Islam Digest (Page 5)

advertisement
hujjatul islam
REPUBLIKA ● AHAD, 21 NOVEMBER 2010
B9
IRSYADIYELLER.NET
AL-FARABI
Filsuf Muslim
Abad Pertengahan
MENURUT BANYAK
RIWAYAT, AL-FARABI
MENGUASAI
70 MACAM BAHASA
DUNIA.
WIKIMEDIA.TIF
Oleh Nidia Zuraya
osok Al-Farabi banyak menarik perhatian
ilmuwan lainnya pada abad pertengahan.
Pasalnya, ia dikenal sebagai salah seorang ahli
filsafat Muslim yang sangat mumpuni. Dunia
pun mendaulatnya sebagai ‘mahaguru kedua’
setelah Aristoteles. Julukan itu disematkan
kepada Abu Nasr Muhammad Ibnu Al-Farakh Al-Farabi,
atas kiprah, jasa, dan dedikasinya sebagai seorang filsuf
dan ilmuwan terbaik di zamannya. Karenanya, tak heran
bila banyak yang mendaulatnya sebagai guru kedua
setelah pemikir besar Yunani kuno tersebut. Filsuf Islam
yang dikenal di dunia barat dengan nama Alpharabius itu
adalah sosok ilmuwan yang serbabisa.
Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya. Tak
ada pula muridnya yang mengabadikan latar belakang
hidup sang legenda itu sebagaimana Al-Jurjani yang mencatat jejak perjalanan hidup gurunya, Ibnu Sina.
Karenanya, tak aneh bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad
pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa
ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu
Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal
dari sebuah keluarga Persia.
Namun, menurut Ibnu Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari
Faryab di Khurasan. Faryab adalah nama sebuah provinsi
di Afghanistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim
dari temannya bernama Yahya ibnu Adi yang dikenal
sebagai murid terdekat Al-Farabi.
Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J
King, juga menyatakan bahwa Al-Farabi berasal dari
Persia. Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, ahli
sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallikan, mengklaim
bahwa Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij
di dekat Farab (sekarang Otrar berada di Kazakhstan).
Konon, ayahnya berasal dari Turki. Dan menurut
Encyclopedia Britannica, Al-Farabi juga berasal dari
Turki.
Konon, Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di tanah Farab. Di kota
yang didominasi pengikut mazhab Syafii itulah, AlFarabi menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belia, dia
sudah dikenal memiliki otak yang cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk menguasai hampir
setiap subjek yang dipelajarinya.
Setelah menyelesikan studi dasarnya, Al-Farabi
hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan
ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu
kota dan pusat intelektual serta keagamaan dari Dinasti
Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa
Persia.
Saat itu, Bukhara dipimpin Nashr ibnu Ahmad (874892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan
dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di kota
itu pula Al-Farabi muda mulai mengenal dan mempela-
S
Oleh Nidia Zuraya
Pemikiran dan
Filsafat S
Al-Farabi
WIKIMEDIA
osok dan pemikiran Al-Farabi
hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filsuf Islam
pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam sehingga bisa
dimengerti di dalam konteks agama-agama
wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh
besar terhadap dunia Barat. “Ilmu logika
Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar
bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de
Vaux.
Tak heran bila para intelektual merasa
berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu
pengetahuan yang telah dihasilkannya.
Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga
begitu kental memengaruhi pikiran-pikiran
Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles
dan Neo-Platonisme. Ia menyintesiskan
buah pikir dua pemikir besar, yakni Plato
dan Aristoteles. Guna memahami pemikiran kedua filsuf Yunani itu, Al-Farabi secara
khusus membaca karya kedua pemikir
besar Yunani itu, yakni On the Soul
sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40
kali.
Dengan kecemerlangan otaknya, AlFarabi mampu melakukan terobosan untuk
menggabungkan filsafat Platonik dan
Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam ilmu lainnya.
jari musik.
Dia sempat menjadi seorang
qadhi (hakim). Setelah melepaskan
jabatan tersebut, Al-Farabi hijrah
ke Merv untuk mendalami logika
Aristotelian serta filsafat. Guru
utama filsafatnya adalah Yuhanna
ibnu Hailan, seorang Kristen.
Dari Ibnu Hailan-lah dia
mulai bisa membaca
teks-teks dasar logika
Aristotelian, termasuk
Analitica Posteriora
yang belum pernah
dipelajari seorang
Muslim pun sebelumnya.
Beberapa tahun
sebelum kitab-kitab
Aristoteles diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab, AlFarabi telah menguasai
bahasa Suriah dan Yunani. Pada
901 M, bersama sang guru, AlFarabi memutuskan untuk hijrah ke
Baghdad yang saat itu menjadi kota metropolis
intelektual pada abad pertengahan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi (902908 M) dan awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir
(908-932 M), Al-Farabi sempat pula pergi ke
Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah
di Harran.
Karya-karyanya
Pada tahun 910 M, ia kembali ke Baghdad. Di Negeri
1001 Malam itu, dia terus mengembangkan ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan
manusia. Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya
lebih tekun untuk menggali filsafat kuno, terutama filsafat
Kemampuannya ini berkat jerih payahnya menimba ilmu pengetahuan dari
sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar
filsafat Aristoteles dan logika langsung
dari seorang filsuf termasyhur, Abu Bishr
Matta ibnu Yunus. Dalam waktu yang tak
terlalu lama, kecemerlangan pemikiran AlFarabi mampu mengatasi reputasi gurunya
dalam bidang logika.
