bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng
Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan
tektonik yang kompleks. Akibat penunjaman lempeng ini cukup mempengaruhi pola
geodinamika di area Pulau Jawa (Bock, dkk., 2003). Lempeng Samudera Hindia
bergerak ke arah utara-timur laut dengan kecepatan antara 6.0 s.d. 7.5 cm/tahun
(Hamilton, 1979). Pulau Jawa berada pada tutaman Lempeng Eurasia di utara dan
Lempeng Indo-Australia di selatan. Lempeng Eurasia bergerak ke tenggara sedangkan
Lempeng Indo-Australia yang berada di selatan bergerak ke utara dan menunjam ke
bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Tregoning, 1994). Gambar I.1
menunjukkan penunjaman lempeng di Pulau Jawa.
Lempeng Eurasia
Lempeng Indo-Australia
Gambar I. 1. Gambar penunjaman lempeng di Pulau Jawa
(Sumber : http://assets.decodedscience.com/)
Selain zona subduksi yang berada di selatan pulau jawa, Tektonik regional
wilayah Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman selatan Jawa. Akibat tunjaman tersebut
1
2
terbentuk struktur-struktur geologi regional di wilayah daratan Jawa. Struktur tersebut
dapat diamati di daratan Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, di antaranya
Sesar Banten, Sesar Cimandiri, Sesar Citarik, Sesar Baribis, Sesar Citanduy, Sesar
Bumiayu, Sesar Kebumen - Semarang - Jepara, Sesar Lasem, Sesar Rawapening, Sesar
Opak, Sesar Pacitan, Sesar Wonogiri, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jember (Soehaimi,
2008). Gambar I.2. menunjukkan pola dan struktur geologi di Pulau Jawa.
Gambar I. 2. Pola dan struktur geologi di Pulau Jawa (Bachri, 2008)
Selain itu terdapat dua buah sesar berukuran regional mengapit lekukan utara
Jawa Tengah. Kedua unsur struktur ini ditafsirkan sebagai sesar normal maupun sesar
naik. Kedua sesar mendatar ini masing-masing disebut sebagai Sesar Mendatar Dekstral
Pamanukan-Cilacap yang berada di barat di sekitar cirebon dan Sesar Mendatar Sinistral
Muria-Kebumen yang di berada di timur di sekitar semarang. Kedua sesar saling
berlawanan arah, membuka di lekukan utara Jawa Tengah dan saling mendekat dan
mungkin akhirnya berpotongan di bagian tengah lekukan selatan Jawa Tengah (Setyana,
dkk, 2002). Gambar I.3 menunjukkan pola dan struktur dua sesar mendatar yang mengapit
bagian tengah Pulau Jawa.
3
Gambar I. 3. Pola dan struktur dua sesar mendatar pengapit bagian tengah Pulau
Jawa (Setyana, 2002)`
Berdasarkan konfigurasi tektonik di Pulau Jawa, mengakibatkan terjadinya
gempa-gempa yang disebabkan oleh aktifitas tektonik tersebut. Kegempaan regional
wilayah Jawa dapat dibagi atas dua kelompok kegempaan, yakni kegempaan lajur
tunjaman selatan Jawa dan kegempaan lajur sesar aktif Jawa. Gempa bumi lajur
tunjaman Jawa dijumpai berkedalaman dangkal hingga dalam (0 – 400 km) Gempa
bumi di lajur tunjaman ini umumnya tercatat berkekuatan > 4 SR. Pada lajur sesar aktif
Jawa memperlihatkan mekanisme sesar naik, geser, dan normal (Soehaimi,2008).
Gambar I.4. menunjukkan seismotektonik di Pulau Jawa.
Pada gambar I.2 dan I.3 menunjukkan konfigurasi tektonik yang terdapat di
Pulau Jawa. Pulau Jawa bagian tengah menunjukkan adanya dua buah sesar aktif
mendatar Dekstral Pamanukan-Cilacap dan sesar mendatar Dekstral Pamanukan-Cilacap
serta adanya sesar naik yaitu perpanjangan sesar kendeng yang memanjang dari timur ke
barat yang terdapat di bagian utara Pulau Jawa. Sesar perpanjangan kendeng tersebut
masih memiliki informasi yang sangat minim mengenai pergerakan di sekitar wilayah
tersebut yaitu pada bagian utara Pulau jawa bagian tengah.
4
Gambar I. 4. Peta seismotektonik Jawa dan Bali. (Soehaimi, 2008)
Gambar I.4. menunjukkan bahwa gempa yang kuat dan dangkal berasal dari
zona subduksi yang berada di selatan pulau jawa. Namun pada daratan Pulau Jawa
juga terdapat pusat gempa namun tidak terlalu besar. Gempa pertama yang pernah
terjadi di Pulau Jawa selama periode 20 tahun ini adalah gempa yang terjadi pada tahun
1994 dengan magnitude 7.7, yang berpusat di Pacitan (Budhiawan, 2010). Gempa Pacitan
ini menyebabkan Tsunami yang cukup besar serta korban yang cukup banyak. Setelah itu
terjadi pula gempa Jogjakarta dan gempa Pangandaran pada tahun 2006 dengan pusat
gempa di wilayah selatan Pulau Jawa, kemudian terjadi pula Gempa di Tasikmalaya pada
tahun 2009. Peristiwa gempa tektonik yang terakhir terjadi adalah Gempa bumi Kebumen
yang
terjadi
pada
tanggal
25
Januari
2014
dengan
kekuatan
6.5
richter
(Laksmantyo,2014). Dengan kekuatan gempa yang besar tersebut tentu saja dapat
dirasakan sampai ke wilayah Pantai Utara Jawa.
