Buku Tesis Online

advertisement
Reissner dan membrana basilaris bergoyang dari satu sisi ke sisi yang lain atau
menuju skala timpani dan skala vestibuli secara bergantian. Goyangan tersebut
juga menyebabkan perubahan posisi membrana tektorial dan mempengaruhi
membran basilaris yang merupakan tempat melekatnya reseptor alat pendengaran,
yakni sel rambut. Masing-masing sel rambut memiliki kira-kira 100 stereosilia
yang berhubungan erat dengan membrana tektorial. Sekitar 1800 serabut saraf
eferen (kolinergik) berakhir pada sel rambut dan dapat menghambat penerimaan
frekuensi tertentu. Mekanisme tersebut dapat digunakan untuk ‘penyaring’ suarasuara yang mengganggu dari sekelilingnya.
Gambar II.2. Jaras pendengaran aferen
Selanjutnya jaras pendengaran aferen dijelaskan sebagai berikut. Sesuai gambar
II.2., cabang serabut saraf pendengaran yang berjalan dari organ Corti [1] ke
anteroventral [2], posteroventral dan nukleus koklearis dorsal [3]. Serabut aferen
tersusun dalam tiga nukleus sesuai dengan frekuensinya dan kerumitan yang
berbeda-beda. Penghambatan lateral di titik ini berguna untuk meningkatkan
kontras, yaitu penekanan bising. Pada oliva superior [4] dan nukleus aksesorius
[5] yang juga menerima impuls kontralateral, intensitas dan waktu perjalanan
suara dibandingkan. Titik selanjutnya adalah lemniskus lateral [6] dan kolikulus
14
inferior [7] yang juga menerima impuls dari serabut yang bersilangan. Melalui
nukleus genikulatum medial talamus [8] serabut aferen akhirnya mencapai korteks
pendengaran yang dikelilingi oleh daerah pendengaran sekunder. Pusat-pusat ini
bertanggung jawab untuk analisis suara yang kompleks, ingatan jangka pendek
untuk perbandingan nada, menghambat respons motorik yang tidak diinginkan
dan pendengaran yang serius (Despopoulos dan Sibernagl, 2000; Hendelman,
2006).
II.1.2 Integrasi Sentral
Tempat terakhir jaras pendengaran adalah di girus transversal Heschl, yang
terletak pada permukaan superior dari lobus temporal di dalam fisura lateral.
Girus ini berperan untuk lokalisasi tonotopik; sedangkan untuk penerjemahan
bahasa terletak pada area Wernicke, yang terletak berdekatan dengan girus
tersebut. Keduanya adalah bagian dari lobus temporal yang berfungsi utama
sebagai korteks asosiasi.
Gambar II.3. Sistem limbik dan interkoneksi antara komponen yang menyusunnya
15
Hubungan antara memori, emosi dan fungsi otonom tergabung dalam sistem
limbik. Sistem limbik adalah gabungan struktur kortikal dan subkortikal yang
saling terkait dan memiliki peran utama dalam pengaturan kondisi emosional yang
menyertai respons fisiologis, perilaku dan psikologis. Sistem limbik memiliki
bagian kortikal (hipokampus, girus parahipokampus, girus cingula, bagian korteks
olfaktorius) dan subkortikal (badan amigdala, area septa, nukleus talamik
anterior).
Pada gambar II.3. dapat dilihat bahwa sistem limbik memiliki sirkuit internal yang
menghubungkan komponen-komponen penting di dalamnya. Koneksi terebut
berjalan secara dua arah. Badan amigdala mengubungkan talamus dan
hipotalamus, sedangkan komisura anterior menghubungkan kedua badan
amigdala. Amigdala diketahui adalah struktur primitif yang dimiliki oleh hampir
semua hewan, namun pada manusia berdasarkan hasil pemeriksaan MRI
fungsional didapatkan keterkaitan dengan reaksi emosi. Selanjutnya hubungan
antara
hipotalamus
dengan
otak
tengah
dan
medula
melalui
serabut
penghubungnya menjadi kunci terjadinya respons otonomik (Despopoulos dan
Sibernagl, 2000; Hendelman, 2006).
II.1.3 Sistem Otonom dan Kontrol Ritmik Jantung
II.1.3.1 Sistem Otonom
SSO melayani pengaturan fungsi organ dalam, mengadaptasikan organ-organ
tersebut pada kebutuhan suatu saat dan mengatur lingkungan dalam tubuh.
Aktivitas tersebut sebagian besar tidak berada di bawah pengendalian sadar. Pada
bagian perifer penyusunan sistem saraf otonom dan somatik secara fungsional
maupun anatomis hampir seluruhnya terpisah, sedangkan sistem saraf pusat
terjalin hubungan yang sangat erat antara keduanya.
SSO perifer terdiri dari dua divisi, yakni divisi simpatis dan parasimpatis.
Sebagian besar organ diinervasi oleh serabut-serabut dari kedua divisi SSO.
Respons dari kedua jenis serabut tersebut dapat bersifat antagonis (misalnya pada
jantung) atau hampir paralel (misalnya kelenjar liur). Medula adrenal merupakan
16
Dapat dilihat pada gambar II.4., pusat divisi simpatis terletak di sumsum tulang
belakang daerah torakal dan lumbal, sedangkan parasimpatis di daerah sakral dari
sumsum tulang belakang (untuk kandung kemih, sebagian usus besar, alat
kelamin) dan pada batang otak (untuk mata, kelenjar-kelenjar dan organ-organ
yang dipersarafi nervus vagus). Kedua divisi tersebut terdiri dari serat preganglion
yang dialihkan ke serat pascaganglion di ganglion.
