pengaruh berbagai cekaman terhadap perubahan beberapa

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENGARUH BERBAGAI CEKAMAN TERHADAP
PERUBAHAN BEBERAPA KOMPONEN DAN
BIOKIMIA DARAH UNGGAS
(The Effects of Various of Stress on Changing of Blood Component and
Biochemistry of Poultry)
ENGKUS KUSNADI
Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Kotak Pos 79, Padang 25163
ABSTRACT
The global environmental temperature issue that will increase the environmental temperature is one of
major concern for poultry producers. The increasing of environmental temperature will affect on industry of
animal husbandry. It caused, besides will affect on hormonal system, digestibility of protein, availibility of
antioxidant and the increasing of the free radical, the heat stress will affect the component and biochemistry
of blood. Heat stress significantly decreased erythrocyte number from 2.300.000 to 1.700.000 celsl/ml.
leucocyte number from 32000 to 24000 cels/ml and hemoglobin and hematocrite from 14.5 and 36.9 to 11.6
g/100ml and 31.8% respectively.The administration of ACTH significantly increased plasma glucose and
total cholesterol from 255 and 128 to 1047 mg/ml and 218 mg/ml respectively.
Key Words: Stress, ACTH, Blood Component, Blood Biochemistry
ABSTRAK
Isu iklim global yang akan meningkatkan suhu permukaan bumi merupakan salah satu yang perlu
dipertimbangkan. Suhu yang tinggi dapat menggangu produksi dan pertumbuhan, karena selain akan
berpengaruh baik terhadap sistem hormonal, kecernaan protein, ketersediaan antioksidan dan peningkatan
radikal bebas, juga terhadap komponen dan biokimia darah. Cekaman panas nyata menurunkan kandungan
sel darah merah dari 2,3 juta menjadi 1,7 juta/ml, sel dah putih dari 32000 menjadi 24000 serta hemoglobin
dan hematokrit masing-masing dari 14,5 dan 36,9 manjadi 11,6 g/100 ml dan 31,8%. Pemberian ACTH nyata
meningkatkan glukosa dan kolesterol plasma masing-masing dari 255 dan 128 menjadi 1047 mg/ml dan 218
mg/ml.
Kata Kunci: Cekaman, ACTH, Komponen Darah, Biokimia Darah
PENDAHULUAN
Adanya isu iklim global yang akan
meningkatkan suhu permukaan bumi, dapat
merupakan ancaman yang perlu diwaspadai
terutama dalam pengembangan ayam broiler di
Indonesia. Hal ini mengingat saat ini suhu
harian pada siang hari dapat mencapai 34°C,
sementara suhu nyaman ayam broiler berkisar
antara 20 – 24°C (CHARLES, 2002).
Peningkatan suhu lingkungan dipastikan akan
menurunkan
pertumbuhan
serta
dapat
menimbulkan berbagai penyakit. Adanya
pemaparan sinar ultra violet dari matahari
dapat merupakan sumber munculnya cekaman
580
oksidatif (adanya ketidak seimbangan antara
antioksidan dengan radikal bebas), yang
memunculkan berbagai penyakit seperti
kanker, peningkatan kolesterol, penuaan dini
bahkan
kematian.
Radikal
bebas
berkemungkinan mengambil partikel dari
molekul lain, kemudian menimbulkan senyawa
yang abnormal dan memulai reaksi berantai
yang
dapat
merusak
sel-sel
dengan
menyebabkan perubahan yang mendasar pada
materi genetis serta bagian-bagian sel penting
lainnya (MILLER et al., 1993; AUROMA, 1999;
YOSHIKAWA dan NAITO, 2002).