Pola geodinamika lempeng bumi serta tektonik lokal yang dinamis seperti
terjadi di Pulau Jawa diukur secara geometris dengan menggunakan receiver GNSS
CORS yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) yang ditempatkan pada
5
suatu titik pengamatan geodinamika. Manfaat menggunakan jaringan CORS GNSS
antara lain mendapatkan data pengamatan yang lebih banyak dari pada stasiun
sementara karena beroperasi secara terus menerus selama 24 jam dan 7 hari seminggu
sehingga memiliki ketelitian koordinat lebih tinggi dari stasiun sementara
(Widjayanti,2010).
Geodinamika yang dominan di Pulau Jawa terdapat di daerah selatan Pulau Jawa
yaitu dekat dengan aktifitas Lempeng Eurasia dan Indo-Australia sedangkan pada bagian
utara Pulau Jawa terdapat sesar aktif yang dapat menimbulkan pergerakan permukaan
tanah seperti pada wilayah bagian utara Pulau Jawa bagian tengah. Namun penelitian dari
konfigurasi tektonik yang terdapat di utara Pulau Jawa bagian tengah tersebut masih
sedikit atau minim. Untuk itu, penelitian pada Pulau Jawa bagian utara menjadi suatu
kebutuhan yang penting untuk mengetahui pergerakan Pulau Jawa bagian utara serta
pengaruhnya terhadap zona subduksi yang berada di selatan Pulau Jawa.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian kondisi geografis serta konfigurasi tektonik yang berada di
Pulau Jawa yaitu terdapat lajur tujaman di selatan pulau jawa dan lajur sesar aktif pada
daratan Pulau Jawa khususnya sesar mendatar dan naik yang terdapat di utara Pulau
Jawa bagian tengah. Lajur-lajur tersebut mengakibatkan adanya gempa sebagai tanda
adanya aktifitas tektonik. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai pergerakan
Pulau Jawa dari kedua konfigurasi tektonik pulau tersebut. Berdasarkan perumusan
masalah tersebut, pertanyaan pada penelitian ini adalah :
1. Berapa besar kecepatan pergerakan Pulau Jawa bagian utara pada rentang
waktu tahun 2010 s.d. 2012 dan bagaimana pola pergerakan setiap stasiun
CORS?
2. Berapa besar kecepatan pergerakan Pulau Jawa pada bagian utara dan
selatan pada rentang waktu 2010 s.d. 2011 dan bagaimana pola pergerakan
setiap stasiun CORS?
3. Bagaimana perbandingan nilai kecepatan dan pola umum pergerakan Pulau
Jawa antara pengolahan stasiun CORS yang terdapat di utara Pulau Jawa
6
dengan pengolahan stasiun CORS yang tersebar di Pulau Jawa dari utara
sampai selatan?
4. Bagaimana perbandingan nilai kecepatan dan pola pergerakan Pulau Jawa
akibat pengaruh aktifitas subduksi yang terdapat di selatan pulau jawa
terhadap titik pengamatan yang berada di utara Pulau Jawa?
I.3. Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dengan cakupan sebagai berikut :
1.
Data yang digunakan adalah data pengamatan GNSS CORS Badan Informasi
Geospasial di Pulau Jawa pada tahun 2010, 2011, dan 2012.
2.
Pengolahan data menggunakan dua skenario pengolahan data yaitu pada skenario
pertama menggunakan enam stasiun CORS yang berada di utara Pulau Jawa
bagian tengah yang berfokus pada lajur sesar naik dari perpanjangan sesar
kendeng dan sesar mendatar dekstral dan sisnistral dan skenario kedua
menggunakan 19 stasiun CORS yang tersebar di Pulau Jawa dari utara hingga
selatan.
3.
Data RINEX stasiun IGS yang berjumlah 12 stasiun yang tersebar di sekitar
kepulauan Indonesia.
4.
Data Broadcast Ephemeris dan Precise Ephemeris yang merupakan informasi
mengenai orbit satelit sesuai DOY dari data pengamatan dan tahun pengamatan.
5.
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK yang
I.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1.
Menentukan kecepatan dan arah pergerakan enam stasiun CORS di bagian utara
Pulau Jawa BIG pada tujuh hari pengamatan pada rentang waktu antara tahun
2010 s.d. 2012.
2.
Menentukan kecepatan dan arah pergerakan 19 stasiun CORS BIG yang tersebar
di Pulau Jawa pada tujuh hari pengamatan pada rentang waktu antara tahun 2010
s.d. 2011.
7
3.
Membandingkan kecepatan dan pola umum pergerakan antara enam stasiun
CORS BIG di utara pulau jawa dengan 19 stasiun CORS BIG yang tersebar di
Pulau Jawa.
4.
Membandingkan kecepatan dan pola pergerakan antara stasiun CORS BIG yang
berada di utara pulau jawa dengan pengolahan stasiun CORS BIG yang
dipengaruhi oleh aktifitas subduksi yang berada di selatan Pulau Jawa.
I.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain dapat memberi
prediksi terhadap pergerakan akibat konfigurasi tektonik sesar aktif di utara Pulau
Jawa serta mengetahui pengaruh zona subduksi terhadap pergerakan di utara Pulau
Jawa.