Di dalam ganglion, transmisi rangsang ke serat pascaganglion secara kolinergik,
yakni melalui perantaraan neurotransmiter asetilkolin. Pada sistem parasimpatis,
neurotransmiter baik di ganglion maupun di organ efektor adalah asetilkolin;
sedangkan pada sistem simpatis, neurotransmiter pada organ efektor adalah
norepinefrin kecuali kelenjar keringat.
Gambar II.5. Penghantaran neurotransmiter pada ganglion otonom (kiri:
parasimpatik, kanan: simpatik)
18
Penghantaran impuls antar serabut saraf dilakukan oleh neurotransmiter.
Asetilkolin (ACh) adalah neurotransmiter di semua ujung saraf preganglion
otonom, semua parasimpatis, beberapa ujung saraf pascaganglion simpatis,
sambungan neuromuskular dan beberapa sinaps di SSP. Datangnya potensial aksi
presinaps menyebabkan influks Ca2+ yang mengakibatkan pelepasan ratusan
kuantum ACh yang cukup untuk menghasilkan EPSP. Hal ini disebabkan ACh
meningkatkan konduktansi untuk Na+, K+ dan Ca2+, namun untuk jantung ACh
hanya meningkatkan konduktansi K+. Norepinefrin (NE) merupakan zat
transmiter sebagian besar ujung saraf pascaganglion simpatis serta beberapa
sinaps pada SSP, khususnya di hipotalamus.
Reseptor yang bekerja pada sinaps masing-masing divisi tersebut adalah spesifik.
Terdapat dua golongan reseptor untuk ACh, yakni reseptor nikotinik dan
muskarinik; sedangkan untuk NE memiliki reseptor α1, α2, β1 dan β2. Berbagai
macam obat yang bekerja pada SSO didasarkan pada modulasi reseptor-reseptor
tersebut (Arslan, 2001; Despopoulos dan Sibernagl, 2000).
II.1.3.2 Kontrol Ritmik Jantung
Jantung diinervasi oleh sistem saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan
parasimpatis. Serabut-serabut saraf simpatis menginervasi daerah atrium dan
ventrikel termasuk pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis terutama
memberikan persarafan pada nodus sinoatrial (SA), atrioventrikular (AV),
serabut-serabut otot atrium dan dapat pula menyebar ke dalam ventrikel kiri.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medula spinalis torakal atas,
yaitu T3 – T6, lalu sebelum mencapai jantung melalui pleksus kardialis dan
berakhir pada ganglion servikalis superior, medikal dan inferior. Serabut
pascaganglionik menjadi saraf kardialis untuk masuk ke dalam jantung.
Persarafan parasimpatis berasal dari pusat n. vagus di medula oblongata dan
serabut-serabutnya bergabung dengan serabut simpatis di dalam pleksus kardialis
(Oemar H, 2004). Secara skematik dapat dilihat pada gambar II.5.
19
Gambar II.6. Skema sistem persarafan jantung
Laju jantung pada manusia normal dalam kondisi istirahat adalah 60 – 100 denyut
per menit, sedangkan pada mammalia kecil justru lebih cepat yakni 600 denyut
per menit. Peningkatan aktivitas n. simpatik yang menginervasi nodus SA akan
meningkatkan laju jantung (takikardia) dan sebaliknya peningkatan aktivitas n.
parasimpatik akan menurunkan laju jantung (bradikardia). Hal tersebut terjadi
pula pada nodus AV. Kedua divisi tersebut bekerja secara aktif dan kontinu pada
kondisi istirahat namun inhibisi parasimpatik lebih dominan.
Stimulasi vagal mengakibatkan bradikardia melalui dua mekanisme, yakni laju
potensial nodus diperlambat dan potensial awal segera menjadi lebih negatif
(hiperpolarisasi). Bradikardia vagal tersebut cepat berkurang saat stimulasi
dihentikan sebab neurotransmiter ACh cepat dihilangkan dari sinaps oleh
banyaknya kolinesterase. Secara normal, hal tersebut terjadi selama proses
ekspirasi pernapasan
yang disebabkan refleks peregangan paru-paru dan
pengaruh sentral (lihat gambar II.6.) (Levick, 2000; Berne dan Levy, 2001).
20
Gambar II.7. Perbedaan fase inpirasi dan ekspirasi pada gambaran EKG
Stimulasi simpatik mengakibatkan takikardi namun bila dihentikan seketika maka
penurunan tidak terjadi cepat melainkan secara bertahap. Hal tersebut disebabkan
dua faktor, yakni pertama, respons simpatik hanya bergantung pada pembawa
pesan kedua (second messenger) cAMP, dan kedua, pelepasan NE yang tidak
secepat ACh. Oleh karena itu, stimulasi vagal dapat mempengaruhi laju jantung
secara denyut per denyut namun tidak demikian dengan stimulasi simpatik.
Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi laju jantung adalah refleks-refleks, yang
terdiri dari refleks baroreseptor, refleks Bainbridge, reflek regang paru, refleks
kemoreseptor dan refleks ventrikular; serta temperatur, pH dan komposisi gas
darah. Kesemua hal tersebut adalah mekanisme homestasis tubuh untuk tetap
menjaga ritme jantung dalam rentang normal (Munawar dan Sutandar, 2004).
II.1.4 Elektrokardiografi
EKG adalah suatu grafik yang mencatat perubahan yang terjadi pada potensial
listrik (dalam mV) antara tempat yang berbeda di kulit (sandapan) sebagai akibat
aktivitas elektrik jantung. EKG sangat efektif untuk menggambarkan kondisi
statis jantung dan oleh karena itu EKG tidak memberi informasi langsung
mengenai kontraksi dan efisiensi pemompaan jantung.
Secara konvensional, EKG direkam pada suatu kertas khusus yang memiliki
tampilan kisi. Kecepatan baku yang biasa digunakan adalah 25 mm/sekon
sehingga tiap mm kertas menunjukkan 0,04 sekon. Tiap kotak besar (5 mm)
menunjukan 0,2 sekon. Standarisasi amplitudo baku yang biasa dipakai adalah 1,
artinya tiap 1 cm defleksi vertikal menunjukkan 1 mV. Bilamana gambaran EKG
terlalu besar sehingga seluruh defleksi gelombang QRS tidak tertangkap, maka
21
standarisasi dapat diturunkan menjadi ½, sebaliknya bila terlalu kecil, maka dapat
dinaikkan menjadi 2. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini kertas mulai
digantikan dengan layar monitor, namun sebagian besar alat yang tersedia tetap
menggunakan standar tersebut (Munawar dan Sutandar, 2004; Abedin-Conner,
1991).
II.1.4.1 Sandapan EKG
Secara umum, standar jumlah sandapan EKG maksimal adalah 12, yang terbagi
dua bagian, yakni enam sandapan ekstremitas dan enam sandapan prekordial.
Sandapan ekstremitas atau frontal dibagi lagi menjadi sandapan bipolar dan
unipolar. Sandapan bipolar disebut demikian oleh karena sandapan tersebut hanya
merekam perbedaan tegangan dua elektroda, sedangkan sandapan unipolar
mengukur potensial terhadap acuani nol. Sandapan bipolar dinamakan dengan
sandapan I, II dan III. Sandapan I merekam perbedaan tegangan antara lengan kiri
dan lengan kanan. Sandapan II merekam perbedaan tegangan antara kaki kiri (LL
= left leg) dengan lengan kanan (RA = right arm) dan sandapan III merekam
perbedaan tegangan antara kaki kiri (LL) dengan lengan kiri (LA = left arm).
Secara skematis, ketiga sandapan tersebut dinamakan sebagai segitiga Einthoven
(gambar II.7.) Sandapan unipolar atau diperkuat (augmented) terdiri atas sandapan
aVL, aVR dan aVF. Sandapan prekordial adalah sandapan unipolar yang
diletakkan pada dada secara transversal mengikuti proyeksi jantung dan
dinamakan dengan sandapan V1 hingga V6 (Despopoulos dan Sibernagl, 2000;
Munawar dan Sutandar, 2004; Abedin-Conner, 1991; Carr dan Brown, 2001).
Gambar II.8. Sandapan EKG menurut Einthoven
22
II.1.4.2 Kompleks dan Interval EKG
Hasil rekaman EKG terdiri atas dua unsur, yakni kompleks dan interval.
Kompleks yang normal adalah gelombang P, kompleks QRS, gelombang T dan
gelombang U yang merefleksikan setiap aktivitas elektrik jantung dan kondisi
jantung sesaat. Interval adalah nilai yang diukur antara suatu kompleks dengan
dengan kompleks yang lain. Pada orang dewasa normal, terdapat kisaran dalam
domain waktu dan ampiltudo yang menjadi salah satu acuan untuk menilai apakah
suatu rekaman EKG disebut normal atau tidak. Secara lebih lengkap dijelaskan
pada tabel II.1. dan gambar II.8. berikut (Munawar dan Sutandar, 2004; AbedinConner, 1991).
Gambar II.9. Penamaan kompleks dan interval gambaran EKG
Tabel II.1. Kompleks dan Interval EKG normal
Nama Istilah
Kompleks
Gelombang P
Kompleks
QRS
Gelombang T
Gelombang U
Interval
Interval PR
Interval QRS
Interval QT
Interval RR
Definisi
Nilai Normal
Durasi (s) Amplitudo (mV)
Depolarisasi atrial
Depolarisasi
miokardium
ventrikel
Repolarisasi
miokardium
ventrikel
Penanda gangguan elektrolit,
pengaruh obat dan iskemia
miokardium
0,11
0,05 – 0,1
Diukur dari awal P ke awal QRS
Diukur dari awal ke akhir QRS
Diukur dari awal QRS ke akhir T
Diukur antara puncak QRS
0,12 – 0,2
0,05 – 0,1
Bervariasi
0,6 – 1
23
0,25
≤ 1,1 di aVL, ≤ 2 di aVF, ≤
3 di V1-V6
≤ 0,5 di frontal, ≤ 1 di
prekordial
terhadap laju jantung
II.2 Aspek Teknis
II.2.1 Standar Analisis Variabilitas Laju Jantung
Heart Rate Variability atau Variabilitas Laju Jantung (VLJ) adalah suatu istilah
yang disepakati sejak tahun 1996 untuk mendeskripsikan variabilitas laju jantung
melalui fluktuasi interval RR. Metode tersebut pertama kali digagas oleh Hon dan
Lee (1965) yang menyatakan bahwa distres janin didahului oleh perubahan
interval antar denyut sebelum perubahan laju jantung itu sendiri. Selanjutnya
metode tersebut diterapkan sebagai prediktor yang kuat untuk mortalitas pasca
serangan infark miokard akut sejak akhir tahun 1980. Variasi laju jantung dapat
dievaluasi dengan berbagai metode analisis. Secara umum, metode analisis terbagi
dua, yakni berdasarkan domain waktu dan domain frekuensi.
