yang besar terhadap sedimentasi di
kawasan pesisir, khususnya di daerah muara sungai.
"
"
100"
"
a. Sedimentasi Muara Sungai
Limau
b. Sedimantasi Muara Sungai
Duri
Gambar 6 Sedimentasi di beberapa muara sungai pesisir Kabupaten Pontianak
Wilayah-wilayah pesisir yang mengalami proses sedimentasi di
Kabupaten Pontianak adalah kecamatan-kecamatan yang berada
di pesisir Kabupaten Pontianak dari Utara sampai Selatan
(Kecamatan Sungai Kunyit sampai dengan Kecamatan Siantan).
Sedimentasi ini cukup mengganggu transportasi perairan antar
daerah
dan
aktifitas
penangkapan
ikan
karena
dapat
menyebabkan kapal atau perahu nelayan kandas, sehingga tidak
jarang nelayan yang akan melaut harus menunggu air pasang
atau menambatkan kapalnya di perairan yang lebih dalam.
(c) Abrasi dan Akresi
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang
laut dan arus laut yang bersifat merusak. Salah satu cara untuk
mencegah
terjadinya
abrasi
adalah
dengan
penanaman
mangrove pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu
oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
"
"
101"
"
Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun
faktor manusia lebih dominan.
Abrasi biasanya terjadi pada daerah yang memiliki pantai
kurang stabil dan memiliki arus laut yang cukup kuat. Daerah
rawan abrasi yang ada di pesisir Kabupaten Pontianak meliputi
sepanjang pantai Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah Hilir
(Malikian, Sengkubang dan Penibung) dan Kecamatan Siantan
(Jungkat). Kebalikannya abrasi, akresi merupakan fenomena
bertambahnya daratan pantai akibat suplai sedimen/material
yang terbawa oleh arus laut dari daerah lain. Selain itu, vegetasi
mangrove di pantai juga memiliki peran yang cukup besar dalam
akresi terkait memperangkap sedimen/material di akar-akarnya.
Daerah rawan akresi yang ada di pesisir Kabupaten Pontianak
yaitu Sungai Limau dan daerah Benteng.
a. Tunggul pohon kelapa yang tergerus
akibat abrasi pantau di Penibung
b. Abrasi di kawasan wisata Jungkat
Beach
"
"
102"
"
a. Seawall dan breakwater untuk
mencegah abrasi di Sengkubang
b. Akresi daerah Benteng
Kec.Mempawah Hilir
Gambar 7 Abrasi dan akresi yang terjadi di pesisir pantai Kabupaten Pontianak
(d) Banjir, Rob (Banjir Pasang) dan Kenaikan Muka Air Laut
Sebagian besar wilayah Kabupaten Pontianak merupakan
wilayah datar (dengan kemiringan lahan 0-8%). Wilayahwilayah dengan kemiringan lahan yang kecil ini menyebar
memanjang dari utara ke selatan wilayah pesisir pantai
Kabupaten Pontianak pada kelerengan 0-8% seluas 171.284,97
ha. Pada wilayah pantai ini, banyak terdapat areal dataran yang
relatif rendah dari permukaan pasang air laut tertinggi sehingga
rawan mengalami banjir pasang rob. Keadaan banjir sangat
rawan terjadi pada saat air dalam keadaan pasang terutama pada
bulan-bulan yang memiliki curah hujan tinggi (OktoberJanuari). Daerah rawan banjir dan rob di Kabupaten tersebar di
pesisir Kecamatan Siantan (Jungkat, Peniti, Sungai Burung dan
Air Hitam), Sungai Pinyuh dan Kecamatan Mempawah Hilir
(daerah Pasir dan Terusan).
"
"
103"
"
4. Implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Kubu Raya
4.a. Gambaran Umum dan Kondisi Geografis Kabupaten Kubu Raya
Kabupaten Kubu Raya adalah kabupaten yang terletak di bagian
barat Provinsi Kalimantan Barat terletak diantara 0°44' Lintang Utara
sampai dengan 1°01' Lintang Selatan dan 108°58' sampai dengan
109°58' Bujur Timur. Secara umum karakteristik wilayah meliputi
daratan, pesisir, perairan pantai, perairan umum dan pulaupulau kecil.
Memiliki Panjang pantai ±194 km dan luas laut 2.197 Km² serta luas
perairan umum 1.437 Km². Secara administratif, l etak geografis
Kabupaten Kubu Raya adalah:
Utara
Kabupaten Pontianak (Kecamatan Siantan) dan
Kota Pontianak
Selatan
Kabupaten Ketapang (KecPulau Maya
Karimata)
Timur
Kab. Landak (kec Ngabang) dan kab
Sanggau (Kecamatan Tayan Hilir)
Barat
Laut Natuna
Luas keseluruhan wilayah Kabupaten
Kubu Raya mencapai
6.985,20 Km² Karakteristik wilayah Kabupaten Kubu Raya terdiri dai
daratan dan wilayah pesisir, daerah dataran yang relatif datar dengan
kemiringan lahan 0% - 3% seluas 7.205 ha dan lerengan di atas 40%
seluas 850 ha,
Secara administratif Kabupaten Kubu Raya diserahi wewenang
"
"
104"
"
membina 9 daerah bawahan yang terdiri dari 9 kecamatan beserta unsur
perangkat pemerintahan desa yang terdiri dari 106 desa, 393 dusun, 715
RW dan 2586 RT.
