BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi Babi merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ternak Babi
Babi merupakan hewan omnivora atau pemakan segala jenis pakan baik
yang berasal dari tumbuhan ataupun berasal dari hewan dan babi dapat dipelihara
di berbagai tempat dengan memanfaatan sumber makanan setempat (Ardana dan
Putra, 2008).
Secara zoologis ternak babi digolongkan ke dalam phylum
chordata, kelas mamalia, ordo artiodactyli (berjari atau berkuku), famili suidae
(non ruminansia), genus Sus serta terdapat setidaknya 10 spesies babi di dunia.
Sebagai hewan ternak, babi telah banyak dikembangkan guna memperoleh jenis
babi unggul. Jenis babi unggul yang telah dikenal masyarakat peternak babi antara
lain Beltsville, Berkshire, Chester white, Yorkshire, Duroc, Hampshire, Landrace
dan Pietrain. Khusus untuk Pietrain merupakan babi yang dikembangkan di
Belgia dengan ciri tubuh berwarna dominan putih dan (Sihombing, 1997).
Ternak babi merupakan salah satu komoditas peternakan yang cukup
potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor nasional sehingga
populasi ternak babi perlu terus ditingkatkan. Data statistik peternakan tahun
2010 menunjukkan populasi ternak babi tertinggi terdapat di Provinsi Nusa
Tenggara Timur 1,637,351ekor, Bali (930,465 ekor), Sumatera Utara (734,222
ekor), Sulawesi Selatan (549,083 ekor), Kalimantan Barat (484,299 ekor), Papua
(546,696 ekor), Kalimantan Barat (484,299 ekor), Sulawesi Utara (332 ,942 ekor),
Bangka Belitung (268,220 ekor), Sulawesi Tengah (215,973 ekor), Kepulauan
5
6
Riau (185,663 ekor). Berdasarkan hasil survey tahun 2005 rata-rata kepemilikan
peternak babi rakyat masih rendah serta dalam hal performan babi di Indonesia
juga masih sangat memprihatinkan dengan tingginya angka kematian yang
mencapai 19,59% (Luthan, 2011). Salah satu penyebab kematian ternak babi
adalah terserang penyakit. Menurut Sinaga (2010), penyakit yang menyerang babi
bisa digolongkan menjadi dua kelompok yaitu penyakit tidak menular dan
penyakit menular. Penyakit tidak menular contohnya adalah penyakit yang
disebabkan defisiensi zat-zat makanan seperti anemia akibat kekurangan zat besi
dan tembaga yang menyebabkan babi tampak pucat, lesu, diare, pertumbuhan
terganggu dan kehilangan berat badan. Penyakit menular yaitu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi suatu organisme (bakteri, virus
dan parasit) seperti
brucellosis, hog cholera, scabies dan mencret putih (white scours). Mencret putih
merupakan salah satu penyakit penting pada ternak babi yang disebabkan bakteri
Escherichia coli patogen. Pada peternakan semi-intensif yang sudah mulai
memperhatikan kebersihan kandang dan pakan, kasus kolibsilosis masih tetap
menjadi perhatian dengan angka morbiditas, mortalitas, dan fatalitas masingmasing 8,6%, 2,05% dan 23,8% (Kardena et al., 2012).
Pencegahan terhadap berbagai penyakit pada ternak babi dapat dilakukan
dengan memperhatikan manajemen pemeliharaan yang baik meliputi kebersihan
lingkungan dan ternak serta kebutuhan nutrisi ternak (Ardana dan Putra, 2008;
Luthan, 2011). Kebutuhan nutrisi anak babi yang telah lepas sapih (umur 8
minggu denga bobot rata-rata 20 kg) memerlukan perhatian yang lebih karena
pada masa ini ternak babi mengalami pertumbuhan yang terus meningkat (Sinaga,
7
2011). Kebutuhan gizi ternak babi yang harus dipenuhi adalah energi, protein
(Asam Amino), vitamin (A, D, E, K dan B, C), mineral (Ca, P, Mg, K, Na, Cl, Co,
Cu, I, Zn), asam lemak ,air (Mangisah, 2003; Ardana dan Putra, 2008) dan
persyaratan mutu untuk pakan anak babi sapihan (pig starter) menurut BSN
(Badan Standarisasi Nasional) tercantum pada tabel di bawah.