Penelitian GU et al. (2008) menunjukkan
bahwa konsumsi ransum dan pertambahan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
bobot badan ayam broiler umur 21 s/d 42 hari
yang dipelihara pada suhu 33°C dengan
kelembaban relatif 50% , masing-masing 100,1
g/ekor/hari dan 40,5 g/ekor/hari. Ke duanya
nyata lebih rendah dibandingkan konsumsi
ransum dan pertambahan bobot badan pada
suhu 22°C dengan kelembaban relatif 50%
masing 143,8 dan 71,3 g/ekor/hari. Kondisi
cekaman ternyata lebih diperparah ketika pada
suhu 33°C tersebut, kelembaban relatifnya
dinaikkan menjadi 80% dan konsumsi ransum
dan pertambahan bobot badan lebih turun lagi
menjadi 76,8 dan 33,6 g/ekor/hari. Keadaan ini
membuktikan selain peningkatan suhu, juga
naiknya kelembaban relatif dapat merupakan
penyebab terjadinya cekaman. Selain itu
terbukti pula bahwa cekaman suhu dan
kelembaban tersebut, nyata meingkatkan
kandungan malonaldehida hati, daging dada
dan daging paha. Malonaldehida merupakan
produk sampingan dari peroksidasi lipid
sebagai indikator tingginya cekaman oksidatif
karena tingginya radikal bebas (FENG et al.,
2008).
Penurunan produksi pada kondisi cekaman,
selain karena adanya perubahan sistem
hormonal serta penurunan kecernaan protein,
juga dapat disebabkan karena adanya
perubahan beberapa komponen dan biokimia
darah.
Hasil penelitian HARLOVA et al. (2002)
menunjukkan bahwa cekaman panas pada
ayam broiler (suhu siang hari 35 – 40°C dan
malam hari 28 – 30°C), nyata menurunkan
jumlah sel darah merah, sel darah putih,
konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit
darah ayam broiler umur 1 minggu. Penurunan
beberapa parameter darah tersebut ternyata
diikuti dengan peningkatan bobot jantung
(Yahav et al., 1997). Dilaporkan pula bahwa
cekaman panas ternyata menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh, hal ini terlihat dari
peningkatan rasio heterofil/limfosit (H/L)
darah (MCKEE dan HARRISON, 1995).
Peningkatan rasio H/L tersebut karena
penurunan jumlah limfosit yang jauh lebih
besar dibandingkan penurunan jumlah heterofil
darah.
ZHANG et al. (2007) melaporkan bahwa sel
darah merah, hematokrit dan hemoglobin ayam
broiler pada dataran rendah (ketinggian 100 m)
masing-masing 1,77 juta/mL 29,73% dan 9,49
g/100 mL, lebih rendah dibandingkan pada
dataran tinggi (ketinggian tempat 2900 m)
yakni masing-masing 2,86 juta/mL, 36,49%
dan 10,45 g/100ml.
Dari uraian di atas, penulis mencoba
memaparkan pengaruh berbagai cekaman
terhadap perubahan komponen dan biokimia
darah. Dalam tulisan ini dikemukakan tentang
pengaruh suhu lingkungan terhadap komponen
darah, serta hubungan cekaman buatan melalui
pemberian
ACTH
terhadap
beberapa
komponen dan biokimia darah pada ayam
broiler.
PENGARUH SUHU LINGKUNGAN DAN
PEMBATASAN KONSUMSI RANSUM
TERHADAP JUMLAH SEL
DARAH MERAH
Hasil
penelitian
KUSNADI
(2008)
menunjukkan bahwa cekaman panas selain
menurunkan
konsumsi
ransum,
juga
menurunkan jumlah sel darah merah pada
plasma ayam broiler. Berikut disajikan
hubungan suhu lingkungan dengan konsumsi
ransum dan jumlah sel darah merah pada ayam
broiler (Gambar 1).
Dari Gambar 1 nampak bahwa konsumsi
ransum ayam broiler umur 2 s/d 6 minggu pada
S1A lebih tinggi dibandingkan pada S2A dan
S3A. Hasil ini menunjukkan bahwa pada suhu
lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya penimbunan panas dalam tubuh
ayam, sehingga untuk mengurangi penimbunan
panas yang lebih banyak, ayam berusaha
mengurangi konsumsi ransum.
