pengembangan model jaringan saraf tiruan untuk

advertisement
PENGEMBANGAN MODEL JARINGAN SARAF TIRUAN
UNTUK MENDUGA EMISI GAS RUMAH KACA DARI LAHAN SAWAH
DENGAN BERBAGAI REJIM AIR
DEVELOPMENT OF ARTIFICIAL NEURAL NETWORK
TO PREDICT GREENHOUSE GAS EMISSIONS FROM RICE FIELDS
WITH DIFFERENT WATER REGIMES
Oleh:
Chusnul Arif1), Budi Indra Setiawan1), Slamet Widodo2), Rudiyanto1),
Nur Aini Iswati Hasanah1), Masaru Mizoguchi3)
1)Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Teknik Mesin dan Biosistem, IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
3)Department of Global Agricultural Sciences, The University of Tokyo, 1-1-1 Yayoi, Bunkyo-Ku,
Tokyo 113-8657, Jepang
2)Departemen
Komunikasi Penulis, email: [email protected], [email protected], [email protected],
[email protected], [email protected], [email protected]
Naskah ini diterima pada 7 Januari 2015; revisi pada 23 Maret 2015;
Disetujui untuk dipublikasikan pada 15 April 2015
ABSTRACT
The paper proposes the artificial neural networks (ANN) model to predict methane (CH 4) and Nitrous Oxide (N2O)
emissions under different irrigation system based on easily measurable environmental biophysics parameters such as soil
moisture, soil temperature and soil electrical conductivity. To verify the model, two experiments were conducted in the
pot experiments in two different locations. The first location was in the greenhouse of Meiji University, Kanagawa
Prefecture, Japan from 4 June to 21 September 2012, and the second location was in water resources engineering
laboratory, Department of Civil and Environmental Engineering-IPB from 2 July to 10 October 2014. In each location,
there were three different irrigation systems adopted with the System of Rice Intensification (SRI) principles. We called
the experiment as SRI Basah (SRI B1 and SRI B2 for the first and second locations, respectively), SRI Sedang (SRI S1 dan
SRI S2) dan SRI Kering (SRI K1 dan SRI K2). Each treatment has different water level during growth stages. As the results,
the developed ANN model can predict CH4 and N2O emissions accurately with determination coefficients of 0.93 and 0.70
for CH4 and N2O prediction, respectively. From the model, characteristics of those greenhouse gas emissions can be well
identified. For the mitigation strategy, SRI B1 and SRI B2 treatments in which the water level was kept at nearly soil
surface are the best strategy with highest yield production and lowest GHG emission.
Keywords: Artificial neural networks, environmental biophysics, irrigation system, greenhouse gas emissions,
paddy fields
ABSTRAK
Makalah ini menyajikan model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) untuk memprediksi gas metan (CH4) dan Nitrous Oxide
(N2O) yang diemisikan dari padi sawah dengan perlakukan berbagai pemberian air berdasarkan data parameter
lingkungan biofisik di dalam tanah yang mudah diukur seperti kelembaban tanah, suhu tanah dan daya hantar listrik
(DHL) tanah hanya dengan satu jenis sensor. Untuk melakukan validasi model, percobaan budidaya padi sawah di pot
dilakukan di dua tempat berbeda, yaitu di rumah kaca, Meiji University, Kanagawa Jepang dari 4 Juni sampai 21
September 2012 dan di laboratorium Teknik Sumberdaya Air, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan-IPB dari 2
Juli sampai 10 Oktober 2014. Di setiap lokasi, terdapat tiga percobaan pemberian air dengan mengadopsi metode
budidaya System of Rice Intensification (SRI). Perlakuan tersebut diberi nama SRI Basah (disingkat SRI B1 dan SRI B2
untuk lokasi pertama dan kedua), SRI Sedang (SRI S1 dan SRI S2) dan SRI Kering (SRI K1 dan SRI K2). Perbedaan
percobaan antar perlakuan adalah pengaturan tinggi muka disetiap umur tanaman. Dari model JST yang
dikembangkan didapatkan hasil validasi dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.93 dan 0.70 untuk prediksi
emisi gas CH4 dan N2O yang mengindikasikan bahwa model dapat diterima. Dari model tersebut, karakteristik emisi
gas CH4 dan N2O terhadap perubahan parameter lingkungan biofisik dapat dijelaskan dengan baik. Untuk strategi
mitigasi dari percobaan pemberian air yang dilakukan, pemberian air pada perlakuan SRI B1 dan B2 dengan menjaga
jeluk muka air disekitar permukaan tanah merupakan strategi yang terbaik dengan indikator produksi tertinggi dan
emisi gas rumah kaca (GRK) terendah.
Kata kunci: Jaringan syaraf tiruan, lingkungan biofisik, sistem irigasi, emisi gas rumah kaca, padi sawah
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
1
I.