Pada perekaman EKG secara kontinu, interval RR didapatkan sebagai parameter
dasar analisis dalam domain waktu. Dalam VLJ, istilah RR dapat digantikan
dengan NN (normal to normal) yang bermakna interval antar kompleks EKG
yang terdeteksi. Analisis tersebut kemudian dapat dibagi secara statistik atau
geometrik. Secara perhitungan, analisis terbagi dua kelas, yakni pengukuran
interval NN saja atau perbedaan antara interval NN. Durasi pengukuran secara
konvensi terbagi dua yakni jangka pendek, yaitu 5 menit, dan jangka panjang,
yakni 24 jam. Berdasarkan hal-hal tersebut maka didapatkan sejumlah variabel
statistik yang secara lengkap dapat dilihat pada tabel II.2. berikut.
Pengukuran secara geometrik memiliki keterbatasan sebab membutuhkan data
interval NN yang cukup banyak untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Umumnya perekaman dilakukan minimal 20 menit namun lebih disukai selama 24
jam. Pengukuran secara geometrik lebih sering digunakan untuk perekaman
jangka panjang atau menengah.
24
Tabel II.2. Pengukuran VLJ dalam domain waktu
Variabel
Secara statistik
SDNN
SDNN index
Unit
Deskripsi
ms
ms
SDANN
ms
RMSSD
ms
SDSD
ms
%
Standar deviasi dari semua interval NN
Rerata SDNN dari semua segmen 5 menit dalam total
rekaman
Standar deviasi dari semua rerata interval NN pada
segmen 5 menit dari total rekaman
Akar kuadrat dari rerata jumlah kuadrat dari perbedaan
antara interval NN berdekatan
Standar deviasi dari perbedaan antara interval NN
berdekatan
Banyaknya perbedaan antara interval NN berdekatan
yang lebih dari 50 ms dalam total rekaman
NN50 dibagi dengan total banyaknya interval NN
ms
Total banyaknya interval NN dibagi dengan tinggi
maksimal histogram dari semua interval NN yang
diukur pada skala diskrit
Lebar garis dasar HRV triangular index
NN50 count
pNN50
Secara geometrik
HRV triangular
index
TINN
Pengukuran dalam domain frekuensi menggunakan analisis kerapatan spektral
daya atau power spectral density, yakni bagaimana daya (varians) didistribusikan
sebagai fungsi frekuensi. Metode untuk kalkulasi PSD dapat dibagi atas
parametrik dan non parametrik. Kelebihan metode non parametrik adalah (a)
kelugasan algoritma dan (b) kecepatan pemrosesan yang tinggi; sedangkan
kelebihan metode parametrik adalah (a) komponen spektral lebih halus, (b)
pemrosesan lanjutan dari spektrum lebih mudah dan (c) estimasi PSD akurat
walau sampel sedikit.
Komponen spektral yang digunakan dalam domain frekuensi diambil dari
perekaman selama 2 – 5 menit dan terbagi atas very low frequency (VLF), low
frequency (LF) dan high frequency (HF). Distribusi daya dan frekuensi sentral LF
dan HF tidak tetap melainkan dapat berubah-ubah tergantung modulasi otonomik
terhadap periode jantung. Komponen tambahan berupa ultra low frequency (ULF)
didapat dari perekaman selama 24 jam. Permasalahan yang timbul pada
perekaman jangka panjang tersebut adalah modulasi dapat tidak stabil sehingga
25
stasioneritas tidak terwujud dan oleh karena itu interpretasi menjadi kurang
bermakna. Hal yang patut diingat adalah keempat komponen HRV tersebut adalah
mencerminkan derajat modulasi otonomik dan bukan tingkatan tonus otonom.
Secara lebih lengkap pembagian komponen tersebut diterangkan dalam tabel II.3.
Standar pengukuran non parametrik (berdasarkan algoritma FFT) adalah nilainilai dalam tabel II.3., formula interpolasi NN, frekuensi sampling interpolasi NN,
banyaknya sampel yang digunakan untuk kalkulasi spektrum, dan jendela
(windowing) spektral. Sedangkan standar pengukuran parametrik adalah nilai-nilai
dalam tabel II.3., tipe model yang digunakan, banyaknya sampel, frekuensi sentral
dari setiap komponen spektral dan nilai susunan model (jumlah parameter).
Standar tersebut mengacu pada Task Force of the European Society of Cardiology
and the North American Society of Pacing and Electrophysiology (1996).
