BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Politik Sayap Kiri Dalam politik

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Politik Sayap Kiri
Dalam politik, istilah “kiri” digunakan sebagai euphimisme berbagai
tindakan dan pemikiran radikal mengenai perubahan sosial. Kiri1 mewakili
berbagai spektrum ideologi yang menentang dominasi minoritas terhadap
mayoritas. Kiri sebagai penanda perubahan juga dipertentangkan dengan kanan
sebagai penanda kestabilan. Hal ini, berfungsi sebagai dikotomi pemikiran dan
tindakan kelompok-kelompok politik dalam kategori longgar yang dapat diamati2.
Di Indonesia, istilah “kiri” secara politis diasosiasikan dengan berbagai
varian sosialisme yang digeneralisir dalam terminologi komunisme. Generalisasi
yang digunakan oleh Orde Baru tersebut bukanlah tanpa alasan, pengaruh kiri di
Indonesia dimulai melalui pengaruh Marxisme-Leninisme dari kelompok sosialis
radikal Belanda yang melahirkan PKI. Generalisasi yang sudah terlanjur mapan
ini mulai kembali dipertanyakan ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998 ketika
organisasi-organisasi yang mengklaim sebagai gerakan kiri bermunculan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah “sayap kiri” sebagai
penanda spektrum ideologi politik. Istilah “sayap kiri” merupakan metaphora
radikalisme yang digunakan oleh Lenin dan secara umum digunakan sebagai
1
Substansi istilah kiri digunakan untuk mendefinisikan dukungan terhadap perubahan (dalam
konteks perubahan sosial), hak dan tanggung jawab kolektif (sebagai lawan dari individu) dari
beberapa bentuk pemerintah atau intervensi sosial dalam ekonomi untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan ketidakadilan (Kurian, 2011; 935).
2
Dikotomi ini diperoleh melalui penanda yang kontras antara ideologi dan gerakan yang
memisahkan dua entitas politik dari pemikiran politik dan praktik politiknya (Bobbio, 1996;1)
14
15
istilah dikotomis dalam spektrum politik (dalam Lukes, 2004: 4, Bobbio, 1996: 7).
Peneliti juga memahami istilah “kiri” sebagai spektrum politik luas yang
beroposisi terhadap sistem kapitalisme dengan motif mengakumulasi keuntungan
dan berjuang untuk membangun alternatif humanis, masyarakat yang saling
bekerjasama, masyarakat sosialis, dan blok kepentingan kelas pekerja (Harnecker,
2007:33). Spektrum luas ini diambil dengan pertimbangan teoritis bahwa konsepkonsep Marxisme dan anti-kapitalisme telah berkembang sejak berakhirnya
perang dingin.
Peneliti menggunakan istilah ini untuk menunjukkan relasi historis politik
sayap kiri pasca Orde Baru dengan periode sebelumnya yang secara spesifik
mengacu pada perkembangan pemikiran dan praktik politik Marxisme.
Penggunaan istilah ini mengacu pada praktik politik dari objek penelitian yaitu
PRD yang dikategorikan sebagai partai kiri dan mempraktikkan pendekatan
Marxian (Bourchier dan Hadiz, 2003; Miftahuddin, 2004; Lane, 2008; 2012).
Oleh karena itu, untuk menempatkan politik sayap kiri pada konteks Marxisme
peneliti dalam bagian ini akan membahas akar politik Marxisme untuk memahami
perubahan atau perkembangan wacana dan praktik politik sayap kiri yang
dipraktekkan oleh PRD.
16
2.2 Politik Marxisme
Politik marxisme mengacu pada pamflet politik yang yang ditulis oleh
Marx dan Engels pada Desember 1847 hingga Januari 1848 berjudul Manifesto
Komunis. Pamflet ini ditulis untuk Liga Komunis3 yang baru dibentuk oleh Liga
Keadilan4 dan korespondensi Marx-Engels5. Naskah ini mengajukan pendekatan
empiris yang diramu dengan bahasa propagandis untuk memberikan kepercayaan
diri dan kesadaran kaum proletariat terhadap “takdir sejarahnya6”.
Secara substansial, Manifesto Komunis dapat dibagi dalam dua argumen
kunci yaitu; pandangan materialisme tentang sejarah yang memandang sejarah
dari sudut pandang materialis dan kemudian lebih dikenal sebagai materialisme
historis. Sudut pandang ini melihat sejarah dalam konteks materi yang bergerak
meliputi manusia sebagai tenaga produktif, organisasi sosial dan produksinya
serta perkembangan alat-alat produksi dalam sejarah tersebut. Menurut Marx
materi bergerak secara dialektis melalui pertentangan, kemusnahan dan penemuan
yang dicirikan oleh corak kepemilikan alat produksi pada setiap epos peradaban.
Argumen kedua adalah kritik radikal terhadap kapitalisme yang
meramalkan
bahwa
sistem
kapitalisme
memiliki
kecenderungan
untuk
menghancurkan dirinya sendiri sebagai hasil kontradiksi internal sistem akumulasi
3
Liga komunis berakhir pada 1852 karena represi dan penangkapan yang dilakukan oleh
pemerintah Perancis dan kekaisaran Prussia.( Lebih lengkap dalam Kristeva, 2011; 290)
4
Liga Keadilan adalah organisasi konspirasi tradisional Eropa yang dipengaruhi oleh revolusi
perancis. Organisasi ini terdiri dari seniman/pengrajin imigran jerman yang memiliki cabang di
Inggris, Perancis, Swiss dan Jerman. (Kristeva, 2011; 212 )
5
Korespondensi ini berbasis intelektual pelarian yang bermarkas di Brussels. Organisasi ini
didirikan berdasarkan model pemahaman Marx yang meninggalkan bentuk konspirasional dan
bersepakat untuk mengeluarkan manifesto publik. (Kristeva, 2011; 210 )
6
Dalam konteks Marxisme, kelas pekerja merupakan satu-satunya kelas yang berkepentingan dan
kekuatan utama dari proses revolusioner tersebut, tujuan revolusioner inilah yang membedakan
Marxisme dari konsepsi transformasi sosial lainnya (Wood, 1998:12).
17
modal didalamnya. Kedua argumen ini dihubungkan melalui relasi dialektik yang
menjelaskan bahwa kapitalisme mempertajam polarisasi kelas sosial berdasarkan
kepemilikan alat produksinya. Polarisasi ini mendorong kesadaran kelas dan
perjuangan kelas yang akan menciptakan kondisi masyarakat tanpa kelas.
Marx menggunakan dialektika Hegel yang berpusat pada kontradiksi antar
identitas dan membentuk identitas baru. Berlawanan dengan Hegel, Marx
menempatkan ontologi dialektikanya pada filsafat materialisme. Filsafat
materialisme berusaha untuk menjelaskan keadaan realitas objektif ketimbang
kesadaran subjektif manusia. Sementara dialektika digunakan untuk menjelaskan
pertentangan-pertentangan yang ada dalam realitas objektif. Dalam dialektika
materialis berlaku tiga hukum utama yaitu kontradiksi, antagonis dan negasi.
Transformasi realitas objektif digerakkan oleh kontradiksi dari hubungan
antagonis dari kedua realitas objektif yang mengarah pada hubungan saling
negasi. Ketika realitas objektif berhasil dinegasikan oleh realitas objektif lainnya
maka terjadilah transformasi realitas. Filosfi inilah yang mendasari kritik radikal
dan konsep kekuasaan marxisme.
Manifesto Komunis telah melahirkan berbagai tendensi politik yang
berbeda hingga saat ini. Perbedaan interperetasi ini berkisar pada dua wilayah
perdebatan yang saling berkaitan dalam praktek politik sayap kiri yaitu perdebatan
konseptual dan perdebatan strategi politik. Sementara, secara substasial para
pengikut Marxisme tetap menggunakan pandangan dialektika, fisafat materialisme
historis dan kritik radikal terhadap kapitalisme. Pemilahan ini dilakukan oleh
18
peneliti dalam pembahasan ini dilakukan atas pertimbangan kemudahan untuk
memetakan politik marxisme.
2.2.1 Perdebatan Konseptual
Perdebatan konseptual melibatkan dua sentral perdebatan yaitu: pandangan
kelas untuk menentukan aktor politik dan pandangan terhadap negara dalam
konsepsi kediktatoran proletariat. Perdebatan konsepsi politik dalam analisis kelas
dan penentuan aktor politik pada dasarnya dipicu oleh perubahan konstelasi
politik yang dihadapi oleh kelompok kiri setelah ditulisnya manifesto komunis
terutama setelah meninggalnya Marx. Perbedaan pandangan terhadap analisis
kelas menghasilkan konsekuensi yang berbeda pada cara pandang terhadap
konsep kekuasaan dalam kediktatoran proletariat dan intepretasinya terhadap
negara. Pada bagian ini, peneliti akan membagi pada dua pembahasan berdasarkan
sentral perdebatan konseptualnya.
Analisis kelas merupakan landasan utama dari praktek politik marxisme.