PENDAHULUAN
Perlakuan pemberian air yang beragam pada
lahan sawah telah mempengaruhi perubahan
dinamis parameter biofisik tanah seperti
kelembaban tanah dan suhu tanah yang akan
berimbas pada peningkatan/penurunan aktifitas
mikroorganisme tanah. Aktifitas mikroorganisme
ini sangat mempengaruhi emisi gas rumah kaca
(GRK) yang dilepaskan ke atmosfer. Terdapat tiga
jenis GRK yang utama dari pertanian yaitu
karbondioksida (CO2), metan (CH4) and nitrous
oksida (N2O), yang berkontribusi pada terjadinya
pemanasan global ketika terjadi peningkatan
konsentrasi di atmosfer (Bouman, 1990; Neue et
al., 1990). Diantara GRK tersebut, CH4 dan N2O,
memiliki potensi pemanasan global sebesar 23
dan 296 kali lebih besar dari CO2(Snyder et al.,
2007).
Banyak sekali hasil penelitian yang telah
dilakukan selama kurang lebih 20 tahun untuk
menganalisis emisi gas CH4 and N2O dengan
berbagai pemberian air seperti dengan sistem
genangan pada sistem tanam konvensional
maupun irigasi berselang dengan metode tanam
System of Rice Intensification (SRI) (Setiawan et al.,
2014; Setiawan et al., 2013; Dong et al., 2011; Li et
al., 2011; Tyagi et al., 2010; Akiyama et al., 2005;
Minamikawa and Sakai, 2005; Towprayoon et al.,
2005; Zou et al., 2005; Keiser et al., 2002; Cai et al.,
1997;Husin et al., 1995; Nugroho et al., 1994).
Hasilnya menunjukkan dengan jelas bahwa emisi
gas CH4 meningkat ketika kondisi anaerob terjadi
didalam tanah. Sebaliknya, emisi gas N2O
meningkat ketika tanah semakin kering ketika
kondisi aerobik terbentuk. Rajkishore, et.al (2013)
dan Dill, et al (2013) menyebutkan bahwa metode
tanam SRI dengan irigasi berselang dapat
menurunkan emisi gas CH4 sebesar 32%, tetapi
meningkatkan emisi gas N2O sebesar 1,5%.
Makalah ini menyajikan alternatif metode untuk
memprediksi emisi GRK berdasarkan kondisi
lingkungan biofisik didalam tanah yang mudah
diukur dengan sensor tertentu. Emisi GRK sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan biofisik
didalam tanah seperti kelembaban tanah (Husin
et al., 1995; Setyanto et al., 2004; Setiawan et al.
2013), suhu tanah (Miyata et al., 2000; Purkait et
al., 2007; Setiawan et al. 2013) dan daya hantar
listrik (DHL) tanah. Untuk parameter terakhir
(DHL tanah) sangat dipengaruhi oleh perubahan
kelembaban tanah (Arif, 2013) dan pemberian
pupuk (Nishimura et al., 2004), sehingga dapat
dijadikan parameter yang mempengaruhi emisi
GRK. Akan tetapi hubungan antara emisi GRK dan
parameter biofisik tersebut sangat kompleks dan
2
sulit dimodelkan
matematika.
dalam
bentuk
persamaan
Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) lebih cocok
digunakan untuk memodelkan sistem yang
komplek seperti pada bidang pertanian daripada
model matematika (Hashimoto, 1997). Model JST
memiliki kemampuan untuk mengenali dan
mempelajari hubungan input dan output dari
sistem tanpa memperhatikan kondisi fisiknya
secara eksplisit (Basheer dan Harmeer, 2000).
Pada bidang pertanian khususnya bidang irigasi,
model JST telah digunakan untuk rencana strategi
dan klasifikasi irigasi (Raju et al. 2006) dan
memprediksi tingkat pembasahan dari subpermukaan untuk irigasi tetes (Hinnell et al.
2009).
Setiawan et al. (2013) telah mengembangkan
model JST untuk memprediksi gas CH4 dan N2O
berdasarkan parameter lingkungan biofisik yang
terdiri atas kelembaban tanah, suhu tanah dan pH
tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa model JST
dapat memprediksi emisi gas CH4 dan N2O dengan
nilai koefisien determinasi (R2) berturut-turut
sebesar 0,72 dan 0,69. Hal ini menunjukkan model
JST dapat digunakan untuk memprediksi gas
metan dan nitrous oksida dengan baik. Akan
tetapi, untuk parameter pH tanah tidak mudah
diukur secara kontinyu karena sensor yang
digunakan berbeda dan terpisah dengan sensor
kelembaban tanah dan suhu tanah. Oleh sebab itu,
makalah ini menyajikan model JST untuk
memprediksi GRK berdasarkan parameter
lingkungan biofisik di dalam tanah yang mudah
diukur yaitu kelembaban tanah, suhu tanah dan
DHL tanah. Ketiga parameter lingkungan biofisik
tersebut diukur menggunakan satu jenis sensor
secara kontinyu.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah 1)
mengembangkan model JST untuk memprediksi
emisi gas CH4 dan N2O berdasarkan parameter
lingkungan biofisik yang terdiri dari kelembaban
tanah, suhu tanah dan DHL tanah, 2) menganalisis
karakteristik perubahan emisi gas CH4 dan N2O
terhadap
perubahan
dinamis
parameter
lingkungan
biofisiknya
dengan
berbagai
perlakuan pemberian air.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Padi sawah dengan irigasi tergenang merupakan
sumber utama emisi gas rumah kaca khususnya
CH4 (Setyanto et al. 2000; Cicerone et al. 1992).