Tabel 12 Luas Wilayah Kabupaten Kubu Raya Tiap Kecamatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kecamatan
Batu Ampar
Terentang
Kubu
Teluk Pakedai
Sungai Kakap
Rasau Jaya
Sungai Raya
Sungai Ambawang
Kuala Mandor B
Luas Wilayah
(km2)
2.202,70
786,40
1.211,60
291,90
453,13
111,07
929,30
726.10
473,00
6.985,20
Desa
14
9
19
14
12
6
14
13
5
106
Dusun
51
25
67
46
48
23
54
58
21
393
Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011
4.b. Keadaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumberdaya
yang dapat memanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap
penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Kubu
Raya tertuju pada bidang perikanan dan kelautan.
Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kubu
Raya meliputi sungai (perairan umum), pulau-pulau kecil,hutan sepadan
pantai dan sepadan sungai, pariwisata dan pertambakan
4.b.(1) Sungai (perairan umum)
Sungai sebagai bagian dari perairan uumum tersebar di
wilayah Kabupaten Kubu Raya. Secara lengkap terlihat pada tabel
berikut:
"
"
105"
"
Tabel 13 Sebaran Sungai per kecamatan Kabupaten Kubu Raya
No.
1.
Kecamatan
Batu Ampar
2.
Terentang
3.
Kubu
4.
Teluk Pakedai
5.
6.
Sungai Kakap
Rasau Jaya
7.
Sungai Raya
8.
Sungai Ambawang
9.
Kuala Mandor B
Nama Sungai
S Karawang; S Durian sebatang; S Besar; S Mesjid; S
Sekapak; S suka maju; S Pandan; S Terumbuk; S Seh
S Raja Seteluh; S Kemuning; S Bumbun; S Padu
Empat; S Nibung
S Terentang; S Punggur Besar; S Kelabau; S
Keluang; S Mendawak (batas timur)
S Punggur Besar; S Ambawang; S Kubu; S Radak; S
Terentang; S Bara Besar; S Bengkalang; S Sepda; S
Sapau
S Sepok Laut; S Punggur Besar; S Seruat; S
Ambawang
S Jeruju Besar; S Punggur Kecil; S Punggur Besar
S Rasau; S Bulan (batas barat); S Punggur Besar
(batas selatan)
S Kapuas; S Kapuas Kecil (S Ambawang; S Jelawat);
S Punggur Besar
S Landak (batas utara); S Ambawang; S Buntar; S
Pancaroba; S Rindin
S Mandor; S Sepatah; S Landak
Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011
4.b.(2) Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil yang ada di wilayah Kabupaten Kubu
Raya tercatat 39 buah, sebagaimana pada tabel berikut :
Tabel 14. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Kubu Raya
No.
Kecamatan
1.
2.
Sungai Ambawang
Batu Ampar
3.
Sungai Kakap
Nama Pulau
Hanyut
- Gelanggang
- Padang Tikar
- Selat Seh
- Tenggaramandi
- Perling
- Telok Air Satu
- Telok Air Dua
- Telok Air Tiga
- Sejenuh Air Tawar
- Pulau Buntung
- Munggu Temiang
! Kurnia
! Nyamuk
! Sepok Keladi
! Sepok Laut
"
"
Keterangan
Ladang
Batuan
Berpenduduk
Berpenduduk
Hutan bakau
Hutan bakau
Berpenduduk
Berpenduduk
Hutan mangrove
Berpenduduk
Hutan mangrove
Berpenduduk
Ladang
Berpenduduk
Berpenduduk
Berpenduduk
106"
"
No.
4.
5.
6.
