1 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS

advertisement
1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PERILAKU
PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI
Oleh :
Anton Noor Gunawan
Rr. Indah Ria Sulistyorini
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PERILAKU
PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI
Telah Disetujui Pada Tanggal
----------------------
Dosen Pembimbing Utama
(Rr. Indah Ria Sulistyarini S.Psi., psikolog)
3
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN
PERILAKU PROSOSIAL PADA RELAWAN GEMPA BUMI
Anton Noor Gunawan
Rr. Indahria Setyorini
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara
spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Dugaan awal
yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara spiritualitas
dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Semakin tinggi spiritualitas
maka semakin tinggi perilaku prososial. Sebaliknya semakin rendah spiritualitas
maka semakin rendah perilaku prososial.
Subyek dalam penelitian ini adalah relawan gempa bumi yang pernah
bergabung dalam posko Granat dan terjun di daerah Bantul dan sekitarnya. Teknik
pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan skala. Adapun skala yang
digunakan adalah skala spiritualitas yang berjumlah 25 aitem dengan modifikasi
alat ukur dari Delaney (2005) dan skala perilaku prososial yang berjumlah 34
aitem dengan modifikasi alat ukur dari Carlo & Randall (2002).
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
fasilitas program SPSS Versi 12,0 for windows untuk menguji apakah ada
hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa
bumi. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar rxy =
0,586 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang sangat
signifikan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa
bumi. Jadi hipotesis yang diajukan peneliti diterima.
Kata kunci: Spiritualitas, Perilaku Prososial.
PENGANTAR
Salah satu tantangan umat manusia terbesar adalah mengatasi bencana alam.
Gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 merupakan salah satu contoh bencana yang
tidak diharapkan oleh semua orang. Gempa bumi dengan skala 5,9 skala richter
dalam kurun waktu kurang dari satu menit mampu meluluhlantahkan Yogyakarta
dan Jawa Tengah khususnya daerah Bantul. Kehilangan harta benda, pekerjaan,
cacat tubuh bahkan kehilangan sanak saudara yang dicintai menjadi beban mental
yang berat bagi para korban gempa bumi.
Berdasarkan data yang ada, bahwa gempa bumi yang melanda Provinsi DI
Yogyakarta dan Jawa Tengah telah mengakibatkan korban meninggal 5.778 jiwa,
2.111.872 jiwa harus mengungsi dan 139.859 unit rumah rusak berat.
(http://www.tempointeraktif.com). Di tengah kepiluan dan kesedihan tersebut ada
fenomena
yang
sangat
mengharukan
sekaligus
membanggakan
ketika
menyaksikan betapa besar empati berbagai pihak terhadap para korban gempa
yang sedang ditimpa kemalangan. Berbagai komponen masyarakat baik secara
pribadi ataupun kolektif, berupaya memberi bantuan dengan beragam bentuk dan
jenis.
Orang-orang yang membantu dalam berbagai bentuk tersebut dikenal sebagai
relawan. Relawan adalah seseorang yang berniat untuk membantu orang-orang
dan komunitas yang membutuhkan bantuan, termotivasi oleh kehendak bebasnya
sendiri bukan atas keinginan untuk mendapatkan keuntungan berupa harta atau
benda maupun tekanan eksternal politis, ekonomi atau sosial (Himpsi dkk, 2005).
1
2
Prososial yang dimiliki relawan dapat menjadi pilar penyangga tegaknya
mentalitas para korban gempa karena ada dukungan untuk saling memberikan
pertolongan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Akan tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa ada relawan yang berperilaku sebaliknya. Seperti
halnya kasus ada relawan yang acuh tak acuh di lapangan, absent dari tugas yang
sudah dijadwalkan (http://psico2.blogspot.com). Pada kasus lain, ada juga relawan
yang mencuri bantuan untuk pengungsi (www.kompas.com), padahal seharusnya
seorang relawan menyalurkan bantuan pada pihak-pihak yang berhak menerima
seperti korban bencana alam.
Peneliti melakukan wawancara dengan salah seorang teman berinisial (rs)
yang pernah menjadi relawan dan terjun di daerah Bantul. Menurut ceritanya ada
mahasiswa yang sudah tergabung dalam kerelawanan dan sudah menyetujui
penjadwalan atau pembagian tugas. Namun pada kenyataannya banyak dari
relawan tersebut yang bolos dari jadwal dan jenis tugas yang sudah disepakati
tanpa pemberitahuan atau alasan yang jelas. Selain itu di lapangan hanya
“nongkrong” ketika teman relawan lain bekerja membantu korban gempa, dan ada
pula relawan yang membantu bila diminta oleh orang lain (teman relawan, korban
gempa).
