Khalifah Al-Mansur dan Penerjemahan

advertisement
REPUBLIKA
khazanah
20
Halaman >>
Rabu > 8 September 2010
PERKEMBANGAN SAINS ISLAM
ILMUWAN
MUSLIM TAK
SEGAN MENYERAP
PERADABAN LAIN.
Oleh Yusuf Assidiq
T
ransformasi peradaban menyentuh
bangsa Arab. Para
sejarawan mencatat
terjadinya perubahan
besar berupa pencapain luar biasa di
bidang sains dan teknologi. Pada
awalnya, tak banyak yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.
Kedatangan Islam mengantarkan
mereka pada beragam literatur.
Istilah ilmu atau ilmu yang terdapat dalam kitab suci dan hadis, mendorong geliat tradisi keilmuan.
Mereka menyerap ilmu pengetahuan
dari beragam sumber. Pedagang dan
penjelajah Muslim berperan besar
dalam memajukan gairah perubahan
Khalifah Al-Mansur dan
Penerjemahan
Oleh Yusuf Assidiq
ituasi politik memberi pengaruh
pengembangan tradisi keilmuan.
Saat kekuasaan pemerintahan
Islam berada di tangan Khalifah Abu
Ja’far Al-Mansur (754-775 Masehi),
masyarakat menggalang koalisi antara
Arab dengan Persia. Tak heran, jika
saat Khalifah berkuasa, sejumlah
orang Persia diberi peran pula dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu bidang yang menjadi
perhatiannya adalah astrologi. Ada
sejumlah nama astrolog yang masuk
dalam lingkaran khalifah, yaitu
Nawbakht, seorang Persia yang semula pemeluk Zoroaster dan akhirnya
memeluk Islam, dan Masha’Allah AlYahudi, yang semula beragama Yahudi.
Sosok lain dalam bidang ini yang
masuk lingkaran ilmuwan istana
adalah mereka yang sejak semula
Muslim. Mereka adalah Ibrahim AlFazari dan Umar Al-Tabari. Sejumlah
ilmuwan menyatakan, Nawbakht merupakan ilmuan yang mengawali penerjemahan sejumlah teks Persia ke
dalam bahasa Arab, meski tak diketahui buku apa yang ia terjemahkan.
Ibnu Al-Muqaffa ikut melakukan
penerjemahan teks-teks dari Pahlavi
S
(Persia Tengah) ke dalam bahasa Arab.
Ibnu Al-Qifti dalam bukunya Tarikh AlHukama yang diedit oleh J Lippert
Leipzig mengatakan, Ibnu Al-Muqaffa
atau Rozbih adalah seorang Persia
yang memeluk Islam. Ia merupakan
salah satu orang yang menguasai
literatur sastra Arab.
Ia menerbitkan sejumlah karyanya,
seperti Adab Al-Kabir wa Adab AlSaghir yang diterjemahkan dari Pahlavi
Kalilah wa Dimnah. Selain itu, Ibnu AlMuqaffa menerjemahkan KhudayNama (Book of Kings) ke dalam
bahasa Arab dengan judul Siyar Muluk
Al-A‘jam.
Sementara itu, informasi mengenai
sejarah pengobatan Islam didasarkan
pada sumber-sumber biografi. Selain
dari Ibnu Al-Qifti lewat bukunya Ta’rikh
Al-Hukama, juga dari ‘Uyun Al-Anba’ fi
Tabaqat Al-Atibba yang ditulis oleh
Ibnu Usaybi’ah, serta sejumlah penggalan informasi.
Pengembangan ilmu pengobatan
telah berawal dari masa Rasulullah
SAW. Pada masa selanjutnya, umat
Islam bersedia belajar dari peradaban
lain, misalnya Al-Harits bin Kaladah AlTsaqafi yang belajar di Jundishapur,
Persia. Kemudian, karya-karya ilmuwan
Muslim berganti menjadi rujukan, termasuk ke wilayah Eropa. ■ ed: ferry kisihandi
di kalangan masyarakat Arab Muslim
pada masa awal.
Mereka berasal dari Makkah,
Madinah, dan Yaman. Setelah mengadakan perjalanan melintasi gurun
pasir, mereka mencapai Mesir,
Mesopotamia, dan Suriah yang
dikenal sebagai pusat peradaban
kuno. Dari wilayah-wilayah itu,
berbagai pemikiran ilmiah maupun
teknik instrumen lawas dibawa dan
diperkenalkan ke jazirah Arab.
Di saat yang bersamaan, muncul
kelompok baru di masyarakat
Muslim, yakni kalangan terpelajar
yang terdiri dari ulama, filsuf, dan
cendekiawan. Para tokoh ini sangat
tertarik dengan keunggulan peradaban kuno. Mereka menjelma sebagai
pendorong utama percepatan kemajuan ilmu di dunia Islam.
Hanya dalam waktu singkat,
terjadi perkembangan pesat di bidang
politik, sosial, budaya, dan pemikiran.
Muhammad Abdul Jabar Beg, peneliti
tamu di Cambridge Universtity,
Inggris, dalam tulisannya The Origins
of Islamic Science menyatakan,
Muslim tak hanya mengubah cara
pikir, tetapi juga pandangan dunia.
