4_WindaDiana S

advertisement
VISI (2011) 19 (1) 417-426
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
PADA KANTOR CATATAN SIPIL TERHADAP HARTA BERSAMA
Winda Diana Silitonga dan Lenny V. Siregar
ABSTRACT
A marriage is valid when it is carried out according to the consecutive
religious and belief laws. In addition, any marriage should be registered according
to the prevailing legislation. For the Moslems, recording a marriage conducted in
the Civil Registerof Marriages, Divorces and Reconciliation, while while for the
non-Islamic religion, marriage records conducted at the Civil RegistryOffice.
Nevertheless, there were still many marriage unregistered, the reason being the cost
of an expensive marriage records, cumbersome procedures, and people do not know
the benefits of marriage records. The legal consequences of unregistered, affect the
position of husband and wife, status of childrens and position matrimonial property.
A marriage conducted by religion and belief is a legitimate, although unregistered
in the office of civil register, it is expressly stipulated in article 2 paragraph 1 of
laws no. 1 in 1974 about marriage and the practice, in case of divorce in a marriage
that unregistered, the position of one party can still claim his rights in court, in this
case the division of matrimonial property.
--------------Keywords :Marriage, record, collective property
I. PENDAHULUAN
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari rumusan pengertian perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa
perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir atau batin melainkan ikatan
kedua-duanya. Pengertian ikatan lahir dalam perkawinan adalah ikatan atau
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri. Sedangkan hubungan ikatan lahir tersebut merupakan
hubungan yang formal sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun
bagi orang lain atau masyarakat.(Hilman Hadikusuma, 1990 : 6)
Menurut Pasal 26 KUHPerdata dikatakan “Undang-Undang memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”. Dari pengertian perkawinan
menurut KUHPerdata tersebut dapat dikatakan bahwa perkawinan itu hanya dilihat
dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas
bertentangan sengan falsafah Negara Pancasila yang menempatkan ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah
perkawinan yang merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan yang
penting. (Hilman Hadikusuma, 1990: 7)
417
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
Menurut Wirjono, perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan yang mengatur hidup bersama. (Soedaryo Soimin, 1992:3)
Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Dari Pasal 2 ayat
(1) ini, diketahui bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika
suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan
pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di
mata agama dan kepercayaan masyarakat. Jadi sahnya perkawinan ini di mata
agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam
hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
tentang pencatatan perkawinan. (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 12).
Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bagi yang beragama
Islam, pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk,
sedangkan selain yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di
Kantor Catatan Sipil. Seluruh peristiwa penting yang terjadi di dalam keluarga
yang memiliki aspek hukum, perlu dicatatkan dan dibukukan, sehingga baik yang
bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang
autentik tentang peristiwa-peristiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan
hukum seseorang menjadi tegas dan jelas. Dalam rangka memperoleh atau
mendapatkan kepastian kedudukan hukum seseorang, perlu adanya bukti-bukti
autentik yang sifat bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang
kedudukan hukumnya. (Rusdi Malik, 2009 : 25)
Adapun pencatatan perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa
perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang
lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan
termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktuwaktu dapat digunakan di mana perlu, terutama sebagai alat bukti tertulis yang
autentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu
perbuatan yang lain. (M.Yahya Harahap, 1991:38)
Didalam praktek sekarang ini, lebih banyak masyarakat yang tidak
mencatatkan perkawinannya daripada yang mencatatkannya. Penyebabnya karena
masih banyak masyarakat yang tidak mengerti fungsi dan manfaat perkawinan
yang dicatatkan atau karena biaya pencatatan perkawinan yang cukup mahal
sehingga masyarakat yang keadaan ekonominya lemah tidak mau mencatatkan
perkawinannya. (Regina Hutabarat, 1986:9)
Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, meski secara agama
atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar
pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan
418
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum Negara, khususnya
dalam hal terjadi putusnya perkawinan atau perceraian.
Tujuan perkawinan secara umum adalah untuk melanjutkan keturunan dan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun demikian walaupun sudah
ada peraturan, norma-norma dan petunjuk-petunjuk dalam menilai atau memilih
calon suami atau isteri, perceraian bisa saja terjadi. Menurut ketentuan Pasal 38
UUP, perkawinan dapat putus karena kematian (cerai mati), perceraian (cerai
gugat dan cerai talak) dan atas keputusan Pengadilan (cerai batal). Akibat
putusnya perkawinan berdampak secara sosial dan secara hukum yaitu terhadap
hak asuh anak dan pembagian harta bersama dalam perkawinan. (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, 2002 : 35).
