jurnal ilmiah - Poltekkes Medan

advertisement
ISSN 1907 - 3046
Volume 9, Nomor 2
September - Desember 2014
Mutu Organoleptik Cider Jambu Biji (Psidium guajava) pada Varietas yang Berbeda
Ida Nurhayati
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan Berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam
Malik Medan
Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan
Indeks Plak Antara Gigi Berjejal dengan Gigi Tidak Berjejal Setelah Menyikat Gigi pada Siswa-Siswi SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Asmawati, Adriana Hamsar, Nurhamidah
Hubungan Kebiasaan Menyikat Gigi Sebelum Tidur dengan Terjadinya Karies Gigi pada Siswa-Siswi SMP Swasta Darussalam Medan Tahun 2014
Ety Sofia Ramadhan
Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo
Rini Andarwati
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Presentasi Bokong pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan Tahun 2013
Setiawaty Suluhbara
Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2014
Adelima C. R. Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru Gultom
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hipertensi pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan Balita Binjai dan Medan Tahun 2014
Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita Ginting
Manfaat Mengunyah Permen Karet yang Mengandung Xylitol dan Non Xylitol dalam Menurunkan Indeks Plak pada Siswa-Siswi Kelas VI-A SDN
060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014
Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny
Efektifitas Pemberian Soyghurt Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol dalam Darahmencit (Mus musculus) dengan Jumlah Bakteri Asam Laktat dan
Suhu Inkubasi yang Optimum
Rosmayani Hasibuan
Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua
Tahun 2014
Rina Budiman
Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303
Medan
Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare
Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau Terhadap pH Saliva pada Siswa-Siswi SD Negeri 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014
Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang
Gambaran Tingkat Kecemasan Anak Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa/i Kelas V-B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan
Tahun 2014
Nelly Katharina Manurung
Motivasi Anak dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/i Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014
Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria Simaremare
Efektifitas Penyuluhan dengan Media Poster Terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi pada Siswa/i Kelas III dan IV di SDN
104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014
Rawati Siregar, Sondang
Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang Menyikat Gigi Terhadap def-t dan DMF-T pada Siswa-Siswi SD Negeri 060930 Titi Kuning
Kecamatan Medan Johor Tahun 2014
Aminah Br. Saragih, Herlinawati
Hubungan Frekuensi Minum Soft Drink Terhadap pH Saliva dan Angka DMF-T pada Siswa/i Kelas XI IPA MAN 2 Model Jalan Williem Iskandar No. 7A
Kec. Medan Tembung Tahun 2014
Intan Aritonang
Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan Tahun 2014
Dina Indarsita, Sri Utami, Rina Sari
Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina.Del) pada Mencit Jantan
Ernawaty, Tri Bintarti, Maya Handayani
Kharakteristik Balita dan Sosio Demografi Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal Tahun
2014
Rina Doriana Pasaribu
ISSN 1907-3046
JURNAL ILMIAH
PANNMED
(Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist)
VOL. 9, NO. 2, SEPTEMBER-DESEMBER 2014
TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab:
Dra. Ida Nurhayati, M.Kes.
Redaktur:
Drg. Herlinawati, M.Kes.
Penyunting Editor:
Soep, SKp., M.Kes.
Nelson Tanjung, SKM., M.Kes.
Desain Grafis & Fotografer:
Ir. Zuraidah, M.Kes.
Dra. Ernawaty, M.Si., Apt.
Yusrawati Hasibuan, SKM., M.Kes.
Sekretariat:
Sri Utami, SST, M.Kes.
Elizawardah, SKM., M.Kes.
Rina Doriana, SKM., M.Kes.
Sumarni, SST.
Hafniati
Alamat Redaksi:P
Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5
Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan
Telp: 061-8368633
Fax: 061-8368644
DAFTAR ISI
Editorial
Mutu Organoleptik Cider Jambu Biji (Psidium
guajava) pada Varietas yang Berbeda oleh Ida
Nurhayati..........................................................90-92
Pengaruh
Pendidikan
Kesehatan
Terhadap
Peningkatan Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru
dalam Kepatuhan Berobat di Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan oleh Netty Panjaitan, Risma
Dumiri, Tiurlan…………..…...............................93-102
Indeks Plak Antara Gigi Berjejal dengan Gigi Tidak
Berjejal Setelah Menyikat Gigi pada Siswa-Siswi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014 oleh Asmawati, Adriana
Hamsar, Nurhamidah..........................................103-106
Hubungan Kebiasaan Menyikat Gigi Sebelum Tidur
dengan Terjadinya Karies Gigi pada Siswa-Siswi SMP
Swasta Darussalam Medan Tahun 2014 oleh Ety Sofia
Ramadhan.............................................................107-110
Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah Tangga
Terhadap Penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo oleh Rini
Andarwati.............................................................111-118
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Presentasi Bokong
pada Ibu Hamil di Rumah Sakit Umum Kota
Padangsidimpuan Tahun 2013 oleh Setiawaty
Suluhbara…………............................................119-122
Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat dalam
Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul
Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan Tahun 2014 oleh Adelima C. R.
Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru
Gultom.………................................…...............123-127
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Hipertensi pada
Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak
dan Balita Binjai dan Medan Tahun 2014 oleh
Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita
Ginting...........................................................128-133
Manfaat Mengunyah Permen Karet yang Mengandung
Xylitol dan Non Xylitol dalam Menurunkan Indeks
Plak pada Siswa-Siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 oleh
Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny.............134-137
Efektifitas Pemberian Soyghurt Terhadap Penurunan
Kadar Kolesterol dalam Darahmencit (Mus musculus)
dengan Jumlah Bakteri Asam Laktat dan Suhu
Inkubasi
yang
Optimum
oleh
Rosmayani
Hasibuan...............................................................138-145
Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut
Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar 1 pada Siswa/i
Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua
Tahun 2014 oleh Rina Budiman.........................146-149
Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet
Makanan Terhadap Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV
SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan
oleh Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare..150-152
Pengaruh Berkumur dengan Larutan Teh Hijau
Terhadap pH Saliva pada Siswa-Siswi SD Negeri
024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014 oleh
Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang................153-156
Gambaran Tingkat Kecemasan Anak Terhadap
Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa/i
Kelas V-B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan
Tahun 2014 oleh Nelly Katharina Manurung....157-161
Motivasi Anak dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/i Kelas
III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua Tahun 2014
oleh Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria
Simaremare..........................................................162-165
Efektifitas Penyuluhan dengan Media Poster Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Tentang Kebersihan Gigi
pada Siswa/i Kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung
Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 oleh Rawati
Siregar, Sondang...........…...................................166-169
Gambaran Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Tentang
Menyikat Gigi Terhadap def-t dan DMF-T pada SiswaSiswi SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan
Medan Johor Tahun 2014 oleh Aminah Br. Saragih,
Herlinawati...........................................................170-173
Hubungan Frekuensi Minum Soft Drink Terhadap pH
Saliva dan Angka DMF-T pada Siswa/i Kelas XI IPA
MAN 2 Model Jalan Williem Iskandar No. 7A Kec.
Medan Tembung Tahun 2014 oleh Intan
Aritonang..............................................................174-177
Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas
Nyeri Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima
Medan Tahun 2014 oleh Dina Indarsita, Sri Utami,
Rina Sari...............................................................178-183
Uji Efek Penyembuhan Luka Sediaan Gel Ekstrak
Etanol Daun Afrika (Vernonia Amygdalina.Del) pada
Mencit Jantan oleh Ernawaty, Tri Bintarti, Maya
Handayani............................................................184-187
Kharakteristik Balita dan Sosio Demografi
Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal
Tahun 2014 oleh Rina Doriana Pasaribu......188-194
Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik
Kesehatan Kemenkes Medan.
Jurnal PANNMED Edisi September-Desember 2014 Vol. 9 No.2 yang terbit kali ini menerbitkan
sebanyak 21 Judul Penelitian.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit
2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal
ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga
bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini.
Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang
berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
MUTU ORGANOLEPTIK CIDER JAMBU BIJI (Psidium guajava)
PADA VARIETAS YANG BERBEDA
Ida Nurhayati
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Indonesia termasuk negara penghasil buah-buahan. Dengan berlimpahnya buah-buahan maka dilakukan
pengawetan. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu cara pengawetan untuk menambah nilai ekonomis
buah, selain itu cider merupakan salah satu minuman beralkhohol yang rasanya manis, mempunyai aroma
harum dan khas dibuat melalui fermentasi khamir jenis Sacharomyces cerevisiae. Buah jambu biji
mempunyai kadar vitamin C tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan karbohidrat 12,2%,
selain itu juga mengandung zat mineral, besi, fosfat dan kapur.(Rismunandar,1997).Cider telah lama dikenal
sejak berabad-abad yang lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah dan Eropa. Adanya
kemajuan teknologi kini minuman anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur namun buah buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat cider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu
organoleptik cider jambu biji dengan varietas yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa dibandingkan
dengan cider dari jambu biji bangkok). Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menilai warna,
rasa, aroma dan konsistensi cider jambu biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol yang
dihasilkan oleh cider tersebut. Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan pada tanggal 10-17 Maret
2003 di laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider jambu biji biasa
dan jambu biji bangkok masing-masing dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan. Terdapat
perbedaan nyata rasa (F hitung 8,82 > F tabel 3,34) dan aroma (F hitung 10,44 > F tabel 3,34) antara cider
jambu biji biasa dengan jambu biji bangkok. Namun warna (F hitung 2,24 > F tabel 4,20) dan kekentalan (F
hitung 2,64 < F tabel 3,34) tidak menunjukkkan perbedaan nyata. Mutu organoleptik yang meliputi warna,
rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada jambu biji bangkok. Mutu
organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih disukai dari pada
jambu biji bangkok. Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah fermentasi 7 hari adalah 13%
sedangkan kandungan alkohol cider jambu biji bangkok 13,6%.
Kata kunci: Mutu organoleptik, cider jambu biji
PENDAHULUAN
Pengawetan buah-buahan dapat dilakukan
dengan bermacam-macam cara antara lain dengan
fermentasi. Cider (Anggur buah) merupakan salah satu
minuman beralkhohol yang rasanya manis. Mempunyai
aroma yang harum dan khas dibuat melalui fermentasi
khamir jenis Sacharomyces cerevisiae.
Buah jambu biji mempunyai kadar vitamin C
tinggi yaitu 87% dan vitamin A 25% serta kandungan
karbohidrat 12,2%, selain itu juga mengandung zat
mineral, besi, fosfat dan kapur. Rismunandar (1997)
mengatakan buah jambu biji umumnya digunakan oleh
masyarakat untuk mencegah penyakit sariawan dan untuk
meningkatkan daya tahan terhadap infeksi.
Cider telah lama dikenal sejak berabad-abad yang
lalu sebagai minuman tradisional Negara Timur Tengah
dan Eropa. Adanya kemajuan teknologi kini minuman
anggur tidak hanya dibuat dari beras atau buah anggur
namun buah -buahan yang rasanya manis juga dapat dibuat
cider.
Jambu biji banyak dijumpai di pasaran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera
Utara tahun 2000 bahwa rata –rata produksi tanaman
jambu biji adalah 16,43 ton meningkat dari tahun
sebelumnya. Dengan demikian salah satu upaya untuk
meningkatkan nilai ekonomis jambu biji adalah dengan
pembuatan cider atau anggur buah. Dari hal tersebut
penulis mencoba meneliti pembuatan cider dari jambu
biji dengan varietas yang berbeda, yaitu dengan
menggunakan jambu biji biasa dibandingkan dengan
jambu biji bangkok yang selanjutnya akan dinilai mutu
organoleptiknya.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mutu organoleptik cider jambu biji dengan varietas
yang berbeda (yaitu cider dari jambu biji biasa
90
dibandingkan dengan cider dari jambu biji bangkok).
Penilaian mutu organoleptik dilakukan dengan cara
menilai warna, rasa, aroma dan konsistensi cider jambu
biji. Selanjutnya dilakukan penghitungan kadar alkohol
yang dihasilkan oleh cider tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Warna merupakan daya tarik suatu produk
makanan. Konsumen dalam memilih makanan pertama
kali sangat dipengaruhi oleh warna. Warna cider jambu biji
secara umum adalah hijau muda sampai dengan hijau tua.
METODE
TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN
Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan
pada tanggal 10-17 Maret 2003 di laboratorium Teknologi
Pangan Jurusan Gizi Poltekkes Medan. Pembuatan cider
jambu biji biasa dan jambu biji bangkok masing-masing
dilakukan dengan ulangan sebanyak dua kali. Penelitian ini
menggunakan 2 (dua) perlakuan dan 2 (dua) ulangan
sehingga terdapat 4 (empat) unit percobaan.
Bahan : Jambu biji bangkok dan biasa masing-masing 2
kg, gula pasir 1200 gr, ragi Sacharomyces cereviciae
sebanyak 60 gr dan Aquadesh 2 ltr.
Alat : Pisau, wakskom, timbangan duduk, blender, kain
saring, gelas ukur, Erlenmeyer, inkubator, beaker glass,
thermometer, autoclave, hot plate, spatula, selang
fermentasi.
Prosedur :
Pembuatan starter dan sari buah
1) Jambu biji dikupas, dicuci dan dihancurkan dengan
blender hingga menjadi bubur jambu biji. 2) Ditambahkan
aquadesh 1:1 dari volume bubur jambu biji. 3) Disaring
untuk diambil sarinya dan diukur volumenya. 4)
Ditambahkan gula pasir 20% dari volume sari buah. 5)
Diambil 100 ml sari buah kemudian ditambahkan ragi
Sacharomyces cereviciae 1%. 6) Diaduk hingga rata dan
dimasukkan kedalam inkubator selama 24 jam dengan
suhu 30oC hingga timbul gas. 7) Sari buah selebihnya
setelah diambil untuk pembuatan starter dipanteurisasi
selama 1 jam dalam autoclave.
Peragian/Fermentasi
1) Larutan starter yang sudah jadi dimasukkan ke dalam
sari buah yang sudah dipasteurisasi dalam erlemmeyer. 2)
Erlenmeyer ditutup menggunakan gabus yang tengahnya
sudah diberi selang, kemudian ujung selang yang lain
dicelupkan ke dalam beaker glass yang berisi air. 3)
Diinkubasikan dalaminkubator selama 7 hari dengan suhu
30oC.
Pemeraman1) Setelah fermentasi 7 hari, dilakukan
pasteurisasi selama 1 jam dengan suhu 70oC. 2) Cider
dipindahkan ke dalam botol yang sudah disterilkan. 3)
Disimpan lagi ke dalam inkubator pada suhu 30oC selama
7 hari.
Perhitungan kadar alkohol (UI, 1997)
ta = t cider sebelum fermentasi– t aquadesh sebelum fermentasi
tb = t cider sesudah fermentasi– t aquadesh sesudah fermentasi
∆t = tb – ta
Dikonversikan dalam tabel Steinkrous
t = titik didih
Tingkat kesukaan konsumen yang meliputi warna, rasa,
aroma dan kekentalan diujikan ke 30 orang panelis terlatih.
Adapun skala pengukuran yang digunakan skala sebagai
berikut : 1 = Tidak suka, 2 = Agak suka, 3 = Suka, 4 =
Amat suka,
5 = Amat sangat suka.
91
2.63
KEKENTALAN
2.66
AROMA
1.93
2.43
RASA
2.06
2.7
2.43
WARNA
0
JAMBU BIJI BIASA
JAMBU BIJI
BANGKOK
2.76
2
4
6
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan nyata antara warna cider jambu biji biasa dan
warna cider jambu biji bangkok (F hitung 2,24 < F tabel
4,20).
Rasa cider jambu biji dalam penelitian ini
terdapat perbedaan nyata antara rasa cider jambu biji
biasa dan jambu biji bangkok ( F hitung 8,82 > F tabel
3,34). Rasa cider adalah manis disertai asam dan
adanya rasa segar pada waktu diminum, hal ini
disebabkan adanya proses fermentasi dalam pembuatan
cider jambu biji. Bahan dasar cider ini adalah
karbohidrat sehingga setelah difermentasikan dapat
menghasilkan alkohol dan CO2 yang menyebabkan
rasa segar dalam cider.
Aroma merupakan bagian penting dan sangat
menentukan kualitas minuman cider. Dalam penelitian
ini terdapat perbedaan nyata antara aroma jambu biji
biasa dengan jambu biji bangkok (F hitung 10,44 > F
tabel 3,34) Aroma cider dalam penelitian ini adalah
spesifik aroma jambu biji.
Kekentalan cider jambu biji biasa dan jambu
biji bangkok tidak menunjukkan perbedaan nyata (F
hitung 2,64 < F tabel 3,34). Kekentalan cider
dipengaruhi oleh bahan-bahan untuk pembuatan cider
Yaitu jambu biji, ragi dan gula.
SIMPULAN
1.
2.
3.
4.
Warna cider jambu biji biasa tidak menunjukkan
perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari
jamu biji bangkok dalam taraf agak suka dan
suka.
Rasa cider jambu biji biasa menunjukkan
perbedaan nyata dibandingkan dengan rasa
cider dari jamu biji bangkok dalam taraf suka
dan agak suka.
Aroma cider jambu biji biasa menunjukkan
perbedaan nyata dibandingkan dengan cider dari
jamu biji bangkok yaitu pada taraf agak suka.
Kekentalan cider jambu biji biasa tidak
menunjukkan perbedaan nyata dibanding dengan
5.
6.
cider dari jamu biji bangkok yaitu pada taraf
suka.
Mutu organoleptik yang meliputi warna, rasa,
aroma dan kekentalan cider jambu biji biasa lebih
disukai dari pada jambu biji bangkok.
Kandungan alkohol cider jambu biji biasa setelah
fermentasi 7 hari adalah 13% sedangkan
kandungan alkohol cider jambu biji bangkok
13,6%.
RUJUKAN
Ansori
Rahman, 1999, Pengantar Teknologi
Fermentasi, Depdikbud Dirjen Dikti PAU
Pangan dan Gizi , IPB Bogor.
Astawan, Made Wahyuni, Mia, 1991, Teknologi Tepat
Guna. Akademika Presindo. Jakarta.
Biro Pusat Statistik , 2000, Kabupaten Deli Serdang,
Propinsi Sumatera Utara.
Bukle, K.A, 1978. Technology in Preservation, In a
Course Manual in Food Science, Australian
Vice Chancellors Committe.
Daulay, Rahman Djunjun Ansori, 1992. Teknologi
Fermentasi Sayur dan buah-buahan. Dep. P
dan K, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Desrosier, Norman.W, 1988. Teknologi Pengawetan
Pangan, UI, Jakarta.
Fardiaz, Srikandi, 1992. Mikrobiologi Pengolahan
Pangan Lanjutan. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Kapti Rahayu dan Slamet Sudarmadji, 1988. Prosesproses Mikrobiologi Pangan, PAU Pangan
dan Gizi UGM Yogyakarta.
Rismunandar, 1997, Tanaman Jambu Biji, Sinar Baru
Bandung.
Santoso, Hieronymus Budi, 1996. Teknologi Tepat
Guna Anggur Pisang, Kanisius, Yogyakarta.
Winarno, F.G, 1995, Kimia Pangan dan Gizi,
Gramedia, Jakarta
Winarno, F.G, 1999, Sterilisasi Komersial Produk
Pangan, Gramedia, Jakarta
Winarno, F.G, 2000. Kerusakan bahan Pangan dan
Cara Pencegahannya, Ghalia Indonesia
Jakarta
92
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENINGKATAN
PERILAKU PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DALAM KEPATUHAN
BEROBAT DI RINDU A3 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Netty Panjaitan, Risma Dumiri, Tiurlan
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang secara dinamis, yang
didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan
dengan tujuan hidup sehat yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat
(Notoatmodjo, 2010). Pendidikan kesehatan mendidik individu atau masyarakat supaya mereka dapat
memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui
pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap peningkatan perilaku penderita TB Paru dalam kepatuhan berobat
di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian quasi eksperimen dengan rancangan one group
pre-post test. Populasi penelitian penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam Malik Medan
dengan BTA (+) dengan besar sampel 40 responden dan tehnik pengambilan sampel secara accidental
sampling. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner melalui pre-test dan post-test sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan. Analisa data dilakukan dengan uji t berpasangan dengan taraf
kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan secara signifikan mengalami peningkatan dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai
p=0.001 (α<0,05), sikap responden diperoleh nilai rata-rata dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai p=0,006
yang secara uji statistik tidak terdapat perubahan secara signifikan sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan sedangkan tindakan responden secara signifikan menunjukkan peningkatan dari 2,78
menjadi 5,00 dengan nilai p= 0,001 (α<0,05). Disarankan petugas kesehatan terutama perawat ruang Rindu
A3 RSUP H Adam Malik Medan memberikan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru secara terprogram
dan berkesinambungan untuk meningkatkan perilaku penderita dalam menjalankan regimen terapi secara
maksimal dan mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga maupun orang lain.
Kata kunci : Pendidikan Kesehatan, Perilaku, TB Paru
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyakit infeksi
menular dan Indonesia menduduki urutan ketiga terbesar
menderita Tuberkulosis Paru (William,G. 2008). Di
negara-negara berkembang kematian TB Paru merupakan
25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah
dan diperkirakan 95% penderita TB Paru berada di negara
berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah kelompok
usia produktif antara 15-50 tahun. (Depkes RI, 2008).
Bakteri Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri
basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu
pengobatan yang lama sekitar 6 sampai 8 bulan, dengan
keberhasilan dapat di evaluasi dari hasil laboratorium
Bakteri Tahan Asam/ BTA (+) menjadi BTA (-) pada akhir
bulan ke-2 pengobatan (Depkes RI, 2008). Estimasi angka
konversi BTA (+) menjadi BTA (-) untuk kota Medan
sebesar 89.4 %. Berdasarkan wilayah administratif di
Indonesia, sebaran angka temuan kasus tahun 2007, untuk
93
DKI Jakarta (88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten
(74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatera Utara (65,48%),
Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%),
DI Yokyakarta (53,23%), Sumatera Barat (51,36%)
(Depkes RI, 2007). Cakupan penemuan penderita di
beberapa Rumah Sakit pada bulan Januari s/d Maret 2011,
di RSUD Dr Pirngadi Medan dari 422 suspek TB Paru,
ditemukan BTA (+) 164 orang dan di RSUP H. Adam
Malik Medan dari suspek 1031 orang, ditemukan BTA(+)
sebanyak 124 orang (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara, 2011).
Meningkatnya beban masalah Tuberkulosis Paru
disebabkan kurang memadainya tatalaksana TB paru,
termasuk kegagalan menyembuhkan kasus yang telah di
diagnosis (Depkes RI, 2008). Kegagalan keberhasilan
tersebut menurut Amin (2006) akibat banyak faktor,
diantaranya paduan obat yang tidak adekuat, dosis obat
yang tidak cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu
pengobatan yang kurang dari semestinya dan terjadinya
resistensi obat, sedangkan faktor penyakit biasanya oleh
karena disebabkan lesi yang terlalu luas, adanya penyakit
lain yang mengikuti, adanya gangguan imunologis dan
faktor penderitanya sendiri, seperti kurangnya pengetahuan
mengenai TB Paru, kekurangan biaya, malas berobat dan
merasa sudah sembuh.
Sujayanto (2000), mengatakan pengobatan yang
tidak teratur akan menyebabkan kekebalan terhadap obat.
Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang
tidak lengkap dimasa lalu, menimbulkan kekebalan ganda
kuman TB Paru terhadap obat Anti–tuberkulosis (OAT)
atau Multi Drug Resistance (MDR), yang pengobatanya
menjadi sangat mahal, dengan lama pengobatan 18-24
bulan, dengan efek samping yang lebih berat (Depkes RI,
2008).
Hasil penelitian Asmariani S (2012), mengatakan
pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22
kali patuh menelan Obat Anti TB (OAT) secara baik dan
secara signifikan mempunyai peluang sebesar 13,00 kali
patuh menelan OAT. Sejalan dengan penelitian Lumban
Tobing T (2008) menyatakan pengetahuan yang kurang
berpotensi 2,5 kali lebih besar dan sikap yang kurang 3,1
kali lebih besar terhadap penularan Tuberkulosis Paru.
Penanggulangan Tuberkulosis Paru salah satunya
dilaksanakan melalui promosi atau pendidikan kesehatan
(Depkes, 2008). Pendidikan kesehatan sebagai bagian dari
kesehatan masyarakat, berfungsi sebagai media atau sarana
untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian
rupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai
dengan norma-norma hidup sehat. Dengan perkataan lain
pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah
pengetahuan, sikap dan tindakan individu atau masyarakat
sehingga sesuai dengan norma norma hidup sehat.
Pendidikan kesehatan akan berpengaruh pada perilaku
kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan
berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan
kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Jika penderita dan keluarga tidak memiliki
pengetahuan yang baik tentang pengobatan dan
pencegahan penularan Tuberkulosis paru, maka akan sulit
untuk menentukan sikap serta mewujudkannya dalam
suatu perbuatan/tindakan. Pengetahuan dan sikap
menentukan perilaku atau tindakan seseorang.
Pengetahuan seseorang tentang TB Paru yang mencakup
pengertian, penyebab, cara penularan, manfaat makan obat
secara teratur serta cara pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan merupakan domain terbentuknya suatu
perilaku (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan kesehatan secara langsung perorangan sangat
penting, artinya untuk menentukan keberhasilan
pengobatan penderita. Pendidikan ditujukan kepada suspek
TB Paru, penderita TB Paru dan keluarganya, supaya
penderita menjalani pengobatan secara teratur dan sampai
sembuh serta tidak menularkan penyakitnya pada orang
lain. (Depkes, 2005).
Berdasarkan paparan diatas, maka peneliti ingin
mengetahui bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
B. Perumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam
Malik Medan
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Menganalisis pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
2. Tujuan Khusus :
a. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap
dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat sebelum diberikan pendidikan
kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
b. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap
dan tindakan penderita Tuberkulosis Paru dalam
kepatuhan berobat setelah diberikan pendidikan
kesehatan di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik
Medan
c. Untuk mengetahui peningkatan Perilaku penderita
Tuberkulosis Paru sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan dalam kepatuhan berobat di Rindu A3
RSUP H. Adam Malik Medan.
D. Hipotesis
Ho : Ada pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap
peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis Paru
dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam
Malik Medan
Ha : Tidak ada pengaruh Pendidikan Kesehatan
terhadap peningkatan perilaku penderita Tuberkulosis
Paru dalam kepatuhan berobat di Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi Pihak Rumah Sakit secara khusus petugas
kesehatan di ruang Rindu A3 RSUP. H. Adam Malik
Medan agar melakukan secara kontiniu pendidikan
kesehatan sebagai salah satu metode dalam promosi
kesehatan untuk meningkatkan perilaku penderita TB
Paru dalam menjalani pengobatan dan pencegahan bagi
anggota keluarga dan orang lain
2. Bagi penderita : untuk meningkatkan perilaku
penderita dalam menjalani pengobatan sampai sembuh
3. Bagi Peneliti : untuk meningkatkan pengetahuan
tentang gambaran perilaku penderita dalam kepatuhan
berobat sehingga membantu dalam program
penanggulangan Tuberkulosis Paru
94
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses
perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan
dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan
masyarakat. Pendidikan kesehatan sesungguhnya
merupakan suatu proses perkembangan yang berubah
secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima
atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru,
yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha,
dkk., 2002).
Pendidikan kesehatan pada dasarnya mendidik
individu atau masyarakat supaya mereka dapat
memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi.
Pendidikan kesehatan berperan cukup penting dalam
perubahan pengetahuan setiap individu (Sarwono,
2003).
2. Teori Perubahan Perilaku
Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2007) dari
pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau
aktifitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia
pada hakekatnya adalah aktifitas dari manusia itu sendiri.
Menurut Sarwono (2004) perilaku manusia merupakan
hasil dari berbagai macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengalaman, sikap dan tindakan. Pengetahuan dan
sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang
masih bersifat terselubung, yang disebut covert behaviour,
sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respon
terhadap stimulus adalah merupakan over behaviour.
Menurut Sarwono (2004) batasan perilaku
kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk
pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap
tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat sedangkan
perilaku pasif tidak tampak, misalnya pengetahuan,
persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan
perilaku dalam tiga domain yaitu pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6
tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif
mempunyai enam tingkatan yaitu : Tahu (know),
Memahami (comprehension), Aplikasi (application),
Analisis, Sintesis dan Evaluasi (Notoatmodjo, 2007).
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek
(Notoatmodjo, 2005).
Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat
Achmadi, menjelaskan jenis sikap, yaitu : (a) sikap positif,
yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima,
95
menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana
individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan
penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma yang
berlaku dimana individu itu berbeda.
Tindakan adalah mekanisme dari suatu
pengamatan yang muncul setelah seseorang
mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian
atau persepsi terhadap apa yang telah di ketahui untuk
mewujudkan dalam suatu tindakan atau praktek. Suatu
sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan.
Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan
dukungan dari pihak lain. (Notoatmodjo, 2007). Ada 3
faktor penyebab mengapa seseorang melakukan
perilaku tertentu, yaitu (a). faktor pemungkin, (b).
Faktor pemudah, (c) faktor penguat. Ketiga faktor ini
dipengaruhi oleh faktor penyuluhan serta organisasi.
3. Tuberkulosis Paru
a. Pengertian
Tuberkulosis adalah
penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang paru,
tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat
ditularkan dari seseorang ke orang lain. Basil penyebab
tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman
yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar
37˚C (Depkes, 2007).
b. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di
mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI,
2007).
c. Resiko Penularan
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA
positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di
antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian
besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB
akan menjadi sakit TB. Faktor yang memengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah
daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi atau gizi buruk. (Depkes RI,
2007).
d.
Gejala Klinis TB Paru
Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB
Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).
e.
Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada
orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak
dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan
positif (Depkes RI, 2007).
f.
Pemeriksaan Dahak
Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan tiga spesimen “Sewaktu Pagi Sewaktu” (SPS)
dahak secara mikroskopis langsung merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan
hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.
B. Kerangka Teori
Berikut kerangka teori pada gambar 1. dibawah ini:
B. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan selama kurang lebih
5 bulan mulai bulan Juni sampai dengan bulan
Nopember 2013
C. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu)
dengan rancangan one group pre-post test (Arikunto,
2002). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan
perilaku penderita Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan
berobat di Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah semua
penderita yang dirawat di Rindu A3 RSUP Haji Adam
Malik Medan dengan BTA (+) sebanyak 157 orang
yang dirawat pada bulan Juli - Agustus 2013. Tehnik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental
sampling yaitu berdasarkan kebetulan siapa saja yang
ditemui dan sesuai persyaratan data yang diinginkan.
Menurut Arikunto (2002), bila terdapat populasi
lebih dari 100 orang maka pengambilan sampel
berkisar antara 10-15% atau 20-25% dari total
populasi. Maka sampel penelitian ini adalah: 25/100
x 157 = 39,25. Jadi besarnya sampel dalam
penelitian ini adalah 40 responden.
Pemilihan sampel penelitian didasarkan atas kriteria
sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
- Penderita TB Paru yang dirawat di Ruang Rindu A3
selama bulan Juli – Agustus 2013
- Dapat berkomunikasi secara verbal, dapat membaca
dan menulis.
- Usia diatas 17 tahun atau telah dewasa.
- Tidak ada penyakit penyerta
b. Kriteria ekslusi
Kriteria ekslusi pada penelitian ini antara lain :
- Penderita yang saat dilakukan penelitian sedang
dalam kondisi yang tidak memungkinkan
dilakukan penelitian, misalnya dalam kondisi
lemah
- Tidak bersedia menjadi responden.
E. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner
dimana data primer diperoleh melalui pre-test dan
post-test. Data sekunder di peroleh melalui data
medikal rekord RSUP H. Adam Malik Medan.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini di Rumah Sakit Umum
Pusat H. Adam Malik Medan di ruang Rindu A3
Medan.
F. Metode Pengukuran
Metode pengukuran variabel dalam penelitian ini
menggunakan skala ordinal untuk mengukur
pengetahuan, sikap dan tindakan responden.
1. Mengukur Pengetahuan didasarkan atas hasil
pre test dan post test dengan 20 pertanyaan
dengan kategori jawaban benar diberi skor 1,
dan salah diberi skor 0. Selanjutnya jumlah
96
2.
3.
skor tersebut dikonversi atas 3 kategori sesuai
dengan Arikunto (2006), maka skor tertinggi
20, skor terendah adalah 0 dengan
pengkategorian pengetahuan sbb :
 Pengetahuan Baik, jika total skor >76,7%
atau skor benar ≥ 15
 Pengetahuan Cukup, jika total skor 56,6%
s/d 75% atau benar 11-14
 Pengetahuan Kurang, jika total skor ≤ 55%
atau skor benar ≤ 10
Untuk penilaian Sikap didasarkan atas hasil pre
test dan post test dengan 10 pertanyaan, dengan
2 kategori jawaban yaitu Setuju diberi skor 1,
dan Tidak Setuju skor 0 dengan pengkategorian
sebagai berikut :
 Sikap Baik, jika total skor ≥ 50 %
 Sikap Tidak Baik, jika total skor < 50 %
Untuk penilaian Tindakan didasarkan atas hasil
pre test dan post test dengan 5 pertanyaan,
dengan 2 kategori jawaban yaitu tindakan Baik
diberi skor 1, dan Tidak Baik skor 0 dengan
pengkategorian berikut :
 Tindakan Baik, jika total skor 5
 Tindakan Tidak Baik, jika total skor < 5
G. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data
Tehnik pengolahan data menggunakan
komputerisasi dengan cara terlebih dahulu
pengecekan data yang sudah dikumpulkan,
melakukan penilaian (skor), melakukan editing dan
pengkodean pada data yang ada dan dibuat dalam
bentuk tabel, distribusi frekuensi selanjutnya
dianalisa menggunakan analisis univariat dan
bivariat. Analisis Univariat menggunakan distribusi
frekuensi dan statistik deskriptif untuk melihat
karakteristik responden yang meliputi : jenis
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan,
pekerjaan, Jenis bangunan rumah, Luas ventilasi,
pendapatan, kategori pasien, sumber pencahayaan
dan kondisi kamar.
Analisis
Bivariat
dilakukan
untuk
mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan
meilputi: pengetahuan, sikap dan tindakan
responden sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan dengan menggunakan uji pair
t-test dengan taraf kepercayaan 95% dan hasil
analisa dikatakan bermakna (signifikan) jika nilai p
value < 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Rumah Sakit Haji Umum Pusat Adam Malik
Medan adalah Rumah Sakit kelas A sesuai SK
Menkes No. 335/Menkes/SK/VII 1990, juga
sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK Menkes
No. 502/Menkes/SK/-/1990. Rumah Sakit Haji
Umum Pusat Adam Malik Medan memiliki 10
Poliklinik rawat jalan dan 2 instalasi ruang rawat
inap : Rindu A unit rawat inap yaitu RA1, RA2,
RA3, RA4 neurologi, RA4 bedah saraf, RA5 dan
Rindu B yaitu RB1, RB2, RB3, RB4 anak.
2.
Analisis Univariat
Analisis univariat terhadap responden disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi berdasarkan jenis
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan,
jenis bangunan rumah, luas ventilasi, pendapatan, kategori
pasien, sumber pencahayaan dan kondisi kamar
a. Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang dirawat Di Ruang Rindu A3 Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Medan
No
Karakteristik Responden
n
%
1
Jenis kelamin
25
66,7
- Laki-laki
15
33,3
- Perempuan
2
Umur (tahun)
11
27,5
- 24 - 34
9
22,5
25,0
- 35 – 45
10
22,5
- 46 – 56
9
2,5
- 57 – 67
1
- 68 – 78
3
Pendidikan
7
17,5
- SD
5
12,5
- SLTP
20
50,0
- SLTA
8
20,0
- Akademi/Sarjana
4
Status Perkawinan
9
22,5
- Tidak kawin
27
67,5
- Kawin
4
10,0
- Janda/duda
97
5
6
7
8
9
10
11
Pekerjaan
- Wiraswasta
- Petani
- PNS/TNI/POLRI/Pensiunan
- Tidak bekerja
Jenis Bangunan Rumah
- Permanen
- Semi permanen
- Darurat
Luas Ventilasi
- < 10%
- 10 – 20%
- >20%
Pendapatan
- < 1,4 jt
- 1,4 – 2 jt
- 2 – 3 jt
- 3 – 5 jt
- >5 jt
Kategori pasien
- Baru
- Kambuh
- Gagal
- Pindahan
- Defaulter
Sumber Pencahayaan
- Ya
- Tidak
Kondisi kamar
- Kering
- Lembab
- Basah
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan
jenis kelamin, responden penderita Tuberkulosis Paru
mayoritas laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar
33,3%. Berdasarkan kategori umur terbanyak responden
pada rentang usia 24-34 tahun sebesar 27,5% diikuti
responden rentang usia 46-56 tahun sebesar 25%.
Berdasarkan jenjang pendidikan mayoritas
responden berpendidikan SLTA yaitu sebesar 50%,
sedangkan berdasarkan status perkawinan mayoritas
responden kawin sebesar 67,5%. Berdasarkan tabel diatas
juga dapat diketahui bahwa pekerjaan responden mayoritas
wiraswasta yaitu sebesar 47,5%, sedangkan berdasarkan
kondisi rumah mayoritas responden memiliki bangunan
rumah permanen sebesar 85%.
Berdasarkan luas ventilasi rumah, mayoritas (80%)
luas ventilasi berkisar antara 10-20% luas bangunan,
berdasarkan besarnya pendapatan responden, mayoritas
(52,5%) berpenghasilan antara 1,4 juta – 2 juta per bulan.
Berdasarkan kategori pasien : responden pasien baru
sebesar 40%, responden kambuh dan gagal masing-masing
sebesar 30%. Berdasarkan sumber pencahayaan, terdapat
60% rumah/kamar responden mendapatkan sinar matahari
langsung dan berdasarkan kondisi rumah/kamar, kering
sebanyak 62,5% dan lembab sebanyak 37,5%.
b.
19
10
2
9
47,5
25,0
5,0
22,5
34
5
1
85,0
12,5
2,5
8
32
0
20,0
80,0
0
0
21
16
2
1
0
52,5
40,0
5,0
2,5
16
12
12
0
0
40,0
30,0
30,0
0
0
24
16
60,0
40,0
25
15
0
62,5
37,5
0
Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Responden Sebelum dan Setelah Pemberian
Pendidikan Kesehatan dalam Peningkatan
Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru
Tabel 2. Distribusi
Frekuensi
Kategori
Pengetahuan Responden sebelum dan
Setelah Pendidikan Kesehatan di Ruang
Rindu A3 RSUP H. Adam Malik Medan
Sebelum
Setelah
Kategori
Pengetahuan
N
%
n
%
Baik
0
0
40
100
Cukup
17
42,5
0
0
Kurang Baik
23
57,5
0
0
Total
40
100
40
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan
responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan
57,5% berada pada tingkat pengetahuan Kurang Baik dan
42,5% berpengetahuan cukup, sedangkan pengetahuan
responden setelah pendidikan kesehatan 100%
berpengetahuan baik.
98
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kategori Sikap
Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan
Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
Sebelum
Setelah
Kategori Sikap
N
%
N
%
Baik
40
100
40
100
Tidak Baik
0
0
0
0
Total
40
100
40
100
Dari tabel 3 diatas untuk kategori sikap responden
sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan
100% mempunyai sikap yang baik.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kategori Tindakan
Responden Sebelum dan Setelah Pendidikan
Kesehatan di Ruang Rindu A3 RSUP H.
Adam Malik Medan
Sebelum
Setelah
Kategori
Tindakan
n
%
N
%
Baik
5
12,5
40
100
Tidak Baik
35
87,5
0
0
Total
40
100
40
100
Dari tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa tindakan
responden sebelum pendidikan kesehatan 87,5%
mempunyai tindakan yang tidak baik, setelah
pemberian pendidikan kesehatan 100% responden
memiliki tindakan yang baik.
3. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan terhadap peningkatan Perilaku penderita
Tuberkulosis Paru dalam kepatuhan berobat di ruang
Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan. Uji statistik
yang digunakan adalah uji t berpasangan dengan
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berikut ini
sebaran data tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Pendidikan
Kesehatan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 5. Pengetahuan Responden Sebelum dan
Setelah Pendidikan Kesehatan tentang
Tuberkulosis Paru dalam Kepatuhan
Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H Adam
Malik Medan
Uji Statistik
Kategori
Nilai
Pengetahuan
Nilai t
Nilai p
rerata
Sebelum
9,32
-19,626
,000
Setelah
19,10
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa
terdapat perbedaan nilai rata-rata pengetahuan
responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan
kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t
= -19,62. Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai
p=0,001 (α<0,05) yang secara statistik menunjukkan
terdapat perbedaan secara signifikan pengetahuan
99
responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan
kesehatan tentang Tuberkulosis Paru.
Tabel 6. Sikap Responden Sebelum dan Setelah
Pendidikan Kesehatan tentang Tuberkulosisi
Paru dalam Kepatuhan Berobat di Ruang
Rindu A3 RSUP H Adam Malik Medan
Uji Statistik
Kategori Sikap
Nilai
Nilai t
Nilai p
rerata
Sebelum
7,68
-2,876
,006
Setelah
8,02
Berdasarkan tabel 6 diatas, diketahui bahwa
variabel sikap pada responden menunjukkan, terdapat
perbedaan rata-rata nilai sebelum dan setelah diberikan
pendidikan kesehatan yaitu dari 7,68 menjadi 8,02 dengan
nilai t = -2,876 dan nilai p=0,006 (α > 0,05) yang berarti
tidak terdapat perubahan sikap responden secara signifikan
sebelum dan setelah pendidikan kesehatan.
Tabel 7. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah
Pendidikan
Kesehatan
tentang
Tuberkulosisi Paru dalam Kepatuhan
Berobat di Ruang Rindu A3 RSUP H
Adam Malik Medan
Uji Statistik
Kategori
Tindakan
Nilai rerata
Nilai t
Nilai p
Sebelum
2,78
-10,738
.000
Setelah
5,00
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa
tindakan responden menunjukkan, terdapat perbedaan ratarata nilai sebelum dan setelah diberikan pendidikan
kesehatan yaitu dari 2,78 menjadi 5,00 pada nilai t = 10,738 dan nilai p=0,001 yang berarti terdapat perbedaan
secara signifikan tindakan responden sebelum dan sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan.
Pembahasan
1. Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Pendidikan kesehatan
Dari data hasil penelitian tabel 2 pengetahuan
responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan
mayoritas pengetahuannya kurang baik (57,5%),
setelah diberi pendidikan kesehatan seluruh responden
pengetahuannya menjadi baik (100%). Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05),
untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap pengetahuan responden tentang Tuberkulosis
Paru dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai
rata-rata pengetahuan responden sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan yaitu dari 9,32
menjadi 19,10 dengan nilai t = -19,626 dan nilai p=
0,001 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
(tabel 7).
Keadaan ini memberikan gambaran bahwa
pemberian pendidikan kesehatan bermanfaat dalam
peningkatan
pengetahuan
responden.
Peranan
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
sangat penting karena ketidakteraturan berobat, putus
berobat atau karena kombinasi obat anti tuberkulosis
tidak adekuat menyebabkan timbulnya masalah
resistensi obat anti tuberkulosis yang membutuhkan
waktu pengobatan yang lebih lama , yaitu 18-24 bulan,
biaya yang lebih besar dan efek samping obat yang
lebih berat (Taufan, 2008). Keberhasilan pengobatan
Tuberkulosis juga tergantung pada keadaan sosial
ekonomi serta dukungan dari keluarga, sehingga
adanya keinginan, dan upaya dari penderita serta dan
dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk
mempercepat proses kesembuhan. Petugas kesehatan
mempunyai peran bukan hanya memberi obat tetapi
juga memberikan pendidikan kesehatan kepada
penderita dan keluarganya, untuk meningkatkan
pengetahuan mereka tentang resiko-resiko bila putus
berobat, manfaatnya bila menelan obat secara teratur
akan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara
tuntas (Sari, 2005).
William G (2008) menyatakan faktor terbesar
untuk kesembuhan penderita adalah kepatuhan terhadap
pengobatan, yang juga berdampak menurunkan resiko
penyakit berkembang menjadi MDR Tuberkulosis,
merupakan alasan utama menggunakan strategi DOTS
yang dilaksanakan di pelayanan primer, yang salah satu
dari lima elemen tersebut adalah menelan OAT tidak boleh
terputus. Sesuai dengan teori bahwa pendidikan kesehatan
adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan
seseorang melalui tekhnik praktek belajar atau instruksi
dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku
manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat
untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup
sehat. (Notoatmodjo, 2007). Sejalan dengan hasil
penelitian Asmarani (2012) yang mengatakan bahwa
pengetahuan yang baik mempunyai peluang sebesar 23,22
kali patuh menelan OAT secara baik dan secara signifikan
mempunyai peluang sebesar 13,00 kali patuh menelan
OAT. Penelitian lain yang dilakukan Lumban Tobing T
(2008) di Kabupaten Tapanuli Utara menyatakan bahwa
potensi penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang
berpengetahuan kurang dan 3,1 kali lebih besar pada yang
bersikap kurang dalam pencegahan TB Paru. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori perilaku kesehatan,
bahwa pengetahuan dapat mendasari seseorang untuk
bertindak termasuk untuk bertindak melakukan
pencegahan TB Paru. Upaya dalam meningkatkan
pengetahuan dan sikap pencegahan penularan TB Paru
dilakukan melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan pada penderita TB Paru
adalah suatu proses perubahan pada diri penderita yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan
individu, yang didalamnya seseorang menerima atau
menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang
berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, dkk.,
2002).
2. Sikap Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Pendidikan kesehatan
Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan
bahwa sikap responden sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan pada
taraf kepercayaan 95% diperoleh nilai rerata sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan
dari 7,68 menjadi 8,02 dengan nilai t = -2,876 dan
p=0,006. Secara uji statistik tidak terdapat perubahan
sikap responden secara signifikan sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan menurut Newcomb dalam
Notoatmodjo (2003) salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap simulus. Sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu
dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan
tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
prodisposisi perilaku atau tindakan. Allport (1954),
dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu kepercayaan, ide
dan konsep, evaluasi terhadap suatu objek dan
kecenderungan untuk bertindak Dengan perkataan lain
fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi
terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup.
Seseorang yang diberi stimulus dalam hal ini
pendidikan kesehatan, selanjutnya orang tersebut akan
bersikap terhadap stimulus. Oleh sebab itu indikator
untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan
kesehatan, yakni sikap terhadap sakit dan penyakit
yaitu bagaimana pendapat seseorang terhadap gejala,
penyebab,
cara
pencegahan
dan
sebagainya
(Notoatmodjo, 2010). Penderita TB Paru yang diberi
pendidikan
kesehatan,
pengetahuannya
akan
meningkat, diikuti perubahan sikap menjadi baik, dan
menerima, merespon, menghargai dan bertanggung
jawab untuk mematuhi program pengobatan.
3. Tindakan Responden Sebelum dan Setelah
Pemberian Pendidikan kesehatan
Berdasarkan tabel 4 mayoritas (87,5%)
tindakan responden tidak baik sebelum diberikan
pendidikan kesehatan dan 100% tindakan responden
baik setelah pendidikan kesehatan. Hasil uji statistik
pada tabel 7 terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum
dan setelah pendidikan kesehatan yaitu dari 2,78
menjadi 5,00 dengan nilai t = -10,738 dan nilai p=
0,001 yang secara statistik menunjukkan terjadi
peningkatan secara signifikan tindakan responden
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan
tentang TB Paru.
Pendidikan kesehatan sebagai stimulus, menyebabkan
seseorang
mengadakan penilaian dan pendapat
terhadap apa yang diketahuinya atau disikapinya dan
selanjutnya diharapkan akan melaksanakan praktik atau
tindakan kesehatan atau dikatakan perilaku kesehatan.
Perilaku kesehatan pada penderita TB Paru mencakup:
menggunakan masker, menutup mulut pada waktu
batuk, tindakan terhadap penutup mulut, membuang
dahak ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat
100
makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri.
Pendidikan kesehatan yang diberikan, meningkatkan
pengetahuan, sikap yang baik, dan memerlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
antara lain fasilitas (pemberian leaflet, masker) disertai
advokasi berdampak meningkatkan perilaku berupa
tindakan yang baik (100%).
Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh tiga
faktor utama (Notoadmodjo, 2010) yaitu : faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat
(reinforcing factors). faktor predisposisi (predisposing
factor) merupakan faktor utama yang positif
mempermudah terwujudnya perilaku dan disebut juga
faktor pemudah. Peningkatan perilaku yang diharapkan
adalah perilaku yang langgeng, adalah yang berdasarkan
pengetahuan. Penelitian Rogers
(1974) dalam
Notoatmodjo, (2010) mengungkapkan bahwa sesorang
mengadopsi perilaku baru melalui suatu proses yaitu
awareness, interest, evaluation, trial dan adoption.
awareness (kesadaran) diperoleh seseorang harus lebih
dahulu mengetahui stimulus/objek, dan ketika objek
diketahui, diupayakan objek tersebut menarik, sehingga
sampai kepada tahap interest. Setelah tahap interest ini
dilalui, seseorang itu akan mulai menimbang-nimbang baik
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, yang berarti
sikapnya lebih baik. Sikap yang baik, membuat dirinya
ingin mencoba perilaku baru, setelah dicoba dan ternyata
dirasa menguntungkan, subjek/ penderita TB Paru telah
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan yang
didapatnya, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang melalui proses ini, sifatnya berlangsung
lama, karena perilaku ini sudah menjadi miliknya atau
diadopsi.
Peningkatan perilaku dalam bentuk tindakan pada
penderita TB Paru, yaitu tindakan yang tadinya tidak
menggunakan masker, batuk tidak menutup mulut, setelah
mendapat pendidikan kesehatan, seluruh responden
menggunakan masker, dan tissu yang digunakan untuk
menutup mulut dikumpulkan di plastik dan dibuang
ditempat sampah medik yang disediakan atau dibakar.
Peningkatan stimulus ini juga disertai penyediaan fasilitas,
yaitu dengan tersedianya masker .
2.
3.
B.
1.
2.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
1.
101
Simpulan
Tingkat pengetahuan responden terdapat perbedaan
nilai rata-rata sebelum dan setelah pemberian
pendidikan kesehatan dari 9,32 menjadi 19,10
dengan nilai t – 19,626. Hasil uji t berpasanagan pada
taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) didapat nilai p =
0,001 yang berarti secara signifikan mengalami
peningkatan pengetahuan responden sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang TB
Paru. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa
upaya peningkatan pengetahuan dan sikap dalam
pencegahan penularan TB Paru yang dilakukan
melalui pendidikan kesehatan bermanfaat dalam
peningkatan pengetahuan responden hal ini sesuai
dengan teori perilaku kesehatan, bahwa pengetahuan
3.
4.
dapat mendasari seseorang untuk bertindak termasuk
untuk bertindak melakukan pencegahan TB Paru.
Sikap responden sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan 100% baik. Hasil uji t berpasangan
diperoleh nilai rata-rata sikap responden sebelum
7,68 dan setelah pendidikan kesehatan 8,02
dengan nilai t = -2,876 dan nilai p=0,006 yang
secara uji statistik tidak terdapat perubahan sikap
responden secara bermakna sebelum dan setelah
pemberian pendidikan kesehatan.
