kemampuan guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir

advertisement
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
KEMAMPUAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN
BERPIKIR KREATIF PADA PEMBELAJARAN SAINS SD
RAMDHAN WITARSA 1
YULI NURUL FAUZIAH 2
Pendahuluan
Pelajaran sains sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa sehingga terwujud manusia
seutuhnya. Sebagai bagian dari proses pendidikan nasional, pembelajaran sains di SD
sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) agar dapat
menumbuhkan kemampuan berpikir (BSNP, 2006). Dalam inkuiri, siswa diharapkan
bisa kritis menemukan masalah dalam kehidupan dan mencari penyelesaian secara
kreatif sebab banyak macam keterampilan proses sains seperti mengamati,
menginterpretasi atau membuat hipotesis yang bisa dikuasai jika disertai dengan
keterampilan berpikir. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran sains, siswa perlu
mendapatkan pembinaan atau latihan dalam berpikir, baik berpikir kritis, kreatif, logis
atau cara berpikir yang lain.
Oleh karena itu, diperlukan transformasi pendidikan sains yaitu dari belajar
dengan menghafal menjadi belajar berpikir atau dari belajar yang dangkal menjadi
mendalam atau kompleks (Suastra, 2008). Siswa harus diperkenalkan dengan sains
sebagai mata pelajaran yang menarik karena bisa membantu untuk memahami tentang
dunia dan diri sendiri dimana guru harus bisa merancang dan melaksanakan
pembelajaran sains yang bisa meningkatkan daya imaginasi, kreatif, dan logis dalam
berpikir.
Pengembangan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa
Pembelajaran, Pelaksanaan, dan Tugas Pembelajaran Guru
dalam
Rencana
Salah satu keterampilan dasar yang perlu dikuasai siswa adalah keterampilan
berpikir. Mengajarkan keterampilan berpikir kepada siswa bisa dilakukan dengan cara
memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) agar dapat membantu siswa
untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif (Sutrisno, 2008). Micheolis
(1988 dalam Samion, 2002) membagi keterampilan berpikir (thinking skill) menjadi the
lower dan the higher. Yang termasuk the lower adalah perception, association, dan
concept attainment, sedangkan yang termasuk the higher adalah problem solving,
critical thinking, dan creative thinking. Sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi,
keterampilan berpikir kreatif tidak bisa dikuasai dengan tiba-tiba.
Berdasarkan analisis faktor, Guilford (dalam Supriadi, 1994) menemukan ada
lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif yaitu kelancaran (fluency),
keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration) dan perumusan
1
Ramdhan Witarsa adalah Dosen Luar Biasa di Jurusan Pedagogik FIP UPI Bandung dan
juga seorang praktisi pendidikan.
2
Yuli Nurul Fauziah adalah Dosen Luar Biasa di Jurusan Pedagogik FIP UPI Bandung dan juga
seorang praktisi pendidikan.
48
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
kembali (redefinition). Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak
gagasan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam
pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Orisinalitas adalah kemampuan untuk
mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise. Elaborasi adalah
kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci. Redefinisi adalah kemampuan
untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang
sudah diketahui oleh orang banyak.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan hubungan baru, melihat
subjek dari perspektif yang baru dan membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih
konsep yang sudah ada dalam pikiran (Evans, 1991). Siswa yang kreatif bisa
menunjukkan hal-hal inovatif dalam mengajukan ide dan kelak bisa menjadi sumber
daya yang bisa menciptakan suatu kreasi yang inovatif dan bisa bersaing dalam
masyarakat teknologi (Ward,et.al, 2006). Rhodes (dalam Munandar, 2009)
menyebutkan empat jenis definisi kreativitas sebagai Four P’s of Creativity yaitu
person, process, product, and press. Kaitan dari keempat P ini adalah pribadi yang
kreatif akan menghasilkan produk yang kreatif melalui proses yang kreatif pula dan
dengan dibantu oleh dorongan.
Pentingnya kreativitas dalam pendidikan tercermin dalam tujuan pendidikan
nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab 11 Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan
nasional antara lain adalah menghasilkan siswa yang kreatif. Selain itu dalam pasal 40
dinyatakan bahwa “Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”.