Begitu pentingnya analisis kelas ini sehingga Marx dan Engels menempatkannya
pada diktum pembuka dalam bagian pertama Manifesto Komunis yang
menyebutkan bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang adalah sejarah
pertentangan kelas (Marx, 1999:39). Analisis ini berakar dari pemikiran Marx
terhadap sejarah bahwa pada setiap epos peradaban terdapat dua kelas yang saling
berlawanan. Pertentangan kedua kelas tersebut menghasilkan konflik kelas dan
revolusi yang saling menegasikan.
Menurut Marx, kapitalisme melalui sifat eksploitasi dan akumulasinya
telah menyederhanakan pertentangan kelas menjadi dua kelas yang berlawanan
19
yaitu borjuasi dan proletariat7. Kedua kelas ini dipisahkan berdasarkan
kepemilikan terhadap alat produksi yang terpecah oleh kepemilikan pribadi kaum
borjuis yang minoritas sementara kaum proletariat yang mayoritas dieksploitasi
tenaga kerjanya untuk menghasilkan keuntungan bagi kaum borjuis. Ekses utama
dari modus kepemilikan ini adalah terciptanya kesenjangan ekonomi dan
munculnya kelas. Marx menyimpulkan bahwa permasalahan ini berakar dari
kepemilikan pribadi kaum borjuis maka dekonstruksi radikalnya adalah dengan
mentrasformasikan kepemilikan pribadi tersebut menjadi kepemilikan komunal
oleh kaum proletariat yang mayoritas sehingga mendorong transformasi sosial
pada hilangnya kelas-kelas dalam masyarakat. Disinilah sudut radikal yang
memulai intepretasi politik dalam Marxisme.
Persoalan kedua yang menjadi sentral dalam perdebatan politik marxisme
adalah pada konsep transisi kekuasaan sebelum terciptanya masyarakat tanpa
kelas. Transisi yang mensyaratkan kondisi proletariat yang berkuasa atau dalam
istilah Lenin, kediktatoran proletariat. Konsep ini sebenarnya lahir jauh sebelum
lahirnya manifesto komunis. Marx mengadopsinya dari Lois Auguste Blanqui,
seorang revolusioner Perancis yang ikut mendorong terjadinya Komune Paris
(1848).
Pada konsep Blanqui, proletariat ditempatkan sebagai istilah bagi
kelompok sosial mayoritas yang bekerja dan dirugikan oleh kaum bangsawan.
Proletariat mencakup petani, seniman, pengrajin, dan lain sebagainya. Bagi marx
konsep proletariat harus dibatasi melalui pendekatan kelas melihat hubungannya
7
Zaman borjuis memiliki sifat yang istimewa, ia telah menyederhanakan pertentanganpertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan
besar yang langsung berhadapan satu dengan lainnya-borjuis dan proletar (Marx, 1999;)
20
dengal alat produksi. Menurutnya juga, masyarakat baru lahir dari basis industri
modern sebagai dampak eksploitasi corak produksi tersebut. Oleh karena itu kelas
pekerja industri yang tidak memiliki alat produksi merupakan basis sosial yang
secara
langsung
berhadapan
dengan
kapitalisme
yang
juga
mampu
menghancurkan tatanan kapitalisme.
Konsep kediktatoran proletariat secara khusus merupakan konsep
bagaimana kekuasaan dikelola pasca revolusi. Konsep ini lekat dengan politik dan
pengorganisasian kekuasaan dan konsep negara. Oleh karenanya tafsir terhadap
konsep ini menentukan strategi politik yang diambil dan bentuk organisasi yang
dibangun.
Beberapa ilmuawan Marxis di Amerika Latin seperti Jon Elster (1992) dan
Marta Harnecker (2008) menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam
memahami konsep kediktatoran proletariat di kalangan Marxis dan diluar
kalangan Marxis. Konsep kediktatoran proletariat seringkali disamakan dengan
konsep kediktatoran modern yang dikaitkan dengan sistem pemerintahan
sentralistik dan menggunakan militer sebagai alat represinya. Pemahaman ini
muncul berdasarkan pengalaman model kediktatoran pada awal abad 20 dengan
munculnya fasisme. Oleh karena itu, istilah kediktatoran proletariat perlu ditinjau
ulang dari segi historis ketika istilah ini dilahirkan yaitu pada abad 17 ketika
negara-negara eropa masih dalam bentuk kerajaan.
Pada abad 17 konsep negara modern belum stabil, konsep ini terus
menerus berkembang melalui revolusi sosial dan kejatuhan monarki di Eropa.
Saat mekanisme dewan perwakilan dan demokrasi pertama kali digunakan di
21
Perancis setelah revolusi, prakteknya menunjukkan bahwa kelas borjuasi
mendapatkan semua kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh monarki
sementara kelas proletar tetap tanpa perbaikan. Kondisi ini mendapatkan
perlawanan sengit dari kelas proletar dengan pemberontakan bersenjata di Paris
yang berhasil menguasai Kota Paris dan membentuk Komune paris hingga
akhirnya kembali dihancurkan oleh kaum bangsawan Perancis. Secara teoritis,
konsep kediktatoran proletariat serupa dengan sistem politik demokratis yang
berupaya untuk merefleksikan kepentingan mayoritas rakyat atau kepentingan
publik.
Dalam Marxisme, masyarakat tidak dipandang sebagai suatu kesatuan
yang memiliki kepentingan yang sama. Marxisme berpendapat bahwa masyarakat
tersusun dari berbagai konfigurasi kelas yang memiliki kepentingan yang saling
bertentangan. Dalam konteks pandangan kelas Marxisme dimana populasi telah
terbelah dalam dua kubu yaitu borjuasi sebagai minoritas pemilik alat produksi
dan proletariat sebagai mayoritas yang tidak memiliki alat produksi maka
dibutuhkan
mekanisme
yang
memastikan
kepentingan
mayoritas
dapat
direpresentasikan.
Kepentingan yang berlawanan antara borjuasi dan proletariat akan
mengarah pada konflik. Borjuasi yang minoritas telah menikmati hak istimewa
dalam kepemilikan alat produksi dan kekuasaan politik akan mempertahankan
kepemilikannya dari kaum proletariat. Maka pengambilalihan kepemilikan alat
produksi dan kekuasaan tersebut harus diambil dengan paksa. Oleh karena itu,
proletariat
membutuhkan
instrumen
yang
dapat
memaksa
transformasi
22
kepemilikan dari minoritas borjuasi kepada mayoritas proletariat, yaitu negara
sebagai instrumen pemaksa.
Jon Elster (1992;172) menyatakan bahwa konsep kediktatoran dalam opini
Marx tidak bertentangan dengan demokrasi. Ia juga menjelaskan bahwa istilah
“kediktatoran proletariat” adalah istilah yang asing di masa Marx, istilah ini
diciptakan sebagai oposan terhadap demokrasi borjuis yang hanya berlaku di
kalangan elit.
Sementara Harnecker (2008;95) lebih dalam lagi menjelaskan
bahwa istilah “kediktatoran proletariat” Marx merujuk pada bentuk negara bukan
bentuk pemerintahan pada negara kapitalis maju dengan konfigurasi kelas yang
didominasi oleh kelas borjuis dan kelas proletar. Maka menurut Harnecker,
kebingungan terhadap konsep kediktatoran proletariat juga berimbas pada konsep
negara marxis. Menurut pemahaman ini, konsep negara Marxis tidak menganggap
negara sebagai konsep yang netral melainkan perwakilan dari kelas tertentu.
Sehingga, kediktatoran dan demokrasi adalah atribusi yang kabur mengenai kelas
yang menjadi aktor kekuasaan.
Perdebatan konseptual pertama mengenai kelas dan konsep kekuasaan
dimulai oleh Kautsky yang menggunakan pernyataan Engels pada kata pengantar
Manifesto Komunis yang terbit pada tahun 1888. Engels menyatakan bahwa
konteks yang diungkapkan pada Manifesto Komunis meski hukum-hukum
universalnya masih dapat dibuktikan namun secara praktis sudah mengalami
banyak perubahan konteks.
Pandangan ini mendorong intepretasi Karl Kautsky dalam Internasional II
(1889-1914) untuk merevisi prinsip-prinsip Marxisme yang dianggap tidak lagi
23
tepat. Kautsky menyatakan bahwa kondisi kelas pekerja di Jerman semakin
terbelah sehingga perjuangan insureksi tidak lagi dapat dijadikan sandaran.
Kautsky tidak merubah aktor politik pada analisis kelas Marx dengan tetap
berpegang
pada kelas proletariat
sebagai
pusatnya.
Namun perubahan
dilakukannya dalam konsep perebutan kekuasaan dan konsep kediktatoran
proletariat. Ia percaya bahwa kondisi proleteriat Jerman sudah mulai membaik
dengan pemerintah yang mau menerima pendirian partai proletariat. Menurutnya,
revolusi sosial dapat diwujudkan dengan jalan damai melalui proses formal
demokrasi.