1.1. Perumusan Masalah
Dari uraian pendahuluan di atas maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana akibat hukum perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil terhadap harta bersama dalam hal terjadi
perceraian?
3. Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui
akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil
terhadap harta bersama dalam hal terjadi perceraian.
II. PEMBAHASAN
2.1. Pencatatan Perkawinan
1. Fungsi dan Manfaat Pencatatan Perkawinan Menurut UU Perkawinanan No.1
Tahun 1974
Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974
dan PP No.5 Tahun 1975 mulai dari Pasal 3 hingga Pasal 9, sedang bagi beragama
Islam dihubungkan dengan Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975.
Penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan seperti yang diutarakan dalam
nomor 4 huruf (b) dinyatakan bahwa: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah
sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan” (Regina Hutabarat,
1986:1). Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa tujuan dari pencatatan
perkawinan itu adalah hanya untuk kepentingan administratif belaka dan tidak ada
hubungannya dengan sah atau tidaknya suatu perkawinan. R. Wantjik Saleh, SH.,
menyatakan: “Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu
bertujuan umtuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi orang lain masyarakat, karena dapat dibaca dalam
suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus disediakan
419
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
dimana perlu, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik”. (Regina
Hutabarat, 1986:2)
Fungsi dan manfaat pencatatan perkawinan antara lain : (Regina
Hutabarat, 1986: 3)
a. untuk menentukan status anak yang lahir dalam perkawinan antara pasangan
tersebut. Contoh: A dan B (WNI keturunan Tionghoa) menikah secara agama
atau kepercayaanya tanpa mendaftarkan perkawinannya ke Kantor Catatan
Sipil. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah anak yaitu C. Kemudian
orangtuanya hendak mendaftarkan si C ke Kantor Catatan Sipil. Maka
petugas Kantor Catatan Sipil mendaftarkan si anak tersebut menjadi anak luar
kawin atau statusnya hanya sebagai anak ibunya. Sedangkan, bagi WNI asli
bilamana anaknya akan didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil maka petugas
meminta agar terlebih dahulu perkawinan orangtuanya didaftarkan baru bisa
didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.
b. agar masing-masing pihak (baik suami maupun istri) mempunyai hak untuk
melakukan tuntutan perceraian termasuk pembagian harta perkawinan.
c. sebagai pengendalian poligami, hal ini dapat dilihat bila seseorang
melaksanakan perkawinan agama dan kepercayaannya pada suatu tempat,
kemudian orang tersebut akan dengan mudah melaksanakan perkawinan yang
selanjutnya didaerah lain dengan mengganti identitasnya. Karena syaratsyarat yang diminta bila akan melaksanakan perkawinan secara agama dan
kepercayaan itu tidak begitu sulit. Inilah yang sering kita temui di dalam
praktek kehidupan kita sekarang.
Syarat-syarat yang diperlukan untuk mencatatkan perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil antara lain: (Dinas Kependudukan Kota Medan)
a. Mengisi formulir pendaftaran.
b. Surat Pemberkatan dari Gereja, Klenteng, Vihara.
c. Surat Pengantar dari Lurah untuk mengurus Akta Perkawinan.
d. Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir kedua mempelai.
e. Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua mempelai dan Kartu Keluarga.
f. Bagi mempelai dibawah umur 21 tahun harus mendapat izin tertulis dan dimuat
dalam buku register.
g. Izin kawin dari Komandan, khusus bagi Anggota TNI dan POLRI.
h. Bila salah satu pihak berstatus duda atau janda maka harus ada Akta Perceraian
bagi mereka yang berpisah karena perceraian yang sudah diputus di depan
sidang Pengadilan dan Akta kematian bagi mereka yang bercerai atau berpisah
karena kematian.
i. Pas photo gandeng ukuran 4 x 6 sebanyak 4 Lembar.
j. Bagi Warga Negara Asing (WNA) melampirkan Izin Kawin dari
Kedutaan/Konsul yang berada di Indonesia.
k. 2 (dua) orang saksi yang berusia di atas 21 tahun.
Setelah semua syarat-syarat tersebut dipenuhi barulah petugas Kantor
Catatan Sipil mengadakan pengumuman selama sepuluh hari sebelum perkawinan
420
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
dilangsungkan. Hal ini bertujuan memberi kesempatan kepada pihak ketiga atau
masyarakat yang merasa berkepentingan dengan pelangsungan perkawinan itu.
