TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU

advertisement
TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes
altivelis) DI BALAI BESAR RISET PERIKANAN BUDIDAYA LAUT
GONDOL, BALI
Muhammad Yusuf Akbar dan Endang Dewi Masithah. 2011. 11 hal.
Abstrak
Saat ini ikan kerapu bebek memiliki nilai jual yang tinggi dan permintaan
yang banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu bebek belum dapat
terpenuhi. Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah teknik
pemeliharaan larva ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). faktor-faktor yang
perlu diperhatikan dalam pemeliharaan larva ikan kerapu bebek dan kendalakendala yang muncul selama masa pemeliharaan. Praktek Kerja Lapang ini
dilaksanakan di Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol Desa Penyabangan
Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Propinsi Bali pada tanggal 19 Juli – 3
September 2010. Metode kerja yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini
adalah metode deskriptif dengan pengumpulan data meliputi data primer dan data
sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, partisipasi aktif dan
wawancara serta studi literatur.
Persiapan bak merupakan langkah awal yang harus dilakukan pada tahap
pemeliharaan larva kerapu bebek. Sebelum digunakan untuk pemeliharaan, bak
dibersihkan atau didesinfeksi terlebih dahulu menggunakan larutan kaporit (150
ppm). Kemudian bak disikat hingga bersih dan setelah itu bak dibilas dengan air
tawar dan dikeringkan selama 1 hari. Bak kemudian diisi dengan air laut yang
disaring terlebih dahulu menggunakan filter pasir supaya air yang diambil dari
laut terbebas dari organism kecil maupun kotoran. Pemeliharaan larva dilakukan
dengan sistem aerasi kuat supaya pada malam hari larva tidak kekurangan oksigen
karena pada malam hari aktivitas larva dan plankton membutuhkan oksigen secara
bersama-sama yang apabila oksigen dalam bak dibawah 4 ppm akan
menyebabkan kematian terhadap larva. Telur yang ditebar di bak dengan volume
air 10,8 m3 sekitar 10.000 ekor/bak larva ikan kerapu bebek. Pakan yang
diberikan untuk larva selama pemeliharaan adalah jenis Rotifer (Brachionus
plicatilis) dengan dosis sebanyak 5 sampai 6 ind/ ml pada sore hari ditingkatkan
mencapai 10 sampai 12 ind/ml. Pada umur larva D20 pakan ditambah dengan
Artemia spp. dengan dosis pemberian sebanyak 50 sampai 80 ml sesuai dengan
umur larva.
Kata kunci: Kerapu bebek, Permintaan pasar
THE LARVAL REARING TECHNIQUES GROUPER FISH (Cromileptes
altivelis) IN MARINE AQUACULTURE RESEARCH CENTRE
Gondol, BALI
Muhammad Yusuf Akbar and Endang Dewi Masithah. 2011. 11 p.
Abstract
In this time fish of duck grouper to have value sell high and request which
many while request of fish market of duck grouper not yet earned fufilled. The
purpose of the implementation of the Job Training (PKL) is grouper larval rearing
techniques duck (Cromileptes altivelis). factors to consider in grouper larval
rearing ducks and obstacles that arise during the maintenance period. Job Training
held at the Marine Aquaculture Research Center Gondol Penyabangan District
Gerokgak Village Buleleng Bali province on 19 July to 3 September 2010. The
methods of work used in this field work practice is the descriptive method of data
collection includes primary and secondary data. The data were collected through
observation, interviews and active participation and studies of literature.
Tina of preparation is the first step that should be performed in the ducks
stage mere raising of larvae. Before you can use to serve as clean or disinfect
before using chlorine solution (150 g/t). Then bathroom brushed clean and fresh
water then rinse bath and dried during 1 day. Tank with seawater is filtered first
using sand filter water from small marine life free from dirt. Larvae rearing is
strong aeration so that the larvae are not deprived of oxygen during the night
because thunderstorm larvae and plankton activity requiring oxygen, however,
that if the oxygen in the basin below 4 ppm causing death of maggots. The eggs
are scattered in the bathtub with a volume of 10.8 m3 of water of about 10,000
fish / duck mere bath larvae. The food provided to larvae during maintenance is a
type of rotífero (Brachionus plicatilis) at a dose of 5-6 ind / ml in the evening has
increased to reach 10-12 ind / ml. At the age of the D20 feed larvae more Artemia
spp. with doses of 50-80 ml according to the age of the larvae.