I.6. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan geodinamika Pulau Jawa dilakukan oleh
Bock, dkk., (2003) Pada penelitian tersebut dianalisis mengenai pergerakan lempeng
di Kepulauan Indonesia menggunakan pengamatan data GPS selama 10 tahun dari
Scripps Orbit and Permanent Array Center (SOPAC) pada 150 lebih titik pengamatan
di seluruh Indonesia dari tahun 1991 s.d. 2001 untuk mengetahui pergerakan lempeng
Kepulauan Indonesia relatif dengan lempeng yang berada disekitarnya, antara lain
Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik dan sebagainya. Hasil
dari penelitian tersebut menyebutkan adanya pergerakan lempeng secara relatif
terhadap lempeng-lempeng di sekitarnya. Salah satunya Lempeng Indochina dan Asia
Tenggara pada Paparan Sunda bergerak relatif terhadap Lempeng Eurasia dengan
kecepatan 6 cm ± 3 mm per tahun kearah tenggara.
Abidin, dkk., (2009) melakukan penelitian terhadap deformasi antar seismik
tiga sesar aktif di wilayah Jawa Barat menggunakan metode survey GPS. Hasil yang
diperoleh dari penelitian tersebut bahwa daerah disekitar tiga sesar aktif tersebut
mengalami pergeseran horisontal sebesar 1 s.d. 2 cm/tahun. Abidin dkk. juga
melakukan penelitian sebelum dan sesudah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006
dimana setelah dianalisis, hasil yang diperoleh pada tahun pertama yaitu 2006 s.d.
8
2007 pergeseran terjadi sejauh 5 cm, dan pada tahun selanjutnya yaitu 2007 s.d. 2008
berkurang menjadi kurang dari 3 cm.
Budiawan (2010). Penelitian tersebut melakukan analisis deformasi akibat
pengaruh subduksi di Jawa Barat. Dalam penyelidikan pola deformasi tersebut,
dilakukan pengukuran GPS dengan teknik differensial menggunakan metode jaring.
Titik-titik tersebut tersebut diukur secarakontinyu dan episodik, kemudian data titik
hasil pengamatan GPS di bagian barat Pulau Jawa kemudian diolah dengan software
ilmiah Bernese. Selanjutnya dilakukan perhitungan vektor pergeseran dan nilai
parameter regangan sehingga tingkat rekatan pada zona subduksinya dapat
dimodelkan. Berdasarkan nilai pergeseran dari titik-titik pengamatan, bagian barat
Pulau Jawa berkisar 1 s.d. 6 cm/tahun dominan ke arah Tenggara. Berdasarkan hasil
pola regangannya, bagian Barat Jawa dominan mengalami regangan dan tingkat
rekatan yang terjadi adalah sebesar 0 %. Deformasi bagian Barat Pulau Jawa
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pergerakan lempeng sunda, pengaruh subduksi dan
pengaruh lokal dalam kasus ini dimungkinkan karena adanya aktivitas Sesar
Cimandiri.
Taftazani (2013) melakukan penelitian mengenai analisis geodinamika pulau
Jawa melalui pengamatan dan pengukuran pergerakan lima stasiun pasut dengan tiga
epok (2009, 2010, 2012). Penelitian tersebut menggunakan data pengamatan GNSS di
lima stasiun pasang surut yang tersebar di Pulau Jawa. Pengolahan diikatkan dengan
tujuh buah titik ikat global yang berada di sekitar kepulauan Indonesia. Data hasil
pengamatan lima stasiun pasut tersebut diolah menggunakan perangkat lunak
GAMIT/GLOBK. Hasil yang diperoleh yaitu perbedaan koordinat lima stasiun pasut
yang relatif kecil pada masing-masing tahun. Pola pergeseran stasiun pasut pada
rentang tahun 2009 s.d. 2012 memiliki kecenderungan bergeser ke arah tenggara
dengan kecepatan berkisar antara 0,9 s.d. 65,9 mm/tahun.
Laksmantyo (2014) melakukan penelitian pola pergerakan dan regangan di
Jawa Tengah melalui pengamatan stasiun pengamatan GPS dengan proses pengolahan
data menggunakan software Bernese 5.0. Metode pengamatan GPS yang digunakan
adalah metode pengamatan diferensial.
Dari hasil pengolahan data, didapatkan
kecepatan vektor pergeseran titik-titik pengamatan GPS kontinu memiliki arah
pergerakan bergerak ke arah tenggara secara keseluruhan, dengan kecepatan
9
pergeseran tertinggi yaitu 0,034607 m/tahun. Kemudian pola regangan yang diperoleh
dari kecepatan pergeseran di wilayah Jawa Tengah memiliki sifat dominan kompresi.
Hal tersebut mengindikasikan adanya zona subduksi di wilayah penelitian.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, adanya aktifitas
kegempaan erat kaitannya dengan aktifitas lempeng-lempeng yang mengelilingi
kepulauan indonesia khususnya Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan pengamatan
GNSS terhadap stasiun CORS yang kontinyu menggunakan dua skenario pengolahan
data dan diikatkan terhadap titik ikat global dan diolah menggunakan perangkat lunak
GAMIT/GLOBK 10.50.