Tabel 2.1 Persyaratan Mutu Pakan Anak Babi Sapihan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Parameter
Kadar air
Protein kasar
Lemak kasar
Serat kasar
Abu
Kalsium (Ca)
Fosfor total (P)
Fosfor tersedia
Energi termetabolis (ME)
Total aflatoksin
Asam Amino:
Lisin
Metionin
Metionin+Sistin
Satuan
Persyaratan
%
%
%
%
%
%
%
%
Kkal/kg
μg/Kg
Maks. 14,0
Min. 17,0
Maks. 7,0
Maks. 5,0
Maks. 7,0
0,90-1,20
0,60-1,00
Min. 0,40
Min. 2900
Maks. 50,0
%
%
%
Min. 1,05
Min. 0,35
Min. 0,60
Sumber: (Badan Standarisasi Nasional, 2006)
2.2 Kolibasilosis pada Babi
Kolibasilosis adalah penyakit menular yang bersifat akut disebabkan oleh
bakteri Escherichia coli Bakteri Escherichia coli ditemukan pertama kali oleh
Theodor Escherich dan merupakan flora normal dalam saluran pencernaan hewan
dan manusia. Selain sebagai penghuni saluran pencernaan, E. coli
juga
menghasilkan kolisin yang dapat melindungi saluran pencernaan dari bakteri
patogenik lainnya (Melliawati, 2009). E. coli juga berperan dalam sintesis vitamin
8
K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan penyerapan zat-zat
makanan. Bakteri E. coli menjadi patogen apabila jumlah bakteri ini dalam
saluran pencernaan meningkat atau berpindah dari habitat normalnya ke bagian
lain dalam inang. E. coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa
kasus diare. E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin
pada sel epitel (Kusuma, 2010)
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek
yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7μm dan
bersifat anaerob fakultatif. Koloninya berbentuk bulat, cembung, dan halus
(Kusuma, 2010). Bakteri ini digolongkan dalam genus Eschericia, family
Enterobacteriacceae, ordo Eubacteriales dan kelas Scizomycetes (Besung dan
Tono, 1994). Penyebaran E. coli dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun
secara pasif melalui makanan atau minuman (Melliawati, 2009).
Berdasarkan reaksi biokimia dan klasifikasi serotypenya, struktur antigen
bakteri E. coli dikelompokan menjadi 3 yaitu: E. coli dengan somatik antigen (O),
flagela antigen (H) dan kapsular antigen (K). Berdasarkan interaksinya terhadap
mukosa usus bakteri E. coli dikelompokan menjadi Enterotoxigenic Escherichia
coli (ETEC), Entero Pathogenic Escherichia coli (EPEC) dan Entero Invasif
Escherichia coli (EIEC) (Besung dan Tono, 1994;Karsinah et al., 1994).
Enterotoxigenic Escherichia coli menyebabkan diare karena strain bakteri ini
mengeluarkan toksin LT (termolabil) dan ST (termostabil). Toksin LT bekerja
merangsang enzim adenil siklase yang terdapat di dalam sel mukosa usus halus
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sel epitel usus. Sedangkan toksin
9
ST bekerja dengan mengaktivasi enzim guanilat siklase yang menyebabkan
terjadinya gangguan absorbsi klorida dan natrium serta menurunkan motilitas usus
halus (Karsinah et al, 1994). Strain ETEC melakukan perlekatan dengan mukosa
epitel usus melalui pili (Besung dan Tono, 1994). Dosis infektif ETEC relatif
besar yaitu 100 juta hinggal 10 milyar bakteri agar dapat membentuk koloni di
dalam usus halus, dapat berkembang biak dan dapat menghasilkan toksin
(Risman, 2010).
Strain EPEC tidak menghasilkan enterotoksin, melekat pada sel mukosa
usus kecil dan menyebabkan diare berair atau berdarah. Diare berair disebabkan
oleh perlekatan bakteri dan perubahan integritas usus secara fisik sedangkan diare
berdarah disebabkan oleh perlekatan bakteri dan proses perusakan jaringan yang
akut (Risman, 2010). EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin
untuk mengikat inang sel usus (Sousa, 2012). Dosis infektif EPEC diduga sangat
rendah yaitu lebih dari 106 (Risman, 2010). E.coli enteroinvasif
dapat
menyebabkan diare berdarah dan berinvasi ke usus besar. Strain ini seperti
organisme lain yang bersifat invasif, sering juga terdapat dalam tinja yang penuh
dengan leukosit dan eritrosit. Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan
shigellosis. EIEC melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan tidak
bergerak. EIEC menimbulkan penyakit melaluii invasinya ke sel epitel mukosa
usus (Sousa, 2012). Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan, organisme EIEC
menyerang sel epithel usus dan menimbulkan gejala disentri ringan, yang sering
salah didiagnosa sebagai disentri yang disebabkan oleh jenis Shigella. Dosis
infektif EIEC diduga hanya sekitar 10 organisme (Risman, 2010).