Seorang relawan harus menunjukkan komitmen pada tugasnya, dapat bekerja
sama dalam tim dan dapat bekerja dibawah tekanan (Himpsi, 2005). Seorang
relawan bila tidak berkomitmen dengan tugasnya tentu akan merugikan berbagai
pihak seperti korban gempa dimana bila korban gempa memerlukan tindakan
cepat namun si relawan tidak mempunyai komitmen seperti sigap untuk menolong
3
bisa jadi pertolongan untuk korban gempa akan terlambat. Dari sisi organisasi,
dengan tidak komitmennya seorang relawan akan menghambat kinerja organisasi
dimana koordinasi kerja yang semula terencana dengan baik, rapi dan jelas namun
ketika relawan tidak berkomitmen akan merusak koordinasi tersebut dan bisa pula
mempengaruhi teman relawan yang lain.
Menurut Staub (Dayakisni, 2003) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku prososial adalah personal values atau nilai-nilai yang diinternalisasi oleh
individu selama mengalami sosialisasi. Elkins, dkk. (Emmons, 2000) menyatakan
bahwa spiritualitas adalah jalan untuk menjadi dan mengalami kesadaran spiritual
yang diperoleh melalui kesadaran dimensi transendental yang ditandai oleh nilainilai yang mampu diidentifikasi dan diinternalisasi baik yang datang dari diri
sendiri, orang lain, alam, kehidupan.
Bonner (2003) menyatakan ada hubungan antara spiritualitas dengan
meningkatnya perilaku prososial. Menurut Jacobi (2004) individu yang memiliki
spiritualitas tinggi merasa diri mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih
baik dimana mungkin berkontribusi pada perilaku prososial. Selain itu spiritualitas
dapat berfungsi sebagai faktor pelindung seseorang untuk melakukan perilaku
antisosial dan membuat individu condong ke perilaku prososial. Kemampuan
untuk bertingkah laku yang baik, seperti menunjukkan rasa belas kasihan,
mengungkapkan rasa terima kasih, menunjukkan rasa malu, menunjukkan kasih
sayang, dan menunjukkan rasa rela berkorban atas nama kasih merupakan salah
satu komponen dalam kecerdasan spiritual (Emmons, 2000).
4
Berdasar latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud membahas
permasalahan sejauhmana spiritualitas berhubungan dengan perilaku prososial
pada relawan gempa bumi. Oleh karena itu Peneliti merasa tertarik untuk melihat
hubungan antara spiritualitas dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi
sebagai judul skripsi yang akan diteliti lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Prososial
Sears, dkk (1994) mengemukakan bahwa perilaku prososial mencakup
kategori lebih luas, meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan motif si penolong.
Lebih lanjut, Brigham (Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bahwa perilaku
prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan
demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan
dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Baron & Byrne
(2005) mengatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong
yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan
melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2003) mengatakan bahwa perilaku prososial
dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak
memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (Dayakisni & Hudaniah,
2003) membatasi perilaku prososial lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki
5
intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari
kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk
membantu meningkatkan well being orang lain.
Eisenberg & Fabes (Hetherington & Parke, 1999) mengatakan bahwa perilaku
prososial adalah perilaku yang sengaja ditujukan agar menguntungkan pihak lain.
Perilaku ini dapat dilakukan untuk berbagai motif, termasuk masalah egoistik,
berorientasi pada pihak lain, dan soal-soal praktis. Wispe (Wrightsman & Deaux,
1981) mengatakan bahwa perilaku prososial sebagai perilaku yang mempunyai
konsekuensi yang positif, memberikan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi
orang lain.
Berdasarkan teori dari Carlo & Randall (2002) aspek-aspek perilaku prososial
yaitu :
a.Altruistic prosocial behavior
Altruistic prosocial behavior adalah motivasi membantu orang lain terutama
yang berhubungan dengan kebutuhan – kebutuhan dan kesejahteraan orang lain,
seringkali disebabkan oleh respon – respon simpati dan diinternalisasikan ke
dalam norma – norma atau prinsip – prinsip yang tetap dengan membantu orang
lain.
b.Compliant prosocial behavior
Compliant prosocial behavior adalah membantu orang lain karena dimintai
pertolongan baik verbal maupun nonverbal.