Dengan melihat syarat-syarat tersebut, sudah jelas pihak-pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan yang kedua tanpa izin istri pertama atau dispensasi
dari pemerintah atau yang ingin berpoligami akan berpikir seratus kali. Karena
dapat dilihat surat keterangan tentang status seseorang tidak akan mungkin
dikeluarkan Lurah terhadap warga yang bukan warganya sendiri, terlebih-lebih
akta kelahiran yang dikeluarkan oleh instansi Kantor Catatan Sipil. Disinilah
terlihat bahwa fungsi pencatatan perkawinan itu juga berfungsi untuk
mengendalikan poligami.
2. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan Tidak Tercatat
Sebagaimana diketahui bahwa peraturan dibuat adalah untuk mengatur
kehidupan manusia itu sendiri. Agar tercipta ketentraman, ketenangan dan
keserasian, akan tetapi sudah tentu semua warga atau masyarakat memenuhi atau
mematuhi atau pun melaksanakan peraturan itu, hal ini dapat saja disebabkan oleh
beberapa faktor ataupun keadaan. Begitu juga dengan pencatatan perkawinan ini,
dapat dilihat dalam praktek sekarang ini, lebih banyak orang tidak mencatatkan
perkawinannya daripada yang mencatatkannya ditempat-tempat pencatatan yang
telah ditentukan berdasarkan Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975.
Faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan antara lain
yaitu: (Regina Hutabarat, 1986:9)
1. Masyarakat itu sendiri tidak mengerti apa fungsi dan manfaat bilamana
perkawinan dicatatkan. Sehingga dia menganggap kalaupun perkawinan itu
tidak dicatatkan tidak membawa akibat apa-apa bagi dirinya.
2. Tidak mengerti isi dari Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
3. Karena dirasakan adanya kesulitan didalam praktek di beberapa daerah di
Indonesia ini terutama di desa-desa untuk mendapatkan pelayanan dari
instansi pencatatan perkawinan, karena masih kurangnya pegawai agama
yang tersedia untuk itu dan belum meratanya instansi yang mengatur
pencatatan perkawinan itu di seluruh desa.
4. Karena jarak dari satu desa dengan kecamatan berpuluh kilometer disertai
sukarnya alat pengangkutan sehingga menimbulkan kesulitan bagi warga desa
untuk melakukan pencatatan perkawinan, sedangkan instansi pencatatan
perkawinan sampai saat ini baru ada pada tingkat kecamatan.
5. Sanksi hukuman terhadap perkawinan yang tidak tercatat ini boleh dikatakan
tidak ada sama sekali serta sahnya suatu perkawinan tidak mutlak harus
ditentukan dengan perkawinan yang telah dicatatkan sebagaimana yang
tertulis dalam Pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
6. Kurangnya penyuluhan yang diberikan kepada masyarakat tentang fungsi dari
Kantor Catatan Sipil, sehingga masyarakat mengira bahwa Catatan Sipil itu
tidak mempunyai peranan sama sekali.
421
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
7. Biaya pencatatan perkawinan yang tinggi sehingga masyarakat yang keadaan
ekonominya lemah enggan mendaftarkan perkawinannya.
Dari uraian di atas dapat dilihat ada beberapa keadaan atau faktor yang
menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan. Hal ini kiranya menjadi cambuk bagi
pemerintah untuk mencari jalan keluarnya agar setiap perkawinan dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil. Namun pemerintah sekarang terutama Kantor Catatan Sipil
sendiri telah melakukan beberapa usaha-usaha, agar setiap masyarakat mau
mencatatkankan perkawinannya dengan sukarela.
2.2. Keabsahan suatu Perkawinan yang Tidak Dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil.
Dalam hukum perdata, saat (mulai) keabsahan perkawinan suami isteri
menentukan kapan mulainya pihak yang satu sebagai ahli waris dari pihak lainnya,
kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap hubungan perjanjian/perikatan yang diadakan oleh mereka atau salah satu
dari padanya.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
mengenai sahnya suatu perkawinan yang menyatakan:
1. Pasal 2 ayat (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Pasal 2 ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Maka pencatatan perkawinan bukanlah merupakan
syarat yang menentukan sahnya perkawinan, karena segala perkawinan di
Indonesia sudah dianggap sah bilamana hukum agama dan kepercayaannya sudah
menyatakan sah. Akan tetapi kalau dilihat penjelasan umum dari Undang-Undang
tersebut yang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku,
dapat menimbulkan kesan bahwa pencatatan perkawinan mempunyai peranan
yang menentukan juga terhadap suatu perkawinan. Pencatatan Perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA),
sedangkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil.
Apabila ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974, poin (b) ayat (2) ditentukan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
422
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
pencatatan”. Menafsirkan ketentuan tersebut, maka perkawinan adalah suatu
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian.