581
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
3500
3000
2500
S1A
S1BT1
2000
S1BT2
S2A
1500
S3A
1000
500
0
Konsumsi ransum
SDM
Gambar 1. Rataan konsumsi ransum ayam broiler umur 2 – 6 minggu (g/ekor) dan sel darah merah umur 6
minggu (x 1000/mL) pada S1A = Suhu 28,55 ± 1,53°C dengan makanan ad libitum; S1BT1= S1
dengan makanan dibatasi sesuai pada S2A yang diukur sehari sebelumnya; S1BT2= S1 dengan
makanan dibatasi sesuai pada S3A yang diukur sehari sebelumnya; S2A = Suhu 31,07 ± 1,29°C
dengan makanan ad libitum dan S3A = Suhu 33,50 ± 1,17°C dengan makanan ad libitum
Sumber: KUSNADI (2008)
Selanjutnya dari Gambar 1 nampak pula
bahwa jumlah sel darah merah pada S1A lebih
tinggi dibandingkan pada S2A dan S3A,
sementara pada S1BT1 dan S1BT2 ke duanya
menunjukkan tidak berbeda nyata baik terhadap
S1A maupun terhadap S2A dan S3A. Tingginya
jumlah sel darah merah pada S1A dibandingkan
dengan S2A dan S3A dapat dipahami, karena
rataan suhu kandang pada S1 yakni 28,55°C
yang lebih rendah dibandingkan pada S2 dan
S3 yakni masing-masing 31,07 dan 33,50°C.
Selain itu konsumsi ransum pada S1A lebih
tinggi dibandingkan dengan S2A dan S3A.
Tingginya suhu lingkungan yang berakibat
terhadap berkurangnya konsumsi ransum,
dapat mengakibatkan menurunnya asupan
protein sehingga pertumbuhan dan sintesis sel
darah merah menjadi rendah (GERAERT et al.,
1996; SHIBATA et al., 2007). Pada kondisi
cekaman
panas
menyebabkan
terjadi
peningkatan konsentrasi hormon kortikosteron
(YUNIANTO et al., 1999), yang berfungsi antara
lain untuk merombak protein menjadi glukosa
melalui
proses
glukoneogenesis
582
(PUVADOLPIROD dan THAXTON, 2000 dan POST
et al., 2003). Akibatnya ketersediaan protein
menjadi berkurang sehingga pertumbuhan dan
pembentukan sel darah merah menjadi turun
(HARLOVA et al., 2002; LIEN et al., 2007;
VIRDEN et al., 2007).
Selanjutnya, Jumlah sel darah merah pada
S1A, cenderung lebih tinggi dibandingkan
pada S1BT1 dan S1BT2. Perbedaan ini
semata-mata karena berbeda dalam konsumsi
ransum sehingga mengakibatkan berbeda pula
dalam jumlah sel darah merah, walaupun tidak
menunjukkan
perbedaan
yang
nyata.
Rendahnya konsumsi ransum berpotensi sekali
akan terjadi kurangnya asupan gizi, sehingga
pembentukan sel darah merah mengalami
penurunan. Ada beberapa nutrisi yang
diperlukan dalam sisntesis sel darah merah
antara lain vitamin B12 (cyanocobalamin)
yang mengandung 1 atom cobalt pada masingmasing molekulnya, yang berperanan dalam
pematangan sel darah merah. Cobalt seperti
halnya asam folat diperlukan untuk sintesis
DNA pada semua sel tubuh termasuk sel darah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
merah. Begitu pula nutrisi lainnya seperti
mineral dan asam amino yang diperlukan
dalam sintesis protein darah (SWENSON, 1993).
Selanjutnya jumlah sel darah merah pada
S1BT1 cenderung lebih tinggi dibandingkan
pada S2A serta S1BT2 juga cenderung lebih
tinggi dibandingkan pada S3A. Padahal
konsumsi ransum pada S1BT1 relatif sama
dengan S2A dan S1BT2 relatif sama dengan
S3A. Keadaan ini membuktikan bahwa
naiknya suhu kandang, cenderung menurunkan
jumlah sel darah merah.
Berikut disajikan pengaruh cekaman panas
terhadap kandungan hematokrit, hemoglobin
dan sel darah putih (HARLOVA et al., 2002).