Pandangan Kautsky tersebut mendapatkan dukungan dari Eduard
Bernstein8 yang meyakini bahwa kapitalisme dapat diatur untuk kesejahteraan
rakyat. Menurutnya, pemilahan pajak penghasilan akan meghasilkan distribusi
kesejahteraan yang adil dan merata sedangkan nasionalisasi secara berangsurangsur dapat memberikan kekuasaan bagi kelas buruh untuk mengarahkan
pembangunan. Pandangan Bernstein dan kaum sosial demokrat Jerman ini
merubah sudut pandang politik Marxisme secara radikal. Negara tidak lagi dilihat
sebagai alat penindasan kelas berkuasa namun sebagai agen netral yang dapat
dijalankan oleh pemilik modal dan kelas buruh sehingga kelas buruh harus dapat
memperluas pengaruh negara. Selain itu keberhasilan Partai Sosial Demokrat di
Jerman untuk menggalang dukungan membuatnya yakin bahwa partai dapat
mengambil alih negara secara berangsur-angsur. Pandangan ini menanggalkan
8
Bernstein tidak seperti para pendahulunya yang menentang keras kapitalisme, Ia meyakini bahwa
kapitalisme dapat diatur untuk kesejahteraan rakyat Meskipun revionisme Bernstein tersebut
ditolak oleh Partai Sosial Demokrat Jerman dan Internasional II, pandangann revisionis Bernstein
bertahan dalam Partai Sosial Demokrat Jerman dan memperngaruhi pendirian partai Buruh
Inggris.
24
pendekatan revolusioner dalam tubuh Marxisme yang kemudian dikenal sebagai
revisionisme dan terus berkembang dalam sosial demokrasi Eropa.
Revisionisme Kautsky ini ditentang oleh Lenin, anggota Partai busruh
Sosial Demokrat Russia yang juga menjadi pimpinan faksi Bolshevik di
dalamnya. Lenin menunjukkan bahwa revisionisme adalah dampak dari perluasan
pasar Eropa melalui ekspansi kolonialisme Eropa sehingga buruh di negara
kolonial yang memiliki corak produksi industri mendapatkan perbaikan kehidupan
sementara di belahan dunia lainnya, di negara jajahan dan negara semi industrial,
buruh tetap menghadapi penindasan. Ia mempertahankan penguasaan secara
langsung melalui revolusi dengan metode insureksi bersenjata.
Dalam analisis kelas, Lenin tetap menggunakan kelas proleariat sebagai
kelas pelopor. Namun, kondisi yang ia hadapi di Russia berbeda dengan negara
lain di Eropa Barat. Sebagai kelas pelopor yang juga harus memiliki kekuatan
mayoritas, kelas proletariat Russia masih minoritas sehingga memerlukan bantuan
dari kelas lain yang menjadi tenaga produktif mayoritas di Russia dalam
perebutan kekuasaan dan transformasi sosialis.
Lenin kemudian mengajukan perubahan pada konsep diktator proletariat
dengan menambahkan petani di dalamnya. Menurutnya, revolusi yang dilakukan
oleh kelas pekerja menghasilkan diktator demokrasi revolusioner yang terdiri dari
proletar dan petani. Dalam pemikiran Lenin, kediktatoran proletariat adalah
demokrasi revolusioner yang menempatkan kekuasaan berada pada komune buruh
dan petani yang dipilih berdasarkan teritorial. Komune ini meleburkan fungsi trias
politika dalam satu dewan dan berkuasa untuk mencalonkan juga memecat pejabat
25
pemerintah. Batasan dari demokrasi revolusioner ini adalah kebutuhannya untuk
menindas borjuasi dan perlawanannya9. Interpretasi Lenin menjadi ciri khas
Bolshevisme yang bertahan hingga saat ini, aliansi buruh dan tani yang
diabadikan melalui simbol palu arit juga menjadi simbol internasional bagi partai
komunis setelah Lenin.
Konsepsi kediktatoran proletariat Lenin tidak sama dengan konsepsi
kediktatoran dalam makna kekuasaan dipegang oleh satu orang atau birokrasi
partai. Kediktatoran proletariat dimaksudkan sebagai oposisi terhadap demokrasi
borjuis yang menurutnya bukanlah demokrasi melainkan kedikatatoran borjuis
ketika kekuasaan hanya dimiliki oleh monoritas yang berkuasa atas alat-alat
produksi. Sebagai oposisinya, kediktatoran proletariat merupakan konsep
kekuasaan yang berpusat pada tenaga produktif mayoritas untuk melakukan
transformasi sosial menuju sosialisme.
Lenin menekankan bahwa sosialsme harus menciptakan masyarakat yang
demokratis. Dalam sosialisme menurut Lenin demokrasi hampir sempurna hanya
dibatasi oleh kebutuhan untuk menghancurkan perlawanan borjuasi. Situasi ini
diciptakan untuk mewujudkan komunisme yang dijalankan dengan prinsip, dari
setiap orang berdasarkan kemampuannya untuk setiap orang berdasarkan
kebutuhannya.
Perdebatan ketiga muncul setelah kematian Lenin dan naiknya Stalin
sebagai pemimpin Uni Soviet. Stalin tidak merubah prinsip aliansi kelas buruh
dan petani yang diajukan oleh Lenin. Perubahan dilakukannya pada persepsi
9
Konsepsi lenin mengenai demokrasi revolusioner ini diambilanya dari interpretasi Marx terhadap
komune Paris. Selengkapnya dalam (Lenin. 2000. Negara dan Revolusi. Fuspad. Jakarta)
26
politik terhadap penguatan peran negara. Stalin berpendapat bahwa kediktatoran
proletariat dilaksanakan oleh Partai Komunis dengan memusatkan kekuatan
produksi pada negara. Stalin tidak menunggu buruh melakukan revolusi dunia
namun mendorongnya melalui dukungan Partai Komunis dengan membentuk
Komintern (Komunis Internasional). Stalin tidak sependapat dengan Marx yang
memandang bahwa negara harus melenyap ketika masyarakat komunis tercapai.
Menurutnya negara sosialis dikepung oleh negara-negara kapitalis yang akan
menentang diktator proletariat. Oleh karena itu, dikator proletariat harus
memusatkan kekuatannya pada negara dan secara tidak langsung digantikan oleh
kediktatoran Negara.
Pendapat Stalin ini segera mendapatkan tantangan dari Leon Trotsky yang
menyebutnya sebagai pengkhiant revolusi Bolshevik. Trotsky membentuk
International IV sebagai oposisi terhadap Stalinisme. Para pendukungnya
kemudian
memprioritaskan
pada
pengorganisiran
buruh
industri
dan
meninggalkan aliansi kelas dengan petani. Meskipun mendapatkan kecaman,
praktik Stalinisme dapat bertahan dan menjadi arus utama tendensi komunisme di
dunia, termasuk di Indonesia di awal masa kemerdekaan.
Perdebatan keempat adalah perdebatan yang menciptakan antiklimaks bagi
politik sayap kiri di masa perang dingin. Mao Tse Tung, pemimpin Partai
Komunis China (Kuo Chan Tang), beranggapan bahwa analisis kelas Russia tidak
mampu menjawab kebuntuan politik di Asia yang mayoritas menjadi negara
jajahan dan tidak memiliki basis negara industri. Mao memindahkan episentrum
aktor politik kelas pada elemen tenaga produktif mayoritas di Asia, terutama
27
China, yaitu petani. Pemikiran ini terutama berkembang pada gerakan-gerakan
revolusioner di negara kolonial dan semi kolonial seperti di Vietnam, Indonesia,
dan Amerika Latin.
Pemikiran Mao dan sikap politiknya mempengaruhi pengembangan
konsep Eurocommunism di Italia dan Spanyol dan gerakan Kiri baru di Perancis10.
Maoisme memindahkan doktrin kelas pada konsep massa yang lebih fleksibel,
melalui konsep ini perjuangan politik dan ideologi membuat hubungan material
dan kelas menjadi lebih otonom. Lois Althusser dan Nicos Poulantzas yang
meregenerasi pemikiran tentang revolusi kebudayaan pada kritik terhadap logika
instrumental Marxian terhadap negara.
Poulantzas juga mengembangkan teori kelas baru yang berusaha
menjelaskan posisi kelas borjuis kecil baru atau yang dikenal sebagai kelas
menengah baru. Pengembangan teori ini memiliki motivasi politik untuk
menjelaskan bagaimana identitas borjuasi dan proletariat disatukan dalam
kelompok menengah yang jumlahnya terus meningkat. Berbeda dengan
perdebatan sebelumnya, konsep yang dibawa oleh Poulantzas mendobrak analisis
struktural Marxisme tentang kepeloporan kelas buruh dengan meluaskan spektrum
perjuangan politik. Selain itu, ia juga melepas konsep kediktatoran proletariat dan
menekankan kembali pada konsep melenyapnya negara dalam marxisme.
Berbeda dengan Eropa, negara dunia ketiga seperti Amerika Latin
mengembangkan tendensi politik yang lebih longgar dari analisis kelas struktural.
10
Pengaruh Maoisme di Eropa digunakan sebagai perbandingan studi Marxisme oleh Nicos
Poulantzas dan Lois Althusser dijelaskan oleh Ellen M. Wood dalam The Retereat From Class; A
New True Socialism (1998) yang menjelaskan bagaimana pemikiran sosialisme baru di Eropa
melepas dominasi analisis strukturalis Lenin tentang perjuangan kelas.