Mayoritas (87,5%) tindakan responden tidak baik
sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan
100% tindakan responden baik setelah pendidikan
kesehatan. Hasil uji statistik terdapat perbedaan
nilai rata-rata sebelum dan setelah pendidikan
kesehatan yaitu 2,78 menjadi 5,00 dengan nilai t
= -10,738 dan nilai p= 0,001 yang secara statistik
menunjukkan
terjadi
peningkatan
secara
bermakna tindakan responden sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang
TB Paru. Pendidikan kesehatan diharapkan dapat
meningkatkan perilaku kesehatan pada penderita
TB Paru mencakup: menggunakan masker,
menutup mulut pada waktu batuk, tindakan
terhadap penutup mulut, membuang dahak
ditempat tertutup dan diberi desinfektan dan alat
makan/minum untuk pasien dibuat tersendiri.
Saran
Kepada RSUP H. Adam Malik Medan,
diharapkan dapat memberikan penyuluhan
kesehatan tentang TB Paru secara terprogram dan
berkesinambungan
untuk
meningkatkan
pengetahuan pasien dalam menjalankan regimen
terapi untuk memaksimalkan penyembuhan
penyakit secara maksimal dalam waktu yang lebih
singkat sehingga dapat menurunkan bahkan
mencegah penularan penyakit kepada anggota
keluarga.
Kepada pasien, untuk dapat mewujudkan
pengetahuan yang telah diberikan kedalam bentuk
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari,
untuk mempercepat proses penyembuhan,
mencegah keparahan penyakit dan penularan
terhadap anggota keluarga dan orang lain
Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian
lanjutan
dengan
menggunakan
kelompok
intervensi dan kelompok kontrol untuk lebih
mengetahui efektifitas pemberian pendidikan
kesehatan dalam peningkatan pengetahuan, sikap
dan tindakan penderita TB Paru dalam
kepatuhannya menjalankan regimen terapi
Bagi Jurusan Keperawatan, sebagai referensi
sumber bacaan tentang pengetahuan, sikap dan
tindakan penderita Tuberkulosis Paru, untuk
memperluas wawasan dan pengetahuan baik
untuk pembelajaran pribadi maupun untuk
khalayak umum.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S.2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta, Rineka Cipta
Amin. 2006. Di dalam Asmariani , S. 2012. FaktorFaktor Yang Menyebabkan Ketidakpatuhan
Penderita TB Paru Minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja
Puskesmas
Gajah
Mada
Kecamatan
Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Skripsi. PSIK Univeritas Riau.
Aditama, T. 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Edisi ke empat. Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta
Asmariani, S. 2012. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan
Ketidakpatuhan Penderita TB Paru Minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah
Kerja Puskesmas Gajah Mada Kecamatan
Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Skripsi. PSIK Univeritas Riau.
Crofton, J. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi Kedua.
Widya Medika. Jakarta
Depkes RI, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Cetakan I, Edisi ke II, Jakarta.
_________ 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis.Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.2012.Profil
Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2011.
Medan
Green, L.W. 1991 dalan Notoatmodjo 2007. Perencanaan
Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan
Diagnostik.
Edisi
terjemahan.Proyek
Pengembangan FKM.Dep P dan K. Jakarta
Hopewell Philip.C., 2006, Standard Internasional untuk
Pelayanan Tuberculosis, Diagnosis, Pengobatan
Kesehatan Masyarakat, alih bahasa Yusuf.A dkk,
The Global Fund, Jakarta.
Lumban Tobing, T. 2008. Pengaruh Perilaku Penderita
TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap
Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada
Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis.
Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan,
Rineka Cipta. Jakarta
____________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Prilaku. Jakarta. Rineka Cipta
____________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta
Rineka Cipta
Sarwono S. 2004. Sosiologi Kesehatan: Beberapa
Konsep Beserta Aplikasinya. Jogyakarta : Gajah
Mada University Pers.
Sari (2005). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap
PMO Dengan Pencegahan Penyakit TB Paru
Paru Di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang.
Semarang: UNIMUS.
Siswanto. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan penderita TB Paru. Dikutip dari
http://www.google.co.id/ pada tanggal 20 Agustus
2013
Taufan, S, 2006, Pengobatan Tuberculosis Paru Masih
Menjadi
Masalah.
www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi, Senin 24/03/2008
Williams G, (2008) TB Guidelines for Nurses in the
Care and Control of
Tuberculosis and Multidrug Resistant Tuberculosis, ICN - International
Council of Nurses 1201 Geneva (Switzerland).
102
INDEKS PLAK ANTARA GIGI BERJEJAL DENGAN GIGI TIDAK
BERJEJAL SETELAH MENYIKAT GIGI PADA SISWA-SISWI SMP PAB 5
PATUMBAK TAHUN 2014
Asmawati1, Adriana Hamsar2, Nurhamidah3
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Penyebab utama penyakit periodontal adalah plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada
permukaan gigi dan terdiri atas mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak. Jenis penelitian ini dilakukan adalah analitik dengan metode eksperimen semu dan
rancangan yang digunakan adalah “pre test and post test only group design”. Penelitian ini dilakukan dengan
jumlah populasi 140 orang dan pengambilan sampel dilakukan pada siswa kelas 1 dan kelas 2 berjumlah 28
orang, yaitu 14 orang siswa/i yang memiliki gigi berjejal dan 14 orang siswa/i dengan gigi tidak berjejal.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh indeks plak rata-rata sampel gigi berjejal dan gigi tidak
berjejal sebelum menyikat gigi dengan kategori baik yaitu (0,74) dan (0,87). Setelah dilakukan kegiatan
menyikat gigi, rata-rata indeks plak siswa/i yang memiliki gigi berjejal maupun yang memiliki gigi tidak
berjejal sama-sama dikategorikan baik yaitu 0,29 dan 0,36. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak.
Kata kunci: Indeks plak, gigi berjejal, gigi tidak berjejal
PENDAHULUAN
WHO bekerja sama dengan Federation of
National Dental Assosiation (FDI) dan International
Assosiation of Dental Research (IADR) membuat tujuan
globalnya dengan slogan „Global Goals for Oral Health
2020„.Tujuannya adalah untuk mengurangi penyakit gigi
dan mengurangi dampaknya terhadap kesehatan dan
perkembangan
psikososial,
dengan
menekankan
pentingnya kesehatan rongga mulut. Selain itu,
mengurangi dampak manifestasi penyakit sistemik di
rongga mulut pada seseorang dan memanfaatkan
manifestasi ini untuk melakukan deteksi dini dan
pencegahan serta penatalaksanaan penyakit sistemik.
(WHO, 2003).
Plak merupakan penyebab lokal dan utama
terbentuknya penyakit gigi dan mulut yang lain seperti
karies gigi (lubang gigi), kalkulus (karang gigi),
gingivitis (radang pada gusi), periodontitis atau radang
pada jaringan penyangga ggi. (Megananda, dkk. 2009).
Gigi berjejal disebabkan oleh banyak faktor seperti gigi
susu yang terlambat dicabut padahal gigi tetapnya
sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi susu dicabut
sebelum waktunya, adanya gigi gigi berlebihan
sehingga dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.
Kondisi dimana gigi berjejal merupakan salah
satu faktor terjadinya penumpukan plak pada gigi. Sisa
makanan yang menyangkut pada gigi yang berjejal
mengakibatkan sulitnya saliva membersihkan sisa
makanan tersebut. Apabila penyikatan gigi tidak
103
dilakukan dengan baik dan benar maka sisa makanan
tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan plak.
(Yowono, L., 2010)
Setelah mengetahui bahwa gigi berjejal dapat
menyebabkan penumpukan plak pada gigi sulit
dibersihkan karena tidak terjangkau ketika menyikat
gigi. Hasil survey awal diketahui bahwa pada siswa/i
SMP PAB 5 Patumbak sebanyak 20% ditemukan siswa
yang mempunyai gigi berjejal. Sehingga, peneliti
tertarik untuk melihat perbedaan indeks plak antara
siswa/i yang mempunyai gigi yang berjejal dengan gigi
yang tidak berjejal setelah menyikat gigi.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan indeks plak
antara gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah
menyikat gigi.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi
bahwa gigi berjejal menyebabkan tumpukan plak
yang sulit dibersihkan karena ada bagian gigi
yang sulit dijangkau oleh sikat gigi
2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak
sekolah tentang bahwa gigi berjejal lebih sulit
dibersihkan daripada gigi yang tidak berjejal
sehingga perlu ketelitian yang lebih untuk
membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat
jika sudah parah.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan
bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di
perpustakaan
Jurusan
Keperawatan
Gigi
Poltekkes Kemenkes Medan.
Hipotesis
Ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi.
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah
eksperimen dengan rancangan pre test and post test only
group design, yang bertujuan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dan gigi
tidak berjejal pada siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa –
siswi SMP PAB 5 Patumbak tahun 2014. Jumlah populasi
dalam penelitian ini berjumlah 140 orang.
Sampel penelitian ini adalah berjumlah 28
orang, siswa-siswi SMP PAB 5 Patumbak (20% dari
populasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1.1.
Analisa Univariat
Analisa data secara univariat dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden.
Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
masing-masing Variabel independent (bebas) yaitu ratarata indeks plak gigi berjejal sebelum menyikat gigi.
Tabel 1 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal
sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014.
Kriteria
Jumlah siswa Jumlah indeks plak
Baik
11
7,11
Sedang
3
3,24
Buruk
0
0
Jumlah
14
10,35
Rata-rata indeks plak
0,74
Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat
diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswa/i
gigi berjejal sebelum menyikat gigi di SMP PAB 5
Patumbak adalah 0,74 (Kriteria baik).
Tabel 2 Distribusi frekuensi indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi pada siswa-siwi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Kriteria
Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak
Baik
14
4,06
Sedang
0
0
Buruk
0
0
Jumlah
14
4,06
Rata-rata indeks plak
0,29
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas,
dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi adalah 0,29 (kriteria baik)
Tabel 3.
Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak
berjejal sebelum menyikat gigi pada siswa-siwi
SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014.
Kriteria
Jumlah siswa Jumlah indeks plak
Baik
Sedang
Buruk
Jumlah
Rata-rata indeks plak
10
4
0
14
7,05
5,2
0
12,25
0,87
Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat
diketahui bahwa bahwa rata-rata skor indeks plak siswasiswi gigi tidak berjejal sebelum menyikat gigi di SMP
PAB 5 Patumbak adalah 0,87 (Kriteria baik).
Tabel 4
Distribusi frekuensi indeks plak gigi tidak
berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siwi
SMP PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Kriteria
Jumlah Siswa Jumlah Indeks Plak
Baik
13
3,84
Sedang
1
1,1
Buruk
0
0
Jumlah
14
4,94
Rata-rata indeks plak
0,36
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas,
dapat diketahui bahwa dari 14 siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak tahun 2014 rata-rata indeks plak gigi berjejal
setelah menyikat gigi adalah 0,36 (kriteria baik)
1.2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat berguna untuk mengetahui
perbedaan indeks plak gigi berjejal dan tidak berjejal
sebelum dan sesudah menyikat gigi tahun 2014 dengan
menggunakan uji t.
Tabel 5 Perbedaan Indeks Plak Gigi Berjejal Sebelum dan
Sesudah Menyikat Gigi pada siswa-siswi SMP
PAB 5 Patumbak Tahun 2014
Mean Indeks
Karies
Plak (Sebelum- Ada
TOTAL Sig p
tidak ada
Setelah)
F
F %
F
%
%
Melakukan 5
12,5 11 27,5 16
40
0,00
Tidak
23 57,5 1 2,5
24
60
melakukan
Total
28
70 12 30
40 100
Mean Indeks Plak N
(SebelumSetelah)
0,21
14
t
Std
Sig
(2Tailed)
95%
1,88
0,42
0,08
(-0,03-0,46)
104
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan hasil
Pired Sample Test untuk gigi berjejal sebelum dan setelah
menyikat gigi bahwa dari 28 orang siswa-siswi SMP PAB
5 Patumbak terdapat rata-rata 0,21 dengan nilai t hitung
sebesar 1,88.
Standart Deviasi yang diperoleh adalah 0,42
dengan signifikan (p) 0,08 dan menggunakan tingkat
kepercayaan 95%.
Dari hasil diatas terlihat bahwa t hitung adalah
1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu nilai p > 0,05
artinya tidak ada perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
sebelum dan setelah menyikat gigi.
Tabel.6.
Perbedaan Indeks Plak Gigi Tidak Berjejal
Sebelum dan Setelah Menyikat Gigi Pada
Siswa/i SMP PAB 5 Patumbak
Mean Indeks N
t
Std
p
95%
Plak (SebelumSetelah)
0,21
14 1,88 0,42
0,08 (-0,03-0,46)
Dari diatas menunjukkan hasil Pired Sample Test
untuk gigi berjejal sebelum dan setelah menyikat gigi yaitu
mean indeks plak sebelum dan setelah menyikat gigi pada
gigi berjejal adalah 0,21 dengan jumlah sampel 28 orang
dan menghasilkan nilai t hitung sebesar 1,88. Standart
Deviasi yang diperoleh adalah 0,42 dengan signifikan (p)
0,08 dengan nilai p 0,08 (p > 0,05) maka tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan
setelah menyikat gigi.
Pembahasan
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat ada
tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan
gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa-siswi
SMP PAB 5 Patumbak. Penelitian ini mengambil sampel
siswa-siswi yang mempunyai gigi berjejal sebanyak 14
orang dan siswa-siswi yang mempunyai gigi tidak berjejal
sebanyak 14 orang yang dipilih mulai dari kelas 1 sampai
kelas 2 SMP PAB 5 Patumbak.
Penyebab utama penyakit Periodontal adalah
plak. Plak gigi adalah deposit lunak yang melekat pada
permukaan gigi, terdiri atas mikroorganisme yang
berkembang biak dalam suatu matrik interseluler jika
seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya.
(Pintauli,dkk)
Gigi berjejal atau crowded disebabkan banyak faktor. Gigi
berjejal bisa terjadi akibat gigi susu yang terlambat dicabut
padahal gigi tetapnya sudah tumbuh. Bisa juga karena gigi
susu dicabut sebelum waktunya. Akibatnya rahang kurang
berkembang dan gigi tetap yang tumbuh kemudian
kekurangan tempat untuk tumbuh dalam posisi normal.
Dari hasil penelitian ini program komputer
dengan menggunakan uji t Dependent yang mencari ada
tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan
gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi diperoleh hasil t
hitung adalah 1,88 dengan nilai p 0,08. Oleh karena itu
nilai p > 0,05 maka H0 diterima artinya “tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal sebelum dan
setelah menyikat gigi”.
105
Tidak adanya perbedaan indeks plak antar gigi
berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi
terjadi dikarenakan oleh tidak semua counfonding
variabel (variabel pengganggu) dikendalikan. Variabel
pengganggu yang dikendalikan hanya jenis sikat gigi
dan pasta gigi sedangkan tehnik menyikat gigi dan
lama menyikat gigi tidak dikendalikan.
Teori ini yang mendukung peneliti untuk tidak
mengendalikan tehnik menyikat gigi dalam mencari
ada tidaknya perbedaan indeks plak antara gigi berjejal
dengan gigi tidak berjejal setelah menyikat gigi pada
siswa/i SMP PAB 5 Patumbak. Hasil yang didapat
dengan uji t Dependent dihasilkan bahwa tidak adanya
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi
tidak berjejal setelah menyikat gigi pada siswa/i SMP
PAB 5 Patumbak.
Walaupun hasil yang diperoleh tidak ada
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi
tidak berjejal, bagi yang memiliki gigi berjejal harus
lebih teliti untuk membersihkan giginya karena bagi
gigi berjejal mempunyai peluang yang lebih besar
untuk terjadinya penumpukan plak dikarenakan ada
bagian-bagian gigi yang sulit dijangkau oleh sikat gigi.
Dan bagi yang memiliki gigi tidak berjejal agar tidak
mengabaikan kebersihan gigi dan mulutnya. Untuk
memperoleh hasil pembersihan plak gigi yang optimal
diharapkan agar menyikat gigi dengan cara yang baik
dan benar.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah bahwa bagi yang memiliki gigi
normal (tidak berjejal) untuk tidak mengabaikan
kebersihan gigi dan mulutnya. Walaupun gigi tidak
berjejal lebih mudah dibersihkan daripada gigi yang
berjejal namun jika mengerti atau terampil dalam
membersihkannya, maka tidak ada perbedaan dengan
gigi berjejal yang memang terdapat kesulitan dalam
membersihkannya karena ada bagian-bagian gigi yang
tidak terjangkau oleh sikat gigi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Rata-rata indeks plak sebelum menyikat gigi
pada gigi berjejal 0,74 (Baik) dan rata-rata
indeks plak pada gigi tidak berjejal 0,87
(Baik). Setelah dilakukannya kegiatan
menyikat gigi rata-rata indeks plak pada gigi
berjejal sama-sama baik. Rata-rata indeks plak
gigi berjejal 0,29 dan gigi tidak berjejal 0,36.
2. Hasil Dependent Sample Test menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan indeks plak antara
gigi berjejal dengan gigi tidak berjejal setelah
menyikat gigi pada siswa-siswi SMP PAB 5
Patumbak.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang
perbedaan indeks plak antara gigi berjejal dengan gigi tidak
berjejal setelah menyikat gigi disarankan:
1.
2.
Gigi yang berjejal menyebabkan tumpukan plak
yang ada sulit dibersihkan karena ada bagianbagian gigi yang sulit terjangkau oleh sikat gigi,
oleh karena itu perlu ketelitian yang lebih dalam
membersihkannya dan sebisa mungkin dirawat jika
parah.
Menyikat gigi dengan cara yang baik dan benar
agar memperoleh kebersihan gigi dan mulut yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Nurjannah N,
2012. Ilmu Pencegahan Penyakit
Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Oral Health Promotion through Schools. WHO
Information Series on School Health. Document 8.
Geneva: WHO; 2003.
H P Megananda, Herijulianti E, Nurjanah N. 2009.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Buku Ajar. Poltekkes
Depkes. JKG Bandung.
Erwin N, 2013. Seputar Kesehatan Gigi dan Mulut,
Penerbit Rapha Publishing, Yogyakarta.
M. Sopiyudin Dahlan 2011. Statistik untuk kedokteran dan
kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Pintauli, S., 2007. Menuju Gigi dan Mulut Sehat. USU
Press. Medan.
Yuwono, L., 2007. Plak Gigi sumber penyakit Gigi dan
Mulut, http://Lilliana Yuwono.wordpress.com/plak
gigi/ diakses tanggal 20 desember.
106
HUBUNGAN KEBIASAAN MENYIKAT GIGI SEBELUM TIDUR DENGAN
TERJADINYA KARIES GIGI PADA SISWA-SISWI SMP SWASTA
DARUSSALAM MEDAN TAHUN 2014
Ety Sofia Ramadhan
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Menyikat gigi termasuk bagian perawatan gigi dan mulut yang harus dilakukan secara personal, menyikat
gigi adalah persoalan yang sangat relatif mudah dilakukan sehingga hal ini perlu ditumbuhkan menjadi suatu
kebiasaan. Sebagai kebiasaan yang perlu di wajibkan, kegiatan menyikat gigi seharusnya dilakukan minimal
2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
atau membuktikan apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada
siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan. Penelitian ini menggunkan uji chi-square, data primer didapat
melalui kuesioner dan pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa, sampel penelitian sebanyak 40 orang
siswa – siswi SMP Swasta Darussalam Medan. Dari hasil penelitian yang ditemukan mayoritas responden
yang menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies sebanyak 12,5 %, responden yang tidak
melakukan menyikat gigi sebelum tidur frekuensi terjadinya karies 57,5%, nilai p (0,00) ; p < 0,05, secara
statistik ada hubungan yang bermakna. disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara menyikat gigi
sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi.
Kata kunci: Kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur, karies gigi
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi
perhatian yang penting dalam pembangunan kesehatan
yang salah satunya disebabkan oleh rentannya
kelompok anak usia sekolah dari gangguan kesehatan
gigi. Usia sekolah merupakan masa untuk meletakkan
landasan kokoh bagi terwujudnya manusia berkualitas
dan kesehatan merupakan faktor penting yang
menentukan kualitas sumber daya manusia ( Warni,
2009 ).
Tujuan dari sikat gigi adalah untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan mulut terutama
gigi serta jaringan sekitarnya. Menurut Boediharjo
tujuan pembersihan gigi adalah untuk menghilangkan
plak dari seluruh permukaan
gigi. Menyikat gigi
dianjurkan untuk membersihkan seluruh deposit lunak
dan plak pada permukaan gigi dan gusi. Menyikat gigi
yang tepat pada waktunya ialah pagi sesudah sarapan
dan malam sebelum tidur.
Gangguan kesehatan yang sangat khas dan
sering terjadi pada anak-anak adalah penyakit gigi
berlubang atau yang dikenal dengan karies gigi
(Sudarmoko, 2011). Gigi berlubang atau karies adalah
penyakit jaringan keras gigi akibat aktivitas bakteri
yang menyebabkan terjadinya pelunakan dan
selanjutnya lubang pada gigi (Poltekkes Kemenkes
Jakarta, 2012 ).
107
Usia anak 12 tahun adalah usia penting untuk
diperiksa karena umumnya anak-anak meninggalkan
bangku sekolah dasar pada umur 12 tahun. Selain itu,
semua gigi permanen diperkirakan sudah erupsi pada
kelompok umur ini kecuali gigi molar tiga.
Berdasarkan ini, umur 12 tahun ditetapkan sebagai
umur pemantauan global untuk karies ( Karjati, 2010).
Hasil Depkes RI (2002) dalam Warni (2009)
menyimpulkan bahwa masalah kesehatan gigi dan
mulut yang paling dikeluhkan adalah penyakit karies
gigi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 disebutkan pula bahwa prevalensi
karies gigi aktif pada umur 10 tahun ke atas sebesar
52% dan akan terus meningkatkan seiring dengan
bertambahnya umur hingga mencapai 63% pada
golongan umur 45-54 tahun, khusus pada kelompok
umur anak usia sekolah dasar sebesar 66,8%-69,9%
(Depkes RI, 2004).
Sampai saat ini karies masih merupakan
problem dalam ilmu kedokteran gigi dan ini
prevalensinya
cukup
tinggi.
Karena
itu
penanggualangannya, terutama pencegahannya tetap
memerlukan perhatian, apalagi dengan perubahan pola
makan seperti yang terjadi di Indoneisa sekarang ini .
makanan yang lebih praktis dan cepat saji lebih disukai,
makanan kecil yang sangat mudah diperoleh dalam
kemasan menarik, tetapi umumnya bersifat kariogenik,
dipromosikan dengan bantuan iklan yang menggoda,
yang menyebabkan anak-anak lebih tertarik (Sundoro,
2007).
Menyikat gigi sangat penting dalam
mencegah terjadinya karies. Karena salah satu faktor
yang dapat menurunkan frekuensi karies gigi yaitu
menyikat gigi sesudah makan dan sebelum tidur selain
itu waktu yang dianjurkan dalam menyikat gigi
maksimal 5 menit, menyikat gigi pada waktu pagi hari
sesudah sarapan bertujuan untuk membersihkan sisasisa makanan yang melekat di permukaan gigi,
sedangkan menyikat gigi pada waktu malam hari
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang
melekat pada permukaan gigi, dan begitu pentingnya
menyikat gigi sebelum tidur karena kuman-kuman
yang di dalam mulut beraktifitas, dan aktifitas kuman
di malam hari biasanya akan meningkat 2 kali lipat di
bandingkan pada siang hari karena saat tidur di mana
mulut tidak melakukan aktifitas seperti makan minum,
atau berbicara. kemampuan saliva yang berfungsi
untuk menetralisir kuman-kuman dalam mulut juga
berkurang dan sebanyak apapun kuman dalam mulut,
bila kita sudah menyikat gigi dan kondisi mulut sudah
bersih dapat di pastikan tidak akan terjadi karies atau
peradangan pada gusi yang mengakibatkan terjadinya
pembentukan karang gigi (miamiauculz, 2009).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
maka peneliti maka peneliti melakukan penelitian
untuk melihat hubungan kebiasaan menyikat gigi
sebelum tidur malam. Penelitian ini dilakukan pada
siswa SMP swasta Darussalam Medan.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan
menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan pengetahuan siswa-siswi
dalam menerapkan ilmu tentang waktu menyikat
gigi
2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi pihak
sekolah tentang kejadian karies gigi pada siswasiswi SMP Swasta Darussalam Medan.
3. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan
bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di
perpustakaan Jurusan Keperawatan Gigi politehnik
kesehatan Medan.
Hipotesis
Adanya pengaruh kebiasaan menyikat gigi
sebelum tidur malam dengan terjadinya karies gigi.
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah analitik
dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk
mengetahui apakah ada hubungan menyikat gigi sebelum
tidur (independent) dengan karies gigi (dependent) pada
siswa – siswi SMP Swasta Darussalam medan.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karateristik
tentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Setiawan, 2010). Sampel
adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu
populasi ( Saryono, 2008). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa – siswi SMP swasta Darussalam
Medan tahun 2014. Jumlah Populasi dalam penelitian ini
berjumlah 471 orang.
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang akan diteliti yang dianggap
mewakili seluruh populasi (Arikunto ; 2006), sampel
penelitian adalah berjumlah 40 orang, siswa-siswi SMP
Swasta Darussalam Medan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1.2.
Analisa Univariat
Analisa data secara univariat dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden.
Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
masing-masing Variabel independent (bebas) yaitu
menyikat gigi sebelum tidur dan variabel dependent yaitu
karies gigi.
Tabel 1
Distribusi frekuensi menyikat gigi sebelum tidur
malam pada siswa-siswi SMP Swasta
Darussalam Medan Tahun 2014.
Menyikat gigi
frekuensi
Proporsi (%)
sebelum tidur
Melakukan
16
40
Tidak dilakukan
24
60
Jumlah
40
100
Dari tabel distribusi frekuensi diatas, dapat
diketahui bahwa yang menyikat gigi sebelum tidur
sebanyak 16 orang (40%) dan yang tidak menyikat gigi
sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%).
Tabel 2
Distribusi frekuensi karies gigi siswa-siswi
swasta Darussalam Medan Tahun 2014
Karies
Frekuensi
Proporsi (%)
Ada
28
70
Tidak ada
12
30
Jumlah
40
100
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi diatas,
dapat diketahui bahwa dari 40 siswa-siswi Swasta
Darussalam Medan tahun 2013 karies gigi sebanyak 28
orang (70%) dan tidak karies gigi sebanyak 12 orang
(30%).
1.2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat berguna untuk mengetahui
hubungan menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadinya
karies gigi pada siswa-siswi SMP swasta Darussalam
Medan tahun 2014 dengan menggunakan uji chi-square.
108
Tabel 3
Distribusi frekuensi hubungan kebiasan
menyikat gigi sebelum tidur dengan terjadi
karies pada siswa-siswi SMP Swasta
Darussalam Medan Tahun 2014
Menyikat gigi
sebelum tidur
Ada
Karies
tidak ada
TOTAL
F
5
%
12,5
F
11
%
27,5
F
16
%
40
Tidak melakukan 23
Total
28
57,5
70
1
12
2,5
30
24
40
60
100
Melakukan
Sig p
0,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas, diketahui
bahwa dari 40 orang siswa-siswi SMP yang melakukan
sikat gigi sebelum tidur 16 orang (40%) dimana yang
menderita karies gigi sebanyak 5 orang (12,5%) dan yang
tidak mengalami karies gigi 11 orang (27,5%), yang tidak
melakukan sikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang
(60%) dimana yang menderita karies gigi 23 orang
(57,5%) dan yang tidak menderita karies gigi sebanyak 1
orang (2,5%). Untuk menganalisa hubungan menyikat gigi
sebelum tidur dengan karies gigi sig α (0,05), dari nilai
signifikasinya probabilitas menyikat gigi sebelum tidur
dengan karies adalah sig p (0,00)< nilai sig α (0,05). Hal ini
membuktikan bahwa ada hubungan menyikat gigi sebelum
tidur dengan karies.
Pembahasan
Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang tidak
menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 24 orang (60%)
yang menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 16 orang
(40%). Hal ini menunjukan bahwa lebih banyak siswa
SMP Swasta Darussalam yang tidak menyikat gigi gigi
sebelum tidur malam, sementara waktu yang terbaik untuk
menyikat gigi salah satunya adalah sebelum tidur. Sesuai
pendapat Sudarmoko (2011), waktu yang terbaik untuk
menyikat gigi adalah setelah makan dan sebelum tidur
Menyikat gigi setelah makan bertujuan mengangkat sisa –
sisa makan yang menempel di permukaan ataupun disela –
sela gigi dan gusi. Sedangkan menyikat gigi sebelum tidur
berguna untuk menahan perkembangbiakan bakteri dalam
mulut karena dalam keadaan tidur tidak diproduksi ludah
yang berpungsi membersihkan gigi dan mulut secara
alami, untuk itu gigi harus dalam kondisi bersih selama
tidur.
Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang
memiliki karies gigi sebanyak 28 orang (70%) dan yang
tidak memiliki karies gigi sebanyak 12 orang (30%). Hal
ini menunjukan bahwa sebagian besar siswa-siswi SMP
swasta Darussalam Medan menderita karies gigi.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian
yang terintegrasi dari kesehatan secara keseluruhan,
sehingga perihal kesehatan gigi dan mulut perlu
dibudayakan di seluruh lingkungan keluarga dan
masyarakat. Data terbaru riset kesehatan tahun 2007 oleh
Depertemen Kesehatan RI menunnjukan bahwa 72,1%
penduduk mempunyai pengalaman karies (gigi berlubang).
Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang
melakukan sikat gigi sebelum tidur 24 orang (60%)
menderita karies gigi sebanyak 5 orang (12,5%) dan yang
109
tidak karies sebayak 11 orang (27,5%), yang tidak
melakukan sikat gigi sebelum tidur 16 orang (40%) yang
menderita karies 23 orang (57,5%) dan tidak karies 1 orang
(2,5%)
Setelah dilakukan uji statistik chi-square dengan
tindakan kepercayaan 95% dengan sig α (0,05) bahwa nilai
signifikasi propabilitasnya menyikat gigi sebelum tidur
dengan karies gigi adalah sig p (0,00) < nilai sig α (0,05).
Hal ini membuktikan bahwa “ Ada hubungan menyikat
gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies gigi pada
siswa-siswi SMP swasta Darussalam Medan”.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Bedi Oktrianda
(2011) karies menjadi salah satu bukti tidak terawatnya
kondisi gigi dan mulut masyarakat Indonesia. Menyikat
gigi merupakan masalah yang sering diabaikan oleh
masyarakat. Penyebab karies gigi salah satunya karena sisa
makanan yang menempel pada permukaan gigi. Upaya
preventif yang paling efektif adalah menjaga kebersihan
gigi dan mulut dari sisa-sisa makanan yang menempel
pada gigi. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya
dengan menyikat gigi secara teratur dan benar, antara lain
dilakukan setelah makan atau saat akan tidur malam.
Mengingat pentingnya fungsi gigi maka sejak dini
kesehatan gigi anak-anak perlu diperhatikan dalam rangka
tindakan pencegahan karies gigi. Walaupun kegiatan
menyikat gigi merupakan kegiatan yang sudah umum
namun masih ada kekeliruan baik dalam pengertiannya
maupun dalam pelaksanaannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang
tidak menyikat gigi sebelum tidur sebanyak 24
orang (60%) yang menyikat gigi sebelum tidur
sebanyak 16 orang (40%)..
2. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang
memiliki karies gigi sebanyak 28 orang (70%)
dan yang tidak memiliki karies gigi sebanyak
12 orang (30%).
3. Siswa-siswi SMP Swasta Darussalam yang
melakukan sikat gigi sebelum tidur 24 orang
(60%) menderita karies gigi sebanyak 5 orang
(12,5%) dan yang tidak mengalami karies
sebayak 11 orang (27,5%), Siswa yang tidak
melakukan sikat gigi sebelum tidur 16 orang
(40%) menderita karies 23 orang (57,5%) dan
tidak menderita karies 1 orang (2,5%)
4. Hasil uji statistik chi-square dengan tindakan
kepercayaan 95% dengan sig α (0,05) bahwa
nilai signifikasi propabilitasnya menyikat gigi
sebelum tidur dengan karies gigi adalah sig p
(0,00) < nilai sig α (0,05). Hal ini
membuktikan bahwa Ada hubungan menyikat
gigi sebelum tidur dengan terjadinya karies
gigi.
Saran
1.
Diharapkan bagi pihak-pihak terkait untuk
selalu menumbuhkan kebiasaan menyikat gigi
2.
sebelum tidur malam, dengan mengingatkan
melalui media-media informasi yang tersedia.
Diharapkan guru dan staf pendidik perlu
memberikan informasi tentang kesehatan gigi
dan mulut terutama tentang pentingnya
menyikat gigi sehinga pelajar tidak hanya
sekedar mengetahui tentang kesehatan gigi
dan mulut tetapi diharapkan dapat menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sopiyudin Dahlan 2011. Statistik untuk kedokteran dan
kesehatan. Jakarta : Salemba Medika
Machfoedz, ireham. 2008. Menjaga kesehatan gigi dan
mulut
anak-anak
Ibu
Hamil Yogyakarta: Fitramaya
Miamiauculz, 2009. Pentingnya Melakukan Hal Ini
Sebelum Tidur, diakses 2
(http://miamiauculz.wordpress.com/2009/11/28/pe
ntingnya-melakukan- hal-ini-sebelum-tidur/)
Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metodologi penelitian
kesehatan.
Jakarta
:
Rineka Cipta
Panjaitan M. Ilmu pencegahan karies gigi. Ed ke-1.
Medan
:
Universitas
Sumatera Utara Press, 1997:11-22.
Pintauli S., Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat.
Medan
:
USU
Press,
2008: 10-15
Ramadhan, Ardyan Gilang. 2010. Serba – serbi Kesehatan
Gigi
dan
mulut,
Jakarta.
Shinta Margareta. 2012 101 Tips Dan terapi alami agar
Gigi
Putih
dan
Sehat
Yogyakarta: pustaka cerdas
Tarigan R. Karies gigi. Hipokrates, Jakarta,1999 : 1-2.
Tim Poltekkes kemenkes Jakarta, 2012. Kesehatan remaja
problem
dan
solusinya. Jakarta, Salemba Medika.
110
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA
TERHADAP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI DESA KUTA MBELIN
KECAMATAN LAU BALENG KABUPATEN KARO
Rini Andarwati
Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Penggunaan antibiotik, yang sesuai atau tidak sesuai, telah dijelaskan sebagai pendorong utama bagi
munculnya peningkatan dan penyebaran resisten antibiotik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ketepatan penggunaan antibiotik pada masyarakat khususnya ibu rumah tangga. Salah satu faktor yang
penting adalah tingkat pengetahuan ibu rumah tangga itu sendiri mengenai antibiotik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut, seperti tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga, penjelasan
oleh dokter, serta anggapan-anggapan lain yang menimbulkan adanya kesalahan saat mengkonsumsi
antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga
terhadap penggunaan antibiotik di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Metode
penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif dan tenik pengambilan sampel digunakan adalah teknik
simple random sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah 250 ibu rumah tangga dan jumlah sampel 130
.Hasil penelitian menunjukkankan bahwa pengetahuan ibu rumah tangga berada dalam kategori baik
(41,54%),pada kategori cukup (50%) dan pada kategori kurang (8,46%). Sikap ibu rumah tangga berada
dalam kategori baik (65,38%), pada kategori cukup (33,84%), dan pada kategori kurang (0,78%).
Kata kunci : Pengetahuan, sikap, penggunaan antibiotik
LATAR BELAKANG
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ketepatan penggunaan antibiotik pada masyarakat
khususnya ibu rumah tangga. Salah satu faktor yang
penting adalah tingkat pengetahuan ibu rumah tangga
itu sendiri mengenai antibiotik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut, seperti
tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga, penjelasan
oleh dokter, serta anggapan-anggapan lain yang
menimbulkan adanya kesalahan saat mengkonsumsi
antibiotik.
Tingkat pengetahuan masyarakat tetang
antibiotik telah diteliti diberbagai daerah. Penelitian
yang dilakukan oleh Lim dan Teh (2012) di Putrajaya,
Malaysia, menyebutkan bahwa 83% responden tidak
mengetahui bahwa antibiotik tidak bekerja untuk
melawan infeksi virus dan 82% responden tidak
mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati
batuk dan flu, sementara 82,5% responden terlihat
sangat berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang
dapat menyebabkan alergi. Penelitian tersebut juga
menyatakan bahwa sekitar setengah dari mereka
(52,1%) tidak mengetahui bahwa antibiotik dapat
menimbulkan banyak efek samping. Beberapa
pernyataan dari responden diantaranya adalah tidak
masalah menghentikan pemakaian antibiotik ketika
gejala telah membaik dan mengkonsumsi sedikit
111
antibiotik dari yang diresepkan dokter akan lebih sehat
daripada mengkonsumsi seluruh antibiotik yang
diresepkan (Pratama, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Pulungan
(2011) di kota Medan mengenai hubungan tingkat
pengetahuan tentang antibiotik dan penggunaannya di
kalangan mahasiswa non medis Universitas Sumatera
Utara mendapatkan bahwa 77% mahasiswa non medis
USU memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi
terhadap antibiotik, 18% mahasiswa non medis USU
memiliki tingkat pengetahuan sedang dan hanya hampir
5% mahasiswa non medis USU yang memiliki
pengetahuan yang rendah terhadap penggunaan
antibiotik.
Menurut survei awal penulis, tingkat
pendidikan di daerah tersebut masih rendah, sehingga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan terhadap antibiotik. Pernyatan-pernyataan
yang sering penulis dengar mengenai penggunaan
antibiotik antara lain mereka berhenti menggunakan
antibiotik setelah tidak merasa sakit lagi atau mereka
membeli obat antibiotik sendiri tanpa resep dari dokter
karena malas untuk pergi ke dokter.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan
dan sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan
antibiotik.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan
masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana
gambaran pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga
terhadap penggunaan antibiotik di desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan
sikap ibu rumah tangga terhadap penggunaan antibiotik
di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng
Kabupaten Karo.
Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu
rumah
tangga
terhadap
penggunaan
antibiotik.
2. Untuk mengetahui sikap ibu rumah tangga
terhadap penggunaan antibiotik.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
pada
penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif
(Notoatmodjo
2010)
yaitu
mendiskripsikan
pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga terhadap
penggunaan Antibiotik di Desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kababupaten Karo.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Kuta Mbelin
Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Penelitian
dilakukan dari bulan Juni sampai bulan Juli 2014.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini seluruh ibu rumah
tangga di Desa Kuta Mbelin Kecamaten Lau Baleng
Kabupaten Karo. Jumlah populasinya sebanyak 250
orang.
Sampel penelitian ini adalah sebagian dari
seluruh ibu rumah tangga yang menjadi target populasi.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah secara acak sederhana (Simple Random
Sampling). Berdasarkan tabel penentuan jumlah sampel
dari populasi tertentu yang dikembangkan dari Isaac
dan Michael (Sugiyono, 2012), yaitu untuk populasi
250, untuk taraf kesalahan 10 % jumlah sampelnya
adalah 130.
Cara pengumpulan data
1. Data primer
Data primer diperoleh secara langsung dengan
menggunakan kuesioner yang diberikan kepada
responden yang telah berisi daftar pertanyaan serta
pilihan jawaban yang telah disiapkan.
2. Data sekunder
Data sekunder dapat diperoleh dari kantor
kepala desa di Desa Kuta Mbelin kecamatan Lau
Baleng kab Karo.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan melakukan tahapan
sebagai berikut:
a. Editing
Langkah ini bertujuan untuk memperoleh data
yang baik agar diperoleh informasi yang benar.
Kegiatan yang dilakukan dengan melihat dan
memeriksa apakah semua jawaban telah terisi.
b. Coding
Pemberian kode agar proses pengolahan lebih
mudah, pengkodean didasari pada jawaban yang
diberi skor atau nilai tertentu.
c. Tabulasi
Untuk melihat persentase dari setiap table, data
bersifat deskriptif
Analisa data dilakukan dengan melihat jumlah
responden dan persentase dari setiap jawaban, analisa
bersifat deskriptif.
Cara mengukur variabel
1. Pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan menggunakan
Skala Guttman (Sugiyono, 2012).
Nilai tertinggi tiap satu pertanyaan dalah 1,
jumlah pertanyaan 10, maka nilai tertinggi setiap dari
seluruh pertanyaan adalah 10, pengetahuan dibagi menjadi
3 tingkat, yaitu
1. 76%-100% jawaban benar :pengetahuan baik
2. 56%-75% jawaban benar : pengetahuan
cukup
3. <56% jawaban benar : pengetahuan kurang
2. Sikap
Sikap diukur berdasarkan skala Likert.
(Sugiyono, 2012). Nilai tertinggi tiap satu pertanyaan
adalah 4, jumlah pertanyaan 10, nilai tertinggi seluruh
pertanyaan adalah 40. Sikap dapat dibagi 3 tingkat,
yaitu:
1. 76%-100% jawaban benar : sikap baik
2. 56%-75% jawaban benar : sikap cukup
3. <56% jawaban benar : sikap kurang
Bobot setiap pertanyaan adalah sebagai berikut : Sangat
setuju bobot 4, Setuju bobot 3, Tidak setuju
bobot 2,
Sangat tidak setuju bobot 1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Profil Lahan
Desa Kuta Mbelin berada di Kecamatan Lau
Baleng Kabupaten Karo. Batas-batas wilayahnya yaitu :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Cerumbu
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuta
Kendit
3. Sebelah Timur berbatasab dengan Desa Pola
Tebu
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kuta
Pengkih
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor
Kepala Desa Kuta Mbelin, penduduk desa ini berjumlah
112
956 orang yang terdiri dari laki-laki 453 orang dan
perempuan 503 orang . Dan jumlah ibu rumah tangga yang
berumur 20-50 tahun yaitu 250 orang. Pada umumnya
Mata pencaharian penduduk di desa ini adalah petani dan
wiraswasta. Luas Desa Kuta Mbelin adalah 5 hektar
Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diperoleh dari hasil
wawancara meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik
Responden Menurut Umur
Jumlah
Umur
%
(orang)
20-25
31
23,8
26-30
30
23,1
31-35
21
16,2
36-40
23
17,7
41-45
15
11,5
46-50
10
7,7
Total
130
100,0
Dari tabel 4.1 distribusi frekuensi karakteristik
responden menurut umur responden yang paling
banyak adalah 20-25 tahun 31 orang (23,8%) dan
paling sedikit adalah umur 46-50 tahun 10 orang
(7,7%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik
Responden Menurut Pendidikan
Jumlah
Pendidikan
%
(orang)
SD
11
8,5
SMP
33
25,4
SMA
70
53,8
D3
12
9,2
S1
4
3,1
Total
130
100,0
Dari tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi
karekteristik responden menurut pendidikan responden
yang paling banyak adalah SMA 70 orang ( 53,8%) dan
paling sedikit adalah S1 4 orang (3,1%).
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik
Responden Menurut Pekerjaan
Pekerjaan
Jumlah
%
Ibu Rumah Tangga
41
31,5
Petani
53
40,8
Wiraswasta
30
23,2
Guru/PNS
6
4,6
Total
130
100,0
Dari tabel 4.3 dilihat dari distribusi frekuensi
karakteristik responden menurut pekerjaan responden yang
paling banyak adalah petani 53 orang (40,8%) dan ibu
rumah tangga 41 orang (31,5%) dan paling sedikit adalah
Guru/PNS 6 orang (4,6%).
Pengetahuan Responden
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik
Responden
No.
Pertanyaan
Jumlah
%
Menurut ibu antibiotik merupakan obat yang dapat mengobati infeksi yang
1
disebabkan oleh bakteri
 Ya
116
89,20
 Tidak
14
10,80
2
3
4
5
113
Menurut ibu penggunaan antibiotik harus sesuai dengan petunjuk dokter
 Ya
 Tidak
127
3
97,70
2,30
Menurut ibu, penggunaan antibiotik yang diresepkan dokter harus dikonsumsi
sampai habis walaupun gejala infeksi sudah sembuh
 Ya
 Tidak
84
46
64.60
35,40
50
80
38,50
61,50
64
66
49,20
50,80
Menurut ibu penyakit influenza tidak dapat diobati dengan menggunakan
antibiotik
 Ya
 Tidak
Menurut ibu antibiotik merupakan obat yang tidak dapat mengobati infeksi yang
disebabkan virus
 Ya
 Tidak
6
Menurut ibu antibiotik dapat menimbulkan efek samping
 Ya
 Tidak
7
Menurut ibu antibiotik tidak dapat digunakan bersama kerabat
mempunyai penyakit yang sama
 Ya
 Tidak
8
9
10
86
44
66,20
33,80
68
62
52,30
47,70
Menurut ibu bahaya dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
menyebabkan kuman kebal terhadap antibibiotik
 Ya
 Tidak
112
18
86,15
13,84
Menurut ibu antibiotik dapat menyebabkan keracunan jika digunakan melebihi
dosis yang diberikan dokter
 Ya
 Tidak
121
9
93,07
6,92
Menurut ibu penyimpanan antibiotik yang baik harus terhindar dari sinar
matahari
 Ya
 Tidak
124
6
95,38
4,61
Dari tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa responden
mengetahui bahwa antibiotik merupakan obat yang dapat
mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri sebesar
116 orang yang menjawab ya (89,20%). Responden juga
mengetahui bahwa penggunaan antibiotik harus sesuai
dengan petujuk dokter (97,70%). Sebanyak 84 responden
(64,60%) menjawab ya tentang penggunaan antibiotik
yang diresepkan dokter harus dikonsumsi sampai habis
walaupun gejala infeksi sudah sembuh.
Namun pengetahuan responden tentang penyakit
influenza tidak dapat diobati dengan menggunakan
antibiotik masih kurang yaitu 50 responden menjawab ya
(38,50%) dan 80 responden menjawab tidak (61,50%).
Responden juga kurang mengetahui bahwa antibiotik
merupakan obat yang tidak dapat mengobati infeksi yang
disebabkan virus dapat dilihat dari sedikitnya responden
yang menjawab ya yaitu 64 orang (49,20%) dan yang
menjawab tidak 66 orang (50,80%).
Responden juga mengetahui bahwa antibiotik
dapat menimbulkan efek samping (66,20%), responden
juga mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat digunakan
bersama kerabat sendiri yang mempunyai penyakit yang
sama (52,30%). Sebanyak 112 (86,15%) responden
sendiri yang
mengetahui bahwa bahaya dari penggunaan antibiotik yang
tidak tepat dapat menyebabkan kuman kebal terhadap
antibibiotik. sebanyak 121 (93,07%) responden
mengetahui bahwa antibiotik dapat menyebabkan
keracunan jika digunakan melebihi dosis yang diberikan
dokter. Responden juga mengetahui bahwa penyimpanan
antibiotik yang baik harus terhindar dari sinar matahari.
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan
ibu rumah tangga terhadap penggunaan
Antibiotik
Pengetahuan
Frekuensi (n)
Persen (%)
Baik
54
41,54
Cukup
65
50
Kurang
11
8,46
Berdasarkan tabel di atas, didapati pengetahuan
responden pada kategori
baik sebesar 41,54%, pada
kategori cukup sebesar 50% sedangkan kategori kurang
sebesar 8,46%.
114
Sikap Responden
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Penggunaan Antibiotik
No
1
2
3
Pertanyaan
Responden
Jumlah
%
Menurut ibu penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan tanpa resep dokter
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
64
63
1
2
49,23
48,50
0.76
1,50
Menurut ibu antibiotik tidak diperlukan untuk semua penyakit
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
18
70
34
8
13,80
53,80
26,20
6,20
Menurut ibu pemakaian obat antibiotik harus dihentikan apabila terjadi reaksi alergi
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
43
79
7
1
33,08
60,76
5,38
0,76
56
71
1
2
43,08
54,61
0.80
1,50
4
Menurut ibu wanita yang sedang hamil, menyusui, atau alergi terhadap antibiotik tertentu
harus laporkan kepada dokter yang memeriksa
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
5
Menurut ibu dosis dan lama penggunaan antibiotik yang di tetapkan oleh dokter harus
dipatuhi walaupun telah merasa sehat
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
32
59
28
11
24,60
45,40
21,50
8,50
Menurut ibu apabila penggunaan antibiotik menimbulkan gejala alergi atau infeksi yang
diobati tidak berkurang, maka perlu berkonsultasi kedokter lagi
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
64
62
3
1
49,20
47.70
2,30
0,80
Menurut ibu antibiotik harus dihabiskan sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya
minimal 3-4 hari)
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
40
78
12
0
30,80
60
9,20
0
Menurut ibu penggunaan antibiotik harus sesuai dengan mengikuti petunjuk takarannya,
jangan mengurangi atau menambahnya
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
61
67
2
0
46,92
51,53
1,53
0
6
7
8
115
9
10
Menurut ibu penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan efek samping
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
43
83
3
1
33,08
63,80
2,30
0,80
Menurut ibu antibiotik tidak boleh di simpan untuk penggunaan penyakit lain pada masa
yang akan datang
 Sangat Setuju
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
47
63
10
10
36,15
48,46
7,69
7,69
Dari tabel 4.6 responden memiliki sikap baik
dilihat dari pernyataan responden sangat setuju (49,20%)
dan bahwa penggunaan antibiotik tidak boleh secara
sembarangan tanpa resep dokter. Responden setuju
sebanyak 70 orang (53,80%) bahwa antibiotik tidak
diperlukan untuk semua penyakit.
Sikap responden baik juga terhadap pemakaian
obat antibiotik harus dihentikan apabila terjadi reaksi alergi
yaitu setuju (60,76%) sebanyak 79 responden. 71
responden setuju (54,61%) bahwa wanita yang sedang
hamil, menyusui, atau alergi terhadap antibiotik tertentu
harus laporkan kepada dokter yang memeriksa. Sebesar 59
responden setuju (45,40) bahwa dosis dan lama
penggunaan antibiotik yang ditetapkan oleh dokter harus
dipatuhi walaupun telah merasa sehat.
Dari 130 responden 64 responden sangat setuju
(49,20%) bahwa apabila penggunaan antibiotik
menimbulkan gejala alergi atau infeksi yang diobati tidak
berkurang, maka perlu berkonsultasi kedokter lagi dan 78
responden setuju (60%) bahwa antibiotik harus dihabiskan
sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya minimal 3-4
hari. Sikap baik yang ditunjukkan oleh responden terhadap
penggunaan antibiotik harus sesuai dengan mengikuti
petunjuk
takarannya, jangan
mengurangi atau
menambahnya setuju (51,53%) sebesar 67 orang.
Sebanyak 83 responden setuju (63,84%) bahwa
penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan
efek samping. 67 responden juga setuju (48,46%) bahwa
antibiotik tidak boleh disimpan untuk penggunaan penyakit
lain pada masa yang akan datang.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap ibu
rumah tangga terhadap penggunaan
antibiotik
Sikap
Frekuensi (n)
Persen (%)
Baik
85
65,38
Cukup
44
33,84
Kurang
1
0,78
Berdasarkan tabel diatas, didapati sikap
responden baik yang mempunyai persentasi sebesar
65,38% sedangkan sikap dengan kategori cukup sebesar
33,84% dan 0,78% tergolong dalam kategori sikap kurang
Pembahasan
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa
responden (89,20%) mengetahui bahwa antibiotik
merupakan obat yang dapat mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Responden juga mengetahui
(86,15%) bahwa bahaya penggunaan antibiotik yang tidak
tepat dapat menyebabkan kuman kebal terhadap antibiotik.