6
c. Emotional prosocial behavior
Emotional prosocial behavior adalah membantu orang lain karena disebabkan
perasaan emosi berdasarkan situasi yang terjadi.
d.Public prosocial behavior
Public prosocial behavior adalah perilaku menolong orang lain yang dilakukan
di depan orang – orang, setidaknya dengan suatu tujuan untuk memperoleh
pengakuan dan rasa hormat dari orang lain (orangtua, teman sebaya) dan
meningkatkan harga diri.
e. Anonymous and dire prosocial behavior
Anonymous prosocial behavior adalah menolong yang dilakukan tanpa
sepengatahuan orang yang ditolong. Sedangkan dire prosocial behavior adalah
menolong orang yang sedang dalam keadaan krisis atau darurat.
Spiritualitas
Richards, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai komponen diri yang
menghasilkan makna-makna serta tujuan-tujuan dalam hidup, menyajikan
pengalaman transendensi pribadi dan hubungannya dengan tatanan universal.
Menurut Delaney (2005) spiritualitas adalah fenomena multidimensi yang
menghasilkan pengalaman universal, bagian konstruksosial dan perkembangan
individu sepanjang hidup.
Delaney (2005) menjelaskan Spiritualitas meliputi keadaan pribadi, antar pribadi
dan transpersonal yang terdiri dari 4 bidang yang saling berhubungan:
a. Kekuatan yang lebih tinggi atau kecerdasan universal (higher power or
universal intelligence) - kepercayaan pada kekuatan yang lebih tinggi atau
7
kecerdasan universal yang mungkin atau mungkin tidak termasuk praktek
agama formal.
b. Penemuan diri (self-discovery) – perjalanan spiritual yang dimulai dari refleksi
diri dan pencarian arti dan tujuan. Proses penemuan diri ini petunjuk untuk
tumbuh,penyembuhan dan transformasi.
c. Hubungan (relationships) – hubungan integral pada orang lain berdasar rasa
hormat yang mendalam dan pengalaman dalam hubungan
d. Kesadaran ekologi (eco-awareness) - hubungan integral ke dasar alam pada
penghormatan yang dalam dan penghormatan pada lingkungan dan
kepercayaan bahwa bumi adalah suci.
Delaney kemudian memasukkan aspek Higher Power or Universal
Intelligence ke dalam aspek Eco-awareness sehingga spiritualitas terbagi dalam
tiga aspek antara lain Self-Discovery, Relationships dan Eco-awareness (meliputi
Higher Power/Universal Awareness).
Hubungan antara Spiritualitas dengan Perilaku Prososial
pada relawan gempa
Beberapa aspek yang termasuk dalam spiritualitas antara lain Self-Discovery,
Relationships dan Eco-awareness (Higher Power/Universal Awareness). SelfDiscovey merupakan refleksi diri, pencarian makna dan tujuan hidup. Kehendak
untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia. Ancok (2003)
menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna.
Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak
hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kebermaknaan hidup dapat
8
diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk
orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara bahkan umat
manusia. Perasaan yakin bahwa hidup itu sangat bermakna merupakan manifestasi
utama dari spiritualitas (Smith, 1994).
