Konspirasi Masyarakat dalam Membentuk Stigma Individu

advertisement
C. Teori Labeling
Teori labeling ini merupakan teori yang terinspirasi oleh bukunya Tannembaum yang
berjudul crime and the cumunity menurutnya, kejahatan tidaklah sepenuhnya hasil
dari kekurangmampuan seseorang untuk menyesuaikan dengan kelompok, akan tetapi
dalam kenyataanya, ia dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
sehingga di simpulkan bahwa kejahatan merupakan hasil dari konflik antara kelompok
dengan masyarakatnya.
Pendekatan labeling dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: persoalan
tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label. (labeling
sebagai akibat dari reaksi dari masyarakat.). Efek lebeling terhadap penyimpangan
tingkah laku berikutnya. ( persoalan kedua ini adalah bagaimana lebeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label.)
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah, Pertama, Primary Devience
yaitu: ditujukan pada perbuatan penyimpangan awal. Kedua, scondary devience adalah
berkaita dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari
penangkapan dan cap sebagai penjahat, kalau sekali saja cap atau status itu melekat
pada diri seseorang maka sangat sulit seseorang untuk selanjutnya melepaskan diri dari
cap tersebut, dan kemudian akan mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang telah
diberikan masyarakat terhadap dirinya.
Sebagai contoh terjdinya scondary deviance yang diawali dengan Primary
Devience, seorang individu (anak)melakukan perbuatan menyimpang yang ringan
(primary Devience) misalnya duduk ditempat yang lebih tingi dari orang tua;
akibatnya terjadi reaksi sosial yang informal dari masyarakat ; orang tua tadi marah
dan mengatakan anak tadi tidak sopan. Individu (anak) tersebut melakukan
pelanggaran aturan berikutnya dengan keluar masuk rumah orang tersebut tanpa
permisi (primary devience). Selanjutnya terjadi peningkatan reaksi sosial; orang tua
tadi mengatakan pada tetangga yang lain bahwa individu (anak) tersebut telah
melakukan pencurian ringan (primary Devience), akhirnya (anak) tadi diadili sebagai
seorang Juvenile Delinquency di pengadilan;
Anak muda tadidiberi label oleh pengadilan sebagai seorang yang nakal oleh
pengadilan dan buruk oleh masyarakat, anak muda tersebut mulai berpikir tentang
dirinya mengapa label diberikan pada dirinya, karena sudah terlanjur akhirnya dia
memilih untuk bergabung dengan anak-anak muda inconvensional lainnya. Anak muda
dengan pergaulanya bersama pemuda yang delinquence terpengaruh untuk ikut
melakukan kejahatan yang lebih serius misalkan merampok toko, bank (Scondary
Devience), anak muda tadi kembali diadili di pengadilan, mendapat lebih banyak lagi
catatan kejahatan, sehingga semakin jauh dari masyarakat convensional dan
menempuh jalan hidup yang sepenuhnya menyimpang.
Labeling adalah sebuah proses melabel seseorang. Label, menurut yang
tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah defenisi
diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan
memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan
kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.
Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut
menyatakan "seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian, dan
diperlakukan seperti orang yang devian, akan menjadi devian". Penerapan dari
pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut : "anak yang diberi label bandel, dan
diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel". Atau penerapan lain : "anak
yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh".
Kalau begitu mungkin bisa juga seperti ini : anak yang diberi label pintar, dan
diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar".
Pemikiran dasar teori labeling ini memang biasa terjadi, ketika sudah melabel
seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang itu sesuai dengan label yang kita
berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberi tugastugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan diatas kemampuannya karena kita
berfikir "ah, dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh dia".
Teori Penjulukan (labelling heory) menyatakan bahwa teori penjulukan dapat
sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak bisa menahan
pengaruhnya. Karena berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan
mereka sendiri, citra asli diri mereka hilang, dijadikan citra diri baru yang diberikan
orang lain. Dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan
kebenaran penjulukan tersebut, terutama orang dalam posisi lemah. Benar atau salah,
penjulukan dan reaksi
yang diberikan obyek
yang dijiluki orang lain
“membenarkan”penjulukan tersebut, sehingga nubuat itu telah dipenuhinya sendiri.