Pengetahuan responden (64,60%) cukup baik tentang
penggunaan antibiotik yang diresepkan dokter harus
dikonsumsi sampai habis walaupun gejala infeksi sudah
sembuh. Sedangkan pengetahuan responden (38,5%) tidak
baik tentang penyakit influenza tidak dapat diobati dengan
menggunakan antibiotik.
Berdasarkan
hasil
distribusi
frekuensi
pengetahuan ibu rumah tangga terhadap penggunaan
antibiotik maka dapat disajikan hasil penelitian dalam tabel
4.5. Dimana responden yang memiliki pengetahuan baik
sebesar (41,54%), responden yang memiliki pengetahuan
cukup sebesar (50%) dan responden yang memiliki
pengetahuan kurang sebesar (8,46%). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki
pengetahuan cukup lebih banyak daripada responden yang
memiliki pengetahuan baik. Hal ini sama dengan penelitian
lain dengan judul Karekteristik Masyarakat dan
Penggunaan Antibiotik secara bebas di Kecamatan Medan
Timur Kota Medan menunjukkan bahwa 50,5% responden
memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik
dan terdapat hubungan bermakna antara penggunaan
antibiotik secara bebas dengan tingkat pendidikan
(Larasati, 2013).
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa 49,23%
responden sangat setuju dan 50% setuju bahwa
penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan
tanpa resep dokter. Sikap responden baik terhadap
antibiotik juga ditunjukkan dengan (30,8%) responden
sangat setuju dan 80% setuju bahwa antibiotik harus
dihentikan sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnya
minimal 3-4 hari). Responden 43,08% sangat setuju
54,61% setuju bahwa ibu yang sedang hamil, menyusui
atau alergi terhadap antibiotik tertentu harus melaporkan
kepada dokter yang memeriksa.
Berdasarkan hasil distribusi sikap ibu rumah
tangga terhadap penggunaan antibiotik maka dapat
disajikan hasil penelitian dalam tabel 4.7 dimana
responden yang memiliki sikap yang baik sebanyak 85
116
orang (65,38%) responden yang memiliki sikap cukup
sebanyak 44 orang (33,84%) dan responden yang memiliki
sikap kurang 1 orang (0,78%).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
responden yang memiliki sikap baik lebih banyak daripada
responden yang memiliki pengetahuan cukup. Hal ini sama
dengan penelitian lain dengn judul penelitian Tingkat
pengetahuan dan sikap Mahasiswa Universiti Sains
Malaysia kampus Kejuruteraan, Ibong Tebal, Pulau Pinang
tentang Penggunaan Antibiotik menyatakan bahwa
sebanyak 57% mempunyai sikap yang baik (Harahap,
2011).
Walaupun pengetahuan pada penelitian ini dalam
kategori cukup sedangkan sikap baik hal ini bisa saja
terjadi, karena sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pengalaman pribadi. Untuk dapat
menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap
akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor
emosional. Faktor lainnya adalah pengaruh orang lain yang
dianggap penting. Pada umumnya individu cenderung
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap
yang dianggap penting. Kecendrungan ini dimotivasi oleh
keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting,
faktor lainnya yaitu media massa. Dalam pemberitaansurat
kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita
yang seharusnya factual disampaikan secara obyektif
cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya
berpengaruh terhadap sikap konsumen (Azwar,2005).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
1. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga di
Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng
Kabupaten Karo terhadap penggunaan
antibiotik, berada pada kategori baik sebanyak
54 orang (41,54%), sedangkan pada kategori
cukup sebanyak 65 orang (50%) dan pada
kategori kurang sebanyak 11 orang (8,46%).
Jadi pengetahuan ibu rumah tangga paling
banyak berada pada kategori cukup.
2. Sikap ibu rumah tangga di Desa Kuta Mbelin
kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo
terhadap penggunaan antibiotik, berada pada
kategori baik sebanyak 85 orang (65,38%),
sedangkan pada kategori cukup sebanyak 44
orang (33,84%) dan pada kategori kurang
sebanyak 1 orang (0,78%). Jadi Sikap ibu
rumah tangga paling banyak berada pada
kategori baik.
Saran
1.
117
Untuk meningkatkan pengetahuan ibu rumah
tangga di Desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau
2.
3.
Baleng Kabupaten Karo terhadap penggunaan
antibiotik.
Diharapkan
instansi
kesehatan
dapat
melakukan sosialisasi dan penyuluhan di Desa
Kuta Mbelin Kecematan Lau Baleng
Kabupaten Karo.
Kepada peneliti berikutnya untuk melakukan
penelitian ke desa-desa lain tentang
penggunaan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar., S. Sikap Manusia Teori dan Pengukuran.
Liberty:Yogyakarta.,2005
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia., 2009.
Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Hardiana., 2011. Tingkat Pengetahuan dan Sikap
Mahasiswa Universiti Sains Malaysia Kampus
Kejuruteraan, Ibong Tebal, Pulau Pinang
Tentang Penggunaan Antibiotik pada Tahun
2011
<http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31
332>[diakses tanggal 20 juli 2014]
Larassati, H., 2013. Karekteristik Masyarakat dan
Penggunaan Antibiotik Secara Bebas di
Kecamatan Medan Timur Kota Medan
<http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38
6937>[diakses tanggal 20 juli 2014]
Moorthy ,Y.T., 2013. Gambaran Pengetahuan
Masyarakat Terhadap Penggunaan Atibiotika di
Puskesmas Padang Bulan Medan.
<http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40
566>[diakses tanggal 5 Juli 2014]
Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Prilaku
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Pratama, M.A., Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Terhadap Pengugunaan Antibiotik di Kelurahan
Sukamaju, Kecamatan Medan Johor, Kota
Madya Medan,
<http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39
872>[diakses tanggal 5 Juli 2014]
Pulungan, Sahara., 2011. Tingkat Pengetahuan Tentang
Antibiotika di Kalangan Mahasiswa Non Medis
Universitas
Sumatra
Utara.
<http://repository.usu.ac.id./bitstream/123456789
/3133215>[diakses tanggal 5 Juli 2014]
Sugiyono, 2012., Metode Penelitian Pendidikan
pendekatan Kuantitatif, Kulitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Tjay, T.H., dan Rahardja, K.,
2002. Obat-obat
Penting.Edisi V. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Utami,R.E., 2012. Antibiotika, Resisten RasionalitasTerapi
Wawan., Dewi ., 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku Manusia, Yogyakarta. Muha
Medika.
Werner, David.,Thuman, Carol., Maxwell, Jane., 2007.
Ketika Tidak Ada Dokter Buku Panduan
Perawatan Kesehatan Desa. Bogor. General Art.
Widodo,R.S.Si., 2004. Panduan Keluarga Memilih Dan
Menggunakan Obat.Yogyakarta: Kreasi Wacana
Widjajanti N., 2002. Obat-obatan. Yogyakarta: Kanisius
118
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESENTASI BOKONG
PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT UMUM KOTA
PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2013
Setiawaty Suluhbara
Prodi Kebidanan Padangsidimpuan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstra k
Pengawasan Antenatal Care penting bagi wanita hamil mulai dari trimester I sampai trimester III agar
komplikasi dalam kehamilan seperti Presentasi Bokong dapat dikenali secara dini, dalam 11% kematian
perinatal disebabkan oleh Presentasi Bokong. Diketahuinya faktor-faktor presentasi bokong pada ibu hamil
di rumah sakit umum daerah kota padangsidimpuan. Metode Penelitian Kuantitatif dengan menggunakan
data sekunder dari Medical Record di RSUD Kota Padangsidimpuan dengan sampel total 43 ibu hamil.
Jumlah Presentasi Bokong 43 dari 1081 ibu hamil pada tahun 2013,berdasarkan paritas mayoritas pada
multipara sebanyak 24 ibu hamil (55,81%).Berdasarkan Faktor Ibu Presentasi Bokong mayoritas dengan
keadaan panggul sempit sebanyak 30 ibu hamil (69,77%),berdasarkan Faktor Janin Presentasi Bokong
mayoritas pada keadaan Hidramnion atau Oligohidramnion sebanyak 18 ibu hamil (41,86%),berdasarkan
lilitan tali pusat sebanyak 23 ibu hamil (53,49%),berdasarkan kelainan uterus sebanyak 9 ibu hamil (20,93%)
dan berdasarkan Kunjungan ANC mayoritas pada kunjungan 2 kali sebanyak 13 ibu hamil (30,23%).
Terdapat kesenjangan karakteristik variabel paritas, ibu hamil dengan Multipara lebih besar kemungkinan
terjadinya Presentasi Bokong.
Kata kunci : Presentasi bokong, Ibu hamil
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO)
mencatat pada tahun 2007 angka kematian ibu lebih dari
300 hingga 400/100.000 kelahiran hidup dengan penyebab
kematian adalah perdarahan 28%,eklamsi 24%,infeksi
11%,abortus 5%,partus lama/macet 5%,emboli obstetri
3%,komplikasi puerperium 8%,lain-lain 16%.Sedangkan
Angka Kematian Bayi (AKB) Tahun 2009 cenderung
meningkat dari tahun 2008 yaitu 17,5 per 1000 kelahiran
hidup menjadi 20,1 per 1000 kelahiran hidup. Kematian
bayi tersebut disebabkan oleh 28,9% karena IUFD (Intra
Uteri Fetal Death),asfiksia 12,2%, BBLR (Berat Badan
Lahir Rendah) 20,4%,Malpresentasi 11% cacat bawaan
4,8%, sepsis 8,9% dan lain-lain 13,8%.
Angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah
satu indikator terhadap kesehatan sebuah negara saat ini
masih sangat tinggi di Indonesia.Menurut hasil Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 AKI
per 100.000 kelahiran hidup adalah adalah Brunai
Darussalam 13,Singapura 14,Malaysia 62,Thailand
110,Vietnam 150,Philipina 230 dan Indonesia 359.Dari
data tersebut ternyata AKI Indonesia tertinggi dari ketujuh
Negara tersebut yaitu 359 per 100.000 kelahiran
hidup,sementara AKI yang terendah adalah Brunai
Darussalam.Berdasarkan survei demografi kesehatan
indonesia (SDKI),AKI per 100.000 kelahiran hidup
menurun secara bertahap.Dari 390 per 100.0000 kelahiran
hidup (Tahun 1991) menjadi 334 (Tahun 1997),307
119
(Tahun 2003) dan 228 (Tahun 2007),Tahun 2012
meningkat menjadi 359 (INFID,2012).
Adapun penyebab kematian bayi salah satunya
adalah Malpresentasi yaitu Presentasi Dahi,Presentasi
Muka ,Presentasi Majemuk,dan Presentasi Bokong.Namun
demikian dikarenakan Jenis Malpresentasi yang sangat
beragam,Peneliti
memfokuskan
pada
Presentasi
Bokong.Presentasi Bokong terjadi disebabkan oleh
Paritas,Faktor Ibu,Faktor Janin,Lilitan Tali Pusat,Kelainan
Uterus,Kunjungan ANC yang kurang.Faktor Ibu meliputi
Plasenta Previa dan panggul sempit sedangkan Faktor
Janin
meliputi
Hidrosefalus
atau
anensefalus,Gemelli,Hidramnion atau Oligohidramnion
dan Prematuritas.Oleh karena itu Presentasi Bokong
memerlukan intervensi dan tindakan yang tepat untuk
meminimalkan terjadinya kematian bayi yaitu dengan cara
melaksanakan kunjungan ANC pada masa kehamilan.
Berdasarkan hasil dari study pendahuluan yang
dilakukan di RSUD Kota Padangsidimpuan, diperoleh
data Ibu Hamil Januari 2013 - Desember 2013, Jumlah
semua Ibu Hamil sebanyak 1081 Orang. Sedangkan Ibu
Hamil yang mengalami Presentasi Bokong sebanyak 43
orang.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui Faktor-faktor yang
mempengaruhi Presentasi Bokong Pada Ibu Hamil di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan
Tahun 2013.
MANFAAT PENELITIAN
1.
2.
Secara Teoritis
Meningkatkan pengetahuan dalam upaya
pemeliharaan, peningkatan dan pemanfaatan
fasilitas kesehatan yang tersedia.
Secara Praktik
Data atau informasi hasil penelitian ini dapat
menjadi dimanfaatkan Petugas Rumah Sakit
Kota Padangsidimpuan terutama petugas
dibagian bersalin dalam mengantisipasi
terjadinya resiko dalam menangani masalah
Presentasi Bokong.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif, dengan untuk melihat kejadian
presentasi bokong pada ibu hamil dengan variabl
paritas, faktor ibu, faktor janin, lilitan tali pusat,
kelainan uterus dan kunjungan ANC yang kurang.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum
Kota Padangsidimpuan berdasarkan asumsi penulis bahwa
:
Rumah sakit tersebut juga merupakan Rumah Sakit
Rujukan sehingga data tentang ibu Bersalin Partus Lama
yang disebabkan Presentasi Bokong cukup lengkap untuk
mewakili seluruh penderita lainnya.
Populasi dan Sampel
Populasi : semua ibu Hamil yang diagnosanya
adalah terjadinya Presentasi Bokong pada Ibu Hamil di
Rumah Sakit Umum Kota Padangsidimpuan Tahun 2013
dengan jumlah 43 orang.
Sampel: semua populasi dijadikan sampel
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan
menggunakan metode dokumentasi yang diperoleh dari
Medical Record RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun
2013.
Analisa Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan
melihat presentase data yang telah dikumpul dan disajikan
dalam tabel distribusi frekuensi.
HASIL PENELITIAN
Hasil
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Terhadap jumlah pasien di RSUD Kota Padangsidimpuan
Tahun 2013
Tahun Jumlah Ibu
Jumlah Ibu Hamil
%
Hamil
dengan Presentasi
Bokong
2013
1081
43
3,98
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Berdasarkan Paritas di RSUD Kota Padangsidimpuan
Tahun 2013
No
Paritas
Jumlah
%
1 Primipara
11
25,59
2 Sekundipara
8
18,60
3 Multipara
24
55,81
Total
43
100
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa angka
kejadian tertinggi ditemukan pada paritas Multipara
sebanyak 24 orang (55,81%). Hal ini sesuai dengan teori
Winkjosastro (2007) bahwa hampir semua ibu hamil
dengan Multipara lebih besar kemungkinan terjadinya
Malpresentasi khususnya Presentasi Bokong.Karena otototot dalam kehamilan umumnya mengalami peregangan
dan kelonggaran karena adanya penyesuaian dengan
perkembangan janin,diantaranya adalah otot abdomen, dasar
pelvis, dan uterus, dimana ketiga otot tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain dan berperan dalam
terjadinya presentasi bokong.Untuk mencegah terjadinya
Malpresentasi pada Ibu Hamil dianjurkan untuk
melaksanakan Program KB yaitu 2 anak lebih baik.
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Berdasarkan Faktor Ibu di RSUD Kota Padangsidimpuan
Tahun 2013
No
Faktor Ibu
Jumlah
%
1 Plasenta Previa
2 Panggul sempit
Total
13
30
30,23
69,77
43
100
Dari hasil penelitian di atas ditemukan angka
kejadian pada perlekatan plasenta yaitu plasenta previa
sebanyak 13 orang (30,23%). Hal ini sesuai dengan teori
Winkjosastro (2007) bahwa Plasenta previa sangat
mempengaruhi terjadinya Malpresentasi.Hal tersebut
dikarenakan letak plasenta yang rendah sehingga
mengubah posisi janin menjadi posisi yang abnormal.
Sedangkan kejadian panggul sempit ditemukan angka
kejadian tertinggi pada ukuran panggul luar yaitu < 80 cm
sebanyak 30 orang (69,77%). Hal ini sesuai dengan teori
Manuaba (2008) bahwa hampir semua Ibu Hamil dengan
Panggul Sempit akan mengalami Malpresentasi.Panggul
sempit dapat mengganggu fiksasi dari kepala janin.
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Berdasarkan Faktor Janin di RSUD Kota Padangsidimpuan
Tahun 2013
No
Faktor Janin
Jumlah
%
1 Hidrosefalus atau
5
11,63
2 anensefalus
12
27,91
3 Gemelli
18
41,86
4 Hidramnion atau
8
18,60
Oligohidramnion
Prematuritas
Total
43
100
120
Dari hasil penelitian tabel diatas ditemukan angka
kejadian
pada
Bentuk
Kepala
Janin
(Hidrosefalus/Anensefalus) sebanyak 5 orang (11,63%).
Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro (2007) bahwa ibu
hamil
dengan
Hidrosefalus/Anensefalus
sangat
mempengaruhi terjadinya Malpresentasi dikarenakan
Bentuk kepala Janin yang mengganggu fiksasi dari kepala
janin. Sedangkan gemelli sebanyak 12 orang (27,91%).
Hal ini sesuai dengan teori Manuaba (2008) bahwa Ibu
hamil dengan Gemelli sangat mempengaruhi Letak Janin.
Umumnya pada kehamilan kembar, janin menyesuaikan
dirinya dalam rahim. Angka kejadian Hidramnion dan
ditemukan angka kejadian tertinggi pada Jumlah air
Ketuban dengan > 2000 cc (Hidramnion) dan < 500 cc
(Oligohidramnion) sebanyak 18 orang (41,86%).
Dikarenakan banyaknya air ketuban pada janin sehingga
menyebabkan janin lebih leluasa melakukan pergerakan.
Prematuritas juga mempengaruhi kejadian presentasi
bokong dalam kehamilan, angka kejadiannya sebesar
(18,60%). Hal tersebut terjadi karenakan ukuran janin yang
kecil menyebabkan janin leluasa melakukan pergerakan di
dalam rahim dan pada bayi premature ukuran kepala masih
kecil sehingga fiksasi kepala tidak sempurna. Oleh karena
itu untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu dilakukan
kunjungan ANC yang sesuai standar untuk memantau
keadaan atau kondisi janin didalam kandungan.
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Berdasarkan Lilitan Tali Pusat di RSUD Kota
Padangsidimpuan
Tahun 2013
No
Tali Pusat
Jumlah
%
1 Lilitan Tali Pusat
2 Tali Pusat Normal
Total
23
20
53,49
46,51
43
100
Dari hasil penelitian tabel diatas ditemukan angka
kejadian tertinggi pada Lilitan Tali Pusat sebanyak 23
orang (53,49%). Hal ini sesuai dengan teori Winkjosastro
(2007) bahwa hampir semua Ibu Hamil dengan lilitan tali
pusat sangat mempengaruhi Letak janin.Hal tersebut
dikarenakan tali pusat yang terlalu panjang sehingga
memungkinkan janin terlilit tali pusat dan menyulitkan
janin melakukan pergerakan.
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Berdasarkan Kelainan Uterus di RSUD Kota
Padangsidimpuan Tahun 2013
No
Uterus
Jumlah
%
1 Kelainan Uterus
9
20,93
2 Uterus Normal
34
79,07
Total
43
tejadinya Malpresentasi pada janin.Tumor dari uterus yang
mendesak uterus dan kelainan bawaan uterus, seperti
uterus arkuatus yang dapat mengubah letak janin.
Distribusi Proporsi Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
Terhadap Kunjungan ANC di RSUD Kota
Padangsidimpuan Tahun 2013
No Kunjungan ANC (kali)
Jumlah
%
1
1
7
16,28
2
2
13
30,23
3
3
11
25,58
4
4
12
27,91
Total
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Presentasi Bokong memerlukan penanganan
yang serius tepat dan cepat berdasarkan
kebutuhan Ibu Hamil baik dengan melakukan
Kunjungan ANC sesuai dengan standart yang
berlaku untuk menghindari terjadinya
persalinan dengan Presentasi Bokong serta
kematian bagi Ibu dan Bayi.
2. Jumlah Ibu Hamil dengan Presentasi Bokong
di RSUD Kota Padangsidimpuan termasuk
rendah jika dibanding dengan insiden di
beberapa Rumah Sakit di Indonesia juga
menurut literatur
Saran
1.
2.
3.
4.
121
100
Dari hasil penelitian tabel di atas ditemukan
angka kejadian tertinggi pada 2 kali kunjungan ANC
selama Ibu hamil sebanyak 13 orang (30,23%). Hal ini
sesuai dengan teori Manuaba (2008) bahwa Ibu hamil
dengan kunjungan ANC yang kurang sangat
mempengaruhi terjadinya kelainan letak pada janin.Oleh
karena itu untuk mencegah terjadinya Kelainan Letak pada
janin dengan melaksanakan Kunjungan ANC sesuai
standart yang berlaku.
100
Dari hasil penelitian tabel di atas ditemukan
angka kejadian Kelainan Uterus sebanyak 9 orang
(20,93%). Hal ini sesuai dengan teori Sarwono (2005)
bahwa Ibu hamil dengan kelainan uterus mempengaruhi
43
Disarankan kepada ibu agar melakukan
pemeriksaan ANC (Ante Natal Care) secara
teratur paling sedikit 4 kali yaitu 1 kali pada
trimester I,1 kali pada trimester II dan 2 kali
pada trimester III.
Disarankan kepada ibu agar mengatur jarak
kehamilan dengan mengikuti program
KB,untuk kesehatan serta keselamatan ibu dan
bayi.
Disarankan kepada petugas kesehatan untuk
lebih mengenali masalah yang terjadi pada ibu
hamil sehingga lebih mudah mendeteksi
komplikasi kehamilan.
Dianjurkan kepada bidan yang bertugas di
rumah sakit supaya mendapatkan kesempatan
training dalam penanganan seluruh kasuskasus kebidanan agar terwujud bidan yang
benar mampu dalam menangani kasus-kasus
kebidanan
Bokong.
khususnya
kasus
Presentasi
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
Presentasi
Bokong.
(Dikutip
dari
http://medlinux.blogspot.com/. Diakses Tanggal
28 November 2010. Pukul 13. 35 WIB)
Benson dan Pernoll. 2009. Buku Saku Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: EGC.
Fachrudin, Amir. 2009. Presentasi Bokong. (di kutip dari
http://i8.photobucket.com/albums/a46/ef
med2001/emirbannerfix.gif. Diakses tanggal
20oktober 2010. Pukul 13.25)
Hidayat, A.A. 2007. Metodologi Penelitian Kebidanan
Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Imade. 2008.
Penanganan untuk Kehamilan dan
persalinan letak sungsang. (Dikutip dari
http://imadeharyoga.com/2008/10/penangananuntuk-kehamilan-dan-persalinan-letak-sungsang/.
Diakses tanggal 19 November 2010. Pukul 14.00
WIB)
Liu, David. 2008. Manual Persalinan. Jakarta : EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2008. Gawat Darurat Obstetri
dan Obstetri Ginekologi Sosial untuk Profesi
Bidan. Jakarta: EGC
Rohani, Dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Masa
Persalinan. Jakarta: Salemba Medika.
Rukiyah dan yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV
(Patologi Kebidanan). Jakarta: Buku Kesehatan.
Sukarsa, Rizkar. 2007. Letak Sungsang. (Dikutip dari
http://immahamtaro.wordpress.com/category.
Diakses tanggal 29 November 2010. Pukul 19.35
WIB).
Sulistyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu
Bersalin. Jakarta: Salemba Medika.
Varney. 2010. Buku Asuhan Kebidanan. Jakarta:EGC
Winkjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo.
Yatinem. Asuhan Kebidanan pada Multigravida Letak
Sungsang.
(Dikutip
dari
http://yatinem.wordpress.com/2009/02/22/asuhan
-kebidanan-dengan-multigravida-letak sungsang/.
Diakses Tanggal 17 Oktober 2010. Pukul 11.25
WIB)
122
PENGARUH BPJS TERHADAP MINAT MASYARAKAT DALAM UPAYA
PENINGKATAN KESEHATAN DI RSUD DOLOKSANGGUL KECAMATAN
DOLOKSANGGUL KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2014
Adelima C. R. Simamora, Doni Simatupang, Agustina Boru Gultom
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial. Sehingga dengan adanya jaminan sosial ini resiko keuangan
yang dihadapi oleh seseorang diambil alih oleh lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya peningkatan
kesehatan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat Deskriptif analitikdengan
pendekatan Retrospektif. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan melakukan wawancara.
Menggunakan analisis bivariat dengan uji chi-square. Jumlah sampel 84 orang responden. Hasil penelitian
menunjukkan mayoritas menerima BPJS dengan minat baik sebanyak 35 responden (83,3%), berpendidikan
SMA 22 responden (75,9%), bekerja sebagai petani 23 responden (59,0%), sumber informasi dari petugas
kesehatan 40 responden (83,3%).. Selain itu mayoritas yang berminat baik mengatakan program BPJS akan
meningkatkan kesehatan masyarakat sebanyak 38 responden (90,5%), berpendidikan SMA 26 responden
(89,7%), bekerja sebagai petani 30 responden (76,9%), sumber informasi dari petugas kesehatan 42
responden (87,5%). Berdasarkan hasil penelitian dapatdisarankan hendaknya masyarakat lebih
meningkatkan kesehatan dengan ikut serta dalam memanfaatkan program BPJS.
Kata kunci : BPJS, Minat, Kesehatan Masyarakat
PENDAHULUAN
Menurut WHO (World Health Organization)
kesehatan adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial
kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau
kelemahan. Untuk itu diselenggarakan pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan,
dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
Pembangunan kesehatan pada saat ini masih
dihadapkan pada permasalahan belum optimalnya akses,
keterjangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan antara lain
disebabkan oleh sarana pelayanan kesehatan Rumah Sakit,
Puskesmas, dan jaringannya belum sepenuhnya dijangkau
oleh masyarakat, terutama bagi penduduk miskin terkait
dengan adanya permasalahan dalam hal biaya dan juga
jarak pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. (BPJS
Kesehatan, diakses 18/03/2014).
Ada hal yang berubah pada awal Januari 2014,
terutama di sektor kesehatan. Sesuai UU No 24 tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
mengamanatkan PT Askes (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. (BPJS, diakses
18/03/2014).
123
Seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta
jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS, termasuk
orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di
Indonesia dan telah membayar iuran. Program ini
diharapkan dapat menaungi seluruh masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat dapat dilindungi dengan asuransi
kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan
khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia,
terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun
PNS dan TNI/POLRI, Veteran, perintis kemerdekaan
beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun
rakyat biasa.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dahulu bernama
Jamsostek merupakan program pemerintah dalam kesatuan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada
tanggal 31 Desember 2013. Untuk Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai beroperasi sejak
tanggal 1 Januari 2014, sedangkan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai beroperasi
sejak 1 Juli 2015.
TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian
Minat merupakan perhatian, kesukaan, ataupun
kecenderungan hati. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Minat adalah kecenderungan yang menetap/kesukaan
terhadap suatu kegiatan melebihi kegiatan lainnya serta
berfungsi untuk daya penggerak yang mengarahkan
seseorang melakukan kegiatan tertentu yang spesifik
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat
a. Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses atau kegiatan
pembelajaran untuk mengembangkan pembelajaran
atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga
sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Demikian
juga jika pendidikan SD, SMP, SMA, dan
DIII/Sarjana hendak digabungkan kedalam satu
variabel
bernama
tingkat
pendidikan
(Notoadmodjho, 2010).
b. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
seseorang untuk memperoleh penghasilan guna
memenuhi
kebutuhan
hidup
sehari-hari.
Pekerja/karyawan adalah mereka yang bekerja pada
orang lain atau institusi, kantor, perusahaan dengan
menerima upah dan gaji baik berupa uang atau
barang, sedangkan lapangan pekerjaan/jabatan
adalah macam pekerjaan yang dilakukan atau
ditugaskan pada seseorang (Notoatmodjho, 2010).
c. Sumber Informasi
Sumber informasi merupakan data yang diperoleh
dalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi
sipenerima dan mempunyai nilai nyata yang terasa bagi
keputusan mendatang (Notoatmodjho, 2010).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial (UU No 24 tahun 2011).
Fungsi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
UU BPJS (Badan penyelenggara Jaminan Sosial)
menentukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan
kesehatan menurut UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan
menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan.
Tugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut
diatas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
bertugas untuk :
1. Melakukan dan menerima pendaftaran peserta
2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari
peserta dan pemberi kerja
3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah
4.
Mengelola dana jaminan sosial untuk
kepentingan peserta
5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta
program jaminan sosial
6. Membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program jaminan sosial
7. Memberikan
informasi
mengenai
penyelenggaraan program jaminan sosial
kepada peserta atau masyarakat
Wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berwenang untuk :
1. Menagih pembayaran iuran. Kewenangan
menagih pembayaran iuran dalam arti
meminta pembayaran dalam hal terjadi
penunggakan, kemacetan, atau kekurangan
pembayaran.
2. Menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi jangka pendek dan jangka panjang
dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana,
dan hasil yang memadai.
3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas
kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jaminan sosial
nasional.
4. Membuat kesepakatan dengan fasilitas
kesehatan mengenai besar pembayaran
fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar
tarif yang ditetapkan oleh pemerintah.
5. Membuat atau menghentikan kontrak kerja
dengan fasilitas kesehatan.
6. Mengenakan sanksi administratif kepada
peserta atau pemberi kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya
7. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi
yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8. Melakukan kerjasama dengan pihak lain
dalam rangka penyelenggaraan program
jaminan sosial.
Hak dan Kewajiban Peserta
.a. Hak Peserta
1. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah
untuk memperoleh pelayanan kesehatan
2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang
hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan
kesehatan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
3. Mendapatkan pelayanan kesehatan pertama,
yaitu Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)
dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan
tingkat lanjutan, yaitu Rawat Jalan Tingkat
Lanjutan (RJTL) dan Rawat Inap Tingkat
Lanjutan (RITL)
5. Mendapatkan pelayanan persalinan
124
6.
7.
Mendapatkan pelayanan gawat darurat
Mendapatkan pelayanan ambulan bagi pasien
rujukan dengan kondisi tertentu antar fasilitas
kesehatan
8. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan
saran secara lisan atau tertulis ke kantor BPJS
Kesehatan
b. Kewajiban Peserta
1. Mendaftarkan dirinya sebagi peserta serta
membayar iuran yang besarnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2. Melaporkan perubahan data peserta, baik
karena pernikahan, perceraian, kematian,
kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas
kesehatan tingkat I.
3. Menjaga kartu peserta agar tidak rusak, hilang
atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak
berhak.
4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara
pelayanan kesehatan.
Iuran Wajib Peserta BPJS
Besar iuran untuk peserta pekerja bukan penerima
upah dan peserta bukan pekerja berdasarkan nominal
bukan presentase yaitu untuk rawat inap perorang perbulan
yaitu :
a. Kelas 1 sebesar Rp 59.500,b. Kelas 2 sebesar Rp 42.500,c. Kelas 3 sebesar Rp 25.500,-
distribusi frekuensi meliputi distribusi frekuensi
berdasarkan minat, pendidikan, pekerjaan, dan sumber
informasi tentang program BPJS dalam upaya peningkatan
kesehatan masyarakat di RSUD Doloksanggul Kecamatan
Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun
2014.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Minat, Pendidikan, Pekerjaan, dan Sumber
Informasi tentang BPJS Dalam Upaya
Peningkatan
Kesehatan
di
RSUD
Doloksanggul
Kecamatan Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan tahun
2014.
No
1
2
3
4
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah Deskriptif Analitik dengan
pendekatan Retrospektif. Deskriptif analitik adalah
penelitian yang mendeskripsikan suatu objek yang diteliti
melalui sampel atau data yang terkumpul dan membuat
kesimpulan yang berlaku secara umum, sedangkan
pendekatan retrospektif adalah penelitian yang bersifat
melihat ke belakang (Notoatmodjo, 2010). Bertujuan untuk
mengetahui “Pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat
dalam upaya peningkatan kesehatan di RSUD
Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2014”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di RSUD Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan. Fasilitas yang dimiliki oleh RSUD
Doloksanggul adalah tempat tidur 75 unit, UGD, ICU,
Rontgen, Laboratorium, UTDRS, Kamar bedah dan unit
penunjang lainnya.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan berjudul
“Pengaruh BPJS Terhadap Minat Masyarakat Dalam
Upaya Peningkatan Kesehatan di RSUD Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan Tahun 2014” adalah sebagai berikut
Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk menggambarkan
penyajian data dari beberapa variabel dalam bentuk tabel
125
5
6
Variabel
Minat
Baik
Cukup
Kurang
Total
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Total
Pekerjaan
Petani
IRT
PNS
Wiraswasta
Total
Sumber Informasi
Petugas Kesehatan
Media Elektronik
Media Cetak
Lingkungan
Total
BPJS
Menerima
Menolak
Total
Kesehatan Masyarakat
Meningkat
Tidak meningkat
Total
Jumlah
Persentase (%)
43
27
14
84
51,2
32,1
16,7
100
14
24
29
17
84
16,7
28,6
34,5
20,2
100
39
8
14
23
84
46,4
9,5
16,7
27,4
100
48
13
6
17
84
57,1
15,5
7,1
20,2
100
60
24
84
71,4
28,6
100
71
13
84
84,5
15,5
100
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 84
responden mayoritas responden memiliki minat yang baik
terhadap program BPJS sebanyak 43 responden (51,2%)
dan minoritas memiliki minat yang kurang sebanyak 14
responden (16,7%).
Analisa Bivariat
Tabel 2. Distribusi Frekuensi
Pengaruh BPJS
Terhadap Minat Masyarakat Dalam Upaya
Peningkatan
Kesehatan
di
RSUD
Doloksanggul Kecamatan Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun
2014
No.
Minat
1. Baik
2. Cukup
3. Kurang
TOTAL
Menerima
n
%
35 83,3
16 57,1
9 64,3
60 71,4
BPJS
Menolak
n %
7 16,7
12 42,9
5 35,7
24 28,6
df
Total
N
%
42 100
28 100
14 100
84 100
X2
2 6,067
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 2
responden yang berminat baik mayoritas menerima BPJS
sebanyak 35 responden (83,3%), minoritas menolak BPJS
sebanyak 7 responden (16,7%).
Dari 28 responden yang berminat cukup
mayoritas menerima BPJS sebanyak 16 responden
(57,1%), minoritas menolak BPJS sebanyak 12 responden
(42,9%). Dari 14 responden yang kurang berminat
mayoritas menerima BPJS sebanyak 9 responden (64,3%),
minoritas menolak BPJS sebanyak 5 responden (35,7%).
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Pengaruh BPJS
Terhadap Minat Masyarakat Dalam Upaya
Peningkatan
Kesehatan Berdasarkan
Pendidikan di RSUD Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang Hasundutan Tahun 2014
No. Pendidikan
1.
2.
3.
4
SD
SMP
SMA
PT
TOTAL
Menerima
n
%
7 50,0
16 66,7
22 75,9
15 88,2
60 71,4
BPJS
Menolak
n %
7 50,0
8 33,3
7 24,1
2 11,8
24 28,6
df
Total
N
%
14 100
24 100
29 100
17 100
84 100
3 6,049
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pengaruh BPJS Terhadap
Minat Masyarakat dalam Upaya Peningkatan
Kesehatan Berdasarkan Pekerjaan di RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun
2014
1.
2.
3.
4
Menerima
n
%
Petani
23 59,0
IRT
7 87,5
PNS
14 100
Wiraswasta 16 69,6
TOTAL
60 71,4
BPJS
Menolak
n %
16 41,0
1 12,5
0
0
7 30,4
24 28,6
df
Total
N
%
39 100
8
100
14 100
23 100
84 100
SIMPULAN
X2
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 14
responden berpendidikan SD yang menerima BPJS
sebanyak 7 responden (50%), menolak sebanyak 7
responden (50%). Dari 24 responden berpendidikan SMP
mayoritas menerima BPJS sebanyak 16 responden
(66,7%), minoritas menolak sebanyak 8 responden
(33,3%). Dari 29 responden yang berpendidikan SMA
mayoritas menerima BPJS sebanyak 22 responden
(75,9%), minoritas menolak sebanyak 7 responden
(24,1%). Dari 17 responden yang berpendidikan perguruan
tinggi mayoritas menerima BPJS sebanyak 15 responden
(88,2%), minoritas menolak sebanyak 2 responden
(11,8%).
No. Pekerjaan
Dari 14 responden yang bekerja sebagai PNS mayoritas
menerima BPJS sebanyak 14 responden (100%) dan
minoritas menolak BPJS tidak ada. Dari 23 responden
yang bekerja sebagai wiraswasta mayoritas menerima
BPJS sebanyak 16 responden (69,6%) dan minoritas
menolak BPJS sebanyak 7 responden (30,4%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh antara pekerjaan terhadap kesehatan masyarakat
dengan program BPJS di RSUD Doloksanggul Kecamatan
Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan tahun
2014.
Menurut asumsi peneliti, pekerjaan tidak terlalu
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, ini mungkin
disebabkan oleh variabel lain dalam penelitian seperti
pendidikan.
X2
3 9,616
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa dari 39
responden yang bekerja sebagai petani mayoritas
menerima BPJS sebanyak 23 responden (59,0%) dan
minoritas menolak BPJS sebanyak 16 responden (41,0%).
Dari 8 responden yang bekerja sebagai IRT mayoritas
menerima BPJS sebanyak 7 responden (87,5%) dan
minoritas menolak BPJS sebanyak 1 responden (12,5%).
Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan tentang
pengaruh BPJS terhadap minat masyarakat dalam upaya
peningkatan kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan
Doloksanggul Kabupaten humbang Hasundutan tahun
2014, pada 84 responden maka diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Ada pengaruh BPJS terhadap minat
masyarakat dalam upaya
peningkatan
kesehatan di RSUD Doloksanggul Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan tahun 2014
2. Tidak ada pengaruh BPJS terhadap minat
masyarakat dalam upaya
peningkatan
kesehatan berdasarkan pendidikan di RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014
3. Ada pengaruh BPJS terhadap minat
masyarakat dalam upaya
peningkatan
kesehtaan berdasarkan pekerjaan di RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014
4. Ada pengaruh BPJS terhadap minat
masyarakat dalam upaya
peningkatan
kesehatan berdasarkan sumber informasi di
RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan tahun 2014
5. Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat
terhadap minat masyarakat dalam upaya
peningkatan
kesehatan
di
RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014
6. Ada pengaruh kesehatan masyarakat terhadap
minat masyarakat dalam upaya peningkatan
kesehtan berdasarkan pendidikan di RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2014
7. Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat
terhadap minat masyarakat dalam upaya
peningkatan kesehatan berdasarkan pekerjaan
di
RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
126
8.
9.
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan tahun 2014
Tidak ada pengaruh kesehatan masyarakat
terhadap minat masyarakat dalam upaya
peningkatan kesehatan berdasarkan sumber
informasi di RSUD Doloksanggul Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan tahun 2014
Ada pengaruh BPJS terhadap minat
masyarakat
berdasarkan
peningkatan
kesehatan masyarakat di RSUD Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
kabupaten
Humbang Hasundutan tahun 2014
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Kepada petugas kesehatan yang bekerja di
RSUD
Doloksanggul
Kecamatan
Doloksanggul
Kabupaten
Humbang
Hasundutan
agar
lebih
meningkatkan
pengetahuan pasien tentang program BPJS
dan meningkatkan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat yang menggunakan BPJS.
2. Kepada responden agar lebih meningkatkan
pengetahuan mengenai program BPJS dalam
kesehatan.
3. Kepada peneliti selanjutnya agar meneliti dan
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi minat masyarakat
terhadap BPJS dalam upaya peningkatan
kesehatan.
127
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian.
Yogyakarta: Rineka Cipta
Fachmi idris. Sistem Rujukan Berjenjang. Download
15/03/2014
Idris, Fachmi. 2013. Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Idris, Fachmi. 2013. Panduan Layanan Bagi Peserta
BPJS. Jakarta: Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
Idris, Fachmi. 2013. Administrasi Klaim Fasilitas
Kesehatan BPJS Kesehatan. Jakarta: Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat.
2014. http://www.menkokesra.go.id/ada-pihak-taksetuju-bpjs
Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Prasetyawati, Arsita. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sembiring, Yustinus. 2013. Humbang Hasundutan
dalam Angka. Doloksanggul: BPS Kabupaten
Humbang Hasundutan
Simanjuntak, Budiman. 2013. Profil Kesehatan
Humbang
Hasundutan
Tahun
2012.
Doloksanggul: Dinas Kesehatan Humbang
Hasundutan
Syafrudin. 2009. Ilmu Kesehatan masyarakat. Jakarta:
Trans Info Media
Thabrany, Hasbullah
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA HIPERTENSI PADA
LANSIA DI UPT PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA ANAK
DAN BALITA BINJAI DAN MEDAN TAHUN 2014
Abdul Hanif Siregar, Syarif Zen Yahya, Surita Ginting
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi tekanan darah seseorang berada diatas angka
normal yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistol diatas 140 mmHg dan diastole diatas 90
mmHg.Prevalensi angka kejadian hipertensi di dunia cukup tinggi yaitu 10% dari populasi dunia, sedangkan
di Indonesia sebesar 6-15% dari jumlah penduduk Indonesia.Dan prevalensi yang menderita hipertensi di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan sebanyak 105 orang
(65,6%). Faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi yaitu faktor genetik, riwayat merokok terdahulu dan
kurangnya olahraga. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif dengan desain cross sectional yang
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian yang dilakukan pada 51 Lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan yang diambil secara Random
Sampling. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi mempunyai riwayat Hipertensi pada anggota
keluarganya sebanyak 29 orang (56,9%), dan riwayat merokok sebanyak 24 orang (47,1%), yang memiliki
kebiasaan olahraga sebanyak 35 oran (68,6%). Faktor kurangnya olahraga tidak menjadi mayoritas penyebab
terjadinya Hipertensi pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah Binjai dan
Medan. Oleh karena itu, diharapkan kepada Lansia yang menderita Hipertensi agar memeriksakan tekanan
darah secara berkala dan menjaga pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kunci: Hipertensi, Lansia
PENDAHULUAN
Lansia adalah periode dimana semua sistem tubuh,
ukuran dan fungsi tubuh telah mengalami kemunduran
sejalan dengan waktu (Dalimartha, 2008).
Salah satu penyakit yang sering muncul dengan
berjalannya waktu adalah tekanan darah atau hipertensi.
Secara visual penyakit ini memang tidak nampak
mengerikan. Namun ia bisa membuat penderita terancam
jiwanya atau paling tidak menurunkan kualitas hidupnya
(Bangun A.P, 2002).
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan
tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk
suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit
jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk
oto jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama
dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia
maupun di beberapa negara yang ada di dunia.
Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi
terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah
639 juta kasus di tahun 2000, diperkira menjadi 1,15 miliar
kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk
saat ini (Boedhi Darmojo, 2007).
Hipertensi mulai terjadi seiring bertambahnya
umur. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi
menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau primer
yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder.
Hipertensi esensial meliputi kurang lebih 90% dari seluruh
penderita hipertensi dan 10% sisanya disebabkan oleh
hipertensi sekunder (Soeparman, 2002).
Pada populasi umum, pria lebih banyak yang
menderita penyakit ini dari pada wanita (39% pria dan
31% wanita). Prevalensi hipertensi primer pada wanita
sebesar 22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih
80 tahun, sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85
tahun prevalensinya sebesar 22% dan meningkat sampai
52% pada wanita berumur lebih dari 85 tahun. Sekitar 60%
lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun.
Usia 40 sampai 55 tahun banyak menghadapi berbagai
masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan
terintegrasi (Dalimartha, 2008).
Dilihat dari beberapa faktor dominan penyebab
hipertensi, faktor kelebihan berat badan dapat
meningkatkan resiko seseorang terserang penyakit
hipertensi. Semakin besar massa tubuh, maka semakin
banyak darah yang dibutuhkan untuk masuk oksigen dan
makanan kejaringan tubuh. Berarti volume darah yang
beredar melalui pembuluh darah meningkat, sehingga akan
membkeeri tekanan lebih besar kedinding arteri. Selain itu,
kelebihan berat badan dapat meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan mengakibatkan meningkatnya tekanan
128
darah. Faktor keturunan menunjukan, jika kedua orang tua
kita menderita hipertensi, kemungkinan terkena penyakit
ini sebesar 60%. Peneliti ini menunjukan ada faktor gen
keturunan yang berperan. Dari faktor penambahan usia
ditemukan adanya adanya perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Faktor kebiasaan minum
kopi di dapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75200mg kafein, dimana dalam satu cangkir tersebut
berpotensi meningkatkan tekanan darah 5-10mmHg. Dari
faktor kebiasaan merokok terdapat zat kimia dalam
tembakau yang dapat merusak dinding arteri sehingga
lebih rentan terdapat penumpukan plak. Zat nikotin dalam
tembakau dapat membuat kerja jantung lebih keras karena
terjadi penyempitan pembuluh darah sementara yang dapat
meningkatakn tekanan darah (Yulianti, 2006).
Menurut organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
angka kejadian hipertensi di dunia cukup tinggi yaitu 10%
dari populasi dunia. Data Hypertansion League Brochure
2009 menyebutkan bahwa hipertensi diderita lebih dari 1,5
miliar jiwa diseluruh dunia dan garam yang berlebihan
adalah faktor utama dalam meningkatkan tekanan darah.
“Hipertensi dianggap hal yang biasa karena gaya hidup
kehidupan modern. Asupan garam yang tinggi merupakan
penyebab hipertensi yang banyak ditemukan dari tahun
ketahun”, papar dokter yang praktek di Rumah Sakit
Harapan Kita. Secara global menurut data yayasan jantung
Indonesia, tujuh juta jiwa meninggal tiap tahunnya akibat
menderita tekanan darah tinggi (Gusti, KTI 2010).
Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat
penyelidikan yang bersifat nasional, yang dapat
menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Banyak
penelitian dilakukan secara terpisah dengan metidologi
yang belum baku, namun menurut Soeparman pada tahun
2005, memperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia
sebesar 6-15% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia
(Gunawan, 2005).
Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2011,
hipertensi menduduki peringkat kedua dari sepuluh
penyakit terbesar di Kota Medan dengan jumlah penderita
sebanyak 60.629 orang. Hal ini menunjukan bahwa
hipertensi selalu menduduki peringkat lima teratas dalam
hal penyakit terbesar di Kota Medan.
Jumlah lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Anak dan Balita Wilayah Binjai dan Medan pada tahun
2012 adalah 160 orang yang terdiri dari 88 orang laki-laki
dan 72 orang perempuan. Jumlah usia lansia yang
menderita hipertensi 105 orang terdiri dari 46 perempuan
dan 59 laki-laki.
Melihat dari uraian diatas, penulis tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Anak dan
Balita Wilayah Binjai dan Medan.
129
Defenisi Operasional
No.
Variabel
1. Variabel
Independen
a. Umur
Defenisi Operasional
Lamanya hidup lansia
dalam hitung waktu
Alat
ukur
Hasil ukur
Kuesioner>50tahun
b.
Genetik Garis keturunan yang
Kuesioner- Ada
mempunyai riwayat garis
- Tidak ada
keturunan yang sama
c.
Obesitas Berat Badan lebih pada Observasi- Kurus 10%
saat penelitian atau ada
- Ideal 20%
riwayat obesitas sebelum
- Gemuk 30%
penelitian
d.
Merokok
Skala
ukur
Interval
Nominal
Nominal
Ordinal
Jumlah rokok yang
dikonsumsi responden
dalam satu hari
e.
Kurang
Olahraga
Kurangnya pergerakan
tubuh diluar aktifitas
sehari- hari
Kuesioner- Berat 2-3
bungkus/ hari
- Sedang 1
bungkus/ hari
Kuesioner- Ringan
<1bungkus/hari
Ordinal
- 1kali/ minggu
- 2kali/ minggu
- Tidak pernah
berolahraga
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif
dengan menggunakan desain cross sectional, yaitu suatu
metode yang merupakan rancangan penelitian dengan
melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat
bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian dilaksanaan di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Desember 2012
sampai bulan Juli 2013.
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian
ini adalah semua Lansia penderita hipertensi yang dirawat
inap di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilayah Binjai dan Medan tahun 2012 yang berjumlah
105 orang.
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah
pun teknik penh sebagian dari pada populasi yang
terjangkau diambil. Adapun teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah Systemic random sampling
atau pengambilan sampel secara acak sistematis dengan
membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan
jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya adalah interval
sampel (Notoadmodjo, 2010). Dimana interval yang
digunakan adalah 105 : 51 = 2, maka pengambilan sampel
adalah setiap kelipatan 2 dari urutan daftar nama populasi.
Dengan tingkat kepercayaan 90% dan ketentuan hubungan
yang dikatakan bermakna bila P value <0,1 dan hubungan
dikatakan tidak bermakna bila value >0,1.
Rumus besar sampel yang dipakai adalah sebagai
berikut :
N
1 N (d2)
n=
Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar Sampel
d = Nilai Kesenjangan/nilai Ketidakpercayaan
(Notoatmodjo, 2005)
Maka dalam sampel penelitian ini adalah :
n
n
n
n
n
n
n
N
1  N (d2)
105
=
1  105 (0,12 )
105
=
1  105 (0,01)
105
=
1  1,05
105
=
2,05
=
= 51,21
= 51 orang
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Primer
Data pada penelitian ini adalah data yang diperoleh
dari responden sebanyak 51 orang dengan
membagikan kuesioner dan terlebih dahulu
menjelaskan tujuan penelitian.
2. Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
data UPT PS Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah
Binjai dan Medan.
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan
responden, peneliti membuat kuesioner dengan
memberikan 20 pertanyaan (Ya/Tidak) dengan
memberi tanda silang (X), dn menggunakan kriteria
jawaban jika benar skor 1 dan jika salah diberi skor 0.
Dimana ketentuan dari hasil penelitian sebagai
berikut :
1. Jika nilai : <56 % maka dikatakan kurang
2. Jika nilai : 56-78% maka dikatakan cukup
3. Jika nilai : 79-100% maka dikatakan baik (Wawan,
2011).
Data yang diperoleh akan diolah melalui langkahlangkah berikut ;
a. Editing Data
Dilakukan pengecekan pada suatu data yang
terkumpul, bila terdapat
kesalahan dalam
pengumpulan data maka akan diperbaiki dan
penelitian diulang.
b. Coding
c.
Pemberian kode atau tanda pada setiap data yang
telah terkumpul untuk memperoleh, memasukkan
data ke dalam tabel.
Tabulating
Mengelolah data ke dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi untuk mempermudah analisa data,
pengolahan data serta pengambilan kesimpulan.
Analisa Data
Analisa Data yang digunakan adalah analisa
univariat (analisa deskriptif). Bertujuan untuk
menggambarkan menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik variabel penelitian. Pada umumnya dalm
analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi.
Kemudian presentase diperoleh proporsi untuk tiap-tiap
kategori.
Dengan menggunakan rumus :
n
x100%
P= N
Keterangan :
P : Proporsi
n : Banyak subjek dalam kelompok
N : Banyaknya subjeknya seluruhnya
(Arikunto, 2007)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan
Medan yang dilakukan pada bulan Juni tahun 2013.
Jumlah lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Anak dan Balita sebanyak 160 orang yang terdiri dari
88 orang laki-laki dan 72 orang permpuan. Jumlah usia
lansia yang menderita hipertensi 105 orang yang terdiri
46 perempuan dan 59 laki-laki. Di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan
berlokasi dijalan Perintis Kemerdekaan, dengan
petugas sebanyak 24 orang yang terdiri dari 1 orang
golongan IV A, 14 orang golongan III, 9 orang
golongan II, dengan tenaga kesehatan sebanyak 4 orang
yaitu 2 orang dokter, 2 orang perawat, serta 8 orang
tenaga honor.
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai dan Medan pada mulanya
bernama Panti Sosial Tresna Werdha Abdi Binjai pada
tanggal 20 Desember 1980 dan ditetapkan berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Sosial
RI
No.32/HUK/KEP/IV/1982 tentang penbentukan Panti
Sosial Tresna Werdha di Indonesia.