Meskipun studi awal menunjukkan bahwa emisi
gas N2O dari padi sawah dapat diabaikan (Smith et
al. 1982), tetapi studi pada tahun 1990-an
menunjukkan bahwa padi sawah juga merupakan
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
sumber penting emisi gas rumah kaca termasuk
N2O (Cai et al. 1997). Gas metan diproduksi oleh
aktivitas
mikroorganisme
yang
disebut
methanogens dalam proses dekomposisi material
organik dimana aktivitasnya meningkat dalam
kondisi anaerobik ketika oksigen dan sulfat
terbatas jumlahnya seperti kondisi tergenang
(Bouwman 1990; Cicerone dan Oremland, 1988).
Sedangkan gas N2O terbentuk oleh proses
mikrobiologi yang disebut nitrifikasi dan
denitrifikasi dalam tanah dan mencapai puncak
ketika genangan air hilang/kondisi kering (Mosier
et al. 1996).
Hubungan terbalik didapatkan antara kondisi
terbentuknya gas CH4 dan N2O sebagaimana
ditunjukkan oleh Cai et al. (1997). Gas N2O yang
dilepaskan ke sawah kecil ketika di sawah terjadi
genangan, sebaliknya gas N2O mencapai puncak
ketika tidak ada genangan disawah atau dalam
kondisi kering. Selain itu, gas N2O meningkat
tajam ketika pupuk N diberikan pada sawah
(Snyder et al. 2007; Akiyama et al. 2005).
Sebaliknya untuk gas CH4 mencapai puncak ketika
kondisi anaerobik terbentuk dimana genangan
terjadi di lahan, dan fluks gas ini menurun ketika
drainase dilakukan (Setyanto et al. 2000). Oleh
karena pengaturan irigasi dan drainase menjadi
kunci penting untuk meminimalkan gas rumah
kaca dari lahan sawah (Tyagi et al. 2010). Akan
tetapi, pengukuran gas tersebut tidak mudah dan
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh
sebab itu, makalah ini menyajikan alternatif
metode untuk memprediksi emisi dari gas-gas
tersebut
berdasarkan
kondisi
lingkungan
biofisiknya.
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi Penelitian dan Desain Percobaan
Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang
berbeda, yaitu di rumah kaca, Meiji University,
Kanagawa Jepang dari 4 Juni sampai dengan21
September 2012, dan di laboratorium Teknik
Sumberdaya Air, Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan-IPB dari 2 Juli sampai 10 Oktober
2014. Di dua tempat tersebut, budidaya padi
sawah dilakukan pada skala percobaan
menggunakan
pot
untuk
mempermudah
pengaturan airnya dengan prinsip budidaya
System of Rice Intensification (SRI) dengan
menggunakan benih muda dan tanam tunggal.
Pada percobaan pertama, digunakan padi dengan
varietas Japonica (Koshihikari), sedangkan lokasi
kedua adalah varietas Ciherang. Ketinggian pot
yang digunakan adalah 30 cm.
Terdapat tiga perlakuan pemberian air yang
dilakukan pada masing-masing lokasi untuk
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
menjaga tinggi muka air yang diinginkan setelah
tanaman berumur 20 hari setelah tanam (HST).
Ketiga perlakuan tersebut dinamakan SRI Basah,
SRI Sedang dan SRI Kering. Untuk lokasi pertama,
SRI Basah (disebut SRI B1) diperoleh dengan
menjaga jeluk muka air dipermukaan tanah, untuk
SRI Sedang dan Kering (masing-masing disebut
SRI S1 dan SRI K1), jeluk muka air dijaga pada
ketinggian berturut-turut 5 cm dan 10 cm di
bawah permukaan tanah dengan menggunakan
tabung
mariot.
Apabila
curah
hujan
mengakibatkan tinggi muka air melebihi
ketinggian yang diinginkan, maka air hujan
tersebut langsung dibuang. Sedangkan untuk
percobaan di lokasi kedua, SRI Basah (disebut SRI
B2) juga diperoleh dengan menjaga jeluk muka air
di permukaan tanah. Untuk SRI Sedang (disebut
SRI S2) diperoleh dengan menjaga jeluk muka air
3 cm di bawah permukaan tanah. Sedangkan
untuk SRI Kering (disebut SRI K2) diperoleh juga
dengan menjaga jeluk muka air 10 cm di bawah
permukaan tanah sama seperti SRI K1 (Gambar 1).