Pembelajaran yang kreatif adalah pembelajaran yang mendorong siswanya
untuk mengembangkan gagasan yang ada dengan menggunakan sumber belajar yang
ada (Indrawati dan Setiawan, 2009). Munandar (1993 dalam Mariati, 2006) menjelaskan
bahwa ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan di sekolah untuk meningkatkan
kreativitas seperti teknik sumbang saran (brainstorming), mengajukan pertanyaan
divergen yang memacu gagasan dan bermain peran. Brainstorming adalah salah satu
teknik yang paling populer untuk membangkitkan ide (Evans, 1991). Teknik ini berguna
untuk membangun pola berpikir sehingga bisa melihat sesuatu dengan cara lain.
Brainstorming bisa dilakukan secara berkelompok atau secara individual. Jika
dilakukan secara berkelompok, maka ide salah satu anggota kelompok bisa merangsang
ide dari anggota kelompok lain untuk melangkah ke tahap selanjutnya sehingga ide
yang dibangun bisa lebih mendalam (http://www.mindtools.com/brainstm.html). Tetapi
jika dilakukan secara individual, maka jangkauan ide bisa diperluas tanpa harus
khawatir dengan ego atau pendapat orang lain sehingga proses kreatif bisa lebih bebas.
Tujuan pembelajaran sains tidak sekedar agar siswa menguasai konten atau
materi sains tetapi juga harus bisa menjadi wahana untuk mendidik anak agar menjadi
manusia seutuhnya (Firman dan Widodo, 2008). Sikap ilmiah yang ditekankan dalam
pembelajaran sains sangat penting untuk dikuasai siswa agar bisa membekali dirinya
untuk menjadi manusia yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang
lain. Agar tujuan pembelajaran sains tercapai maka yang ditekankan dalam
pembelajaran bukanlah belajar apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt)
melainkan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
Berpikir berarti proses mental tingkat tinggi seperti memecahkan masalah,
menjelaskan, berkreasi, menemukan konsep, mengingat, mengklasifikasikan, membuat
simbol atau merencanakan (Siegler dan Alibali, 2005). Siswa SD kelas V yang berusia
49
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
antara 10 dan 12 tahun, memiliki tahap perkembangan berpikir antara periode
operasional konkrit dan periode operasional formal. Menurut Piaget (dalam Siegler dan
Anibali, 2005), karakteristik berpikir anak pada periode operasional konkrit yaitu yang
berusia antara 6 atau 7 sampai 11 atau 12 adalah bisa mengambil poin lain dari suatu
masalah, bisa secara simultan menemukan perspektif lain dan bisa secara akurat
menampilkan transformasi sebagaimana halnya situasi yang statis. Sedangkan anak
pada periode operasional formal memiliki karakteristik berpikir yaitu bisa menjelaskan
alasan suatu teori atau abstraksi sebaik realitas konkrit. Luasnya perspektif ini potensial
untuk menyelesaikan macam-macam masalah. Kemampuan berpikir siswa SD kelas V
diatas biasa menjadi modal untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif yaitu
keterampilan berpikir yang memiliki ciri bisa mengajukan macam-macam solusi suatu
permasalahan serta lancar mengajukan banyak ide yang sifatnya original secara individu.
Pengembangan keterampilan berpikir kreatif melalui pembelajaran sains tidak bisa lepas
dari kemampuan kognitif siswa secara umum dalam tahap usianya. Oleh karena itu,
upaya-upaya dalam mengembangkan keterampilan
berpikir kreatif ini harus
disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Tidak seperti pelajaran seni dimana kreativitas
dikembangkan secara bebas, dalam sains siswa harus menguasai konsep terlebih dahulu
sebelum kreativitasnya dikembangkan (Tapilouw, 1997). Jika konsep sudah dipahami,
maka ide-ide kreatif bisa muncul dari siswa asalkan mendapatkan bimbingan yang tepat.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, ternyata pembelajaran yang
bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif menemui banyak faktor
baik yang menghambat maupun yang mendorong. Munandar (1999, dalam Rachmawati
dan Kurniati, 2003) mengemukakan faktor penghambat pertumbuhan kreativitas siswa
di sekolah antara lain:
a.
Sikap guru yang terlalu banyak mengontrol.
b. Belajar dengan hapalan mekanis.
c. Ketidakmampuan guru membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan.
d. Tekanan akan konformitas.
Pengembangan keterampilan berpikir dalam pembelajaran tergantung kepada
kreativitas guru. Dalam proses pembelajaran, komponen yang selama ini dianggap
sangat mempengaruhi proses pendidikan adalah komponen guru, sebab guru merupakan
ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek
belajar (Sanjaya, 2009). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa guru yang berkualitas akan
menghasilkan siswa yang berkualitas sehingga rendahnya prestasi siswa
menggambarkan rendahnya kualitas guru di Indonesia (Jalal,et.al, 2009).