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai dan Medan suatu unit
dilingkungan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara,
Perda provinsi Sumatera Utara No. 3 tahun 2001
sebagai lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan
pelayanan dan bimbingan terhadap orang tua atau
lansia yang kurang mampu/terlantar karena suatu sebab
fungsi sosialnya tidak berjalan secara wajar didalam
lingkungan masyarakat. Luas bangunan wisma yaitu
2.120 m3 terdiri dari 33 unit.
130
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Wilayah Binjai dan Medan merupakan tempat
tinggal lansia yang mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda. Setiap lansia yang ingin tinggal di UPT
tersebut harus mempunyai kebijakan yang telah
ditentukan pihak panti yaitu mempunyai surat
kesehatan dari puskesmas, klinik maupun Rumah Sakit
yang menyatakan lansia tersebut dalam keadaan sehat.
Kebijakan ini diambil dikarenakan lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah
Binjai dan Medan melakukan semua kegiatan dengan
mandiri tanpa bantuan orang lain, namun apabila ada
lansia yang setelah beberapa bulan tinggal di panti
kemudian jatuh sakit dan tidak bias melakukan
kegiatan secara mandiri maka petugas panti akan
menugaskan salah satu lansia yang masih sehat untuk
menjaga dan mengasuh lansia tersebut dengan diberi
upah yang telah ditetapkan sesuai kesepakatan kedua
belah pihak (antara yang sehat dan yang sakit).
Para lansia yang tinggal di panti mengisi waktu
luang dengan mengikuti keterampilan berkebun,
membuat anyaman bambu dan hasilnya untuk uang
jajan. Setiap satu kali seminggu lansia mengadakan
olahraga yaitu senam lansia yang diadakan didalam
Panti yang di pandu oleh petugas /staf pekerja sosial.
Di UPT Pelayanan Lanjut Usia dan Anak Balita
Wilyah Binjai dan Medan para lansia yang tinggal dipanti
tidak dipungut biaya apapun karena seluruh biaya
ditanggung oleh Pemerintah.
Tabel 3
No
1
2
3
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Obesitas di UPT Pelayanan
Sosial Usia Lanjut danAnak Balita Wilayah
Binjai dan Medan Tahun 2014
Indeks Masa
F
Persentase(%)
Tubuh
<18,5
15
29,41
18,5-22,9
15
29,41
>23
21
41,17
Total
51
100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa lansia
yang menderita hipertensi mayoritas memiliki Indeks Masa
Tubuh >23 yaitu 21 responden (41,17%).
Tabel 4
No
1.
2.
Distribusi
Frekuensi
Responden
Berdasarkan Riwayat Merokok di UPT
Pelayanan Sosial Usia Lanjut danAnak
Balita Wilayah Binjai dan Medan Tahun
2014
Riwayat Merokok
F
%
Merokok
24
47,1
Tidak Merokok
27
52,9
Total
51
100
Hasil Penelitian
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
lansia yang menderita Hipertensi mayoritas tidak
mempunyai riwayat merokok terdahulu sebanyak 27
orang (52,9%).
Tabel 1
Tabel 5
Distribusi Rekuensi Responden Berdasarkan
Usia di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut
dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan
Tahun 2014
No
Usia
Frekuensi Persentase (%)
1 45-54 Tahun
4
7,84
2 55-64 Tahun
12
23,52
3 65 tahun keatas
35
68,62
51
100
No
1.
2.
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Olahraga di UPT Pelayanan
Sosial Usia Lanjut danAnak Balita
Wilayah Binjai dan Medan Tahun 2014
Olahraga
F
%
Olahraga
35
68,6
Tidak berolahraga
16
31,4
Total
51
100
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
lansia yang menderita hipertensi mayoritas usia 65 tahun
keatas dengan jumlah 35 (68,62%).
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
lansia yang menderita Hipertensi mayoritas kebiasaan
olahraga sebanyak 35 orang (68,6%).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Genetik di UPT Pelayanan Sosial Usia Lanjut
danAnak Balita Wilayah Binjai dan Medan
Tahun 2014
No
Genetik/ Keturunan
F
%
1.
Genetik
29
56,9
2.
Tidak Genetik
22
43,1
Total
51
100
Pembahasan
1. Usia
Pertambahan usia akan meningkatkan resiko
hipertensi pada seseorang. Kejadian hipertensi lebih
sering terjadi pada kelompok lansia (lanjut usia).
Resiko hipertensi meningkat seiring ddengan
bertambahnya usia, terutama pada pria diatas usia 45
tahun atau wanita berusia diatas 55 tahun.
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar
faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat dari usia pada
lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak
Balita Binjai dan Medan mayoritas memiliki usia 65
tahun keatas dengan jumlah 35 responden (68,62%).
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
lansia yang menderita Hipertensi mayoritas memiliki
keturunan hipertensi pada garis keturunannya sebanyak 29
orang (56,9%).
131
2.
Genetik
Menurut Andi, 2010 obesitas cenderung
diturunkan atau diwariskan secara genetik. Meski
demikian, anggota keluarga tidak hanya berbagi
gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan atau gaya
hidup yang berpotensi mendorong terjadinya
obesitas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh
sebesar 33% terhadap berat badan seseorang.
Menurut Garnadi, 2012 keluarga dengan
riwayat hipertensi memiliki kemungkinan lebih
besar mengidap hipertensi pada keturunannya.
Anggota riwayat hipertensi pada ayah atau ibunya
memiliki “bakat” untuk mengidap hipertensi.
Faktor genetik memiliki pengaruh besar terhadap
timbulnya hipertensi.
Menurut Susilo, 2010 adanya faktor genetik
pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga
tersebut akan menyebabkan keluarga tersebut
mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk
menderita hioertensi daripada individu yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Menurut Mahammadun, 2010 para pakar juga
menemukan hubungan antara riwayat keluarga
penderita hipertensi (genetik) dengan resiko bagi
orang yang menderita penyakit ini.
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi
terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat
dari Genetik/garis keturunan pada lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Binjai dan Medan mayoritas memiliki keturunan
hipertensi sebanyak 29 orang (56,9%).
Menurut peneliti seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan
hipertensi jika memiliki genetik hipertensi. Ada
baiknya mulai sekarang kita memeriksa riwayat
kesehatan keluarga sehingga kita dapat melakukan
antisipasi dan pencegahan. Ini tidak hanya berlaku
untuk penyakit hipertensi tetapi juga untuk
penyakit-penyakit lain. Bagaimana pun melakukan
pencegahan dan antisipasi terhadap penyakit jauh
lebih baik daripada melakukan pengobatan.
3.
Obesitas
Kegemukan dan obesitas akan memperberat
kerja jantung untuk memperberat kerja jantung
untuk memompa darah. Organ-organ lain juga
mendapatkan beban berat banyaknya timbunan
lemak didalam tubuh. Akhirnya semua kondisi
tersebut saling terkait menimbulkan hipertensi dan
sebagai penyakit (Gamadi, 2012).
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi
terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat
dari berat badan berdasarkan indeks masa tubuh
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Binjai dan Medan mayoritas
memiliki Indeks Masa Tubuh >23 yaitu 21
responden (41,17%).
4.
Riwayat Merokok
Menurut Lili, 2010 zat terdapat dalam rokok
dapat merusak lapisan dinding arteri berupa plak.
Ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah
arteri yang meningkatkan tekanan darah.
Kandungan nikotinnya bias meningkatkan
hormone efrinefrin yang bias menyempitkan
pembuluh darah arteri. Karbon monoksidanya
dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras
untuk menggantikan oksigen pada jaringan tubuh.
Berbagai penelitian membuktikan roakok beresiko
terhadap jantung dan pembuluh darah.
Disamping meningkatkan pelepasan adrenalin,
rokok memberika pengaruh lain yang merusak.
Zat-zat kimia yang diserap dari asap rokok dapat
mempengaruhi dinding arteri sehingga lebih peka
terhadap penumpukan lemak yang mengandung
kolesterol (plak) yang menyebabkan arteri menjadi
lebih sempit. Rokok juga memicu dilepas nya
hormon yang menyebabkan tubuh menahan cairan.
Kedua faktor ini yaitu penyempitan arteri dan
penimbunan cairan dapat menyebabkan kenaikan
tekanan darah.
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi
terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat
dari riwayat merokok pada lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Binjai dan Medan mayoritas memiliki riwayat
merokok terdahulu sebanyak 27 orang (52,9%).
Menurut peneliti rokok merupakan menjadi
salah satu faktor resiko hipertensi yang dapat di
modifikasi.
Merokok
akan
menyebabkan
penyempitan pembuluh darah arteri yang
meningkatkan
tekanan
darah
sehingga
menyebabkan hipertensi. Namun demikian,
merokok merupakan faktor resiko yang potensial
untuk dihilangkan dalam upaya mencegah
terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskuler.
5.
Olahraga
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi
terbesar faktor-faktor penyebab hipertensi dilihat
dari faktor olahraga pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan
Medan mayoritas kebiasaan olahraga sebanyak 35
orang (68,6%).
Menurut Susilo, 2010 adanya kesibukan luar
biasa, manusia pun merasa tidak punya waktu lagi
untuk berolahraga. Akibatnya, kita menjadi kurang
gerak dan kurang olahraga. Kondisi inilah yang
memicu kolesterol tinggi dan juga adanya tekanan
darah yang terus menguat sehingga munculnya
hipertensi. Hal ini tidak sejalan dengan lansia yang
mengalami hipertensi di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan
karena lansia setiap satu kali seminggu melakukan
olahraga.
Menurut peneliti kurang olahraga akan
menjadi pemicu terjadinya hipertensi. Dalam hal
ini, kurang olahraga pada lansia disebabkan oleh
faktor usia. Mungkin lansia lebih banyak duduk,
132
kurang gerak, dan gaya hidup santai. Ini akan
mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik sehingga
jantung tidak terlatih, pembuluh darah kaku,
sirkulasi darah tidak mengalir dengan lancer, dan
menyebabkan kegemukan. Faktor inilah yang
menyebabkan terjadinya hipertensi
3.
4.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian terhadap faktor-faktor
penyebab terjadinya hipertensi pada lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai
dan Medan 2014 dengan jumlah responden 51 orang
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Mayoritas Lansia yang menderita hipertensi
berdasarkan faktor usia mayoritas usia diatas 65
tahun dengan 35 responden (68,62%) dan
minoritas responden berusia 45-54 tahun dengan
jumlah 4 responden (7,84%).
2. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi
memiliki riwayat keturunan/genetik
pada
keluarganya sebanyak 29 orang (56,9%), dan
minoritas lansia yang tidak memiliki riwayat
keturunan hipertensi sebanyak 22 orang (43,1%).
3. Mayoritas lansia yang menderita hipertensi
berdasarkan faktor obesitas memiliki Indeks Masa
Tubuh >23 yaitu 21 responden (41,17%) dan
minoritas
4. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi
memiliki riwayat merokok terdahulu sebanyak 24
orang (47,1%), dan minoritas lansia yang tidak
memiliki riwayat merokok sebanyak 27 orang
(52,9%).
5. Mayoritas Lansia yang menderita Hipertensi
memilki kebiasaan olahraga sebanyak 35 orang
(68,6%), dan minoritas lansia yang tidak memiliki
kebiasaan olahraga sebanyak 16 orang (31,4%) .
Saran
Setelah melakukan penelitian terhadap faktorfaktor penyebab terjadinya hipertensi pada lansia di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita
Binjai dan Medan tahun 2014 yaitu:
1. Diharapkan kepada Lansia yang menderita
Hipertensi dan mempunyai riwayat hipertensi pada
garis keturunannya di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan
agar melakukan pola hidup sehat dengan menjaga
makanan.
2. Diharapkan kepada lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan
133
agar meninggalkan kebiasaan merokok untuk
mencegah peningkatan tekanan darah.
Diharapkan kepada lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Binjai dan Medan
agar terus mempertahankan pola hidup sehat
dengan olahraga teratur.
Untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan
tekanan darah diharapkan seluruh lansia untuk
rutin memeriksakan tekanan darahnya ke
Poliklinik di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
DAFTAR PUSTAKA
Martha, Karnia, 2012. Panduan cerdas mengatasi
hipertensi. Jogyakarta : Araska
Notoadmojo, soekidjo 2012. Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
______________________. 2010. Promosi Kesehatan
Teori dan aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta
______________________. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Alimul, A. 2007 Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan
Ilmiah . Surabaya: Salemba Medika.
Susilo, Yekti,2011. Cara Jitu Mengatasi Hipertensi.
Yogyakarta: Andi
Bandiyah, Siti.2009. Lanjut Usia & Keperawatan
Gerontik.Yogyakarta : Nuha Medika
Nugroho,wahjudi 2006. Keperawatan Gerontik &
Geriatrik Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Muhammadun. 2010. Hidup Bersama Hipertensi. Jakarta :
in-Book.
Rizema Putra, Sitiatava,2012. Panduan Riset Keperawatan
dan Penulisan Ilmiah. Jakarta: D-Medika
Ardika, 2012, Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga
Arikunto, 2011. Prosedur Penelitian, Jakarta : Rineka
Cipta
Nursalam, 2003 Konsep dan Penerapan Metodeologi
Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba
Medika
Setiadi, 2007, Konsep & Penulisan Riset Keperawatan,
Graha Ilmu Jakarta
Tara,
Elizabet,2008
prevalesi
Hipertensi
dan
Determinannya Di Indonesia, Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
Bangun A.P 2008 Terapi Jus dan Ramuan Tradisonal
Untuk Hipertensi, Jakarta Agromedia Pustaka.
Fahrur, 2012 Lima Tugas Kesehatan Keluarga Untuk
Mengenal
Hipertensi
Digilib.
Urinus
.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-fahrur021-5182-1bab1.pdf diakses pada tanggal 17 April 2012.
MANFAAT MENGUNYAH PERMEN KARET YANG MENGANDUNG
XYLITOL DAN NON XYLITOL DALAM MENURUNKAN INDEKS
PLAK PADA SISWA-SISWI KELAS VI-A SDN 060930 TITI KUNING
KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2014
Yetti Lusiani, Etty M. Marthias, Hasny
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Masalah gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini masih memerlukan perhatian yang cukup besar.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, penyakit karies gigi dan
periodontal telah dialami oleh sekitar 90% masyarakat. Penyakit tersebut memiliki hubungan yang erat
dengan keadaan kebersihan mulut yang terabaikan, sehingga terbentuk lapisan yang melekat erat pada
permukaan gigi yang mengandung bakteri, yang disebut sebagai plak. Plak inilah yang merupakan penyebab
utama dari karies gigi dan penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat
mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dan non xylitol dalam menurunkan indeks plak pada
siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor. Jenis penelitian yang digunakan
merupakan penelitian deskriptif dengan metode survey. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata indeks plak
pada sampel sebelum mengunyah permen karet xylitol adalah 1,24 dengan kriteria baik sebanyak 1 siswa
dan kriteria sedang sebanyak 17 siswa. Indeks plak pada sampel yang mengunyah permen karet non xylitol
adalah 1,09 dengan kriteria baik sebanyak 1 siswa dan kriteria sedang sebanyak 16 siswa. Setelah dilakukan
pengunyahan didapat penurunan indeks plak sebesar 1,03 pada sampel mengunyah permen karet xylitol
dengan kriteria seluruhnya baik dan 0,65 pada sampel yang mengunyah permen karet non xylitol dengan
kriteria seluruhnya baik.
Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol lebih efektif dalam menurunkan indeks plak.
Kata kunci : xylitol, non xylitol dan indeks plak
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu diusahakan upaya kesehatan yang
bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima serta
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.Upaya-upaya
kesehatan tersebut sesuai dengan bab IV pasal 47 undangundang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan meliputi
pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan
(promotif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2010).
Masalah gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini
masih memerlukan perhatian yang cukup besar.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004, dewasa ini penyakit karies gigi dan
periodontal telah dialami oleh sekitar 90% masyarakat.
Penyakit periodontal dan karies gigi mempunyai sifat
progresif yang bila tidak dirawat atau tidak diobati akan
semakin parah, dan bersifat irreversible yaitu jaringan yang
rusak dan tidak dapat utuh kembali atau pulih seperti
semula. Penyakit tersebut memiliki hubungan yang erat
dengan keadaan kebersihan mulut yang terabaikan,
sehingga terbentuk lapisan yang melekat erat pada
permukaan gigi yang mengandung bakteri, yang disebut
sebagai plak.
Plak gigi dapat didefinisikan sebagai deposit lunak
yang membentuk biofilm dan melekat pada permukaan gigi
atau permukaan keras lain pada rongga mulut. Plak gigi
terdiri dari berbagai macam mikroorganisme. Istilah
“biofilm” digunakan untuk menggambarkan komunitas
mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi.
Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan dua
penyakit gigi dan mulut yang memiliki insidensi tinggi di
masyarakat.
Penyebab utama kedua penyakit tersebut adalah
kumpulan bakteri yang terikat dalam plak. Upaya
pengendalian perjalanan penyakit tersebut dapat dilakukan
dengan cara menghilangkan plak secara mekanik dan
kimiawi. Plak yang tidak dibersihkan akan termineralisasi
menjadi kalkulus atau karang gigi. Plak dan karang gigi
inilah yang akan mengiritasi gusi dan menyebabkan gusi
berdarah, bengkak (gingivitis). Perkembangan selanjutnya
menjadi periodontitis jika kerusakan sudah mengenai
tulang pendukungnya.
Untuk itu diperlukan upaya pencegahan terhadap
akumulasi plak. Saat ini di dalam dunia kedokteran gigi
134
telah ditemukan inovasi terbaru yang menyempurnakan
perawatan gigi, yaitu dengan mengkonsumsi xylitol,
karena xylitol merupakan pemanis yang aman dan
bermanfaat untuk kesehatan gigi dan mulut. Xylitol adalah
gula alternatif golongan polialkohol yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk plak.
Xylithol juga mampu mengurangi sintesa polisakarida
ekstra seluler yang dapat mengakibatkan perlekatan bakteri
plak. Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol
mulai banyak dilakukan di beberapa negara untuk
melindungi gigi.
Pada survey awal di SD Negeri 060930 Titi Kuning
Kecamatan Medan Johor banyak ditemukan plak pada gigi
siswa-siswi disekolah tersebut. Sebelumnya sekolah
tersebut belum pernah mendapat pelayanan asuhan
kesehatan gigi,
jadi perilaku siswa-siswi terhadap
kesehatan gigi dan mulut masih kurang sehingga
menyebabkan kebersihan gigi dan mulut siswa-siswi juga
masih kurang baik.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin
meneliti bagaimana manfaat mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol dan non xylitol terhadap
penurunan indeks plak pada siswa-siswi kelas VI-A SD
Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor.
Tujuan penelitian untuk mengetahui manfaat
menguyah permen karet yang mengandung xylitol dan
non xylitol dalam menurunkan indeks plak pada siswasiswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan
Medan Johor
Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak
Sebelum Mengunyah Permen Karet yang
Mengandung Xylitol pada Siswa-siswi kelas
VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan
Medan Johor Tahun 2014
Indeks plak
Perlakuan
Total
Baik
Sedang
Buruk N
(%)
Sebelum
n %
n
%
n %
Mengunyah
permen karet 1 5,6 17 94,4 0 0 18 100
xylitol
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa
kriteria indeks plak pada siswa-siswi kelas VI-A SDN
060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor sesudah
mengunyah permen karet yang mengandung xylitol
seluruhnya adalah baik yaitu berjumlah 18 siswa (100%).
Dan tidak ada siswa dengan kriteria indeks plak sedang
dan buruk.
Jenis penelitian yang digunakan merupakan
penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survey.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswasiswi kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan
Medan Johor yang berjumlah 35 siswa.
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010), apabila kurang dari
100, lebih baik diambil semua sehingga penelitian ini
merupakan penelitian populasi (Arikunto,2006). Dalam
penelitian ini sampel merupakan keseluruhan dari populasi
yaitu sebanyak 35 siswa.
HASIL
Dari 35 sampel yang diteliti pada siswa-siswi
kelas VI-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan
Johor setelah diberi perlakuan mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol terjadi penurunan indeks plak
dibandingkan dengan yang mengunyah permen karet yang
non xylitol.
135
Tabel 1
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa indeks
plak sebelum mengunyah permen karet xylitol sebagian
besar adalah berkriteria sedang yang berjumlah 17 siswa
(94,4%). Sedangkan untuk indeks plak dengan kriteria baik
berjumlah 1 siswa (5,6%).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak
Sesudah Mengunyah Permen Karet yang
Mengandung Xylitol pada Siswa-siswi Kelas VIA SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan
Johor.
Indeks plak
Perlakuan
Total
Baik
Sedang Buruk N
(%)
Sesudah
n
% n % n %
Mengunyah
permen karet 18 100 0 0 0 0 18
100
xylitol
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Penurunan Indeks Plak
Sebelum Dan Sesudah Mengunyah Permen
Karet Yang Mengandung Xylitol.
Rata-rata indeks plak
Perlakuan
Penurunan
Sebelum
Sesudah
Mengunyah
permen karet
1,24
0,21
1,03
xylitol
Berdasarkan tabel diatas dapat dlihat bahwa
terjadi penurunan indeks plak sebesar 1,03 pada
perlakuan mengunyah permen karet dengan xylitol.
Indeks plak sebelum mengunyah permen karet xylitol
sebesar 1,24 dan sesudah mengunyah permen karet
xylitol 0,21.
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak
Sebelum Mengunyah Permen Karet Non Xylitol
pada Siswa-siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014
Indeks plak
Perlakuan
Total
Baik
sedang
Buruk N
( %)
Sebelum n %
n
%
n %
Mengunyah
permen
1 5,9 16 94,1 0 0 17 100
karet non
xylitol
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa indeks
plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol
sebagian besar adalah berkriteria sedang yang berjumlah
16 siswa (94,1%). Sedangkan untuk indeks plak dengan
kriteria baik berjumlah 1 siswa (5,9%).
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Persentase Indeks Plak
Sesudah Mengunyah Permen Karet Non Xylitol
pada Siswa-siswi Kelas VI-A SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor.
Indeks plak
Perlakuan
Total
Baik
sedang buruk N
( %)
Sebelum n
%
n % n %
Mengunyah
permen
17 100 0 0 0 0 17
100
karet non
xylitol
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa
kriteria indeks plak pada siswa/i kelas VI-A SDN 060930
Titi Kuning Kecamatan Medan Johor sesudah mengunyah
permen karet non xylitol seluruhnya adalah baik yaitu
berjumlah 17 siswa (100%). Tidak ada siswa dengan
kriteria indeks plak sedang dan buruk.
Tabel 6.
Distribusi Frekuensi Penurunan Indeks Plak
Sebelum dan Sesudah Mengunyah Permen
Karet Non Xylitol.
Rata-rata indeks plak
Perlakuan
Penurunan
Sebelum
Sesudah
Mengunyah
permen karet
1,09
0,44
0,65
non xylitol
Berdasarkan tabel diatas dapat dlihat bahwa
penurunan indeks plak pada sampel setelah mengunyah
permen karet non xylitol sebesar 0,65. Indeks plak
sebelum mengunyah permen karet non xylitol sebesar
1,09 dan sesudah mengunyah permen karet non xylitol
sebesar 0,44.
PEMBAHASAN
Dari tabel 1, 2 dan 3 dapat dilihat bahwa persentase
kriteria indeks plak sebelum mengunyah permen karet
xylitol pada siswa-siswi kelas VI-A SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014 dengan
kriteria baik sebanyak 1 siswa (5,6%), kriteria sedang
sebanyak 17 siswa (94,4%), tidak ada siswa dengan
kriteria buruk (0%). Sesudah mengunyah permen karet
xylitol seluruh sampel memiliki kriteria indeks plak baik
sebanyak 18 siswa (100%). Terjadi penurunan indeks plak
sebesar 1,03 setelah mengunyah permen karet xylitol,
dimana indeks plak sebelum mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol sebesar 1,24 dan sesudah
mengunyah permen karet xylitol sebesar 0,21.
Dari tabel 4,5 dan 6 dapat dilihat bahwa
persentase kriteria indeks plak sebelum mengunyah
permen karet non xylitol pada siswa-siswi kelas VI-A
SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun
2014 dengan kriteria baik dijumpai 1 siswa (5,9%), kriteria
sedang sebayak 16 siswa (94,1%), dan tidak ada siswa
dengan kriteria buruk, sedangkan sesudah mengunyah
permen karet non xylitol dengan kriteria baik sebanyak 17
siswa (100%). Terjadi penurunan indeks plak sebesar 0,65
setelah mengunyah permen karet non xylitol, dimana
indeks plak sebelum mengunyah permen karet non xylitol
sebesar 1,09 dan sesudah mengunyah permen karet non
xylitol sebesar 0,44.
Permen karet yang mengandung xylitol dapat
digunakan sebaga alat pembersih gigi dan gusi.
Konsumsi karbohidrat yang tinggi pada anak-anak
menyebabkan bakteri berkembang biak lebih cepat di
dalam mulut. Bakteri menyebabkan suasana asam
dalam mulut dan mempermudah terjadinya karies.
Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol
akan mengurangi terjadinya demineralisasi akibat
karbohidrat. (Susanto,2011).
Xylitol adalah gula alternatif golongan
polialkohol yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembentuk plak. Xylithol juga mampu
mengurangi sintesa polisakarida ekstra seluler yang
dapat mengakibatkan perlengketan bakteri plak.
Mengunyah permen karet yang mengandung xylitol
dilakukan untuk mengurangi plak. Efeknya dalam
mulut dapat mengurangi jumlah plak yang dilihat
berdasarkan kerja bakteri terhadap xylitol untuk
memproduksi asam, tidak seperti pada jenis gula
lainnya (Donna Pratiwi,2009).
Xylitol
tidak
menghasilkan asam sama sekali pada plak. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa xylitol meningkatkan
pH dan karenanya gula jenis ini dianggap sangat aman
bagi gigi, meskipun adaptasi bakteri pada plak tetap
masih mungkin terjadi.
Kandungan xylitol dalam permen sangat
bermanfaat bagi orang yang mengalami masalah
kesehatan gigi dan mulut. Xylitol dapat mengurangi
gigi berlubang, plak, dan dengan sendirinya akan
menghambat
perkembangan bakteri streptococcus
mutans.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang manfaat
mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dan
non xylitol terhadap penurunan indeks plak pada siswasiswi kelas IV-A SDN 060930 Titi Kuning Kecamatan
136
Medan Johor Tahun 2014 maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Persentase indeks plak sebelum mengunyah
permen karet xylitol adalah 1 orang (5,6%)
berkategori baik dan 17 orang
(94,4%)
kategori
sedang.
Sedangkan
sesudah
mengunyah permen karet yang mengandung
xylitol kategori baik yaitu 18 siswa (100%),
kategori sedang dan buruk tidak ada.
2. Persentase indeks plak sebelum mengunyah
permen karet non xylitol adalah kategori baik
yaitu 1 siswa (5,9%), kategori sedang
sebanyak 16 siswa (94,1%) dan kategori buruk
tidak ada. Sedangkan sesudah mengunyah
permen non xylitol kategori baik yaitu 17
siswa (100%), kategori sedang dan buruk
tidak ada.
3. Indeks plak rata-rata sebelum mengunyah
permen karet yang mengandung xylitol
sebesar 1,24, sedangkan sesudah mengunyah
permen karet yang mengandung xylitol
sebesar 0,21.
4. Indeks plak rata-rata sebelum mengunyah
permen karet non xylitol sebesar 1,09,
sedangkan sesudah mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol sebesar 0,44.
5. Mengunyah permen karet yang mengandung
xylitol lebih efektif menurunkan indeks plak
dibandingkan dengan mengunyah permen
karet non xylitol. Terjadi penurunan indeks
plak sebesar 1,03 pada sampel sesudah
mengunyah permen karet yang mengandung
xylitol, sedangkan yang mengunyah permen
karet non xylitol sebesar 0,65.
B.
137
Saran
1. Diharapkan kepada siswa-siswi SDN 060930
Titi Kuning Kecamatan Medan Johor agar
dapat menambah pengetahuan dalam
2.
3.
menjaga kesehatan dan kebersihan gigi dan
mulut.
Kepada siswa-siswi SDN 060930 Titi
Kuning Kecamatan Medan Johor agar dapat
memilih jajanan yang dapat menjaga
kesehatan gigi dan mulut dan tidak merusak
kesehatan gigi dan mulut salah satunya
adalah permen karet yang mengandung
xylitol.
Orang tua siswa agar dapat lebih mengontrol
kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta.
Jakarta.
Boedihardjo, 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga, Lembaga Penerbitan Universitas
Airlangga, Surabaya.
Budiman A. Johan, dkk, 1996. Mengenal Gigi Anda,
Penerbit Arca, Jakarta.
Dalimunthe., 2008. Periodontia. Penerbit USU Press.
Medan.
Notoatmodjo S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan,
Jakarta.
Panjaitan M,1995. Etiologi Karies Gigi dan Penyakit
Periodontal,
Edisi
Pertama,
Penerbit
Universitas Sumatera Utara Press.
Pintauli S,dkk,2010. Menuju Gigi dan Mulut Sehat
Pencegahan dan Pemeliharaan, penerbit USU
Press.
Pratiwi D, 2009. Gigi Sehat Dan Cantik, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta
Susanto G, 2011. Terapi Untuk Kesehatan dan Kecantikan
Gusi, Penerbit Erlangga.
EFEKTIFITAS PEMBERIAN SOYGHURT TERHADAP PENURUNAN
KADAR KOLESTEROL DALAM DARAHMENCIT (Mus musculus)
DENGAN JUMLAH BAKTERI ASAM LAKTAT DAN SUHU INKUBASI
YANG OPTIMUM
Rosmayani Hasibuan
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Penelitian tentang pembuatan soyghurt dengan menggunakan bakteri asam laktat, Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas
soyghurt dalam menurunkan kadar kolesterol dalam darah mencit dengan jumlah bakteri asam laktat
dan suhu inkubasi yang optimum. Perlakuan suhu inkubasi pada pembuatan soyghurt adalah 30⁰,
35⁰, dan 40⁰C. Analisa jumlah bakteri asam laktat berdasarkan Standar PlateCount.Identifikasi jenis
bakteri dilakukan dengan pengamatan karakteristik morfologi dan uji biokimia.Karakteristik
morfologi dilakukan dengan pewarnaan Gram, sedangkan uji biokimia dilakukan dengan uji katalase,
fermentasi karbohidrat, motilitas, reduktase nitrat, dan uji ketahanan suhu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu yang optimal pada pembuatan soyghurt adalah 40⁰C dengan jumlah koloni
sebesar 1,63 x 109 CFU/ml. Pemberian soyghurt dengan konsentrasi 0,25, 0,50 dan 1% kepada hewan
uji (mencit) menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap penurunan kadar kolesterol dalam darah
mencit, masing-masing 18,43, 22,18 dan 35,75%. Pemberian soyghurt dengan konsentrasi 1%
menunjukkan penurunan kadar kolesterol yang paling significan yaitu 35,75%.
Kata kunci : Suhu inkubasi, Bakteri asam laktat, Soyghurt, Kolesterol
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sejak abad II sebelum Masehi susu kedelai sudah
dibuat di negara Cina, dan kemudian berkembang ke
Jepang. Setelah Perang Dunia II baru berkembang ke Asia
Tenggara. Sampai saat ini perkembangan susu kedelai di
Indonesia masih jauh tertinggal dengan Singapura,
Malaysia dan Philipina (Koswara, 2006).
Susu kedelai baru beberapa tahun terakhir dikenal
dan dikembangkan di Indonesia. Seperti halnya susu sapi,
susu kedelai ternyata dapat dibuat menjadi yoghurt susu
kedelai yang dikenal dengan nama “Soyghurt”, yang
merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat
dengan melibatkan
bakteri asam laktat seperti
penambahan bakteri Streptococcus thermophillus dan
Lactobacillus bulgaricus (Heller, 2001).
Produk soyghurt yang berkualitas memerlukan
kombinasi dua atau lebih bakteri yang digunakan sebagai
starter. Kombinasi kedua bakteri asam laktat tersebut
bersifat sinergis, Pada awal pertumbuhan S. thermophilus
akan menghasilkan kadar asam laktat 0,8-1,0%, dan
kondisi ini dimanfaatkan oleh L. bulgaricus hingga
mencapai kadar asam laktat 1,5-2,0%. (Soeharsono, 2010).
Tingkat penambahan dan kondisi starter berpengaruh
terhadap aktifitas bakteri dan produk asam yang dihasilkan
(Buckle et al., 1987), selain itu harus diperhatikan
penggunaan suhu inkubasi agar aktifitas bakteri starter
berlangsung secara optimal (Soeharsono, 2010).
Kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi
makanan sehat (pangan fungsional) semakin meningkat
sehingga produk hasil fermentasi yang aman dikonsumsi
juga cenderung meningkat. Produk-produk fermentasi
telah lama diketahui mempunyai berbagai keunggulan
ditinjau dari aspek gizi dan kesehatan.
Peningkatan pendapatan masyarakat
dan
kebutuhan makanan sehat
yang terus berkembang
menunjukkan besarnya peluang untuk malakukan
penelitian tentang pangan fungsional diantaranya adalah
susu fermentasi (Kurana, 2007). Dalam pembuatan
soyghurt digunakan 2 spesies bakteri yang tumbuh secara
simbiotik yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus. Kedua spesies bakteri ini jika ditumbuhkan
bersama sama akan memproduksi asam lebih banyak
dibandingkan jika tumbuh secara terpisah. L. bulgaricus
dan S. thermophillus merupakan bakteri asam laktat
homofermentatif yang terutama merubah laktosa menjadi
asam laktat. Suhu inkubasi biasanya diantara 40-45⁰C,
32⁰C atau pada suhu ruang (sekitar 29⁰C) dengan waktu
yang berbeda. Pada mulanya Lactobacilli
tumbuh
dominan dan menghasilkan asam amino glisin dan histidin,
kedua senyawa ini akan merangsang pertumbuhan
Streptococci (Hidayat,dkk, 2006)
138
Pengaruh suhu inkubasi dengan modifikasi
beberapa tingkatan suhu pada proses pembuatan soyghurt
sangat menentukan populasi bakteri asam laktat dan
komponen metabolit skunder yang dihasilkan sehingga
perlu dilakukan
penelitian tentang perbedaan suhu
inkubasi terhadap jumlah koloni bakteri starter terutama L.
bulgaricus dan S. thermophilus pada pembuatan soyghurt
dan efektifitasnya terhadap penurunan kadar kolesterol di
dalam darah.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian tentang pengaruh suhu inkubasi terhadap
jumlah koloni bakteri asam laktat yang digunakan sebagai
starter sangat menentukan keberadaan
bakteri L.
bulgaricusdanS. thermophilus yangdidasarkan pada
pertimbangan bahwa keduabakteri tersebut merupakan
masalah utama padaproses pembuatan soyghurt. Suhu
inkubasi yang sesuai akan memberikan pertumbuhan
bakteri tersebut lebih optimum dan dapat efektif untuk
menurunkan kadar koleterol di dalam darah.Bakteri asam
laktat memiliki kemampuan menurunkan kolesterol di
dalam darah sebagai salah satu unsur utama pada proses
pembuatan soyghurt.Berdasarkan uraian di atas
dapatdirumuskan beberapa permasalahan yaitu
1. Apakah perbedaan suhu inkubasi pada proses
pembuatan soyghurt dapat menghasilkan jumlah
koloni bakteri asam laktat yang bervariasi.
2. Apakah bakteri asam laktat pada soyghurt memiliki
potensi dalam menurunkan kadar kolesterol dalam
darah
Kerangka Pemikiran
Bakteri asam laktat L. bulgaricus dan S.
thermophilus sebagai starter yang ditambahkan pada
pembuatan soyghurt akan mampu mengikat atau
memasukkan kolesterol ke dalam membran sitoplasmanya
sehingga kadar kolesterol berada sesuai dengan kebutuhan
metabolisme dalam tubuh. (Danielson et al., 1989)
Pertumbuhan bakteri asam laktat pada fermentasi
soyghurt sangat dipengaruhi oleh suhu inkubasi, sehingga
perlu dilakukan penggunaan suhu inkubasi yang berbeda
untuk melihat seberapa banyak jumlah koloni L.
bulgaricus dan S. thermophillus pada pembuatan soyghurt
sehingga penurunan kadar kolesterol dapat terlihat nyata.
Pengaruh suhu inkubasi terhadap jumlah koloni
bakteri asam laktat pada pembuatan soyghurt belum
banyak dilaporkan, berdasarkan hal tersebut akan
dilakukan penelitian tentang efektifitas pemberian soyghurt
terhadap penurunan kadar kolesterol dalam darah dengan
jumlah koloni BAL dan suhu inkubasi yang optimum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendapatkan suhu inkubasi yang optimum bagi
pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophillus
pada pembuatan soyghurt.
2.
Menentukan jumlah koloni yang optimum dari L.
bulgaricus dan S. thermophillus sebagai bakteri
asam laktat pada pembuatan soyghurt.
139
3.
Mengevaluasi kemampuan bakteri L. bulgaricus
dan S. thermophillus dalam menurunkan kadar
kolesterol di dalam darah secara in Vivo.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi tentang pengaruh suhu inkubasi pada pembuatan
soyghurt terhadap jumlah koloni bakteri starter L.
bulgaricus dan S. thermophillus yang memiliki
kemampuan dalam menurunkan kadar koleterol di dalam
darah sehingga dapat memberikan kontribusi bagi
masyarakat dan industri yang bergerak di bidang pangan
fungsional.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1.
Dihasilkan suhu inkubasi yang sesuai untuk
pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi
pada pembuatan soyghurt.
2.
Diperoleh jumlah bakteri asam laktat yang
optimum untuk pembuatan soyghurt.
3.
Bakteri asam laktat L. bulgaricus dan S.
thermophillus mampu menurunkan kadar
kolesterol di dalam darah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April
hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Teknologi Hasil Pangan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium
Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia Klinik Balai
Laboratorium Kesehatan Medan, Laboratorium
Struktur Hewan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah mencit
(Mus musculus)
Sampel
Sampel penelitian terdiri dari 40 ekor mencit
berusia 2-3 bulan dengan berat 20 – 35 gram yang
diperoleh dari Laboratorium Fisiologi Hewan FMIPA
USU Medan.
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang mencit,
tempat makanan dan minuman, gavage, dissecting set,
neraca balance, oven (Memmert), tabung reaksi, pipet
takar, cawan petri, object glass, labu Erlenmeyer, lampu
Bunsen, incubator (Memmert), autoklaf (Memmert),
mikroskop (Olympus), dandang, blender (Miyako), kain
saring, thermometer, gelas kimia, spuit, water bath
(Memmert), sentrifuge (Memmert), Microlab 300 (EMerk).
Bahan
Bahan yang digunakan untuk makanan mencit
adalah ransum makanan mencit (B103) yang diproduksi
oleh PT.Mabar Feed Indonesia.
Bahan yang digunakan untuk pakan kolesterol
adalah
ransum makanan mencit (B 103) yang
mengandung minyak makan, kuning telur dan lemak
kambing.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan soyghurt adalah
kedelai, susu skim, gula pasir, natrium bikarbonat, yoghurt
plain (Biokul) yang mengandung bakteri L. bulgaricus dan
S. thermophillus‟
Bahan yang digunakan untuk pembiakan dan
identifikasi Bakteri asam laktat adalah MRS Agar, NaCl
fisiologis, alkohol, iodine, safranin, glukosa, laktosa
,maltosa, mannose, perhidrol.
Bahan yang digunakan untuk analisa kadar
kolesterol adalah serum mencit, Kit Cholesterol (CE.
Dialab) ), heparin (E.Merck).
Pembuatan Kultur Starter (Koswara, 2006)
Kultur starter dibuat dari susu bubuk yang
ditambah air masak hingga mencapai total solid 16% ,
kemudian dipanaskan 80°C selama 30 menit, dan
ditambahkan gula pasir 2% kemudian diinokulasi
dengan kultur starter dari Biokul sebanyak 5% , kocok
dan diinkubasi pada suhu 37 sampai 40°C selama 6
sampai 8 jam (Koswara, 2006).
Pembuatan Susu Kedelai (Yudhi, 2008)
1.
Pembersihan dan Pencucian
Biji kedelai dibersihkan dari kotoran
(pasir), biji
hitam dan berkapang,
kemudian
dicuci
sampai
bersih,
kotoran dan biji yang mengapung
dibuang. Pencucian dilakukan sampai air
bilasan tampak jernih.
2.
Perendaman
Biji kedelai yang telah dicuci direndam
selama 8 jam dalam air yang mengandung
NaHCO3 0.5% .Air diganti setiap 2-3 jam,
setelah itu ditiriskan.
3.
Perebusan
Biji kedelai dimasukkan kedalam air
mendidih. Besar api diatur sehingga suhu
bertahan antara 85-90°C. Perendaman
dalam air panas ini berlangsung selama 30
menit, setelah itu kedelai diangkat dan
ditiriskan,kemudian kupas kulit kacang
kedelai.
4.
Persiapan Air Panas
Air bersih dipanaskan sampai suhu
90°C.Jumlah air 6 kali berat kedelai
kering.Suhu air dipertahankan selama
pekerjaan berlangsung.
5.
Penggilingan
Biji kedelai diblender sampai menjadi
bubur kedelai.Penggilingan dilakukan
sambil ditambah air panas.Jika air panas
yang disediakan tidak habis untuk
6.
menggiling kedelai, sisa air dicampurkan
kedalam bubur kedelai kemudian diaduk
selama 3 menit.
Penyaringan
Bubur kedelai disaring dan diperas
dengan kain saring rangkap dua,filtrat
ditampung dan ampasnya dibuang. Filtrat
dipanaskan 80-90°C selama 30 menit,
kemudian dinginkan sampai 40°C
Pembuatan Soyghurt (Koswara, 2006)
Susu kedelai hangat (40°C) dicampur dengan
susu bubuk hingga mencapai total solid 16%,
ditambahkan gula pasir 2%, dan diinokulasikan dengan
kultur starter 2-3% (Yudhi, 2008). Kemudian dilakukan
pengadukan sampai gumpalan starter larut semua dan
dimasukkan kedalam wadah tertutup yang berpori,
dibagi 3 tempat kemudian masing-masing wadah
diinkubasi pada suhu 30°C (wadah I), 35°C (wadah II)
dan 40°C (wadah III) selama 5 jam. Diagram alir
pembuatan soyghurt dapat dilihat pada Lampiran E.
Pemeliharaan Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan mencit (Mus
musculus. L) jantan yang sehat sebanyak 40 ekor serta
berumur 8-11 minggu dengan berat 20-35 gram. Mencit
tersebut diperoleh dari Laboratorium Fisiologi Hewan
FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan dan dibagi
dalam kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan
perlakuan.Mencit diberi makan dan minum secara oral.
Kandang mencit dijaga kebersihannya dan cahaya ruangan
dikontrol dan diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap,
sedangkan suhu dan kelembapan ruangan dibiarkan berada
pada keadaan alamiah (Kusumawati, 2008).
Perhitungan Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat
(Suriawiria, 2006)
Perhitungan jumlah koloni bakteri starter
dengan metoda Total Plate Count dan seri pengenceran.
Dipipet 1 ml soyghurt (dari masing-masing wadah)
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 9 ml larutan NaCl fisiologis.Larutan ini
merupakan larutan pengenceran 10-1.Dikocok sampai
homogen, dilakukan pengenceran berikutnya hingga
10-10. Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml dimasukkan
kedalam cawan petri yang sudah berisi media MRS
Agar (Zahoor et al., 2003).. Disebarkan inokulum
diatas permukaan media hingga merata. Inkubasi media
MRS Agar yang sudah berisi suspensi soyghurt pada
37°C selama 72 jam dalam suasana fakultatif anaerob.
Dihitung jumlah koloni dengan metode Total Plate
Count.Cara pengenceran seri dapat dilihat pada
Gambar 3.1.
Identifikasi Bakteri Asam laktat (Soeharsono. 2010)
Isolat yang diperoleh dilakukan identifikasi
berdasarkan karakteristik morfologi koloni dan reaksi
biokimia. Uji yang digunakan adalah total bakteri asam
laktat pewarnaan gram, uji katalase, uji motilitas, uji
ketahanan suhu, uji reduktase nitrat dan fermentasi gula
140
yang terdiri dari glukosa, laktosa, galaktosa dan
mannosa (Soeharsono, 2010 ).
Pewarnaan gram menurut Hadioetomo (1985),
dilakukan dengan membuat preparat ulas pada gelas
benda, difiksasi di atas api bunsen. Setelah diberi
pewarnaan preparat diamati dengan mikroskop, uji
gram positif jika sel berwarna ungu dan negative jika
sel berwarna merah.
Uji katalase menurut Lay (1994), dilakukan
dengan mengambil isolat dari agar miring satu ose,
kemudian dioleskan pada gelas benda yang telah diberi
alkohol. Gelas benda ditetesi dengan larutan H2O2
3%.Diamati terbentuknya gelembung gas pada
preparat. Jika terdapat gelembung gas berarti uji
katalase tersebut positif
Uji fermentasi gula yang terdiri dari media
glukosa, laktosa, galaktosa dan mannosa dilakukan
dengan mengambil isolat dari agar miring dan
dimasukkan kedalam masing-masing karbohidrat yang
sebelumnya ditambahkan BCP (Brom Cresol Purple)
sebagai indikator asam, kemudian diinkubasi pada suhu
37⁰C selama 48 jam (Hadioetomo.1985). Diamati
perubahan warnanya, positif jika larutan berwarna
kuning menandakan terjadinya proses fermentasi dan
negatif jika larutan tetap berwarna ungu. (Garner dan
Muriana, 1993).
Uji motilitas menurut Barrow dan Kromosom
(1993) dilakukan dengan mengambil isolat dari agar
miring dan ditusukkan pada agar tegak smi solid SIMA
(Sulfit Indol Motility Agar), kemudian diinkubasi pada
suhu 30⁰C selama 48 jam. Uji motilitas positif, jika
pertumbuhan koloni menyebar luas pada agar dan
negative jika pertumbuhan koloni tidak menyebar (
Hasan, 2006 ).
Uji ketahanan suhu (Stamer, 1979). Isolat dari
agar miring dilarutkan ke dalam dua media MRS Broth
dan diinkubasi pada suhu 10⁰C dan 45⁰C selama 48
jam. Jika media keruh menandakan adanya
pertumbuhan bakteri.
Uji reduktase nitrat (Hadioetomo, 1993). Isolat
dari agar miring dimasukkan ke dalam media Nitrat
Broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 37⁰C selam
48 jam,lalu ditetesi dengan 1 ml Reagensia A (asam
sulfanilat 0,8 gram dan 5 N asam asetat 100 ml) dan 1
ml Reagensia B (dimethyl-α-naphtylamin 0,5 gram dan
5 N asam asetat 100 ml).Uji reduktase positif jika
terbentuk warna merah, dan negatif jika tidak terjadi
perubahan warna.
Tahap Evaluasi Efek Bakteri Asam Laktat Secara
In Vivo (Djide, 2006)
Soyghurt yang mengandung jumlah bakteri
asam laktat paling banyak dari ketiga perlakuan suhu
inkubasi (40 ⁰C) diberikan kepada hewan uji mencit
putih jantan.Mencit jantan sebagai bahan percobaan
terdiri atas 5 kelompok perlakuan yaitu:
1.
Kelompok kontrol negatif terdiri dari 8 ekor
mencit jantan yang diberi makanan
dan
minuman biasa secara oral selama 2 minggu.
141
2.
3.
4.
5.
Kelompok kontrol positif terdiri dari 8 ekor
mencit jantan yang diberi makanan biasa dan
pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu.
Kelompok perlakuan 1 terdiri dari 8 ekor mencit
jantan yang diberi makanan biasa ditambah
pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu,
kemudian diberikan soyghurt 0,25% secara oral
selama 2 minggu.
Kelompok perlakuan 2 terdiri 8 ekor mencit
jantan yang diberi makanan biasa ditambah
pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu,
kemudian diberi kan soyghurt 0,5% secara oral
selama 2 minggu.
Kelompok perlakuan 3 terdiri dari 8 ekor mencit
jantan yang diberi makanan biasa ditambah
pakan kolesterol secara oral selama 2 minggu,
kemudian diberikan soyghurt 1% secara oral
selama 2 minggu.
Waktu Pengambilan Darah dan Pengukuran Kadar
Kolesterol
Pengambilan darah mencit untuk pengukuran kadar
kolesterol adalah
sebagai berikut :
1.
Diukur kadar kolesterol total awal untuk mencit
kontrol yang sebelumnya dipuasakan selama 18
jam.
2.
Setelah 2 minggu, diukur kadar kolesterol dari
kelompok kontrol positif yang sebelumnya
dipuasakan selama 18 jam.
3.
Setelah 4 minggu diukur kadar kolesterol dari
kelompok perlakuan I,II dan III yang
sebelumnya dipuasakan selama 18 jam.
Cara Memperoleh Serum (Animal Research, 2002)
Serum diperoleh dari darah mencit yang
diambil melalui jantung menggunakan spuit sebanyak
1 ml yang sudah mengandung heparin.
Cara Pengukuran Kadar Kolesterol Metode
CHOD.PAP (CE. Dialab)
Kadar kolesterol diukur menggunakan Kit
kolesterol dari CE.Dialab (Dialab Production Und
Vertrieb Von Chemich-Technischen Produkten
undLaborinstrumenten Geselsschaft m.b.H) metode
CHOD.PAP menggunakan Microlab 300 (E-Merk)
dengan cara kerja sbb :
1.
Standar
Kedalam cuvet dipipet 10 μl larutan standar
kolesterol, kemudian ditambahkan reagensia
kolesterol 1000 μl, dicampur dan diinkubasi
pada suhu 370C selam 5 menit.
2.
Sampel
Kedalam cuvet dipipet 10 μl serum kemudian
ditambah reagensia
kolesterol 1000 μl,
dicampur dan diinkubasikan pada suhu 370C
selama 5 menit.
3.
Blanko
Kedalam cuvet dipipet 1000 μl reagensia
kolesterol dan diinkubasikan
pada 370C
selama 5 menit. Absorbans standar dan
sampel diukur terhadap blanko
panjang gelombang 546 nm.
dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat (BAL) Pada
Soyghurt
Jumlah koloni BAL menunjukkan angka yang
bervariasi pada ketiga suhu inkubasi yang berbeda,
yaitu pada suhu 30°, 35°C dan 400C seperti yang
ditampilkan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1. Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat pada
Soyghurt SuhuInkubasi 300, 350 dan 400C
Suhu
300C
350C
400C
10-1
148
263
~
10-2
102
160
~
10-3
95
121
~
10-4
50
94
~
10-5
27
54
~
10-6
9
20
~
10-7 10-8 10-9 10-10
1
8
163 64 18 3
BAL yang optimal yaitu sebesar 163 koloni pada
pengenceran 10-7. Pada kondisi yang sama koloni BAL
tidak dapat dihitung dari pengenceran10-1s/d10-6. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan koloni Streptococcus
thermophillus yang sangat mendominasi dan tumbuh
hampir diseluruh permukaan di dalam cawan petri. S.
thermophillus berkembang lebih cepat mengawali
pembentukan asam laktat melalui fermentasi laktosa.
Pertumbuhan ini terus berlangsung sampai mencapai pH
5,5 ( Lyn et al., 2010). Kondisi ini memberikan lingkungan
yang sangat baik untuk pertumbuhan L. bulgaricus
(Sneath et al., 1986).