28
Amerika Latin sebagaimana negara dunia ketiga lainnya mengalami persoalan
yang lebih kompleks, secara ekonomi politik konfigurasinya dapat dilihat dari
peran kediktatoran militer, ketergantungan terhadap hutang luar negeri dan modal
asing, eksploitasi sumber daya alam tanpa alih teknologi, lonjakan populasi, dan
keterbatasan lapangan pekerjaan. Secara umum dapat dilihat lewat karakteristik
produksi yang lemah dan dominasi sistem pra kapital.
Akibatnya konfigurasi kelas di Amerika Latin tidak mengalami kristalisasi
pada kubu-kubu yang berlawanan dalam relasi produksi, meskipun ada namun
jumlahnya tidak signifikan. Kaum miskin urban adalah jumlah penduduk dominan
di negara-negara Amerika Latin. Disusul dengan para petani tak bertanah dan
kaum adat yang didiskriminasi secara politik. Konfigurasi ini membelah kondisi
sosial-politik pada dua kelompok yang berlawanan dalam kategori politik yang
longgar yaitu kaum elit dan massa. Elite diasosiasikan pada kelompok orang yang
mendapatkan keuntungan kapitalisme, sementara massa adalah kelompok yang
terkena dampak kapitalisme yang juga disebut sebagai kelas popular.
Model ini berkembang pada pemerintahan Salvador Allende di Chile
(1971-1973) melalui eksperimen jalan demokratis menuju sosialisme di Chile atau
lebih dikenal sebagai via Chilena11. Allende yang maju menjadi Presiden melalui
Unidad popular yang merupakan aliansi partai-partai kiri seperti Partai Komunis
Chile, Partai Sosialis dan organisasi-organisasi kiri mendasarkan keuatannya pada
rakyat yang terdiri dari kaum buruh dan pengangguran di kota dan di desa.
Allende menggunakan istilah Poder Popular atatu kekuatan rakyat untuk
11
Lebih lengkap mengenai Chile pada Disertasi Arief Budiman berjudul Jalan Demokratis ke
Sosialisme; Pengalaman Chili di Bawah Allende, dibukukan pada tahun 1987.
29
menempatkan rakyat jelata tersebut sebagai aktor politik transformasi sosial
menuju sosialisme di Chile. Unidad Popular dalam program umumnya
menegaskan bahwa revolusi hanya akan berhasil jika rakyat Chile memegang
kekuasaannya di tangan sendiri (Budiman, 1987; 126). Mekipun begitu, konsep
kekuatan rakyat sendiri tidak pernah dijelaskan secara rinci oleh Unidad Popular.
Dalam pengelompokan kelas marxian, kelas popular terdiri dari kelas semi
proletariat, borjuis kecil, semi proletariat hingga lumpen proletariat. Harnecker
menjelaskan komposisi rakyat yang menerima konsekuensi kapitalisme termasuk
sektor tradisional, kelas pekerja urban dan desa, kaum miskin yang terpinggirkan,
strata pendapatan menengah, hingga polisi dan tentara berpangkat rendah, dan
lainnya (Harneckker, 2007;28). Konfigurasi yang sangat beragam ini ditentukan
oleh dampak kapitalisme berdasarkan stratum ekonomi bukan berdasarkan relasi
produksi. Dampak dari kapitalisme bisa dirasakan beragam, begitupun juga
kepentingan kelompok dalam kelas popular tersebut. Secara politik, model ini
membutuhkan suprastruktur politik yang mampu mengintegrasikan meraka
kedalam satu bentuk perlawanan tertentu. Perbedaan penentuan aktor politik ini
membedakan konsep kelas popular dengan konsep kelas dalam analisis Marxian
meski masih mengadopsi pandangan negara instrumental.
Pada konsep kekuasaan, konsep kelas popular berkesesuaian dengan
konsep kediktaroran proletariat yang ingin mengembalikan kekuasaan pada
mayoritas. Dampaknya adalah kebutuhan untuk meredistribusi kekuasaan pada
kelompok-kelompok yang berada di dalam kelas popular. Sementara, redistribusi
kekuasaan hingga satuan-satuan terkecil populasi membutuhkan pengorganisiran
30
kelompok-kelompok dalam populasi dan memastikan organisasi-organisasi
tersebut memahami kebutuhan mereka dan ikut menentukan suatu kebijakan.
Salah satu contoh sukesnya adalah pengorganisiran barrios (kampung kota) di
venezuela melalui mission bolivar dan pembentukan dewan kota yang ikut
menentukan anggaran publik di Porto Allegre, Brazil. Keduanya sangat
bergantung pada strategi mobilisasi yang dipimpin oleh negara.
Meskipun begitu konsep ini tidak bisa dikatakan sudah stabil karena pada
kenyataannya model kelas popular selalu menghasilkan polarisasi dual power
antara birokrasi negara dengan dewan-dewan komunal yang dibentuk berdasarkan
teritorial dan satuan kerja. Fragmentasi sosial yang ada didalam kelas popular juga
membutuhkan legitimasi politik untuk menciptakan supratruktur politik yang
mampu menyatukan mereka. Pada perjuangan politiknya, negara menjadi
instrumen utama yang direbut oleh kelas popular untuk meredistribusi surplus dari
kelas elit dan transformasi sosial secara massal. Namun, pandangan politik
terhadap negara instrumental ini juga belum stabil karena pada kenyataannya,
beberapa negara sosialis di Amerika Latin mengalami kesulitan dalam proses
sirkulasi kekuasaan.
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan
perdebatan konseptualnya perbedaan konsep politik dalam politik sayap kiri dapat
dibedakan melalui dua indikator yaitu pandangan terhadap analisis kelas dan
konsep kekuasaan. Pandangan terhadap analisis kelas terbagi menjadi dua
kategori yaitu pertama analisis kelas Marxisme klasik yang terbagi menjadi tiga
tendensi yaitu:
31
1. Proletariat sebagai kelas pelopor
2. Aliansi kelas proletariat (Buruh) dan borjuis kecil progresif (Tani)
3. Borjuis kecil progresif sebagai pelopor (Petani)
Kategori kedua adalah analisis kelas Neo-Marxis yang terbagi menjadi dua
kategori yaitu:
1. Spektrum politik luas melibatkan kategori sosial lain diluar kelas
terutama berdasarkan nilai-nilai sosial tertentu.
2. Kelas popular yang melibatkan seluruh elemen sosial yang terkena
dampak kapitalisme.
Sedangkan dalam konsep kekuasaan peneliti pada pandangan konseptual
terhadap negara yang dibagi dalam tiga kategori yaitu:
1. Pandangan instrumentalis yang memandang negara sebagai alat
kepentingan kelas.
2. Pandangan institusionalis yang memandang negara sebagai tujuan.
3. Pandangan strukturalis yang memandang negara sebagai lembaga
yang memiliki otonomi relatif.
2.2.2 Perdebatan Strategi Politik
Perdebatan strategi politik merupakan konsekuensi dari perbedaan
pandangan konseptual dalam analisis kelas dan konsep kekuasaan. Perdebatan ini
berkisar pada dua sentral perdebatan yaitu; metode perebutan kekuasaan dan
bentuk organisasi politik. Kedua sentral perdebatan tersebut sebenarnya memiliki
relasi kausal yang saling mempengaruhi.
32
Teori politik Marxisme selalu berkaitan dengan revolusi, baik revolusi
politik maupun revolusi sosial12. Keterlibatan ini berangkat dari asumsi Marx
bahwa revolusi merupakan lokomotif sejarah menuju komunisme. Pada politik
Marxisme, metode revolusi yang diambil oleh sebuah organisasi politik sayap kiri
ditentukan oleh konsep kekuasaan yang digunakannya.
Pandangan klasik Marx sangat berkaitan dengan pandangannya terhadap
konsep kekuasaan bahwa Negara adalah instrumen dominasi kelas yang secara
definitif merupakan alat represi kelas dominan13. Perebutan kekuasaan Negara
dalam pandangan ini adalah perebutan instrumen kelas penindas sehingga tidak
mungkin tidak mendapat perlawanan lewat kekerasan.
Pada konteks strategi politik, prinsip pandangan ini adalah perebutan
kekuasaan diluar jalur pergantian kekuasan formal negara secara paksa. Strategi
ini juga dikenal sebagai strategi insureksi. Pada konteks strategi politik,
penggunaan kekerasan dalam insureksi bukanlah instrumen utama melainkan
konsekuansi taktis yang digunakan berdasarkan kebutuhan objektif perebutan
kekuasaan. Dalam politik Marxisme, penggunaan kekerasan melahirkan
pembelahan antara kelompok kiri yang menghadapi situasi politik yang berbeda.