Seorang relawan gempa yang memaknai hidup yang baik dan memiliki tujuan
hidup yang terarah, maka dalam praktek di lapangan akan terwujud dalam
keinginan dan perilaku yang tulus untuk membantu korban gempa. Elkins (Smith,
1994) menggambarkan pribadi spiritual sebagai seseorang yang telah memahami
kebutuhan akan pemaknaan dan tujuan hidup, serta telah memunculkan
kepercayaan bahwa hidup itu sangat bermakna dan eksistensi diri seseorang
memiliki tujuan. Carson (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa pengembangan
spiritual mencakup pelayanan, sementara orang lain telah menghubungan
spiritualitas dengan cinta, perhatian, kebijaksanaan, imajinasi, pengampunan dan
kasih sayang. Relawan dalam hal ini bisa menjadi contoh konkrit bahwa mereka
tergerak untuk melakukan sesuatu terhadap korban gempa bisa jadi dimotivasi
oleh spiritualitas dalam diri mereka yang timbul dengan banyaknya korban jiwa
dan kerusakan yang terjadi
Di sisi lain para relawan akan bekerja sama dengan teman relawan lain dalam
bentuk komitmen yang kuat sesuai dengan tujuan semula yaitu membantu pihakpihak yang memerlukan bantuan seperti korban gempa. Menurut Smith (1994),
salah satu dimensi spiritualitas diantaranya yaitu memiliki sebuah komitmen
terhadap aktualisasi dalam kehidupan, menyadari tentang keterkaitan dalam
kehidupan yaitu memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan
9
semua orang. Hal ini mencakup kesadaran akan musibah kehidupan serta
tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dengan adanya spiritualitas, seorang
relawan akan mempunyai komitmen yang kuat terhadap tugasnya. Jacobi (2004)
menyampaikan bahwa individu yang memiliki spiritualitas tinggi merasa diri
mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih baik dimana mungkin
berkontribusi pada perilaku prososial. Spiritualitas dapat berfungsi sebagai faktor
pelindung seseorang untuk melakukan perilaku antisosial dan membuat individu
condong berprasangka ke perilaku prososial
Relationships merupakan hubungan integral pada orang lain berdasar rasa
hormat yang mendalam. Ketika seseorang merasa diri sebagai bagian dari
lingkungan sosial, dimana merasa ada ikatan antar pribadi lain sehingga akan
menimbulkan rasa penghormatan dan perilaku kasih sayang terhadap orang lain.
Seorang relawan tergerak untuk membantu korban gempa, karena merasa diri
sebagai
bagian
dari
lingkungan
sosial
dimana
wujud
perilakunya
di
implementasikan dalam pengabdian untuk membantu meringankan beban korban
gempa bumi, selain itu memandang bahwa perilakunya merupakan amanah dan
wujud kewajiban sosial yang harus dipenuhi. Banks dkk (Smith, 1994)
mengungkapkan bahwa perasaan bagi orang lain sebagai ekspresi spiritualitas;
sebuah keinginan untuk berbuat lebih kepada orang lain dari pada buat dirinya
sendiri, merupakan sebuah komponen yang sangat penting dari dimensi spiritual.
Spiritualitas menjadi sangat berarti jika mampu diterapkan pada setiap profesi
apapun termasuk peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagai relawan karena
akan mendasari setiap gerak dan langkah dalam menjalankan tugasnya. Bonner
10
(2003) menyampaikan bahwa spiritualitas berhubungan dengan meningkatnya
perilaku prososial. Prososial yang dimiliki relawan dapat menjadi pilar penyangga
tegaknya mentalitas para korban gempa karena ada dukungan untuk saling
memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Nilai
prososial dapat tercermin dari sikap mental yang dimiliki relawan atau suatu
komunitas, peka terhadap lingkungan sosialnya sehingga mendorong seseorang
untuk peduli melakukan perbuatan bagi kepentingan lingkungan sosialnya
tersebut.
Eco awareness merupakan keyakinan adanya kekuatan yang lebih tinggi dari
manusia dan memandang bahwa bumi adalah suci. Dengan adanya gempa bumi
mencerminkan bahwa ada kekuatan lain (Higher Power) di atas manusia yang
dapat mempengaruhi kehidupan manusia secara luas. Relawan merefleksikan
bahwa perilakunya merupakan suatu keyakinan akan adanya kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia dimana kekuatan tersebut mampu menentukan garis
kehidupan manusia. Keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk kepedulian
memberi dukungan baik fisik, psikologi maupun spiritual terhadap korban gempa,
selain itu wujud perilaku relawan juga menunjukkan penghormatan yang
mendalam terhadap lingkungan (bumi) yang digambarkan dengan perilaku
membangun lingkungan yang rusak akibat gempa menjadi lingkungan yang
kondusif untuk ditempati manusia, seperti membersihkan puing-puing bangunan,
membangun jembatan dan infrastuktur yang lain ataupun melestarikan lingkungan
untuk menjaga kestabilan alam.
11
Malinski (Smith, 1994) mengkaitkan spiritualitas sebagai eksistensi diri dan
pengalaman dari kesatuan yang diwujudkan dalam bentuk kesadaran yang
meningkat tentang saling keterkaitan antara masyarakat dengan lingkungan; serta
kesatuan cara pandang kehidupan manusia dan kosmiknya. Perasaan saling
keterkaitan tersebut bisa juga diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap
tindakan dan cinta kasih yang humanis (Elkins, dkk. 1988; dalam Smith, 1994),
serta kasih sayang dan pengampunan terhadap orang lain.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya spiritualitas
sangat berperan penting terhadap perilaku prososial pada relawan gempa.