Tabel II.3. Pengukuran VLJ dalam domain frekuensi
Variabel
Jangka pendek (5
menit)
Total daya 5 menit
VLF
Unit
Deskripsi
Rentang Frekuensi
ms2
ms2
Kira-kira ≤ 0,4 Hz
≤ 0,04 Hz
LF
LF norm
ms2
n.u.
HF
HF norm
ms2
n.u.
Varians interval NN
Daya dalam rentang frekuensi sangat
rendah
Daya dalam rentang frekuensi rendah
Daya LF dalam unit ternormalisasi,
LF/(total daya – VLF) x 100
Daya dalam rentang frekuensi tinggi
Daya HF dalam unit ternormalisasi,
HF/(total daya – VLF) x 100
Rasio LF dengan HF
LF / HF
Jangka panjang (24
jam)
ULF
a
ms2
VLF, LF, HF ditambah dengan ULF
dan a
Daya dalam rentang frekuensi ultra
rendah
Kemiringan
interpolasi
linear
spektrum dalam skala log-log
0,04 – 0,15 Hz
0,15 – 0,4 Hz
≤ 0,003 Hz
Kira-kira ≤ 0,04 Hz
Makna komponen spektral tersebut pada klinis dikaitkan dengan modulasi
otonomik dan kondisi patologis spesifik (Huikuri, 1999). Aktivitas vagal adalah
kontributor utama untuk komponen HF, sedangkan aktivitas simpatik dicerminkan
26
oleh komponen LF. Rasio LF/HF diyakini sebagai refleksi keseimbangan
simpatovagal (Tikkanen, 1999; Grasso dkk., 1997; Schelven dkk., 2000).
Penelitian-penelitian selanjutnya yang sedang dan akan dikembangkan terkait
dengan analisis VLJ terbagi menjadi lima topik, yakni (1) pemrosesan sinyal VLJ
dan interpretasinya, (2) VLJ dan pemodelan kardiovaskular, (3) VLJ multiskala
dan fraktal, (4) VLJ janin dan neonatus dan (5) klasifikasi (Cerutti dkk, 2006).
II.2.2 Interpolasi dan Regresi
Para rekayasawan dan ahli ilmu alam sering bekerja dengan sejumlah data diskrit
yang umumnya disajikan dalam bentuk tabel. Data di dalam tabel mungkin
diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan, hasil pengukuran di laboratorium
atau tabel yang diambil dari buku-buku acuan. Masalah yang cukup sering muncul
dengan data tersebut adalah menentukan nilai di antara titik-titik diskrit tersebut
tanpa harus melakukan pengukuran lagi. Salah satu solusinya adalah mencari
fungsi yang mencocokkan (fit) titik-titik data. Pendekatan seperti ini di dalam
metode numerik dinamakan pencocokan kurva (curve fitting). Fungsi yang
diperoleh dengan pendekatan ini merupakan fungsi hampiran, karena itu nilai
fungsinya tidak setepat nilai sejatinya.
Gambar II.10. Pencocokan kurva dengan metode (a) regresi dan (b) interpolasi
27
Pencocokan kurva dibedakan atas dua metode:
1.
Regresi
Data hasil pengukuran umumnya mengandung derau (noise) atau galat yang
cukup berarti. Disebabkan data ini tidak teliti, maka kurva yang mencocokkan
titik data itu tidak perlu melalui semua titik. Tata-ancang yang dipakai adalah
menentukan kurva yang mewakili kecenderungan (trend) titik data, yakni
kurva mengikuti pola titik suatu kelompok (Gambar II.9.a). Kurva tersebut
dibuat sedemikian sehingga selisih antara titik data dengan titik hampirannya
di kurva sekecil mungkin. Metode pencocokan kurva seperti ini dinamakan
regresi kuadrat terkecil (least square regression). Derau pada data mungkin
disebabkan oleh kesalahan mengukur, ketidaktelitian pada alat ukur atau
kelakuan sistem yang diukur (Munir, 2006).
2.
Interpolasi
Interpolasi adalah proses pencarian dan perhitungan nilai suatu fungsi yang
grafiknya melewati sekumpulan titik yang diberikan. Titik-titik tersebut
mungkin merupakan hasil eksperimen dalam sebuah percobaan atau diperoleh
dari suatu fungsi yang diketahui. Fungsi interpolasi biasanya dipilih dari
sekelompok fungsi tertentu, salah satunya adalah fungi polinomial yang
paling banyak digunakan. Terdapat dua alasan penting pemakaian polinomial
interpolasi. Pertama, polinomial interpolasi digunakan untuk menghitung
hampiran (estimation) nilai suatu fungsi f(x), sebab nilai polinomial dapat
dihitung, diturunkan atau diintegrasikan. Kedua, polinomial digunakan dalam
penentuan kurva mulus yang melalui sekumpulan data titik. Dalam hal ini
biasanya diinginkan sebuah kurva yang tidak osilatif. Penyelesaiannya
mengarah ke fungsi-fungsi spline (Sahid, 2005).
II.2.2.1 Interpolasi Spline Kubik
Suatu fungsi spline adalah suatu fungsi yang terdiri atas beberapa potong fungsi
polinomial yang dirangkaikan bersama dengan beberapa syarat kemulusan.
Misalkan disajikan tabel data sebagai berikut, yang akan diinterpolasikan dengan
fungsi spline,
28
x
x1 x2 x3 ... xn
f(x) f1
f2
f3 ... fn
dengan x1 < x2 < x3 < ... < xn. Lebar interval antar xk tidak harus sama. Titik-titik
tersebut dinamakan simpul.