Dari Gambar 2, nampak bahwa cekaman panas
terbukti menurunkan kandungan hematokrit
dan hemoglobin. Keadaan ini menunjukkan
bahwa pada kondisi cekaman panas terjadi
penurunan sintesis sel darah merah (seperti
dituangkan pada Gambar 1).
Dari Gambar 2 dapat dilihat pula bahwa
cekaman panas menurunkan jumlah sel darah
putih. Keadaan ini nampaknya ada kaitannya
dengan kandungan limfosit pada sel darah
putih. Pada ayam, bagian terbanyak dari sel
darah putih adalah limfosit yang berperan
dalam sistem kekebalan. IgG adalah antibodi
yang utama yang dihasilkan limfiosit
(SWENSON, 1993). Pada kondisi cekaman
terjadi penurunan jumlah limfosit, hal ini
terlihat
dari
meningkatnya
rasio
heterofil/limfosit (H/L) (KUSNADI et al., 2005;
ZULKIFLI et al., 2000). Rasio H/L adalah
merupakan indikator cekaman yang utama
pada unggas, makin tinggi angka rasio tersebut
maka makin tinggi pula tingkat cekamannya.
Oleh karena itu, kondisi cekaman dapat
menyebabkan turunnya jumlah limfosit yang
berarti berkurang pula jumlah sel darah putih
secara keseluruhan.
PENGARUH CEKAMAN BUATAN
TERHADAP PERUBAHAN BEBERAPA
KOMPONEN DAN BIOKIMIA DARAH
Cekaman pada ternak tidak hanya berasal
dari suhu lingkungan yang tinggi, tetapi dapat
pula diberikan cekaman buatan seperti
pemberian adreno corticotrophin hormone
(ACTH).
Berikut
disajikan
pengaruh
pemberian ACTH terhadap kandungan
beberapa komponen dan biokimia darah pada
ayam broiler (OLANREWAJU et al., 2007.
40
35
30
25
kntrl
ckmn pns
20
15
10
5
0
hmtkr
hb
sdp
Gambar 2. Kandungan hematokrit (%), hemoglobin (g/dl) dan sel darah putih (x1000/ml) ayam umur 39
hari (perlakuan mulai umur 26 hari) yang tidak diberi cekaman panas (kontrol) dan diberi
cekaman panas
Sumber: HARLOVA et al. (2002)
583
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 1. Pengaruh pemberian garam dan ACTH terhadap komponen dan biokimia darah pada ayam broiler2
Umur 42 hari
Peubah
Umur 49 hari
Garam
ACTH
Garam
ACTH
Hemoglobin (g/dL
7,3
8,5
7,8
8,9
Hematokrit (%)
22,8
26,3
24,3
27,5
Glukosa (mg/dL)
255
1.047
233
182
Kolesterol (mg/dL)
123
218
122
110
813
26.345
1.002
7.646
2,718
2,211
3,398
2,155
Kortikosteron (pg/mL)
Bobot badan (kg)
2
OLANWEREJU et al. (2007)
Dari Tabel 1 nampak bahwa baik
kandungan hemoglobin maupun hematokrit
pada kelompok ayam yang diberi cekaman
buatan dengan pemberian ACTH baik pada
umur 42 hari maupun pada umur 49 hari, ke
duanya lebih tinggi dibandingkan pemberian
garam. ACTH merupakan hormon pemicu
cekaman akan menyebabkan turunnya oksigen
yang terangkut. Untuk menutupi kekurangan
oksigen, maka Hb memperbanyak diri. Begitu
pula dengan peningkatan hematokrit pada
kondisi cekaman, selain karena meningkatnya
pembentukan sel darah merah, juga dapat
terjadi karena volume plasma turun sehingga
persentase hematokrit menjadi naik (MAXWELL
et al., 1990; YAHAV et al., 1997; LUGER et al.,
2003; OLKOWSKI et al., 2005). Hasil ini
berbeda dengan temuan KUSNADI (2008) dan
HARLOVA (2002), yang justeru menurun pada
kondisi cekaman, mungkin karena tingkat
cekaman yang berbeda. Pada penelitian
OLANWEREJU et al. (2007), cekamannya
menggunakan ACTH yang merupakan
cekaman berat dan bersifat akut, sementara
KUSNADI (2008) dan HARLOVA et al. (2002)
cekaman yang diberikan adalah suhu panas dan
bersifat kronis.