Key word : duck grouper, request of fish market
Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beberapa pulau yang
dikelilingi oleh lautan, sehingga tidak mengherankan jika kekayaan baharinya
melimpah. Tidak sedikit masyarakat yang mempunyai mata pencaharian sebagai
nelayan. Namun pertambahan jumlah penduduk dunia yang relatif sangat cepat
terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, mendorong peningkatan
jumlah kebutuhan hidup antara lain kebutuhan pangan hewani seperti ikan. Laju
peningkatan jumlah kebutuhan ikan dipacu juga oleh peningkatan tingkat
kehidupan dan pengetahuan masyarakat tentang keunggulan ikan dibandingkan
dengan bahan pangan sumber protein hewani lain.
Salah satu ikan yang menjadi primadona yaitu ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). Saat ini ikan kerapu bebek memiliki harga jual yang tinggi
dan permintaan yang banyak sedangkan permintaan pasar akan ikan kerapu bebek
belum dapat terpenuhi secara keseluruhan karena belum banyak pembudidaya
yang mengembangkan ikan kerapu bebek ini. Dengan melakukan suatu usaha
pengembangan ikan kerapu bebek maka dapat memenuhi permintaan pasar,
sehingga ketersediaan larva ikan kerapu di alam tidak terancam punah.
Kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu jenis ikan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Benih ikan kerapu bebek sudah dapat diproduksi
dalam skala massal di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
(Sugama, dkk. 2001). Sampai saat ini teknologi pembenihan kerapu bebek telah
berkembang, namun masih ada beberapa kendala yang ditemui. Salah satunya
adalah tingginya kematian larva pada stadia awal, yaitu larva mati pada
permukaan air pemeliharaan. Lies and Rennis (1983) membagi perkembangan
larva ikan kerapu atas 4 fase yaitu; (l) fase yolk sac yaitu mulai dari menetas
hingga kuning telur habis, (2) fase prefleksion yaitu dimulai dari kuning telur
habis terserap sampai terbentuk spin, (3) fase fleksion yaitu dimulai dari
terbentuknya spin, calon sirip ekor, perut dan punggug sampai hilangnya spina,
(4) fase pasca fleksion yaitu dimulai dari hilang atau tereduksinya spina sampai
menjadi juvenil. Maka perlu dipelajari teknik pemeliharaan larva yang sesuai
dengan aturan dalam budidaya yang benar untuk mendapatkan larva ikan kerapu
bebek sehingga dapat memenuhi permintaan pasar.
Pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang dilaksanakan pada tanggal 19 Juli 2010 sampai
dengan 03 September 2010 di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
(BBRPBL) Gondol, Bali terletak di Dusun Gondol, Desa Penyabangan,
Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Metode kerja yang digunakan
dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang
menggambarkan kejadian atau keadaan pada daerah tertentu.
Hasil dan Pembahasan
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) terletak di Dusun
Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Propinsi
Bali. Berjarak lebih kurang 25 Km sebelah Timur Gilimanuk dan 47 km sebelah
Barat Singaraja. BBRPBL berada 114o - 115o BT dan 7o - 8o LS. Di Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol-Bali, memiliki 2 buah bangunan kantor
utama, 5 buah laboratorium penelitian, 1 pos keamanan, 1 masjid, 1 asrama, 6
tempat budidaya ikan, dan lapangan olahraga.
Peralatan yang dimiliki adalah bak pemeliharaan larva, tangki rotifer,
tangki artemia, dan bak telur, dan peralatan untuk analisis fisika, kimia dan
biologi pada laboratorium riset perikanan budidaya laut. Alat transportasi yang
dimiliki olah Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut adalah 4 Unit kendaraan
roda dua, 11 unit kendaraan roda 4, 1 unit kendaraan roda 6 dan 1 unit speed boat.
Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut menggunakan jaringan internet
tanpa terputus, telepon, wifi area, dan mesin fax.
Sebelum digunakan untuk pemeliharaan, bak dibersihkan atau didesinfeksi
terlebih dahulu menggunakan larutan kaporit (150 ppm). Kemudian bak disikat
hingga bersih dan setelah itu bak dibilas dengan air tawar dan dikeringkan selama
1 hari. Bak kemudian diisi dengan air laut yang telah disaring terlebih dahulu
menggunakan sand filter. Bak diisi air sebanyak + 7 m3 dan diberi aerasi
secukupnya untuk menjamin ketersediaan oksigen yang cukup. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa sebelum diisi larva,
bak dicuci dengan sabun dan kaporit sebanyak 100-150 ppm kemudian didiamkan
selama 1-2 hari. Setelah itu, bak dibilas dengan air tawar dan dikeringkan. Air laut
yang digunakan untuk pemeliharaan larva sebelumnya disaring menggunakan
filter pasir (sand filter).
