Sedikit Soal Skenografi dan Profesi Skenografer Gunawan

advertisement
Sedikit Soal Skenografi dan Profesi Skenografer
Gunawan Maryanto
(Sutradara dan Penulis Teater Garasi, Jogjakarta)
“Skenografi – penciptaan ruang pertunjukan – tidak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah karya. Sungguh pun
seorang Skenografer telah belajar seni murni dan memiliki insting seorang pelukis atau pematung. Skenografi
lebih dari sekadar melukis latar belakang untuk penampil, sebagaimana sering digunakan dalam tarian.
Skenogradi selalu belum komplit, sampai si penampil melangkah untuk bermain dengan ruang dan mengikatkan
diri dengan penonton.” – Pamela Howard
Istilah Skenografi mulai umum digunakan dalam praktek kerja teater dan institusi pendidikan teaternya. Dari
sekadar menghiasai ruangan (sebagaimana banyak kita lihat di panggung-panggung kesenian tradisi), hingga
menjadi bagian yang sejajar dengan elemen-elemen pertunjukan yang lain, bahkan melampauinya. Dalam genre
teater visual misalnya. Definisi tentangnya pun terus berkembang dan menjadi perdebatan tak henti-henti. Bukan
lantaran tak bisa didefinisikan, tapi karena kekayaan dan keluasan spektrumnya, juga karena usianya yang masih
muda. Hal ini juga menunjukkan, betapa Skenografi telah menduduki posisi yang cukup penting dewasa ini.
PENDEKATAN BARU SENI PERTUNJUKAN
Secara sederhana, Skenografi adalah seni meletakkan sesuatu berdasar perspektif. Istilah Skenografi sendiri
sudah umum digunakan dalam buku-buku arsitektur pada abad 16, tapi kemudian tumbuh menjadi disiplin ilmu
tersendiri. Selanjutnya berkembang di ranah seni pertunjukan. Menurut Pamela Howard, sutradara dan
skenografer dari London, pengertian Skenografi telah berkembang menjadi “mencipta makna melalui
perspektif.”
Sejumlah pengertian lain tentang Skenografi juga terus bermunculan, dari para Skenografer maupun pelaku
teater lain. Agar Anda dapat melihat sejauh mana perkembangannya hari-hari ini, berikut saya kutip beberapa
diantaranya :
Grafis untuk dilihat penonton teater. - - Ramzi Mustapha, Egypt
Terjemahan ruang atas sebuah adegan. - - Jose Carlos Serroni, Brazil
Perwujudan fisik dari gagasan kolaboratif. - - Michael Levine, Canada
Adaptasi dari ruang yang telah ditentukan (teks) untuk sebuah peristiwa teater. - - Jerome Maeckelbergh,
Belgium
Penyimpangan dari visual keseharian, dengan imajinasi. - - Stravros Antonopoulos, Cyprus
Permainan bersama antara ruang, waktu, pergerakan dan lampu di panggung. - - Josef Svoboda, Chezh Republic
Ini adalah permainan antara waktu, ruang dan perasaan di dalam lingkungan yang telah ditentukan. - - Vladimir
Anson, Estonia/Russia
Penyelesaian yang dramatik atas ruang. Jika arsitektur adalah pahatan tiga dimensi yang besar atas situasi di luar
ruang, maka skenografi bagi saya sedikit kebalikannya, memahat ke dalam (kadang-kadang di luar) ruang-ruang
yang padat. - - Jaroslav Maliana, Czech Republic
Bukan sebuah entitas. Ia seperti kehidupan yang tiba-tiba datang ketika energi tubuh yang dinamik menembus
ruang. - - Luciano Damiani, Italy
Karya seniman yang tidak bisa diekspresikan dalam kata. - - Ezio Frigerio, Italy
Kehidupan ruang dan visi kemanusiaan. - - Kazue Haetano, Japan
Arah visual panggung. - - Mitsuri Ishii, Japan
Demikianlah dalam beberapa decade terakhir, pengertian Skenografi telah menjadi demikian luas, dan diterima
berbagai kalangan sebagai satu pendekatan baru seni pertunjukan. Terutama oleh generasi pertunjukan yang
tumbuh dan menjadi dewasa bersama perdebatan-perdebatan dialektis mengenai Skenografi. Bagi beberapa
kalangan, pendapat-pendapat ini telah menjadi semacam tolak ukur yang mengindikasikan ‘kekinian’ mereka.