Dari Tabel 1 dapat dilihat pula bahwa
pemberian ACTH nyata meningkatkan
kandungan glukosa dan kolesterol plasma pada
umur 42 hari. Hal ini nampaknya ada hubungan
dengan terjadinya peningkatan kortikosteron
pada pemberian ACTH tersebut. Kolesterol
merupakan prekursor untuk terbentuknya
kortikosteron
dan
salah
satu
fungsi
kortikosteron yakni merombak protein menjadi
glukosa yang memang akan terjadi penurunan
sewaktu terjadi cekaman (NIJDAM et al., 2005).
584
Namun pemberian ACTH pada umur 49 hari
tidak meningkatkan baik kolesterol maupun
kandungan glukosa. Keadaan ini nampaknya
sejalan
dengan
penurunan
kandungan
kortikosteron (dari 26.345 menjadi 7.646) dan
bobot badan (dari 2,211 menjadi 2,155 kg).
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pemberian
cekaman
panas
dapat
menurunkan kandungan sel darah merah,
sel darah putih, hemoglobin dan hematokrit
masing-masing sebesar 26, 25, 20 dan 14%.
2. Pemberian ACTH sebagai cekaman buatan
berat
dan
bersifat
akut,
terbukti
meningkatkan
hemoglobin, hematokrit,
glukosa, kolesterol dan kandungan hormon
kortikosteron, tetapi menurunkan bobot
badan.
DAFTAR PUSTAKA
ARUOMA, O.I. 1999. Free radicals, antioxidants and
international nutrition. Asia Pacific. J. Clin.
Nutr. 8: 53 – 63.
CHARLES, D.R. 2002. Responses to the thermal
environment. In: Environment Problem, A
guide to solution. CHARLES, D.A. and A.W.
WALKER
(Eds.).
Nottingham,
United
Kingdom, pp 1 – 16.
FENG, .J., M. ZHANG, S. ZHENG, P. XIE and A. MA.
2008. Effects of high temperature on multiple
parameter of broilers in vitro and in vivo.
Poult. Sci. 87: 2133 – 2139.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
GERAERT, P.A., J.C.F. PADHILHA and S.
GUILLAUMIN. 1996. Metabolic and endocrine
changes by chronic heat exposure in broiler
chickens: biological and endocrinological
variables. Br. J. Nutr.75: 205 – 216.
GU, X.H., S.S. LI and H. LIN. 2008.Effect of hot
environment and dietary protein level on
growth performance and meat quality of
broiler chickens. Asian-Aust.J. Anim.Sci.
21(11): 1616 – 1623.
HARLOVA, H., J. BLAHA, M. KOUBKOVA, J.
DRASLAROVA and A. FUCIKOVA. 2002.
Influence of heat stress on the metabolic
response in broiler chickens. Scientia
Agriculturae Bohemica. 33: 145 – 149.
KUSNADI, E., R. WIDJAJAKUSUMA, T. SUTARDI and
A. HABIBIE. 2005. Effect of antanan (Centella
asiatica) and vitamin c on the bursa of
fabricius, liver malonaldihide and performance
of Heat-Stressed Broilers. Biotropia 24: 46 –
53.
KUSNADI, E. 2008. Pengaruh temperatur kandang
terhadap konsumsi ransum dan komponen
darah ayam broiler. J. Pengembangan
Peternakan Tropis 33(3): 197 – 202.
LIEN, R.J., J.B. HESS, S.R. MCKEE, S.F. BILGILI and
J.C. TOWNSEND. 2007. Effect of light intensity
and photoperiodon live performane, heterophilto-lymphocyte ratio, and processing yields of
broilers. Poult. Sci. 86: 1287 – 1293.
LUGER, D., D. SHINDER, D. WOLFENSON and S.