Menurut dia, sikap ini mendorong
mereka mengkaji dan mempelajari
warisan peradaban kuno yang mereka
temukan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga masa kekhalifahan pada
abad ke-8 Masehi. Para penguasa
memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan bidang ilmu.
Buku berjudul Ilmuwan Muslim
Pelopor Hebat di Bidang Sains
Modern karya sejarawan Ehsan
Masood mengungkapkan, salah satu
ciri periode pembangunan Islam yakni
menyerap keunggulan peradaban lain,
memodifikasi, dan melakukan
inovasi. Islam kemudian melahirkan
sejumlah ilmuwan terkemuka di
bidang sains dan teknologi.
Kota-kota pusat ilmu,
bermunculan di seantero dunia
Islam, mulai dari Damaskus,
Basra, Kordoba hingga
Kairo. Kegiatan intelektual mencapai puncaknya
pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
yang ditandai gencarnya gerakan penerjemahan literatur
ilmiah asing.
Beberapa cendekiawan Muslim klasik
secara khusus mencatat
fenomena perubahan
yang terjadi pada
masyarakat Arab, terutama
kecenderungan akan pencarian ilmu. Mereka itu antara
lain Ibnu Qutaibah, AlKhawarizmi, serta Ibnu Al-Qifti.
Karya Ibnu Qutaibah berjudul AlMa’arif mengulas hal tersebut dalam
perspektif sejarah.
Pada buku ensiklopedia ilmu ini,
Ibnu Qutaibah menyingkap beragam
pemikiran kuno, termasuk legenda,
mitos, dan kepercayaan yang diketahui komunitas Muslim pada masa
awal. Terdapat pula kajian terkait
ilmu pengetahuan, misalnya, teori
penciptaan, astronomi, maupun ilmu
bumi.
Deskripsi dari Ibnu Qutaibah
menjadi rujukan ilmiah para sarjana
Muslim berikutnya, bahkan memengaruhi perkembangan sains di dunia
Barat. Sedangkan, buku Mafatih AlUlum (Kunci Ilmu), yang disusun AlKhawarizmi, dipandang sebagai
●
Astrolabe Karya Muslim
FOTO-FOTO: MUSLIMHERITAGE.COM
Pengetahuan kuno dalam bidang seni,
teknologi, dan pemikiran, disampaikan oleh para hukama (tetua)
melalui cerita, dongeng, dan
mitos, dari generasi ke generasi. Informasi ihwal
pengetahuan dan teknologi
itu juga berasal dari para
pengembara dan pedagang Islam.
Bangsa Arab menyebut sains kuno itu
dengan Ulum AlAwa’il, yang segera
disesuaikan dengan
tradisi setempat dan
mulai digunakan secara
luas. Misalnya, roda dan
kapal layar yang ditemukan peradaban
Mesopotamia. Begitu pula
standar timbangan dari
bangsa Sumeria. Sistem angka
Arab berasal dari peradaban
India kuno.
●
Penunjuk Arah Kiblat
karya umat Islam pertama yang
meneliti asal mula sains Islam.
Gagasan itu lantas diperluas AlQifti lewat karyanya, Tarikh AlHukama. Ia menuliskan secara perinci
sebanyak 144 biografi filsuf dan cendekiawan kondang pada masa Yunani
kuno hingga masa kekhalifahan.
Menurut dia, proses transfer ilmu
pada masa awal Islam berlangsung
lebih pesat di kawasan Semenanjung
Arab.
Wilayah itu berdekatan dengan
pusat-pusat peradaban kuno.
Proses peralihan
Al Qifti mencatat, hingga akhir
abad ke-7 Masehi, orang-orang Arab
melakukan proses peralihan pengetahuan masih secara lisan, belum
dengan tulisan ilmiah. Keingintahuan
yang besar dan semangat keilmuan
yang membuncah mampu meningkatkan intensitas interaksi antara umat
Islam dan sains teknologi kuno.
Penyebaran agama Islam yang kian
luas semakin menambah jumlah orang
dari berbagai wilayah untuk memeluk
agama ini. Hal itu akan memperbanyak khazanah pengetahuan asing
yang dapat diserap. Umat Islam
menjadi begitu dekat dengan tradisi,
sejarah, dan sains peradaban kuno.
“Sebagai contoh, Khalifah Khalid
bin Yazid mengawali studi kimia yang
diperolehnya dari literatur kuno,”
urai Muhammad Abdul Jabar Beg.
Catatan sejarah mengungkapkan,
sang khalifah merupakan salah satu
pakar kimia pertama di dunia Islam.
Ia memiliki peran besar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Khalifah Khalid bin Yazid mendorong para ilmuwan dari Damaskus,
Suriah dan Kairo, serta Mesir untuk
menerjemahkan buku-buku bidang
kimia, kedokteran, dan astronomi dari
literatur Yunani kuno dan Koptik ke
dalam bahasa Arab. Selanjutnya,
kaum cendekia Muslim mengembangkan pemikiran dan inovasinya
sendiri. ■ ed: ferry kisihandi
Download