Spiritualitas akan menjadi media bagi seorang relawan gempa untuk menerapkan
secara langsung bentuk-bentuk kepedulian dengan menyantuni dan membantu
memberikan tenaga, materi ataupun doa kepada korban gempa, dan berempati
merasakan kepedihan, kekecewaan sebagaimana yang dialami oleh para korban
gempa.
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara spiritualitas
dengan perilaku prososial pada relawan gempa bumi. Semakin tinggi tingkat
spiritualitas, semakin tinggi pula perilaku prososial yang dilakukan. Semakin
rendah tingkat spiritualitas, semakin rendah pula perilaku prososial yang
dilakukan.
12
METODE PENELITIAN
Variabel
Variabel tergantung
: perilaku prososial
Variabel bebas
: Spiritualitas
Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah relawan
gempa bumi yang pernah bergabung dengan posko Granat Rayon UII.
Alat ukur
Metode
pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode skala. Skala ini menggunakan lembar identitas diri sebagai
pelengkap data penelitian, di antaranya : nama (inisial), jenis kelamin, usia,
pekerjaan. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala
perilaku prososial dan skala spiritualitas.
Skala perilaku prososial merupakan modifikasi dari skala perilaku prososial
yang disusun oleh Carlo & Randal (2002). Perilaku prososial terdiri dari beberapa
aspek, yaitu altruistic prosocial behavior, compliant prosocial behavior,
emotional prosocial behavior, public prosocial behavior, anonymous dan dire
prosocial behavior. Aitem pada skala ini bersifat favorable yang terdiri dari
empat alternatif jawaban yaitu sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, sangat tidak
sesuai. Pemberian skor yaitu bergerak antara 4-1 karena semua pernyataan yang
ada adalah termasuk pernyataan yang favorable. Hasil analisis data dengan
menggunakan koefisien korelasi diatas 0,25 menunjukkan bahwa terdapat 34
13
aitem yang shahih dengan aitem totalnya bergerak antara 0,255 sampai dengan
0,741 dengan nilai koefisien reliabilitas alpha (a) sebesar 0,936.
Skala spiritualitas dalam penelitian ini diungkap dengan mengadaptasi
kemudian memodifikasi skala spiritualitas yang disusun oleh Delaney (2005).
Skala spiritualitas berisi aspek-aspek yaitu Self-Discovery, Relationships dan Ecoawareness (meliputi Higher Power/Universal Awareness). Aitem pada skala ini
bersifat favorable yang terdiri dari empat alternatif jawaban yaitu sangat sesuai,
sesuai, tidak sesuai, sangat tidak sesuai. Pemberian skor yaitu bergerak antara 4-1
karena semua pernyataan yang ada adalah termasuk pernyataan yang favorable.
Skala spiritualitas terdiri dari 25 aitem shahih dengan aitem totalnya begerak
antara 0,357 sampai dengan 0,814 dan diperoleh nilai koefisien reliabilitas alpha
(a) sebesar 0,932.
Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
statistik r-product moment dari Pearson. Teknik ini digunakan karena dalam
penelitian ini mencari korelasi antara variabel tergantung dan variabel bebas.
Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat
lunak SPSS for Windows versi 12.0
HASIL PENELITIAN
Uji Normalitas
Uji normalitas ini menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov test, dimana
terlihat taraf signifikansinya lebih dari 0,05 atau p>0,05. Pada variabel perilaku
14
prososial signifikansinya 0,724 sedangkan variabel spiritualitas signifikansinya
0,437, karena p>0,05 maka distribusi tes normal.
Uji Linieritas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen bersifat linier (garis lurus). Hasil uji asumsi
linieritas diperoleh nilai F sebesar 70,750 dengan p=0,000 (p<0,05). Berdasarkan
hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel spiritualitas dan perilaku
prososial memenuhi asumsi linieritas.
Uji Hipotesis
Tabel 1
Correlations
spiritualitas
spiritualitas
prososial
Pearson
Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Pearson
Correlation
Sig. (1-tailed)
N
prososial
1
.586(**)
.
50
.000
50
.586(**)
1
.000
50
.
50
Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara
variabel spiritualitas dengan perilaku prososial sebesar r= 0,586 dengan p = 0,000
(p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara spiritualitas
dengan perilaku prososial. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti
diterima.