YAHAV. 2003. Erytrophoiesis regulation during
the development of ascites syndrome in broiler
chickens: A possible role of corticosteron. J.
Anim. Sci. 81: 784 – 790.
MAXWELL, M.H., S. SPENCE, W.G. ROBERTSON and
M.A. MITCHEL. 1990. Hematological and
morphological responses of broiler chickens to
hypoxia. Avian Pathol. 19: 23 – 40.
MCKEE, J.S. and C.P. HARRISON. 1995. Effects of
supplemental ascorbic acid on the performance
of broiler chickens exposed to multiple
concurrent stressors. Poult. Sci. 74: 1772 –
1785.
MILLER, J.K, E.B. SLEBODZINSKA and F.C. MADSEN.
1993. Oxidative stress, antioxidant, and
animal function. J. Dairy Sci. 76: 2812 – 2823.
NIJDAM, E, E. DELEZIE, E. LAMBOOIJ, M.J.A.
NABUURS, E. DECUYPERE and J.A. STEGEMAN.
2005. Feed withdrawal of broilers before
transport changes plasma hormone and
metabolite concentrations. Poult. Sci. 84: 1146
– 1152.
OLANREWAJU, H.A., J.P. THAXTON, W.A. DOZIER III
and S.L. BRANTON. 2007. Electrolyte diets,
stress, and acid-base balance in broiler
chickens. Poult. Sci. 86: 1363 – 1371.
OLKOWSKI, A.A., T. DUKE and C. WOJNAROWICZ.
2005. The aetiology of hypoxaemia in
chickens selected for rapid growth. Com.
Biochem. Physiol. A.141: 122 – 131.
POST, J., J.M.J. REBEL and A.A.H.M. TER HUURNE.
2003. Physiological Effects of Elevated
Plasma Corticosterone. Concentrations in
Broiler Chickens. An Alternative Means by
Which to Assess the Physiological Affects of
Stress. Poult. Sci. 82: 1313 – 1318.
PUVADOLPIROD, S. and J.P. THAXTON. 2000. Model
of physiological stress in chickens 2.
Dosimetry of adrenocorticotropin. Poult. Sci.
79: 370 – 376.
SHIBATA, T, M. KAWATANA, K. MITOMA and T.
NIKKI. 2007. Identification of heat stable
proteinin the fatty livers of thyroidectomized
chickens. J. Poult. Sci. 44: 182 – 188.
SWENSON, M.J. 1993. Physiological Properties and
Celluler and Chemical Constituent of Blood in
Dukes Physiology of Domestic Animals,
eleventh edition. Comstock Publishing
Associates a division of Cornell University
Press Ithaca and Londion. pp. 22 – 48.
VIRDEN, W.S., M.S. LILBURN, J.P. THAXTON, A.
CORZO, D. HOEHLER and M.T. KIDD. 2007.
The effect of corticosterone-induced stress on
amino acid digestibility in Ross broilers.
Poult. Sci. 86: 338 – 342.
YAHAV, S., A. STRASCHNOW, I. PLAVNIK and S.
HURWITZ. 1997. Blood system response of
chickens to changes in environmental
temperature. Poult. Sci.76: 627 – 633.
YOSHIKAWA, T. and Y. NAITO. 2002. What is
oxidative stress? JMAJ 45: 271 – 276.
YUNIANTO, V.D., K. HAYASHI, S. KANEDA, A.
OHTSUKA and Y. TOMITA. 1997. Effect of
environmental temperature on muscle protein
turnover and heat production in tube-fed
broiler chickens. Br. J. Nutr. 77 (Abstract).
ZHANG, H, C.X. WU, Y. CHAMBA and Y. LING. 2007.
Blood Characteristics for high altitude in
Tibetan chickens. Poult. Sci. 86: 1384 – 1389.
ZULKIFLI, I., M.T. CHE NORMA, C.H. CHONG and
T.C. LOH. 2000. Heterophil to lymphocyte
ratio and tonic immobility reactions to
preslaughter handling in broilers chickens
treated with ascorbic acid. Poult. Sci. 79: 402
– 406.
585
Download