3.2. Pengukuran Emisi GRK dan Parameter
Lingkungan lainnya
Emisi GRK diukur dengan menggunakan boks
tertutup yang dipasang di masing-masing pot.
Adapun parameter GRK yang diukur adalah gas
CH4 dan N2O. Boks tertutup yang digunakan untuk
melakukan gas sampling memiliki diameter 30 cm
dengan tinggi 100 cm. Sampel gas hasil
pengukuran kemudian dibawa ke laboratorium
untuk
dianalisis
menggunakan
Gas
Chromatography (GC). Pada waktu pengambilan
sampel gas, boks diletakkan pada pot yang telah
ditanami padi. Pengambilan sampel gas dilakukan
pada pukul 12.00 siang waktu setempat ketika
suhu udara mencapai puncak hariannya. Sampel
gas diambil empat kali setiap 10 menit mulai dari
menit ke-0 sampai menit ke-30. Emisi yang terjadi
ditentukan berdasarkan laju perubahan (fluks)
dari konsentrasi tersebut (mg/m2/hari). Apabila
laju perubahannya bernilai positif maka terjadi
emisi GRK, sebaliknya apabila laju perubahannya
bernilai negatif maka terjadi penyerapan GRK.
Pada waktu pengambilan sampel gas, boks
diletakkan pada pot yang telah ditanami padi
(Gambar 2). Pengambilan sampel gas dilakukan
pada pukul 12.00 siang waktu setempat ketika
suhu udara mencapai puncak hariannya. Sampel
gas diambil empat kali setiap 10 menit mulai dari
menit ke-0 sampai menit ke-30. Pada masingmasing waktu pengukuran tersebut didapatkan
konsentrasi gas (g/cm3). Emisi yang terjadi
ditentukan berdasarkan laju perubahan (fluks)
dari konsentrasi tersebut (mg/m2/hari). Apabila
laju perubahannya bernilai positif maka terjadi
3
emisi GRK, sebaliknya apabila laju perubahannya
bernilai negatif maka terjadi penyerapan GRK.
Total emisi GRK per parameter selama periode
tanam dihitung dengan mengintegralkan nilai
emisi GRK menggunakan metode numerik
Simpson dengan Persamaan 1.
b
f ( x)dx
a
b a
a b
f (a) 4 f (
)
6
2
f (b)
......... (1)
dimana f(x) adalah total emisi GRK per parameter
(mg/m2/musim), a adalah hari awal pengukuran
emisi GRK dan b adalah hari akhir pengukuran
emisi GRK (hari setelah tanam/HST)
Untuk pengukuran parameter lingkungan biofisik
di tanah, sensor 5-TE yang dapat mengukur
kelembaban tanah, suhu tanah dan DHL tanah
sekaligus dipasang pada kedalaman 5 cm di
bawah permukaan tanah dengan interval 30
menit secara kontinyu.
3.3. Pengembangan Model Emisi GRK
Model JST yang dikembangkan terdiri dari 3 layar,
yaitu layar masukan (input layer), tersembunyi
(hidden layer) dan keluaran (output layer). Untuk
layar masukan terdiri dari 3 noda untuk
parameter lingkungan biofisik yang terdiri dari
kelembaban tanah, suhu tanah dan DHL tanah,
sedangkan gas CH4 dan N2O dijadikan keluaran
dari masing-masing model tersebut. Masingmasing layar tersebut terhubung dengan nilai
pembobot (weights) yang merupakan penghubung
antara layar masukan dan keluaran. Pembobot
inilah yang dicari dari model JST dalam
memprediksi emisi GRK yang terjadi. Untuk
mendapatkan pombobot tersebut digunakan
pembelajaran model algoritma Back Propagation.
Algoritma ini terdiri dari dua fase, yaitu
perhitungan maju dan mundur (forward and
backward propagation) dan update pembobot.
Gambar 1 Desain Percobaan pada Masing-masing Lokasi: a) Rumah Kaca, Meiji University,
b) Teknik Sumberdaya Air, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan-IPB
Gambar 2 Peralatan Pengukuran Konsentrasi GRK pada Percobaan di Pot
4
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
Untuk fungsi aktifasi digunakan fungsi sigmoid
sebagai berikut:
1
1 e
f(y)
y
n
xiwi
gy
….......................................... (2)
….......................................... (3)
i 0
dimana xi, wi, n, g berturut-turut adalah data
masukan, pembobot, jumlah noda masukan, dan
konstanta aktifasi.
Model JST tersebut dikembangkan dalam MS.