Dalam perkembangannnya strategi insureksionis dikembangkan melalui
dua jalan yaitu metode perjuangan bersenjata dan metode tak bersenjata atau lebih
12
Theda Skocpol membedakan revolusi sosial dengan revolusi politik berdasarkan perubahan yang
dihasilkannya. Bagi Skocpol revolusi sosial melibatkan perubahan mendasar yang cepat dari
masyarakat dan struktur kelas suatu negara. Sementara revolusi politik hanya mengubah struktur
negara tanpa merubah struktur masyarakat (Skocpol, 1991;2)
13
Marx dalam Manifesto Komunis menjelaskan pengunaan metode kekerasan dalam perebutan
kekuasaan melalui kritiknya terhadap kaum sosialis utopis dalam kutipan berikut: Mereka menolak
semua aksi politik, terutama yang revolusioner; mereka berharap bisa mencapai tujuannya dengan
jalan damai, dengan pengalaman yang miskin, ringkih terhadap kegagalan, dan berusaha
melapangkan jalan bagi gospel sosial baru. (Marx.1999; 76)
33
dikenal sebagai people power, aksi massa, pemogokan dan boikot. Pada abad ke
20 metode perjuangan bersenjata merupakan strategi politik dominan yang
dipelopori oleh Perang Sipil di Russia dan strategi gerilya tentara politik (Pol-Mil)
di China dan Kuba. Sementara, metode insureksi tak bersenjata atau people power
dilakukan melalui berbagai macam metode protes dalam skala besar seperti
demonstrasi, mogok, boikot, ketidakpatuhan sipil dan metode lainnya. Insureksi
tanpa kekerasan didefinisikan sebagai tantangan terorganisir rakyat terhadap
kekuasaan pemerintah dengan aksi tanpa kekerasan. Pada awalnya, protes massal
ini berkembang di Eropa dan Amerika dalam protes anti perang Vietnam dan
protes terhadap kediktatoran negara.
Pertama kali keampuhan people power dibuktikan oleh Iran pada
penggulingan pemerintahan Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979. Keberhasilan
Iran diikuti oleh gerakan pro-demokrasi di Bolivia melawan Junta militer (19781982), model yang sama juga meluas di kalangan pro-demokrasi di negara lainnya
dalam agenda melawan kediktatoran seperti di Afrika Selatan, Sudan, Bangladesh
dan Nepal hingga awal 1990-an. Di Asia Tenggara, people power berhasil
menggulingkan pemerintahan Marcos di Filipina (1986) dan Orde Baru di
Indonesia (1998).
Meskipun tanpa kekerasan bersenjata, model insureksi people power tidak
berarti tidak menimbulkan potensi kekerasan. Pemasangan poster, kritik, dan
propaganda anti pemerintah di negera liberal mungkin tidak mengakibatkan
respon kekerasan dari negara. Sebaliknya, di negara pretorian atau diktator militer,
tindakan ini merupakan tindakan politik yang dianggap berbahaya dan memancing
34
respon represif. Demonstrasi atau aksi massa di negara diktator dianggap
provokasi yang juga berbahaya sehingga demonstran akan menghadapi represi
negara. Dalam kondisi tertentu represi negara terhadap demonstran tak bersenjata
akan menghasilkan kerusuhan berskala luas melawan negara14.
Perkembangan perdebatan strategi politik Marxis juga meluas pada
intervensi politik melalui jalur demokrasi formal. Strategi ini berkembang dalam
pemikiran sosial demokrasi Jerman yang dipelopori oleh Kautsky dan tendensi
Eurocommunism di Spanyol serta Santiago Carillo yang mempeloporinya di Italia.
Selain itu, muncul juga strategi yang menjauhi perebutan kekuasaan melalui
negara. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai gerakan kiri baru (new left) yang
mengonsentrasikan aktivitas politiknya pada gerakan di luar negara. Strategi
politik dari kelompok kiri baru ini digambarkan oleh Poulantzas sebagai
hubungan organik antara komite warga komune-komune yang menggantikan
fungsi negara (Townshend, 1996; 187).
Dalam politik sayap kiri, strategi politik lainnya yang berkembang adalah
strategi populis radikal yang berkembang pada eksperimen sosialisme di Amerika
Latin. Eksperimen besar ini dimulai dari intervensi partai kiri dan organisasiorganisasi radikal berbasis massa pada proses demokrasi. Politik sayap kiri
mengintervensi proses demokrasi melalui berbagai metode dari people power
hingga percobaan elektoral.
Pada dasarnya, pandangan terhadap negara merupakan pengembangan dari
pandangan instrumental dan pandangan otonomi relatif. Eksperimen politik yang
14
Tilly dalam Strikes, War, and Revolutions in an International Perspective (1989: 12)
menjelaskan bahwa pemogokan atau aksi massa memiliki potensi revolusioner dan seringkali
mendorong pada kondisi perang sipil terutama dalam kasus konflik industrial.
35
dipelopori oleh revolusi Bolivarian di Venezuela dan meluas ke beberapa negara
lain disekitarnya dapat ditandai dengan dua motif yaitu partisipasi seluas-luasnya
dalam proses demokrasi dan pembangunan manusia. Kedua motif ini menjadi
program politik yang dimobilisasi oleh negara setelah partai-partai kiri berhasil
merebut kekuasaan melalui jalur demokrasi. Strategi ini secara politik berhasil
menguatkan legitimasi publik namun dipihak lain tetap terjadi kekuasaan ganda
karena perubahan sosial dilakukan secara bertahap tanpa mobilisasi represi negara
seperti dalam tradisi Marxis klasik.
Perbedaan strategi perebutan kekuasaan dan pandangan terhadap negara
menghasilkan bentuk organisasi politik yang berbeda. Secara prinsip, organisasi
Marxis merupakan organisasi berbasis kelas yang berpusat pada kelas buruh
sebagai wadah emansipasi kelas buruh mengorganisir dirinya sendiri
(Marx,
1970). Marx tidak menganjurkan konsep partai politik dalam tujuan masyarakat
tanpa kelasnya. Menurutnya partai politik tidak dapat menjaga massa dan
mengarahkannya pada revolusi sosial karena hanya dapat memegang antusiasme
massa untuk waktu yang singkat berdasarkan momentum. Marx menggabungkan
dua bentuk organisasi yaitu gerakan Chartist Inggris15 dan kelompok
korespondensi intelektual Eropa yang masih membawa tradisi masyarakat rahasia
yang lazim muncul pada masa revolusi Perancis. Penggabungan keduanya
membawa Marx pada bentuk “blok terbuka” yaitu sebagai faksi militan yang
15
Pada 1848 ,gerakan Chartis Inggris yang dipimpin oleh Ernest Jones dan Julian Harney pernah
melakukan pemberontakan namun pemberontakan ini gagal dan menghasilkan kehancuran
organisasi tersebut pada 1858. Model organisasi ini merupakan prototipe serikat buruh modern.
(Kristeva, 2011;211)
36
berada dalam organisasi kelas buruh. Ia memilih bentuk liga sebagai menjadi
payung afiliasi politik yang memungkinkan emansipasi kelas pekerja.
Ide mengenai konsep partai modern kiri lahir setelah Marx melalui Engels
dan Kautsky pada international II. Melalui Engels, Kautsky, dan Bernstein konsep
partai Marxis memindahkan episentrum perjuangan kelas pada perjuangan
demokrasi formal seperti parlemen dan pemilihan umum dengan orientasi
memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan oleh negara. Perubahan ini
menunjukkan bahwa perubahan konsep organisasional dalam organisasi Marxis
bergantung pada penerjemahan situasi politik kontemporer yang dianalisis melalui
prinsip-prinsip umum Marxisme.
Konsep partai yang menggunakan jalan demokrasi formal ini mendapatkan
kritik dari salah satu tokoh Bolshevik Russia yaitu V.I. Lenin. Berseberangan
dengan Kautsky, Lenin mengembalikan politik Marxisme pada perjuangan kelas
di luar parlemen dan menganjurkan perjuangan bersenjata. Pada dasarnya, bentuk
organisasi yang diusulkan oleh Lenin mengacu pada pembentukan partai yang
kuat untuk melawan rezim otoriter pada masa revolusi Russia. Lenin memadukan
konsep gerakan massa dan perubahan dari bawah kaum Jacobin di Perancis
dengan organisasi revolusioner konspiratif kaum Blanquist untuk menciptakan
konsep Partai Pelopor (vanguard). Konsep organisasi Lenin kemudian dikenal
sebagai Bolshevisme 16 atau Marxisme-Leninisme.
16
Bolshevisme atau yang lebih dikenal sebagai Leninisme merupakan pemikiran politik sekaligus
bentuk partai yang diperkenalkan oleh Lenin pada kongres kedua Partai Buruh Sosial Demokrat
Russia. Konsep ini diajukan sebagai gugatan kelompok Bolshevik (Mayoritas) terhadap konsep
partai dan kelompok Menshevik (Minoritas). Lebih lengkap pada Revolution, Democracy and
Socialism; Selected writing of V.I Lenin, Paul Leblanc (ed). (Leblanc, 2008 ; 197)
37
Menurutnya, partai harus diorganisir dalam bentuk yang sangat hirarkis
yang berarti komite sentral partai memiliki kekuasaan yang luas untuk
mengarahkan
komite
dibawahnya untuk
mengendalikan anggota secara
individual17. Konsepsi ini kemudian melahirkan istilah sentralisme demokrasi
yang digunakan pada mayoritas Partai Komunis di dunia18.