Jumlah koloni kedua bakteri ini pada
pengenceran 10-7 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Jumlah Koloni Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus
thermophillus
pada
Pengenceran 10-7
Jenis Koloni
Lactobacillus bulgaricus
Streptococcus
thermophillus
Jumlah koloni (CFU/ml) tiap ulangan
1
2
3
Rata-rata
35
33
37
35
128
125
128
127
Malaka (2005) melaporkan bahwa pertumbuhan
Lactobacillus bulgaricus optimum pada suhu 37⁰C pada
waktu inkubasi 14 jam, menghasilkan jumlah koloni
sebesar 4,9 x 109 CFU/ml, sedangkan pada suhu 250C dan
300C selama 6 jam masih menunjukkan fase pertumbuhan
adaptasi (fase lag) . Pertumbuhan yang thermofilik tersebut
ternyata dapat pula dirangsang oleh natrium format yang
dibebaskan dari laktosa selama pemanasan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Herawati dan Andang (2009) bahwa
format dan CO2 yang dihasilkan akan menstimulasi
Lactobacillus bulgaricus, disamping itu aktifitas proteolitik
dari L. bulgaricus ternyata menghasilkan peptide dan asam
amino yang digunakan untuk pertumbuhan Streprococcus
thermophillus. Pette dan Lolkema dalam Soeharsono
(2010), menyatakan bahwa jumlah sel dari kultur
campuran Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus pada suhu inkubasi 450C selama 3 jam
menghasilkan jumlah Streptococcus thermophillus yang
lebih besar yaitu 88 x 107 CFU/ml, sedangkan
Lactobacillus bulgaricus sebesar 17 x 107CFU/ml.
Demikan juga dengan hasil penelitian yang
dilaporkan oleh Lyn et al (2010), dengan menggunakan
campuran Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus pada suhu 370, 420 dan 450C, Streptococcus
thermophillus tumbuh 93% lebih banyak pada masing
masing suhu tersebut dibandingkan dengan Lactobacillus
bulgaricus, sedangkan pada penelitian ini dengan
menggunakan suhu 40⁰C menunjukkan jumlah S.
thermophillus 38% lebih banyak dari L. bulgaricus.
Berdasarkan dari hasil perhitungan jumlah koloni
BAL pada penelitian ini diperoleh bahwa soyghurt dengan
suhu inkubasi 400C mengandung BAL sebesar 1,63 x 109
CFU/ml. Hasil ini sesuai dengan jumlah BAL dalam usus
yang dibutuhkan untuk penurunan kadar kolesterol yaitu
sebesar 108 - 1011 CFU/ml (Jawetz, 1980), dan menurut
Wood (2002) jumlah minimal sel aktif dalam bahan
pangan probiotik adalah 106 CFU/ml. Pierre et al. (2000)
juga melaporkan bahwa jumlah bakteri probiotik > 1 x 108
CFU/g dalam makanan yang dikonsumsi akan
memberikan pengaruh proses metabolisme di dalam usus ,
antara lain mengubah pH lambung dan meningkatkan
populasi bakteri.
Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Identifikasi BAL dilakukan dengan uji
karakteristik dan morfologi serta uji biokimia antara
lain adalah uji katalase, reduktase nitrat, motilitas,
ketahanan suhu dan uji fermentasi karbohidrat. Hasil
identifikasi BAL dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Karakteristik Morfologi Sel dan Uji Biokimia BAL
Karakteristik
BAL 1
Bentuk sel
Batang
Pemetaan
Rantai pendek
Pewarnaan gram
Positif
Katalase
Negatif
Fermentasi
Mampu memfermentasi
Karbohidrat
Motilitas
Negatif
Reduktase nitrat
Negatif
Ketahanan suhu
Tidak tumbuh pada suhu
100C, tumbuh pada 450C
BAL 2
Coccus
Rantai panjang
Positif
negatif
Mampumemfermentas
karbohidrat
Negatif
Negatif
Tidak tumbuh pada suhu
100C,tumbuh pada 450C
142
Pengukuran Berat Badan Mencit
Berat badan hewan uji (mencit) diukur pada 0
hari, 15 hari dan 30 hari pada masing-masing kelompok
perlakuan. Pada kelompok 0 hari mencit hanya
diberikan pakan standar selama aklimatisasi.
Selanjutnya pada hari 0 s/d hari ke 15, kepada 4
kelompok lainnya (Kontrol positif, P1, P2 dan P3)
diberikan pakan kolesterol tinggi yang mengandung
lemak kambing 10%, kuning telur 5%, dan minyak
makan 1% selama 2 minggu.
Tabel 4. 4.
Persentase Penambahan Berat Badan
Mencit pada Hari Ke 15 Masing Masing Perlakuan
Perlakuan Berat Berat Penambahan Penambahan
Badan Badan Berat BadanBerat Badan
Awal Hari Ke(g)
(%)
Pada 015
Hari (g) (g)
Kontrol 31,11 32,75
1,64
5,27a
Kontrol +
33,07 35,05
1,98
5,99b
Perlakuan 1 32,72 35,85
3,13
9,57c
Perlakuan 2 32,76 35,62
2,86
8,73c
Perlakuan 3 32,65 35,33
2,68
8,21bc
Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda
nyata pada taraf 5%
Kelompok Kontrol positif menunjukkan persentase
penambahan berat badan yang berbeda nyata dengan
kelompok perlakuan P1, P2 dan P3. Kelompok P1
memberikan persentase penambahan berat badan yang
berbeda tidak nyata terhadap kelompok P2 dan P3,
demikian juga kelompok perlakuan P2 memberikan
persentase penambahan berat badan yang berbeda tidak
nyata terhadap kelompok P3.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
pakan kolesterol 2,5 gr/hari selama 2 minggu pada
perlakuan (Kontrol positif, P1, P2, P3) memberikan
persentase penambahan berat badan mencit yang terendah
sebesar 5,99% dan yang tertinggi sebesar 9,57%.
Selanjutnya pada hari ke 15 s/d hari ke 30, kepada hewan
uji kelompok P1diberikan soyghurt sebanyak 0,25%,
kelompok P2 0,5%, dan untuk kelompok P3 sebanyak 1%.
Pada kelompok hari ke 30 ini, tidak terjadi penurunan berat
badan mencit pada kelompok kontol negatif dan kontrol
positif, akan tetapi terjadi penurunan berat badan hewan
uji terhadap kelompok Perlakuan P1, P2, dan P3.
Berdasarkan uji statistik persentase penurunan berat
badan mencit pada hari ke 30, kelompok P1 menunjukkan
persentase penurunan berat badan yang berbeda nyata
(P<0,05) dengan kelompok P2 dan P3. Kelompok P2
menunjukkan persentase penurunan berat badan yang
berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok P3. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
143
Tabel 4.5. Persentase Penurunan Berat Badan Mencit
pada Hari ke 30 Masing-Masing
Kelompok Perlakuan
Perlakuan
Kontrol
negatif
Kontrol
positif
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Berat
Badan
Hari
Ke 15
(g)
32,75
Berat
Badan
Hari
Ke 30
(g)
33,39
Penurunan
Berat
Badan
(g)
Penurunan
Berat
Badan
(%)
-
-
35,05
38,00
-
-
35,85
35,62
35,33
33,43
32,27
31,11
2,42
3,35
4,22
6,75±0,53a
9,40±0,73b
11,94±0,98c
Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan
beda nyata pada taraf %
Pemberian soyghurt terhadap kelompok perlakuan
(P1, P2, P3) menunjukkan persentase penurunan berat
badan yang terendah sebesar 6,75±0,53% dan yang
tertinggi sebesar 11,94±0,98%. Penurunan berat badan ini
disebabkan karena mencit diberikan soyghurt yang
mengandung kedelai dengan kadar serat tinggi, sesuai
dengan pernyataan Bell et al. (1990) yang melaporkan
bahwa tingginya kandungan serat dalam makanan dapat
mengurangi berat badan. bahwa kalsium dapat mengurangi
kemampuan hormon kalsitriol yyang berfungsi untuk
memberi tanda pada sel untuk menyimpan lemak.
Makanan yang kaya akan kalisum akan mengurangi
hormon kalsitriol dan mendorong penurunan berat badan.
Pengukuran Kadar Kolesterol
Waktu dan kelompok perlakuan untuk
pengukuran kadar kolesterol seperti yang telah
ditampilkan pada metode penelitian. Berdasarkan hasil
uji statistik terhadap kadar kolesterol darah hewan uji
(mencit) menunjukkan perbedaan kadar kolestrol p
Perbedaan kadar kolesterol darah hewan uji terhadap
masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Kadar Kolesterol Darah Mencit (mg/dl)
Masing-Masing Kelompok Perlakuan
Kelompok
Rataan
Notasi
Perlakuan
Kontrol negatif
57,74±4,24
a
Kontrol positif
107,50±2,24
b
Perlakuan 1
86,20±3,1
c
Perlakuan 2
76,40±5,42
d
Perlakuan 3
63,70±3,11
a
Keterangan : notasi huruf yang berbeda menunjukkan
beda nyata pada taraf 5%
Kelompok kontrol negatif menunjukkan kadar
kolesterol yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap
kelompok kontrol positif, P1, dan P2, dan berbeda
tidak nyata (P>0,05) terhadap kelompok perlakuan P3.
Hewan uji kelompok kontrol positif menunjukkan
perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata
(P<0,05) terhadap kelompok perlakuan P1, P2, dan P3,
sedangkan kelompok perlakuan P1 menunjukkan
perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata
(P<0,05) dengan kelompok P2 dan P3, demikian juga
dengan kelompok perlakuan P2 menunjukkan
perbedaan kadar kolesterol yang berbeda nyata
(P<0,05) dengan kelompok P3. Dari hasil kadar
kolesterol rata-rata antara kelompok kontrol negatif dan
kelompok kontrol positif, menunjukkan persentase
peningkatan kadar kolesterol pada kelompok kontrol
positif sebesar 86,18%. Persentase peningkatan kadar
kolesterol hewan uji (mencit) pada kelompok kontrol
positif dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Persentase Peningkatan Kadar Kolesterol
Darah Mencit pada Kelompok Kontrol
Positif Pada Hari ke 15
Kelompok
Kadar
Peningkatan Peningkatan
Perlakuan kolesterol
(mg/dl)
(%)
(mg/dl)
Kontrol
57,74
Negatif
Kontrol
107,50
57,76
86,18
Positif
Peningkatan kadar kolestrol pada hewan uji
(mencit) kelompok kontrol positif, karena diberi pakan
kolesterol tinggi selama 2 minggu. Pemberian pakan
kolesterol tinggi, menyebabkan peningkatan jumlah
jaringan lemak pada otot (adiposa) yang dapat
menghasilkan jumlah kalori yang tinggi. Meningkatnya
jumlah kalori yang tersimpan dalam jaringan lemak dan
otot, akan meningkatkan kadar kolestrol dalam darah.
(Pierre et al., 2000).
1% menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol
sebesar 35,75%. Penurunan yang significan dari ke 3
kelompok perlakuan, ditunjukkan pada kelompok P3
yaitu pemberian soyghurt sebanyak 1% dengan penurunan
kadar kolesterol sebasar 35,75%. Penurunan kadar
kolesterol tersebut karena soyghurt merupakan produk
susu fermentasi. Sisa kolesterol dikeluarkan bersama feses
(Poerwosoedamo dan Soedioetama, 1977), juga BAL
memproduksi enzim Bile Salt Hydrolase (BSH) yang
dapat mengurangi konjugasi garam empedu sehingga akan
meningkatkan asam empedu bebas yang tidak mudah
diserap oleh usus halus. Untuk menyetimbangkan jumlah
asam empedu, dibutuhkan kolesterol dari dalam darah
sehingga kadar kolesterol dapat diturunkan secara total
(Lee dan Salminen, 2009).
Hasil pada penelitian ini membuktikan bahwa
pemberian soyghurt yang dibuat dengan suhu inkubasi
yang optimal (40⁰C) dan jumlah koloni BAL yang
optimal (163 CFU/ml), efektip menurunkan kadar
kolesterol
darah
hewan uji (mencit) hingga
40,74%dengan konsentrasi soyghurt 1%.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan :
1. Dihasilkan suhu inkubasi yang optimal pada
pembuatan soyghurt yaitu suhu 40⁰C.
2. Diperoleh jumlah bakteri asam laktat pada suhu
optimal sebesar 1,63 x 109 CFU/ml.
3. Ditemukan 2 isolat pada soyghurt yang diidentifikasi
sebagai Lactobacillusbugaricus dan Streptococcus
thermophillus.
4. Bakteri asam laktat yang ditambahkan sebagai stater
pada pembuatan soyghurt mampu menurunkan kadar
kolesterol dalam darah mencit.
5. Konsentrasi soyghurt 1% menunjukkan persentase
penurunan kadar kolesterol paling tinggi yaitu 35,75%.
Saran
Tabel 4.8. Persentase Penurunan Kadar Kolesterol
Darah Mencit Hari ke 30 Masing-Masing
Kelompok Perlakuan
Kelompok
Kadar
Penurunan Penurunan
Perlakuan
Kolestrol
(mg/dl)
(%)
(mg/dl)
Kontrol
58,67
negatif
Kontrol
107,83
positif
Perlakuan 1
87,83
20,00
18,43a
Perlakuan 2
81,17
26,66
22,18a
Perlakuan 3
69.17
38,66
35,75a
Kelompok P1 yang diberi soyghurt 0,25%
menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol
sebesar 18,43%, kelompok P2 yang diberi soyghurt 0,5%
menunjukkan persentase penurunan kadar kolesterol
sebesar 22,18%, dan kelompok P3 yang diberi soyghurt
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap
jumlah starter yang diberikan dalam pembuatan soyghurt
untuk melihat seberapa besar efektifitasnya dalam
menurunkan kadar kolesterol dalam darah, serta
penambahan rasa dengan tidak mengurangi kemampuan
bakteri asam laktat tersebut dalam menurunkan kadar
kolesterol
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akalin, A.S., Gonc, S., and Duzel, S. 1997. Influence of
yoghurt and Acidophillus yoghurt on serum
cholesterol level in mice. Journal Dairy Science 80:
2721-2725
Animal Research. 2002. Blood collection and
administration of fluids and drug (mouse).
Institutional Animal Care and use Comitte the
University of Towa.
144
Barrow, G.I. and Kromosom, A. F. 1993. Cowan and
steels manual for the indification of medical
bacteria. Cambridge University Press, Great
Britain.
Bell, L.P.K., Hectom., Reynolds,H., Hunninghake, D.
1990. Cholesterol-lowering effects of soluble-fiber
as part a prudent diet for patients with mild to
moderate hypercholesterolemia. Am.J. Clin. Nurt.
52(6): 1020-1026
Danielson, A.D., Peo, E.R., Jr., Shahani, K.M., Lewis, A.J.,
Whilen, P.J., and
Amer, M.A. 1989.
Anticholesteremic property of Lactobacillus
acidophilus yoghurt fed to masture boars. Journal
of Animal Science. 67 (46): 966-974.
Djide, N. 2006. Efek hipokolesterolemia kulturt bakteri
asam laktat dalam soyghurt terhadap tikus putih. J.
Sains & Teknologi. 6 (1): 13-18.
Hasan, Z.H. 2006. Isolasi Lactobacillus, Bakteri asam
laktat dari feses dan organ saluran pencernaa ayam.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.
Heller, J. K. 2001 Probiotic bacteria in fermented foods :
Product characteristic and starter. American Journal
of Clinical Nutrition 73 (2): 3748-3795.
Hidayat, N., M.C. Padaga, dan S. Suhartini. 2006.
Mikrobiologi Idustri. Andi, Yogyakarta.
145
Jawetz, E. 1980. Review of Medical Microbiology. 11th
Edition, Lange Medical Publication, Los Altos
Koswara, S. 2006. Susu kedelai tak kalah dengan susu
sapi. e book pangan.com
Kurana, H.K. 2007. Resent trends in development of
fermented milks. Current Nutrition & Food Science
3: 91-108
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikrobiologi di Laboratorium .
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ooi, Lay-Gaik., Ling, and Min-Tze. 2010. Cholesterol
lowering effect of probiotics and prebiotics : A
Review of in Vivo and in Vitro fnding. Int. Mol.Sci
11 : 2499-2522.
Poerwosoedamo dan Sediaoetama, A.D. 1977. Ilmu Gizi.
Penerbit. Dian Rakyat Jakarta. Hal 254.
Soeharsono. 2010. Probiotik. Basis Ilmiah Aplikasi Dan
Aspek Praktis. Widya Padjadjaran. Bandung.
Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Papas
Sinar Sakti. Jakarta..
Yudhi, 2008. Penelitian Soyghurt. File:///g:/penelitian
soyghurt.htm. (Diakses tanggal 15 Maret 2011).
Zahoor, T., S.U., Rahman., Umar, F., and Farooq. 2003.
Viability of Lactobacillus bulgaricus on yoghurt
culture under different preservation methods.
Departemen of food Technologi and Veterenary
Microbiology. 5 (1): 38-43.
GAMBARAN TINGKAT KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT TERHADAP
TERJADINYA KARIES GIGI MOLAR 1 PADA SISWA/I KELAS
VIIA SMP SWASTA CERDAS BANGSA
DELI TUA TAHUN 2014
Rina Budiman
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Gigi Molar 1 merupakan gigi permanen yang pertama erupsi pada umur 6-7 tahun, sehingga Molar 1
permanen sangat rentan terjadi karies dan Menurut Depkes RI (2000) usia produktif (10-24 tahun) paling
banyak mengalami karies sebesar 66,8%. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk
mengetahui Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i Terhadap Terjadinya Karies Gigi Molar
1 pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua Tahun 2014, yang dilaksanakan dari Maret
sampai dengan Mei 2014. Sampel dalam penelitian ini Siswa/i Kelas VIIA dengan jumlah 40 siswa. Hasil
penelitian didapat 30 siswa yang terkena karies pada gigi M1, didapat 3 siswa yang memiliki OHI-S dengan
kriteria baik, 19 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang, dan 8 siswa yang memiliki OHI-S
dengan kriteria buruk. Sedangkan dari 10 siswa yang tidak terdapat karis pada gigi M1, didapat 5 siswa yang
memiliki OHI-S dengan kriteria baik dan 5 siswa yang memiliki OHI-S dengan kriteria Sedang.Kesimpulan
dari penelitian ini sebanyak 30 siswa (75%) mengalami karies pada gigi M1 dengan OHI-S Kriteria sedang,
disebabkan karena siswa kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut dan seringnya siswa mengkonsumsi
makanan yang manis seperti permen dan coklat.
Kata kunci : OHI-S, Karies Gigi Molar 1
Pendahuluan
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan
sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan
bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan,
dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis
(Depkes RI, 2009).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
23 Tahun 1992 tentang kesehatan menjelaskan bahwa
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan
pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
kesehatan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan (berkelanjutan).
Menjaga kesehatan gigi sangat penting, karena
gigi merupakan bagian dari alat pengunyahan pada sistem
pencernaan dalam tubuh manusia. Status kebersihan gigi
dan mulut merupakan keadaan yang menggambarkan
kebersihan gigi dan mulut seseorang. Penilaiannya dengan
menggunakan suatu indeks kebersihan gigi dan mulut atau
Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) yang merupakan
indeks gabungan antara debris indeks dengan kalkulus
indeks. Untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut, dapat
di ukur dengan menggunakan Oral Hygiene Index
Simplified (OHI-S) dari Green dan Vermillion. kriteria
penilaannya adalah 0,0 – 1,2 (Baik), 1,3 – 3,0 (Sedang), 3,1
– 6,0 (Jelek).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang
dilakukan tahun 2007, 10% orang Indonesia menggosok
gigi dengan cara yang baik dan benar, bahkan 22%
diantaranya menggosok gigi hanya kadang-kadang saja
sehingga angka karies gigi di Indonesia sangat meningkat.
Penyakit gigi yang sering diderita oleh hampir
semua penduduk Indonesia adalah karies gigi. Karies
gigi merupakan penyakit yang sering ditemukan pada
setiap strata sosial masyarakat Indonesia baik pada
kaum laki-laki maupun kaum perempuan serta anakanak dan dewasa. Data Survei Kesehatan Rumah
Tangga (Depkes RI., 2004) menyatakan bahwa 63,5%
penduduk Indonesia menderita karies aktif.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
2004, menunjukkan bahwa sebesar 90,05 % penduduk
Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Hal ini
menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran
masyarakat untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut.
Berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) yang
diselenggarakan Kementerian Kesehatan di tahun 2007
menunjukkan 72,1% penduduk mengalami karies gigi.
146
Gigi molar satu permanen atau gigi geraham
besar merupakan gigi yang pertama erupsi atau tumbuh
pada anak usia 6 - 7 tahun. Kebanyakan masyarakat
berpendapat bahwa gigi molar satu permanen adalah gigi
susu yang mana nantinya dapat digantikan dan banyak
masyarakat yang mengabaikan kebersihan gigi molar satu
permanen, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada
gigi molar satu permanen.
Dilihat dari kelompok umur, golongan umur
muda lebih banyak menderita karies gigi aktif
dibandingkan umur 45 tahun ke atas, di mana umur 10-24
tahun karies gigi aktif adalah 66,8%- 69,5%, umur 45
tahun ke atas 53,3% dan pada umur 65 tahun ke atas
43,8%. Keadaan ini menunjukkan karies gigi aktif banyak
terjadi pada golongan usia produktif (Depkes RI, 2000).
Pada survey awal yang dilakukan di SMP Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI
Sidorejo Deli Tua Tahun 2014 banyak ditemukan karies
pada gigi siswa/I dan dari data yang didapat dari sekolah
bahhwa belum pernah dilakukan upaya kesehatan berupa
promiotif, preventif dan kuratif.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin
meneliti tentang Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan
Mulut Siswa/i terhadap Terjadinya Karies Pada Gigi Molar
1 pada Siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Jl.
Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua
Tahun 2014.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i
terhadap Terjadinya Karies Pada Gigi Molar 1 pada
Siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Deli Tua
Tahun 2014.
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian dapat menambah wawasan dan
pengetahuan siswa/i dalam menjaga kebersihan gigi
dan mulut terhadap kerusakan gigi molar.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi pihak sekolah dalam menjaga
kesehatan gigi dan mulut.
3. Hasil penelitian dapat menjadi bahan informasi dan
masukan bagi peneliti lebih lanjut.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif
dengan metode survei, dimana penelitian bertujuan untuk
mengetahui Gambaran Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut
Siswa/i Terhadap Terjadinya Karies pada Gigi Molar 1
pada Siswa/i Kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa Jl.
Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli Tua
Tahun 2014.
Penentuan Sampel
Dengan menggunakan teknik random non
sampling yaitu purposive sampling maka peneliti ingin
meneliti seluruh siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas
147
Bangsa Jl. Titi Kuning-Namorambe, Link VI Sidorejo Deli
Tua yang berjumlah 40 siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap siswa/i kelas VIIA SMP Swasta Cerdas
Bangsa Deli Tua Tahun 2014. Pengumpulan data
Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa/i Terhadap
Terjadinya Karies pada Gigi M1 maka diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel A.1
Distribusi Frekuensi Debris Indeks Rata-rata pada
siswa siswi kelas VIIA SMP Swasta Cerdas Bangsa
No
Kriteria DI
Jumlah
Nilai
DI
Siswa
DI
Ratarata
1
Baik
4
2,2
0,05
2
Sedang
36
38,1
0,95
3
Buruk
4
8,4
0,21
Jumlah
40
48,7
1,21
Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40
siswa yang telah diteliti ditemukan 4 siswa (0,05) yang
memiliki debris indeks dengan kriteria baik, 36 siswa
(0,95) yang memiliki debris indeks dengan kriteria sedang,
dan 4 siswa (0,21) yang memiliki debris indeks dengan
riteria buruk. Sehingga secara keseluruhan debris indeks
rata-rata sebesar 1,21 dengan katagori sedang.
Tabel A.2
Distribusi Frekuensi Kalkulus Indeks Rata-rata
pada siswa/I kelas VIIA SMP Swasta
Cerdas Bangsa
No
Kriteria CI
Jumlah
Nilai CI CI RataSiswa
rata
1
Baik
28
11,0
0,27
2
Sedang
12
13,9
0,35
3
Buruk
0
0
0
Jumlah
40
24,9
0,62
Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40
siswa yang telah diteliti ditemukan 28 siswa (0,27) yang
memiliki kalkulus indeks dengan kriteria baik, 12 siswa
(0,35) yang memiliki kalkulus indeks dengan kriteria
sedang, dan 0 siswa yang memiliki kalkulus indeks dengan
kriteria buruk. Sehingga secara keseluruhan kalkulus
indeks rata-rata sebesar 0,62 dengan katagori baik.
Tabel A.3
Distribusi Frekuensi OHI-S Indeks Rata-rata pada
siswa siswi kelas VIIA SMP Swasta Cerdas
Bangsa
No
Kriteria
Jumlah
Nilai
DI
OHI-S
Siswa
OHI-S
Ratarata
1
Baik
8
7,3
0,18
2
Sedang
24
39,7
0,99
3
Buruk
8
25,8
0,64
Jumlah
40
72,8
1,81
Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40
siswa yang telah diteliti ditemukan 8 siswa (0,18) yang
memiliki OHI-S indeks dengan kriteria baik, 24 siswa
(0,99) yang memiliki OHI-S indeks dengan kriteria
sedang, dan 8 siswa (0,64) yang memiliki OHI-S indeks
dengan kriteria buruk. Sehingga secara keseluruhan OHIS indeks rata-rata sebesar 1,81 dengan katagori sedang.
Tabel A.4
Persentase Hubungan Tingkat Kebersihan Gigi dan
Mulut Terhadap Terjadinya Karies Gigi M1
Permanen pada siswa/I kelas VIIA SMP Swasta
Cerdas Bangsa
Jumlah Kriteria Siswa Persentase Siswa Persentase
Siswa OHI-S Yang
(%)
Yang
(%)
Terkena
Tidak
Karies
Terkena
M1
Karies
M1
40
Baik
3
7,5 %
5
12,5 %
Sedang 19
47,5 %
5
12,5%
Buruk
8
20 %
0
0%
Jumlah
30
75%
10
25%
Dari tabel diatas dapat diperoleh bahwa dari 40
siswa yang telah diteliti ditemukan 30 siswa yang
mengalami karies pada gigi M1 dimana 3 siswa (7,5 %)
yang memiliki OHI-S dengan kriteria baik, 19 siswa
(47,5%) yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang, dan
8 siswa (20%) yang memiliki OHI-S dengan kriteria
buruk. Sedangkan 10 siswa tidak terkena karies gigi
dimana ditemukan 5 siswa (12,5 %) yang memiliki OHI-S
dengan kriteria baik, 5 siswa (12,5%) yang memiliki OHIS dengan kriteria sedang, dan 0 siswa yang memiliki OHIS dengan kriteria buruk.
Pembahasan
Dari tabel A.2 kalkulus indeks rata-rata kelas VII
A sebesar 0,62 dengan katagori baik. Meskipun dalam
kategori baik, sisa makanan dan bakteri mudah menempel
dan berkembang biak pada permukaan kasar kalkulus,
sehingga apabila kalkulus tidak dibersihkan akan
menimbulkan berbagai penyakit. Menurut Nio (1989)
karang gigi juga tempat yang baik untuk pertumbuhan
plak. Karang gigi yang tidak dirawat akan mengakibatkan
gingivitis, bau mulut karies gigi dan gigi goyang.
Dari tabel A.3 diperoleh hasil secara keseluruhan
OHI-S indeks rata-rata sebesar 1,81 dengan katagori
sedang. Hal ini disebabkan. karena kurangnya perhatian
siswa untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya. OHI-S
ini dapat meningkat menjadi buruk dan dapat merusak gigi
apabila siswa masih mengabaikan kebersihan gigi dan
mulutnya. Menurut Lena (2011) pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi berperan sangat
besar, karena dapat mencegah supaya plak tidak
menumpuk dan menimbulkan kerusakan jaringan
penyangga gigi.
Dari tabel A.4 diperoleh bahwa dari 40 siswa
yang telah diteliti ditemukan 30 siswa (75%) yang
mengalami karies pada gigi M1, dengan 19 siswa (47,5%)
yang memiliki OHI-S dengan kriteria sedang. Hal ini
dikarenakan siswa kurang menjaga kebersihan gigi dan
mulut, sehingga 75% siswa mengalami karies pada gigi
M1 permanen. Menurut Ali, T (2010) kesehatan mulut
berkaitan pada kebersihan gigi, banyaknya kuman dan
bakteri penyakit yang berada didalam sisa makanan dan
menempel di sela-sela gigi. Sisa makanan akan membusuk
dan berubah menjadi sarang kuman sehingga bila
mengabaikan kebersihan gigi akan membuat gigi
berlubang dan keropos.
Faktor lain yang menyebabkan siswa mengalami
karies adalah seringnya siswa mengkonsumsi makanan
yang manis seperti permen dan coklat. Makanan yang
manis merupakan salah satu penyebab gigi berlubang,
sehingga apabila mengkonsumsi makanan yang manis dan
tidak menjaga kebersihan gigi dan mulut akan
menyebabkan gigi menjadi berlubang. Menurut Tarigan, R
(1990) makanan yang lunak dan melekat seperti coklat,
biskuit, dan lain sebagainya, bisa menyebabkan gigi
menjadi berlubang.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai
berikut :
1. Kriteria debris indeks rata-rata 1,217 dalam
kategori sedang.
2. Kriteria kalkulus indeks rata-rata 0,62 dalam
kategori baik.
3. Kriteria OHI-S rata-rata 1,82 dalam kategori
sedang.
4. Dari sampel yang diperiksa 40 Siswa, yang terkena
karies pada gigi M1 sebanyak 30 siswa (75%) ,
dengan 19 siswa yang memiliki OHI-S dengan
kriteria sedang, sedangkan yang tidak terkena
karies pada gigi M1 sebanyak 10 siswa (25%),
dengan 5 siswa yang memiliki OHI-S dengan
kriteria Sedang.
Saran
1. Diharapkan pada pihak sekolah agar dapat
melaksanakan pelayanan kesehatan gigi melalui
Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) yang
berkoordinasi dengan petugas pelayanan kesehatan
seperti Puskesmas, Pustu.
2. Diharapkan kepada siswa/i agar tetap menjaga dan
memelihara kesehatan gigi dan mulut, terutama
pada gigi Molar 1 yang tidak akan berganti lagi
bila rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S., 2006. Prosedur penelitian,Rineka Cipta.
Jakarta.
Bakar, A., 2012. Kedokteran Gigi Klinis, Quantum
Sinergis Media. Yogyakarta
Boedihardjo., 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga, Airlangga University Press. Surabaya.
Harshanur, W.I., 1991. Anatomi Gigi, EGC. Jakarta.
148
Herijulianti, E., Tati S.I dan S Artini., 2001. Pendidikan
Kesehatan Gigi. EGC. Jakarta
Kidd, Edwina A.M., 1991. Dasar-dasar Karies
Penyakit dan Penanggulangan, EGC. Jakarta.
Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta.
Putri, H.M., E Herijulianti, N Nurjannah., 2010. Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan
Pendukung Gigi, EGC.Jakarta.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan., 2012.
Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
Ramadhan, A.G., 2010. Serba-serbi Kesehatan Gigi &
Mulut, Bukune. Jakarta.
Zaluchu, 2011, Praktis Penelitian Kesehatan, Perdana
Publishing, Medan.
Amelya, S., 2013 Pentingnya Kesehatan Mulut dan
Gigi pada Anak
<suciamelya.blogspot.com/2013-01-01archive.html?m=1>[diakses tanggal 20 Maret
2013]
Anthonie. A, 2012. Kejadian Rampan Karies Pada Anak
Ditinjau Dari Faktor Perilaku Ibu Di Tk It Mon Kuta
Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh Tahun 2012
<Http://Akbaranthonie.Blogspot.Com/2013/02/KejadianRampan-Karies-Pada-Anak.Html> [diakses tanggal
19 Maret 2013]
149
Farida, I., 2012. Cara Mengukur Kebersihan Mulut
(OHI_S)
<idafarida73.blogspot.com/2012/09/cara-mengukurkebersihan-mulut-ohis.html?m=1>[diakses tanggal
19 Maret 2013]
Lena, 2011, Sikat Gigi
<lenacute65.blogspot.com/2011-1201.archive.html?=1>[diakses tanggal 21 Maret 2013]
Nur, N., 2011. Pengaruh Kebersihan Gigidan Mulut
<senja-kecil.blogspot.com/2011/02/pengaruh-kebersihangigi-dan–mulut.html?m=1>[diakses tanggal 20 April
2013]
Pdgi, 2013. Kesehatan Gigi Sebagai Bagian Intergral
dari Kesehatan Umum pada Hari Kesehatan Gigi
Se-Dunia 2013
<www.pdgi.or.id/news/detail/kesehatan-gigi-sebagaibagian-intergral-dari-kesehatan-umum-pada-harikesehatan-gigi-se-dunia-2013>[diakses tanggal 19
Maret 2013]
Unud, 2013, bab i new prop bab I <
www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf/unud-3952069848976-bab i new prop bab I>[ diakses tanggal
Senin, 15 April 2013]
GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG DIET MAKANAN
TERHADAP KARIES GIGI PADA SISWA/I KELAS IV SD NEGERI
NO. 060891 JL. JAMIN GINTING 303 MEDAN
Ngena Ria, Susy Adrianelly Simaremare
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Makanan atau subrat merupakan unsur penting untuk terjadinya karies. Proses karies ditentukan oleh jenis
karbohidrat dalam bentuk tepung atau cairan yang bersifat lengket serta hancur didalam mulut yang
memudahkan terjadinya karies. Hampir semua anak menyukai makanan yang bersifat kariogenik yang
merupakan salah satu penyebab terjadinya karies. Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada Siswa/I
SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 yang dilaksanakan pada September sampai
Nopember 2014. Jumlah sampel sebanyak 30 orang. Hasil penelitian Gambaran Pengetahuan Orang Tua
Tentang Diet Makanan terhadap karies Gigi diperoleh data sebanyak 24 orang (80%)memiliki pengetahuan
baik, 6 orang (20%) memiliki pengetahuan sedang dan tidak terdapat siswa yang berpengetahuan buruk.
Hasil pengetahuan untuk karies gigi susu diperoleh jumlah def-t adalah 47 dan def-t rata-rata 1,56. Hasil
penelitian untuk karies Gigi tetap diperoleh jumlah DMF-T adalah 41 dan DMF-T rata-rata 1,36.
Berdasarkan hasil yang dapat disimpulkan bahwa Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet
Makanan Terhadap Karies Gigi Pada siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan
Tahun 2014 diperoleh hampir semua anak menyukai makanan dan minuman yang bersifat kariogenik yang
merupakan faktor resiko terjadinya karies. Dari data hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh siswa/I
memiliki karies gigi (83,4%). Karies gigi susu diperoleh data def-t adalah 47 dengan rata-rata def-t 1,56.
Karies gigi tetap diperoleh jumlah DMF-T adalah 41 dan rata-rata DMF-T 1,36. Diharapkan terutama
kepada siswa/i agar memilih makanan yang menyehatkan gigi untuk menghindari terjadinya karies gigi.
Kata kunci : Pengetahuan orang tua, diet makanan, karies gigi
Latar Belakang
Untuk mewujudkan tujuan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, telah banyak upaya dan program
yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh pemerintah
bersama masyarakat, baik program yang bersifat promotif,
preventif dan kuratif. Kesehatan merupakan faktor penting
yang dapat menentukan kualitas sumber daya masyarakat,
kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu bagian dari
kesehatan umum yang mempunyai peran penting dalam
fungsi pengunyahan dan estetika.
Menurut Undang-undang No.23 tahun 1992 Bab
1 pasal 3 tentang kesehatan menyebutkan bahwa tujuan
pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari
kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Kesehatan gigi dan mulut akan
mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Gigi
merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi untuk
mengunyah, berbicara dan mempertahankan bentuk muka.
Berdasarkan fungsi gigi, maka setiap individu dapat
melaksanakan pemeliharaan kesehatan gigi sedini mungkin
agar dapat bertahan lama dalam rongga mulut.
Penyakit gigi dan mulut di Indonesia yang paling
banyak dijumpai adalah karies. Karies atau gigi berlubang
adalah kerusakan pada struktur jaringan keras gigi (email,
dentin) yang diakibatkan oleh asam yang dihasilkan oleh
bakteri yang terdapat pada plak gigi.
Penyakit karies masih banyak terjadi pada anakanak. Kesehatan gigi anak kurang mendapat perhatian dari
orang tua, karena adanya anggapan bahwa gigi susu pada
anak akan diganti oleh gigi tetap. Orang tua kurang
menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan sebenarnya
akan sangat besar bila tidak dilakukan perawatan. Akibat
yang dapat terjadi bila sejak awal gigi telah mengalami
karies terganggunya fungsi gigi sebagai pengunyah, yang
mengakibatkan
terjadinya
malnutrisi
sehingga
mempengaruhi kecerdasan anak.
Makanan atau substrat merupakan salah satu
unsur penting untuk terjadinya karies. Makanan pokok
manusia adalah karbohidrat. Jenis karbohidrat yang paling
dapat merusak gigi adalah sukrosa. Proses karies
ditentukan oleh jenis karbohidrat dalam bentuk tepung atau
cairan yang bersifat lengket serta mudah hancur didalam
150
mulut lebih memudahkan timbulnya karies. Hampir semua
anak mempunyai faktor risiko terhadap karies yang bila
dimakan dan diminum yang bersifat kariogenik yang
merupakan faktor risiko terhadap karies yang bila dimakan
diantara jam makan.
Berdasarkan latar belakang, maka peneliti ingin
mengetahui Gambaran Pengetahuan Orang Tua Tentang
Diet Makanan Terhadap Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas
IV SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan
Tahun 2014.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian bertujuan untuk mengetahui Gambaran
Pengetahuan Orang Tua tentang Diet Makanan terhadap
Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No 060891
Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
:
1. Untuk menambah wawasan orang tua tentang diet
makanan dalam mencegah karies gigi pada siswa/i SD
Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun
2014.
2. Sebagai bahan masukan pada pihak sekolah agar
melakukan kerja sama dengan pihak puskesmas dalam
pelaksanaan UKGS untuk meningkatkan kesehatan
gigi dan mulut.
3. Untuk informasi data bagi peneliti lain dan sebagai
bahan referensi di perpustakaan
jurusan
Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Medan.
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif
dengan metode survey yang bertujuan untuk mengetahui
Gambaran Pengetahuan orang Tua tentang Diet Makanan
terhadap Karies Gigi pada Siswa/i SD Negeri No 060891
Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014.
Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Populasi adalah
Siswa/i SD Negeri No 060891 Jl. Jamin Ginting 303
Medan Tahun 2014.
Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel adalah
Siswa/I kelas IV SD Negeri No 060891 Jl. Jamin
Ginting 303 yang berjumlah 30 orang.
Hasil Penelitian
Setelah melakukan penelitian Gambaran
Pengetahuan Orang Tua tentang Diet Makanan terhadap
Karies Gigi pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891
Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 diperoleh hasil
sebagai berikut :
151
Tabel 1
Gambaran Pengetahuan Orang Tua tentang Diet
Makanan terhadap Karies Gigi pada Siswa/i kelas IV
SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303 Medan
Tahun 2014
Kriteria
Jumlah siswa Persentase
Pengetahuan
(n)
(%)
24
80
Baik
6
20
Sedang
0
0
Buruk
30
100
Jumlah
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 siswa/i
Kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin Ginting 303
Medan Tahun 2014, yang memiliki pengetahuan baik
sebanyak 24 orang (80%), pengetahuan sedang 6 orang
(20%), dan tidak ada siawa/i yang berpengetahuan buruk.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Karies Gigi Susu pada siswa/i
kelas IV SD Negeri No. 060891 Jl. Jamin ginting 303
Medan Tahun 2014
Jumlah
Karies
Jumlah
def-t
Siswa
d
E
F
def-t
Ratarata
42
4
0
47
1,56
30
Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 30
siswa/i, jumlah def-t adalah 47 dan def-t rata-rata 1,56.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Karies Gigi Tetap pada
siswa/i kelas IV SD Negeri No.060891 Jl. Jamin
ginting 303 Medan Tahun 2014.
Jumlah
Karies
Jumlah DMF-T
Siswa
D
M
F
DMF-T
Ratarata
38
3
0
41
1, 36
30
Berdasarkan tabel 3 diperoleh data dari 30
siswa/i, jumlah DMF-T adalah 41 dan DMF-T rata-rata
adalah 1,36.
Pembahasan
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari
kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Kesehatan gigi dan mulut akan
mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Gigi
merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi untuk
mengunyah, berbicara dan mempertahankan bentuk muka.
Berdasarkan fungsi gigi, maka setiap individu dapat
melaksanakan pemeliharaan kesehatan gigi sedini mungkin
agar dapat bertahan lama dalam rongga mulut. Penyakit
gigi dan mulut di Indonesia yang paling banyak dijumpai
adalah karies. Karies atau lubang adalah kerusakan pada
struktur jaringan keras gigi ( email, dentin) yang
diakibatkan oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri yang
terdapat pada plak gigi.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi
apabila seseorang telah melakukan penginderaan rerhadap
suatu objek. Penginderaan terjadi melaluai pancaindra,
yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.Pengetahuan merupakan hal yang
sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang.
Diet makanan sehat adalah makanan yang
mengandung zat-zat yang di butuhkan oleh tubuh kita. Diet
yang baik untuk kesehatan umum, juga baik untuk
kesehatan gigi. Susunan makanan sehari-hari sebaiknya
mengikuti anjuran empat sehat lima sempurna. Diet dalam
kesehatan gigi dapat dilihat dalam beberapa segi, pertama
efek makanan didalan rongga mulut yaitu efek lokal pada
waktu makanan dikunyah sebagai tahap awal pencernaan.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
Gambaran
Pengetahuan Orang Tua Tentang Diet Makanan Terhadap
Karies Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD Negeri No. 060891
Jl. Jamin Ginting 303 Medan Tahun 2014 diperoleh
sebagai berikut:
1. Pengetahuan terutama kriteria baik yaitu sebanyak
24 orang (80%).
2. Karies gigi pada siswa/i diperoleh data jumlah deft adalah 47 dan rata-tara def-t 1,56. Dan jumlah
DMF-T adalah 41 dengan rata-rata DMF-T 1,36.
3. Dari hasil diketahui DMF-T lebih kecil dari target
nasional (≤ 2).
Saran
1. Diharapkan kepada orang tua agar
memperhatikan anak dalam memilih
lebih
jenis
2.
3.
4.
makanan yang baik dikonsumsi, seperti memakan
makanan yang banyak mengandung serat.
Kepada anak agar memilih jenis makanan yang
menyehatkan gigi.
Diharapkan kepada orang tua agar lebih
memperhatikan anak dalam memilih jenis
makanan yang baik dikonsumsi, seperti memakan
makanan yang banyak mengandung serat.
Kepada anak agar memilih jenis makanan yang
menyehatkan gigi.
DAFTAR PUSTAKA
Boediharjo., 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga. Airlangga: Surabaya.
Ibrahim, Kasir., 1992. Kamus Pintar Amanah:
Surabaya.
kidd,M,A.,2002.Dasar-Dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
Mary E.Beck., 1992. Ilmu Gizi dan Diet. Andi: Jakarta.
Tarigan, A., 1990. Karies Gigi. Hipokrates: Jakarta.
Politeknik Kesehatan Medan, 2012 Panduan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, USU. Medan.
Putri, M.H.,E Herijulianti dan N Nurjannah, 2012. Ilmu
Pencegahan Penyakit Karies dan Jaringan
Pendukung Gigi. Jakarta:EGC
Pintauli,s dan T Hamada,2008. Menuju Gigi dan Mulut
Sehat Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan:
USU Press.
Pratiwi, D., 2009. Gigi sehat dan cantik. PT Kompas
Media: Jakarta.
Rakyat, Dian., 2010. Perawatan Gigi Anak. Dian Rakyat:
Jakarta.
152
PENGARUH BERKUMUR DENGAN LARUTAN TEH HIJAU TERHADAP
pH SALIVA PADA SISWA-SISWI SD NEGERI 024761
KECAMATAN BINJAI UTARA
TAHUN 2014
Manta Rosma, Netty Jojor Aritonang
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Teh hijau mengandung polyphenol, theofilin, tannin, katekin , serta sejumlah mineral seperti Zn, Se, Mo,
fluoride. Kandungan polyphenol dan katekin yang tekandung dalam teh mengurangi plak dan produksi
asam oleh bakteri Streptococcus Mutans yang menyebabkan gigi berlubang dan penyakit gusi. Tujuan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva
pada siswa/i SD Negeri 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian analitik. Metode yang digunakan quaisi experiment, rancangan dalam penelitian ini adalah
pre-test and post-test. Adapun cara pengambilan sampel dengan Purposive Sampling, menggunakan siswa/i
kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara sebanyak 30 orang siswa/i, dengan menggunakan test Paper
Dental Saliva pH Indikator Untuk mengetahui kriteria asam. Penelitian ini menggunakan uji Wilcon Signed
Rank Test Hasil penelitian dikutahui terjadi perubahan kriteria pH saliva yaitu asam dari 80% menjadi 0%,
netral dari 20% menjadi 43,33% dan basa dari 0% menjadi 56,66%. Menunjukkan bahwa ada pengaruh
berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva. Hasil uji statistik dengan mengunakan Wilcoxon
Signed Rank Test dihasilkan nilai signifikasi 000 (2-tailed) <0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima
.Disarankan kepada siswa untuk berkumur menggunakan larutan teh hijau sebagai alternatif tindakan
pencegahan terjadinya karies.
Kata kunci : Larutan teh hijau, pH Saliva
Latar Belakang
Kesehatan menurut WHO merupakan keadaan
sejahtera secara menyeluruh baik fisik, mental, sosial serta
tidak hanya terbatas dari penyakit dan hilangnya kebugaran
tubuh. Tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial ekonomi (Depkes, 2009).
Berdasarkan
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi
karies aktif pada penduduk Indonesia mencapai 72,1%. Di
pulau jawa persentase penduduk karies aktif tertinggi pada
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu 52,3%.Karies
gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di
rongga mulut bersama-sama dengan penyakit periodontal,
sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan
mulut. Proses karies dan penyakit periodontal disebabkan
karena adanya interaksi antara tiga faktor yaitu host (gigi,
gingiva, saliva), penjamu (bakteri/plak) dan makanan
kariogenik (sukrose).
Beragam manfaat
teh
tidak lepas dari
keberadaan senyawa-senyawa bermanfaat seperti
polyphenol, theofilin, tannin, katekin, serta sejumlah
153
mineral seperti Zn, Se, Mo, fluoride, suatu mineral yang
dapat mencegah radang gusi dan gigi berlubang.
Polyphenol yang tekandung dalam teh mungkin
mengurangi plak dan produksi asam oleh bakteri mulut
yang menyebabkan gigi berlubang dan penyakit gusi
(Christine D. Wu). Berdasarkan hasil penelitian satu
cangkir teh hijau sehari sudah cukup untuk menanggulangi
gigi keropos bagi anak-anak sekolah hingga 50%. Bahkan
meskipun hanya berkumur saja dengan teh hijau setelah
makan merupakan cara yang efektif untuk mencegah gigi
kropos. Kadar flouride alami yang terkandung dalam teh
hijau sangat efektif mengatasi gigi keropos. Campuran anti
bakteri tambahan juga efektif mencegah bakteri yang
menyebabkan gigi keropos, streptococcus muttan. Dalam
setiap mililiter air ludah dijumpai 10-200 juta bakteri, salah
satunya Streptococcus Mutans (Tarigan Rasinta 2013).
Bakteri Streptococcus mutans yang berkembang biak akan
menyebabkan terbentuknya plak pada lapisan email gigi
dan akan menyebabkan derajat keasaman rongga mulut
semakin menurun sehingga menyebabkan pH menjadi
asam, sebaliknya berkurangnya bakteri Streptococcus
mutans di dalam rongga mulut menyebabkan pH menjadi
basa bahkan bisa menjadi netral. Semakin rendah nilai pH
saliva, makin banyak asam dalam larutan. Sebaliknya
meningkatnya nilai pH saliva berdasarkan latar belakang
teh hijau yang mengandung senyawa katekin, dimana zat
ini berperan menghambat pertumbuhan streptococcus
mutans. Bakteri ini mampu menghasilkan asam.
Penggunaan air teh seperti yang telah dibuktikan oleh
Depkes, yang ternyata juga
dapat mengakibatkan
remineralisasi lempeng email yang telah di demineralisasi.
Salah satu upaya pencegahan penyakit gigi dan
mulut adalah dengan menjaga kebersihan gigi dan mulut
agar bakteri tidak tumbuh dan mencegah timbulnya plak
lebih lama. Upaya kesehatan gigi pada anak-anak harus
dilakukan sedini mungkin, Karena gigi anak-anak usia
sekolah dasar mudah terkena karies.Pada umumnya
keadaan kebersihan mulut anak lebih jelek dibandingkan
dengan orang dewasa karena pola makan anak yang sering
makan makanan dan minuman yang bersifat kariogenik.
Anak usia sekolah dasar memiliki periode gigi bercampur
yaitu terdapatnya gigi sulung dan gigi permanen. Pada
masa ini diperlukan pencegahan sedini mungkin. Dari
Latar belakang, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh
berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada
siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva pada
siswa/i di SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan masyarakat khususnya siswa/i
SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara mengetahui
pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau
terhadap pH saliva.
2. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan
ilmu pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut.
3. Menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya
dan sebagi bahan referensi di perpustakaan Jurusan
Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Hipotesis
Ho : Tidak ada pengaruh berkumur dengan larutan teh
hijau terhadap pH saliva.
Ha : Ada pengaruh berkumur dengan dengan larutan teh
hijau pH saliva
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
analitik. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
quaisi eskperimen atau sering disebut dengan eksperimen
semu yaitu suatu penelitian dengan adanya suatu perlakuan
terhadap kelompok sampel tetapi tidak ada kelompok
kontrol
(semua
sampel
mendapat
perlakuan).
(Notoatmodjo 2005)
Peneliti
melakukan
penelitian
dengan
menggunakan pendekatan Cross Sectional yang
merupakan penelitian sesaat, dimana pengambilan data
variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dilakukan pada
waktu yang bersamaan. Rancangan dalam penelitian ini
menggunakan rancangan pre-test and post-test (Arikuntoro
2006). Didalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2
kali yaitu : pH saliva diukur sebelum dan sesudah
berkumur dengan larutan teh hijau.
Rancangan penelitian ini secara sistematis dapat ditulis
sebagai berikut :
O1---------------x---------------O2
Keterangan:
O1 : Mengukur pH saliva sebelum berkumur larutan teh
hijau.
X : Perlakuan berkumur dengan larutan teh hijau
O2 : Mengukur pH saliva setelah berkumur larutan teh
hijau
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi
dalam penelitian ini adalah
siswa/i SDN 024761
Kecamatan Binjai Utara yang berjumlah 254 orang.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti. Pengambilan sample secara purposive sampling
diambil berdasarkan tujuan tertentu. Sampel penelitian
adalah siswa kelas V yang berjumlah 30 orang.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang telah dikumpulkan terhadap
siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara
Tahun 2014. Setelah seluruh data terkumpul, membuat
analisa data dengan cara membuat tabel distribusi frekuesi
untuk masing-masing sampel. Kemudian dilakukan
pengolahan data secara statistik, yaitu menggunakan uji
statistik Wilcoxon Signed Ranks Test.