I.7. Landasan Teori
I.7.1. Geodinamika
Pengemuka Teori Tektonik Lempeng pertama kali adalah dua orang ahli
Geofisika dari Inggris, Dan McKenzie dan Robert L. Parker. Mereka mengemukakan
teori ini pada tahun 1967 setelah menyempurnakan teori-teori yang ditemuknan ahliahli sebelumnya kemudian disempurnakan oleh J. Tuzo Wilson. Teori ini
menyempurnakan teori-teori sebelumnya menjadi satu kesatuan konsep sehingga bisa
lebih diterima oleh para ahli geologi.
Berdasarkan teori ini, kulit bumi atau litosfer terdiri atas beberapa lempeng
tektonik yang berada di atas lapisan astenosfer, Lempeng-lempeng tektonik
pembentuk kulit bumi selalu bergerak karena pengaruh arus konveksi yang terjadi
pada lapisan astenosfer yang berada di bawah lempeng tektonik kulit bumi. Litosfer
sebagai lapisan paling luar dari badan bumi, bagaikan kulit ari pada kulit manusia dan
merupakan lapisan kerak bumi yang tipis.
Lempeng-lempeng selalu bergerak dan mendesak satu sama lain. Lempeng
tektonik bagian atas disebut lempeng samudera, sedangkan lempeng tektonik pada
bagian atas terdapat masa kontinen disebut lempeng benua. Kedua lempeng ini
memiliki sifat yang berbeda. Apabila dua lempeng yang berbeda sifat tersebut saling
mendekat, umumnya lempeng samudera akan ditekuk ke bawah lempeng benua
hingga jauh ke dalam lapisan astenosfer. Pergerakan lempeng tektonik dibedakan
10
menjadi tiga macam, yaitu pergerakan lempeng yang saling mendekat, saling menjauh,
dan saling melewati.
Dengan adanya aktifitas kerak bumi tersebut, Daratan yang ditempati oleh
manusia mengalami pergerakan yang mengakibatkan adanya perubahan nilai
koordinat setiap posisi di Bumi.
I.7.2. Global Navigation Satellite System (GNSS)
GNSS adalah singkatan dari Global Navigation Satellite System. GNSS
tersebut merupakan teknologi yang digunakan untuk menentukan posisi atau lokasi
(lintang, bujut, dan ketinggian) serta waktu dalam satuan ilmiah di bumi. Satelit akan
mentransmisikan sinyal radio dengan frekuensi tinggi yang berisi data waktu dan
posisi yang dapat diambil oleh penerima yang memungkinkan pengguna untuk
mengetahui lokasi tepat mereka dimanapun di permukaan bumi. GNSS merupakan
perkembangan dari teknologi GPS. GNSS merupakan gabungan dari beberapa satelit
pengamatan posisi seperti GPS milik Amerika Serikat, GLONASS milik Eropa, dan
COMPASS milik China (Panuntun, 2012). Masing-masing satelit tersebut memiliki tiga
segmen yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan adanya teknologi GNSS ini,
pengukuran posisi suatu titik di permukaan bumi menjadi lebih teliti karena jumlah satelit
yang terekam oleh receiver lebih banyak. Namun, dalam pengolahan data pengamatan
dibutuhkan suatu transformasi datum untuk mengintegrasikan hasil pengamatan dari
beberapa satelit. Teknologi GPS ini terdiri atas tiga segmen, yaitu segmen kontrol, segmen
angkasa, dan segmen pengguna.
Gambar I. 5. Segmen dalam teknologi GNSS (El-Rabbany, 2002)
11
Gambar I.5 menunjukkan tiga segmen yang ada dalam teknologi GNSS. Segmen
satelit terdiri atas satelit-satelit GNSS yang beredar pada orbitnya masing-masing. Orbit
satelit GNSS memiliki inklinasi 550 untuk satelit GPS dan 64,80 untuk satelit GLONASS.
Segmen kontrol terdiri atas stasiun-stasiun pemantau orbit satelit GPS. Segmen
kontrol ini menentukan informasi broadcast ephemeris yang digunakan dalam
perhitungan koordinat. Secara spesifik segmen kontrol terdiri atas Ground Control
Stations (GCS), Monitor Stations (MS), Prelaunch Compatibility Stations (PCS), dan
Master Control Stations (MCS) (Abidin, 1995).
Segmen pengguna atau dalam Gambar I.5 dikenal dengan user segment
merupakan pihak pengguna dari teknologi GPS. Dalam segmen pengguna, diperlukan
suatu receiver GPS untuk menangkap sinyal satelit GPS, sehingga didapatkan posisi dari
segmen pengguna. Receiver GPS ini juga dilengkapi dengan jam untuk mengukur waktu
tempuh sinyal GPS, namun jam receiver ini tidak lebih teliti dari jam satelit.
Sampai saat ini, terdapat 4 macam GNSS yang telah dan akan beroperasi secara
penuh pada beberapa tahun kedepan, yaitu Global Positioning System (GPS) milik
Amerika, GLONASS milik Russia, KOMPAS milik China, dan GALILEO milik Uni
Eropa.