Kemampuan guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dalam
pembelajaran dipengaruhi faktor-faktor antara lain:
1. Profesionalisme guru.
Guru yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengajarkan
keterampilan berpikir kreatif bisa dikatakan bahwa guru tersebut adalah seorang yang
kreatif. Guru seperti ini memiliki wawasan ke depan dengan mempersiapkan siswanya
untuk bisa lebih menghadapai kehidupannya di masa depan yang semakin kompetitif.
Guru memiliki banyak peran dalam tugasnya. Selain sebagai pengajar, guru
juga harus bisa menjadi fasilitator, pendidik, penyampai informasi, model bagi siswanya,
evaluator atau pengayom. Agar dapat menjalankan multiperannya itu, guru harus
dibekali dengan pendidikan yang memadai disertai dengan akhlak yang baik. Guru
50
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
harus memiliki profesionalisme sebagai guru. Rochintaniawati (2010) menjelaskan lima
aspek yang perlu dimiliki oleh guru untuk dapat dikatakan profesional, yaitu:
pemahaman terhadap kurikulum (curriculum knowledge), pemahaman terhadap konten
(content knowledge), pemahaman terhadap pedagogi (pedagogical knowledge),
pemahaman terhadap konten pedagogi (pedagogical content knowledge) dan
pemahaman terhadap siswa (knowing of learner). Kelima aspek profesionalisme guru
tersebut bisa menjadikan guru sebagai pribadi yang secara profesional paham untuk
menjadikan siswanya sebagai peserta didik yang kreatif seperti yang ada dalam
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 11
Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain adalah
menghasilkan peserta didik yang kreatif.
2. Dorongan bagi guru agar bisa mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa.
Dalam melakukan tugasnya mengembangkan keterampilan berpikir kreatif,
guru yang kreatif memerlukan dorongan. Dorongan bisa secara instrinsik berupa
motivasi internal maupun ekstrinsik yang berasal dari lingkungan. Motivasi guru tidak
bisa dipaksakan ada tetapi dengan iklim sekolah yang menunjang maka motivasi guru
akan timbul. Begitu pula dengan siswa, agar motivasi kreatif siswa muncul maka guru
harus menciptakan iklim kelas yang menunjang. Iklim kelas yang bisa diciptakan guru
antara lain:
a.
Sikap guru. Guru harus lebih bersikap menumbuhkan motivasi dengan memberikan
instruksi dengan mengarahkan daripada memberi instruksi langsung yang meminta
siswa melakukan sesuatu yang diinginkan guru.
b. Pengaturan ruang kelas. Kelas diatur dengan gaya terbuka yang memiliki struktur
yang tidak kaku, tidak menekan kinerja siswa dan lebih banyak perhatian pada
individu (Munandar, 2009). Kelas hendaknya merangsang visual dengan
menampilkan hasil karya siswa dan boleh menggantinya dengan sesuai keinginan.
Dalam kelas hendaknya ada pusat sains atau pusat bahasa yang akan mendorong
siswa untuk bereksperimen dan membaca buku atau artikel yang menunjang.
Guru yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengajarkan
keterampilan berpikir kreatif bisa dikatakan bahwa guru tersebut adalah seorang yang
kreatif. Beberapa hal yang bisa menumbuhkan kreativitas mengajar dikalangan guru
seperti yang dijelaskan oleh Samion (2002) antara lain:
a.
Iklim mengajar yang memungkinkan guru meningkatkan pengetahuan dan
kecakapan dalam aktivitasnya.
b. Pemberian penghargaan dan dorongan semangat terhadap setiap upaya positif untuk
meningkatkan prestasi mengajar guru.
c. Kerjasama yang cukup baik antara guru untuk memecahkan masalah mengajar.
d. Perbedaan status yang tidak terlalu tajam diantara guru sehingga terjalin hubungan
yang lebih harmonis.
e. Pemberian kepercayaan kepada guru untuk meningkatkan diri dan menunjukkan
karya atau gagasan kreatifnya.
f. Memberikan kewenangan kepada guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Melalui hal-hal di atas, maka diharapkan motivasi guru untuk mengembangkan
keterampilan berpikir siswa akan meningkat. Kepala sekolah juga harus menghargai
51
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
usaha guru dalam setiap tindakan kreatifnya yang positif dengan memberi kesempatan
kepada setiap guru untuk berkreasi tanpa harus dituntut untuk melakukan suatu program
dengan cara yang sama. Namun jika kurikulum sekolah terlalu padat maka guru tidak
akan terlalu berpeluang untuk berkreasi.
