bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Patogenesis terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik bersifat multifaktorial,
antara lain karena pengaruh uremia (uremic-related anemia) sehingga produksi eritropoetin
((EPO) berkurang, usia eritrosit yang memendek, kehilangan darah selama proses dialisis,
defisiensi besi, toksin azotemia, defisiensi vitamin, perdarahan tersembunyi dan pengambilan
darah untuk pemeriksaan laboratorium.(1) Anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, baik pada pasien – pasien yang telah menjalani
hemodialisis regular (HD) maupun pasien penyakit ginjal kronik stadium 3 sampai 5 yang
belum menjalani hemodialisis reguler.(2) Bila tidak diatasi anemia akan menyebabkan
gangguan fisiologis berkurangnya suplai oksigen ke jaringan, peningkatan curah jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, payah jantung kongestif, penurunan kemampuan kognitif dan mental,
gangguan menstruasi, impotensi dan gangguan respon imun.(3)
Pedoman Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) pada tahun 2007
menganjurkan target hemoglobin (Hb) pada pasien dialisis antara 11-12 gr/dl.(4) Selain
transfusi darah, koreksi anemia dapat dilakukan dengan pemberian eritropoetin (EPO). Di
Indonesia, awalnya transfusi darah merupakan pilihan terapi bagi sebagian besar pasien
hemodialisis yang mengalami anemia. Penanggulangan anemia dengan transfusi darah
merupakan tindakan umum karena mudah dan murah, namun berpotensi menularkan
berbagai penyakit seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV, menimbulkan reaksi transfusi,
depresi sumsum tulang, overhidrasi dan komplikasi hemosiderosis karena penumpukan zat
besi di dalam tubuh.(3) Sejak EPO atau ESA (erythropoietin stimulating agent) diperkenalkan
tahun 1985, pemakaian EPO terbukti efektif mengoreksi anemia dan mengurangi insiden
komplikasi gangguan kardiovaskuler pada pasien hemodialisis.(5) Studi United States
Universitas Sumatera Utara
Medicare ESRD dan Canadian Erythropoietin Study Group menunjukkan penurunan angka
rawatan rumah sakit pada pasien penyakit ginjal kronik yang diterapi dengan EPO. Populasi
US (United States) Medicare yang menggunakan EPO juga mengalami penurunan angka
rawatan untuk miokard infark. Selain mengoreksi anemia, EPO juga mengoreksi fungsi
kognitif pada pasien dialysis.(1)
Data tahun 2000 menunjukkan bahwa di Indonesia jumlah pasien yang menjalani
hemodialisis reguler berjumlah sekitar 2.617 kasus dan meningkat pada tahun 2007 menjadi
sekitar 10.000 orang di seluruh Indonesia.(6,7) Dengan semakin meningkatnya jumlah
penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler maka semakin banyak
pula transfusi darah yang dilakukan. Mempertahankan kualitas hidup pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis reguler sangat penting, karenanya harus dilakukan
evaluasi berkala terhadap kondisi mereka. Pemeriksaan berkala yang paling sering dilakukan
terhadap pasien – pasien tersebut antara lain meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin dan
status besi yaitu feritin serum dan rasio saturasi transferin.(3)
Feritin serum menggambarkan cadangan besi dalam tubuh, semakin tinggi kadarnya
maka semakin tinggi pula cadangan besi dalam tubuh seseorang.(2,8,9)
Pada pasien – pasien hemodialisis reguler yang mendapatkan transfusi darah, semakin
banyak transfusi darah maka semakin tinggi pula kadar feritin serum sebagai
efek
pemecahan eritrosit pada pasien – pasien tesebut. Semakin tingi feritin serum, semakin tinggi
kemungkinan kelebihan zat besi di dalam tubuh maka semakin tinggi pula resiko morbiditas
dan mortalitas pasien-pasien tersebut. Pemakaian EPO yang merangsang pembentukan
eritrosit akan menggunakan zat besi yang terdeposit sebagai bahan pembentuk hemoglobin
sehingga mengurangi resiko komplikasi hemosiderosis.
Eschbach dkk dalam studinya
menyebutkan pemberian EPO menyebabkan penurunan feritin serum sebesar 39% setelah
Universitas Sumatera Utara
pemakaian EPO selama 6 bulan lebih dan menaikkan kadar hematokrit (Ht) pada pasien
hemodialisis regular.(10,11)
Belum adanya data mengenai perbandingan kadar feritin serum pasien hemodialisis
reguler dengan riwayat transfusi darah antara yang menggunakan dan yang tidak
menggunakan eritropoetin di Medan merupakan alasan dilakukannya penelitian ini.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan antara kadar feritin serum pasien hemodialisis reguler dengan
riwayat transfusi darah yang menggunakan dan yang tidak menggunakan EPO di RS
H.Adam Malik dan RS Pirngadi Medan?
1.3
Hipotesa Penelitian
Kadar feritin serum pasien hemodialisis reguler dengan riwayat transfusi darah di RS
H.Adam Malik dan RS Pirngadi Medan yang menggunakan EPO lebih rendah
dibanding dengan yang tidak menggunakan EPO.
1.4
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran antara kadar feritin serum pasien hemodialisis reguler dengan
riwayat transfusi darah di RS H.Adam Malik dan RS Pirngadi Medan yang
menggunakan EPO dan yang tidak menggunakan EPO.
2. Mengetahui gambaran antara kadar hematokrit dan hemoglobin pasien hemodialisis
regular dengan riwayat transfusi darah di RS H.Adam Malik dan RS Pirngadi Medan
yang menggunakan EPO dan yang tidak menggunakan EPO.
Universitas Sumatera Utara
1.5
Manfaat Penelitian
1. Mendorong pemakaian EPO pada pasien hemodialisis dengan riwayat transfusi
darah untuk mengurangi resiko efek toksik kelebihan zat besi.
2. Data awal untuk penelitian selanjutnya.
1.6
Kerangka Konsep
Pasien HD reguler dengan riwayat transfusi darah yang menggunakan EPO Feritin Serum Pasien HD reguler dengan riwayat transfusi darah yang tidak menggunakan EPO
1.7
Kerangka Teori
Pasien HD Reguler dengan anemia Morbiditas & mortalitas  Transfusi darah berulang Resiko kelebihan zat besi  Hiperferitinemia EPO + EPO ‐
Reutilisasi zat besi Penumpukan zat besi Feritin serum  Feritin serum   Cadangan zat besi Inflamasi Inflamasi Infeksi Infeksi Penyakit hati Penyakit hati kkronis ronis Alkoholik Alkoholik Malignansi Malignansi Universitas Sumatera Utara
Download