I.7.3. Penentuan posisi menggunakan GNSS
Penentuan posisi dengan GNSS pada dasarnya dilakukan dengan prinsip
pengikatan ke belakang yaitu dengan mengukur jarak dari beberapa satelit yang
diketahui posisinya sehingga posisi pengamat dapat dihitung. Pengamatan dengan
teknologi GPS akan menghasilkan koordinat dalam sistem koordinat geodetik (φ, λ,
h), koordinat kartesi tiga dimensi (X,Y,Z) dan parameter waktu. Semakin banyak
satelit yang dapat diamati maka hasil pengukuran akan memiliki akurasi yang semakin
tinggi. Penetuan posisi dengan teknologi GPS dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu metode absolut dan metode relatif. (Sunantyo, 1999)
I.7.3.1. Penentuan posisi secara absolut (Absolute Positioning). Prinsip dasar
penentuan posisi dengan GNSS adalah rekseksi (pengikatan ke belekang) dengan
jarak, melalui pengamatan simultan ke minimal 4 satelit yang koordinatnya diketahui
12
untuk mendapatkan nilai 3 parameter posisi dan waktu . Data yang dipakai adalah
pseudorange, dengan demikian ketelitian yang dihasilkan tidak begitu tinggi
(Sunantyo, 1999). Penentuan posisi absolut hanya memakai satu receiver, sehingga
secara matematis penentuan posisi 3 dimensi dengan metode persamaan jarak
pseudorange dapat digunakan rumus :
π‘ƒπ‘˜1 (𝑑) = √(𝑒1 − π‘’π‘˜ )2 + (𝑣 1 − π‘£π‘˜ )2 + (𝑀 1 − π‘€π‘˜ )2 - 𝑐. π‘‘π‘‘π‘˜ ............................. (I.1)
π‘ƒπ‘˜2 (𝑑) = √(𝑒2 − π‘’π‘˜ )2 + (𝑣 2 − π‘£π‘˜ )2 + (𝑀 2 − π‘€π‘˜ )2 - 𝑐. π‘‘π‘‘π‘˜ ............................ (I.2)
π‘ƒπ‘˜3 (𝑑) = √(𝑒3 − π‘’π‘˜ )2 + (𝑣 3 − π‘£π‘˜ )2 + (𝑀 3 − π‘€π‘˜ )2 - 𝑐. π‘‘π‘‘π‘˜ ............................ (I.3)
π‘ƒπ‘˜4 (𝑑) = √(𝑒4 − π‘’π‘˜ )2 + (𝑣 4 − π‘£π‘˜ )2 + (𝑀 4 − π‘€π‘˜ )2 - 𝑐. π‘‘π‘‘π‘˜ ............................ (I.4)
Jika;
𝑐
: kecepatan gelombang di dalam medium hampa
𝑑𝑑
: beda waktu antara gelombang satelit GNSS saat dipancarkan dan saat
diterima
𝑖
(𝑒, 𝑣, 𝑀) : posisi koordinat satelit GNSS (earth fix coordinates) dalam sistem kartesi
3D
(u,v,w)k
: posisi koordinat receiver dalam sistem koordinat kartesi 3D
Pi
π‘ƒπ‘˜π‘–
: jarak antara satelit GNSS ke receiver
Adapun penentuan rumus untuk mendapatkan jarak melalui data fase adalah
sebagai berikut :
𝐿𝑖(𝑑) = 𝜌 + π‘‘πœŒ + π‘‘π‘‘π‘Ÿπ‘œπ‘ – π‘‘π‘–π‘œπ‘›π‘– + (𝑑𝑑 – 𝐷𝑑) + 𝑀𝐢𝑖 + πœ†π‘–. 𝑁𝑖 + π‘ŸπΆπ‘– ........... (I.5)
Jika :
Li
= λi.Ο•i : adalah jarak fase (carrier range) pada frekuensi fi (m), (I = 1,2),
ρ
= jarak geometris antara satelit GNSS dengan receiver
dρ
= kesalahan jarak karena efek ephemeris (orbit)
dtrop = bias karena efek refraksi troposfer (m)
dioni
= bias karena efek refraksi ionosfer (m)
λi.
= panjang gelombang dari sinyal (m)
13
dt, dT = kesalahan dan offset antara jam receiver dan jam satelit (m)
MCi
= efek dari multipath pada hasil pengamatan Li
Ni
= ambigiutas fase dari pengamatan fase seinyal – sinyal Li (dalam n
gelombang)
rCi
= noise hasil pengamatan Li
I.7.2.2. Penentuan posisi secara differensial (Differential Positioning). Penentuan
posisi differensial atau penentuan posisi secara relatif adalah penentuan vektor jarak
antara dua stasiun pengamatan, yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Posisi
suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya.
Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya 2 receiver GNSS, titik-titik stasiunnya
statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik) , dan pengolahan data umunya
dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi
(Abidin, 2003). Pada penentuan posisi ini, dilakukan pengurangan data yang diamati
oleh dua receiver yang mengamat satelit secara simultan (waktu pengamatan sama).
Pengurangan (differencing) ini bisa mereduksi atau mengeliminasi efek kesalahan dan
bias. Kesalahan jam receiver dan jam satelit, dapat dihilangkan, sedangkan kesalahan
dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat direduksi, sedangkan efek multipath
tidak dapat direduksi. Differencing ini bisa dalam bentuk single difference, double
difference, dan triple difference, masing-masing kombinasi linear differencing tersebut
saling berbeda dan berbeda penggunaannya pula. Pada akhirnya, differencing ini akan
meningkatkan ketelitian posisi yang didapat dari kondisi penentuan posisi absolut.