Sebuah fungsi spline S(x) dikatakan spline kubik (berderajat tiga), jika S(x)
memliki sifat-sifat berikut:
1.
S(x) sepotong-sepotong merupakan polinomial kubik pada interval [a,b].
2.
S(x) kontinu pada [a,b].
3.
S’(x) kontinu pada [a,b].
4.
S’’(x) kontinu pada [a,b].
Oleh karena S(x) sepotong-sepotong merupakan polinomial kubik pada interval
[a,b], maka turunan keduanya, S’’(x), sepotong-sepotong merupakan polinomial
linier pada interval [a,b]. Dengan menggunakan rumus interpolasi Langrange
linier, maka pada akhirnya didapatkan rumus-rumus berikut sebagai konstantakonstanta yang diperlukan untuk membentuk sebuah spline kubik.
hk = xk+1 – xk
dk = (yk+1 – yk) / hk ,
k = 1,2,3,4;
uk = 2(hk-1 + hk)
vk = 6(dk – dk-1) ,
k = 2,3,4,5,
Selanjutnya memasukkan nilai-nilai tersebut pada matrik Am = v berikut:
Sistem persamaan linier (SPL) tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan
dekomposisi LU maupun eliminasi Gauss guna memperoleh nilai-nilai m2, m3, ...,
mn-1. Setelah mendapatkan nilai-nilai m tersebut, selanjutnya dihitung nilai-nilai
Ck dan Dk dengan menggunakan rumus berikut:
29
Akhirnya diperoleh polinomial-polinomial Sk(x) pada interval [xk, xk+1] dengan
menggunakan rumus berikut, untuk 1 ≤ k ≤ n – 1.
Spline kubik sangat cocok digunakan sebagai fungsi interpolasi sebab memiliki
lebih sedikit gerakan osilatif (Sahid, 2005).
II.2.3 Analisis Spektral
Suatu sinyal dapat dilihat dalam dua domain utama, yakni domain waktu dan
domain frekuensi. Transformasi sinyal tersebut dalam domain frekuensi
menghasilkan suatu spektrum amplitudo nilai data terhadap frekuensi. Hal ini
dinamakan spektrum frekuensi. Algoritma umum yang dibutuhkan adalah
melakukan windowing pada sinyal yang tersedia, lalu mentransformasikannya
dengan Discrete Fourier Transform (DFT) yang dipermudah dengan algoritma
Fast Fourier Transform (FFT) (Smith, 1999).
Analisis spektral secara mendasar tersebut dapat digunakan hanya bila sinyal yang
didapatkan adalah tidak acak. Proses acak didefinisikan sebagai kumpulan
variabel acak yang diindeks berdasarkan waktu. Set indeks tersebut dapat berupa
tak tertentu atau diskrit. Pada keadaan ditemukan sinyal seperti ini, maka metode
yang ditempuh disebut dengan estimasi spektrum (Djuric dan Kay, 1999). Tujuan
estimasi spektrum adalah mendeskripsikan distribusi daya (power) terhadap
frekuensi suatu sinyal, sehingga menghasilkan suatu nilai yang disebut spektrum
densitas daya atau Power Spectral Density (PSD) (Allen dan Mills, 2004).
30
Metode estimasi spektrum secara umum terbagi dua, yakni non parametrik dan
parametrik. Metode pertama dinamakan non parametrik oleh karena estimasi
dilakukan secara langsung dari sinyal yang diolah. Metode yang paling sederhana
adalah periodogram. Perbaikan atas metode tersebut dilakukan oleh Welch, oleh
karena itu disebut metode Welch. Metode lainnya yang lebih baru adalah metode
multitaper. Metode kedua disebut parametrik oleh karena PSD diestimasi dari
sinyal yang diasumsikan sebagai keluaran dari sebuah sistem linier disertai white
noise. Artinya langkah pertama yang dilakukan adalah mencari parameter
(koefisien) sistem linier terlebih dahulu untuk dapat membentuk sinyal yang ada.
Metode kedua ini cenderung menghasilkan keluaran lebih baik apabila panjang
data yang diolah relatif pendek (MathWorks, 2008).
II.2.3.1 Periodogram Welch
Suatu cara untuk mengestimasi PSD dari sebuah proses adalah dengan melakukan
DFT dan kemudian mengambil kuadrat besaran dari hasil. Hal tersebut disebut
dengan periodogram. Estimasi periodogram dari sebuah sinyal sepanjang L, XL[n]
adalah,
k = 0, 1, ..., N – 1
dimana,
Secara aktual, perhitungan XL(f) diperoleh hanya dengan jumlah titik frekuensi
tertentu, N, menurut algoritma FFT.
Performansi periodogram ditentukan oleh beberapa faktor berikut, yakni
kebocoran (leakage), resolusi, bias dan varians. Kelemahan-kelemahan tersebut
diperbaiki oleh Welch. Algoritma yang digunakan oleh Welch adalah sebagai
berikut (MathWorks, 2008):
31
1.
Sinyal masukan berupa vektor x dibagi menjadi sejumlah segmen k yang
saling tumpang tindih, sesuai dengan besarnya tingkap (window) dan overlap.