Tabel 4.1
Distribusi pH Saliva Sebelum Berkumur Larutan Teh
Hijau Pada Siswa/i Kelas V DN 024761Kecamatan Binjai
Utara Tahun 2014
Kriteria pH saliva
Sebelum Berkumur
Jumlah
Persentase
Asam
24
80%
Netral
6
20%
Basa
0
0%
Tabel 1 terlihat bahwa dari penelitian sebelum
berkumur larutan teh hijau Frekuensi pH saliva terbesar
adalah kriteria asam dengan persentase 24 orang (80%),
kemudian netral dengan persentase 6 (20%). Sedangkan
Frekuensi pH saliva paling sedikit adalah basa dengan
persentase 0 orang (0%).
154
Sebelum Berkumur
uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk menguji
distribusi data.
Tabel 4.3
Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test pH saliva
sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh hijau
pada siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara
Tahun 2014
pH sesudah
berkumur
–
pH
sebelum
25
20
15
10
5
0
Asam
Netral
Basa
berkumur
Asymp. Sig. (2-tailed)
000
Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan jumlah pH
saliva sebelum berkumur larutan teh hijau pada sisiwa/i
kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun
2014.
Tabel 4.2
Distribusi pH Saliva Sesudah Berkumur Dengan Larutan
Teh Hijau Pada Siswa/I Kelas V SDN 024761 Kecamatan
Binjai Utara Tahun 2014.
Kriteria pH saliva
Sesudah Berkumur
Jumlah
Pesentase
Asam
0
0%
Netral
13
43,33%
Basa
17
56,66%
Tabel 2 terlihat bahwa ,kriteria pH saliva setelah
berkumur dengan larutan teh hijau terjadi penurunan
jumlah asam dari 24 orang (80%) menjadi 0 orang (0%).
Kriteria pH saliva netral terjadi kenaikan dari 6 orang
(20%) menjadi 13 orang (43,33%).Kriteria basa dari 0
orang menjadi 17 orang (56,66%).
Sesudah Berkumur
20
15
10
5
0
Asam
Netral
Basa
Grafik 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jumlah pH
saliva sesudah berkumur dengan larutan teh hijau pada
siswa/i SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014.
Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan
bantuan program statistika pada komputer menggunakan
155
Dari tabel 3. Dapat dilihat bahwa uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test nilai signifikasi (2-tailed) 000.
Nilai ini <0,05, karena nilai signifikasi (2-tailed) <0,05
maka Ho ditolak dan Ha di terima.
25
20
15
Sebelum
10
Sesudah
5
0
Asam
Netral
Basa
Grafik 5,2 Distribusi frekuensin berdasarkan
jumlah pH saliva sebelum dan sesudah berkumur dengan
larutan teh hijau pada siswa/i kelas V SDN 024761
Kecamatan Binjai Utara Tahun 2014. Grafis di atas terlihat
bahwa, kriteria pH setelah berkumur dengan larutan teh
hijau terjadi penurunan jumlah asam dari 24 orang (80%)
menjadi 0 orang (0%). Kriteria pH saliva netral terjadi
kenaikan dari 6 orang (20%) menjadi 13 orang (43,33%).
Kriteria basa dari 0 orang (0%) menjadi 17 orang (
56,66%)
Pembahasan
Hasil penelitian tentang pengaruh berkumur
dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva di peroleh data
perubahan responden yang memiliki kriteria pH saliva
asam yang mengalami penurunan sebanyak 0%, kriteria
pH saliva netral mengalami peningkatan menjadi 43,33%
dan kriteria pH saliva basa menglami peningkatan menjadi
56,66%. Dari data tersebut diketahui bahwa dengan
berkumur larutan teh hijau tarjadi perubahan kriteria pH
saliva, hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang
terdapat di rongga mulut yang mempengaruhi pH saliva.
Menurur pendapat Amrogen (1991) yang menyatakan
bahwa pH saliva tergantung dari perbandingan asam dan
basa. pH saliva dan kapasitas buffer saliva selalu
dipengaruhi oleh perubahan – perubahan diantaranya
urama siang dan malam, perangsang kecepatan sekresi,
sifat dan kekuatan rangsangan, diet, kadar hormon dan
gerakan mulut. Saliva juga dapat bertindak sebagai buffer
menetralkan kembali keadaan asam dan mulut (Afrilina
dan Gracinia, 2006) Hal ini sesuai juga dengan penelitian
Ajisaka (2012) dengan menyelidiki 36 sampel geraham
yang direndam dalam cairan yang berbeda-beda dan di
analisa lebih dari 20 minggu hasilnya menunjukkan bahwa
teh tidak memiliki efek erosi terhadap lapisan gigi. Para
ahli tersebut menganjurkan bahwa meminum teh hijau per
hari dapat mencegah pengikisan lapisan email gigi dan
kesehtan gigi tetap terjaga.
Hasil pengolahan statistik pada penelitian ini,
menggunakan uji
Wilcixon Signed Ranks Test
menunjukkan hasil signifikasi dari analisa pada data pH
saliva sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan teh
hijau diperoleh nilai signifikasi (2-tailed 000 <0,05).
Diketahui hipotesis penelitian bahwa, hipotesa nol (Ho)
ditolak dan hipotesa alternatif (Ha) diterima. Yang berarti
ada pengaruh berkumur dengan larutan teh hijau terhadap
pH saliva pada siswa/i SDN kelas V SDN 024761
Kecamatan Binjai Utara tahun 2014. Saliva
membantu
pertahanan email terhadap asam dengan cara menarik ion
flouride dan kalsium kedalam email (Afrilina dan
Gracinia,2006). Pendapat Pratiwi (2007) saliva berfungsi
sebagai pembersih dalam mulut sehingga dibutuhkan
dalam jumlah yang cukup, tetapi kekurangan saliva akan
membuat tingginya jumlah plak dalam mulut. Tingkat
keasaman saliva juga berpengaruh terhadap timbulnya
karies pada gigi, emakin asam suatu pH saliva seseorang
maka,semakin mudah terkena karies (Pratiwi, 2007). Pada
umumnya, normal pH saliva sedikit asam yaitu 6,5. pH
saliva totalnya yang tidak dirangsang biasanya agak asam,
bervariasi dari 6,4 sampai 6,9. pH saliva setelah berkumur
cendrung menjadi basa, sehingga terjadi kenaikan dengan
kriteria basa. pH saliva bergantung pada kecepatan sekresi,
dan kecepata sekresi dipengaruhi oleh sifat rangsangan.
Kenaikan pH saliva setelah berkumur dikarenakan
rangsangan kimiawi dan mekanis yang didapatkan saat
berkumur dengan teh hijau.
Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian Pengaruh Berkumur
dengan Larutan Teh Hijau terhadap pH saliva Pada Siswa/i
kelas V SDN 024761 Kecamatan Binjai Utara dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Frekuensi pH saliva terbesar sebelum berkumur
dengan larutan teh hijau adalah kriteria asam
dengan jumlah persentase 80%.
2. Frekuensi pH saliva terbesar sesudah berkumur
dengan larutan teh hijau adalah kriteria basa
dengan jumlah persentase 56,66%.
3. Dari hasil uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test
diperoleh nilai signifikasi 0,00 karena (2-tailed)
<0,05 berarti terdapat pengaruh berkumur dengan
larutan teh hijau terhadap pH saliva cendrung
kriteria basa.
1.
Bagi siswa/i kelas V SDN 024761 Kecamatan
Binjai Utara untuk berkumur dengan obat kumur
yaitu menggunakan larutan teh hijau yang
berfungsi untuk menetralkan atau meningkatkan
pH saliva sehingga menghambat proses gigi
berlubang. Berkumur dilakukan sebanyak 2 kali
sehari selama 30 detik.
2. Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat berguna
sebagai bahan informasi untuk penelitian
selanjutnya sehingga akan membantu para peneliti
lain dalam melakukan penelitian.
Menambah wawasan bagi penulis tentang pengaruh
berkumur dengan larutan teh hijau terhadap pH saliva,
sehingga dapat mengaplikasikan pada diri sendiri dan
lingkungan akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan
mulut, salah satu caranya ialah berkumur dengan larutan
teh hijau.
DAFTAR PUSTAKA
Arikuntoro, S, 2006, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, PT RinekaCipta :Jakarta.
Amerogen, A.Van Niew. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti
bagi Kesehatan Gigi. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta, 1992
Edwin, A. M. Kidd,1991,Dasar Dasar Karies Penyakit
dan Penanggulangannya, EGC : Jakarta.
Fulder, Stephen, Dr. 2004, Khasiat Teh Hijau, PT Prestasi
Pustaka raya : Jakarta.
Listiani, Amelia, S.S.Teh untuk Meningkatkan Kesehatan,
INTERAKSA :Tangerang.
Notoamodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian
Kesehatan, PT RinekaCipta :Jakarta.
Rossi, Ara, 2010, 1001 The, C.V ANDI OFFSET
(PenerbitAndi) : Yogyakarta.
Sundoro, E. Hartini, 2005, Serba-Serbi Ilmu Konservasi
Gigi, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) :
Jakarta.
Tarigan, Rasinta Dr, Drg. 2013, Karies Gigi, EGC :
Jakarta.
http://www.scribd.com/mobile/doc/51624087
http://www.tanyadok.com/kesehatan/manfaat-teh-bagikesehatan-gigi
http://bahankuliahmu.blogspot.com/2011/08/ pengertiansaliva-fungsi-saliva-danph.html#sthash.B3JdOXas.dpuf
http://wisnuvegetarianorganic.wordpress.com/2013/12/03/
5-manfaat-teh-hijau-untuk-kesehatan-mulut-dangigi/
http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-sehatmenurut-ahli-who.html
http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?mod=browse&op
=read&id=jkpkbppk-gdl-res-2009-lellyanday3171&newtheme=gray
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21672/4/C
hapter%20II.pdf
http://potooloodental.blog.com/?p=498
Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian diatas, maka
peneliti memberikan saran sebagai berikut :
156
GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ANAK TERHADAP
PELAYANAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT
PADA SISWA/I KELAS V-B SD ST. ANTONIUS
JL. SRIWIJAYA NO.7 MEDAN
TAHUN 2014
Nelly Katharina Manurung
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Rasa cemas terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut sering dialami oleh setiap kalangan terutama pada
anak – anak. Hal ini bisa disebabkan oleh trauma pada perawatan gigi sewaktu masa anak – anak dan bisa
juga disebabkan oleh lingkungan sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat kecemasan yang
dimiliki anak pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan metode survey. Sampel penelitian ini adalah seluruh siswa/i kelas V – B SD
St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 yang berjumlah 42 anak. Data tentang kecemasan siswa/i
diperoleh dari kuesioner yang dibagikan kepada seluruh sampel. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
adalah 11,9% tidak cemas terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut, 26,2% memiliki tingkat kecemasan
sedang, 33,3% memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan 28,6% sangat cemas terhadap pelayanan
kesehatan gigi dan mulut. Penyebab kecemasan tertinggi adalah luka atau trauma pada rongga mulut (52,4%)
dan jenis pelayanan yang paling dicemaskan adalah pencabutan gigi (47,2%).
Kata kunci : Kecemasan anak, Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
Latar Belakang
Kecemasan merupakan reaksi emosi sementara
yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan
sebagai suatu ancaman (Cattell dan Scheiler dalam
Izzaty, 2005). Kecemasan atau anxietas dapat pula
diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab
yang jelas, yang sering kali berlangsung lama.
Kecemasan atau ketakutan mempunyai pola reaksi
yang sama, yaitu menghindari objek.
Kecemasan pada anak dapat juga diakibatkan oleh
beberapa hal, seperti orang tua yang terlalu melindungi
(over protective), orang tua yang tidak konsisten, aturan
atau disiplin yang terlalu berlebihan, kritikan yang terlalu
berlebihan dari orang tua atau lingkungan sekitar,
kurangnya sosialisasi anak terhadap orang lain dan adanya
kegagalan atau frustasi yang terus menerus.
Salah satunya adalah rasa cemas pada perawatan gigi.
Pada umumnya rasa takut timbul akibat pengalaman
perawatan gigi yang buruk semasa kanak – kanak, oleh
karena itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan timbulnya
rasa takut harus dimulai pada usia dini . Selain karena
pengalaman buruk sewaktu perawatan gigi sebelumnya,
rasa takut pada perawatan gigi juga bisa diakibatkan oleh
pengaruh lingkungan misalnya keluarga (Mashar R, 2011).
Banyak orang tua yang memberikan pandangan
bahwa unit pelayanan kesehatan gigi merupakan hukuman
bagi anak, misalnya apabila anak malas untuk menyikat
gigi anak akan dibawa ke dokter gigi lalu disuntik atau
157
dicabut giginya. Hal ini tentu saja dapat merubah pola pikir
anak yang menganggap mereka tidak perlu pergi ke unit
pelayanan kesehatan gigi apabila mereka tidak membuat
suatu kesalahan (Ramadhan A, 2010).
Rasa takut atau cemas terhadap perawatan gigi
merupakan hambatan bagi tenaga kesehatan gigi dalam
usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat yang sesuai
dengan visi “Indonesia Sehat 2015”. Oleh sebab itu sangat
diharapkan tenaga kesehatan khususnya dalam bidang
kesehatan gigi dan mulut perlu memahami sikap, sifat dan
perilaku pasien anak pada setiap kelompok usia yang
berguna untuk dokter gigi melakukan perawatan sehingga
menunjang kelancaran dan keberhasilan perawatan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Astrid Anisa Amrullah , Bagian Ilmu
Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012, tingkat
kecemasan anak usia 6, 9 dan 12 tahun berdasarkan CFSS
– DS (Children Fear Survey Schedule – Dental Subscale)
di Kecamatan yang mengalami rasa cemas tinggi sebanyak
37 anak (11,6%).
Dari beberapa literature ditemukan bahwa insiden rasa
takut terhadap perawatan kesehatan gigi terjadi kurang
lebih 5% dari populasi dan diantaranya 16% pada anak –
anak usia sekolah. Hasil penelitian di Puskesmas Denpasar
Barat menunjukkan gambaran rasa takut terhadap
perawatan gigi pada anak usia sekolah yang berobat ke
puskesmas, dari 91 anak yang berobat 5,49% menyatakan
tidak takut terhadap semua perawatan gigi, kemudian
8,79% menyatakan takut terhadap semua tindakan peraatan
gigi dan 85,73% menyatakan takut terhadap beberapa
tindakan perawatan gigi.
Penelitian ini dilakukan pada siswa/i kelas V SD (usia
10 – 11 tahun ) yang pada saat ini berada dalam Fase atau
Masa Anak Sekolah atau disebut juga masa laten. Menurut
Stone dan Church (1975) masa ini adalah masa kehilangan
gigi, masa perubahan fisik yang cepat, masa meraih
identitas yang tidak bergantung pada orang lain, masa
untuk mengalami kelakuan dan berfikir realitik. Ini adalah
masa terbaik untuk mengenalkan dan mengajarkan anak
tentang kesehatan gigi (Parkin S.F , 1991).
Waktu Penelitian
Peneltian ini dilakukan pada bulan September sampai
dengan Oktober 2014
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
tingkat kecemasan anak terhadap pelayanan kesehatan gigi
dan mulut pada siswa/i kelas V – B SD St. Antonius,
Medan Tahun 2014.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 42
siswa/i kelas V – B
SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7
Medan tahun 2014, data yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabel distribusi frekuensi dan selanjutnya dilakukan
analisa data.
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu
tenaga kesehatan khususnya dalam bidang
kesehatan gigi dalam memberikan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut pada pasien anak.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
bahan bacaan diperpustakaan bagi mahasiswa
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes
Medan.
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
metode survey yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran tentang tingkat kecemasan anak terhadap
pelayanan kesehatan gigi dan mulut di SD St. Antonius Jl.
Sriwijaya No. 7, Medan.
Lokasi Penelitian
Peneltian ini dilakukan di SD St. Antonius Jl. Sriwijaya
No. 7 Medan.
Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas
V – B SD St. Antonius, Jl. Sriwijaya No.7, Medan.
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel
yang di ambil sebanyak 42 siswa/i kelas V – B SD St.
Antonius, Jl. Sriwijaya No.7, Medan.
Tabel A.1 Persentase Tingkat Kecemasan Anak
Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi Dan
Mulut Pada Siswa/I Kelas V – B SD St.
Antonius
Jl. Sriwijaya No.7 Medan
Tahun 2014
No.
Tingkat Kecemasan
n
Persentase
1. Tidak cemas
5
11,9%
2. Sedang
11
26,2%
3. Tinggi
14
33,3%
4. Sangat Cemas
12
28,6%
Jumlah
42
100%
Dari tabel di atas dapat di lihat bahwa 33,3%
(14 orang) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl.
Sriwijayan No. 7 Medan tahun 2014 memiliki tingkat
kecemasan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan gigi
dan mulut dan hanya 11,9% (5 orang) yang tidak cemas
sama sekali terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
158
Tabel A.2 Distribusi Frekuensi Penyebab Kecemasan Anak Kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No.7
Medan Tahun 2014 Terhadap Pelayanan Kesehatan Gigi Dan Mulut
Tingkat Kecemasan
Jenis Kecemasan
1
2
3
4
Tidak Cemas
Cemas
Sangat Cemas
Tidak Tahu
Suara atau getaran bur
17
20
5
0
Suntikan untuk dibius
8
14
20
0
Belum merasakan efek bius ( belum merasa kebas )
11
19
12
0
Perasaan kebas pada saat dibius
10
14
18
0
Pengukuran kedalaman gusi
14
22
6
0
Suara atau perasaan ngilu pada saat membersihkan
22
14
6
0
gigi
Tersedak atau mual pada saat perawatan
8
24
10
0
Rontgen foto
41
0
1
0
Alat untuk isolasi kerja, seperti kapas atau
38
4
0
0
penghisap ludah
Mulut yang lelah karena terus terbuka
27
13
2
0
Semprotan udara yang membuat gigi sakit
14
21
7
0
Informasi tentang tindakan yang dilakukan tidak
13
20
9
0
tepat
Perawatan saluran akar
3
22
17
0
Pencabutan gigi
13
9
20
0
Takut terluka / trauma
10
10
22
0
Merasa cemas secara tiba – tiba
17
17
8
0
Tidak dapat menghentikan dokter gigi ketika
20
16
6
0
perawatan
Merasa tidak bebas untuk bertanya
25
12
5
0
Tidak dapat mendengarkan penjelasan dokter
28
9
5
0
dengan focus
Di kritik, di ejek dan dinasehati oleh orang tua
35
4
3
0
Aroma pada ruangan perawatan
25
15
2
0
Mendapatkan perawatan gigi yang membutuhkan
14
18
10
0
waktu lama
Biaya perawatan gigi yang dibutuhkan
32
7
3
0
Pada saat menunggu nomor antrian sebelum
29
8
5
0
perawatan dan lamanya waktu perawatan
Malu akan kondisi mulut
28
10
4
0
Merasa dibatasi dan tidak dapat mengontrol diri
24
14
4
0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 52,4% (22
orang) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl.
Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 sangat cemas akan
terjadi luka pada rongga mulut, 47,5% (20 orang)
sangat cemas terhadap tindakan pencabutan gigi dan
penyuntikan. Sedangkan 97,6% (41 orang) tidak cemas
pada tindakan foto rontgen, 90,4% (38 orang) tidak
cemas pada isolasi kerja pada saat mendapatkan
perawatan dan 83,3% (35orang) yang merasa tidak
cemas mendengarkan kritik pada saat mendapatkan
perawatan.
159
Tabel A.3 Distribusi Frekuensi Jenis Pelayanan
Kesehatan Gigi Dan Mulut Yang Paling
Ditakuti Oleh Siswa/I Kelas V – B
SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7
Medan Tahun 2014
Jenis Kecemasan
1
Tidak
Cemas
Pengukuran kedalaman gusi
14
Suara atau perasaan ngilu
22
pada saat membersihkan
gigi
Suara atau getaran bur
17
(pada saat penambalan )
Perawatan saluran akar
3
Pencabutan gigi
13
Tingkat Kecemasan
2
3
Cemas
Sangat
Cemas
22
6
14
6
4
Tidak
Tahu
0
0
20
5
0
22
9
17
20
0
0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 47,2% ( 20
orang ) siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya
No.7 Medan tahun 2014 sangat cemas pada tindakan
pencabutan gigi dan hanya 52,3% (22 orang) siswa/i kelas
V – B yang tidak cemas pada tindakan pembersihan gigi.
2.
PEMBAHASAN
Sebagian besar siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl.
Sriwijaya No. 7 Medan tahun 2014 memiliki tingkat
kecemasan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan gigi
yaitu 33,3% (14 orang). Hanya 11,9% (5 orang) yang tidak
merasa cemas. Hasil yang diperoleh ini tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tentang rasa
takut anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di
Puskesmas Bali Barat. Dari 91 orang yang menjadi sampel
diperoleh hasil 8,79% takut terhadap semua tindakan
perawatan gigi, 85,73% menyatakan takut terhadap
beberapa tindakan perawatan gigi dan hanya 5,49% yang
tidak takut terhadap perawatan gigi.
Penyebab kecemasan paling tinggi yang ditemukan
pada siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya
No.7 Medan adalah terjadi luka pada rongga mulut yaitu
52,4% (22 orang) dan 97,6% (41 orang) merasa tidak
cemas pada saat melakukan foto rontgen. Luka atau trauma
pada rongga mulut anak dapat menjadi peristiwa yang
sangat menjengkelkan dan menakutkan bagi anak dan
orang tuanya. Cedera yang melibatkan fraktur atau
kehilangan gigi depan dapat mengakibatkan efek
emosional yang tidak sebanding dengan keseriusan cedera.
Anak-anak yang sebelumnya ekstrovert dapat menjadi
rendah diri karena penampilan mereka dan enggan untuk
tersenyum (Parkin, S 1991).
Dari berbagai jenis pelayanan kesehatan gigi dan
mulut (promotif, preventif dan kuratif) yang paling
dicemaskan oleh siswa/i kelas V – B SD St. Antonius Jl.
Sriwijaya No.7 Medan adalah tindakan pencabutan gigi
dan penyuntikan yaitu 47,6% (20 orang) dan 52,3% (22
orang) tidak merasa cemas pada saat pembersihan gigi.
Hal ini dapat terjadi karena banyak orang tua yang
memberikan pandangan bahwa unit pelayanan kesehatan
gigi dan mulut merupakan hukuman bagi anak. Misalnya
apabila anak malas untuk menyikat gigi maka anak di
ancam akan dibawa ke dokter gigi untuk di suntik atau di
cabut giginya. Pandangan ini yang dapat membentuk pola
pikir anak yang menganggap mereka tidak perlu ke unit
pelayanan kesehatan gigi dan mulut apabila tidak membuat
suatu kesalahan (Ramadhan A, 2010).
Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan pada siswa/i
kelas V–B SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan
tahun 2014 tentang gambaran tingkat kecemasan anak
terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut dapat
disimpulkan :
1. Sebanyak 33,3% ( 14 orang ) siswa/i kelas V – B
SD St. Antonius Jl. Sriwijaya No. 7 Medan tahun
2014 memiliki tingkat kecemasan yang tinggi
terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan
hanya 11,9% (5 orang) yang tidak cemas sama
3.
sekali terhadap pelayanan kesehatan gigi dan
mulut.
Hal–hal yang menjadi faktor penyebab kecemasan
pada siswa/i kelas V–B SD St. Antonius Jl.
Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014 terhadap
pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah 52,4%
(22 orang) sangat cemas terhadap luka yang terjadi
dalam rongga mulut, 47,5% (20 orang) sangat
cemas terhadap tindakan pencabutan gigi dan
penyuntikan. Sedangkan 97,6% (41 orang) tidak
cemas pada tindakan foto rontgen, 90,4% (38
orang) tidak cemas pada isolasi kerja pada saat
mendapatkan perawatan dan 83,3%
(35 orang)
yang merasa tidak cemas mendengarkan kritik
pada saat mendapatkan perawatan.
Jenis pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang
paling dicemaskan oleh siswa/i kelas V – B SD St.
Antonius Jl. Sriwijaya No.7 Medan tahun 2014
adalah pencabutan gigi yaitu 47,2% (20 orang)
dan yang paling sedikit menimbulkan kecemasan
adalah tindakan pembersihan gigi (52,4%)
Saran
1. Kepada Pihak Sekolah SD St. Jl. Sriwijaya No.7
Medan
Diharapkan agar pihak sekolah memperkenalkan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada siswa/i
disekolah tersebut dalam program Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) ataupun program
lainnya. Dengan demikian siswa/i tidak
menganggap bahwa pelayanan kesehatan gigi dan
mulut sebagai suatu hal yang perlu dicemaskan
atau ditakuti. Dapat mendatangkan tenaga
kesehatan gigi dan mulut ke sekolah minimal satu
kali dalam setahun untuk melakukan pendekatan
langsung dengan cara memberikan penyuluhan dan
pemeriksaan gigi siswa/i.
2. Kepada Jurusan Keperawatan Gigi
Diharapkan agar lebih giat memberikan penyuluhan
tentang pentingnya kesehatan gigi dan mulut dan
menjelaskan jenis pelayanan yang dapat dilakukan
untuk dapat merubah pola pikir dan menarik minat
anak terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, R.J. , 1992. Perawatan Gigi Anak. Widya Medika
: Jakarta
Anonim.http://dentistlove.blogspot.com/
Anonim.2010.http://repository.usu.ac.id/bistream/1234567
89/23642/3/Chapter%20ll.pdf
Anonim.2010.http://repository.usu.ac.id/bistream/1234
56789/23642/4Chapter%20l.pdf
Anonim.2011.http://tugaskuliah.wordpress.com/2011/12/1
1/kti-kesehatan-gigi-perasaan-takut-pada-anaksiswa-sd-dalam-melakukan-perawatan-gigi/
Clarke,J.H.,1998.http://UniversitySchoolOfDentistry/Clark
e,J.H.1998/Oregon HealthSciences/
Corah,N.http://www.scribd.com/doc/61745765/NormanCorah.
160
Gani, A.H. , 2012. Dental Hypnosis. Widya Medika :
Yogyakarta
Keneddy, D.B. , 1992. Konservasi Gigi Anak. EGC :
Jakarta
Mashar, R. , 2011. Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi
Pengembangannya. Kencana : Jakarta
Notoadmodjo, S. , 2005. Promosi Kesehatan Teori Dan
Aplikasi. Rineka Cipta : Jakarta
_______________ , 2010. Metodologi Penelitian. Rineka
Cipta : Jakarta
161
Parkin, S.F., 1991. Notes In Paediatric Dentistry. Wright :
Oxford
Ramadhan, A.G. , 2010. Serba Serbi Kesehatan Gigi Dan
Mulut. Bukune : Jakarta
Rumpak, J.C. , dkk., 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta
Saleh,N.,2013.http://nuraminsaleh.blogspot.com/2013/
01/pengertian-kecemasan-menurut-para-ahli.html.
MOTIVASI ANAK DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI
TERHADAP STATUS KESEHATAN GIGI PADA SISWA/I KELAS III-A
SD SWASTA CERDAS BANGSA JL. TITI KUNING NAMORAMBE
LINGK. VI SIDOREJO DELI TUA TAHUN 2014
Rosdiana T. Simaremare, Asnita Bungaria Simaremare
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Motivasi kesehatan adalah segala dorongan atau keinginan seseorang, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan upaya
peningkatan kesehatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran motivasi anak dalam
pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status kesehatan gigi pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua. Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif. Cara pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuisioner pada siswa yang
berjumlah 38 orang untuk mengetahui gambaran motivasi siswa dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap
status def-t , DMF-T dan OHIS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :
tingkat motivasi siswa kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua dimana kriteria baik sebanyak 14 siswa (36%), kriteria sedang sebanyak 22 siswa (57%) dan
kriteria buruk sebanyak 2 siswa (5%). Status def-t pada siswa kelasa III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua cenderung cukup tinggi dimana terdapat status angka def-t
dengan rata-rata 4,52. Status DMF-T cenderung rendah dimana terdapat angka status DMF-T dengan ratarata 1, sedangkan status OHIS cenderung sedang dimana angka status OHIS 1,51.
Kata kunci : Pengetahuan dan tindakan mahasiswa, alat-alat pencabutan gigi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009
tentang kesehatan, bahwa tujuan pembangunan
kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan
upaya kesehatan yang terpadu dan menyuluruh dalam
bentuk upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Timbulnya masalah kesehatan gigi dan mulut
pada masyarakat salah satunya adalah karena mengabaikan
kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi oleh
kurangnya motivasi
akan pentingnya pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut.
Peningkatan kesehatan dalam kesehatan gigi dan
mulut dapat dilakukan dengan memberikan motivasi.
Motivasi dilakukan untuk menunjang tercapainya hidup
sehat. Motivasi kesehatan merupakan dorongan yang
dilakukan dengan menanamkan keyakinan, sehingga
masyarakat tidak hanya sadar, tahu dan mengerti, tetapi
juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan.
Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang
dapat disebabkan seseorang mempunyai keinginan untuk
dapat menggapai sesuatu yang diharapkannya. Motivasi
anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi dapat dilakukan
dengan menyikat gigi yang baik dan benar, sehingga selain
untuk menjaga kebersihan gigi juga dapat mencegah
terjadinya karies gigi.
Pemeliharaan kesehatan gigi ini dapat dilakukan
sejak dini pada anak sekolah dasar, agar anak termotivasi
untuk meningkatkan kebersihan dan kesehatan giginya.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
penulis tertarik melakukan penelitian pada Siswa/I kelas
III-A SD Swasta Cerdas Bangsa. Adapun tujuan penelitian
ini adalah untuk memperoleh bagaimana Gambaran
Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Terhadap Status Kesehatan Gigi pada Siswa/I Kelas III-A
SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe
Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraiankan di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana
“Gambaran Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan
Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi” pada
Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
162
Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
mengetahui Gambaran Motivasi Anak Dalam
Pemeliharaan Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan
Gigi pada Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa
Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl.
Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli
Tua.
2. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap status
kebersihan gigi (OHI-S) pada siswa/i kelas III-A
SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
3. Untuk mengetahui motivasi anak terhadap status
kesehatan gigi susu (def-t) dan status kesehatan
gigi permanen (DMF-T) pada siswa/i kelas III-A
SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian diharapkan dapat
digunakan :
1. Sebagai masukan atau informasi bagi siswa/i kelas
III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning
Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua.
2. Menjadi masukan bagi pihak sekolah dalam
melaksanakan program Upaya Kesehatan Gigi
Sekolah.
3. Sebagai bahan dan masukan bagi peneliti
selanjutnya.
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif dengan metode survey dimana penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana Gambaran
Motivasi Anak Terhadap Pemeliharaan Kesehatan Gigi
dan Mulut pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September
sampai dengan Oktober 2014.
Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian
(Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua yang
berjumlah 38 orang.
163
Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi
yang diteliti. Apabila subjek kurang dari 100 maka lebih
baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan
penelitian populasi (Arikunto, 2002). Maka dari itu, sampel
diambil dari total populasi siswa/i kelas III-A SD Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI
Sidorejo Deli Tua yang berjumlah 38 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer
yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan
pemeriksaan secara langsung. Data langsung diambil oleh
peneliti dan tim ke lokasi penelitian di SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua yang terdiri dari dua orang.
1. Orang pertama bertugas untuk memberikan
kuisioner. Kuisioner terdiri dari 10 pertanyaan
tentang motivasi pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut. Mengambil kembali hasil kuisioner yang
telah dijawab, juga memeriksa kebersihan gigi
dan mulut siswa.
2. Orang kedua bertugas untuk memanggil siswa
satu persatu berdasarkan nomor urut pada absensi
dan mencatat hasil pemeriksaan.
Kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan masingmasing bagian dibagi dalam 3 kategori penilain yaitu
kategori baik, sedang, buruk. Sehingga didapat skor
dengan rentang tiga setiap kategori sebagai berikut :
Skor 8 – 10 : kategori baik
Skor 4 – 7 : kategori sedang
Skor 0 – 3 : kategori buruk
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data status
kesehatan gigi dengan melakukan pemeriksaan gigi
responden (siswa/i) untuk mengetahui indeks karies gigi
susu (def-t) dan indeks karies gigi permanen (DMF-T)
serta status kebersihan gigi (OHI-S). Dalam pemeriksaan
gigi ini digunakan alat dan bahan yaitu :
1. Alat yang terdiri dari :
 Kaca mulut
 Sonde
 Pinset
 Nier bekken
 Excavator
 Handuk steril
 Format pemeriksaan gigi geligi
 Lembaran kuisioner
2. Bahan terdiri dari :
 Kapas
 Sabun cair detol
Setiap siswa/I diperiksa giginya dan hasil
pemeriksaan dicatat pada format pemeriksaan status gigi
geligi. Hasil pemeriksaan dikumpulkan dan dimasukkan ke
dalam tabel distribusi frekuensi. Sebelum melakukan
pemeriksaan peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian kepada responden.
Pengolahan dan Analisa Data
Setelah data dikumpulkan dan kuisioner
dikelompokkan berdasarkan pertanyaan tentang motivasi
anak terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut ke
dalam tabel distribusi frekuensi. Pemeriksaan status
kesehatan gigi dibagi dalam tiga bagian yaitu OHIS, indeks
karies gigi susu (def-t) dan indeks karies gigi permanen
(DMF-T) yang dimasukkan ke dalam tabel distribusi
frekuensi. Pengolahan data meliputi 3 langkah, yaitu :
1. Editing (Memeriksa)
Hal ini dilakukan setelah semua data yang
dikumpulkan melalui pemeriksaan langsung
terhadap anak-anak. Kegiatan yang dilakukan
adalah mengecek kelengkapan data kuisioner dan
status kesehatan gigi.
2. Coding (Pengkodean)
Memberikan tanda terhadap pemeriksaan OHI-S dan
karies gigi yang telah dilakukan terhadap anak-anak.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah waktu
mengadakan tebulasi data dan analisa data.
3. Tabulasi Data
Pekerjaan tabulasi data dilakukan, jika semua masalah
editing dan koding sudah selesai. Artinya sudah tidak
ada lagi permasalahan yang timbul dalam editing dan
koding. Sehingga data dapat dimasukkan ke dalam
tabel frekuensi.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa angka
OHI-S siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl.
Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
adalah 57,4 dengan rata-rata 1,51.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian motivasi anak dalam
pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status kesehatan gigi
pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang motivasi
anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi terhadap status
kesehatan gigi pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua, maka dari 38 responden diperoleh 14 orang
(36%) dengan kriteria baik, 22 orang (57%) dengan kriteria
sedang dan 2 orang (5%) dengan kriteria buruk.
Motivasi anak dengan kategori sedang terlihat
lebih banyak yaitu 22 orang (57%), ini menunjukkan
bahwa belum semua siswa mempunyai motivasi dalam
pemeliharaan kesehatan giginya. Menurut Prawira (2012)
motivasi pada dasarnya adalah suatu usaha untuk
meningkatkan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan
tertentu, termasuk di dalamnya bagian belajar.
Berdasarkan tabel di atas pemeriksaan gigi yang
dilakukan pada siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo
Deli Tua diketahui bahwa angka OHI-S adalah 57,4
dengan rata-rata 1,51. Menurut Green dan Vermillioon
dalam penilaian OHI-S ini termasuk dalam kriteria sedang.
Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa
sebagian besar siswa/i mengalami kebersihan gigi (OHI-S)
kriteria sedang. Hal ini disebabkan karena belum
seluruhnya siswa mempunyai kesadaran akan kebersihan
giginya. Anak cenderung menyukai makanan lunak dan
manis apalagi orang tua tidak mengarahkan pada jenis
makanan yang lebih beragam dan bergizi. Orang tua
memegang peranan di dalam menerapkan disiplin dalam
melaksanakan tanggung jawab akan kebersihan gigi anak.
Oleh karena itu anak lebih dapat diajarkan cara memelihara
kesehatan gigi dan mulut secara lebih dini.
Tabel A.1.
Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan
Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi Pada
Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
No Kriteria Motivasi Sampel (n)
Persentase
1
Baik
14
36%
2
Sedang
22
57%
3
Buruk
2
5%
Jumlah
38
100%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa
responden yang memiliki motivasi dalam pemeliharaan
kesehatan gigi dengan kriteria baik sebanyak 14 orang
(36%), kriteria sedang sebanyak 22 orang (57%) dan
kriteria buruk sebanyak 2 orang (5%).
Tabel A.2.
Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan
Kesehatan Gigi Terhadap Status Kebersihan Gigi Pada
Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
Jumlah RataStatus
DI
CI
OHIS
Siswa
Rata
Kebersihan
Gigi (OHIS) 39,5 17,9 57,4
38
1,51
Tabel A.3.
Distribusi Frekuensi Motivasi Anak Dalam Pemeliharaan
Kesehatan Gigi Terhadap Status Kesehatan Gigi Pada
Siswa/I Kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl. Titi
Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
Status
d
e
Kesehatan Gigi
Susu(def-T) 136 36
Status
D M
Kesehatan Gigi
Permanen
36 0
(DMF-T)
f
def-t
0 172
F DMF-T
2
38
Jumlah
Siswa
38
Ratarata
4,52
38
1
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa status
angka def-t siswa/i kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa
Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
adalah 172 dengan rata-rata 4,52. Sedangkan status angka
DMF-T siswa kelas III-A SD Swasta Cerdas Bangsa Jl.
Titi Kuning Namorambe Lingk. VI Sidorejo Deli Tua
adalah 38 dengan rata-rata 1.
164
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa angka
def-t dengan rata-rata 4,52 yang artinya ada 4 sampai 5 gigi
yang mengalami karies pada setiap siswa. Hal ini
disebabkan karena motivasi siswa masih kurang dalam
pemeliharaan kesehatan giginya. Menurut Latipah (2012)
seseorang dapat termotivasi oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Angka karies yang tinggi disebabkan karena
seseorang tidak termotivasi/terdorong untuk mengarahkan
dan melakukan usaha mempertahankan kesehatan giginya
sehingga tidak terjadi karies.
Status angka DMF-T dengan rata-rata 1 ini
disebabkankan keadaan gigi siswa/i yang masih bercampur
dan baru sebagian gigi permanen yang mulai tumbuh.
Kesehatan rongga mulut anak-anak dibawah usia 2 tahun
sepenuhnya di bawah pengawasan orang tua. Hingga usia
12 tahun sampai selesainya pergantian gigi susu menjadi
permanen, orang tua harus tetap memantau. Menurut
Latipah (2012) peranan kelompok dimana individu
bergabung dapat membantu individu mendapatkan
kebutuhan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan
kesimpulan, yaitu :
1. Tingkat motivasi siswa/i kelas III-A SD Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk.
VI Sidorejo Deli Tua dimana kriteria baik
sebanyak 14 siswa (36%), kriteria sedang
sebanyak 22 siswa (51%), sedangkan kriteria
buruk sebanyak 2 siswa (5%) yang dilakukan
pada 38 siswa.
2. Status OHIS pada siswa/i kelas III-A SD Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk.
VI Sidorejo Deli Tua cenderung sedang dimana
terdapat status angka OHIS rata-rata 1,51.
3. Status def-t pada siswa/i kelas III-A SD Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk.
VI Sidorejo Deli Tua cenderung cukup tinggi
dimana terdapat status angka def-t dengan ratarata 4,52.
4. Status DMF-T pada siswa/i kelas III-A SD Swasta
Cerdas Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk.
VI Sidorejo Deli Tua cenderung rendah dimana
terdapat status angka DMF-T rata-rata 1.
Saran
1. Diharapkan kepada siswa/i SD Swasta Cerdas
Bangsa Jl. Titi Kuning Namorambe Lingk. VI
165
2.
3.
Sidorejo Deli Tua dapat melakukan perawatan
giginya pada dokter gigi atau tenaga kesehatan gigi
(Puskesmas, Klinik Gigi dan Rumah Sakit) secara
berkala.
Untuk pihak sekolah diharapkan dapat melaksanakan
pelayanan kesehatan gigi melalui Usaha Kesehatan
Gigi Sekolah (UKGS) yang bekerja sama dengan
pihak Puskesmas.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi peneliti, untuk menerapkan
ilmu yang diperoleh serta sebagai masukan kepada
peneliti yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anggriana, D., 2005. Faktor pendorong motivasi orang tua
merawatkan gigi anak di klinik Fakultas
Kedokteran Gigi Unair [pdf] Surabaya: Fakultas
Kedokteran
Gigi
Universitas
Airlangga
<http://duniapsikologi.dagdigdug.com/files/2006/
12/konsep-diri.pdf> [diakses Des 2006]
Arikunto, S., 2002, Prosedur Penelitian, Rineka
Cipta.Jakarta
Asmani, J.M., 2012. Kiat Mengatasi Kenakalan
Remaja di sekolah, Jogjakarta.Buku Biru
Boedihardjo, 1985, Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga, Airlangga University press.
Surabaya
Eka, I.N., 2007. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Gigi
Terhadap Pengetahuan dan Sikap Anak Usia
Sekolah di SD Boto Kembang Kulonprogo [pdf]
yokyakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas
Pekalongan
<http://www.psychologymania.com/2008/08/pen
gertian-dukungan-keluarga.html>
[diakses
agustus 2008]
Latipah, E., 2012. Pengantar Psikologi Pendidikan,
Pedagogia. Yokyakarta
Prawira, P.A., 2012. Psikologi Pendidikan Dalam
Perspektif Baru, Ar-Ruzz Media. Jogjakarta
Putri, M.H., Eliza, H., Neneng, N., 2010. Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras Dan
Jaringan Pendukung Gigi, EGC. Jakarta
Ramadhan, A.G., 2010. Serba-Serbi Kesehatan Gigi
dan Mulut, Bukune. Jakarta.
EFEKTIFITAS PENYULUHAN DENGAN MEDIA POSTER TERHADAP
PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG KEBERSIHAN GIGI PADA
SISWA/I KELAS III DAN IV DI SDN 104186 TANJUNG SELAMAT
KECAMATAN SUNGGAL TAHUN 2014
Rawati Siregar, Sondang
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Umumnya pendidikan kesehatan gigi dan mulut diperoleh melalui penyuluhan. Kelompok masyarakat
yang sering dituju adalah anak-anak sekolah dasar, karena usia 6-14 tahun merupakan usia transisi
atau pergantian gigi permanen (masa gigi bercampur) . Penyuluhan yang diberikan adalah penyuluhan
dengan media poster yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kebersihan gigi pada
sisiwa/i kelas III dan IV di SDN 104186 Tanjung Selamat kecamatan Sunggal.Penelitian ini besifat
deskriptif, sampel adalah seluruh siswa/i kelas III dan IV SDN 104186 tanjung Selamat Kecamatan
Sunggal yang berjumlah 50 orang.Dari hasil penelitian yang didapatkan dengan cara pengisian
kuisioner maka hasilnya adalah sebagai berikut : yang berpengetahuan baik pada kelas III sesudah
penyuluhan berjumlah 19 orang (76%), dan yang berpengetahuan baik pada kelas IV berjumlah 22
orang (88%).Dapat ditarik kesimpulan bahwa penyuluhan yang diberikan dengan media poster dapat
meningkatkan pengetahuan siswa/i tentang kebersihan gigi.
Kata kunci: penyuluhan, Media Poster, Kebersihan Gigi
PENDAHULUAN
Dalam undang-undang kesehatan No.36 tahun
2009 memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi. Batasan yang diangkat dari batasan
kesehatan menurut organisasi kesehatan dunia (WHO)
yang paling baru ini memang lebih luas dan dinamis
dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang
mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna,
baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas
dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu,
kesehatan itu hanya mencakup tiga aspek, yakni : fisik,
mental, dan sosial tetapi menurut undang-undang
No.23/1992, disempurnakan dengan UU No.36 tahun
2009 kemudian kesehatan itu mencakup lima aspek yakni
fisik (badan), mental (jiwa), sosial, spritual dan
ekonomi(Notoatmojo,2012)
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Sedangkan istilah
sehat dalam kehidupan sehari-hari sering di pakai untuk
menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari
kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Prevalensi penduduk yang mempunyai masalah
kesehatan gigi dan mulut adalah 23% dan 1,6% penduduk
telah kehilangan gigi aslinya. Dari jumlah yang menerima
perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan adalah
29,6% (Riskesdas,2007)
Gigi merupakan salah satu elemen yang tak boleh
terlupakan sebagai satu kesatuan pendukung penampilan
yang sempurna. Namun, sampai saat ini masih banyak
masyarakat yang melupakan pentingnya kebersihan dan
kesehatan gigi. Dan, tak hanya orang dewasa saja yang
terbilang malas menjaga kesehatan dan kebersihan giginya
dengan cara menyikat gigi.
Menurut penelitian yang dilakukan di singapura
dan di indonesia pada tahun 2007, 8 dari 10 anak sekolah
dasar sudah mengalami masalah gigi berlubang. Yang
lebih memprihatinkan lagi, penelitian ini mengungkapkan
bahwa anak-anak indonesia di usia lima tahun sudah
mengalami gigi berlubang pada tiga giginya. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran untuk menjaga kesehatan
dan kebersihan gigi di indonesia masih tergolong rendah.
Padahal sebenarnya gigi bisa menjadi indikasi tingkat
kesehatan masyarakat secara umum disuatu tempat.
Kesehatan gigi dan mulut sangat penting sekali
dan harus dijaga semenjak masih kecil. Gigi adalah suatu
alat bantu pencernaan kita yang mempunyai fungsi amat
penting. Dengan gigi, maka proses mengunyah makanan
menjadi lebih mudah. Dengan gigi pula kita dapat
menggigit atau pun menyobek apa-apa yang dimakan.
Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu
upaya untuk menciptakan sekolah menjadi suatu
komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sekolah melalui kegiatan utama, yaitu : (a) pen
ciptaan lingkungan sekolah yang sehat, (b) pemeliharaan
dan pelayanan di sekolah, dan (c) upaya pendidikan yang
berkesinambungan. Ketiga kegiatan tersebut dikenal
dengan istilah TRIAS UKS (Kholid, 2012)
166
Pendidikan kesehatan gigi (PKG) di sekolah
melalui TotalQualityManagement (TQM) merupakan
suatu sistem pendidikan nonformal bagi masyarakat
sekolah dengan cara belajar sambil berbuat (learning by
doing) untuk mengubah perilaku mereka dari yang kurang
menguntungkan menjadi menguntungkan terhadap
kesehatan gigi dan mulutnya. Melalui kegiatan ini
diharapkan mereka menjadi tahu, mau, dan mampu
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, baik
secara sendiri maupun bersama, guna terus meningkatkan
kesehatan gigi dan mulutnya sendiri serta keluarganya.
Pengertian PKG di sekolah melalui TQM adalah suatu
sistem pendidikan nonformal bagi masyarakat sekolah
yang berorientasi pada kebutuhan serta memberi
kesempatan pada mereka untuk berpartisipasi aktif dalam
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program-program kesehatan gigi(Astoeti,
2006)
Penyuluhan
kesehatan
adalah
kegiatan
pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga
mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Azwar,1983).
Survey awal yang telah dilakukan di SDN
104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014
peneliti banyak menemukan permasalahan banyaknya gigi
siswa/i yang kotor, disebabkan karena mereka tidak
menjaga kebersihan giginya.
Berdasarkan latar belakang diatas dan dengan
melihat survey awal di SDN 104186 Tanjung Selamat
Kecamatan Sunggal Tahun 2014 maka peneliti tertarik
untuk mengetahui apakah efektifitas penyuluhan dengan
media poster dapat meningkatkan pengetahuan siswa/i
tentang kebersihan gigi di SDN 104186 Tanjung Selamat
Kecamatan Sunggal Tahun 2014.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektifitas penyuluhan dengan
media poster terhadap peningkatan pengetahuan tentang
kebersihan gigi pada siswa/i kelas III dan IV di SDN
104186 Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014.
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan masukan dalam
perencanaan
UKGS
dan
pelayanan
penyuluhan kesehatan gigi dan mulut di SDN
104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran siswa/i di SDN
104186 Tanjung selamat Kecamatan Sunggal
terhadap kebersihan gigi dan mulut.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan kepada pihak sekolah SDN 104186
Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menyediakan data dan informasi bagi peneliti
yang sejenisnya
167
METODE PENELITIAN
Jenis Dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah
penelitian deskriptif dengan metode survey untuk
mengetahui efektifitas penyuluhan dengan media poster
terhadap peningkatan pengetahuan tentang kebersihan
gigi.pada siswa/i SDN 104186 Tanjung Selamat
Kecamatan Sunggal Tahun 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian
Menurut Notoadmojo bahwa populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian. Populasi dari penelitian ini
adalah seluruh siswa/i kelas III dan IV di SDN 104186
Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014. Jumlah
populasi pada penelitian ini adalah 50 orang siswa.
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang akan diteliti di anggap mewakili
seluruh populasi. Dalam pengambilan sampel dalam hal ini
peneliti mengacu kepada pendapat Arikunto, 2006 yaitu
apabila subjek kurang dari 100 ,lebih baik diambil semua
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi,
maka sampel penelitian ini adalah seluruh populasi yaitu
50 orang siswa/i kelas III dan IV SDN 104186 Tanjung
Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014 karena kurang
dari 100 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Data yang dikumpulkan adalah data hasil
penelitian yang dilakukan terhadap siswa/i SDN 104186
Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2014.
Penelitian langsung di lakukan kepada siswa/i dengan
memberikan dua kali kuesioner sebelum penyuluhan dan
sesudah penyuluhan dengan media poster. Dari penelitian
yang dilakukan maka, skor pengetahuan sebelum dan
sesudah dilakukan penyuluhan dengan media poster ada
perbedaan. Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisa
data dengan membuat tabel distribusi frekuensi sebagai
berikut :
Tabel A.1
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang
Kebersihan GigiSebelum Penyuluhan Dengan Media
Poster Kepada Siswa/i Kelas III SDN 104186 Tahun
2014
NO
Kriteria
N
%
1
Baik
8
32
2
Sedang
17
68
3
Buruk
0
0
Jumlah
25
100
Dari tabel diatas menunjukkan tingkat
pengetahuan siswa/i sebelum dilakukan penyuluhan
dengan media poster menunjukkan yang berpengetahuan
baik sebanyak 8 orang
( 32% ) , yang memiliki
pengetahuan sedang sebanyak 17 orang (68%), dan tidak
ada yang berpengetahuan buruk.
Tabel A.2
Distribusi FrekuensiPengetahuan Tentang Kebersihan
Gigi SesudaPenyuluhan Dengan Media Poster Kepada
Siswa/i Kelas III SDN 104186 Tahun 2014
NO
Kriteria
N
%
1
Baik
19
76
2
Sedang
6
24
3
Buruk
0
0
Jumlah
25
100
Tabel A.5
Distribusi Frekuensi Perbedaan Pengetahuan
Tentang Kebersihan Gigi Sebelum Dan Sesudah
Penyuluhan Dengan Media Poster Pada Siswa /I
Kelas III Dan IV Di SDN 104186 Tahun 2014
Sebelum
S Sesudah
Perbedaan
Kelas
Penyuluhan P Penyuluhan
III
8
19
11
IV
10
22
12
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan sesudah penyuluhan dengan media poster,
menunjukkan yang berpengetahuan baik naik menjadi
19 orang (76%) yang berpengetahuan sedang turun
menjadi 6 orang (24%) dan tidak ada yang
berpengetahuan buruk.
Dari tabel diatas kita ketahui perbedaan
pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dengan
media poster. Pada kelas III didapat perbedaannya yaitu 11
atau 1 : 2 dan perbedaan pada kelas IV yaitu 12 atau 1 : 2.
Seperti terlihat pada tabel diatas terdapat peningkatan
angka pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan
dengan media poster.