SPESIKISASI YANG BERNILAI JUAL
Skenografi sebagai metode atau konsep, dapat diadaptasi dengan nyaman di berbagai negara yang tidak terbiasa
dengan pola perancang tunggal, yang memiliki waktu produksi teater lebih panjang, dan biaya produksi disubsidi
oelh negara. Perancang tunggal adalah spesialis yang bertanggung jawab atas seluruh elemen panggung. Dengan
begitu, Skenografer dan timnya bisa melakukan riset atau percobaan-percobaan desain, dan menyusun seluruh
elemen panggung tersebut dalam satu kesatuan.
Hal ini berbeda dengan pola produksi teater komersil di Amerika, di mana waktu produksi sangat pendek, biaya
produksi sangat ketat, dan dituntut untuk balik modal secepatnya. Padahal di teater regional, penonton yang
adalah sumber pendapatan, amat terbatas. Karena itu, produksi baru harus segera dilakukan untuk memancing
mereka datang kembali. Perancang Visual* atau Skenografer pada kondisi ini didorong untuk memastikan,
bahwa rancangannya memilki “spesifikasi” (ciri khas, -red) yang sekaligus adalah nilai jual, dalam waktu yang
relatif pendek. Di saat yang sama, para Perancang Visual harus bisa memastikan, bahwa setiap area perancangan
benar-benar mendapat perhatian penuh.
Implikasinya, hanya para Perancang Visual yang bekerja dengan suatu pendekatan yang holistik (yang
menyeluruh) yang akan sukses bekerja dalam waktu yang singkat (dalam pendekatan Skenografi), tanpa harus
kehilangan kesempatan untuk tetap bisa berkolaborasi dengan seluruh elemen panggung yang lain untuk
menciptakan suatu rancangan akhir yang utuh dan menyeluruh.
MENJAGA KEUTUHAN VISUAL
Lantas bagaimana dengan Indonesia, dimana kedua situasi yang tersebut di atas tidak terjadi? Negara tidak
mensubsidi dan pasar pertunjukan nyaris tidak ada. Sejauh ini, hanya ada nama Roedjito (almarhum) yang dikenal
sebagai Skenografer profesional. Profesional dalam pengertian secara intens dan serius menekuni bidang
Skenografi. Cukup banyak kelompok-kelompok teater Indonesia yang terkemuka pada jamannya, yang
menikmati ruang-ruang hasil karyanya, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Ketjil, Teater Mandiri, hingga
Teater SAE. Karya-karya ruang Roedjito dikenal memiliki cirri yang sangat khas: sederhana dan simbolik. Tentu
saja hal ini berkaitan dengan kondisi teater di Indonesia – yang tidak memiliki dukungan negara dan tidak
memiliki pasar/industri pertunjukan. Banyak pengamat menilai Roedjito sangat cerdas memanfaatkan
(keterbatasan) situasi. Putu Wijaya, sutradara Teater Mandiri, dalam salah satu tulisannya untuk mengenang
Roedjito mengatakan :
“Semangat ‘bertolak dari yang ada’ yang saya kembangkan di dalam kelompok saya, sedikit banyk terinspirasi
dari apa yang dilakukan oleh Roedjito. Bayangkan, dari sampah layar yang warnanya menjadi belel tak karuan
akibat hujan, Roedjito berhasil mengembangkannya menjadi bidang-bidang di dalam set yang sangat imajinatif
dan kaya, sehingga tercapai imaji-imaji yang fantastik dengan biaya yang sangat murah. Dengan hanya dolkendolken, bekas pembangunan, yang waktu itu dengan mudah di dapatkan di TIM, Roedjito berhasil menampilkan
set yang artistik tetapi ‘ramah’.”