Kecamatan
Nama Pulau
! Sepok Perupuk
! Tanjung Saleh
! Tempurung
! Taik Minyak
! Beting Tengah
Kubu
- Burung Besar
- Burung kecil
- Dabong
- Tiga
- Muara Kubu
- Bidara
- Pakawal
- Berembang
Teluk Pakedai
Pelombak
Sungai Raya
- Tanjung Sapi
- Limbung
- Buntut Limbung
- Keranji
- Teluk Bayur
- Jambu
- Separoh
- Benuang
- Sekancil
Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011
Keterangan
Berpenduduk
Berpenduduk
Mangrove
Mangrove
Mangrove
Mangrove
Mangrove
Berpenduduk
Mangrove
Berpenduduk
Mangrove
Hutan Tanaman
Mangrove
Mengrove
Rawa
Pasir
Hutan Rawa
Hutan Rawa
Berpenduduk
Tanaman Keras
Hutan Rawa
Hutan Rawa
Tanaman Keras
4.b.(3) Hutan Sepadan Pantai dan Sepadan Sungai
Kondisi umum hutan mangrove sepanjang kawasan pesisir, pantai
dan sungai dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kondisi Bagus
-------------------------- =
33.149 hektar
Kondisi Sedang
-------------------------- =
561 hektar
Kondisi Rusak Berat--------------------------- =
3.981 hektar
4.b. (4) Pariwisata
Keaneka regaman suku dan etnis di Kabupaten Kubu Raya
sebagai potensi yang memunculkan aneka kegiatan sosial yang
unik dan religi seperti Budaya Robo-Robo bagi Suku Melayu,
Budaya Barongsai
bagi etnis Cina, Naik Dango bagi Suku
Dayak, sedekah bumi bagi Suku Jawa dan lain-lain. Selain
pariwisata budaya-budaya tersebut, ada yang tidak kalah
pentingnya, Kabupaten Kubu Raya memiliki Potensi Wisata
Konparatif seperti wisata pesisir dengan hutan mangrove, Sungai
"
"
107"
"
Kakap, Sukalanting dengan Kelentengnya yang unik, hal tersebut
lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 15
No.
Jenis Potensi wisata per lokasi kecamatan pesisir
Jenis Potensi Wisata
Lokasi
1.
Kebun Binatang
Sungai Raya
2.
Makam Raja Kubu
Kubu
3.
Keraton Raja Kubu
Kubu
4.
Makan Ismail Mundu
Teluk Pakedai
5.
Mesjid Batu
Teluk Pakedai
6.
Agrowisata
Sungai Kakap
7.
Pantai Indah Kakap
Sungai Kakap
8.
Pekong Muara Sungai Kakap
Sungai Kakap
9.
Pekong Pantai Suka Lanting
Sungai Raya
10.
Pantai Sungai Bulan
Rasau Jaya
11.
Makam Panglima Raja Kubu
Padang Tikar
12.
Mitos Wangkang Gunung Ambawang
Kubu
13.
Mangrove Pesisir
Bt. Ampar, Tl. Pakedai, Kubu
14.
Suwaka Buaya Muara
Selat Panjang, Kubu, Bt. Ampar
15.
Kolam Pemancingan
S. Raya, S. Kakap
Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011
4.b. (5) Pertambangan
Areal pertambangan budidaya perikanan air payau yang ada di
wilayah pesisir Kabupaten Kubu Raya, sebagaimana terlihat
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 16. Daftar Areal Tambak Budidaya Perikanan per Kecamatan
No.
Kecamatan
Luas (Ha)
Produksi (ton)
Komoditas
1.
Sungai Kakap
306,0
84,0
Udang + Bandeng
2.
Kubu
419,5
124,7
Udang + Bandeng
"
"
108"
"
3.
Teluk Pakedai
48,0
36,2
Udang + Bandeng
4.
Batu Ampar
47,0
50,8
Udang + Bandeng
820,5
296,7
Jumlah
Sumber : Renstra WP-3-K Kab Kubu Raya, 2011
4.c. Isu Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Wp-3-K)
Wilayah Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil yang besar. Permasalahannya sumberdaya
ini belum termanfaatkan secara optimal sesuai dengan potensu
lestarinya.
Beberapa permasalahan umum yang dirasakan terkait sumber
daya ini adalah :
1) Pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir;
Usaha-usaha pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
hingga saat ini belum optimal. Sehingga perlu langkah nyata terkait
peningkatan pemanfaatan potensi ini. Diawali dengan peningkatan
kesadaran bahwa sumber daya ini bile dimanfaatkan dengan benar
akan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Diikuti bimbingan pemanfaatan yang benar dan sesuai dengan
potensi yang ada serta berwawasan lingkungan. Terkait dengan
informasi pasar terkait permintaan dan penawaran hasil produksi
mendapat kepastian harga.
"
"
109"
"
2) Pemberdayaan sumberdaya pulau-pulau kecil;
Tingkat nasional terkait pulau-pulau kecil khususnya berbatasan
dengan wilayah negara tentangga (pulau terluar) sangat disoroti
belakangan ini. Kelemahan yang disadari bahwa sampai saat ini
masih kurang memberdayakan kawasan ini sebagai pangkal
pencaplokan kawasan oleh negara tetangga. Untuk itu usaha ke arah
pemberdayaan sangat perlu dilakukan. Agar tingkat kesadaran
masyarakat dan pulau-pulau kecil akan pentingnya keutuhan NKRI
meningkat. Hal ini akan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran
tentang bela negara. Untuk wilayah Kabupaten Kubu Raya walaupun
tidak berbatasan dengan Negara tetangga tetap membutuhkan ini
paling tidak untuk menumbuhkan loyalitas masyarakat pulau-pulau
kecil dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
3) Penataan kawasan pemanfaatan dan pelestraian;
Usaha-usaha pemanfaatan sumber daya perlu didukung penataan
kawasan sesuai dengan aturan hukum yang disepakati. Sebagai
contoh penunjukan kawasan hutan dilingkungan pedesaan pesisir
dan pulau-pulau kecil. Penunjukan ini perlu dikaji, dievaluasi dan
ditinjau ulang agar tidak terjadi pelanggaran. Peran pemerinttah
(Stakeholder) sangat diperlukan. Karena masyarakat yang terlibat
dalam usaha ini memerlukan kepastian hukum agar tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari dan penegakan hukum (low
wonforment) dapat diterapkan dengan benar. Jangan sampai usaha
"
"
110"
"
pemanfaatan sumber daya berbenturan dengan konsep pelestarian
sumber daya itu sendiri.