Pembahasan
Dari hasil analisis terbukti bahwa spiritualitas mempengaruhi perilaku prososial
pada relawan gempa bumi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
15
dilakukan oleh Bonner (2003) bahwa dalam penelitiannya menunjukkan
spiritualitas berhubungan dengan meningkatnya perilaku prososial. Selain itu
Jacobi (2004) menunjukkan bahwa individu yang memiliki spiritualitas tinggi
merasa diri mereka mempunyai keterampilan sosial yang lebih baik dimana
mungkin berkontribusi pada perilaku prososial. Selain itu spiritualitas dapat
berfungsi sebagai faktor pelindung seseorang untuk melakukan perilaku antisosial
dan membuat individu condong berprasangka ke perilaku prososial
Saroglou (2006) berpendapat bahwa spiritualitas yang modern mengikuti
kecenderungan prososial dari keagamaan tradisional karena itu meliputi sebuah
pencarian yang aktif terhadap pembentukan arti (pemaknaan), penerimaan yang
dalam, rasa untuk saling berhubungan, dan sebuah etika tanggungjawab. Selain itu
spiritualitas mungkin dapat menjadi penebak atau prediktor untuk menangani
batasan-batasan dalam kebajikan, menolong dan rasa toleransi terhadap orang
lain. Carson (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa pengembangan spiritual
mencakup pelayanan, sementara orang lain telah menghubungan spiritualitas
dengan cinta, perhatian, kebijaksanaan, imajinasi, pengampuan dan kasih sayang.
Spiritualitas akan menjadi media bagi perseorangan untuk menerapkan secara
langsung
bentuk-bentuk
kepedulian
dengan
menyantuni
dan
membantu
memberikan tenaga, materi ataupun doa kepada korban gempa, dan berempati
merasakan kepedihan, kekecewaan sebagaimana yang biasa dialami para korban
gempa
Menurut Stoll (Smith, 1994) bahwa spiritualitas digambarkan sebagai
hubungan yang harmonis atau saling mempercayai terhadap orang lain dalam
16
dimensi transedensi, serta sebagai perasaan yang mendalam akan rasa memiliki,
keutuhan, keterkaitan, dan keterbukaan terhadap hal-hal yang tak berbatas.
Perasaan saling keterkaitan tersebut bisa juga diwujudkan dalam bentuk komitmen
terhadap tindakan dan cinta kasih yang humanis (Elkins, dkk. 1988; dalam Smith,
1994), serta kasih sayang dan pengampunan terhadap orang lain.
Relawan yang terkendali spiritualitasnya akan mampu mengembangkan
tugasnya dengan baik karena jujur dan penuh dedikasi dalam menjalankan
tugasnya. Sebagai relawan yang secara eksplisit mengemban tugas membantu
para korban gempa agar bangkit dari kesedihan, menumbuhkan semangat hidup
serta menanamkan optimisme sebagai misi yang harus diemban para relawan. Hal
ini sangat tepat jika spiritualitas mendasari setiap pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya. Spiritualitas juga menjadi sangat berarti jika mampu diterapkan pada
setiap profesi apapun termasuk peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagai
relawan karena akan mendasari setiap gerak dan langkah dalam menjalankan
tugasnya.
Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain pertama, jumlah
subjek dalam penelitian ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga kurang
mewakili populasi yang diinginkan. Kedua, pada aitem aspek publik variabel
prososial banyak yang gugur dan tersisa dua aitem. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena budaya timur dimana ketika orang menolong tidak ingin
kesannya agar dipuji, dilihat dan sebagainya.
17
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
1. hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
spiritualitas dengan perilaku prososial
2. subjek penelitian secara keseluruhan memiliki tingkat perilaku prososial yang
tinggi.
SARAN
Beberapa saran yang diajukan oleh peneliti ditujukan kepada :
1. Kepada relawan (subjek penelitian) agar terus mempertahankan tingkat
spiritualitas yang dimiliki.
2. Kepada pihak organisasi diharapkan tetap secara rutin memberikan pelatihanpelatihan bagi para relawan yang dapat mempertahankan spiritualitas sehingga
akan meningkatkan perilaku prososial relawan. Perilaku prososial relawan yang
semakin tinggi akan meningkatkan kualitas pelayanan.