Standar jumlah segmen adalah delapan dan overlap adalah 50%.
2.
Tingkap yang telah ditentukan diaplikasikan pada setiap segmen tersebut.
Standar tingkap yang digunakan adalah Hamming.
3.
FFT dengan jumlah titik tertentu diaplikasikan pada data yang telah
ditingkap.
4.
Periodogram termodifikasi dari setiap segmen yang telah ditingkap lalu
dihitung.
5.
Kumpulan periodogram tersebut lalu direrata untuk menghasilkan estimasi
spektrum, S(ejω).
6.
Estimasi tersebut lalu dibandingkan untuk menghasilkan densitas spektrum
daya sebagai S(ejω)/F, dimana F adalah 2π bila tidak mengambil acuan adalah
frekuensi sampling, atau fs bila acuan adalah frekuensi sampling.
II.2.3.2 Metode AutoRegresi (AR)
Metode parametrik dapat menghasilkan resolusi yang lebih baik dari metode non
parametrik jika panjang sinyal pendek. Pada hakikatnya performa spektrum dari
suatu sinyal biomedik sering diturunkan oleh adanya derau (derau latar). Metode
analisis tradisional, seperti FFT, memiliki keterbatasan apabila sinyal memiliki
signal-to-noise ratio (SNR) yang rendah dan panjang sinyal pendek. FFT tidak
mampu memberikan resolusi frekuensi yang baik dan cenderung terjadi kebocoran
spektrum. Oleh karena itu metode parametrik sebenarnya adalah membuat model
yang sedapat mungkin identik dengan sinyal dengan cara mengestimasi parameter
model tersebut. Jumlah parameter haruslah lebih kecil dari jumlah sampel untuk
mendapatkan pemodelan yang tepat.
Metode parametrik yang terpopuler adalah metode autoregresi. Estimasi yang
tepat diperoleh dengan pemecahan sekelompok persamaan linier. Metode
pemecahan tersebut dapat bervariasi, misalnya autokorelasi, kovarians, kovarians
termodifikasi, Burg dan rekursif kuadrat terkecil. Secara umum, model AR diacu
sebagai metode all-pole. Setiap sampel sinyal dapat diekspresikan sebagai
32
kombinasi linier dari sampel sebelumnya dan sebuah sinyal galat e(n). Sinyal
galat diasumsikan tidak bergantung pada sampel sebelumya. Sinyal masukan y(n)
dapat diperkirakan dari kombinasi linier dari sampel masukan sebelumnya,
dimana, y(n) merupakan sinyal yang akan dimodelkan, am merupakan koefisien
AR pada orde ke –m, dan M merupakan orde model AR yang diinginkan (Akay,
1994).
II.2.3 Detrending
Estimasi spektral dilakukan pada data dengan asumsi stasioner, namun sinyal VLJ
secara aktual adalah nonstasioner. Nonstasioner yang disebabkan trend dapat
menyebabkan distorsi pada analisis domain waktu dan frekuensi. Terdapat dua
macam metode yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah tersebut,
yakni pertama, data VLJ harus diseleksi terlebih dahulu sehingga hanya data
stasioner yang boleh digunakan, dan kedua, melepaskan trend pada data sebelum
dilakukan analisis. Proses tersebut dinamakan detrending, yang umumnya
menggunakan pemodelan polinomial dimulai dengan orde satu hingga lebih
tinggi. Salah satu metode detrending yang mampu menghasilkan performa terbaik
adalah metode smoothness priors (Tarvainen, dkk., 2002).
II.3 Stimulus Mental Auditorik
II.3.1 Musik dan Mood
Musik dapat memengaruhi hidup seseorang dengan menghadirkan suasana yang
memengaruhi batinnya walau secara tidak disadari. Apakah itu suasana bahagia
ataupun sedih, bergantung pada pendengar itu sendiri. Musik mampu memberikan
semangat pada jiwa yang lelah. Terlebih bagi yang sedang dilanda asmara, seakan
musik menjadi bahan bakar yang mampu menyemangati untuk terus dekat dengan
sang kekasih hati.
33
Musik juga dapat difungsikan sebagai sarana terapi kesehatan. Ketika
mendengarkan musik, gelombang listrik yang ada di otak pendengar dapat
diperlambat dan dipercepat. Alhasil, kinerja sistem tubuh mengalami perubahan.
Bahkan musik juga mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres
seseorang dan mampu meningkatkan daya ingat pada otak. Selain itu, musik juga
memiliki kekuatan untuk memengaruhi denyut jantung dan tekanan darah sesuai
dengan frekuensi, tempo, dan volumenya. Makin lambat tempo musik, denyut
jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Akhirnya, pendengar pun
terbawa dalam suasana rileks, baik itu pada pikiran maupun pada tubuh. Oleh
karena itu, sejumlah rumah sakit dan sarana kesehatan mulai menerapkan terapi
musik pada pasiennya yang mengalami rawat inap.
Secara neurofungsional, pengaruh musik terhadap sistem limbik dapat dibuktikan
berdasarkan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging fungsional. Bahwa
paparan musik secara pasif pada seseorang normal memberikan aktivasi yang
bermakna pada jaringan struktur subkortikal yang melibatkan nukleus accumbens,
area tegmentum ventral talamus, hipotalamus dan korteks orbitofrontal (Thaut
dkk., 2008). Perbedaan ritmik dalam alunan musik diproses dalam lokasi yang
berbeda dalam otak (Limb, 2006).