Persiapan telur dimulai dari membeli telur dari medan sebanyak 600.000
butir yang dikirim pada pukul 06.00 WIB sampai 21.00 WIB di bali setelah itu
telur diaklimatisasi dalam 6 bak telur, dimana bak telurnya berada didalam bak
pemeliharaan larva dengan masing-masing bak telur diisi sebanyak 100.000 butir
telur ikan kerapu bebek.
Penebaran telur dilakukan pada sore hari sekitar jam 15.00- 16.00 WITA
dengan jumlah 10.000 ekor/ m3. Pada saat PKL ini dilakukan penebaran telur pada
6 bak. Lama menetas telur ikan kerapu selama 19 jam dan perlakuan selama
penetasan dengan menambahkan aerasi untuk mengurangi kematian terhadap
telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa
telur yang telah diseleksi kemudian siap ditetaskan. Telur kerapu bebek akan
menetas selama 19 jam setelah pembuahan. Pada awal penetasan aerasi dikecilkan
agar larva kerapu yang baru menetas tidak teraduk oleh arus yang ditimbulkan
aerasi. Pemeliharaan larva dilakukan dalam bak semen dengan kapasitas 8 sampai
10 m3 yang dilengkapi dengan aerasi yang jaraknya 50 sampai 100 cm dan 5 cm
di atas dasar bak. Penebaran telur pada bak sebelumnya dilakukan pengukuran
salinitas (30 ppt) menggunakan refraktometer lalu diaklimatisasi suhu selama 15
menit setelah itu di tebar di tangki. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslianti, dkk.
(1998) bahwa salinitasnya diukur dengan mengunakan refraktometer, telur dapat
dimasukkan ke dalam wadah penetasan jika salinitas kedua air laut tersebut sama.
Aklimasi sangat penting untuk dilakukan karena telur ikan kerapu sangat sensitif
terhadap suhu dan salinitas. Oleh karena itu sebelum kantong plastik dibuka,
kontong plastik yang berisi telur diletakkan di wadah penetasan telur selama 1530 menit. Indikasi bahwa suhu air dalam kantong plastik dan suhu air dalam
wadah penetasan sudah sama adalah terjadi pengembunan dalam kantong plastik
yang dengan mudah dapat diamati. Dalam memasukkan telur ke wadah penetasan,
harus dilakukan dengan hati-hati dan secara perlahan-lahan baik dengan
menuangkan langsung. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi benturan fisik yang
menyebabkan telur menjadi rusak. Setelah itu aerasi dipasang, setelah teraduk
sempurna telur dihitung dengan cara sampling.
Setelah dilakukan pengukuran salinitas maka selanjutnya dibiarkan sampai
pagi untuk menunggu telur menetas lalu telur yang berada didasar dibuang untuk
selanjutnya dilakukan penghitungan terhadap larva yang masih hidup untuk
mengetahui HRnya. Setelah dihitung berapa HRnya maka telur ditebar dimasingmasing bak pemeliharaan. Hasil perhitungan Hatching Rate pada pemeliharaan
larva ikan kerapu bebek di 6 bak yaitu bak 1: 70%, bak 2: 69%, bak 3: 67%, bak
4: 58%, bak 5: 72%, bak 6: 61% dengan rumus Hatching Rate = total telur
keseluruhan:telur yang tidak menetas atau mati X 100%. Proses sampling daya
tetas telur terbagi dalam beberapa tahap: (1) telur dimasukkan ke pipa pvc
diameternya 20 cm (4 dim), (2) air yang ada dipipa dibuang, (3) dihitung telur
dengan diambil sample 5 titik.