Tuhan Esa
Al-Farabi pun akhirnya mampu
mendemonstrasikan dasar persinggungan
antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia,
kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di
akhirat kelak. Konsep Al-Farabi mengenai
alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia
memahami penciptaan alam melalui proses
pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak
zaman azali.
Menurut Al-Farabi, Tuhan mengetahui
bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud
yang sebaik-baiknya. Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa karena
itu yang keluar dari-Nya juga harus satu
wujud, sedangkan mengenai kenabian ia
mengungkapkan bahwa kenabian adalah
sesuatu yang diperoleh nabi yang tidak
melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah
siap menerima ajaran-ajaran Tuhan.
Sementara itu, menurut Al-Farabi,
manusia memiliki potensi untuk menerima
bentuk-bentuk pengetahuan yang terpaha-
Plato dan Aristoteles. Selain itu, dia juga menghabiskan
waktunya untuk mengajar dan menulis.
Akhir tahun 942 M, Al-Farabi hijrah dari Baghdad ke
Haleb (Aleppo) karena situasi politik yang memburuk.
Selama dua tahun tinggal di Aleppo, pada siang hari, AlFarabi bekerja sebagai penjaga kebun, sedangkan pada
malam hari dia membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Ia sempat pula hijrah ke Mesir lalu kembali lagi ke
Aleppo pada 949 M. Ketika tinggal di Damaskus untuk
yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari
putra mahkota penguasa baru Suriah, Saif al-Daulah.
Saif al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena
kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musik, serta
penguasaannya atas berbagai bahasa. Menurut banyak
sumber, Al-Farabi menguasai 70 macam bahasa dunia.
Semasa hidupnya, Al-Farabi telah menulis sejumlah
buku tentang logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika,
kimia, ilmu politik, musik, dan lain-lain. Yang terpenting di antara karya-karyanya ialah Agrad al-Kitab ma
Ba’da at-Tabi’ah (Intisari Buku Metafisika), Al-Jam’u
Baina Ra’yai al-Hakimaini (Mempertemukan Dua
Pendapat Filsuf: Plato dan Aristoteles), ‘Uyun alMasa’il (Pokok-pokok persoalan), Ara’u Ahl al-Madinah
(Pikiran-pikiran Penduduk Kota), dan Ihsa’ al-’Ulum
(Statistik Ilmu).
Kehidupan sufi yang dijalani Al-Farabi membuatnya
tetap hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang
tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Ia tutup usia di
Aleppo pada 970 M. Amir Saif al-Daulah kemudian
membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir
yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti Ummayah. ■ ed: syahruddin el-fikri
mi (ma’qulat) atau universal-universal.
Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh ‘intelek aktif’. Pencerahan oleh
‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi
serempak intelek potensial dan objek
potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi
menganalogkan hubungan antara akal
potensial dan ‘akal aktif’ seperti mata
dengan matahari.
Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama
dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual
ketika menerima sinar matahari. Bukan
hanya objek-objek indrawi saja yang bisa
dilihat, melainkan juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu
sendiri.
Filsafat kenegaraan
Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi
membagi negara ke dalam lima bentuk.
Pertama, ada negara utama (al-madinah alfadhilah). Inilah negara yang penduduknya
berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara
ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan
oleh para filsuf. Kedua, negara orang-orang
bodoh (al-madinah al-jahilah). Inilah negara
yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
Ketiga, negara orang-orang fasik (alMadinah al-fasiqah). Inilah negara yang
penduduknya mengenal kebahagiaan,
tetapi tingkah laku mereka sama dengan
penduduk negara orang-orang bodoh.
Keempat, negara yang berubah-ubah (almadinah al-mutabaddilah). Penduduk
negara ini awalnya mempunyai pikiran dan
pendapat seperti yang dimiliki penduduk
negara utama, tetapi mengalami
kerusakan.
Kelima, negara sesat (al-madinah addhallah). Negara sesat adalah negara yang
pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu orang
banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Selain menguasai filsafat, Al-Farabi juga
dikenal sebagai ilmuwan yang berjasa dan
memberi kontribusi dalam berbagai bidang
ilmu, seperti bahasa, logika, aritmatika,
fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik.
Tata bahasa Arab di pelajarinya dari
seorang pakar tata bahasa dan linguistik
kondang bernama Abu Bakr ibn Saraj.
Dalam bidang logika, Al-Farabi adalah
ahli logika Muslim pertama yang mengembangkan logika non-Aristotelian. Dia
membagi logika ke dalam dua kelompok,
pertama ide dan kedua bukti. Sosoknya
juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak
menggali pengetahuan tentang eksistensi
alam dalam fisika.
Selain seorang ilmuwan, Al-Farabi juga
dikenal luas sebagai seorang seniman. Dia
mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan
sistem nada Arab yang diciptakannya
hingga kini masih tetap digunakan musik
Arab. Dia juga berhasil menulis Kitab AlMusiqa, sebuah buku yang mengupas
tentang musik. Bagi Al-Farabi, musik juga
menjadi sebuah alat terapi.
■ ed: syahruddin el-fikri
Download