(Mulyana, 1999: hal.70)
Teori Penjulukan (Labelling Theory) dari Howard Becker
Fenomena penjulukan terhadap kelompok dalam masyarakat sudah lama menjadi
fokus pengamatan Sosiologi. Kajian tentang penjulukan banyak dilakukan terhadap
kelompok atau orang yang memiliki perilaku menyimpang ketika mereka berinteraksi
dengan masyarakat yang telah memiliki standar norma atau aturan tertentu atau
interaski antara kelompok/orang deviant dengan non deviant.
Lahirnya Teori Penjulukan (Labelling Theory), diinspirasi oleh Perspektif
Interaksionisme Simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa
dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi,
kesehatan mental (pengidap schyzophrenia) pendidikan. Teori Penjulukan dari studi
tentang deviant di akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan penolakan
terhadap Teori Konsensus atau Fungsionalisme Struktural. Awalnya, menurut Teori
Struktural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang
merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Deviant adalah
bentuk dari perilaku. Namun Labelling Theory menolak pendekatan itu, deviant hanya
sekedar nama yang diberikan atau penandaan. Tegasnya, Labelling theory rejected this
approach and claimed that deviance is not a way of behaving, but is a name put on
something: a label… Deviance is not something inherent in the behavior, but is an
outcome of how individuals or their behavior are labelled. (Socioglossary, September
26, 1997).
Teori Penjulukan menekankan pada pentingnya melihat deviant dari sudut
pandang individu yang devian. Seseorang yang dikatakan menyimpang dan ia
mendapatkan perilaku devian tersebut, sedikit banyak akan mengalami stigma, dan jika
itu dilakukan secara terus menerus dirinya akan menerima atau terbiasa dengan
sebutan itu (nubuat yang dipenuhi sendiri). Menurut Howard Becker (1963), kelompok
sosial menciptakan penyimpangan melalui pembuatan aturan dan menerapkan terhadap
orang-orang yang melawan aturan untuk kemudian menjulukinya sebagai bagian dari
outgrup mereka.
Teori penjulukan memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang
bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil
didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviant atau penyimpangan tidak inheren
dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam
bertindak, penyimpangan dikatakan ada dalam “mata yang melihat”.
Proposisi kedua, penjulukan itu sendiri menghasilkan atau memperkuat
penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial
menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau
definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang secara permanen
terkunci dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome
atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial.
Ada dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan:
1. Master Status /Pemilik Status
Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada suatu keadaan yang
disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan
(Dikaitkan) yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling
panting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersngkutan.
Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterakan, atau yang biasa disebut
dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai penyimpang. Bagaimnapun
hal ini akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya di
mana mereka akan bertindak.
Bagi para “penyimpang” sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan
mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya mungkin keluarga, teman,
atau lingkungannya tidak mau lagi bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan
kata lain orang akan mengalami stigma sebagai penyimpang/menyimpang dengan
berbagai konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dari kontak dan hubungan-hubungan
yang yang ada (konvensional). Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang
bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan deviant.
Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara mendasar sebagai criminal,
terutama sekarang ia mengetahui orang lain memanggilnya sebagai jahat.
Melewati rentang waktu yang panjang di mana orang memperlakukannya
sebagai kriminal dalam berbagai hal dan ia mungkin akan kehilangan dan tidak akan
mendapatkan pekerjaan. Bahkan mungkin lama kelamaan akan mempercayai bahwa
kejahatan adalah jalan hidupnya, dan ia akan membangun koneksinya dengan orangorang yang memiliki nasib yang sama dan menciptakan subkulturnya yang baru.
Sekarang ia menjadi deviant career.
2. Deviant Career
Konsep Deviant Career mengacu kepada sebuah tahapan ketika sipelanggar aturan
(penyimpang) memasuki atau telah menjadi devian secara penuh (outsider). Kai T.
Erikson dalam Becker (9 Januari 2005) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah
suatu bentuk perilaku inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan
yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak
langsung.