10
Terdapat 3 bentuk enterik kolibasilosis pada babi yaitu:
1. Enteritis E.coli neonatal yaitu enteritis yang terjadi pada anak babi umur 1-4
hari.
2. Enteritis pada babi lepas sapih yaitu yang terjadi setelah penyapihan.
3. Penyakit edema yaitu edema pada berbagai jaringan tubuh babi segera setelah
disapih (Besung dan Tono, 1994).
Enteritis pada hewan lepas sapih (diare setelah disapih) biasanya terlihat dalam
waktu singkat setelah babi lepas sapih yang biasanya dipicu oleh perubahan pakan
menyebabkan kolonisasi masif di usus halus bagian anterior oleh strain
enteropatogenik yang membantu perlekatan antigen. Babi yang terinfeksi
mengalami diare, depresi, anoreksia dan demam yang mungkin terjadi selama 2-3
hari. Meskipun kematian seringkali terjadi secara singkat setelah periode diare,
mortalitas pada hewan lepas sapih lebih rendah dari pada hewan neonatal
(Kardena et al., 2012).
2.3 Kelor (Moringa oleifera)
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang berasal dari kawasan
Himalaya dan India dan saat ini sudah tersebar di banyak negara di dunia
termasuk di negara-negara Afrika yang memiliki tanah kering dan gersang (Price,
2007). Tanaman kelor juga telah tersebar di kawasan Amerika dan Asia yang
sebagian besar memiliki iklim tropis, sama halnya dengan di Indonesia. Di
Indonesia sendiri tanaman kelor tersebar hampir di seluruh daerah termasuk di
Bali (Yulianti et al., 2008). Tanaman kelor merupakan salah satu spesies
11
tumbuhan dari famili Moringaceae yang memiliki ketinggian batang 7-11 meter,
daun berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil tersusun secara majemuk
dalam satu tangkai, bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dengan tudung
pelepah bunga berwarna hijau dan buah kelor berbentuk segitiga memanjang
(Sjofjan, 2008; Kartika dan Dayat, 2013). Kelor dapat berkembang dengan baik
pada daerah yang memiliki ketinggian 300-500 meter diatas permukaan laut
(Ulfah, 2009).
2.3.1 Manfaat Tanaman Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang memiliki
banyak manfaat (Bukar et al., 2010). Di Indonesia pohon kelor banyak
dimanfaatkan sebagai tanaman penghijau. Selain itu tanaman kelor juga dikenal
sebagai tanaman obat berkhasiat dengan memanfaatkan seluruh bagian dari
tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, biji, hingga akarnya (Yulianti et al.,
2008). Tanaman kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai sayur (daun dan
bunganya), rempah-rempah (terutama bagian akar), bahan pembuat kosmetik dan
hampir seluruh bagian tanaman kelor bermanfaat sebagai tanaman obat (Bukar et
al., 2010).
Sebagai tanaman obat, kelor (Moringa oleifera) secara tradisional sering
digunakan sebagai obat diabetes mellitus (Kumar and Mandapaka, 2013), rematik
dan gigitan serangga (Jaiswal et al., 2009). Akar kelor sering digunakan sebagai
bumbu campuran untuk merangsang nafsu makan, sebagai pencegah iritasi kulit,
dan sering digunakan sebagai obat penyakit kulit dan bisul, serta secara tradisional
12
digunakan sebagai parem untuk bengkak-bengkak pada penyakit beri-beri dan
untuk mengobati rasa pegal (Suryono, 2011). Jabeen et al., (2008), melaporkan
bahwa ekstrak dari biji Moringa oleifera memiliki aktivitas terhadap bakteri
(Pasturella multocida, Escherichia coli, Bacillus subtilis dan Staphlocuccus
aureus) dan jamur (Fusarium solani and Rhizopus solani). Selain biji, air perasan
akar kelor (Moringa oleifera) juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti
antibiotika terhadap penyakit kolibasilosis pada ayam pedaging karena memiliki
daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri E.coli (Darma et al., 2013).