Excel 2007 dengan fasilitas Visual Basic
Application (VBA). Kinerja dari model JST diukur
dengan membandingkan nilai emisi gas metan
hasil pengukuran dan prediksi dengan melihat
nilai koefisien determinasi (R2) yang bernilai
antara 0-1. Apabila nilai R2 semakin besar dan
mendekati 1 maka model JST yang dikembangkan
dapat digunakan untuk memprediksi emisi GRK
dari padi sawah.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hubungan emisi GRK dengan parameter
lingkungan biofisik
Gambar 3 menunjukkan hubungan linear antara
emisi gas CH4 dan N2O dengan parameter
lingkungan biofisik tanah yang meliputi
kelembaban tanah, suhu tanah dan DHL tanah
dari
seluruh
perlakuan
pemberian
air.
Dari Gambar 2 tersebut menunjukkan bahwa nilai
R2 yang cukup kecil (< 0,33) mengindikasikan
hubungan emisi gas CH4 dan N2O dengan
parameter lingkungan biofisik tanah tidak linear.
Emisi gas CH4 cukup tinggi ketika kelembaban
tanah berkisar antara 0,45-0,50 m3/m3. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi kadar air
tanah, maka emisi gas CH4 akan meningkat. Oleh
sebab itu, kondisi sawah tergenang dengan
kelembaban tanah pada kondisi jenuh memiliki
potensi besar untuk mengemisikan gas CH4. Untuk
suhu tanah, emisi gas CH4 cukup tinggi ketika
suhu tanah berkisar antara 25-30oC. Suhu tanah
memegang peranan penting dalam aktifitas
mikroorganisme tanah. Sebagian besar bakteri
metanogenik (bakteri penghasil gas CH4)
merupakan bakteri mesofilik yang berkerja
optimum pada suhu minimum 30oC (Vogels et al.
1988). Sedangkan DHL tanah, nilai maksimum
emisi gas CH4 terjadi ketika nilai DHL tanah
berkisar antara 0,3-0,4 mS/cm.
Sementara untuk emisi gas N2O, peningkatan
kelembaban tanah, suhu tanah dan DHL tanah
juga menyebabkan peningkatan emisi gas
tersebut meskipun dengan slope yang lebih kecil
(R2<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
antara N2O dengan parameter lingkungan biofisik
belum terlihat jelas dan N2O kurang responsif
terhadap perubahan parameter lingkungan
biofisik di dalam tanah.
Gambar 3 Hubungan Antara Emisi GRK dengan Parameter Lingkungan Biofisik di Dalam Tanah
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
5
4.2. Prediksi Emisi GRK dengan Model JST
Model JST mampu mempelajari hubungan antara
perubahan kondisi kelembaban tanah, suhu tanah
dan DHL tanah dengan emisi GRK yang dihasilkan
dari padi sawah dengan baik yang diindikasikan
dengan nilai R2 sebesar 0,93 dan 0,70 untuk
prediksi emisi gas CH4 dan N2O. Prediksi emisi gas
CH4 lebih akurat daripada prediksi untuk emisi
gas N2O. Hal ini dimungkinkan karena emisi gas
N2O kurang responsif terhadap perubahan
parameter lingkungan biofisik di dalam tanah
sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya.
Hasil validasi model juga diperkuat dengan hasil
perbandingan antara emisi GRK hasil pengukuran
dan prediksi dalam satu musim tanam
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa meskipun terjadi
over atau underestimate, akan tetapi secara umum
tren garis pada grafik yang merupakan emisi GRK
hasil prediksi model mendekati poin-poin emisi
GRK hasil pengukuran. Hal ini menunjukkan
bahwa trend emisi GRK hasil prediksi model JST
sama dengan hasil pengukuran. Sehingga model
JST cukup akurat dalam memprediksi emisi GRK.
4.3. Karakteristik Emisi GRK
Pembobot yang dihasilkan oleh model JST
kemudian
digunakan
untuk
menganalisis
karakteristik emisi GRK terhadap perubahan
kelembaban tanah, suhu tanah dan DHL tanah
seperti terlihat di Gambar 5 dan Gambar 6.
Emisi gas CH4 meningkat seiiring dengan
peningkatan kelembaban tanah, suhu tanah dan
DHL tanah. Pada waktu DHL tanah sebesar 0,01
mS/cm, emisi gas CH4 cukup kecil dibawah 10
mg/m2/hari ketika kelembaban tanah berkisar
antara 0,3 – 0,35 m3/m3 dengan suhu tanah
kurang dari 30oC. Emisi gas CH4 meningkat tajam
ketika DHL tanah meningkat menjadi 0,4 mS/cm
dan terjadi kenaikan kelembaban tanah juga dari
0,27 – 0,45 m3/m3.
Gambar 4 Perbandingan Emisi GRK Pengukuran dan Prediksi
6
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
Peningkatan
kelembaban
tanah
biasanya
dibarengi dengan pengurangan konsentrasi
oksigen di dalam tanah yang diindikasikan dengan
berkurangnya nilai redoks potential tanah (Eh)
(Setyanto et al., 2000). Pengurangan oksigen
tersebut
menyebabkan
aktifitas
bakteri
metanotropik yang menyerap gas CH4 menjadi
terhambat sehingga emisi gas CH4 meningkat.