Musik diproses dalam otak dalam hubungan yang erat dan timbal balik antara
emosi, persepsi dan memori. Seseorang yang mendengarkan suatu musik tertentu,
secara tidak sadar akan mencari kecocokan musik tersebut dengan sesuatu obyek
yang pernah dialaminya (Boso dkk., 2006). Oleh karena itu, musik dapat menjadi
suatu bahasa komunikasi emosi yang bervariasi menurut tingkat kesadaran dan
persepsi pendengar (Niskanen dkk., 2006).
Penangkapan emosi dalam musik bersifat subyektif. Satu individu dapat
menangkap pesan emosi yang berbeda dari individu lain dari musik yang sama.
Pada bidang musik sendiri belum dirumuskan formulasi sebagai dasar penentuan
klasifikasi
emosi.
Sehingga,
pendekatan
34
yang
dapat
dilakukan
untuk
mengklasifikasikan musik ke dalam kategori emosi adalah pembelajaran terhadap
penilaian subyektif oleh manusia.
Berbagai kategori telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah
Hevner, Farnsworth, Skowronek, Thayer dan Yang. Masing-masing memiliki
pendekatan yang berbeda dalam melakukan klasifikasi. Banyak peneliti yang
akhirnya mengikuti saran Skowronek dan menyederhanakan pelabelan emosinya
menjadi hanya beberapa cluster. Misalnya, dalam MIREX 2007 bagian Automatic
Mood Detection, label emosi yang digunakan hanya dibagi lima cluster, atau
MoodLogic yang hanya membaginya menjadi enam: aggresive, upbeat, happy,
romantic, mellow dan sad (Meyers, 2004).
Situs otentik dan populer yang dapat dijadikan rujukan untuk penggolongan mood
adalah www.allmusic.com. Dalam situs ini tersedia secara lengkap berbagai musik
yang terdaftar dan telah dikategorikan berdasarkan mood yang terkait. Untuk
kebutuhan praktis, situs tersebut dapat dijadikan acuan bagi peneliti tentang musik
di berbagai belahan dunia.
II.3.2 Lantunan Quran
Tidak tersembunyi lagi, bahwa materi bunyi adalah manifestasi dari reaksi
psikologis yang secara alami menjadi sebab timbulnya peragaman bunyi, dengan
dikeluarkannya dalam bentuk madd (panjang), ghummah (dengung), lîn (diftong),
atau syiddah (konsonan ganda); dan disediakannya berbagai macam harakat
(diakritik) baik dalam kondisi kacau maupun runtut, dalam kadar yang sesuai
dengan sumbernya yang ada dalam jiwa. Selain itu, reaksi tersebut juga
menjadikan bunyi dalam bentuk îjâz (ringkas), ijtimâ’ (berkumpul), ithnâb
(panjang), basth (panjang lebar) dalam kadar yang bisa menimbulkan ketajaman,
ketinggian, getaran, tingkat nada dan lain-lain yang termasuk retorika bunyi dalam
bahasa musikal.
Jika semua itu dipertimbangkan saat membaca Al-Quran dengan cara yang benar,
maka seseorang akan mendapatkannya berada pada puncak pencapaian seluruh
35
bahasa dalam menggetarkan perasaan dan membangkitkannya dari dalam relung
hati yang paling dalam. Dari sisi ini, Al-Quran, dengan strukturnya, telah
menaklukkan orang Arab dan non-Arab. Kaum penyimpang dan ateis yang berhati
keras, serta orang yang tidak mengenal ayat-ayat Allah dalam cakrawala semesta
dan diri mereka akan luluh dan gemetar saat mendengarnya. Selain masih adanya
tabiat kemanusiaan dalam diri mereka, runtutnya bebunyian dengan kadar tertentu
antara berbagai macam makhraj huruf merupakan bentuk retorika bahasa alamiah
yang tercipta di dalam jiwa setiap insan. Setiap kali mendengarnya, dia tidak akan
terhalangi oleh perbedaan cara berpikir dan perbedaan bahasa. Atas dasar inilah,
seharusnya hadits yang menyatakan bahwa suara yang indah akan menambah
keindahan Al-Quran dipahami. Suara yang indah akan menjauhkan bahasa yang
sempurna ini dari apa yang bisa dianggap sebagai kekurangan karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat pengucapan huruf dan artikulasinya.
Di antara keunikan Al-Quran yang membuatnya berbeda dengan yang lain adalah
bahwa ia tidak pernah usang meski sering diulang-ulang dan tidak membosankan
meski sering dibaca. Jika diperlakukan dengan benar, tidak keliru dalam
pengucapannya, maka akan Al-Quran akan didapatkan dalam keadaan lembut,
empuk, segar, dan anggun, sementara dari dalam diri seseorang muncul
antusiasme baru dan perasaan yang melimpah. Hal ini tidak hanya bisa dirasakan
oleh orang pandai yang mampu merasakan huruf, menghayati susunan dan
tenggelam dalam kenikmatan itu, tetapi juga bisa dirasakan oleh orang dungu
yang membaca dan tidak ada yang bisa ditangkap kecuali bunyi huruf dan warna
nada yang membuatnya berbeda dengan yang lain (Boullata, 2008).
36
Download