4) Kelangkaan sumberdaya perikanan;
Beriringan dengan pemanfaatan potensi sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan usaha-usahan cerdas untuk memanfaatkan
secara optimal. Pada beberapa sumber daya pesisir telah pula
mengalami kelangkaan terkait pemanfaatan yang tidak ramah
lingkungan. Untuk itu diikuti dengan langkah-langkah menjaga
kelestarian sumber daya terkait dengan melakukan pemanfaatan
yang ramah lingkungan. Sebagai contoh sumber daya perikanan
ketersediaannya sangat tergantung pada kelestarian kawasan pesisir.
Karena sebagian besar sember daya perikanan memerlukan kawasan
ini untuk tempat memijah (berkembang baik) penghapusan
(pembesaran), dan sumber makanan serta berlindung.
5) Pemukiman di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Penataan lingkungan pemukiman dan perbaikan kondisi rumah
masyarakat pesisir yang sebagiian besar tidak layak huni juga perlu
dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan peningkatan kinerja
pemanfaatan potensi sumber daya itu sendiri. Sehingga tercipta
kawasan pemukiman, budidaya dan konvervasi secara jelas.
6) Pariwisata;
Kawasan Kabupaten Kubu Raya memiliki beberapa potensi
pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun
"
"
111"
"
pemanfaatan secara profesional masih sangat-sangat diperlukan. Hal
ini dapat dilakukan dengan melakukan studi banding dengan wilayah
di Indonesia yang telah maju dalam pemanfaatan potensi wisata.
7) Pembangunan/pengadaan Air Bersih dan Instalasi Listrik;
Air bersih merupakan kebutuhan dasar (basic need) bagi penduduk,
baiik untuk memasak/minum, mencuci/mandi dan kebutuhankebutuhan lainnya. Bagi kebanyakan penduduk secara tradisional
penggunaan air bersih bersumber dari air sungai dan air hujan.
Sebagian besar kebutuhan air bersih di Kabupaten Kubu Raya belum
dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga
kebutuhan
air
bersih
masyarakat
masih
dilakukan
dengan
menampung air hujan, air tanah dan air permukaan. Satu-satunya
Kecamatan di Kubu Raya yang terlayani oleh PDAM Kabupaten
Pontianak adalah kecamatan Sungai Raya. Berdasarkan da PDAM
Tahun 2005, jumlah pelanggan di Kecamatan Sungai Raya sebanyak
8.310 pelanggan, dengan jumlah iar yang dapat didistribusikan
sebanyak 1.397.093 m3. Kecilnya jangkauan pelayanan air bersih
terhadap masyarakat yang dikelola PDAM selain karena faktor
teknis dengan sulitnya mendapatkan air baku yang mudah dan murah
untuk diproses sebagai air minum juga diakibatkan oleh terbatasnya
dana yang tersedia. Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan
dasar bagi aktivitas keseharian masyarakat maupun proses produksi
dalam industri dan sangat berperan dalam menunjang aktivitas sektor
"
"
112"
"
usaha lainnya. Dengan kata lain, bahwa sub sektor kelistrikan
memiliki pengaruh dan ketertarikan luas (forward-backward
lingkage) bagi pengembangan sektor lapangan usaha lainnya.
Bahkan tingkat konsumsi listrik perkapita digunakan sebagai salah
satu indikator yang menunjukkan sejauh mana tingkat kesejahteraan
masyarakat secara nasional. Kebutuhan energi listri di Kabupaten
Kubu Raya dipenuhi dengan sumber pembangkit listrik tenaga
diesel. Dalam hal pelayanan listrik, akan tetapi belum seluruh desa di
Kabupaten Kubu Raya ini terlayani oleh Listrik PLN. Pada saat
sekarang (Tahun 2008) setidaknya terdapat beberapa desa yang
menggunakan listrik alternative (Tenaga Surya) yaitu Desa Gunung
Tamang dan Gunung Limbung d Kecamatan Sungai Raya. Dalam
masa rencana, jangkauan jaringan listrik dari PLN maupun energi
alternative lainnya perlu ditingkatkan hingga mencapai keseluruhan
desa.
B. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir
Pengelolaan
sumberdaya
wilayah
pesisir
dan
laut
belum
terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, selama ini lebih beroreintasi
"
"
113"
"
kepada ekploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan
kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktorfaktor penyebab kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, bahwa: "Norma-norma pengelolaan
wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatn,
pengelolaan, pengendalian dan pengawasan dengan memperhatikan
norma-norma yabg diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya".
Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem
pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai dari pembangunan
berkelanjutan harus sesuai dengan norma, diberi dasar hukum yang jelas,
tegas dan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
wilayah pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, dalam Pasal 3
tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa: "Pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau berasaskan, pada: (a) Keberlanjutan; (b) Konsistensi; (c)
Keterpaduan; (d) Kepastian; (e) Kemitraan; (f) Pemerataan; (g) Peran serta
masyarakat; (h) Keterbukaan; (i) Desentralisasi; (j) Akuntabilitas; (k)
Keadilan."
"
"
114"
"
Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan
berbagai perencanaan yang disusun oelh berbagai sektor dan daerah
sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya diatur
dalam Bab IV-Perencanaan, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 15 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau Terkecil. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat
tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri,
yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan
(4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated coastal
management.
Persoalan utama yang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah
peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan
sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari
pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor
pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya
memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka
peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam
Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan
pembangunan Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra
untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan
mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan
daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan
"
"
115"
"
keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat
cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala
daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan
dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan
daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political,
and social cultural power) kepada daerah
Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal
pada hakekatnya memiliki posisi yang sangat urgen. Namun kenyataannya
pengelolaan sumberdaya pesisir diKabupaten/Kota dalam wilayah kajian
penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak
dan Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi
nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access,
dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi
kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis
ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan
nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal di pegunungan maupun yang
berdiam di pesisir semunya menyumbang proses degradasi lingkungan
hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian
(akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal:
pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi
pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan
ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan
"
"
116"
"
pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah Lingkungan pesisir
merupakan daerah yang sangat rentan terhadap berbagai tekanan. Berbagai
tekanan baik oleh alam maupun manusia dapat menyebabkan degradasi
sumberdaya lingkungan. Berbagai isu degradasi sumberdaya lingkungan
yang terjadi di wilayah pesisir diantaranya degradasi ekosistem mangrove,
Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai dan Pantai, Degradasi Ekosistem
Terumbu Karang, Pencemaran Perairan, Penambangan Tanah dan Batu
Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak
diaturdengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan
keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya.
Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat
beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir,
juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat
prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat
sektoral. Lahirnya
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undangundang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut
kepada wilayah otonom.
Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut
wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah dan masyarakat di
"
"
117"
"
wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir dan laut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidahkaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila
daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas
politik yaitu perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam
mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah.
Selain itu eco-governance pemerintah daerah sangat buruk sementara
desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi
politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam
dan lingkungan akan makin intensif ke depan
Penanganan permasalahan ini dilakukan melalui penataan kembali
kelembagaan pemerintah daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan,
peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistim administrasi
pembangunan yang mengacu pada perencanaan hirarki pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu atau lebih dikenal Integrated
Coastal Zone Management (ICZM). Penataan kelembagaan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan
tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik
pemerintahan.
"
"
118"
"
Dengan
kata
lain,
untuk
mengoptimalkan
upaya
pengembangan/eksploitasi sumber daya pesisir tersebut, perlu dilakukan
kegiatan perencanaan, yang berguna untuk mengetahui jenis, letak dan nilai
ekonomis sumberdaya serta untuk mengetahui kesesuaian ekologis setempat
terhadap upaya eksploitasi sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau kecil serta PERMEN Nomor 16 tahun 2008 tentang
Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Penetapan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
pengelompokan suatu wilayah ke dalam kawasan-kawasan atau zona-zona
sesuai dengan kondisi biogeofisik dan fisiknya. Tujuan penetapan zonasi
adalah untuk mengoptimalkan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi suatu
kawasan
sehingga
dapat
dilakukan
pengelolaan
kawasan
secara
berkelanjutan. Zonasi peruntukan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil terdiri atas kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan
strategis nasional tertentu dan alur laut (Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007). Namun kenyataan dari hasil penelitian menunjukan penetapan zonasi
wilayah pesisir di 4 (empat) kabupaten/kota lokasi penelitian yang
dilakukan masih dalam draft penyusunan Rencana Zonasi dan belum
terakomodir dalam suatu regulasi kebijakan berupa Peraturan Daerah.
"
"
119"
"
2. Faktor-Faktor
Yang
Pengimplementasian
Mempengaruhi
Desentralisasi
Permasalahan
Kewenangan
Di
Dalam
Bidang
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir di Kalimantan Barat
Potensi sumber daya pesisir di Kalimantaan Barat sebagaimana
diuraikan di atas yang begitu beragam baik dari segi kuantitas maupun
kualitas, seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan wilayah pesisir pada dasarnya adalah
pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian
sumberdaya alam pesisir. Artinya, bahwa sumberdaya alam pesisir dapat
dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia, namun tidak menjadikan
lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak, sehingga
diperlukan pengelolaan.
Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir di Kalimantan Barat
berimplikasi langsung pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya.
Kesejangan dan ketertinggalan merupakan
ditemui. Realitas ini amat kontras
kondisi yang sudah jamak
disandingkan dengan
melimpahnya
kekayaan sumber daya alam yang tersedia. Beragam kebijakan dan regulasi
telah digulirkan, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, terakhir
melalui UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Namun
ironisnya
bukan keteraturan dan
kesejahteraan dihadirkan, melainkan sebaliknya, disini tampak bahwa
hukum telah gagal mengemban fungsi intrumentalis mewujudkan keadilan
dan kemanfaatan bagi masyarakat.
"
"
120"
"
Faktor
penyebab
terjadinya
permasalahan
dalam
tataran
pengimplementasian desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir
sehingga dapat diasumsikan sebagai suatu keterbatasan kemampuan hukum
yang mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan amatan
dan hasil penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah:
a) Terjadinya disinkronisasi dari regulasi dan kebijakan yang ada.
Pasca diterbitkan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara spesifik mengatur wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, ternyata belum dapat menghadirkan pengelolaan
wilayah pesisir
secara memadai dan optimal di daerah. Akomodasi
sinkronisasi kebijakan dan regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan kebijakan penataan ruang, masih jauh dari
harapan. Realitas ini seperti yang
ditemui di Kota Singkawang,
Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak,
tampak bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil,
masih belum dapat
memenuhi prinsip serasi, selaras dan
seimbang dengan dokumen perencanaan tata ruang
sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007.
Secara normatif di dalam UU no 26 No Tahun 2007 pasal 6 ayat 5,
ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan undang-undang
tersendiri. Sedangkan didalam UU no 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat 1,
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri
atas : a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
"
"
121"
"
(RSWP-3-K); b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP-3-K); c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RPWP-3-K); dan d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K). Pada pasal 7 ayat 3, Pemerintah
Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat
1 sesuai dengan kewenangan masing-masing. Didalam UU No 27 Tahun
2007 pasal 9 ayat 2, RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan
diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pada ayat 4, Jangka
waktu berlakunya RZWP-3-K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pada ayat 5, RZWP-3-K
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun sampai
sekarang
dengan
saat
pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota di
Kalimantan Barat belum menerbitkan peraturan daerah sebagaimana
yang diamanatkan undang-undang tersebut, terlebih dengan penghadiran
SK MenHutBun. No. 259/kpts-II/2000 tentang Penujukan Kawasan
Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
b) Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural
akibat
semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter
sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal
masyarakatnya.
Pembangunan daerah khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil
perlu melibatkan masyarakat dengan pemberdayaan dan menarik
"
"
122"
"
partisipasi
masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
pesisir
dapat
dilakukan dengan cara memberikan kewenangan kepada lembagalembaga lokal dalam mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu,
dapat juga dengan memperluas aspek pasar untuk meningkat nilai produk
perikanan. Namun kenyataannya tingkat partisipasi dan kearifan lokal
masyarakat pesisir masih rendah.
Responsitas hukum yang demikian, didasari bahwa hakekatnya
hukum bukan institusi bersifat otonom, namun bagian yang tidak
terpisahkan dan dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan (ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan religi) dari masyarakatnya. Secara sosiologis
hukum yang baik bukanlah suatu institusi yang terosilasi, melainkan
tertanam dalam dan berakar pada masyarakatnya. Tidak ada kehidupan
hukum yang terpisah secara diametral-otonom. Komunitas masyarakat
merupakan arena sosial yang memiliki kapasitas untuk membentuk
hukum sebagai mekanisme internal dalam menjaga keteraturan dan
ketertiban sosial dalam lingkungan komunitasnya.
Secara sosiologis masyarakat pesisir sangat berbeda dengan
masyarakat agraris. Seiring dengan perbedaan tersebut membawa
perbedaan dalam memaknai sumber daya alam. Pemahaman terhadap
karakteristik tersebut harus berkarakter battom up, mengingat eksploitasi
dan makna pemilikan terhadap sumber daya alam yang bersifat open
access tersebut, sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi
perlindungan lingkungan hidupnya. Perilaku yang didasarkan atas
"
"
123"
"
orientasi berpikir kebenaran ekologis, idealnya menjadi pedoman dalam
setiap
interaksi
dan
interalasi
manusia
dengan
lingkungannya.
Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada
sumber daya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan
keputusan
dan
pengawasan
pengelolaan
potensi
sumberdaya, dengan demikian akan lebih menjamin kesinambungan
peningkatan pendapatan dan pelestarian sumberdayanya.