Dalam revolusi,
Bolshevik memposisikan dirinyasebagai pelopor perjuangan kelas. Bolshevik
bukanlah partai kelas pekerja melainkan terdiri dari kader Marxis militan yang
berkomitmen pada revolusi sosialis secara politik mengikat keberpihakannya pada
kelas pekerja dan bertugas memasok kesadaran politik kelas pekerja (Bottomore,
2001; 55).
Lenin juga pernah mengambil jalur parlementer ketika Tsar membuka
peluang politik melalui Duma (parlemen) pada 1905. Duma dijadikan landasan
bagi Bolshevik untuk meraih dukungan elit politik dan massa dengan kerja agitasi
dan propaganda partai. Ketika peluang politik tersebut tertutup dan represi
meningkat karena aktivitas radikal dalam parlemen dan dukungan massa menguat
terhadap partai, Lenin dan partai Bolshevik kembali bergerak di luar parlemen dan
memimpin revolusi dengan kekerasan.
Setelah Lenin, konsep Bolshevisme ini diteruskan oleh Stalin yang
berpandangan birokratis dan menggunakan negara sebagai instrumennya. Sejak
masa Stalin, Bolshevisme berasosiasi dengan sosialisme satu Negara, sentralisme
birokrasi dan militer, kolektivisasai pertanian, dan subordinasi Partai Komunis
terhadap Uni Soviet (Bottomore, 2001 ; 54). Keharusan subordinasi Partai Sosialis
17
Lenin dalam Letter to a Comrade on Our Organisational Question (Townshend, 1996, p. 75)
Salah satunya dapat dilihat pada Anggaran dasar partai Murba mengenai mekanisme organisasi
(Partai Murba, 1957)
18
38
dan Partai Komunis di luar Uni-Soviet ini membuat gerah banyak partai kiri di
seluruh dunia.
Partai Komunis China (Kuo Chan Tang) mengambil sikap politik
bertentangan dengan Uni Soviet sehingga membelah pengaruh Partai Komunis di
dunia pada dua kutub yaitu kutub Soviet dan China19. Di Eropa perpecahan ini
memunculkan Eurocommunism ketika Partai Komunis dan Partai Sosialis melepas
ketergantungan strategi-taktiknya dari Uni Soviet. Eurocommunism mendorong
strategi politik perebutan kekuasaan dengan jalan damai. Konsep ini mendapatkan
sanggahan dari Nikos Poulantzas mengandaikan sebuah Negara paralel kelas
borjuasi dan proletariat yang melatih kemampuan kelas proletariat untuk
mengorganisasikan dirinya. Dalam kutipan di atas, Ia mengatakan bahwa dalam
kategori yang luas, warganegara dalam demokrasi memiliki kemampuan untuk
membentuk banyak komite yang dapat menggantikan fungsi Negara.
Perkembangan terakhir adalah model organisasi front popular di Amerika
Latin yang menggabungkan berbagai organisasi sosial radikal dalam satu
organisasi atau partai persatuan. Konsep ini lahir sebagai konsekuensi dari analisis
kelas di negara dunia ketiga yang memiliki jumlah populasi proletariat kecil dan
corak produksi semi industrial. Konsep ini menggunakan strategi mobilisasi
massa yang mengarah pada polarisasi politik dengan meningkatkan ekspansi
politik pada partisiapsi politik massa.
19
Sikap China terhadap Uni Soviet pada tahun 1959 ini dikenal sebagai Sino-Soviet Split. Di
Indonesia peristiwa ini menghasilkan poros Jakarta-Beijing. Lebih lengkap pada Indonesian
Communism Under Soekarno, Rex mortimer (Mortimer, 1974)
39
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai perdebatan strategi politik sayap
kiri, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat tiga varian metode revolusi dalam
strategi politik sayap kiri, yaitu:
1. Strategi insureksi atau perebutan kekuasaan secara paksa yang terbagi
menjadi dua model yaitu model insureksi bersenjata dan insureksi
tidak bersenjata.
2. Strategi damai melalui proses elektoral
3. Strategi populis radikal yang mengkombinasikan model insureksi
tanpa senjata dan peluang elektoral.
Pilihan strategi politik tersebut menciptakan kebutuhan pembentukan
organisasi politik yang berbeda-beda. Berdasarkan pemaparan sebelumnya,
peneliti membagi bentuk organisasi politik sayap kiri ke dalam tiga bagian yaitu;
1. Partai Politik termasuk model vanguard bolshevisme, partai massa
Maoisme, dan partai elektoral sosial demokrasi Jerman dan
Eurocommunist.
2. Gerakan politik termasuk model faksi terbuka, liga, komite-komite
politik, tentara politik, dan jaringan politik.
3. Front Persatuan, model ini merupakan model yang mengombinasikan
gerakan politik dengan partai politik.
2.3 Teori Proses Politik
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori proses politik untuk
menjelaskan bagaimana PRD sebagai salah satu representasi politik sayap kiri di
Indonesia mengembangkan strategi elektoral. Teori proses politik adalah teori
40
yang digunakan untuk menjelaskan mobilisasi gerakan sosial dan memperkirakan
peluang politik, struktur mobilisasi dan proses framing seiring dengan perselisihan
atau perseteruan yang berulang (Caren, 2007: 1). Teori ini berkembang sejak era
1970an dan 1980an, dan berakar pada analisa perjuangan hak sipil di Amerika dan
Eropa. Teori proses politik berfokus pada interaksi antara atribut gerakan, struktur
organisasi dan konteks ekonomi politik yang melatarinya.
Pada awalnya, teori ini dikembangkan pada penelitian Olson pada tahun
1965 (Caren, 2007:1) berupaya untuk menganalisa tentang perilaku protes
gerakan sosial dan berujung pada kesimpulan bahwa protes yang dilakukan
gerakan sosial tindakan irrasional para pelaku protes. Baru pada 1973, Peter
Eisinger kembali meneliti gerakan protes masyarakat urban kulit hitam di
Amerika
Serikat
yang
melekatkan
perilaku
protes
pada
lingkungan
berlangsungnya proses politik (dalam Meyer, 2004; 126). Dalam studinya,
Eisinger berkonsentrasi pada efek dari “lingkungan politik” terhadap konteks
proses politik yang berlangsung di suatu tempat. Analisis Eisinger merupakan
bagian dari analisis sistem politik dengan menempatkan gerakan sosial sebagai
input bagi sistem politik dan perubahan kebijakan sebagai outputnya. Menurutnya
peluang politik gerakan sosial bergantung pada struktur politik yang terbuka atau
tertutup yang dihadapi oleh gerakan sosial (Meyer, 2004 ; 128). Konteks ini
disebut sebagai struktur peluang politik oleh Dieter Opp . (2009; 162) yang
menjelaskan bahawa lingkungan memperluhatkan tekanan langsung pada aktivitas
politik. Tekanan ini tidak mendasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh
41
persoanal maupun kelompok melainkan ditentukan oleh interaksi kompleks dari
aktivitas politik berbagai kelompok dalam lingkungan politik.
Opp (2009:166) menjelaskan bahwa permasalahan teori ini adalah
interpretasi makro-proposisi teori dalam menjelaskan protes politik. Hal ini
dianggap tidak relevan karena Eisinger menempatkan protes dan gerakan sosial
pada posisi linear yang konstan bukan sebagai subjek yang bergerak. Teori ini
selalu mengulang proposisi yang sama dalam model linear yaitu rendahnya
struktur peluang politik menghasilkan tingginya tingkat protes. Bagi Eisinger,
protes akan berhenti seiring dengan terbukanya peluang politik dan ketika politisi
menyambut protes sosial tersebut dengan memberikan respon terhadap protes
melalui kebijakan (Meyer, 2004; 128). Dalam konteks politik sayap kiri respon
pemerintah tidak serta merta menurunkan tingkat protes karena beberapa varian
tuntutan sayap kiri yang secara ideologis bertentangan dengan rezim.
Berbeda dengan Eisinger, Tilly berpendapat bahwa gerakan sosial tidak
dapat ditempatkan pada posisi konstan melainkan menjadi sesuatu yang terus
bergerak. Tilly berupaya menggunakan teori proses politik untuk menjelaskan
fenomena besar seperti revolusi, kekerasan politik, perang, dan demokratisasi
(Tilly, 2002: 248). Dalam Dynamics of Contention, Tilly (2008; 14). memaparkan
lebih lanjut bahwa teori struktur peluang politik sebelumnya menempatkan unit
analisisnya pada struktur peluang politik yang bersifat statis seperti perubahan
lingkungan politik sebagaimana penjelasan Eisinger mengenai peluang politik..
Dalam dinamika politik, unit analisis statis tidak dapat menjelaskan
bagaimana perseteruan muncul dan berulang (repertoires). Posisi statis ini
42
seringkali berakhir pada interpretasi banal tentang gerakan sosial yang
menganggap gerakan mahasiswa, mobilisasi buruh, dan gerakan politik popular
lainnya sebagai perilaku kolektif yang irasional, impulsif dan tidak bertanggung
jawab. Seperti dijelaskan Meyer dalam kutipan berikut;
Para Sosiolog dan ilmuwan politik pada tahun 1950an menulis dengan
fasisme secara umum dan nazisme secara partikular dalam pikiran. Mereka
mendefinisikan gerakan sebagai disfungsional, irrasional, dan secara
inheren tidak diharapkan, dan mereka yang bergabung dalam gerakan
digambarkan sebagai orang-orang yang terpisah dari asosiasi intermediet
yang akan menghubungkan mereka dengan tujuan sosial yang lebih
produktif, dan tidak merusak. (Meyer, 2004;126)
Pendapat ini dimanifestasikan lewat dikotomi analisis gerakan sosial dan
politik dengan menempatkannya pada kajian sosiologis ataupun psikologi sosial.