Tanaman kelor merupakan leguminosa sehingga baik ditanam secara
tumpang sari dengan tanaman lain karena dapat menambah unsur nitrogen dari
lahan. Hal ini juga menjadi alasan oleh beberapa negara Afrika, tanaman kelor
digunakan dalam program pemulihan tanah (Ulfah, 2009). Kelebihan lain
Moringa oleifera adalah daunnya yang tetap tumbuh lebat meskipun pada musim
kemarau sehingga sangat menjanjikan sebagai sumber makanan (Fahey, 2005).
Daun kelor merupakan bagian paling bergizi dari tanaman kelor dimana
daun kelor merupakan sumber penting vitamin B6, vitamin C, Provitamin A
sebagai beta karoten, magnesium dan protein (Ahmad, 2012). Daun kelor
mengandung lebih banyak vitamin A dibandingkan wortel, lebih banyak kalsium
dibandingkan susu, lebih banyak zat besi dibandingkan bayam, lebih banyak
vitamin C dibandingkan jeruk dan lebih banyak mengandung potasium
dibandingkan buah pisang serta daun kelor memiliki kualitas protein yang tidak
kalah dari susu dan telur (Fahey, 2005). Daun kelor juga telah banyak digunakan
sebagai pakan ternak, terutama sapi dan kambing maupun sebagai pupuk hijau.
13
Penggunaan daun kelor sebanyak 60% dari pakan dasar rumput berpeluang dapat
memberikan pertambahan berat badan yang optimal pada ternak (Muzani dan
Panjaitan, 2011).
Chuang et al., (2007) melaporkan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)
menunjukkan aktivitas sebagai antifungal secara in vitro terhadap dermathopytes
seperti Microsporum canis. Selain itu daun kelor juga memiliki potensi besar
sebagai anti bakteri patogen karena daun kelor (M. oleifera) telah diketahui
mengandung senyawa fitokimia seperti flavonoid, saponin, tanin dan beberapa zat
fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba seperti yang terlihat pada
Tabel 2.2 (Mboto et al., 2009). Zat fenol pada daun kelor memiliki kemampuan
untuk mendenaturasi protein dan merusak membran sel. Zat fenol ini terdapat
pada senyawa minyak atsiri dalam daun kelor (Dhayanti et al., 2012)
Tumbuhan kelor termasuk di bagian daunya, diidentifikasi terdapat senyawa
yang disebut pterygospermin, suatu senyawa yang terdiri dari dua molekul benzil
isotiosianat. Benzil isotiosianat merupakan molekul yang memiliki sifat
antimikroba. benzyl isothiocyanate juga memiliki beberapa derivat glyosylat
(senyawa yang mengandung 6 karbon gula sederhana) yang disebut 4-(α-Lrhamnopy-ranosyloxy) benzyl glucosinolate yang memiliki aktivitas spektrum
luas terhadap bakteri dan jamur (Fahey, 2005).
14
Tabel 2.2 Kandungan Fitokimia dalam Ekstrak Daun Kelor
Fitokimia
Ekstrak Eter
Ekstrak Ethanol
Ekstrak Air
Gallic tannins
+
+
++
Catechol tennins
+
-
++
Coumarins
-
-
-
Steroid and
triterpenoids
+++
++
++
Flavonoid
++
++
++
Saponins
+
+
++
Anthraquinones
+
++
+++
Alkaloids
+
-
++
Reducing sugars
++
++
Keterangan :
(-) : tidak terdeteksi, (+) : ada dalam konsentrasi rendah, (++) : ada dalam
konsentrasi sedang, (+++) : ada dalam konsentrasi tinggi (Kasolo et al., 2010).
2.3.2 Senyawa Antibakteri Daun Kelor dan Mekanisme Kerja
Sasaran utama kandungan antimikroba dari daun kelor adalah dinding sel.
Dinding sel bakteri merupakan lapisan lipid-bilayer yang mirip dengan membran
sel. Membran sel ini dapat melindungi bakteri Gram negatif dari substansi
antipeptidoglikan seperti penisilin. Ikatan antar asam amino dalam peptidoglikan
bakteri Gram negatif lebih renggang dibandingkan dengan bakteri Gram positif,
sehingga memudahkan senyawa tanin, saponin dan flavonoid untuk masuk ke
dalam ikatan. Selain itu, dinding selnya tidak selektif permeabel, sehingga
senyawa-senyawa tersebut mudah melakukan penetrasi menembus dinding sel dan
menimbulkan gangguan terhadap integritas dinding sel bakteri. Perusakan dinding
sel dengan cara mengganggu proses sintesis protein atau mengganggu sintesis
DNA dengan mengganggu kerja enzim topoisomerase II yang menyebabkan
15
pertumbuhan bakteri terganggu dan jumlah koloni yang tumbuh dapat ditekan
(Nurhanafi,
2012). Selain terhadap sel vegatifnya, daun kelor juga mampu
bekerja terhadap spora bakteri yang dilaporkan oleh Septyadi (2012), seperti
pada bakteri Bacillus cereus penyebab keracunan makanan yang memiliki spora
sebagai vaktor virulensi.