Dalam arti, waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk
dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui
sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah
hanya bersifat administratif. Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan
kelahiran dan kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang
dipakai sebagai waktu terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan
dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung yang dipakai sebagai “waktu
lahir” dan “waktu mati”. Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan
kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan
dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya
itulah yang harus diakui sebagai “waktu kawin”, bukan kapan waktu perkawinan
yang sah itu didicatatkan atau didaftarkan.
Menurut Sution Usman Adji, sahnya suatu perkawinan ditinjau dari segi
keperdataan, apabila perkawinan itu sudah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil.
Selama perkawinan itu belum tercatat, maka perkawinan itu belum dianggap sah
menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara
menurut ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan
perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administratif saja dalam perkawinan
tersebut dan tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan (Regina Hutabarat,
1986 : 5).
Menurut R. Wantjik Saleh, SH., sehubungan dengan pencatatan
perkawinan menyatakan : “Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan
perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi
jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, karena dapat dibaca
dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus
disediakan dimana perlu, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang autentik”.
Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan
yang lain. Pembuatan pencatatan itu tidaklah menentukan “sahnya” suatu
perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan
terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan mengenai “sahnya”
perkawinan, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan tegas
menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa pencatatan itu hanya tindakan
administratif. Pencatatan itu bukan merupakan faktor yang menentukan sahnya
perkawinan, maka Pasal 2 Undang-Undang Peerkawinan itu harus menjadi pasal
yang tidak dipisahkan dalam dua ayat (Regina Hutabarat, 1986: 5). Sehingga
perkataan sah itu akan meliputi unsur pencatatan tetapi tidak demikian halnya
antara perkataan sah yang terdapat pada ayat 1 tidak meliputi lagi unsur pencatatan
yang dimaksud. Selanjutnya beliau menghubungkan Pasal 2 ayat (2) dengan
penjelasan Undang-Undang yang disimpulkan sebagai berikut:
423
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
1. Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Pencatatan tidak lain merupakan akta resmi yang dapat di pergunakan
sebagai bukti autentik tentang adanya perkawinan seperti halnya akta
resmi kelahiran atau kematian.
Meskipun pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil bukan
merupakan syarat untuk sahnya suatu perkawinan, karena perkawinan sudah
dianggap sah bilamana hukum agama dan kepercayaan mengesahkannya, akan
tetapi pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam
suatu perkawinan. Karena pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
merupakan suatu syarat perkawinan diakui keberadaannya oleh Negara, dan hal ini
banyak membawa konsekuensi bagi yang bersangkutan. Dengan pencatatan
perkawinan, maka suatu perkawinan menjadi resmi di mata Hukum Negara serta
suami dan isteri mempunyai bukti autentik berupa surat nikah dan memperoleh
perlindungan hukum bagi suami atau isteri, anak-anaknya, keluarganya dan pihak
lainnya dalam hubungan hukum dan pergaulan hidup di masyarakat. Bilamana
suatu perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran
agama dan kepercayaannya, namun perkawinan tersebut tidak diakui Negara dan
sulit membuktikan adanya perkawinan itu, karena tidak adanya surat nikah atau
akta nikah.
2.3. Akibat Hukum Perkawinan yang tidak Dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil terhadap Harta Bersama dalam hal Terjadi Perceraian.
Tujuan perkawinan secara umum adalah untuk melanjutkan keturunan dan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun walaupun sudah ada
peraturan-peraturan, norma-norma dan petunjuk-petunjuk dalam menilai atau
memilih calon suami atau isteri, perceraian bisa terjadi. Karena perceraian inilah
menimbulkan akibat, salah satunya terhadap pembagian harta bersama setelah
bercerai. Sebuah perkawinan yang akhirnya berakhir dengan perceraian membawa
akibat perubahan kedudukan hukum masing-masing secara pribadi dan kedudukan
dari harta benda yang dihasilkan selama perkawinan. Sebelum terjadinya
perceraian, hak dan kewajiban masing-masing pihak dilakukan guna menciptakan
rumah tangga yang didambakannya, akan tetapi di saat rumah tangga telah
berakhir dengan perceraian maka tidaklah ada yang namanya hidup bersama
karena masing-masing pihak telah hidup sendiri begitupun dengan hak dan
kewajiban tidak lagi disebut sebagai hak dan kewajiban suami isteri.
Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya. Disamping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil menurut peraturan yang berlaku. Akibat
hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, meski secara agama atau
kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan
dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan tidak diakui di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut
424
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara
hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. Secara hukum, perempuan
tidak dianggap sebagai isteri sah dalam hal pembagian harta bersama. Ia tidak
berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain
itu sang istri tidak berhak atas harta bersama atau harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum Negara perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah terjadi”.