Pemisahan ini menyebabkan gerakan sosial tidak lagi dipandang sebagai ekspresi
politik melainkan tindakan alternative untuk menunjukkkan ketidakpuasan
terhadap keadaan.
Dikotomi interaksi politik institusional dan non-institusional sulit untuk
ditetapkan karena keduanya seringkali berasal dari proses kausal yang sama. Tilly
menganalogikan proses kausal ini seperti pada fenomena revolusi, gerakan new
left, dan politik etnis (Tilly, 2008;7). Dalam paradigma ini adaptasi sebuah
organisasi dimungkinkan bergerak dari non-institusional menjadi institusional dan
kembali menjadi non-institusional atau keduanya dalam satu wadah secara
bersamaan.
Tilly menempatkan gerakan sosial dalam kondisi bergerak untuk
menjelaskan bagaiman proses transformasi dapat terjadi pada sebuah gerakan
sosial. Tidak hanya selesai pada satu perubahan kebijakan namun sebagai agenda
43
yang berulang (repertoires) menujiu perubahan sosial. Ditempatkannya gerakan
sosial pada kondisi bergerak menjadikan teori proses politik yang direvisi oleh
Tilly tidak mengacu pada peluang kesuksesan sebuah gerakan sosial seperti yang
diasumsikan oleh Eisinger
malainkan pada
ketidakpastian transformasi.
Pengembangan teori proses politik yang dilakukan oleh Tilly adalah dengan
memindahkan koordinat analisis teori proses politik yang sebelumnya berorientasi
pada organisasi gerakan sosial ke proses interaksinya dengan populasi (Tilly,
1995;1604).
Proses Politik gerakan sosial yang berinteraksi dengan populasi seringkali
mendorong transformasi gerakan sosial menjadi partai elektoral. Transformasi ini
terjadi di sebagian negara dunia ketiga yang melepaskan diri dari kediktatoran
rezim sebelumnya atau sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan pro
kapitalisme. Fenomena proses politik ini menjadi lazim di Amerika Latin dengan
banyaknya jumlah gerakan protes yang masuk dalam arena politik legal. Di
Indonesia, pembahasan mengenai proses politik gerakan sosial baru kembali
mengemuka setelah jatuhnya rezim Orde Baru melalui fenomena PRD dan PKS.
Proses Politik ini dijelaskan oleh David C.Lose dan Gary Prevost dalam From
Revolutionary Movements to Political Parties sebagai berikut;
Gerakan, bahkan yang paling kuat sekalipun, secara umum memiliki
struktur yang fleksibel. Mereka mendorong anggotanya untuk
berpartisipasi sebesar mungkin dan mengizinkan perubahan substansial.
Partai membutuhkan displin yang lebih kuat setidaknya untuk mendukung
kebijakan. Untuk merubah gerakan sosial menjadi partai politik
dibutuhkan perubahan signifikan meliputi budaya organisasi dan logika
operasional. (Close and Prevost, 2007;9)
44
Dalam teori proses politik, pergeseran ideologi ataupun perubahan
tindakan politik tidak dilihat dalam pandangan yang sempit dengan kausal tunggal
namun merupakan proses rumit yang melibatkan para aktor politik di internal
organisasi maupun interaksinya dengan lingkungan politiknya. Teori proses
politik merupakan antitesis dari teori organisasi yang berakar pada paradigma
struktural fungsional dengan interpretasinya tentang keseimbangan sosial yang
mengambil sudut pandang konflik. Teori ini tidak mengadopsi konsep
keseimbangan atau stabilitas melainkan kesepakatan sementara yang dilandasi
oleh upaya negosiasi untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo (Doug
McAdam W. S., 2005; 18).
Teori proses politik mengidentifikasikan tiga faktor luas yang mendorong
peluang politik gerakan sosial dalam konteks tindakan politik.
1. Struktur Mobilisasi: bentuk organisasi baik formal maupun informal
2. Peluang Politik: struktur peluang politik dan ketegangan dan tingkat
ketegangan gerakan.
3. Proses Framing: proses kolektif interpretasi, atribusi dan konstruksi sosial
yang menjadi perantara peluang dan tindakan (Tilly, McAdam, Tarrow,
2005; 16).
Ketiga faktor di atas merupakan unit analisis dari teori proses politik.
Setiap unit analisis (mengikuti penjelasan Tilly sebelumnya) ditempatkan pada
proses dinamis dan interaktif antarunit analisis dan konteks di dalam unit analisis
tersebut. Interaksi ketiga unit analisis ini digambarkan pada model berikut;
45
Gambar 2.1 Model Analisis Teori Proses Politik
Struktur Peluang
Politik
Proses Framing
Struktur Mobilisasi
(Sumber: diolah dari Tilly, Adam, Tarrow. 2008: Dynamics of Contention)
2.3.1 Struktur Mobilisasi
Struktur mobilisasi adalah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam
aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan
sosial, tujuannya mengambil posisi-posisi yang dianggap strategis dalam
masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Dalam konteks ini melibatkan unit-unuit
keluarga, jaringan pertemanan, unit-unit tempat bekerja, dan elemen-elemen
negara. Mc Carthy dalam Tarrow (Tarrow. 1986;71) menyebutkan bahwa struktur
mobilisasi memiliki dua kategori yaitu kategori formal dan informal. Kategori
formal meliputi lembaga dan kelompok masyarakat yang terorganisir, sedangkan
kategori informal adalah jaringan kekerabatan dan pertemanan.
Tilly melakukan inovasi pada analisis struktur mobilisasi dalam proses
politik dengan menyertakan perubahan di tingkat populasi yang berinteraksi
dengan organisasi. Tilly mengasumsikan bahwa transformasi yang terjadi dalam
level organisasi tidak hanya dilatari oleh tindakan subjektif organisasional
melainkan juga hasil dari interaksi organisasi dengan perubahan di tingkat
46
populasi. Perubahan di tingkat populasi inilah yang nantinya akan menggiring
munculnya sekutu potensial yang mendorong organisasi untuk mengambil
tindakan politik dengan mentransformasikan bentuk organisasionalnya. Dengan
begitu, Tilly mengubah mekanisme kausal dalam sruktur mobilisasi. Seperti yang
digambarkan oleh Tilly pada gambar berikut;
Gambar 2.2 Model analisis mobilisasi dalam perseteruan politik
(Sumber: Tilly, 2008; 45)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa dalam komposisi dinamis gerakan
sosial ditempatkan sebagai member sedangkan populasi ditempatkan sebagai
chalenggers posisi ini menentukan interaksi antara kedua identitas tersebut.
Dalam konteks penelitian ini, partai sayap kiri membutuhkan dukungan dari
populasi. Baik organisasi maupun populasi memiliki atribusinya sendiri terhadap
tantangan dan peluang yang muncul. Atribusi tersebut menentukan responnya
terhadap perubahan lingkungan sosial politik disekitarnya. Keduanya kemudian
menampilkan responnya dalam berbagai bentuk aksi. Pada titik inilah keduanya
47
bertemu dan mendorong terjadinya eskalasi ketidakpastian atau singkatnya
peluang politik yang muncul karena aksi tersebut.
Tilly dalam from mobilization to revolution (1978) mengembangkan
sebuah model analisis proses politik yang lebih sederhana untuk menganalisis
struktur mobilisasi melalui bentuk aksi kolektif yang dipilih oleh organisasi sipil
dalam peristiwa revolusi dan pemberontakan politik di Inggris dan Amerika pada
abad 18. Model ini adalah model dasar bagi analisis sekuensi historis dalam
analisis proses politik. Tilly membagi model analisis proses politik pada dua
bagian yaitu bagian abstrak dan bagian kongkrit. Bagian abstrak terdiri dari;
statemaking,
interests,
organization,
mobilization dan collective action.
Sementara, bagian kongkret merupakan praktik simulatif dari model abstrak.
Statemaking adalah situasi politik
yang dihadapi oleh organisasi dan
diinterpretasikan dalam tuntutan politik. Interests adalah kepentingan organisasi
yang dijadikan program politik organisasi. Organization adalah persoalan yang
dihadapi oleh organisasi atau kondisi internal organisasi. Mobilization adalah
pilihan strategi politik organisasional. Collective action adalah aksi taktis yang
dilakukan oleh organisasi. Tilly menggambarkan bahwa statemaking merupakan
unsur utama yang menentukan bentuk interest dan organization. Interaksi antara
program politik dan organisasi menghasilkan pilihan strategi politik dan aksi
kolektif atau aksi taktis.