Konstruksi Penjulukan dalam Media Massa
Konstruksi sosial dari perilaku devians memegang peranan penting dalam proses
melabel atau menjuluki yang terjadi di masyarakat. Proses ini tidak hanya melibatkan
penjulukan pada perilaku kriminal devians, dimana perilakunya tidak sesuai dengan
norma sosial, namun juga merefleksikan stereotipe dan stigmatisasi dari perilaku
menyimpang.
Tampilan media masa yang mempresentasikan bagaimana seorang yang
mendapat julukan sakit mental atau mengalami penyimpangan perilaku sangat
tergantung pada bagaimana masyarakat memiliki persepsi tentang hal itu. Penggunaan
media massa dalam memberikan julukan kepada seseorang sangat sering kita lihat
sekarang ini dan bagaimana julukan tersebut memberikan pengaruh pada orang
tersebut.
Satu peran yang pasti, yang dilakukan media massa dalam mengkonstruksi
teori penjulukan ini adalah dengan mendramatisir penayangan ataupun informasi
dengan menciptakan karakter perilaku menyimpang yang harus ditakuti ataupun justru
dikasihani. Sehingga, media massa atau pers, berperan aktif dalam menyebarkan
penjulukan tersebut. Pers merupakan lembaga kemasyarakatan dan merupakan sub
sistem dari sistem kemasyarakatan dimana ia berada bersama-sama dengan sub sistemsub sistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup sendiri, melainkan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Dengan posisi yang demikian pers selalu dituntut untuk objektif, apalagi utnuk
mengetengahkan konflik-konflik yang sensitif sifatnya.
Menurut Olieb, Donahue, dan Tichenor, dalam situasi konflik, fungsi media
massa adalah, pertama mengeliminasi konflik dan mengedepankan konsesus, serta
kedua, yaitu untuk mengedepankan dan menonjolkan konflik Agaknya fungsi kedua
inilah yang lebih tampak dianut oleh pers Indoesia sekarang. Tidak berlebihan bila
posisi dan peran pers sekarang tengah berada dalam posisi watch dog (anjing
penggonggong) dan bukan lagi sebagai guard dog (anjing penjaga) bagi penguasa
seperti pada masa orde baru, dimana pers berfungsi utnuk meredam opini publik,
melegitimasi keputusan politik penguasa, dan mementingkan kepentingan diri sendiri.
Media berperan penting dalam pembentukan, mobilisasi, dan pemeliharaan
konflik antar kelompok. Peliputan atas isu, peristiwa, atau pelaku konflik
mencerminkan distribusi kekuasaan dalam sistem sosial, khususnya kepentingan
kelompok dominan dalam sistem sosial tersebut. Dalam konteks ini, secara selektif
media berfungsi mempercepat, memperlambat, menjelaskan atau meredefinisikan
konflik sosial. Berita yang disajikan pers, meskipun diklaim objektif, tetap saja
mengandung bias. Karena bahasa itu sendiri (termasuk bahasa gambar) merupakan
serangkaian pesan yang diciptakan oleh orang-orang yang juga pernah hidup dalam
historisitas tertentu. Semua perangkat nilai yang telah mereka serap, ditambah kodisi
fisiologis dan psikologis mereka yang situasional, turut mempengaruhi perumusan dan
penyampaian berita.
Pada dasarnya bahasa(kata-kata) itu tdak netral. Di dalamnya terdapat muatanmuatan pribadi, sosio kultural atau ideologis meski bersifat subtil. Karena itu tidak ada
berita yang objektif dalam pengertian murni atau mutlak. Berita merupakan
rekonstruksi pikiran wartawan (institusi pers) mengenai suatu peristiwa atau
pernyataan yang telah lewat. Wartawan atau redaksi akan memilih kata-kata tertentu
untuk menyiratkan seseorang atau peristiwa. Namun, pada saat itu mereka juga “tidak
objektif” dengan meniadakan sifat-sifat lain yang sebenarnya melekat pada orang atau
peristiwa tersebut. Walhasil, berita juga adalah opini. Demikian juga penjulukan yang
dilakukan pihak pers dalam bentuk kata-kata oleh media cetak atau gambar oleh media
televisi. Narasi atau penjulukan tersebut akan ditafsirkan oleh pembaca atau pemirsa
dengan cara mereka sendiri.