Kemampuan teknis maupun non-teknis Roedjito yang juga pelukis dan penata lampu, membuatnya menjadi salah
satu Skenografer terkemuka di Indonesia. Secara teknis, ia menguasai desain ruang dan tata cahaya. Dan yang
terpenting bagi seorang Skenografer, kemampuan untuk bekerjasama (berkolaborasi) dengan seluruh tim. Hal ini
penting untuk menjaga keutuhan visual, di mana semua elemen tergabungkan dalam satu hubungan yang
kohesif.
Pamela Howar juga memunculkan dalam bukunya “What is Scenography?” tentang pentingnya memiliki
kemampuan ini : “Skenografer haruslah seorang seniman yang mengetahui cara bekerjasama, mampu
menafsirkan gagasan sutradara, memahami teks sebagaimana seorang penulis, merasakan kebutuhan seorang
pemain teater, meraksan seperti layaknya seorang penonton, dna menciptakan ruang yang sesuai dan imajinatif
bagi sebuah produksi…(juga memhami musik dan bunyi seperti seorang pemusik dna composer, memahami
pergerakan seperti seorang penari dan koreografer, serta memahami efek cahaya dan bayangan sebagaimana
perupa dan fotografer).”
MUSIKALITAS TEKS, WARNA NADA DAN TEKSTUR SUARA
Di luar Roedjito, tata panggung di teater Indonesia digerakkan oleh pertemuan-pertemuan pelaku teater dengan
perupa. Setidaknya, ini bisa dilihat pada produksi-produksi teater di kota Bandung. Sedari STB (Studiklub Teater
Bandung) hingga teater-teater terkini, acap kali para perupa terlibat dalam penataan panggungnya. Di Jogja,
Teater Garasi memulainya (dalam produksi-produksinya) dengan melibatkan Apotik Komik (Les Paravents,2000),
Jompet dan Andi Senoaji (Waktu Batu, 2002-2004), dan Mella Jaarsma (Jejalan, 2008). Mereka tentu saja tak
lantas dan juga tak harus menyandang predikat Skenografer. Tapi setidaknya praktik-praktik kerja Skenografi
sebenarnya sudah lama berlangsung dalam pertumbuhan teater kita.
Akan menarik, jika disiplin Skenografi bisa lebih tumbuh dan berkembang seturut dengan situasi teater Indonesia
(bukan karena latah semata-mata karena di luar negeri Skenografi dan Skenografer telah menjadi disiplin dan
profesi tersendiri). Jika sungguh terjadi, panggung teater Indonesia pasti akan lebih berwarna.
Sebagai penutup, masih dari Pamela Howard, “..Saya secara khusus mendengarkan bunyi; keserasian kata-kata,
“musikalitas” teks, warna nada dan tekstur suara, berusaha memutuskan bagi diri sendiri apa yang membuat
pertunjukan ini berbeda dari yang lainnya – sebagai contoh, perbedaan suara antara sebuah naskah Ibsen dengan
sebuah naskah Beckett. Rasa bunyi sangat dekat dengan rasa warna, imaji rasa ini akan menuntun untuk memilih
warna kunci untuk yang mayor maupun minor, yang mencerminkan gambaran musik dari kata-kata tersebut…”
Source:
“What is Scenography?”, Pamela Howard, London : Routledge, 2002
“Warisan Roedjito”, Ags. Arya Dipayana (ed); Dewan Kesenian Jakarta, 2004
Sumber : ISSUE 09 .2010 V E R S U S INDONESIAN CREATIVEPRENEURSHIP MAGAZINE
Download