Brachionus plicatilis diberikan pada saat larva berumur 3 hari setelah
menetas dengan kepadatan 5-6 ind/ml. Untuk mengetahui laju konsumsi rotifer
oleh larva, maka kepadatan Brachionus plicatilis dihitung dua kali sehari yaitu
pada pagi dan sore hari. Pakan Artemia spp. mulai diberikan setelah larva
memakan pakan buatan, yaitu setelah larva berumur 20 hari. Untuk memacu agar
larva lebih banyak memakan pakan buatan, pakan Artemia spp. hanya diberikan
sekali pada sore hari hingga larva berumur 30 hari. Pakan buatan mulai diberikan
pada saat larva berumur 8 hari. Pemberian pakan buatan dikombinasikan dengan
pakan hidup karena larva lebih suka memakan pakan hidup daripada pakan
buatan. Jenis pakan buatan komersil yang diberikan pada pemeliharaan larva
kerapu bebek di BBRPBL Gondol adalah pakan Love Larva 1-5 (Buatan
Hayashikane Sangyo, Jepang) sesuai umur larva dan pemberiannya setiap 2 jam
sekali. Apabila terdapat larva yang bukaan mulutnya masih kecil dicampur
dengan pakan yang kecil seperti waktu pemberian pada larva D15-D20 pemberian
pakannya LL 1 dan 2. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslianti, dkk. (1998) Pakan
yang digunakan adalah pellet komersial dengan penambahan probiotik 1 mg / kg
pakan. Pakan diberikan 3 – 4 kali sehari secara adlibitum (sampai kenyang).
Pakan yang terkonsumsi dicatat setiap harinya untuk mengetahui FCR pada akhir
masa pemeliharaan.
Tabel 1. Pemberian Pakan Pada Ikan Kerapu Bebek
Umur Larva
Pakan yang diberikan
D1-D7
Rotifer (5-6 ind/ml), nanno konsentrat (10 ml)
D8-D15
Rotifer (5-6 ind/ml), nanno konsentrat (10 ml), LL 1 (8 gr)
D16-D20
Rotifer (5-6 ind/ml), nanno konsentrat (20 ml), LL 1 dan 2 (8 gr)
D21-D25
Rotifer (5-6 ind/ml), nanno konsentrat (30 ml), LL 2 dan 3 (10 gr)
D25-D30
Rotifer (5-6 ind/ml), nanno konsentrat (30 ml), S1, B1, C1 (20 gr)
D30-D49
Rotifer (5-6 ind/ml), S1, B1, C1 (20 gr)
Sampling dilaksanakan bersamaan dengan grading yaitu seminggu sekali.
Sampling dilakukan dengan mengambil beberapa ekor sampel ikan. Kemudian
dihitung satu per satu panjang totalnya. Perhitungan panjang untuk larva berumur
di bawah 25 hari dilakukan menggunakan mikroskop, sementara untuk larva
berumur di atas 25 hari dilakukan menggunakan penggaris. Hal ini sesuai dengan
pendapat Puja, dkk. (2004) bahwa monitoring pertumbuhan yang dilakukan antara
lain sampling untuk mengukur berat dan panjang total ikan, untuk menentukan
pertambahan dosis pakan dan pencatatan kematian ikan. Sampling ikan dilakukan
minimal sebulan sekali dengan mengambil ikan secara acak 10 % dari populasi
atau minimal 30 ekor ikan.
Pemanenan biasanya dilakukan pada saat benih berumur 40 hari dan atau
125 hari tergantung permintaan konsumen. Larva berumur 40 hari yang dipanen
berukuran 2-2,5 cm dan larva berumur 125 hari yang dipanen berukuran 6-8 cm.
Sebelum panen, dasar bak terlebih dahulu dibersihkan dengan cara disifon. Larva
dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum panen dengan tujuan untuk
mengurangi feses yang dihasilkan. Cara panen yang dilakukan cukup sederhana
yaitu dengan mengeluarkan air dalam bak hingga 70% selanjutnya larva diseser
menggunakan saringan dan dimasukkan ke dalam ember berisi air mengalir.
Panen dilakukan dengan hati-hati agar larva tidak mengalami stress. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subyakto dan Cahyaningsih (2003) bahwa pemanenan dilakukan
secara hati-hati agar ikan tidak stress. Sehari sebelum pemanenan, ikan
dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran pada saat transportasi.
Setelah dipanen, larva digrading untuk mengetahui jumlah dan ukuran
larva. Seleksi ukuran larva dilakukan secara manual menggunakan mangkuk
plastik kecil. Larva yang telah diseleksi dikelompokkan berdasarkan ukurannya
yaitu dalam kelompok ukuran kecil, sedang dan besar serta jumlah larva yang
telah dipanen dihitung.