2.3.2.1 Flavonoid
Flavanoid merupakan senyawa polar yang mudah larut dalam pelarut polar
seperti etanol, menthanol, butanol, dan aseton. Senyawa fenol mempunyai sifat
efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur dengan merusak
permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai hasil interaksi
antara flavonoid dengan DNA bakteri serta mampu menghambat motilitas bakteri
(Ganiswarna, 1995;Darsana et al., 2012). Flavonoid yang bersifat lipofilik akan
mengikat fosfolipid-fosfolipid pada membran sel bakteri. Mekanisme antimikroba
senyawa polifenol diduga terlibat dalam perusakan membran sel oleh senyawa
lipofilik (Dhayanti et al., 2012).
Flavonoid juga dapat meningkatkan sekresi sitokin Inter Leukin-2 (IL-2)
yang dapat bertindak sebagai faktor proliferasi dan diferensiasi (Hefni et al.,
2013). Sitokin IL-2 berperan dalam memediasi berbagai macam proses biologi,
termasuk berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi sel limfosit (Sashidhara et
al., 2007).
16
2.3.2.2 Tanin
Tanin adalah senyawa fenol yang memiliki sifat-sifat menyerupai alkohol,
salah satunya adalah bersifat antiseptik. Tanin bekerja dengan mengikat salah satu
protein adhesin bakteri yang dipakai sebagai reseptor permukaan bakteri, sehingga
terjadi penurunan daya perlekatan bakteri serta penghambatan sintesis protein
untuk pembentukan dinding sel (Agnol et. al.,2003;Kosolo et al., 2010). Tanin
diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu
permeabilitas sel itu sendiri (Ganiswarna, 1995).
Akibat terganggunya permeabilitas tersebut, sel tidak dapat melakukan
aktivitas hidup dan pertumbuhannya terhambat dan kemudian mati (Yusup et al.,
2010). Tanin banyak dijumpai di alam dan terdapat pada tiap-tiap bagian
tumbuhan khususnya tanaman di daerah tropis pada daun dan kulit kayu (Yulianti,
2008). Okorondu et al., (2007), melaporkan kandungan tanin dalam daun kelor
sebanyak 7.4%.
2.3.2.3 Saponin
Saponin termasuk dalam kelompok antibakteri
yang mengganggu
permeabilitas membran sel mikroba, yang mengakibatkan kerusakan membran sel
dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba
yaitu protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain (Ganiswarna, 1995). Saponin
dapat melisiskan membran sel bakteri serta dapat menghambat DNA polimerase
sehingga sintesa asam nukleat terganggu (Yusup et al., 2010). Saponin bersifat
ampifatik (mengandung bagian hidrofilik dan hidrofobik) yang dapat melarutkan
17
protein membran. Hidrofobik saponin berikatan pada region hidrofobik protein
membran sel dengan menggeser sebagian besar unsur lipid yang terikat sehingga
sel bakteri menjadi lisis. Hidrofobik saponin berikatan pada region hidrofobik
protein membran sel dengan menggeser sebagian besar unsur lipid yang terikat
sehingga sel bakteri menjadi lisis (Dhayanti et al., 2012)
Saponin adalah glikosida dalam tanaman dan terdiri atas gugus sapogenin
(steroid; C27) atau triterpenoid (C30), gugus heksosa, pentosa, atau asam uronat.
Senyawa ini mempunyai rasa pahit dan berbusa bila dilarutkan dalam air. saponin
yang terdapat dalam daun kelor bersifat non hemolitik (Yulianti, 2008).
2.3.2.4 Minyak Atsiri
Minyak atsiri bekerja dengan mendenaturasi protein ekstraseluler sehingga
mengganggu pembentukan dinding sel, merusak membran sel secara langsung,
dan mempunyai aktifitas antibakteri, karena senyawa ini mampu membentuk
kompleks
lipid.
Kerusakan
membran
sel
bakteri
dapat
menyebabkan
terganggunya transport nutrisi yang melalui membran sel. Sehingga sel bakteri
mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan dalam proses pertumbuhan bakteri
(Dhayanti et al., 2012).
Download