Penentuan posisi secara differensial ini bias memakai dua metode, yakni dengan data
pseudorange dan data carrier phase. Berikut rumus untuk differencing dengan
memakai data pseudorange , dengan asumsi receiver GNSS i dan j mengamat
pseudorange L1 ke m satelit secara simultan. Akan tersedia pseudorange berikut : π‘ƒπ‘˜
ij,1
, dimana k = 1,2,..,m. Linearisasi persamaan pengamatan pseudorange m single
difference menjadi (Sunantyo, 1999) :
𝑇
π‘˜
(𝑑1 ) = −[π‘’π‘—π‘˜ (𝑑1 )] βˆ†π‘Ÿπ‘–π‘— (𝑑1 ) + π‘βˆ†π‘‘π‘‘π‘–π‘— (𝑑1 ) ................................................... (I.6)
βˆ†π‘ƒπ‘–π‘—,1
Jika,
14
π‘˜
(𝑑1 )
𝑃𝑖𝑗,1
: hasil single-difference tunggal pengamatan pseudorange
π‘Ÿπ‘–π‘—
: vektor jarak basis
Sedangkan untuk differencing dengan data carrier phase, dimisalkan titik A sebagai
titik referensi dan B adalah titik yang tidak diketahui koordinatnya. A dan B diukur
secara simultan dan menghasilkan baseline bAB beserta komponen vektornya. Dengan
menggunakan vektor-vektor posisi XA , XB yang berhubungan.Rumusnya :
𝑋𝐡 = 𝑋𝐴 + 𝑏𝐴𝐡
Dapat diformulasikan dan komponen vektor baseline bAB menjadi :
βˆ†π‘‹π΄π΅
𝑋𝐡 − 𝑋𝐴
𝑏𝐴𝐡 = [ π‘Œπ΅ − π‘Œπ΄ ] = [ βˆ†π‘Œπ΄π΅ ] ................................................................................. (I.7)
𝑍𝐡 − 𝑍𝐴
βˆ†π‘π΄π΅
Adapun gambaran penentuan posisi secara differensial diatas topografi dan diatas
model bumi ellipsoid ditunjukkan pada gambar I.1. berikut ini :
Gambar I. 6. Penentuan posisi secara differensial (Prasidya, 2014)
Jika,
(SV)i
= satellite vehicle ke-i
Titik A, B, dan C
= posisi receiver di permukaan bumi
(φ, λ)
= lintang dan bujur geodetis
N
= jari – jari kelengkungan vertikal utama
15
h
= tinggi diatas ellipsoid datum WGS 1984
O
= origin yang berhimpit dengan pusat massa bumi
I.7.4. Bias dan kesalahan dalam penentuan posisi
1.7.4.1. Bias. Bias didefinisikan sebagai efek-efek pada pengukuran yang
menyebabkan jarak sesungguhnya berbeda dengan jarak terukur dengan jumlah yang
sistematis dan harus dimasukkan dalam model pengukuran pada pengolahan data
(Sunantyo,1999) Bias dapat bergantung pada beberapa faktor yaitu bergantung pada
satelit, receiver, dan receiver-satelit (Sunantyo,1999).
Bias yang bergantung pada satelit yaitu adanya ketidakpastian efemeris, dan
adanya ketidakpastian jam satelit. Bias yang bergantung pada receiver yaitu
ketidakpastian pada jam receiver, dan koordinat stasiun. Adapula kesalahan yang
disebabkan pada receiver-satelit yaitu bias ionosfer, bias troposfer, dan ambiguitas
fase pembawa (Sunantyo,1999).
1.7.4.2. Kesalahan. Kesalahan dalam penentuan posisi dengan GPS dapat disebabkan
oleh beberapa hal yaitu Bias yang tidak termodelkan, Cycle Slips, Mulitipath,
Pergerakan pusat fase antena, dan Kesalahan acak pengamatan (Sunantyo,2000).
Dalam pengolahan data GPS, bias dan kesalahan harus diperhitungkan untuk
mendapatkan hhasil yang kualitasnya baik. Beberapa dari bias dan kesalahan tersebut
dapat dihilangkan dengan teknik dan pemodelan tertentu, namun sebagian lagi masih
sulit untuk dimodelkan (Sunantyo,1999).
I.7.5. Continuously Operating Reference Station (CORS)
CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi
berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik yang pada
setiap titiknya dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelitsatelit GNSS yang beroperasi secara penuh dan kontinyu selama 24 jam perhari, 7 hari
per minggu dengan mengumpukan, merekam, mengirim data, dan memungkinkan
16
para pengguna (users) memanfaatkan data dalam penentuan posisi, baik secara post
processing maupun secara real time (Badan Pertanahan Nasional, 2011).
Gambar I. 7. Konsep pada sistem CORS (Sunantyo, 2009)
Infrastruktur dari GNSS-CORS terdiri dari dua komponen (Sunantyo 2009)
yaitu master station dan rover station. Master station sebagai titik referensi dari GNSS
CORS yang bertugas untuk merekam data dari stasiun server, download data dan
koreksi untuk semua pengguna. Rover station sebagai pengguna dari GNSS CORS.
1.7.6. International Terrestrial Reference Frame (ITRF)
International Terrestrial Reference Frame yang selanjutnya disingkat ITRF
adalah kerangka referensi geospasial global sebagai realisasi dari ITRS sebagaimana
didefinisikan oleh International Earth Rotation and Reference Systems Service. ITRS
direalisasikan dengan koordinat dan kecepatan dari sejumlah titik yang tersebar di
seluruh permukaan bumi, dengan menggunakan metode-metode pengamatan Very
Long Baseline Interferometry (VLBI), Lunar Laser Ranging (LLR), Global
Positioning System (GPS), Satelite Laser Ranging (SLR), dan DORIS. ITRF
mempunyai origin di pusat massa bumi (Fakhrurrazi, 2011).