Tabel A.3
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang
Kebersihan GigiSebelum Penyuluhan Kepada Siswa/i
Kelas IV SDN 104186 Tahun 2014
NO
Kriteria
N
%
1
Baik
10
40
2
Sedang
15
60
3
Buruk
0
0
Jumlah
25
100
Dari tabel diatas menunjukkan tingkat
pengetahuan sebelum penyuluhan dengan media poster,
menunjukkan yang berpengetahuan baik sebanyak 10
orang (40%) sedangkan berpengetahuan sedang sebanyak
15 orang (60%) dan tidak ada yang berpengetahuan buruk.
Tabel A.4
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang
Kebersihan GigiSesudah Penyuluhan Dengan Media
Poster Kepada Siswa/i kelas IV SDN 104186 Tahun
2014
NO
Kriteria
N
%
1
Baik
22
88
2
Sedang
3
12
3
Buruk
0
0
Jumlah
25
100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan siswa/i sesudah penyuluhan dengan media
poster, menunjukkan yang berpengetahuan baik
meningkat menjadi menjadi 22 orang (88%), yang
berpengetahuan sedang turun menjadi 3 orang (12 %),
dan tidak ada yang berpengetahuan buruk.
PEMBAHASAN
Pada siswa/i kelas III SDN 104186 Tanjung
Selamat Kecamatan Sunggal, Tingkat pengetahuan
sebelum dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi
dengan media poster pada kelas III adalah berpengetahuan
baik sebanyak 8 orang, yang memiliki pengetahuan sedang
sebanyak 17 orang, dan tidak ada yang berpengetahuan
buruk. Dan sesudah dilakukan penyuluhan tentang
kebersihan gigi dengan media poster menunjukkan yang
berpengetahuan baik naik menjadi 19 orang, yang
berpengetahuan sedang turun menjadi 6 orang dan tidak
ada yang berpengetahuan buruk. Perbedaan sesudah dan
sebelum penyuluhan adalah
Pada siswa/i kelas IV SDN 104186 Tanjung
Selamat Kecamatan Sunggal tingkat pengetahuan sebelum
dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan
media poster adalah menunjukkan yang berpengetahuan
baik sebanyak 10 orang sedangkan berpengetahuan
sedang sebanyak 15 orang dan tidak ada yang
berpengetahuan buruk. Dan sesudah dilakukan penyuluhan
tentang kebersihan gigi dengan media poster adalah
menunjukkan yang berpengetahuan baik meningkat
menjadi menjadi 22 orang , yang berpengetahuan sedang
turun menjadi 3 orang , dan tidak ada yang berpengetahuan
buruk.
Perbedaannya pengetahuan sebelum dan sesudah
dilakukan penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan
media poster yaitu 8 meningkat menjadi 19 atau 1 : 2 dan
perbedaan pada kelas IV yaitu 12 meningkat menjadi 22
atau 1 : 2. terdapat peningkatan angka pengetahuan
sebelum dan sesudah penyuluhan dengan media poster.
168
Menurut Maulana (2009) faktor-faktor yang
sangat mempengaruhi dalam penyuluhan kesehatan
adalah dalam aspek pemilihan metode, alat
bantu/media, dan jumlah kelompok sasaran, artinya
untuk mendapatkan hasil penyuluhan dengan maksimal
ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi. Media
yang digunakan ditentukan oleh intensitas media
tersebut dalam memberikan pengalaman belajar kepada
siswa, poster sarat dengan tampilan visual gambar,
sehingga lebih melibatkan indera ketika menerima
materi penyuluhan, maka tingkat siswa dalam
menangkap pesan atau materi penyuluhan akan
semangkin efektif. (Depkes RI, 2008)
Media poster dapat lebih efektif sebagai media
penyuluhan karena lebih membatu menstimulasi indera
penglihatan siswa, aspek visual pada gambar-gambar
poster lebih memudahkan penerimaaan informasi atau
materi pendidikan (Notoadmojo, 2004)
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
penyuluhan kesehatan gigi pada anak-anak lebih baik
dilakukan dengan media poster Hal senada dikemukakan
oleh Saptarini (2005) bahwa pesan visual berupa gambar
lebih mudah tertanam dalam pikiran audience
dibandingkan dengan kata-kata, sehingga penyuluhan
kesehatan gigi tentang cara memelihara kesehatan gigi
dapat lebih efektif jika menggunakan media yang lebih
banyak menanmpilkan gambar, terlebih pada sasaran
audience siswa sekolah dasar.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah di
lakukan,diperoleh maka simpulannya sebagai berikut :
1. Tingkat pengetahuan siswa/i kelas III SDN 104186
Tanjung selamat Kecamatan Sunggal, setelah
dilakukan penyuluhan dengan menggunakan media
poster tentang pengetahuan kebersihan gigi yang
berpengetahuan baik adalah 19 siswa (76%) ,
sedangkan yang berpengetahuah sedang adalah 6
siswa (24%) . Ini menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan tentang kebersihan gigi pada siswa/i
sudah baik.
2. Tingkat pengetahun siswa/i kelas IV SDN 104186
Tanjung selamat Kecamatan Sunggal, setelah
dilakukan penyuluhan dengan menggunakan media
poster tentang pengetahuan kebersihan gigi yang
berpengetahuan baik adalah 22 siswa (88%) ,
sedangkan yang berpengetahuan sedang adalah 3
siswa (12%) . ini menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan tentang kebersihan gigi pada siswa/i
sudah baik.
169
3.
Perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah
penyuluhan tentang kebersihan gigi dengan media
poster yaitu Pada kelas III meningkat lebih baik
yaitu dari 8 menjadi 19. Dan pada kelas IV juga
meningkat lebih baik yaitu dari 10 menjadi 22.
Saran
1. Disarankan agar penyuluhan kesehatan gigi dan
mulut pada anak-anak lebih baik dilakukan dengan
media poster karena dengan melihat gambar
membuat proses belajar mengajar menjadi mudah
dimengerti dan menjadi lebih aktif juga
menyenangkan sehingga cocok digunakan pada
anak-anak.
2. Diharapkan adanya dukungan dari pihak sekolah
untuk membuat Program Usaha kesehatan Gigi
Sekolah (UKGS) sehingga dokter atau perawat
gigi dapat berperan aktif dalam mengedukasikan
dan mengontrol kesehatan gigi dan mulut pada
siswa/i dan akhirnya menimbulkan kebiasaan yang
lebih baik dalam merawat gigi dan mulutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S.,2006,ProsedurPenelitian Suatu pendekatan
Praktik, PT. Rineka, Cipta. Jakarta.
Astoeti.,2006, Pendidikan Kesehatan Gigi Di Sekolah,
Rajawali Pers, Jakarta
Herjulianti., dkk, 2006, Pendidikan Kesehatan Gigi, Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Kholid, A.,2012, Promosi Kesehatan, Rajawali Pers:
Jakarta.
Machfoedz, I., dkk. 2009. Pendidikan Promosi Kesehatan,
Fitramaya: Yogyakarta.
Notoadmojo, S., 2012, Promosi Kesehatan Dan Perilaku
Kesehatan, Bineka Cipta: Jakarta.
.,
2010, Metode Penelitian Kesehatan, Bineka
Cipta: Jakarta
Budiharto., 2008, Ilmu Perilaku Kesehatan dan
Pendidikan Kesehatan Gigi. Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Suiraoka, P., dkk, 2012, Media Pendidikan Kesehatan,
Graha Ilmu: Yogyakarta.
Richahardiyanti22.blogspot.com 2013.
http://www.sarjanaku.kompas.com.://female.kompas.com/r
ead/2012/05/10/17022744/3.penyebab.utama.g
igi.berlubang.
http://buahuntukdiet.com
http://.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-poster-apaitu-poster.html
http://ibnuabihurairah.blogspot.com/2011/04/pen
yuluhan-kesehatan-gigi-andi.html.
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA TENTANG
MENYIKAT GIGI TERHADAP def-t DAN DMF-T PADA SISWA-SISWI
SD NEGERI 060930 TITI KUNING KECAMATAN MEDAN JOHOR
TAHUN 2014
Aminah Br. Saragih1, Herlinawati2
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Menyikat gigi sangat penting untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Tindakan membersihkan gigi
dari plak dan sisa makanan yang biasanya menumpuk pada permukaan gigi maupun disela-sela gigi,
dengan menggunakan alat sikat gigi dan dilakukan sehari-hari. Penelitian yang digunakan adalah
penelitian diskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan
ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada Siswa/i SD Negeri 060930
Titi Kuning Kecamatan Medan JohorTahun 2014. Sampel penelitian adalah total populasi yaitu (40
orang). Kuesioner di isi langsung oleh ibu rumah tangga. Hasil penelitian tentang ibu yang memiliki
pengetahuan dengan kriteria baik 35 orang (87,5), kriteria sedang 5 orang (12,5) dan tidak ada yang
memiliki kriteria buruk dalam tingkat pengetahuan ibu. Status karies gigi (def-t) memiliki jumlah
decay (d) 192 dari 40 siswa (4,8%), extrakcition (e), filling (f) tidak ada ditemukan. Status karies gigi
(DMF-T) memiliki jumlah jumlah Decay (D) 32 dari 40 siswa (0,8), Missing (M) dan Filling (F) tidak
ada ditemukan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki
pengetahuan baik adalah 35 orang (87,5%), decay (d) 192 dari 40 siswa (4,8) dan Decay (D) 32 dari
40 siswa (0,8). kepada ibu siswa agar lebih baik mengawasi dan memperhatikan anak saat menyikat
gigi dan hendaknya ibu memilih sikat gigi yang dan tepat.
Kata kunci: Pengetahuan ibu rumah tangga, def-t, DMF-T
PENDAHULUAN
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36
Tahun 2009 Pasal 93 ayat 1 dan 2 yaitu pelayanan
Kesehatan Gigi dan Mulut dilakukan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan penyakit
gigi yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat dan
dapat juga dilakukan melalui pelayanan kesehatan gigi
perseorangan, sekolah dan masyarakat.
Pembangun kesehatan bertujuan meningkakan
kesadaran kemauan, serta kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar berwujud derajat kesehatan yang
optimal. Oleh karena itu perlu perwujudan paradigma
sehat yang mengutamakan pencegahan (preventive),
meningkatkan kesehatan (promotif) serta upaya
peningkatan (kurative) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitative).
Tubuh yang sehat tidak lepas dari keadaan
rongga mulut yang sehat, kesehatan rongga mulut
merupakan bagian integral dari kesehatan manusia
setuhnya juga dalam meningkatkan kualitas dan
produktivitas sumber daya manusia. Walaupun
demikian banyak juga yang tidak tahu bahwa rongga
mulut yang berperan penting dalam kesehatan tubuh.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2001 menyebutkan penyakit gigi dan mulut
merupakan penyakit tertinggi keenam yang dialami
masyarakat. Data tersebut juga menyebutkan bahwa
sebanyak 61,5% masyarakat tidak menyikat gigi sesuai
dengan anjuran dan 16,6% bahkan tidak pernah
menyikat giginya sama sekali.
Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2004 yang dilakukan Departemen Kesehatan
menyebutkan prevalensi karies (berlubang) gigi di
Indonesia adalah 90,05%. Sedangkan prevalensi
penyakit periodontal 96,58%.
Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan
orang tua sangat penting untuk mendasari terbentuknya
perilaku yang mendukung kebersihan gigi dan mulut
anak. Pengetahuan melakukan pengindraan terhadap
suatu objek tertentu untuk terbentuknya suatu tindakan.
Pengetahuan juga dapat diperoleh secara alami maupun
secara terencana yaitu melalui proses pendidikan. Peran
orang tua, khususnya ibu sangat diperlukan didalam
bimbingan, memberikan pengertian, menyediakan
fasilitas kesehatan gigi dalam keluarga agar dapat
memelihara kebersihan gigi dan mulut serta
menghindari terbentuknya lubang gigi serta menyikat
gigi.
170
Indikator karies gigi dapat berupa prevalensi
karies gigi dan dapat skor dari indeks karies. Indeks
karies gigi yaitu angka yang menunjukkan jumlah gigi
karies seseorang atau sekelompok orang. Indeks karies
gigi sulung disebut def-t (d=decayed=gigi yang karies,
e=extracted=gigi yang telah tercabut dan harus dicabut,
f=filled=gigi yang sudah ditambal), def-t pertama kali
diperkenalkan oleh Gruebbel pada tahun 1944 (James
dan Beal, 1981). Indeks karies gigi (def-t) adalah
jumlah karies gigi yang masih ditambal (d, untuk gigi
sulung), ditambah dengan gigi karies yang tidak dapat
di tambal lagi atau gigi dicabut (e, untuk gigi sulung)
dan jumlah gigi karies yang sudah ditambal (f,untuk
gigi sulung).
Indeks DMF-T diperkenalkan oleh klein H,
Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938 untuk
mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi.
Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi
(DMF-T). Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga
karena gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah
dicabut atau kurang berfungsi. Indeks ini tidak
menggunakan skor; pada kolom yang tersedia langsung
diisi kode D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang)
dan F (gigi yang di tumpat) dan kemudian dijumlahkan
sesuai kode. Rerata DMF-T adalah jumlah seluruh nilai
DMF dibagi atas jumlah orang diperiksa.
Berdasarkan alasan di atas maka penulis
tertarik melakukan penelitian di SD Negeri 060930 titi
kuning Kec. Medan johor 2014 untuk mengetahui
gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang
menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i
SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan
Johor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat
gigi terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri
060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor 2014.
Manfaat Penelitian
Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman
bagi penulis.
1. Menambah wawasan dan pengetahuan ibu tentang
menyikat gigi pada anak.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dan sumber pengetahuan bagi peneliti
selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriftif, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
pengetahuan ibu rumah tangga tentang menyikat gigi
terhadap def-t dan DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930
Titi Kuning Kecamatan Medan Johor Tahun 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek peneliti.
Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada
dalam wilayah peneliti, maka penelitinya adalah penelitian
populasi (arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian adalah
ibu-ibu yang memiliki anak bersekolah di SD Negeri
060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor dengan
jumlah populasi adalah 421 orang.
Sampel merupakan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi, (Notoatmojo).
Aplikasi subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil
semua sehingga menelitinya merupakan penelitian
populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar, penelitian
dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.
Peneliti mengambil sampel 10% dari 100% populasi.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 40 orang.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s/d Desember
2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan
ibu rumah tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan
DMF-T pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning
Kecamatan Medan Johor Tahun 2014, diperoleh sebagai
berikut:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi DMF-T pada siswa/i SD
Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor
2014
Pengetahuan
Kriteria
Baik
Sedang
Kurang
Jumlah
Sampel
(n)
35
5
40
persentase
(%)
87,5
12,5
100
Dari tabel 2 di atas, terlihat bahwa DMF-T pada
siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah Decay (D) 32
dari 40 siswa (0,8), Missing dan Filling tidak ada
ditemukan.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Gambaran Pengetahuan
Ibu Rumah Tangga Tentang Menyikat Gigi.
Status Karies Gigi
def-t
Jumlah
decay (d)
192
extraction (e)
filling (f)
-
Sampel
(n)
40
40
-
Ratarata
4,8
40
Dari table 1 dapat dilihat bahwa ibu yang
memiliki pengetahuan dengan kriteria baik ada 35 orang
(87,5%), kriteria sedang ada 5 orang (12,5%) dan tidak ada
171
yang memiliki kriteria buruk pada tingkat pengetahuan ibu
rumah tangga.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi def-t pada siswa/i SD
Negeri 060930 Titi Kuning Kecamatan Medan Johor
Tahun 2014
Status Karies Gigi
DMF-T
Jumlah Sampel
(n)
Decay (D)
32
40
Missing (M) 40
Filling (F)
40
Rata–rata
0,8
-
Dari table 2 di atas, terlihat bahwa def-t pada
Siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah decay (d) 192
dari 40 siswa (4,8), extraction (e) dan filling (f) tidak ada
ditemukan.
Pembahasan
Dari table 1 dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki
pengetahuan dengan kriteria baik ada 35 orang (87,5%),
kriteria sedang ada 5 orang (12,5) dan tidak ada yang
memiliki kriteria buruk dalam tingkat pengetahuan ibu
rumah tangga.
Berdasarkan data yang diperoleh dari jawaban
kuesioner 40 ibu rumah tangga (100%) yang telah
mengetahui pentingnya menyikat gigi, 34 ibu rumah
tangga (85%) sudah mengetahui tentang menyikat gigi dari
media massa, karena banyak yang diiklankan atau
dipromosikan tentang kesehatan gigi dan mulut di televisi.
Menurut Ramadhan, AG (2010) berpendapat bahwa dalam
menyikat gigi tidak perlu tekanan yang kuat karena sisa
makanan masih memiliki kosistensi yang lunak sehingga
mudah dibersihkan. 24 ibu rumah tangga (60%) yang
menjawab kuesioner dengan benar waktu menyikat gigi
yang baik adalah 2-5 menit. Menurut Ramadhan AG
(2010) bahwa menyikat gigi dua kali sehari pagi sesudah
sarapan dan malam sebelum tidur, lama menyikat gigi dua
sampai lima menit. Terdapat hanya 14 ibu ibu rumah
tangga (35%) yang menjawab benar tentang permukaan
sikat gigi yang baik adalah bulu sikat gigi yang rata atau
datar. Menurut Ramadhan,AG (2010) hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih sikat gigi yang baik yaitu:
1. Bulu sikat gigi yang lembut agar tidak melukai
gusi dn mudah masuk ke sela-sela gigi.
2. Kepala sikat gigi yang berukuran kecil lebih
bagus, karena bisa menjangkau seluruh bagian
gigi dengan baik termasuk yang paling sulit
dijangkau yaitu giigi yang paling belakang.
3. Model sikat gigi, sikat gigi yang baik adalah sikat
gigi yang fit atau pas dengan mulut serta terasa
nyaman saat digunakan.
4. Gagang sikat gigi, pilih sikat gigi yang tidak licin
agar sikat gigi tetap bisa digunakan dengan baik
walaupun dengan keadaan basah.
Terdapat 22 orang (55%) yang mengetahui bahwa
cara menyikat gigi geraham. Menurut Ginandjar. R (2012)
cara menyikat gigi yang baik adalah menggosokan sikat
gigi mulai dari belakang kanan atau kiri di gerakan kearah
depan dan akhirnya pada gigi belakang kanan atau kiri dan
untuk gigi geraham dataran pengunyahan (oklusal) dengan
gerakan maju mundur.
Dari tabel 2 di atas, terlihat bahwa def-t pada
siswa/i sd Negeri 060930 dengan jumlah decay (d) 192
dari 40 anak (4,8) termasuk tinggi dalam prioritas masalah,
menurut WHO prioritas yang baik adalah ≤ 2.
Menurut Tarigan (2012) faktor yang
mempengaruhi terjadinya karies gigi yaitu: Keturunan, Ras
(suku), Jenis kelamin, Usia, Makanan, Vitamin, Unsur
kimia, Air ludah, Plak.
Dalam penelitian ini extraction (e), filling (f) tidak ada di
temukan.
Dari tabel 3 di atas, terlihat bahwa DMF-T pada
siswa/i SD Negeri 060930 dengan jumlah Decay (D) 32
dari 40 siswa (0,8) dalam prioritas masalah ini baik karena
menurut WHO dalam prioritas masalah yang baik ≤ 2.
Menurut Srigupta (2004) proses karies berkembang
berdasarkan tiga tahap yaitu:
1. Berbagai bakteri yang ada dalam mulut
membentuk asam, dari gula yang terkandung
dalam makanan, yang melekat pada
permukaan gigi.
2. Asam ini melarutkan email pelapis gigi
berwarna putih yang menghancurkan susunan
gigi. Proses ini dikenal dengan karies gigi dan
menyebabkan gigi berlubang.
3. Lebih jauh lagi asam tersebut menyebabkan
penetrasi karies dari Email ke gigi bagian
dalam di bawah gigi kepala.
Missing (M) dan Filling (F) tidak ada ditemukan
dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian gambaran pengetahuan ibu rumah
tangga tentang menyikat gigi terhadap def-t dan DMF-T
pada siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning Kecamtan
Medan Johor Tahun 2014 dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Menyikat Gigi.
 Baik
berjumlah 35 orang (87,5%)
 Sedang berjumlah 5 orang (12,5%) dan
 Tidak ada yang memiliki kategori Kurang
2. def-t pada Siswa/i SD Negeri 060930 Titi Kuning
 decay (d)=40 siswa (4,8) memiliki decay
berjumlah 192, dalam prioritas masalah ini
buruk karena ≥ 2. Sedangkan menurut WHO
prioritas masalah yang baik ≤ 2
 Dalam penelitian ini tidak ditemukan sampel
extraction (e) dan filling
3. DMF-T pada Siswa/i SD Negeri 060930 Titi
Kuning
 Decay (D)= 40 siswa/i (0,8) memiliki Decay
berjumlah 32 termasuk prioritas masalah yang baik
karena ≤2.
172
 Dalam penelitian ini tidak ditemukan sampel
Missing (M) dan Filling (F).
A.5.2 Saran
1. Kepada ibu siswa/i agar mengawasi dan
memperhatikan anak saat menyikat gigi dan
hendanya ibu memilih sikat gigi yang tepat.
2. Kepada pihak sekolah diharapkan untuk bekerja
sama dengan PUSKESMAS setempat kesehatan
gigi dan mulut melaksanakan program UKGS.
3. Pada siswa/i agar menyikat gigi secara rutin.
DAFTAR PUSTAKA
Edwana dan Joyston, S. 1991, dasar-dasar karies, EGC ,
Jakarta
Machfoedz, I. 2008, menjaga kesehatan gigi dan mulut
anak-anak dan Ibu Hamil, fitramaya, Yogyakarta
Machfoedz, I. 2009,metodologi penelitian, fitramaya,
Yogyakarta
173
Notoatmodjo, S. 2007, promosi kesehatan dan ilmu
perilaku, rineka cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S.2010, metode penelitian kesehatan,
Rineka Cipta, Jakarta
Pantauli, S dan Hamada,T. 2008, menuju gigi dan mulut
sehat pencegahan dan pemeliharan, KDT,
Medan
Rahmadhan,AG. 2010, serba serbi kesehatan gigi dan
mulut, bukune, Jakarta
Srigupta,AA. 2004, perawatan gigi dan mulut, EGC,
Jakarta
Tarigan, S. 2012, karies gigi EGC, Jakarta
http://iimzizah.wordprees.com
http://yohandrie.blogspot.com./2012/04/gambaranpengetahua-murid--sd-kelas-ii.html
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-395758510795-bab%20ii.docx20new%20prop.pdf
http://basmarosandi.blogspot.com/1013/07/mekanismeterjadinya-lubang-gigi.html
HUBUNGAN FREKUENSI MINUM SOFT DRINK TERHADAP
pH SALIVA DAN ANGKA DMF-T PADA SISWA/I KELAS
XI IPA MAN 2 MODEL JALAN WILLIEM ISKANDAR
NO. 7A KEC. MEDAN TEMBUNG
TAHUN 2014
Intan Aritonang
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Soft drink adalah minuman ringan yang mengandung karbonasi yang dapat menurunkan pH
saliva,yaitu keadaan saliva menjadi asam, dan hal ini dapat membuat gigi jadi lebih rentan menjadi
karies, dan jika frekuensi minum tinggi maka keadaan saliva lebih sering dalam keadaan asam. Jenis
penelitian adalah penelitian analitik dengan uji korelasi persen suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan antara frekuensi meminum soft drink terhadap pH saliva dan hubungan antara frekuensi
soft drink dengan angka DMF-T. dengan cara pemeriksaan terhadap pH saliva dan angka DMF-T.
penelitia ingin mengetahui pengaruh frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan angka DMFT pada siswa/I kelas XI ipa Man 2 Model Medan. Dari 32 siswa yang memiliki pH 4 ada 7 orang, 5
ada 19 orang dan 6 ada 6 orang, dan frekuensi minum dalam 1 minggu 0 dalam 1 minggu 3 orang, 1
kali seminggu 3 orang, 2 kali seminggu 11 orang, 3 kali seminggu 2 orang, 4 kali seminggu 1 orang, 5
kali seminggu 6 orang , 6 kali seminggu 2 orang, 8 kali seminggu 2 0rang, 9 kali seminggu 2 orang.
Penelitian tentang pengaruh mengkonsumsi soft drink terhadap pH saliva dan angka DMF-T pada
siswa/I kelas XI IPA MAN 2 Model Medan adalah semakin banyak frekuensi minum soft drink maka
semakin rendah angka pH saliva dan semakin tinggi frekuensi minum soft drink maka semakin rendah
angka DMF-T di dukung dengan kebiasaan siswa/I yang meminum soft drink pada istirahat atau
bersantai, dan tidak berkumur-kumur setelah minum soft drink tersebut.
Kata kunci: Soft drink, pH Saliva, DMF-T
PENDAHULUAN
Pengertian kesehatan Kesehatan Dunia WHO
pada Piagam Ottawa yang didedikasikan untuk promosi
kesehatan pada tahun 1986.Pada saat itu, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menyatakan bahwa
kesehatan bukan tujuan dari hidup melainkan sumber
daya untuk hidup sehari-hari.Selain itu, kesehatan
dikatakan juga sebagai suatu konsep yang positif dan
terfokus pada kemampuan fisik.Kemudian pengertian
kesehatan juga merupakan suatu keadaan atau kondisi
dari jiwa dan raga serta juga sosial yang dapat
menjadikan seseorang dengan kehidupannya yang
produktif baik dari segi ekonomi maupun dari segi
kehidupan sosialnya.
Pepkins mendefinisikan sehat sebagai keadaan
keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsifungsinya sebagai hasil penyesuaian yang dinamis
terhadap
kekuatan-kekuatan
yang
cenderung
menggangunya.Badan seseorang bekerja secara aktif
untuk mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga
kesehatan selalu harus dipertahankan.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan komponen
dari kesehatan umum yang berperan penting dalam fungsi
pengunyahan, fungsi bicara, dan fungsi kecantikan.Ketiga
fungsi tersebut sangat penting dalam menunjang tumbuh
kembang anak. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional
(Riskesdas) tahun 2007 menyebutkan bahwa 23,4%
penduduk Indonesia mempunyai masalah kesehatan gigi
dan mulut dan hanya 29,6% penduduk diantaranya yang
menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga kesehatan
gigi. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat
masyarakat yang belum menyadari pentingnya
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Penyakit gigi dan
mulut yang ditemukan di masyarakat masih berkisar
penyakit yang menyerang jaringan keras gigi (karies)
dengan Indeks DMF-T nasional sebesar 4,85 (Dep. Kes.
RI., 2008).
Menurut Undang-undang RI No.36 tahun 2009
tentang kesehatan, menjelaskan bahwa pelayanan
kesehatan gigi dan mulut adalah upaya kesehatan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan
penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Program ini dilaksanakan secara terencana, menyeluruh,
174
terpadu dan berkesinambungan, ditujukan pada kelompok
tertentu yang dapat diikuti dalam suatu kurun waktu
tertentu, untuk mencapai tujuan “kesehatan gigi dan mulut
yang optimal” (UU RI., 2009).
Konsumsi per kapita tahun 2011 hanya 2,4 liter
per tahun," kata Sekretaris Jenderal ASRIM, Suroso
Natakusuma, dalam konferensi pers di gedung World
Trade
Center,
Senin,
17
Desember
2012.
Ia mengatakan tingkat konsumsi tersebut masih lebih
rendah dibandingkan dengan di negara-negara lain.
Konsumsi di Filipina mencapai 34,1 liter per kapita dan
Malaysia sebanyak 19 liter per kapita per tahun.
Salah satu faktor penyebab karies Keadaan gigi
Untuk tejadinya karies gigi antara lain dibutuh tuan rumah
(gigi) yang rentan, lapisan keras gigi terdiri dari enamel
dan dentin, di mana enamel adalah lapisan yang paling luar
dan seperti diketahui karies selalu di mulai dari lapisan
luar.Keadaan salivaSaliva sangat mempengaruhi proses
terjadinya karies, karena saliva selalu membasahi rongga
mulut yang dapat mempengaruhi rongga mulut. Dimana
makin rendah pH saliva maka karies cenderung semakin
tinggi.
Masa remaja menurut Mappiare (1982),
berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun
bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi
pria. Rentang usia ini dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah
remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22
tahun adalah remaja akhir. Menurut hokum di Amerika
Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila
telah mencapai usia 18 tahun dan bukan 21 tahun seperti
ketentuan sebelumnya (Hurlock, 1991). Pada usia ini
umum nya anak sedang duduk dibangku Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Istilah pH merupakan symbol yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu
larutan.Semua jenis larutan mengandung ion hidrogen dan
hidroksil.Semakin banyak ion hydrogen, semakin asam
larutan tersebut. Jika ion hidroksil melebihi ion hydrogen,
larutan tersebut bersifat basa, namun bila jumlah kedua ion
tersebut sama, larutan tersebut bersifat netral.(Purwiyatno,
2009).
Saliva atau ludah adalah cairan kental yang diproduksi
oleh kelenjar ludah. Kelenjar-kelenjar ludah tersebut
terletak dibawah lidah, daerah otot pipi dan daerah dekat
langit-langit, air ludah 99% terdiri dari air, sisanya
bermacam-macam, ada zat-zat seperti kalsium (zat kapur),
fosfor, natrium, magnesium dll, dan disamping itu terdapat
enzim-enzim bahkan golongan darah, lemak, zat tepung,
vitamin dan sebagainya.(Ircham Machfoedz,2008).
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tentang hubungan frekuensi
minum soft drink terhadap pH saliva dan angka DMF-T.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini
diharapkan
175
1.
2.
Dapat menambah informasi tentang hubungan
frekuensi minum soft drink dengan angka DMF-T.
Dapat menyediakan data dan informasi bagi
peneliti yang sejenis selanjutnya.
HIPOTESIS
Ho : Tidak ada pengaruh minum soft drink dengan
perubahan pH saliva dan angka DMF-T pada
siswa/I Man 2 Model Medan
Ha : ada pengaruh minum soft drink dengan perubahan
pH saliva dan angka DMF-T pada siswa/I Man 2
Model Medan
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian analitik dengan
uji korelasi persen suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan antara frekuensi meminum soft drink terhadap
pH saliva dan hubungan antara frekuensi soft drink dengan
angka DMF-T. dengan cara pemeriksaan terhadap pH
saliva dan angka DMF-T. penelitia ingin mengetahui
pengaruh frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva
dan angka DMF-T pada siswa/I kelas XI ipa Man 2 Model
Medan Jl.Williem Iskandar No 7A Kelurahan Siderejo
KEC. Medan Tembung.
Populasi dan Sampel penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
dari subjek/objek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya(Sugiyono, 2009),
siswa/i kelas XI IPA MAN 2 Model Medan.Populasi yang
diambil dalam penelitian ini adalah siswa/I kelas XI ipa
MAN 2 Model Medan sebanyak 212 siswa/i
Sampel adalah sebagian yang diambil dari
populasi atau keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap
mampu mewakili seluruh populasi
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Bulan September –
Desember 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian ini di lakukan pada 32 orang siswa/I
kelas XI Ipa MAN 2 Model Medan Tahun 2014.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara
pemeriksaan subjektif dengan wawancara pada siswa,
dan pemeriksaan objektif atau pemeriksaan langsung ke
rongga mulut siswa. Setelah data terkumpul, dimasukan
ke dalam tabel distribusi frekuensi kemudian
dilakukan analisa data dengan menggunakan program
SPSS. Maka di dapat hasil sebagai berikut.
TABEL A.1
Distribusi Frekuensi Siswa yang Meninum Soft Drink
Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014
No Frekuensi minum soft Jumlah Persentase
drink dalam 1 minggu siswa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
1
2
3
4
5
6
8
9
Jumlah
3
3
11
2
1
6
2
2
2
32
9,4
9,4
34,4
6,3
3,1
18,8
6,3
6,3
6,3
100
Dari tabel di atas dapat di lihat bahwa dari 32
orang siswa yang di teliti ada 3 orang (9,4%) yang
tidak pernah meminum soft drink, 3 orang(9,4%) yang
minum 1 kali seminggu, ada 11 orang (34,4%) yang
meminum soft drink 2 kali dalam seminggu, 2 orang
(6,3%) meminum soft drink 3 kali dalam seminggu, ada
juga yang meminum soft drink 4 kali dalam seminggu
sebanyak 1 orang (3,1%), 6 orang (18,8%) meminum
soft drink 5 kali dalam seminggu, dan 2 orang
meminum soft drink 6, 8 dan 9 kali dalam seminggu.
TABEL A.2
Distribusi Frekuensi pH Siswa yang Meninum Soft
Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014
No
pH
Jumlah Siswa
Persentase
4
7
21,9
1
5
19
59,4
2
6
6
18,8
3
Jumlah
32
100
Dari tabel diatas dapat dilihat dari 32 siswa yang
diteliti bahwa setelah meminum soft drink ada 7 orang
(21,9%) yang memiliki pH 4, 19 orang (59,4%) memiliki
pH 5, dan 6 orang (18,8%) yang memiliki pH 6.
TABEL A.3
Distribusi Frekuensi DMF-T Siswa yang Meminum
Soft Drink Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014
No
DMF-T
Jumlah siswa
Persentase
0
1
3,1
1
1
2
6,3
2
2
3
9,4
3
3
2
6,3
4
4
6
18,8
5
5
6
18,8
6
6
1
3,1
7
7
2
6,3
8
8
2
6,3
9
9
2
6,3
10
10
1
3,1
11
11
4
12,5
12
Jumlah
32
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 32
orang siswa yang diteliti ada 1 orang dengan DMF-T 0
atau bebas karies, 2 orang dengan DMF-T 1, 3 orang
dengan DMF-T 2, 2 orang dengan DMF-T 3, 6 orang
dengan DMF-T 4, 6 orang dengan DMF-T 5, 1 orang
dengan DMF-T 6, 2 orang dengan DMF-T 7, 2 orang
dengan DMF-T 8, 2 orang dengan DMF-T 9, 1 orang
dengan DMF-T 10, dan 4 orang dengan DMF-T 11.
Dari data diatas maka didapat korelasi antara
frekuensi minum soft drink terhadap pH saliva dan
korelasi anatara frekuensi terhadap angka DMF-T.
TABEL A.4
Distribusi pengaruh Frekuensi pH Siswa yang
Meninum Soft Drink tehadap pH
Di MAN 2 Model Medan Tahun 2014
No
pH
Frekuensi minum Jumlah siswa
dalam satu minggu
1
2
3
4
5
6
3-9 kali
2-5 kali
0-1 kali
7
19
6
32
TABEL A.5
Distribusi Frekuensi Hubungan DMF-T Ternadap
Frekuensi Meminum Soft Drink Di MAN 2 Model
Medan Tahun 2014
No DMF-T Jumlah siswa Frekuensi minum
dalam satu minggu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah
1
2
3
2
6
6
1
2
2
2
1
4
32
0 kali
0 kali
1 kali
2 kali
2-5 kali
2-5 kali
5 kali
5 kali
2-5 kali
6 kali
8 kali
8-9 kali
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 32 orang siswa/I
kelas XI IPA MAN 2 Model Medan Tahun 2014 dan
dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan subjektif
dan objektif atau dengan melakukan wawancara dan
pemeriksaan langsung ke rongga mulut siswa.
Dari tabel A.1. dapat diperoleh dari 23 orang
siswa/I MAN 2 Medan terdapat 3 orang (9,4%) yang
tidak pernah meminum soft drink, 3 orang(9,4%) yang
minum 1 kali seminggu, ada 11 orang (34,4%) yang
meminum soft drink 2 kali dalam seminggu, 2 orang
176
(6,3%) meminum soft drink 3 kali dalam seminggu, ada
juga yang meminum soft drink 4 kali dalam seminggu
sebanyak 1 orang (3,1%), 6 orang (18,8%) meminum
soft drink 5 kali dalam seminggu, dan 2 orang
meminum soft drink 6, 8 dan 9 kali dalam seminggu.
Dari tabel A.2 juga dapat dilihat bahwa setelah
meminum soft drink ada 7 orang (21,9%) yang
memiliki pH 4, 19 orang (59,4%) memiliki pH 5, dan 6
orang (18,8%) yang memiliki pH 6. Maka semakin
besar frekuensi atau sering meminum soft drink maka
pH saliva semakin asam atau rendah.
Dengan melalui uji korelasi maka didapat data yang
signifikan, dengan korelasi yang kuat yaitu 0,91.Penurunan
pH saliva ini dikarenakan minuman ringan bersifat asam
dan memiliki pH 3.0 atau lebih rendah yang dapat
menyebabkan demineralisasi pada jaringan keras gigi.pH
saliva akan kembali pada keadaan normal dalam waktu 30
detik setelah terpapar oleh minuman ringan.Konsumsi
minuman ringan pada remaja (usia 8-17 tahun) dapat
menyebabkan resiko yang tinggi terhadap terjadinya karies
dan erosi gigi karena enamel gigi pada anak remaja belum
terlalu matang dan struktur enamelnya cenderung poreus,
konsistensinya seperti kapur dan mudah dipenetrasi dan
dilarutkan oleh asam yang terkandung dalam minuman
ringan.Minuman ringan dapat mengakibatkan erosi gigi
pada waktu kritis yaitu pada menit pertama setelah
terpaparnya rongga mulut denganminuman ringan. Proses
erosi yang terjadi pada gigi diakibatkan oleh pH minuman
ringanyang asam. Kondisi yang tidak menguntungkan ini,
akan dikompensasi oleh protein saliva yang akan
mengurangi kesempatan terjadinya erosi gigi.
Dari tabel A.3 ada 1 orang dengan DMF-T 0 atau
bebas karies, 2 orang dengan DMF-T 1, 3 orang dengan
DMF-T 2, 2 orang dengan DMF-T 3, 6 orang dengan
DMF-T 4, 6 orang dengan DMF-T 5, 1 orang dengan
DMF-T 6, 2 orang dengan DMF-T 7, 2 orang dengan
DMF-T 8, 2 orang dengan DMF-T 9, 1 orang dengan
DMF-T 10, dan 4 orang dengan DMF-T 11. Maka
semakin rendah pH saliva maka semakin tinggi angka
DMF-T.
Derajat keasaman (pH) pada minuman-minuman
bersoda seperti Pepsi Cola dan Coca Cola mencapai 3-4
(sangat asam), yang dengan pH tersebut, cukup untuk
meluruhkan gigi dan tulang bersamaan dengan berjalannya
waktu. Tubuh kita berhenti membangun tulang setelah usia
30 tahun, dan mulai luluh dengan persentasi 8-18% tiap
tahunnya sesuai dengan tingkat keasaman yang kita
konsumsi (persentasi keasaman tidak didasarkan pada rasa
makanan, tetapi pada persentasi kandungan Potassium,
Chlor, Magnesium dan senyawa-senyawa fosfor yang
lain).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil
penelitian
tentang
pengaruh
mengkonsumsi soft drink terhadap pH saliva dan angka
177
DMF-T pada siswa/I kelas XI IPA MAN 2 Model
Medan adalah semakin banyak frekuensi minum soft
drink maka semakin rendah angka pH saliva dan
semakin tinggi frekuensi minum soft drink maka
semakin rendah angka DMF-T di dukung dengan
kebiasaan siswa/I yang meminum soft drink pada
istirahat atau bersantai, dan tidak berkumur-kumur
setelah minum soft drink tersebut.
Dari 32 orang siswa/I yang diteliti maka terdapat
6 orang siswa/I yang tidak terlalu sering mengkonsumsi
soft drink dan dilihat dari persentase DMF-T yaitu
18,8% maka dikategorikan baik. Adapun kategori
buruk dilihat dari 26 siswa/I yang sering meminum soft
drink dengan persentase DMF-T 81,3% .
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka peneliti memberikan saran sebagai
berikut :
1. Kepada siswa/I diharapkan dapat mengurangi
minum coca cola agar tingkat terjadinya karies itu
lebih sedikit.
2. Kepada siswa/I diharapkan agar setelah meminum
coca cola agar berkumur-kumur atau banyak
minum air putih, dan disarankan agar menganti
coca cola dengan minuman ringan lain yang tidak
mengandung karbonasi.
3. Kepada siswa/I di harapkan melakukan kontrol
rutin ke balai pengobatan gigi
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mohammad., 2004. Psikologi Remaja.Bumi
Aksara.Jakarta.
KIDD, Edwina A. M., 1991. Dasar – dasar karies .EGC.
Jakarta.
Hariyadi,Purwiyatno., 2009. Memproduksi pangan yang
aman. Dian rakyat.Jakarta
Sukarjo., 2004.kimia fisika.Rineka cipta. Jakarta
Halim, Deddy Kurniawan., 2008. Psikologi
Lingkungan Perkotaan.Bumi Aksara.Jakarta.
Machfoedz, ircham., 2008. Menjaga kesehatan gigi dan
mulut anak –
anak dan ibu hamil
.Fitramaya.Yogyakarta.
Sastrohamidjojo, Hardjono., 2010.Kimia Dasar.Gadjah
mada. Yogyakarta.
http://www.medicalera.com/3/16355?thread=16355
http://m13ke.wordpress.com/2008/11/25/pengertiandan-fungsi-saliva/
http://klikdokter.com/minuman-mengandung-kafeinlebih-disukai-remaja#
http://www.tempo.com/Konsumsi-MinumanBerkarbonasi-di-Indonesia-Rendah
PENGARUH KOMUNIKASI TERAUPETIK
DENGAN INTENSITAS NYERI PERSALINAN KALA I FASE LATEN
DI KLINIK DELIMA MEDAN TAHUN 2014
Dina Indarsita, Sri Utami, Rina Sari
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Persalinan suatu proses membuka dan menipisnya serviks serta terjadinya kontraksi uterus sehingga
menyebabkan nyeri pada proses persalinan. Nyeri pada persalinan merupakan suatu proses yang
fisiologis tetapi menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang dapat menganggu kelancaran proses
persalinan. Manajemen nyeri pada persalinan dapat diterapkan secara nonfarmakologis, salah satunya
adalah komunikasi terapeutik yang bertujuan untuk membantu mengurangi nyeri, kecemasan, dan
waktu persalinan lebih pendek secara bermakna. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh komunikasi terapeutik dengan intensitas nyeri persalinan kala I fase laten di klinik Delima
Medan tahun 2014. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasyeksperimen yang bersifat one group pretest-postest. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
ibu inpartu kala I fase laten sebanyak 42 orang dengan menggunakan teknik pengambilan sampel
secara accidental sampling. Analisis data menggunakan uji t-dependent. Dari Hasil penelitian
diperoleh data bahwa mayoritas berusia 20-35 tahun sebanyak 33 responden (78,6%), paritas
primigravida sebanyak 15 responden (35,7%), pendidikan SMA sebanyak 21 responden (50,0%), dan
pekerjaan IRT sebanyak 23 responden (54,8%). Rata-rata intensitas nyeri sebelum dilakukan
komunikasi terapeutik adalah 2,71 dengan standart deviasi 0,673, dan rata-rata intensitas nyeri
sesudah dilakukan komunikasi 2,05 dengan standart deviasi 0,764. Hasil uji t-dependent menunjukkan
ada pengaruh komunikasi teraupetik yang diberikan terhadap intensitas nyeri persalinan pada ibu
inpartu kala I fase laten dengan nilai p value = 0,000. Penelitian ini membuktikan bahwa komunikasi
terapeutik yang dilakukan dapat mengurangi intensitas nyeri persalinan pada ibu inpartu kala I fase
laten. Oleh karena itu diharapkan agar bidan mampu menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik
dan benar sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi intensitas nyeri dalam asuhan ibu bersalin
normal.
Kata kunci: Komunikasi Terapeutik, Nyeri Persalinan, Kala I Fase Laten
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Persalinan sering kali menjadi hal yang
menakutkan bagi sebagian perempuan hamil.
Kekhawatiran terhadap rasa nyeri yang akan mereka
alami saat melahirkan dan bagaimana mereka akan
bereaksi untuk mengatasi nyeri tersebut. Untuk itu
menjadi kewajiban seorang bidan untuk membantu ibu
mengatasi rasa tidak nyaman dalam persalinan (Farer,
1999, dalam Adriana, 2012, hal. 1).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota
Medan diketahui jumlah ibu bersalin pada tahun 2011
sebanyak 51,015 orang (95,23%), tahun 2012 sebanyak
44,757 orang (84,18%) dan tahun 2013 sebanyak 33,354
orang (62,1%).
Setiap tahun lebih dari 200 juta ibu bersalin, di
mana didapatkan kelahiran berakhir dengan bayi hidup
pada ibu yang sehat. Walaupun demikian pada
beberapa kasus, kelahiran bukanlah peristiwa
membahagiakan tetapi menjadi suatu masa penuh
dengan rasa nyeri, rasa takut, penderitaan bahkan
kematian (WHO, 2003, dalam Febrina, 2011, hal. 2).
Association for the study of pain
mendefinisikan bahwa nyeri dalam persalinan
merupakan pengalaman emosional dan sensori yang
tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan
jaringan secara aktual atau potensional yang
menunjukkan adanya nyeri protektif bagi tubuh yang
merupakan mekanisme protektif bagi tubuh dan
menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan
rangsang nyeri tersebut (Judha, 2012, hal.73).
Nyeri adalah proses alamiah dalam persalinan.
Apabila tidak diatasi dengan baik akan menimbulkan
masalah lain. Rasa takut dan cemas yang dirasakan ibu
dapat menganggu kelancaran proses persalinan.
Manajemen nyeri persalinan dapat diterapkan secara
farmakologis dan nonfarmakologis. Pendekatan secara
non farmakologis tanpa penggunaan obat-obatan,
sedangkan secara farmakologis melalui penggunaan
obat-obatan. Manajemen nyeri non farmakologis lebih
aman, sederhana dan tidak menimbulkan efek
178
merugikan serta mengacu kepada asuhan sayang ibu,
dibandingkan dengan metode farmakologi yang
berpotensi mempunyai efek yang merugikan (Reeder,
2011, hal. 654).
Rasa nyeri persalinan dapat dikurangi, baik itu
menggunakan metode farmakologi maupun non
farmakologi yang terkait dengan tiga tujuan dasar
pengurangan nyeri dalam persalinan yaitu mengurangi
perasaan nyeri dan tegang, sementara pasien dalam
keadaan terjaga seperti yang dikehendakinya menjaga
agar pasien dan janinnya sedapat mungkin tetap
terbebas dari efek depresif yang ditimbulkan oeh obat
tanpa menganggu kontraksi otot rahim (Farer, 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Niven dan
Gijsbers (1984) bertujuan untuk melihat perbandingan
intensitas nyeri persalinan dengan nyeri lain diperoleh hasil
bahwa nyeri persalinan melebihi sindrom nyeri lain yaitu,
88% dari 73 penderita nyeri tungkai menerima intervensi
farmakologis, 76% dari sampel (n=200) mengalami nyeri
punggung selama kehamilan dengan insiden puncak pada
usia kehamilan 24-28 minggu yang mengganggu aktivitas
normal ibu, maka nyeri harus diberi intervensi metode
pengendali nyeri demi kenyamanan dan keringanan si
penderita (Mander, 2003, hal. 140).
Penelitian Indrawati (2011), di BPS Uut Maschon
yang bertujuan untuk melihat metode nonfarmakologi
yang digunakan bidan dalam mengurangi intensitas nyeri
persalinan dan efeknya dengan 4 metode nonfarmakologi
yang dilakukan pada 30 orang sampel diperolah hasil
bahwa teknik pernapasan yaitu efek yang ditimbulkannya
adalah nyeri ringan sebesar 20 (66,7%) orang. Teknik
pengaturan posisi yaitu efek yang ditimbulkan nyeri
sedang sebesar 17 ( 56,7%) orang, selanjutnya teknik
message yaitu efek yang ditimbulkan nyeri ringan sebesar
25 (83,3%) orang. Teknik konseling dengan efek yang
ditimbulkan yaitu sebesar 17 (56,7%) orang mengalami
nyeri ringan.
Dalam menghadapi proses persalinan tidak
semua pasien bisa dengan tenang menghadapinya, oleh
karena itu bidan harus bisa tanggap dalam memberikan
asuhannya, untuk itu komunikasi sangat dibutuhkan.
Komunikasi dalam kebidanan diketahui mengandung
nilai pengobatan atau teraupetik yang tujuannya
dipusatkan untuk kesembuhan pasien, teknik
komunikasi ini dikenal dengan komunikasi teraupetik.
Komunikasi Teraupetik didefinisikan sebagai
komunikasi yang direncanakan secara sadar, dimana
tujuan utamanya adalah untuk kesembuhan pasien.
Komunikasi teraupetik memiliki peranan yang penting
dalam membantu seorang klien dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya. Dengan memiliki
keterampilan dalam berkomunikasi teraupetik, bidan
diharapkan akan lebih mudah menjalin hubungan saling
percaya dengan klien sehingga akan lebih efektif dalam
mencapai tujuan asuhan kebidanan yang diterapkan
(Taufik, 2010, hal. 25).
Komunikasi teraupetik dapat memberikan
dampak teraupetik dengan mempercepat proses
kesembuhan pasien. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam komunikasi dengan ibu bersalin antara
lain : menjalin hubungan yang mengenakkan dengan
179
klien (rapport), hadir mendampingi klien selama
persalinan, mendengarkan keluhan-keluhan pesien
selama proses persalinan, memberikan sentuhan dalam
pendampingan klien, memberikan informasi tentang
kemajuan
persalinan,
memandu
persalinan,
mengadakan kontak fisik dengan pasien, memberi
pujian kepada pasien atas usaha yang telah
dilakukannya dan memberi ucapan selamat atas
kelahiran bayinya (Wulandari, 2009, dalam Adriana,
2012, hal. 3).
Pentingnya komunikasi terapeutik dalam
menurunkan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh persalinan
sangat diperlukan, oleh karena itu bidan dalam persalinan
harus bisa membantu menimbulkan rasa percaya diri,
karena bila klien gugup dalam persalinannya maka timbul
rasa takut sehingga rasa nyeri akan semakin bertambah
(Kartono, 1992).
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh komunikasi
terapeutik dengan intensitas nyeri persalinan kala 1 fase
laten di Klinik Delima Medan tahun 2014.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh komunikasi teraupetik
dengan intensitas nyeri persalinan kala I fase laten di
tahun 2014.
2. Untuk mengetahui intensitas nyeri sebelum
dilakukan komunikasi teraupetik pada ibu inpartu kala
I fase laten.
3. Untuk mengetahui intensitas nyeri sesudah dilakukan
komunikasi teraupetik pada ibu inpartu kala I fase
laten.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai salah satu intervensi untuk mengurangi
intensitas nyeri ibu selama proses persalinan.
2. Sebagai referensi dan memberikan informasi
tambahan
sehingga
dapat
meningkatkan
pengetahuan tentang komunikasi terapeutik dan
nyeri persalinan.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode quasy- eksperimen yang
bersifat one group pretest-postest yaitu intervensi untuk
mengidentifikasi pengaruh komunikasi terapeutik dengan
nyeri persalinan kala I fase laten pada ibu inpartu sebelum
dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik.
Bentuk desain ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
Skema 1 Desain Penelitian
Pretest
Perlakuan
Postest
01
X
02
Keterangan :
01 : Pretest dilakukan pada kelompok intervensi
yang mengalami nyeri persalinan sebelum
dilakukan komuniksai terapeutik
02
X
: Postest dilakukan pada kelompok intervensi
yang mengalami nyeri persalinan sesudah
dilakukan komuniksai terapeutik
: Intervensi (tindakan komunikasi terapeutik)
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
inpartu kala I fase laten yang fisiologis yang mempunyai
keluhan nyeri persalinan dengan partus pervaginam di
klinik bersalin Delima Medan. Dari survei pendahuluan,
data ibu yang melahirkan di klinik bersalin Delima Medan
dari Februari sampai Mei tahun 2014 sebanyak 56
orang.ibu bersalin yang berada di klinik Delima Medan.
Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang
dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
accidental sampling yaitu sampel yang dipilih hanya
berdasarkan ketersediaannya yaitu sampel yang berada di
tempat yang tepat dan di waktu yang tepat sesuai dengan
tujuan peneliti. Pengambilan sampel sesuai dengan criteria
inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti.
Kriteria inklusinya meliputi:
a. Ibu inpartu tanpa perlakuan induksi
b. Ibu inpartu dengan fase laten (0 - 3cm)
c. Ibu inpartu dengan dukungan suami
d. Ibu inpartu presentasi kepala dan tanpa penyulit
e. Ibu inpartu dan bersedia menjadi responden.
Menentukan sampel dengan menggunakan
ketetapan absolut dan menggunakan rumus :
N
n=
1 + N (d)2
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Ketetapan relatif yang ditetapkan oleh peneliti (0,05)
Diketahui : N = 56
𝑁
1 + 𝑁 (𝑑)2
56
𝑛=
1 + 56(0,05)2
56
𝑛=
1,14
n = 49
𝑛=
dari rumus diatas maka di peroleh besar jumlah sampel
dalam penelitiann ini adalah sebanyak 49 orang.
Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Delima Medan. mulai
bulan Februari - Mei Tahun 2014
Analisis Data
Dalam melakukan analisis data, setelah semua
data terkumpul, diolah dengan tujuan mengubah data
menjadi informasi
Selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis
data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat
dan bivariat.
1.
Univariat
Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi
dan persentasenya yakni data demografi ibu inpartu
meliputi usia, status kehamilan (gravida), pendidikan,
dan pekerjaan. Sedangkan data yang bersifat numerik
dicari mean dan standart deviasinya yakni skala nyeri
persalinan melalui statistik deskriptif. Hasil data dibuat
dalam bentuk tabel.
2.
Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menguji
pengaruh komunikasi terapeutik dengan nyeri
persalinan kala I fase laten (0-3cm). Dalam
menganalisis data secara bivariat, pengujian data
dilakukan dengan uji statistik uji t-dependen yaitu uji
statistik Paired sample t-test untuk mengukur skala
nyeri sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi
teraupetik pada kelompok intervensi dan diperoleh
mean perbedaan sebelum dengan sesudah pada
kelompok intervensi. Taraf signifikan (α = 0.05),
pedoman dalam menerima hipotesis : jika data
probabilitas (p) < 0.05 maka H0 ditolak dan apabila
nilai (p) > 0,05 maka H0 gagal ditolak.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan FebruariMei 2014 di Klinik Delima Medan. Data diperoleh
dengan mengkaji intensitas nyeri, dengan jumlah
responden adalah sebanyak 42 orang.
Berdasarkan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Komunikasi Teraupetik Dengan Intensitas Nyeri
Persalinan Kala I Fase Laten di Klinik Delima Medan
Tahun 2014” disajikan dalam tabel distribusi frekuensi
dan dijelaskan sesuai dengan tabel sebagai berikut :
1.
a.
Analisis Univariat
Karakteristik Responden
Tabel .1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Data
Demografi Ibu Inpartu di Klinik Delima Medan Tahun
2014
Karakteristik
Persentase (%)
1
Umur
<20 tahun
20-35 tahun
>35 tahun
Jumlah
2
Gravida
Primi gravida
Secundi gravida
Multi gravida
Grande gravida
Jumlah
3
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
4
Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
Total
Frekuensi
2
33
7
42
4,8
78,6
16,7
100
15
10
14
3
42
35,7
23,8
33,3
7,1
100
6
13
21
2
42
14,3
31,0
50,0
4,8
100
19
23
42
54,8
45,2
100
180
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa usia
responden mayoritas berada pada rentang usia 20-35
tahun sebanyak 33 orang (78,6%), status kehamilan
responden mayoritas primi gravida sebanyak 15 orang
(35,7%), tingkat pendidikan responden mayoritas SMA
sebanyak 21 orang (50,0%), dan pekerjaan responden
mayoritas tidak bekerja sebanyak 23 orang (54,8%).
b.
Intensitas Nyeri Responden Sebelum diberikan
Intervensi
Tabel .2
Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri
Sebelum diberikan Intervensi Kepada Ibu Inpartu kala
I Fase Laten di Klinik Delima Tahun 2014
Karakteristik
Frekuensi
%
Sebelum
diberikan
komunikasi teraupetik
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
17
40,5
Nyeri berat
20
47,6
Nyeri sangat berat
5
11,9
Jumlah
42
100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa
intensitas nyeri responden sebelum dilakukan
komunikasi teraupetik mayoritas berada pada tingkatan
nyeri berat sebanyak 20 orang (47,6).
c.
Intensitas Nyeri Responden Sesudah diberikan
Intervensi
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Nyeri
Sesudah diberikan Intervensi Kepada Ibu Inpartu
Kala I Fase Laten di Klinik Delima Tahun 2014
Karakteristik
Frekuensi
%
Sesudah
diberikan
komunikasi teraupetik
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
9
21,4
Nyeri sedang
24
57,1
Nyeri berat
7
16,7
Nyeri sangat berat
2
4,8
Jumlah
42
100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa
intensitas nyeri responden sesudah dilakukan komunikasi
teraupetik mayoritas berada pada tingkatan nyeri sedang
sebanyak 24 orang (57,1)
2.
Analisis Bivariat
Dalam menganalisis data secara bivariat,
pengujian data dilakukan dengan uji statistik uji tdependent paired t-test yaitu mengetahui adanya pengaruh
komunikasi teraupetuk dengan intensitas nyeri persalinan
ibu inpartu kala I fase laten.
181
a.
Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan
Intensitas Nyeri
Tabel.5
Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan Intensitas
Nyeri Ibu Inpartu Kala I Fase Laten di Klinik Delima
Medan Tahun 2014
Variabel
Mean
Pvalue
N
Intensitas nyeri sesudah
dilakukan
komunikasi 2,05
0,000
42
teraupetik
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa
dengan uji paired sample t-test diperoleh nilai p value
0,000 maka didapatkan p < α (0,000 < 0,05) sehingga
Ha dalam penelitian ini diterima yang berarti ada
pengaruh komunikasi terapeutik terhadap intensitas
nyeri persalinan kala I fase laten di klinik Delima
Medan.
Pembahasan
1. Intensitas Nyeri ibu inpartu sebelum diberikan
intervensi di Klinik Delima Medan
Berdasarkan tabel 2 intensitas nyeri ibu inpartu
sebelum diberikan intervensi di Klinik Delima Medan
adalah ada 20 responden (47,6) yang mengatakan nyeri
berada pada tingkatan nyeri berat.
Hal ini dikarenakan bahwa responden yang
mengatakan nyeri berat memiliki rasa ketakutan dan
kecemasan yang tinggi terhadap proses persalinan yang
akan dilaluinya, serta kurangnya dukungan yang diberikan
terhadap ibu.
Ibu yang akan bersalin biasanya mempunyai
emosi berlebihan yang dapat menimbulkan suatu
kecemasan. Kecemasan yang timbul dapat disebabkan
karena dua faktor yaitu antara kesenangan dan rasa nyeri
yang sedang dirasakan. Salah satu bentuk kecemasannya
adalah berupa ansietas primer yang timbul karena tauma
kelahiran (birth trauma), Salah satu bentuk kecemasan
adalah freefloating anxiety yaitu suatu keadaan cemas
dimana individu selalu memikirkan sesuatu hal yang buruk
yang mungkin terjadi. Akibatnya ia akan selalu berada
dalam keadaan cemas karena takut menghadapinya
(Varney, 2001).
Nyeri persalinan menjadi lebih ringan seiring
dengan makin sering dan efektifnya pengendalian nyeri.
Bonica 1990 mengatakan bahwa menyiagakan wanita
terhadap persalinan yang akan dihadapi akan dapat
mengurangi nyeri. Ketegangan emosi akibat rasa cemas
sampai rasa takut dapat memperberat presepsi nyeri selama
persalinan. Nyeri atau kemungkinan nyeri dapat
menginduksi ketakutan sehingga timbul kecemasan yang
berakhir dengan kepanikan, keletihan dan kurang tidur
yang dapat memperberat nyeri (metode dick-read).
Menurut teori bobak (2000) bahwa pengalaman
melahirkan sebelumnya juga dapat mempengaruhi respon
ibu terhadap nyeri. Bagi ibu yang belum mempunyai
pengalaman melahirkan atau Ibu yang pertama melahirkan
akan merasa cemas dan takut dalam menghadapi
persalinan. Stres atau rasa takut secara fisiologis dapat
menyebabkan kontraksi uterus menjadi terasa semakin
nyeri dan sakit dirasakan.
Maryunani
(2010)
menjelaskan
bahwa
kecemasan yang dialami oleh ibu pada awal persalinan
berhubungan dengan berbagai macam faktor yang terkait
dengan proses persalinan. Dimana cara-cara untuk
mengurangi kecemasan antara lain: memberikan informasi
untuk mengetahui ketakutan yang jelas, membuat
hubungan kerjasama dengan pendamping, menjadi
pendengar yang baik, menunjukkan sikap simpatik,
membantu dan komunikatif terhadap ibu yang akan
bersalin.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Indrawati (2011) di BPS Uut Maschon, juga
melakukan penelitian yang serupa tentang metode
konseling dalam pengurangan rasa nyeri persalinan dan
didapatkan hasil dari 30 (100%) responden, ada sebanyak
17 (56,7) responden mengalami nyeri ringan.
2.
Intensitas Nyeri ibu inpartu sesudah diberikan
intervensi di Klinik Delima Medan
Berdasarkan table 3 intensitas nyeri ibu inpartu
sesudah diberikan intervensi di Klinik Delima Medan
adalah ada 24 responden (57,1) yang mengatakan nyeri
berada pada tingkatan nyeri sedang.
Hal ini dikarenakan bahwa responden yang
mengatakan nyeri sedang sudah lebih siap secara
psikologis dalam menghadapi proses persalinan sehingga
ibu lebih percaya diri dan tidak takut dalam menghadapi
proses persalinannya.
Sesuai yang dikemukan Fraklin (2000), bahwa
jika ibu diperhatikan dan diberi dukungan selama
persalinan dan kelahiran bayi serta mengetahui dengan
baik mengenai proses persalinan dan asuhan yang akan
mereka terima, maka akan mendapatkan rasa aman dan
keluaran yang baik.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
melakukan komunikasi antara lain: menjalin hubungan
yang mengenakkan dengan klien, hadir mendampingi
klien, mendengarkan keluhan-keluhan klien, memberikan
sentuhan dalam pendampingan klien, memberikan
informasi kepada klien, mengadakan kontak fisik dengan
klien, memberi pujian kepada klien atas usaha yang telah
dilakukannya.
Pentingnya komunikasi terapeutik dalam
menurunkan rasa nyeri yang ditimbulkan oleh persalinan
sangat diperlukan, oleh karena itu bidan dalam persalinan
harus bisa membantu menimbulkan rasa percaya diri,
karena bila klien itu sendiri merasa gugup dalam
menghadapi persalinannya baik fisik ataupun mental
belum siap maka timbul rasa ketakutan sehingga rasa nyeri
akan semakin bertambah (Kartono, 1992).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Adriana (2012) terkait dengan pengaruh
komunikasi teraupetik bidan terhadap intensitas nyeri
persalinan, didapatkan hasil bahwa setelah diberikan
komunikasi teraupetik terjadi perubahan atau penurunan
tingkat nyeri yang sangat berarti dimana p value= 0,000
yang berarti (P<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa
komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh
signifikan dalam menurunkan nyeri persalinan.
yang
3. Pengaruh Komunikasi Teraupetik dengan
Intensitas Nyeri Pesalinan Kala I Fase Laten di
klinik Delima Medan
Pada penelitian ini berdasarkan uji statistik tdependent pada tingkat signifikan α = 0,05 (95%), ), maka
didapatkan p < α (0,000 < 0,05). Berarti Hο ditolak, maka
secara statistik menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan antara komunikasi teraupetik dengan
pengurangan intensitas nyeri persalinan pada ibu inpartu
kala I fase laten di klinik Delima Medan.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Yusnita (2012), juga melakukan
penelitian yang serupa tentang komunikasi teraupetik
dan diperoleh hasil
ada pengaruh komunikasi
teraupetik terhadap nyeri persalinan pada ibu inpartu
diruang kebidanan dan bersalin Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Pidie berdasarkan hasil uji statistik
didapatkan nilai p < 0,05 (0.004) sehingga hipotesa
alternatif dalam penelitian ini diterima.
Pengaruh yang signifikan ini dipengaruhi banyak
hal antara lain bersangkutan dengan Sikap, perilaku dan
komunikasi bidan dalam berinteraksi dianggap
berpengaruh terhadap kondisi yang dialami ibu. Penjelasan
dari bidan dalam berinteraksi akan menurunkan ketakutan
dan stres psikis ibu.
Komunikasi merupakan salah satu bentuk
kewajiban penolong terhadap hak pasien untuk
memperoleh informasi objektif dan lengkap tentang apa
yang dialaminya. Komunikasi yang baik akan sangat
membantu terbinanya hubungan antar manusia yang serasi
diantara pasien dan penolong, keserasian hubungan sangat
diperlukan dalam memperoleh rasa saling percaya
(Safuddin, 2004 dalam yusnita, 2012.Hal.1).
Menurut Suryani (2008) komunikasi terapeutik
pada ibu melahirkan merupakan pemberian bantuan pada
ibu yang akan melahirkan dengan kegiatan bimbingan
proses persalinan. Komunikasi dilaksanakan oleh bidan
dengan memberikan penguatan kepada ibu bersalin.
Menurut beberapa teori yang ada bahwa nyeri
persalinan yang timbul karena adanya rasa kecemasan,
ketakutan dan kepanikan, yang dapat memperberat nyeri
persalinan akan mampu diatasi dengan pemberian
komunikasi terapeutik, dimana terlihat bahwa tujuan dari
komunikasi terapeutik itu sendiri adalah mengurangi beban
pikiran rasa takut dan cemas yang dihadapi oleh pasien,
mengurangi keraguan yang ada pada diri sendiri dan
mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya
sendiri (Damaiyanti, 2008).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian disini adalah pada
pengukuran intensitas nyeri tidak sama pada setiap
responden, ini disebabkan kedatangan pasien yang
berbeda, dimana pasien datang pembukaannya tidak semua
sama antara responden yang satu dan responden yang
lainnya. Dan keterbatasan lainnya adalah pada responden
yang primigravida sering terjadi perlakuan komunikasi
182
yang terputus-putus. Hal ini dikarenakan pada
primigravida banyak responden yang minta untuk pulang
kerumahnya dulu dan akan kembali keklinik jika nyeri
yang ia rasakan sudah sangat tak terhanakan lagi
Kesimpulan
1. Ada pengaruh yang signifikan terhadap intensitas
nyeri sesudah dilakukan komunikasi teraupetik
dengan α = 0,05 (95%) Nilai p (0,000), maka
didapatkan p < α (0,000 < 0,05)
2. Ada 20 responden (47,6) yang mengatakan
mengalami nyeri berat sebelum dilakukan
intervensi komunikasi teraupetik
3. Ada 24 responden (57,1) yang mengatakan
mengalami nyeri sedang sesudah dilakukan
intervensi komunikasi teraupetik
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan
diatas maka peneliti memberikan sedikit saran
berdasarkan pemikiran serta pengetahuan sederhana
sebagai berikut :
1. Diharapkan agar petugas kesehatan di klinik
maupun rumah sakit bersalin untuk dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu
bersalin dengan penerapan metode komunikasi
terapeutik yang baik sebagai salah satu intervensi
dalam mengurangi nyeri persalinan
2. Diharapkan agar institusi pendidikan untuk lebih
meningkatkan perkembangan ilmu kebidanan
sehingga dapat meningkatakn pengetahuan
peserta didik terutama mengenai asuhan pada ibu
dalam masa persalinan
3. Diharapkan agar peneliti selanjutnya untuk dapat
lebih
memperluas
penelitian
ini
guna
mendapatkan hasil yang dapat memberikan
pembaharuan dalam upaya peningkatan kesehatan
ibu dalam masa persalinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ancheta. R, & Simkin. P. (2005). Buku Saku
Persalinan. Jakarta : EGC
Bangun, Adriana. (2012). Pengaruh Komunikasi
Teraupetik
Terhadapa
Intensitas
Nyeri
Persalinan Kala I Fase aktif di Klinik Santi
Medan.
Skripsi
Fakultas
Keperawatan
Universitas Sumatera Utara. Diambil pada
tanggal
18
November
2013
http://www.repository.usu.ac.id
Bare, B. G., dan Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta : EGC
183
Bari Saifudin, A (2002). Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Sarwono
Prawirohardjo
Bobak, I. M., at all. (2004). Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC
Farrer, Hellen. (2001). Perawatan Maternitas
(Terjemahan). Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Indrawati. (2011). Metode Konseling Dalam Pengurangan
Rasa Nyeri Persalinan di BPS Uut Maschon.
Diambil pada tanggal 18 November 2013 dari
http://www.dinamikakebidanan.com
Indrawati. T, Sujianto. U, & Uripni. C. L. (2002).
Komunikasi Kebidanan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Jones – Lewellyn, D. (2002). Dasar-Dasar Obstetri
Dan Ginekologi Edisi 6 (Terjemahan). Jakarta :
Hiprokates.
Leveno, K., J. (2009). Obstetri Williams. Ed-21. Jakarta :
EGC
Mander, R. (2003). Nyeri Persalinan. Jakarta : EGC
Meiliasari, M., dan Danuatmaja, B. (2004). Persalinan
Normal Tanpa Rasa Sakit. Jakarta : Puspa Swara
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
SalembaMedika
Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo
Purwanto, H (1994). Komunikasi Untuk Perawat.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Administrasi.
Jakarta : Cv Alfabeta
Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik Teori dan
Praktek. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Varney, H. (2002). Buku Saku Bidan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Walsh, L. V. (2007). Buku Ajar Kebidanan Komunitas.
Jakarta : EGC
Yusnita, R. (2012). Pengaruh komunikasi teurapetik bidan
terhadap nyeri persalinan pada ibu bersalin di
ruang kebidanan dan bersalin Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Pidie. Diambil pada tanggal 18
November
2013
dari
http://www.
Journal.cpp//indexd/html
Yuswanto. T. J. A, dan Yulifah. R. (2009) Komunikasi
dan Konseling dalam Kebidanan. Jakarta :
Penerbit Salemba Medik.
UJI EFEK PENYEMBUHAN LUKA SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL
DAUN AFRIKA (VERNONIA AMYGDALINA.DEL) PADA MENCIT
JANTAN
Ernawaty, Tri Bintarti, Maya Handayani
Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Medan
[email protected]
`
Abstract
African leaf (Vernonia amygdalina) is one of the potent plants as antidiabetic, antibacterial,
antifungal, analgesic and antioxidant. The aims of this study was to determine the wound healing
effect of ethanolic extract of african leaves gel and obtain an effective formula. It was an experimental
research. Injuries were made by cutting the back of mice’s skin with diameter ± 1 cm. Fourty eight
mice were divided into 8 groups, one group as control, EEDA 1%, EEDA 3% , EEDA 5%, EEDA 7%,
EEDA 9% , Bioplacenton as positif control and base gel group. The observation was done by
measured the diameter of wound visually. The mice declared cure and marked growth of new skin and
hair around the wound. At the end of the test performed histophatological test. This study concluded
the ethanol extract of Africa leaves have wound healing effect in mice and EEDA 9% have wound
healing effect at 15th daya.
Keywords: ethanol extract of africa leaves, wound
METODE PENELITIAN
Daun afrika dikumpulkan dari lingkungan
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan,
dan diidentifikasi di Herbarium Medanense (MEDA,)
Universitas Sumatera Utara.
Formula Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika
EEDA
1%
1g
200 mg
180 mg
Daun Afrika (Vernonia amygdalina)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Klas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Asteraceae
Genus : Vernonia
Spesies : Vernonia amygdalina Del.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
menentukan efek penyembuhan luka gel ekstrak etanol
daun afrika dan menetukan formula efektif gel.
EEDA
Na CMC
Metyl
Paraben
Air Suling 2 mL
Glyserin ad 100
Formula
EEDA 3% EEDA
5%
3g
5g
200 mg 200 mg
180 mg 180 mg
EEDA
7%
7g
200 mg
180 mg
EEDA
9%
9g
200 mg
180 mg
2 mL
100
2 mL
100
2 mL
100
2 mL
100
EEDA = Ekstrak Etanol Daun Afrika
Evaluasi Gel.
Uji organoleptik, homogenitas dan pH selama 35 hari
(Hari ke 0, 7, 14, 28 dan 35).
Uji Penyembuhan Luka
Luka dibuat dengan menyayat punggung
belakang mencit dengan diameter luka ± 1 cm. Empat
puluh delapan mencit dibagi menjadi 8 kelompok, satu
sebagai kelompok kontrol, EEDA 1%, EEDA 3% , EEDA
5%, EEDA 7%, EEDA 9% , Bioplacenton sebagai kontrol
positif dan kelompok dengan dasar gel. Pengamatan
dilakukan dengan mengukur diameter luka secara visual,
tingkat kesembuhan dan pertumbuhan rambut disekitar
luka. Pada akhir pengujian, dilakukan uji histopatologi..
184
HASIL
Tabel 1. Uji Organoleptis Gel Ektrak Etanol Daun Afrika
Pengamatan
Formula
Bentuk
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F1
F2
F3
F4
F5
F6
Warna
Bau
0
-
Hari ke14
-
7
-
28
-
35
-
Tabel 2. Uji Homogenitas Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika
Pengamatan
Formula
Homogenitas
F1
F2
F3
F4
F5
F6
0
-
Hari ke14
-
7
-
28
-
35
-
Tabel 3. Uji pH Gel Ekstrak Etanol Daun Afrika
Formula
pH
F1
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
F2
F3
F4
F5
F6
185
0
6,2
6,3
6,3
6,2
6,2
6,3
6,2
6,3
6,3
6,2
6,3
6,2
6,3
6,3
6,3
6,2
6,3
6,3
7
6,2
6,2
6,3
6,2
6,2
6,2
6,1
6,1
6,1
6,2
6,2
6,2
6,3
6,3
6,3
6,2
6,3
6,2
Hari ke14
6,2
6,1
6,1
6,2
6,1
6,1
6,2
6,1
6,1
6,1
6,1
6,1
6,2
6,1
6,2
6,2
6,2
6,2
28
6,2
6,2
6,1
6,1
6,1
6,0
6,0
6,1
6,0
6,1
6,1
6,2
6,1
6,1
6,1
6,1
6,1
6,1
35
6,1
6,2
6,1
6,1
6,0
6,1
6,0
6,0
6,1
6,0
6,1
6,1
6,1
6,2
6,1
6,0
6,1
6,1
Tabel 4. Data Diameter Penyembuhan Luka
No
Group
Diameter rata-rata penyembuhan luka (mm) ± SD pada hari
Diameter rata-rata
(N=6)
kepenyembuhan luka (mm)
± SD
1
3
5
7
14
1 Blanko
8,67
8,15
8,14
7,45
6,71
2,32
±
±
±
±
±
±
1,24
1,18
0,34
0,91
1,32
0,80
2 Dasar Gel
8,89
8,66
8,52
7,32
6,58
2,04
±
±
±
±
±
±
1,26
1,48
0,86
1,13
0,51
0,42
3 EEDA Gel
8,88
8,53
7,63
7,13
6,43
1,69
1%
±
±
±
±
±
±
1,13
1,16
0,73
0,95
0,40
0,54
4 EEDA Gel
9,37
9,06
7,14
6,97
6,28
1,67
3%
±
±
±
±
±
±
0,84
0,94
0,79
0,54
0,96
0,42
5 EEDA Gel
8,54
8,05
6,98
6,35
5,85
1,36
5%
±
±
±
±
±
±
1,17
1,21
0,41
0,40
1,22
0,78
6 EEDA Gel
8,39
8,02
6,13
5,86
5,21
1,21
7%
±
±
±
±
±
±
1,12
1,19
0,48
1,37
1,04
0,38
7
EEDA Gel
8,81
8,46
5,73
4,75
4,21
0,39
9%
±
±
±
±
±
±
0,80
0,67
0,57
0,56
0,99
0,45
8 Bioplacenton®
9,10
8,44
5,67
4,95
4,11
0,60
±
±
±
±
±
±
0,79
0,75
0,55
0,55
0,61
0,49
Hari 5
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
Hari 7
Hari 14
Hari 14
Gambar
1. Diameter1.
Penyembuhan
Luka
Tanpa Gel
Gambar
Diameter
Penyembuhan
Luka Tanpa Gel
Gambar 2. Diameter Penyembuhan Luka dengan
EEDA 9 %
Gambar 2. Diameter Penyembuhan Luka dengan EEDA 9 %
186
Hari 1
Hari 5
Hari 3
Hari 7
Hari 14
Gambar 3. Diameter PenyembuhanLuka dengan
Bioplacenton
SIMPULAN
Penelelitian
menunjukan bahwa ekstrak
etanol daun afrika mempunyai efek menyembuhkan
luka dengan formula efektif pada EEDA 9%.
DAFTAR PUSTAKA
Barku , V. Y. A., A. Boye and S. Ayaba. (2013).
Phytochemical Screening and Assessment of
Wound Healing Activity of The Leaves of
187
Anogeissus Leiocarpus. European Journal of
Experimental Biology. 3 (4), page. 25.
Ejoh, R.A., Nkonga, D.V., Inocent, G., dan Moses, M.C.
(2007). Nutritional Components of Some NonConventional Leafy Vegetables Consumed in
Cameroon. Pak. J. Nutr. 6(1): 712-717.
Erasto, P., Grierson, D.S., dan Afolayan, A.J. (2008).
Bioactive Sesquiterpene Lactones from The
Leaves of Vernonia amygdalina. Int. J. Environ.
Res. Public Health. 5(5): 342-348.
Ijeh, I.L., dan Ejike, C.E.C.C. (2010). Current Perspectives
on The Medicinal Potentials of Vernonia
amygdalina Del. Journal of Medicinal Plant
Research. 5(7): 1051-1061.
Njan, A.A, Adza, B., Agaba, A.G., Byamgaba, D., Diaz,
S., dan Bansberg, D.R. (2008). The Analgesic
and Antiplasmodial Activities and Toxicology of
Vernonia amygdalina. J. Med. Food. 11: 574581.
Nwanjo, H.U. (2005). Efficacy Of Aqueous Leaf Extract
Of Vernonia amygdalina On Plasma Lipoprotein
And Oxidative Status In Diabetic Rat Models.
Nigerian Journal Of Physiological Sciences.
20(1-2): 39-42.
Nwanjo, H.U. dan Nwokoro, E.A. (2004). Antidiabetic
And Biochemical Effects Of Aqueous Extract Of
Vernonia amygdalina Leaf In Normoglycaemic
And Diabetic Rats. J. Innov. Life Sci. (7): 6-10.
Oyugi, D.A., Luo, X., Lee, K.S., Hill, B., dan Izevbigie,
E.B. (2009). Activity Markers of The Anti-Breast
Carcinoma Cell Growth Fractions of Vernonia
amygdalina Extracts. Exp. Biol. Medicine.
234(4): 410-417
KHARAKTERISTIK BALITA DAN SOSIO DEMOGRAFI
BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS MENCIRIM KECAMATAN SUNGGAL
TAHUN 2014
Rina Doriana Pasaribu
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan
`
Abstrak
Fenomena kurang gizi disebabkan kombinasi faktor, kemiskinan, lingkungan,buruknya pelayanan
kesehatan balita khususnya promosi pemberian ASI Eksklusif pada bayi, pemberian MP-ASI tidak
benar dan kurangnya pengetahuan ibu mengenai pedoman umum gizi seimbang. Berdasarkan
permasalahan tersebut maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan
dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal. Penelitian ini
bersifat survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
semua ibu yang memiliki balita dengan sampel 102 orang ibu balita. Pengambilan data dilakukan
dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah Chi
Square untuk mencari hubungan antara variabel independen dan dependen. Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara status imunisasi dengan status gizi balita p=0,001, ada hubungan
antara status ASI Eksklusif dengan statu gizi balita p=0,017, ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan status gizi balita p=0,000, ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita
p=0,006, ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi balita p=0,010, tidak ada
hubungan antara jumlah anak dengan status gizi balita p=0,587. Di saran kepada Puskesmas Mencirim
agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan status gizi balita,
bagi ibu-ibu agar memperhatikan pola kebutuhan anaknya selama masa pertumbuhannya dengan
memenuhi kebutuhan gizi pada seribu hari kehidupan pertama.
Kata kunci: Status gizi, balita
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa
ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta
cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini
ditentukan oleh status gizi yang baik. Oleh karena itu
masalah gizi kurang dan buruk yang dalam model unicef
(1990) di indentifikasi dipengaruhi langsung oleh pola
asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi budaya
politik, dapat menjadi faktor penghambat dalam
pembangunan nasional (Dinkes, 2006).
Di Indonesia persoalan gizi anak usia balita
menjadi masalah serius pada sebagian besar
kabupaten/kota. Menurut Profil kesehatan Indonesia tahun
2007 terdapat 18,4% anak balita yang kekurangan gizi,
terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 5,4%.
Fenomena kurang gizi disebabkan kombinasi faktor,
kemiskinan, lingkungan,buruknya pelayanan kesehatan
balita khususnya promosi pemberian ASI Eksklusif pada
bayi, pemberian MP-ASI tidak benar dan kurangnya
pengetahuan ibu mengenai pedoman umum gizi seimbang
(Adisasmito,2010). Gizi kurang dan gizi buruk pada balita
dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada
bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan
sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada balita
apabila dibiarkan tentunya mengakibatkan balita sulit
berkembang (Syarief, 2004).
Masalah gizi semula dianggap sebagai masalah
kesehatan yang hanya dapat ditanggulangi dengan
pengobatan medis atau kedokteran, namun, disadari bahwa
gejala klinis gizi kurang yang banyak ditemukan dokter
ternyata adalah tingkatan akhir yang sudah kritis dari
serangkaian proses lain yang sudah mendahuluinya,
sekarang telah diketahui bahwa gejala klinis gizi kurang
adalah akibat ketidak seimbangan yang lama antara
manusia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup ini
mencakup lingkungan alam, biologis, sosial budaya
maupun ekonomi, masing-masing faktor tersebut
mempunyai peran yang kompleks dan berperan penting
dalam etiologi penyakit gizi kurang (Susanto, 2004).
Kasus gizi buruk saat ini menjadi sorotan utama
pada masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, berbagai
upaya sudah dilakukan bahkan salah satu tujuan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2005– 2009 bidang kesehatan adalah menurunkan
prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%,
termasuk prevalensi gizi buruk menjadi setinggi-tingginya
5% pada 2009 (Sholihin, 2007). Indonesia sebenarnya
188
sudah banyak membuat kemajuan dalam menekan angka
gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita, sebanyak
37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6% (1995), 29,5% (1998),
26,4% (1999), dan 24,6% (2000). Namun sejak tahun
2000, angka gizi buruk dan gizi kurang kembali
meningkat, menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5%
(2003),dan 29% (2005). Sementara pada awal tahun 2005,
menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS),
jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang berturut-turut 8,8
% dan 19,20 %. Jumlah balita yang menderita gizi kurang
dikatakan menurun menjadi 4,6 juta balita. Demikian pula
balita yang menderita gizi buruk menurun menjadi 1,2 juta
balita, dan balita yang menderita gizi buruk tingkat berat
(busung lapar) menurun menjadi 120.000 balita (Sholihin,
2007).
Gizi buruk (severe malnutrion) adalah suatu
istilah teknis yang umumnya dipakai kalangan gizi.
Menurut Depertement Kesehatan( 2004), pada tahun 2003
terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi),3,5juta
anak (19,2%)dalam tingkat gizi kurang dam 1,5 juta anak
gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan
wilayah berdasarkan prevelensi gizi kurang kedalam 4
kelompok yaitu:rendah( < 10%), sedang ( 10- 19%), tinggi
(20 – 29%) dan sangat tinggi (=> 30%) (WHO,2008).
Jumlah balita penderita gizi buruk di Medan saat
ini sekitar 124 orang dan 1.896 anak mengalami gizi
kurang yang terdapat di 14 kelurahan yang dikategorikan
rawan pangan dengan jumlah keluarga miskin mencapai
2.599 kepala keluarga. Hal ini menumbuhkan perhatian
serius semua pihak(Pemko Medan,2012).Menurut Hasil
Survey FKM USU 2008 kasus gizi buruk mencapai 4,4%
dan gizi kurang 18,8% masih cukup tinggi. Buktinya
jumlah desa terbanyak dengan kasus gizi buruk terjadi di
Kabupaten Nias selatan sebanyak 89 desa, Mandailing
natal (78 desa),Deli serdang (67 desa), Humbahas( 58
desa) (Ramadhan,2010).
Peran tenaga kesehatan dalam penanganan gizi
buruk di puskesmas hanya pemberian makanan tambahan
dan tidak ada pemantauan tindak lanjut pada penderita gizi
buruk. Salah faktor yang mempengaruhi status gizi pada
balita diantaranya adalah pendapatan keluarga. Pendapatan
yang rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli
pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sholihin, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andarwati
(2007) di desa Purwojati kabupaten Wonosobo
mendapatkan ada hubungan antara pendapatan keluarga
dengan status gizi balita, 75% balita berstatus gizi baik
berasal dari masyarakat berpenghasilan tinggi. Dalam
penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di
wilayah kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal”.
Perumusan Masalah
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penelitian
yang dilakukan oleh Dewi (2007) menunjukkan bahwa
responden yang memiliki status gizi kurang berasal dari
keluarga yang berpenghasilan rendah, sedangkan yang
memiliki status gizi baik berasal dari keluarga yang
berpenghasilan tinggi. Penelitian oleh Arif (2006)
189
menunjukkan ada hubungan antara Ibu yang bekerja
dengan status gizi balita. Balita yang menderita kurang gizi
lebih banyak ditemukan pada Ibu yang bekerja.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian adalah faktor apa saja yang
berhubungan dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal tahun 2014.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan
dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas
Mencirim Kecamatan Sunggal tahun 2014.
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik
balita (status imunisasi, status ASI Eksklusif)
dengan status gizi balita di wilayah kerja
Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal.
2.
Untuk mengetahui hubungan sosio demografi
(tingkat pendidikan ibu, penghasilan keluarga,
pekerjaan ibu, jumlah anak) dengan status gizi
balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim
Kecamatan Sunggal.
Hipotesis Penelitian
1.
Ada hubungan antara karakteristik balita (status
imunisasi, status ASI Eksklusif) dengan status gizi
balita.
2.
Ada hubungan antara sosio demografi (tingkat
pendidikan ibu, penghasilan keluarga, status
pekerjaan ibu, jumlah anak) dengan status gizi
balita.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan
Cross Sectional yaitu penelitian untuk menentukan faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi balita.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Mencirim Kecamatan Sunggal pada bulan Juni sampai
November 2014.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian adalah semua ibu yang
memiliki balita berumur 12-59 bulan yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Mencirim Kecamatan Sunggal yang
berjumlah 4189 balita.
Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi ibu yang
memiliki balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang
Kecamatan Medan Petisah yang berjumlah 102 Orang.
Berikut cara pengambilan sampel:
N= ukuran populasi
n= ukuran sampel
d= tingkat kepercayaan yaitu 0,1/10%
n=
N
1+N(d2)
=
4189
1+4189 (0,12)
= 4189
1+42,8
= 4180
43,8
= 101,66
= 102
Metode Pengumpulan Data
Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari
responden secara langsung dengan metode wawancara
yang menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah
secara manual dengan bantuan komputer dan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Analisa Data
Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan
distribusi frekwensi dan persentase dari variabel
independen dan variabel dependen.
Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mencari
hubungan kedua variabel independen dan variable
dependen. Analisa dilakukan dengan uji chi-square
dengan derajat kepercayaan 95% (=5%), dan hasil uji
statistik akan diperoleh nilai p. Untuk nilai p <  maka
hipotesis diterima
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Puskemas
Mencirim Kecamatan Sunggal meliputi gambaran wilayah
dan data jumlah balita di Puskesmas tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Identitas Responden di wilayah kerja Puskesmas Mencirim Tahun 2014
Responden
No
Identitas Responden
f
%
1.
Kelompok Umur Ibu (Tahun)
< 20
6
5,9
20-35
83
81,4
> 35
13
12,7
Total
102
100
2.
Kelompok Umur Balita (bulan)
≤ 29
53
52
> 29
49
48
Total
102
100
3.
Jenis Kelamin Balita
Laki-laki
56
54,9
Perempuan
46
45,1
Total
102
100
Karakteristik Balita
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita Terhadap Status Gizi di wilayah kerja Pukesmas Mencirim
Tahun 2014
Responden
No
Karakteristik Balita
f
%
1.
Status Imunisasi
Lengkap
84
82,4
Tidak Lengkap
18
17,6
Total
102
100
2
Status ASI Ekskluif
ASI Eksklusif
15
14,7
Tidak ASI Eksklusif
87
85,3
Total
102
100
190
Sosio demografi
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sosio demografi Terhadap Status Gizi di wilayah kerja Pukesmas Mencirim Tahun
2014
Responden
No
Sosio demografi
Frekuensi
Persentase
1.
Tingkat Pendidikan
Tinggi
74
72,5
Rendah
28
27,5
Total
102
100
2.
Pendapatan Keluarga
Tinggi
47
46,1
Rendah
55
53,9
Total
102
100
3.
Status Pekerjaan
Bekerja
42
41,2
Tidak bekerja
60
58,8
Total
102
100
4.
Jumlah Anak
< 3 anak
53
52
≥ 3 anak
49
48
Total
102
100
Status Gizi Balita
No
1.
2.
Tabel 4. Distribusi Status Gizi Balita di wilayah kerja Pukesmas Mencirim 2014
Responden
Status Gizi
Frekuensi
Persentase
Baik
70
68,6
Kurang
32
31,4
Total
102
100
Analisa Bivariat
Karakteristik Balita
Tabel 5. Tabulasi Silang Status Imunisasi Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang 2010
Status Gizi Balita
Jumlah
No
Status Imunisasi
Baik
Kurang
P
f
%
f
%
f
%
1.
Lengkap
64
65,1
20
17,3
84
82,4
0,001
2.
Tidak lengkap
6
6,1
12
11,5
18
17,6
Total
70
71,2
32
28,8
102
100
X2= 13,159
df= 1
Tabel 6. Tabulasi Silang Status ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Rantang 2010
Status Gizi Balita
Jumlah
No
Status ASI Eksklusif
Baik
Kurang
P
f
%
f
%
f
%
1.
ASI Eksklusif
15
14,7
0
0
15
14,7
0,017
2.
Tidak ASI Eksklusif
55
48.5
32
36,8
87
85,3
Total
70
63,2
32
38,8
102
100
X2= 5,470
df= 1
Sosio demografi
Tabel 7. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim
Tahun 2014
Status Gizi Balita
Jumlah
No
Tingkat Pendidikan Ibu
Baik
Kurang
P
f
%
f
%
f
%
1.
Tinggi
63
64,2
11
8,3
74
72,5
0,000
2.
Rendah
7
7,0
21
20,5
28
27,5
Total
70
71,2
32
28,6
102
100
X2= 37,809
df= 1
191
Tabel 8. Tabulasi Silang Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim
2014
Status Gizi Balita
Jumlah
No
Pendapatan Keluarga
Baik
Kurang
P
f
%
f
%
F
%
1.
Tinggi
38
54,2
9
6,1
47
46,1
0,006
2.
Rendah
32
45,7
23
22,4
55
53,9
Total
70
73,4
32
28,5
102
100
X2= 8,728
df= 1
Tabel 9. Tabulasi Silang Status Pekerjaan Ibu Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim
Tahun 2014
Status Gizi Balita
Jumlah
Baik
Kurang
No
Status Pekerjaan Ibu
P
f
%
F
%
F
%
1.
Bekerja
34
34,7
8
6,5
42
41,2
0,010
2.
Tidak bekerja
36
36,7
24
22,1
60
58,8
Total
70
71,4
32
28,6
102
100
X2= 7,875
df= 1
Tabel 10. Tabulasi Silang Jumlah Anak Dengan Status Gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Mencirim tahun
2014
Status Gizi Balita
Jumlah
No
Jumlah Anak
Baik
Kurang
P
f
%
F
%
F
%
1.
< 3 anak
34
34,7
19
15,3
53
52
0,587
2.
≥ 3 anak
36
36,7
13
12,2
49
48
Total
X2= 0,588
70
71,4
32
27,5
102
100
df= 1
Pembahasan
Hasil analisa statistik dengan uji chi square
diperoleh p (fisher’s exact)= 0,001 menunjukkan bahwa
ada hubungan antara status imunisasi dengan status gizi
balita. Anak yang diimunisasi berarti diberi kekebalan
terhadap suatu penyakit tertentu, jadi tujuan imunisasi
adalah untuk mencegah penyakit dan kematian balita yang
disebabkan oleh wabah yang sering berjangkit. Beberapa
data menunjukkan bahwa penyebab utama dari penyakit,
kematian dan terhambatnya pertumbuhan anak merupakan
kompleksitas hubungan timbal balik antara status gizi dan
infeksi (Karjati, 2001).
Balita yang diberi imunisasi lengkap mempunyai
daya tahan tubuh lebih tinggi dari pada balita yang tidak
mendapat imunisasi lengkap. Balita dengan status
imunisasi tidak lengkap lebih mudah terserang penyakit,
jika status imunisasi balita tidak lengkap maka balita dapat
mudah terserang penyakit yang akan mempengaruhi
keadaan tubuh serta pola makan balita tersebut. Pada anak
yang menderita penyakit infeksi terjadi gangguan pada
pertahanan tubuh dan sebagai akibatnya akan terjadi
penurunan berat badan dalam waktu yang singkat sehingga
dapat menyebabkan kekurangan gizi. Tidak menutup
kemungkinan balita dengan status imunisasi tidak lengkap
berstatus gizi baik, hal ini bisa disebabkan konsumsi
makanan dengan gizi baik yang diberikan ibu balita.
hasil analisa dengan uji chi square antara
pemberian Asi Eksklusif dengan status gizi balita diperoleh
p (fisher’s exact) = 0,017 yang berarti ada hubungan antara
status ASI eksklusif dengan status gizi balita. Menurut
penelitian Ginting (2005) bahwa pemberian ASI eksklusif
pada bayi berhubungan dengan status gizi pada balita.
Balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif kemungkinan
2,5 kali lebih besar kemungkinan menderita gangguan gizi
dibanding dengan anak yang pernah memperoleh ASI
Eksklusif.
Balita dengan ASI Eksklusif tidak mudah
terserang penyakit-penyakit infeksi yang sering menyerang
balita yang nantinya akan mempengaruhi status gizi balita.
Akan tetapi tidak semua balita yang tidak ASI Eksklusif
berstatus gizi kurang ada juga balita dengan status gizi
baik, hal ini juga bisa dipengaruhi faktor lain, seperti
asupan gizi yang baik, pola asuh yang baik dari ibu balita
tersebut.
Sementara hasil analisa dengan uji chi square
antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita
menunjukkan hubungan yang sangat signifikan pada p =
0,000. Tingkat pendidikan turut pula menentukan
mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa
dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan
yang tepat. Untuk kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil
tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).
192
Pendidikan
ibu
berpengaruh
terhadap
pengetahuan ibu tentang cara mengasuh anak yang akan
membentuk pola asuh. Semakin tinggi pendidikan ibu,
diharapkan pola asuh terhadap anak semakin baik
(Oktarina, 2008). Semakin tinggi pendidikan ibu maka
akan semakin baik pengetahuan ibu untuk menentukan
konsumsi makanan yang baik yang dibutuhkan balita
dimasa pertumbuhan balita. Meskipun pendidikan ibu
tinggi tidak menutup kemungkinan balita menderita
gangguan gizi. Hal ini di duga disebabkan karena
pendidikan ibu yang tinggi bukan satu-satunya faktor yang
menjadikan balita terhindar dari kejadian gizi buruk, tetapi
ada beberapa faktor lain seperti salah satunya adalah
penyakit infeksi. Adanya penyakit infeksi seperti ISPA
maupun diare pada balita menyebabkan makanan yang
dikonsumsi balita akan terhambat penyerapannya dan
energi didapatkan dari makanan akan habis atau berkurang.
Berdasarkan hasil analisa dengan uji chi square
diperoleh p = 0,006 yang berarti ada hubungan antara
pendapatan keluarga dengan status gizi balita, yang berarti
semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, maka semakin
baik kondisi kesehatan balita. Pendapatan keluarga sangat
mempengaruhi konsumsi makan sehari-hari. Apabila
pendapatan rendah maka makanan yang dikonsumsi tidak
mempertimbangkan nilai gizi, tetapi nilai materi lebih
menjadi pertimbangan. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah
dapat mengkonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi
baik (Yulius, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian
Andarwati (2007) didesa Purwojati kecamatan Kertek
Wonosobo, dimana terdapat hubungan yang bermakna
antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita (p =
0,002).
Tingkat pendapatan ikut menentukan jenis
pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan
uang. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula
persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk
membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan
pangan lainnya (Andarwati, 2003). Keluarga dengan
pendapatan tinggi akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
pangannya. Tapi tidak menutup kemungkinan balita
dengan pendapatan keluarga tinggi menderita gangguan
gizi. Keluarga dengan pendapatan rendah menyebabkan
orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang
diperlukan dan kurang memperhatikan nilai gizi. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga
yang berpenghasilan rendah dapat mengkonsumsi
makanan yang mempunyai nilai gizi baik.
Hasil uji statistik dengan uji chi square antara
status pekerjaan ibu dengan status gizi balita diperoleh p =
0,010 yang berarti ada hubungan antara status pekerjaan
ibu dengan status gizi balita. Menurut Solihin (2003) salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kurang
gizi adalah para ibu yang menerima pekerjaan tetap
sehingga harus meninggalkan balitanya dari pagi sampai
sore, anak-anak terpaksa ditinggalkan dirumah sehingga
jatuh sakit dan tidak mendapatkan perhatian, dan
pemberian makanan tidak dilakukan dengan semestinya.
Hal ini sejalan dengan penelitian Arif (2006) di
Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang
193
yang menemukan bahwa ada hubungan antara status gizi
dengan status pekerjaan ibu (p = 0,000). Salah satu dampak
negatif yang dikhawatirkan timbul sebagai akibat dari
keikutsertaan ibu-ibu pada kegiatan di luar rumah adalah
keterlantaran anak terutama anak balita, padahal masa
depan kesehatan anak dipengaruhi oleh pengasuhan dan
keadaan gizi sejak usia bayi sampai anak berusia 5 tahun
merupakan usia penting, karena pada umur tersebut anak
belum dapat melayani kebutuhan sendiri dan bergantung
pada pengasuhnya. Oleh karena itu alangkah baiknya balita
yang ditinggalkan dapat dipercayakan kepada pengasuh
atau anggota keluarga yang lain untuk dirawat dan diberi
konsumsi makanan yang baik.
Ibu yang bekerja akan memiliki waktu yang lebih
sedikit untuk memperhatikan kondisi dan pola makan
balitanya. Ibu lebih mempercayakan segala sesuatunya
pada pengasuhnya karena dia tidak memiliki cukup waktu
untuk mengurusi anaknya seharian. Sebaliknya ibu yang
tidak bekerja memiliki waktu lebih untuk memperhatikan
kondisi dan pola makan anaknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
anak tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan status
gizi balita yaitu p = 0,587. Hal ini sejalan dengan penelitian
Marlina (2008) di Kelurahan Sicanang Belawan dimana
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi
balita dengan jumlah anak dalam keluarga (p =
0,842).Menurut Lidia (2003) status gizi balita bukan
semata-mata disebabkan oleh faktor jumlah anak dalam
keluarga melainkan banyak faktor. Salah satunya pola asuh
keluarga terhadap balita, dimana kemungkinan pola asuh
yang kurang baik mempengaruhi status gizi balita sehingga
walaupun jumlah tanggungan keluarga sedikit, kondisi
status gizi balita dapat terancam pula. Selain itu status
imunisasi balita, dimana kelengkapan imunisasi sangat
berpengaruh terhadap kesehatan balita sehingga walaupun
balita pada keluarga dengan jumlah anak yang cukup
banyak tidak terancam mengalami gizi kurang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
Berdasarkan variabel karakteristik balita.
a.
Ada hubungan antara status imunisasi dengan status
gizi balita
b.
Ada hubungan antara status ASI Eksklusif dengan
statu gizi balita
2.
Berdasarkan variabel sosio demografi
a.
Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan
status gizi balita.
b.
Ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan
status gizi balita.
c.
Ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan
status gizi balita.
d.
Tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan
status gizi balita.
Saran
Bagi Puskesmas Mencirim untuk mengadakan
penyuluhan bagi ibu balita mengenai peningkatan gizi
yang baik untuk balita.
1.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang Perilaku
dan motivasi ibu dalam pemenuhan gizi anak balita.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito.2010.Sistem Kesehatan.PT Rajagrafindo
Persana:Jakarta
Administrator.2009.Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang
Hilang
Arisman.2007.Gizi Dalam Daur Kehidupan.Cetakan
IIEGC.Jakarta
Balit-bankes Depkes RI.2008.Upaya Perbaikan Masalah
Gizi
Bambang.2011.Super Baby Directory. Flash Books:
Jogjakarta
Budiasih.2008.Hand Book Ibu Menyusui.PT Karya
Kita:Bandung
Hadi, Haman.2005.Beban Gnda Masalah Gizi dan
Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan
Kesehatan Nasional
http://www.Profil Depkes Sumatera Utara.com/2011
Krisnatuti,dkk.2000.Menyiapkan Makanan Pendamping
ASI.Puspa Swara:Jakarta
Mawaddah.2009.Pengertian Gizi Buruk.
Notoatmodjo.,2010. Promosi Kesehatan Teori dan
Aplikasi, Rineka Cipta, Jakarta
Pemko Medan.2012.Jumlah Balita Penderita Gizi Buruk
Prasetyono.2009.Buku Pintar ASI Eksklusif.Diva
Press:Jogjakarta
Profil Kesehatan Kabupaten Pakpak Bharat.2010
Ramadhan.2010.Bahaya Gizi Buruk.
Riksani.2012.Keajaiban ASI.Niaga Swadaya:Jakarta
Timur
Roesli,U.2008.Mengenal
ASI
Eksklusif.Pustaka
Bunda:Jakarta
Sholin.2009.Ancaman Generasi yang Hilang.
Soekatri,M.2011.Gizi
Seimbang
Dalam
Daur
Kehidupan.PT Gramedia Pustaka Utama:Jakarta
Suwandi MS.2009.Jurnal Kedokteran dan Kesehatan.
194
UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN
Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang
dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan.
Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan.
2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris, maksimal 200 kata.
3. Kata kunci (keywords) minimal dua kata, ditulis di bawah abstrak.
4. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan
berakhir dengan sub judul penutup atau simpulan.
5. Naskah diketik rapi dua spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggris, font: Times New Roman, size: 11,
format: A4 justify.
6. Panjang naskah minimal empat dan maksimal 18 halaman, termasuk rujukan.
7. Sistem rujukan adalah yang lazim digunakan dalam tulisan ilmiah, dengan konsistensinya.
8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote)
9. Tulisan dikirim dalam CD, disertai print out-nya satu eksemplar, atau dikirim lewat E-mail.
10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan.
11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak satu eksemplar bagi penulis.
12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko
pengembalian, atau diambil langsung dari redaktur.
195
Download