Peningkatan suhu tanah juga mengakibatkan
kenaikan emisi gas CH4 yang cukup signifikan.
Emisi gas CH4 hanya menurun ketika suhu tanah
lebih rendah dari 20oC. Sebaliknya setelah suhu
tanah meningkat dari 20oC sampai 30oC, emisi gas
CH4 meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Holzapfel-Pschorn
dan Seller (1986) dimana emisi gas CH4 dari lahan
padi sawah meningkat dua kali lipat ketika terjadi
peningkatan suhu tanah dari suhu 20oC menjadi
25oC. Peningkatan suhu tersebut dibarengi
dengan peningkatan aktifitas mikroorganisme
khususnya bakteri metanogenik. Hal ini
mengindikasikan bahwa suhu tanah akan
mempengaruhi metabolisme mikroorganisme di
dalam tanah.
Karakteristik emisi gas N2O berbeda dengan emisi
gas CH4 seperti terlihat pada Gambar 6. Kenaikan
nilai DHL tanah dapat menurunkan emisi gas N 2O.
Pada waktu DHL tanah 0,3 mS/cm, emisi gas N2O
menurun seiring meningkatnya kelembaban tanah
dan menurunnya suhu tanah. Gas N2O pada
dasarnya terbentuk dari proses nitrifikasi dan
denitrifikasi di dalam tanah pada kondisi aerobik
(Mosier et al., 1996), sehingga kondisi kadar air
tanah yang tinggi dapat menghambat proses
terbentuknya gas N2O. Dari karakteristik ini dapat
disimpulkan bahwa pemberian air yang berbeda
akan menghasilkan kondisi lingkungan biofisik
yang berbeda juga yang menyebabkan emisi GRK
yang dihasilkan juga berbeda.
Tabel 1 menunjukkan emisi GRK pada masingmasing percobaan pemberian air. Lokasi pertama
menghasilkan produksi yang lebih tinggi daripada
lokasi pertama. Untuk emisi GRK terlihat bahwa
emisi gas CH4 terbesar terjadi pada pemberian air
SRI Basah baik di lokasi pertama maupun kedua.
Sebaliknya, emisi gas CH4 terkecil terjadi pada
pemberian air SRI Kering (SRI K1 dan SRI K2).
Bahkan SRI K1 total emisi gas CH4 bernilai negatif
yang menunjukkan terjadinya penyerapan gas CH4.
Sayangnya untuk fenomena emisi gas N2O belum
terlihat kekonsistenan hasil antar sistem irigasi.
Pada lokasi pertama, SRI B1 menghasilkan emisi
gas N2O terkecil, akan tetapi pada lokasi kedua,
SRI K2 yang menghasilkan emisi gas N 2O terkecil.
Untuk itu, diperlukan studi yang lebih mendalam
dalam memahami karakteristik emisi gas N2O
dengan melibatkan faktor-faktor yang lain.
Gambar 5 Karakteristik Emisi Gas CH4 pada Berbagai Kondisi Parameter Lingkungan Biofisik
Gambar 6 Karakteristik Emisi Gas N2O pada Berbagai Kondisi Parameter Lingkungan Biofisik
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
7
Tabel 1 Emisi GRK pada Masing-masing Percobaan Pemberian Air
CH4 (kg/ha/musim)
N2O (kg/ha/musim)
GWP*
(kg C-CO2
eq/ha/musim)
SRI B1
18,32
3,61
1489
8,33
SRI S1
4,68
6,86
2138
5,21
SRI K1
-0,56
5,00
1467
5,31
SRI B2
38,79
8,14
3300
1,47
SRI S2
35,77
17,40
5973
1,35
SRI K2
8,64
4,06
1399
1,10
SRI pada berbagai rejim
air
Emisi GRK
Produksi
(ton/ha)
*GWP: global warming potential, dihitung dengan persamaan GWP = 23CH4 + 296N2O (Hadi, et al., 2010)
Untuk strategi mitigasi dari percobaan pemberian
air yang dilakukan, sistem irigasi SRI Basah (baik
SRI B1 dan SRI B2) dengan menjaga jeluk muka
air di sekitar permukaan tanah merupakan
strategi yang terbaik. Hal ini disebabkan
perlakukan sistem irigasi tersebut menghasil nilai
GWP terendah dan produksi tertinggi di lokasi
pertama. Sedangkan untuk lokasi kedua,
meskipun tidak menghasilkan GWP terendah,
tetapi perlakuan irigasi ini mampu menghasilkan
GWP yang moderat dan produksi tertinggi
dibandingkan dengan dua perlakuan yang lain.
V.