Opini publik yang terbentuk menurut para ahli adalah cermin dari stuktur sosial
dan kebudayaan dari masyarakatnya. Opini publik bukan bagian dari realitas way of
life masyarakatnya, bukan pula serpihan ideologi. Opini publik pun tidak dapat
diidentifikasi sebagai sub sistem dari sistem kekuasaan, baik dalam arti power politics
maupun dalam arti political power. Disinilah letak critical point (titik genting) dari
pengertian opini publik pada umumnya. Sebab, jika di satu pihak opini publik itu
sering ditafsirkan sebagai pendapat umum (public opinion), namun di lain pihak, opini
publik tidak dianggap sama dengan kumpulan opini dari sejumlah individu. Penilaian
demikian tentang opini publik merupakan terminal dan sekaligus memberikan peluang
bagi penyebaran gagasan demokratis paling tidak di pengertian tadi, opini publik
kemudian ditafsirkan sebagai hasil dialog dinamis dari sistem sosial di lingkungannya
yang bukan hanya berlangsung terus menerus, tetapi juga terselenggara secara tebuka
dan dinamis.
Seperti dikatakan Peter Dahlgren, realitas sosial menurut pandangan
konstrukvis (fenomoenologis) setidaknya sebagian adalah produksi manusia, hasil
proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Makna adalah suatu konstruksi,
meskipun terkadang rentan dan muskil dan salah satu cara mendasar kita dalam
menghasilkan makna mengenai dunia nyata adalah lewat media massa Peristiwaperistiwa yang ditangkap media massa, berita sekalipun jelas bukan peristiwa
sebenarnya, baik dilihat dari urutannya maupun durasinya.
Narasi media massa merupakan seleksi peristiwa yang sudah direproduksi
dalam bentuk yang artifisial. Narasilah yang menghubungkan peristiwa sebenarnya
dengan khalayak. Dan narasi tidak sekedar menyampaikan, melaiankan juga
menciptakan makna. Julukan-julukan tertentu jelas merupakan salah satu pendefinisian
untuk menciptakan ralitas baru mengenai peristiwa atau orang yang didefinisikan.
Narasi disini meliputi bukan hanya bersifat fiksi atau jurnalistik, bahkan juga semu
narasi yang diklaim sebagai objektif seperti dalam konteks hukum, medis, dan ilmiah
sosial.
Pada saat seseorang telah tergantung pada hubungan-hubungan yang bersifat
menyimpang dan mulai menggunakan tindakan menyimpang sebagai alat pelindung
terhadap tekanan masyarakat konvensional yang menjuluki seseorang sebagai
penyimpang, maka penyimpangan menjadi fokus perhatian utama reorgansasi
perjalanan hidup orang itu. Berbagai studi penelitian yang menguji kebenaran teori
penjulukan saling bertentangan dan tidak meyakinkan. Kebanyakan kelompok primer
(kelompok yang anggotanya melakukan tindakan menyimpang) menolak untuk
menyingkirkan anggota mereka yang menyimpang, mereka justru mencari jalan agar
penyimpang tersebut dapat kembali menyesuaikan diri. Sementara kenyataan empiris
menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu penjulukan mendorong timbulnya
penjulukan selanjutnya.
Ringkasan
Mungkin sudut pandang Teori Penjulukan sangat empatis pada korban atau devian,
dan menempatkan masyarakat sebagai institusi pemberi label. Namun tentu banyak hal
lain juga yang masih perlu dijelaskan. Seolah-olah kita menganggap masyarakat agen
opini pemberi label (di satu pihak), padahal hakekatnya menjadi pertemuan yang
disengaja atau tidak, individu yang diberi label juga memiliki keunikan (inheren)
demikian (di lain pihak). Dirinya Bertindak sengaja dari awal untuk mejadi (to be)
sesuatu atau demikian.