3. Pada penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian yang sama namun
pada relawan yang berbeda seperti relawan banjir, relawan pendampingan korban
kekerasan seksual, relawan peduli aids, relawan anti narkoba. Jumlah subjek
dalam penelitian ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga kurang mewakili
populasi yang diinginkan. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengambil
subjek yang cukup luas sehingga tingkat reliabilitas dan validitasnya menjadi
lebih baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 2005. Bencana Alam, Bencana Teknologi, Racun dan Polusi Udara ;
Sebuah Tinjauan Psikologi Lingkungan. Bulletin Psikologi, vol. 13 No.1,
Juni.
Ahyadi. 1995. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung : Sinar
Baru Algensindo
Ancok, D. 2003. Pengantar Dalam Victor E. Frankl, Logoterapi ; Terapi Psikologi
Melalui Pemahaman Eksistensi. Penterjemah M. Murtadio. Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Anonim. 2005. Panduan Bagi Petugas dan Relawan Kesehatan Mental. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI),
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).
Anonim. 2006. Gempa Bumi.http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi
Banawiratma, J. B. 2000. Spiritualitas Transformatif : Suatu Pergumulan
Ekonomis. Yogyakarta : Kansius.
Baron, R. A & Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Bonner, K. dkk. Effect of Religiousity and Spirituality on Depressive Symtoms
and Prosocial Behaviors. Journal of Religious Gerontology, Vol 14 No
2/3, 2003. 189 - 205
Cahanar. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara
Carlo, G. & Randall, B. 2002. The Development of a Measure of Prosocial
Behaviors for Late Adolescencts. Journal of Youth and Adolescence. Vol.
31, No. 1, 31-44.
19
Dayakisni, T. & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial Edisi Revisi. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.
Delaney, C. 2005.The Spirituality Scale Development And Psychometric Testing
of Holistic Instrument to Assess the Human Spiritual Dimension. Journal
of Holistic Nursing, Vol. 23 No 2, June 146-167.
Emmons, R. A. 2000. Is Spirituality an Intelligence? Motivation, Cognition, and
the Psychology of Ultimate Concern. International Journal for The
Psychology, 10 (1).
Ham. 2005. Farid Faqih Dituntut 3 Tahun. http://kompas.com/kompascetak/0506/17/daerah/1822460.htm
Hetherington & Parke. 1999. Child Psychology : A Contemporary Viewpoint,
Fifth edition. USA : Mc. Graw-Hill
Holt, C. L. dkk. 2003. Spirituality, Brents Cancer Beliefs and Mammography
Utilization among Urban African american Woman. Journal of Health
Psychology, 8: 383-396.
Jacobi, L. J. 2004. Psychological Protective Factors and Social Skills : An
Examination of Spirituality and Prosocial Behavior. National
Communication Association.
Nashori, F. 2005. Refleksi Psikologi Terhadap Bencana Gempa dan Tsunami
Aceh. Unisia. No 56
Nawangsih, U. 2001. Pengaruh Tipe Orientasi Religius Terhadap Perilaku
Prososial Remaja. Jurnal Psikodinamik, Vol. 3, No. 1
Piedmont, R. L. 2001. Spiritual Transcendence and the Scientific Study of
Spirituality. Journal of Rehabilitation, 67 (1): 4-14.
Rahmat. 2006. Gempa dan Relawan. http://psico2.blogspot.com
Richards, T. A. dkk. 1999. Spiritual Aspects of Loss Among Partners of Men with
AIDS: Post Bereavement Follow-Up. Death Study, 23: 105-107.
20
Saputra, U. T. Melatih Spiritualitas, Membangun Jemaat. http://www.gkimy.or.id
Saroglou, V. 2006. Psychology of Religion Newsletter Vol 31, No 2. American
Psychological Association Division 36. Universite Catholique de Louvain.
Schultz, D. 1999. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model kepribadian Sehat.
Yogyakarta: Kanisius
Sears, D. O., dkk. 1991. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Smith, D. W. 1994. Theory of Spirituality. Journal of Holisting Nursing, 9.
Susanti. 2007. Sebanyak 7.340 Orang Meninggal Akibat Bencana Sepanjang
2006.http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/09/brk,200702
09-92840,id.html
Wrightsman, L. S. & Deaux, K. 1981. Social Psychology in The 80’S, Third
Edition. Monterey: Brooks/Cole Publishing Company.
Wikipedia,
The
Free
Encyclopedia.
Spirituality.
http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Template:spirituality&action=ed
it
Download