Menurut hukum agama, anak mempunyai hubungan darah dengan orang
tuanya tetapi menurut hukum positif, anak berstatus luar kawin dan bagi mereka
yang beragama non Islam status anak juga dianggap anak luar kawin sebelum
orang tuanya mengakui dalam akta kelahiran atau sebelum orang tuanya
mendaftarkan perkawinan mereka sekaligus mengakui anak tersebut. Terhadap
harta bersama perkawinan, tidak dapat diterimanya pembagian harta bersama serta
penuntutan harta warisan dari Bapak oleh anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak didaftarkan menurut peraturan perundang-undangan. Biasanya pembagian
harta bersama perkawinan yang tidak didaftarkan dilakukan dengan musyawarah
atau secara kekeluargaan.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap perkawinan
yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, perkawinan itu tidaklah ada
kecuali dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut salah seorang
suami/isteri ada mengakui anak yang lahir dari perkawinan tidak didaftarkan
tersebut, maka hanya ada hubungan keperdataan antara yang diakui dengan yang
mengakui. Apabila yang mengakui tersebut hanya mengakui anak-anak yang lahir
dari perkawinan lain yang terdaftar maka apabila yang mengakui itu meninggal
dunia, maka anak tersebut menjadi ahli waris dari yang mengakuinya sesuai
dengan Pasal 85 KUHPerdata yang mengatakan bahwa: “ Jika si meninggal tidak
meninggalkan ahli waris yang sah maka sekalian anak-anak luar kawin mendapat
seluruh warisan “.
Didalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, kedudukan anak
sebagai ahli waris terhadap suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dijamin oleh
Pasal 28 ayat (2) sub a bahwa perkawinan itu tidak tercatat yang kemudian
mungkin dapat dibatalkan, pembatalan perkawinan itu tidak berlaku terhadap
anak. Pasal 28 ayat (2) sub a adalah mengatur tentang harta bersama bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya suatu perkawinan-perkawinan
terdahulu. Bila ternyata dalam perkawinan tidak tercatat ini tidak ada perkawinan
yang tercatat terlebih dahulu, maka keputusan pembatalan tersebut tidak
mempengaruhi anak-anak tersebut sebagai ahli waris kedua orang tuanya.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil adalah
tidak resmi menurut Hukum Negara, dalam arti perkawinan yang sudah sah
dilakukan menurut agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun
425
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
1974 tentang Perkawinan) tersebut dianggap tidak ada oleh Negara karena tidak
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Akibat hukum terhadap perkawinan yang
tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil yaitu tidak dapat diterimanya
pembagian harta bersama karena Negara tidak mengakui adanya perkawinan
tersebut. Akan tetapi Hakim dalam memutus perkara mempunyai kewenangan
untuk menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada untuk
memenuhi rasa keadilan dan menegakkan kebenaran di dalam kehidupan
masyarakat yang dilakukan tanpa pilih kasih.
3.2. Saran
Agar Pemerintah memperjelas lagi ketentuan yang mengatur tentang
sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan, sehingga dalam praktek tidak
menimbulkan berbagai pendapat dan mengakibatkan tidak tercapainya kepastian
hukum dalam masyarakat. Serta diharapkan Pemerintah untuk meningkatkan
penyuluhan hukum kepada masyarakat mengenai tata cara perkawinan yang benar.
Agar setiap pasangan suami isteri mencatatkan perkawinan yang sudah dilakukan
secara agama dan kepercayaannya pada Kantor Catatan Sipil sehingga dapat
diterimanya penuntutan pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara
mereka, baik itu karena cerai mati atau perceraian yang diputus melalui
Pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku :
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1990
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit CH.
Zahir Trading Co, Medan, 1975
Hutabarat, Regina, Pendaftaran Perkawinan, 1984
Malik, H. Rusdi, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Universitas Trisakti,
Jakarta, 2009
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002
Soimin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
II. Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
426
_____________
ISSN 0853-0203
VISI (2011) 19 (1) 417-426
Winda Diana Silitonga, lahir di Medan 10 September 1982, Sarjana Hukum (S-1)
Jurusan Perdata dari Fakultas Hukum UHN tahun 2004, Magister Hukum (S-2)
dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Konsentrasi Hukum Bisnis. Staf pengajar
di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan.
Lenny V. Siregar, SH., MKn, lahir di Medan 22 Maret 1980, Sarjana Hukum (S1) Jurusan Perdata dari Fakultas Hukum UHN tahun 2003, Magister Kenotariatan
dari Universitas Sumatera Utara (USU). Staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas HKBP Nommensen, Medan.
427
_____________
ISSN 0853-0203
Download