Hakekatnya tetap barkhidmat bahwa individu memang diciptakan unik
(berbeda) dan masyarakat melalui interaksi sosial telah secara konspiratif memberikan
nama kepada keunikan-keunikan individu itu untuk digunakan secara bersama-sama.
Dalam konteks labelling, individu devian juga memerlukan pengakuan, penghargaan
dari orang lain. Cuma awalnya ia tidak mengetahui “jalan masuknya” dengan
melakukan perilaku yang menyimpang. Ketika orang lain memberikan label yang
“negatif” kepadanya pikiran bawah sadarnya menerima hal itu sebagai “pengakuan”
lalu ia pun mengulang perilaku yang asosial itu dengan bentuk yang berbeda-beda.
Lama kelamaan hal itu dianggapnya sebagai “trademark” atau karakteristik
individualnya. Jadilah ia devian yang sepenuhnya.
Dari perspektif yang berlawanan dengan labelling theory, devian dianggap
sebagai individu yang maladjustment yang terus-menerus tidak mampu menyesuaikan
diri dengan norma sosial yang diklaimnya sebagai “kebenaran mutlak” yang harus
diterapkan kepada semua orang. Perspektif ini, misalnya teori struktural-fungsional,
menganggap orang-orang devian mengganggu struktur, walaupun kadang-kadang
memperlakukan mereka juga fungsional karena perilakunya mampu menjadi cermin
tentang kevalidan norma sosial yang dibela oleh kaum fungsional atau sebagai batu uji
terhadap norma sosial yang mereka lansir.
Penjulukan kadang kala meningkatkan tetapi kadangkala juga mengurangi
timbulnya penyimpangan. Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang
setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan
menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang
dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia
sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara
anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan
yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Bagi
banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama
yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya
ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat
menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh
negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya
Kritik terhadap Teori Labeling

teori ini terlalu diterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, penjahat
bukanlah robot yang pasif dari reaksi masyarakat

jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan reaksi masyarakat,
maka bagaimana dengan bentuk kejahatan yang tidak diketahui, tidak terungkap
pelakunya (Pelacuran dan korupsi)

teori ini sangat mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan
tingkah laku;
DAFTAR BACAAN
Ali, Novel. 1999. Peradaban Komunikasi Politik Potret Manusia Indonesia. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Effendi, Onong U. 1981. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Penerbit Alumni. Bandung.
Horton, paul B., & Hunt, Chester L. 1999. Sosiologi. penyunting Aminudin Ram dan
Titi Sobari .Penerbit Erlangga. Jakarta.
Horwitz & Scheid. A Handbook for the Study of Mental Health: Social Contexts,
Theories, and Systems. Cambridge; New York, NY. 1999.
Link B.G. & Phelen J.C. The Labelling Theory of Mental Disorder (II): The
Consequences
of
Labeling.dalam
http://www.everything2.com/index.pl?node_id=784096
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Populer Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer.
2004. Pustaka Bani Quraisy. Bandung.
Mulyana, Deddy. 1999.Nuansa-Nuansa Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Mulyana, Deddy. Makalah Teori Penjulukan Pers, Pers dan Konstruksi Sosial. Seminar
Nasional ISKI. 2 Oktober 1999.
http://www.everything2.com/index.pl?node_id=784096: 25 April 2007 http://www.epsikologi.com/anak/160502.htm:
25
April
2007
http://www.hewett.norfolk.sch..uk/curric/soc/crime/labeling.htm: 27 April 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/labeling_theory:
27
April
2007
http://faculty.ncwc.edu/toconnor/301/301lect12.htm
:27
April
2007
http://bitbucket.icaap.org
:
3
Mei
2007
www.sparknotes.com.psycholoy/abnormal/intro/labelingtheory.html-24 : 3 Mei 2007
http://www.freeessays.cc/db/44/smu105.shtml
:
3
http://www.d.umn.edu/cla/faculty/hamlin/2311/labeling.html:
http://www.rci.rutgers.edu
:
4
http://www.bookrags.com/wiki/Labeling_theory: 4 Mei 2007
4
Mei
Mei
Mei
2007
2007
2007
Download