KESIMPULAN
Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dapat
digunakan untuk memprediksi GRK yang terdiri
dari gas CH4 dan N2O dari padi sawah dengan
berbagai pemberian air menggunakan data
parameter lingkungan biofisik didalam tanah
seperti kelembaban tanah, suhu tanah dan daya
hantar listrik (DHL) tanah. Hasil validasi model
menghasilkan nilai koefisien determinasi (R 2)
sebesar 0,93 dan 0,70 untuk prediksi emisi gas
CH4 dan N2O yang mengindikasikan bahwa model
dapat diterima. Dari model tersebut, karakteristik
emisi gas CH4 dan N2O terhadap perubahan
parameter lingkungan biofisik dapat dijelaskan
dengan baik meskipun terdapat beberapa batasan.
Namun, model tersebut hanya diujicobakan pada
pengukuran emisi GRK secara tidak kontinyu pada
pengukuran siang hari dengan kondisi lingkungan
yang belum mewakili kondisi secara keseluruhan,
sehingga model untuk menguji keakuratan model
perlu
dilakukan
untuk
berbagai
waktu
pengukuran emisi gas rumah kaca.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Direktorat
Pendidikan Tinggi yang telah mendanai riset ini
melalui skema Penelitian Bagi Pendidikan
Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul
(PMDSU) tahun 2014. Kami juga menyampaikan
terima kasih kepada Prof. Kesuke Noborio dan
8
mahasiswa beliau dari Meiji University yang telah
mengizinkan dan membantu penulis melakukan
riset di tempat mereka. Selain itu, ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada GRENE-ei CAAM
project di Jepang oleh the University of Tokyo
yang memberikan dukungan berupa peralatan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, H., Yagi, K., Yan, X.Y. 2005. Direct N2O
emissions from rice paddy fields: Summary of
available data. Global Biogeochem Cy 19.
Arif, C, 2013. Optimizing water management in system
of rice intensification paddy fields by field
monitoring technology. Global Agricultural
Sciences. The University of Tokyo, Tokyo, p. 143
Basheer, I.A., Harmeer, M. 2000. Artificial Neural
Networks: fundamentals, computing, design,
and application. Journal of Microbiological
Methods 43: 3-31.
Bouwman, A.F. 1990. Introduction, in: Bouwman, A.F.
(ed.), soil and the greenhouse effects. John Wiley
& Sons, New York, United States.
Cai, Z.C., Xing, G.X., Yan, X.Y., Xu, H., Tsuruta, H., Yagi, K.,
Minami, K. 1997. Methane and nitrous oxide
emissions from rice paddy fields as affected by
nitrogen fertilisers and water management.
Plant Soil 196: 7-14.
Cicerone, R.J., Delwiche, C.C., Typer, S.C., Zimmermann,
P.R. 1992. Methane emissions from California
rice paddies with varied treatments. Global
Biogeochem Cy 6: 233-248.
Cicerone, R.J., Oremland, R.S. 1988. Biogeochemical
aspects of atmospheric methane. Global
Biogeochem Cy 2: 229-238.
Dill, J., Deichert, G., Thu, L.T.N. 2013. Promoting the
System of Rice Intensification: lessons learned
from Trà Vinh Province, Viet Nam. German
Agency for International Cooperation (GIZ) and
International
Fund
for
Agricultural
Development (IFAD), Hanoi.
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
Dong, H.B., Yao, Z.S., Zheng, X.H., Mei, B.L., Xie, B.H.,
Wang, R., Deng, J., Cui, F., Zhu, J.G. 2011. Effect
of ammonium-based, non-sulfate fertilizers on
CH4 emissions from a paddy field with a typical
Chinese water management regime. Atmos
Environ 45: 1095-1101.
Hadi, A., Inubushi, K., Yagi, K. 2010. Effect of water
management on greenhouse gas emissions and
microbial properties of paddy soils in Japan and
Indonesia. Paddy Water Environ 8: 319–324
Hashimoto, Y. 1997. Applications of artificial neural
networks and genetic algorithms to agricultural
systems. Comput Electron Agr 18: 71-72.
Hinnell, A.C., Lazarovitch, N., Furman, A., Poulton, M.,
Warrick, A.W. 2009. Neuro-Drip: estimation of
subsurface wetting patterns for drip irrigation
using neural networks. Irrigation Sci 28: 535544.
Holzapfel-Pschorn, A., Seiler, W. 1986. Methane
emission during a cultivation period from an
Italian rice paddy. Journal of Geophysical
Research 91: 803-814.
Husin, Y.A., Murdiyarso, D., Khalil, M.A.K., Rasmussen,
R.A., Shearer, M.J., Sabiham, S., Sunar, A.,
Adijuwana, H. 1995. Methane Flux from
Indonesian Wetland Rice - the Effects of Water
Management and Rice Variety. Chemosphere 31:
3153-3180.
Keiser, J., Utzinger, J., Singer, B.H. 2002. The potential of
intermittent irrigation for increasing rice yields,
lowering
water
consumption,
reducing
methane emissions, and controlling malaria in
African rice fields. J Am Mosquito Contr 18: 329340.