48
Gambar 2.3 Proses Mobilisasi Tilly
Statemaking
Interests
Organization
Mobilization
Collective Action
(Tilly. 1978; 230)
Tilly menjelaskan bahwa model ini bukanlah model final, pada prinsipnya
kita dapat menggunakan model ini dalam analisis proses politik dengan
meneruskan pola pengambilan keputusan dan perhitungan taktisnya dengan
mengaitkannya pada persaingan di dalam organisasi dan relasi organisasi dengan
organisasi lainnya. Ditambah lagi dengan situasi objektif yang dihadapi serta
peluang dan ancaman terhadap organisasi. Tilly mengadopsi interpretasi McAdam
mengenai proses framing dan menjadikannya proses mikro yang berjalan
bersamaan dengan proses politik untuk mengurangi resiko kesalahan analisis.
Berdasarkan model tersebut dapat diringkas beberapa konsep struktur
mobilisasi dalam proses politik;
1. Peluang dan ancaman bukanlah kategori yang objektif melainkan atribusi
kolektif yang dibatasi oleh framing tujuan dari gerakan sosial dan
organisasi.
2. Struktur mobilisasi dapat muncul sebagai prakondisi ataupun tercipta
karena perseteruan dalam proses perubahan sosial.
49
3. Keseluruhan episode, aktor, aksi organisasional, dan populasi secara
interaktif didapatkan melalui framing partisipan, lawan, pers dan pihak
ketiga (akademisi, pengamat, kelompok yang tidak terlibat langsung dalam
struktur mobilisasi).
4. Aksi inovatif dilakukan untuk menarik perhatian, membawa perubahan
peluang kedalam lingkungan interaktif dan menghasilkan ketidakpastian
bagi kelompok yang terlibat di dalam struktur mobilisasi.
5. Mobilisasi merupakan bagian dari perseteruan dalam perubahan sosial.
(McAdam, 2004).
Model struktur mobilisasi pada konteks penelitian politik sayap kiri
memerlukan identifikasi pola organisasional sayap kiri untuk menunjukkan pola
interaksi organisasi sayap kiri dengan populasi. Oleh karena itu peneliti
menggunakan analisa Kelas Marxis untuk mengidentifikasi pola organisasional
sayap kiri dalam penelitian ini.
2.3.2 Struktur Peluang Politik
Struktur peluang politik merupakan inti dari teori proses peluang politik
bahkan dalam beberapa literatur teori struktur peluang politik menjadi nama lain
dari teori proses politik. Struktur peluang politik sendiri menurut Tilly memiliki
unit analisis khusus yang dalam model struktur mobilisasi menentukan perubahan
sosial yang mendasari terjadinya mobilisasi. Melengkapi teori proses politik, Tilly
menambahkan spesifikasi peluang politik dengan indikator berikut:
1. Multiplisity sentral kekuasaaan dalam suatu rezim
2. Keterbukaan rezim terhadap aktor baru
50
3. Ketidakstabilan koalisi politik
4. Tersedianya sekutu dan pendukung
5. Perlawanan terhadap represi rezim dan aksi klaim kolektif
6. Perubahan menentukan dari poin 1 ke poin 5 (Tilly, 2005;44).
Indikator spesifik ini juga ditempatkan pada komposisi yang dinamis dan
interaktif sebagaiman model struktur mobilisasi. Represi rezim merupakan
indikator yang diambil Tilly dari penjelasan McAdam bahwa represi yang
dilakuakan oleh rezim mengasah respon gerakan sosial (McAdam, 1996).
Indikator respon gerakan sosial ataupun organisasi terhadap represi diringkas
dalam dua bentuk sikap yaitu toleransi dan protes. Dalam model peluang
politiknya karena Tilly berorientasi pada dampak represi rezim pasca respon
organisasi dan populasi. Menurutnya, protes ataupun toleransi tetap menciptakan
sirkulasi peluang politik pada perpecahan elit politik.
Gambar 2.4 Struktur Peluang Politik
Multiplisitas sentral
kekuasaaan dalam suatu
rezim
Perlawanan terhadap
represi rezim dan aksi
klaim kolektif
Ketidakstabilan koalisi
Politik
Keterbukaan rezim
terhadap aktor baru
Tersedianya sekutu dan
pendukung
(Sumber: Diolah dari Tilly, 2005;44)
Pada gambar di atas ditunjukkan interaksi dinamis yang terjadi dalam unit
analisis struktur peluang politik Tilly. Struktur peluang politik dalam model ini
51
tidak menggunakan mekanisme kausal yang berasal dari satu identitas fenomena
melainkan berasal dari proses. Setiap unit analisis memiliki relasi kausal dengan
unit analisis lainnya, terkecuali pada poin ketiga (tengah) ketidakstabilan koalisi
politik.
Ketidakstabilan koalisi politik disebabkan oleh terjadinya pemendaran atau
multiplisitas sentral kekuasaan atau perpecahan di tingkat elit rezim yang
berkuasa. Oleh karenanya, menentukan tersedianya peluang aliansi atau sekutu
namun tidak menentukan keterbukaan rezim terhadap aktor politik baru.
Sebaliknya, keterbukaan rezim membuka peluang terbentuknya sekutu namun
tidak menentukan ketidakstabilan koalisi politik. Tersedianya sekutu atau peluang
kelompok yang dapat dipengaruhi oleh suatu organisasi dan gerakan sosial dapat
mendorong terjadinya protes ataupun penciptaan klaim kolektif (misalnya
tutntutan pengambilalihan lahan oleh serikat tani). Klaim kolektif dan protes
tersebut menghasilkan respon dari rezim. Tilly menyederhanakan proses ini dalam
perubahan yang menentukan terjadinya berpendarnya sentral kekuasaan.
Perubahan merupakan proses utama dalam model struktur peluang politik Tilly,
proses ini ini ditentukan oleh dua respon yaitu toleransi dan represi rezim.
2.3.3 Proses Framing
Proses framing dalam teori proses politik digunakan dalam memahami
kesuksesan dan kegagalan organisasi ataupun gerakan sosial meraih simpati luas
pada populasi. Proses ini menuntut komitmen tinggi organisasi dan gerakan sosial
dalam mempengaruhi publik. Pembentukan framing secara interaktif berkaitan
dengan struktur mobilisasi. Sidney Tarrow (1986;110-117) menjelaskan bahwa
52
dalam menjalankan proses framing alat yang digunakan oleh aktor gerakan adalah
media yang memegang peran penting dalam mengomunikasikan framing gerakan.
Dalam konteks penelitian ini, politik sayap kiri seringkali tidak
menggunakan media mainstream. Politik sayap kiri cenderung mengandalkan
sirkulasi media internal dalam bentuk koran internal, selebaran, ataupun media
elektronik. Namun yang lebih utama adalah menemukan frame politik sayap kiri
itu sendiri. Pemahaman mengenai ideologi politik dan interpretasi politik sayap
kiri terhadap kelompok populasi yang dijadikannya sebagai basis legitimasi
menentukan proses framing yang dilakukan oleh politik sayap kiri.
2.3 Kerangka Pemikiran
Pada penelitian ini, peneliti merumuskan beberapa asumsi penelitian
Pertama, politik sayap kiri pasca-65 memiliki perbedaan pra-65 baik secara
ideologi, strategi politik hingga bentuk organisasi yang dipengaruhi oleh
perbedaan abstraksi konseptual dan perbedaan situasi politik yang dihadapinya.
Kedua, PRD menunjukkan bahwa politik sayap kiri memiliki fleksibilitas strategi
politik dan bentuk organisasi sesuai dengan peluang politik yang dihadapinya.
Fleksibilitas ini ditunjukkan dalam kemampuan sublimasi organisasi secara
paralel pada bentuk gerakan sosial dan partai politik.
Asumsi diuji dengan membagi penelitian dalam dua tahap yaitu; pertama,
mengidentifikasi varian politik sayap kiri PRD melalui empat indikator yang
berlandaskan pada perdebatan konseptual dan perdebatan strategi politik sayap
kiri. Identifikasi varian politik sayap kiri yang digunakan oleh PRD ini bermanfaat
pada unit analisis struktur mobilisasi dalam proses politik. Kedua, untuk
53
menjelaskan
bagaimana
PRD
mengembangkan
strategi pemilu
peneliti
menggunakan teori proses politik. Pembahasan dilakukan melalui tiga kategori
dalam teori proses politik yaitu struktur mobilisasi, struktur peluang politik, dan
proses framing. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua model analisis
proses politik yang digunakan oleh Tilly dan menggabungkannya dengan analisis
politik marxis yang mengidentifikasi varian politik sayap kiri PRD. Peneliti juga
menambahkan struktur peluang politik sebagai basis dampak mobilisasi yang
terbagi pada dua respon yaitu fasilitasi dan represi dari rezim. Oleh karena itu,
peneliti memodifikasi model tersebut menjadi kerangka pemikiran.
Gambar 2.5 Kerangka pemikiran
Varian Politik
Sayap kiri
PRD
Program Politik
PRD
Organisasi
Mobilisasi/ Strategi
Politik
Taktik: People power,
pemilu dan Propaganda
Peluang Politik
Keterangan:
Interaksi
Respon
Interaksi
tidak langsung
Represi
Fasilitasi
Proses Framing
Media Massa dan
Media Internal
Download