Dalam perencanaan pembelajaran, secara umum guru menggunakan metode
ceramah, diskusi, percobaan, demonstrasi, penugasan, dan presentasi. Namun dari
banyak metode yang digunakan tidak ditegaskan kegiatan yang bisa mengembangkan
keterampilan berpikir kreatif kecuali hanya sebagian kecil saja. Sehingga memang guru
tidak merencanakan secara khusus untuk melaksanakan pembelajaran yang akan
mengembangkan keterampilan berpikir khususnya berpikir kreatif. Meskipun demikian,
kedua guru mengakui bahwa keterampilan berpikir kreatif perlu diajarkan kepada siswa
karena siswa akan lebih senang mengerjakan sesuatu dengan hasil lebih baik dan siswa
akan bertambah luas wawasannya.
Dalam setiap kegiatan pembelajarannya, terdapat penurunan frekuensi
kemunculan aspek keterampilan berpikir kreatif yang dikembangkan guru. Aspek
kelancaran (fluency) ternyata merupakan aspek paling dominan yang dikembangkan
guru dalam setiap pembelajaran. Sedangkan pengembangan keterampilan berpikir
kreatif siswa selama pembelajaran sains berlangsung yang dilakukan guru memiliki
frekuensi terbesar pada pembelajaran selanjutnya.
Pengembangan aspek kelancaran merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mendorong siswa untuk mengeluarkan ide, gagasan atau jawaban sebanyak-banyaknya.
Pengembangan aspek ini paling banyak dilakukan oleh guru dengan cara mengajukan
pertanyaan. Kemampuan guru dalam mengajukan pertanyaan merupakan kemampuan
dasar guru dan mudah untuk dilakukan. Hampir sebagian besar guru menggunakan
pertanyaan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Hanya sebagian kecil
saja guru menunjukkan suatu kondisi yang harus ditanggapi siswa.
Aspek keluwesan dan keaslian memerlukan kemampuan lebih dari guru untuk
mengembangkannya. Untuk mengembangkan aspek keluwesan guru harus mampu
membuat analogi-analogi atas suatu peristiwa untuk mendorong siswa membuat
alternatif ide, jawaban atau gagasan. Jika kelancaran dan keluwesan dapat
dikembangkan dengan baik, maka keaslian akan mengikuti. Sebab jika siswa lancar dan
luwes mengemukakan ide maka dari sekian banyak ide akan muncul keaslian.
Untuk mengembangkan aspek merinci, guru harus memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan ide sendiri dari awal. Kemudian siswa diminta
untuk menjelaskan mengapa dia mengeluarkan ide tersebut atau lebih memperkaya ideidenya dengan informasi lain yang dimilikinya agar lebih jelas dan lebih baik.
Sementara ini kesempatan yang diberikan guru agar siswa menjelaskan hasil diskusi
atau percobaan, tidak dipergunakan untuk menjelaskan jawaban lebih rinci melainkan
untuk memberitahu jawaban pertanyaan LKS atau menjelaskan hasil diskusi atau
percobaan tanpa menjelaskan sebab akibat dari jawaban tersebut.
Potensi siswa yang sesuai dalam tahap perkembangannya menurut Piaget
(dalam Siegler dan Anibali, 2005) sudah bisa mengambil poin lain dari suatu masalah,
bisa secara simultan menemukan perspektif lain, bisa secara akurat menampilkan
transformasi sebagaimana halnya situasi yang statis dan bisa menjelaskan alasan suatu
teori atau abstraksi sebaik realitas konkrit kurang dikembangkan. Walaupun guru
berusaha melaksanakan inkuiri dalam pembelajarannya namun yang dilakukan bukan
untuk menemukan melainkan untuk membuktikan suatu konsep. Siswa diberi informasi
52
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
tentang suatu konsep dan dalam kondisi kurang paham harus membuktikan konsep
tersebut dalam percobaan atau demonstrasi.
Lembar kerja siswa dalam pembelajaran lebih merupakan petunjuk kerja
dibandingkan untuk melatih berpikir. Langkah-langkah kerja serta alat dan bahan sudah
tersusun, siswa tinggal membaca, dan melakukan kemudian mengisi soal-soal yang
sifatnya bukan untuk membahas proses melainkan untuk menguji ingatan. Cara belajar
seperti ini tidak akan mengembangkan keterampilan berpikir siswa karena menurut
Mariati (2006), pendekatan pembelajaran yang harus dilakukan harus dua arah dimana
siswa belajar aktif (active learning approach) dalam berpikir, merencanakan, dan
bertindak. Salah satu hambatan pengembangan keterampilan berpikir kreatif adalah
sarana dan prasarana dalam pembelajaran sains adalah praktikum.