3. Upaya Mewujudkan Desentralisasi
Pengelolaan
Wilayah
Pesisir
Kewenangan Di bidang
Yang
Dapat
Mengakomodasi
Keseimbangan Kepentingan Dan Kelembagaan
Di Kalimantan
Barat
Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara
optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal dan Marine
Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan
wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek utama, yaitu (1) aspek
teknis dan social (2) aspek social ekonomi dan budaya (3) aspek social
politik dan (4) aspek hukum dan kelembagaan.
Permasalahan
utama
yang
dihadapi
dalam
pengelolaan
sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih
berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk
mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan
penegakan
hukum
yang
berkeadilan
"
"
menjadi
keniscayaan
bagi
124"
"
pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam
sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir
semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan
pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan
daerah, serta antar sektor.
Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum
yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian
sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian
sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan
berlebih (over eksploitation) sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik
dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3)
Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran, (5) Introduksi
spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan
pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam.
Efektifitas
desentralisasi
pengelolaan
sumberdaya
pesisir
membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan
dari banyak tingkatan antara lain; level Pemerintahan Pusat, level
Pemerintahan Lokal dan level Komunitas.
Pertama, dalam level Pemerintahan Pusat salah satu poin
agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal,
tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat
desentralisasi lebih efektif bagaimana membuat agar
desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan
bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal.
"
"
125"
"
Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara
tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan
perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus
dipertanggungjawabkan.
Ketiga, pada level Komunitas revitalisasi kelembagaan lokal
menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi
pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah
pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural
kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi
kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi
politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal
dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami
kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor
perikanan.
Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi
sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas
pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi.
Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi
pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat
pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan.
Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan
keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan
memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai
semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal
peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan
bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya
yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara
pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi
sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir.
"
"
126"
"
Sebagai upaya mewujudkan
bidang
Pengelolaan
desentralisasi
kewenangan di
Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi
keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola
pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.
Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada
pemerataan kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi
nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat
menjamin kelestarian sumberdaya alam.. Pengelolaan sumberdaya alam
berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai
didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai
negara di dunia, khususnya dinegara-negara berkembang.
Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik
seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang
semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini
dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah..
Dengan
diberikannya
wewenang
kepada
daerah
dalam
pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil
untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan
mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma
pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian
"
"
127"
"
kewenangan antara pemerintah dan masyarakat.
Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang
diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat
secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital)
dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk
pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya.
Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat
common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan
berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga
jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan
pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi
semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga
kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir
berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal
sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan
kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap
paradigma pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula
mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir
Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis
masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan
melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk
peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar
dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya
"
"
128"
"
pesisir.
Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis
masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro
maupun mikro. Langkah makro merupakan tugas pemerintah untuk
mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur
civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah
mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan
langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas
sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana
pengelolaan.
"
"
"
129"
"
BAB V
PENUTUP
Desentralisasi
kewenangan
Pengelolaan
sumberdaya
pesisir
di
Kalimantan Barat sebagaimana tampak di Kabupaten/Kota dalam wilayah kajian
penelitian ini (Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak dan
Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum memiliki konstribusi yang signifikan
dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat
desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar
tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan
meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan.
Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan
pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari
regulasi dan kebijakan yang ada, dimana Akomodasi sinkronisasi kebijakan dan
regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kebijakan
penataan ruang, masih jauh dari harapan. Realitas ini seperti yang ditemui di Kota
Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak,
tampak bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
masih belum dapat
memenuhi prinsip serasi, selaras dan seimbang dengan
dokumen perencanaan tata ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.
26 Tahun 2007.
Disamping itu juga ditemui
responsitas basis kultural akibat
"
masih rendahnya
daya akomodasi dan
semangat kebijakan dan regulasi yang yang
"
130"
130"
"
berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal
masyarakatnya. Secara sosiologis masyarakat pesisir sangat berbeda dengan
masyarakat agraris. Seiring dengan perbedaan tersebut membawa perbedaan
dalam memaknai sumber daya alam. Pemahaman terhadap karakteristik tersebut
harus berkarakter battom up,
mengingat eksploitasi
dan makna
pemilikan
terhadap sumber daya alam yang bersifat open access tersebut, sudah barang
tentu akan berpengaruh terhadap eksistensi perlindungan lingkungan hidupnya.
Perilaku yang didasarkan atas orientasi berpikir kebenaran ekologis, idealnya
menjadi pedoman
dalam setiap
interaksi dan interalasi manusia dengan
lingkungannya.
Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan
Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi
keseimbangan kepentingan dan
kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya
dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan
pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan
mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal
peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi
tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan
lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi
pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai upaya mewujudkan
desentralisasi
kewenangan di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan
"
"
131"
"
kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.
"
"
"
132"
"
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia,
1986.
Alumni Bandung,
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rapai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam
bidang Hukum, Kecana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara,
Grasindo, Jakarta, 2010
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan
Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1988.
Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial Buku Sumber Untuk
Penelitian Kualitatif. Tiara Wacana. Yogyakarta, 2006
Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit
Gaya Media, Jakarta, 2001
Arif Satria, Karakteristik Masyarakat Pesisir, Cidesindo,Jakarta, 2007
Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis,
Makalah disajikan dalam Simposium Nasional Ilmu Hukum
“Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia” diselenggarakan dalam
rangka Dies Natalis Fakultas Hukum UNDIP ke 41bekerjasama
dengan Pusat Kajian Hukum Indonesia Bagian Tengah dan Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang 10 Februari 1998.
-----------------, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fondasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum,
Mandar Maju Bandung, 2000
Bernard L. Tanya, Meretas Integras Nasional Menuju Kemajuan Peradaban,
Makalah disampaikan dalam Temu Antar Generasi Se-Jawa dan Bali
di Surabaya, diselenggarakan oleh KNPI Jawa Timur, 2 Agustus
2002
-------------------------, Tanya, Hukum, Politik, dan KKN,
Surabaya, 2006.
Penerbit Srikandi,
-------------------------. Tanya, Teori Hukum,; Strategi Tertib Manusia Lintas ruang
dan Generasi, CV. Kita Surabaya, 2006
"
"
"133"
"
Bromley dan Cernea, territorial use rights in fisherie, 1989
Budi Siswanto, Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Penerbit Laksbang
Mediatama, Surabaya, 2010
Darul Kutni Tuhepaly, Otonomi Khusus Bidang Kelautan, Penerbit Galang Press,
Yogyakarta, 2010
Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah,
Kebijakan, Evaluasi dan Saran,UII Press Yogyakarta, 2004
Edy Sudarta, Kebijakan social Sebagai kebijakan Publik, Penerbit Alfabeta,
Bandung, 2008
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Prseindo, Yogyakarta, 2010
FX.Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi
Daerah, Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2007
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. LP3ES, Jakarta, 1987.
Imam Kabul, Paradigma Pembangunan
Kalam, Yogyakarta, 2005
Hukum
Indonesia, Penerbit Kurnia
Hetifah Sj.Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good governance, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2004
Julius Stone, Law and the Social Sciences in the Second Half Century, University
of Minnesota Press, 1966
Khudzaifah Dimyati, Mencari Jatidiri Ilmu Hukum Indonesia, Jurnal
Akademika: Kajian Masalah social dan Agama, Universitas
Muhamadiyah Surakarta, 1999
Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2008
Lawrence M.Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New
York: Russel Sage Foundation, 1977.
Mahfud MD, Moh,. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 2009
Margaret M .Poloma, Teori Sosiologi Komtemporer, Raja Grafindo, Jakarta,
Jakarta, 1994.
Mboi Napsiah,. Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta, Penerbit Obor, 1997
"
"
"
134"
"
Muladi, Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan, dan Perlindungan Hukum
Dalam Era Globalisasi, Makalah, 1995
Prijono, Onny S, dan A.M.W. Pranarka (penyunting), 1, Pemberdayaan : Konsep
Kebijakan dan Implementasi, CSIS, JakartA, 1996.
Romli Atmasasmita, Pengantar hukum Kejahatan Bisnis, Prenedia Media,
Jakarta,2003
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, 1988.
Sarundajang, babak baru Sistem Pemerintahan Daerah, Penerbit Kata hasta,
Jakarta, 2005,
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.
-----------------------, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung 1996
-----------------------, Pendekatan dan Kajian Sosiologis Terhadap Hukum, Jurnal
Ilmu Hukum Nomor 1 Tahun 1, Surakarta,1996
-----------------------, Masalah Nilai-Nilai dalam Penemuan Hukum dan
Pembentukan Hukujm Nasional, Makalah, Temu Wicara Tentang
Pelaksanaan Pembangunan Hukum PJP II, BPHN, Jakarta, 1999
-----------------------, Membedah Hukum Progresif, Kompas, 2007
Setiono, “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah
Psikologi: Kognisi UMS, Vol. 6, Nomor 2 Nopember 2002
Soejono Dirdjosisworo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 2000
Suhana, Redesain Kebijakan Ekonomi Kelautan dan Perikanan Untuk
Kesejahteraan rakyat dan Kelestarian Sumber Daya: Rekonstruksi
Kebijakan Kelautan, Jurnal Transisi, Jakarta, 2011
Sulistyowati Irianto, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009
Sujana Rayat, Kebijakan Sosial baru dan Peran Pemerintah Daerah, Penerbit
Prakarsa-LP3ES, 2009
Suriansyah Murhani, Pengawasan Pemerintahan Daerah, Mediatama, Yogyakarta,
2008
"
"
"
135"
"
Syamsudin Haris, Desentalisasi dan Otonomi Daerah, LIPI Press-Jakarta,2010
Ostrom, Elinor, , Coping with Tragedies of the Commons in Annual Reviews
(www.Annual Reviews.org) 1999
Owin Jamasy , Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan,
Penerbit Blantika Jakarta, 2006
Team Work LAPERA, Politik Pemberdayaan, Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002
Kumpulan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
"
"
Download