Jarak pemasaran benih kerapu yang jauh memerlukan metode pengepakan
yang tepat untuk pengiriman. Cara pengepakan yang benar dapat meminimalisir
kematian benih pada saat pengiriman. Peralatan yang digunakan untuk
pengepakan adalah kantong plastik transparan berukuran 53 x 120 cm, kotak
Styrofoam ukuran 40 x 30 x 68 cm, isolasi besar, karet gelang, es batu dan kertas
koran. Mula-mula dua buah kantong plastik transparan diikat pada kedua
ujungnya menggunakan karet gelang dan setelah itu salah satu plastik dibalik dan
yang satunya dimasukkan ke dalam plastik tersebut. Hal ini bertujuan agar tidak
ada titik mati pada kantong packing yang dapat menyebabkan kematian ikan pada
saat pengiriman. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryaningrum, dkk. (2000);
Roma, dkk. (1982); Basyarie, (1990); Subangsinghe, (1972); Proseno, (1990);
Frose. R. (1997) bahwa keberhasilan transportasi ikan hidup dipengaruhi sifat
fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan, kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi,
mutu air selama transportasi (suhu media DO, pH, CO2. dan ammonia),
kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasi dengan menggunakan suhu rendah
atau bahan kimia serta metabolit alam dan lama penggangkutan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Berka, (1986) bahwa pada kenyataan dalam melakukan kegiatan
transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan
pemanfaatan oksigen yang tersedia. Pada pengangkutan dengan sistim tertutup
menggunakan kantong plastik, kandungan oksigen terlarut merupakan parameter
penentu pada transportasi ikan hidup.
Kesimpulan
- Teknik pemeliharaan larva ikan kerapu bebek terdiri dari persiapan bak,
persiapan telur, penebaran telur, penetasan telur, pemeliharaan larva,
pengelolaan kualitas air, pemanenan, grading dan pengepakan.
- Faktor yang mempengaruhi pemeliharaan larva adalah kualitas air, pemberian
pakan, penanganan larva selama pemeliharaan. Kendala yang dihadapi adalah
kualitas benih buruk dan serangan penyakit oleh virus yaitu Viral Nervous
Necrosis (VNN).
Saran
Sebaiknya untuk faktor yang mempengaruhi larva harus dijaga seperti
suhu, oksigen, dan keluarnya air. Selain itu dilakukan perbaikan dan penambahan
fasilitas terhadap sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan pemeliharaan
larva ikan kerapu bebek di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol.
Daftar Pustaka
Aslianti, T, Wardoyo, J.H. Hutapea, S. Ismi, K.M. Setiawati. 1998. Pemeliharaan
Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivalis) dalam Wadah Berbeda
Warna. Jurnal Penelitian Perikanan Pantai, Vol. IV, No. 3: 25-30.
Basyarie, A. (1990). Transportasi Ikan Hidup. Traning Penangkapan
Aklimatisasi dan Peyimpanan Ikan Hias Laut. Jakarta 4 - 18 Desember
1990.
Berka, R. 1986. The transport of live fish EIFAC Tech. Pap. No. 48. p.52
Frose, R 1997. Transportasi Ikan Hidup. FAO. Technical Paper.
Proseno, D. 1990. Cara Transportasi Ikan Dalam Keadaan Kidup. Makalah
disajikan pada Acara Temu Penelitian, Paket Teknologi 29 – 31 Oktober
1990.
Puja, Y., S. Akbar, dan Evalawati, 2004. Pemantauan teknologi produksi
budidaya Kerapu dalam program intensifikasi perikanan. Pertemuan Lintas
UPT Lingkup Ditjen Perikanan Budidaya, Yogyakarta.
Roma.Piper, G.R, IBMc. Elwain, L.E. Ormen, J.P.Mc. Caren, L.G. Fowler
and I.R. Leonard. 1982. Hatchery Management. Washington DC, US.
Report of Interior,
Subangsing, S. 1997. Live Handling and Transpotation. Infofish International 2p.
39 – 43
Subyakto, S. dan S. Cahyaningsih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Tangga. AgroMedia Pustaka. Depok. hal. 48- 53.
Sugama, K. Tridjoko., B. Slamet., S. Ismi., F. Setiadi., dan S. Kawahara. (2001).
Petunjuk Teknis Produksi Benih Ikan Kerapu Bebek. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol. Departeen Kelautan dan Perikanan.
Bali. 40 hal.
Suryaningrum, T.D., A. Sari., dan N. Indiarti. (2000). Pengaruh Kapasitas
Angkut Terhadap Sintasan dan Kondosi Ikan pada Transportasi Kerapu
Hidup Sistim Basah. Dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan
1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan
Perikanan Jakarta. P; 259-268.
Download