1.7.7. Internasional GNSS Service (IGS)
International GNSS Service (IGS) adalah suatu organisasi internasional yang
merupakan kumpulan dari berbagai agensi dan badan multinasional di seluruh dunia.
IGS mengumpulkan sumber dan data permanen dari stasiun GNSS dan memelihara
17
sistem GNSS ersebut. IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG).
Pada tahun 1993, dan secara formal beroperasi mulai tahun 1994. Setiap negara
berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun IGS. Saat ini IGS mempunyai
sekitar 200 stasiun penjejak satelit yang tersebar di seluruh dunia yang mengamati
satelit-satelit GNSS secara kontinyu. Data 26 pengamatan stasiun IGS diolah dan
dikelola oleh 16 Operational Data Centers, 5 Regional Data Centers dan 3 Global
Data Centers. Data ini selanjutnya diolah oleh 7 Analysis Centers yang kemudian
hasilnya disebarluaskan secara global. IGS juga menerbitkan spesifikasi dan standar
internasional dari data GNSS. (Aditya, 2014)
I.7.8. Perangkat Lunak GAMIT/GLOBK
1.7.8.1. GAMIT. GAMIT merupakan perangkat lunak ilmiah fully automatic
processing untuk menganalisis data GPS yang komprehensif dan dikembangkan oleh
(Massachusetts Institute Of Technology). Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk
melakukan perhitungan posisi tiga dimensi dan satelit orbit. IGS (International GPS
service) berdiri pada tahun 1992. Perkembangan IGS memungkinkan adanya
perkembangan pengolahan data GPS secara otomatis. Dalam proses perhitungan posisi
tiga dimensi, GAMIT melibatkan data pengamatan stasiun-stasiun kontinyu diseluruh
dunia termasuk IGS.
1.7.8.2. GLOBK. GLOBK merupakan suatu paket program
yang dapat
mengkombinasikan data survei teristris dan ekstrateristris. File input pada pengolahan
GLOBK adalah matriks kovarians dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi,
parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring,dkk.,2006). File
yang digunakan untuk pengolahan GLOBK adalah h-file yang merupakan hasil
pengolahan GAMIT. GLOBK dapat mengkombinasikan hasil pengolahan data
pengamatan harian untuk menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari banyak hari
pengamatan , mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk
menghasilkan satu koordinat stasiun, dan melakukan estimasi koordinat stasiun dari
pengamatan individual yang digunakan untuk menghasilkan time series koordinat.
18
I.7.9. Perataan Jaring pada GAMIT/GLOBK
I.7.9.1. Perataan jaring pada GAMIT. Perangkat lunak GAMIT menggunakan metode
double difference dan prinsip metode parameter berbobot dalam perhitungan data
pseudorange dan carrier phase. Persamaan merupakan persamaan observasi dengan
menggunakan data fase. Sebagai contoh, apabila ada dua receiver yang berada pada
dua titik stasiun A dan B, dengan vektor koordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai
(XA, YA, ZA) dan (XB, YB, ZB). Untuk persamaan double difference, pengamatan
dilakukan terhadap dua satelit yaitu j dan k, menghasilkan persamaan umum seperti
pada persamaan (I.8) :
ρjA = √[𝑋𝑗 (𝑑) − 𝑋𝐴 ]2 + [π‘Œπ‘— (𝑑) − π‘Œπ΄ ]2 + [𝑍𝑗 (𝑑) − 𝑍𝐴 ]2 .................................... (I.8)
Jika,
ρjA
= Jarak antara sateit i ke stasiun A
i
= notasi untuk satelit ke-n
A
= notasi untuk stasiun ke-m
Koordinat stasiun A didefinisikan dengan koordinat pendekatan yaitu 𝑋𝐴0 ,
π‘Œπ΄0 , 𝑍𝐴0 Sehingga diperoleh nilai koordinat stasiun A (𝑋𝐴 , π‘Œπ΄ , 𝑍𝐴 ) menggunakan rumus
(I.9), (I.10), dan (I.11) sebagai berikut :
𝑋𝐴 = 𝑋𝐴0 + 𝑑𝑋𝐴 . ..................................................................................................... (I.9)
π‘Œπ΄ = π‘Œπ΄0 + π‘‘π‘Œπ΄ ........................................................................................................(I.10)
𝑍𝐴 = 𝑍𝐴0 + 𝑑𝑍𝐴 ...................................................................................................... (I.11)
Jika,
𝑋𝐴 , π‘Œπ΄ , 𝑍𝐴
= Koordinat stasiun A
𝑋𝐴0 , π‘Œπ΄0 , 𝑍𝐴0
= Koordinat Pendekatan A
𝑑𝑋𝐴 , π‘‘π‘Œπ΄ , 𝑑𝑍𝐴 = koreksi posisi stasiun A dari koordinat pendekatan.