Li, X.L., Yuan, W.P., Xu, H., Cai, Z.C., Yagi, K. 2011. Effect
of timing and duration of midseason aeration
on CH4 and N2O emissions from irrigated
lowland rice paddies in China. Nutr Cycl
Agroecosys 91: 293-305.
Minamikawa, K., Sakai, N. 2005. The effect of water
management based on soil redox potential on
methane emission from two kinds of paddy
soils in Japan. Agr Ecosyst Environ 107: 397-407.
Miyata A, Leuning R, Denmead OTh, Kim J, Harazonoa Y.
2000. Carbon dioxide and methane fluxes from
an intermittently flooded paddy field.
Agricultural and Forest Meteorology 102 (2):
287–303
Mosier, A.R., Duxbury, J.M., Freney, J.R., Heinemeyer, O.,
Minami, K. 1996. Nitrous oxide emissions from
agricultural fields: Assessment, measurement
and mitigation. Plant Soil 181: 95-108.
Neue, H.U., Heidmann, P.B., Scharpenseel, H.W., 1990.
Organic matter dynamics, soil properties, and
cultural practices in rice lands and their
relationship to methane production, in:
Bouwman, A.F. (Ed.), Soil and the greenhouse
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
effect. John Wiley & Sons, New York, United
States, pp. 457-466.
Nishimura S, Sawamoto T, Akiyama H, Sudo S, Yagi K.
2004. Methane and nitrous oxide emissions
from a paddy field with Japanese conventional
water management and fertilizer application.
Global Biogeochemical Cycles 18: GB2017.
DOI:10.1029/2003GB002207
Nugroho, S.G., Lumbanraja, J., Suprapto, H., Sunyoto,
Ardjasa, W.S., Haraguchi, H., Kimura, M. 1994.
Effect of Intermittent Irrigation on Methane
Emission from an Indonesian Paddy Field. Soil
Sci Plant Nutr 40: 609-615.
Purkait NN, Saha AK, De S, Chakrabarty DK. 2007.
Behaviour of methane emission from a paddy
field of high carbon content. Indian Journal of
Radio and Space Physics 36: 52–58.
Rajkishore, S.K., Doraisamy, P., Subramanian, K.S.,
Maheswari, M., 2013. Methane emission
patterns and their associated soil microflora
with SRI and conventional systems of rice
cultivation in Tamil Nadu, India. Taiwan Water
Conservancy 61: 126-134
Raju, S.K., Kumar, D.N., Duck, L. 2006. Artificial neural
networks and multicriterion analysis for
sustainable irrigation planning. Computers and
Operations Research 33: 1138-1153.
Setiawan, B.I., Imansyah, A., Arif, C., Watanabe, T.,
Mizoguchi, M., Kato, H. 2014. Sri Paddy Growth
and Ghg Emissions at Various Groundwater
Levels. Irrig Drain 63: 612-620.
Setiawan, B.I., Irmansyah, A., Arif, C., Watanabe, T.,
Mizoguchi, M., Kato, H. 2013. Effects of
Groundwater Level on CH4 and N2O Emissions
under SRI Paddy Management in Indonesia.
Journal of Taiwan Water Conservancy 61: 135146.
Setyanto P, Rosenani AB, Boer R, Fauziah CI, Khanif MJ.
2004. The effect of rice cultivars on methane
emission from irrigated rice field. Indonesian
Journal of Agricultural Science 5(1): 20–31
Setyanto, P., Makarim, A.K., Fagi, A.M., Wassman, R.,
Buendia, L.V. 2000. Crop management affecting
methane emissions from irrigated and rainfed
rice in Central Java (Indonesia). Nutr Cycl
Agroecosys 58: 85-93.
Smith, C.J., Brandon, M., Patrick, W.H. 1982. NitrousOxide Emission Following Urea-N Fertilization
of Wetland Rice. Soil Sci Plant Nutr 28: 161-171.
Snyder, C.S., Bruulsema, T.W., Jensen, T.L. 2007. Best
Management Practices to Minimize Greenhouse
Gas Emissions Associated with Fertilizer Use.
Better crops 19: 16-18.
Towprayoon, S., Smakgahn, K., Poonkaew, S. 2005.
Mitigation of methane and nitrous oxide
emissions from drained irrigated rice fields.
Chemosphere 59: 1547-1556.
9
Tyagi, L., Kumari, B., Singh, S.N. 2010. Water
management - A tool for methane mitigation
from irrigated paddy fields. Sci Total Environ
408: 1085-1090.
Vogels, G.D., Keltjen, J.T., Van der Drift, C. 1988.
Biochemistry of methane production biology of
and aerobic microorganisms. Nature 350: 406409.
10
Zou, J.W., Huang, Y., Jiang, J.Y., Zheng, X.H., Sass, R.L.
2005. A 3-year field measurement of methane
and nitrous oxide emissions from rice paddies
in China: Effects of water regime, crop residue,
and fertilizer application. Global Biogeochem
Cy 19.
Jurnal Irigasi – Vol. 10, No. 1, Mei 2015
Download