Setelah mendapatkan nilai koordinat stasiun A, selanjutnya dilakukan proses
linearisasi persamaan (I.12). Hasilnya sebagai berikut :
19
ρjA (t) = πœŒπ΄π‘—0 + 𝑐π‘₯ 𝑗 (𝑑). 𝑑𝑋𝐴 + 𝑐𝑦 𝑗 (𝑑). π‘‘π‘Œπ΄ + 𝑐𝑧 𝑗 (𝑑). 𝑑𝑍𝐴 ....................................(I.12)
Jika,
i
= notasi untuk satelit ke-n
i0
= notasi nilai pendekatan jarak antara satelit ke-n dengan stasiun ke-m
A
= notasi untuk stasiun ke-m
Dengan melakukan substitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan matriks residu,
menghasilkan penyelesaian double difference menjadi persamaan (I.13):
ο€ 
LAB jk (t) rCAB jk (t) ρAB jk (t) + cx jk (t).𝑑𝑋𝐴 + cy jk (t).π‘‘π‘Œπ΄ + cz jk (t).𝑑𝑍
- λ NAB jk .......................................................................................................... (I.13)
Jika,
LAB jk = Besaran double difference
C
ρ
= Matriks
= merupakan jarak antara satelit ke titik pengamatan dan λ merupakan panjang
gelombang sinyal pembawa.
Selanjutnya penerapan metode parameter berbobot sehingga menjadi persamaan
(I.14):
L’a = Xa ................................................................................................................ (I.14)
Dengan matriks bobot seperti tertera pada persamaan (I.15) dan persamaan matriks residu
pada (I.16) berikut ini :
........................................................................................................ (I.15)
V = A X + L .......................................................................................................... (I.16)
20
Dalam hal ini matriks A, X dan L dapat dilihat dalam persamaan (I.17), (I.18), (I,19):
............................................................ (I.17)
............................................................................. (I.18)
...................................................................................................... (I.19)
Maka hasil persamaan observasi (I.29) yang telah dilinierisasi menjadi persamaan
(I.20):
.................................................................................................. (I.20)
Jika,
L
= matriks observasi
A
= matriks desain
X
= matriks parameter
N
= ambiguitas fase
P
= Matriks Bobot
L’
= Matriks Observasi terkoreksi
I.7.9.2. Perataan jaring pada GLOBK. Proses hitungan pada GLOBK merupakan
proses Kalman Filter untuk mengkombinasikan solusi-solusi hasil pengolahan data
pengamatan. Ada tiga program utama dalam perangkat lunak GLOBK, yaitu GLOBK,
GLRED, dan GLORG. GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk
mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT dan untuk mendapatkan estimasi
posisi rata-rata titik pengamatan. GLORG melakukan pengikatan titik-titik
pengamatan terhadap titik-titik referensi yang diberikan. Sedangkan GLRED
21
melakukan perhitungan posisi pada masing-masing hari. Sehingga ketelitian posisi
yang diperoleh dapat dibandingkan per waktu tertentu (Herring, 2006).
1.7.10. Uji Signifikansi Beda Dua Parameter
Uji signifikansi beda dua parameter dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan
dua parameter dengan menggunakan distribusi student pada tingkat kepercayaan dan
derajat kebebasan tertentu. Pada penelitian ini, uji signifikansi beda dua parameter
digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan koordinat dan kecepatan pergerakan
enam stasiun CORS pada hari pengolahan pertama dengan skenario kedua. Kriteria
pengujian yang digunakan sesuai dengan persamaan I.21. dan persamaan I.22. (Widjajanti,
2010).
t=
| π‘₯1 − π‘₯2 |
2 + 𝜎2
√𝜎π‘₯1
π‘₯2
t ≤ t (𝛼/2,df)
.......................................................................................................... (I.21)
............................................................................................................. (I.22)
Jika,
t
= nilai t-hitungan
π‘₯1
= komponen koordinat pertama stasiun pengamatan
π‘₯2
= komponen koordinat kedua stasiun pengamatan
2
𝜎π‘₯1
= simpangan baku komponen koordinat pertama stasiun pengamatan
2
𝜎π‘₯2
= simpangan baku komponen koordinat kedua stasiun pengamatan
Hipotesis nol (Ho) dinyatakan ditolak apabila kriteria tidak sesuai dengan
persamaan I.14. Penolakan Ho ini mengindikasikan bahwa dua parameter berbeda secara
signifikan. Sedangkan penerimaan Ho mengindikasikan bahwa dua parameter tidak
berbeda signifikan secara statistik.
I.8. Hipotesis
Hasil dari penelitian geodinamika Pulau Jawa pada tahun 1991 s.d 2001
menggunakan data pengamatan GPS, terdapat pergerakan ke arah tenggara dengan
kecepatan 6 cm ± 3mm/tahun (Bock, dkk., 2003). Pada tahun 2009 s.d. 2012 dilakukan
penelitian menggunakan data pengamatan GPS kontinyu yang berada di utara Pulau
22
Jawa dan didapatkan pergeseran tertinggi sebesar 0,034607 m/tahun (Laksmantyo,
2014).
Penelitian ini menggunakan data pengamatan GNSS CORS pada pengamatan
tahun 2010, 2011, dan 2012. Data GNSS diolah dengan GAMIT/GLOBK dengan
pengikatan pada ITRF 2008 dan titik ikat dua belas stasiun IGS untuk mendapatkan
pola variasi pergerakan dan pola pergeseran stasiun CORS. Pola pergerakan dan
pergeseran yang didapatkan pada pengolahan skenario pertama yang melibatkan
stasiun CORS di utara Pulau Jawa dan pada pengolahan skenario kedua yang
melibatkan stasiun CORS yang tersebar dari utara ke selatan diduga memiliki
kecepatan berkisar antara 1 s.d. 7 cm/tahun dengan arah cenderung ke tenggara karena
pengaruh penunjaman lempeng Hindia-Australia di bawah lempeng Eurasia yang
terdapat di selatan Pulau Jawa.
Download