Dukungan kepada guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran ternyata
bisa juga menjadi pendorong. Pemberian penghargaan yang tulus dari pimpinan atau
rekan kerja dapat menjadi stimulus bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru
menjelaskan bahwa dukungan pimpinan sekolah dan orang tua siswa menjadi kendala
dalam melaksanakan pembelajaran. Hal ini bisa menjadi alasan bahwa bagaimanapun
pembelajaran yang dilakukan guru tetap saja tidak ada bedanya bagi guru sehingga guru
tidak termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya.
Kegiatan guru di luar sekolah seperti KKG ternyata tidak memberikan masukan
yang berarti untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Sebab walaupun guru aktif dalam
KKG namun pola pembelajaran yang dilakukan sama saja yaitu pola pembelajaran yang
teacher centered. Khusus untuk keterampilan berpikir kreatif, walaupun guru
menganggap penting, namun tidak menjadikan keterampilan berpikir sebagai prioritas.
Hal ini terlihat dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan yaitu guru menjelaskan
kemudian memberi LKS untuk dikerjakan siswa yang isinya tidak melatih kemampuan
berpikir kecuali untuk menghapal. Kegiatan pembelajaran seperti ini akan
membosankan bagi siswa sehingga minat siswa untuk belajar akan kurang.
Dalam pemberian tugas pembelajaran, hanya guru memberi tugas kepada siswa
untuk mengembangkan aspek fluency yaitu memberi tugas untuk menjelaskan hasil
percobaan dengan pendapat sendiri dan tugas untuk mengembangkan aspek fluency dan
flexibility yaitu siswa ditugaskan untuk membuat periskop dengan alat dan bahan yang
dikreasikan sendiri.
Pemberian tugas pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir
kreatif ternyata berbanding lurus dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Tugas
pembelajaran yang dominan baik dari guru berupa mengerjakan petunjuk kegiatan LKS
yang sudah jadi dan dibuat guru. Adapun tugas pembelajaran kreatif yang diberikan
guru merupakan ide spontan karena tidak ada dalam rencana pembelajaran.
Penutup
Pengembangan aspek keterampilan berpikir kreatif yaitu kelancaran dan
elaborasi ada dalam rencana pembelajaran guru. Namun aspek keluwesan direncanakan
guru dalam pembelajaran pertama, sedangkan aspek keaslian sama sekali tidak ada
dalam rencana pembelajaran guru. Pengembangan keterampilan berpikir kreatif dalam
pelaksanaan tiga kali pembelajaran oleh guru didapatkan rata-rata hanya sekitar 11
menit dan guru lainnya rata-rata hanya sekitar empat menit dari dua jam pelajaran yang
dilakukan. Tugas pembelajaran dari guru dalam pembelajaran sains yang
mengembangkan keterampilan berpikir kreatif hanya diberikan oleh guru. Latar
belakang pendidikan guru, kegiatan guru di luar sekolah dan sertifikasi guru tidak
53
DP. Jilid 11, Bil. 2/2011
Pendidikan Sains
mempengaruhi kegiatan pembelajaran guru dalam mengembangkan keterampilan
berpikir kreatif.
Daftar Pustaka
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Doni, Hendrawan. (2008). Penerapan Model Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Pencapaian Kompetensi Belajar Siswa. Tesis
Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung: Tidak diterbitkan.
Gunawan W, S. (2009). Analisis Kesesuaian RPP yamg Dibuat Guru SD
dengan Pelaksanaan Pembelajaran Sains. Tesis pada Pascasarjana
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Haury, D.L. (1993) Teaching Science Through Inquiry.
Tersedia:http:www.Ericfacility.net/database/ERIC CSMEE Diges
(march.ed) 359-480.[15 April 2008].
Hinrichsen, J., & Jarrett, D. (1999). Science Inqury for the Classroom: a Literature
Review. Portland: Northwest Regional Educational Laboratory.
Hendracipta, N. (2008). Analisis Kemunculan Aspek Inkuiri pada Pelaksanaan
Kegiatan Pembelajaran IPA. Tesis SPs UPI: tidak diterbitkan.
National Research Council. (2000). National Science Educations Standards.
Washington
DC:
National
Academy
Press
http://books.nap.edu/html/inquirvaddendum/notice.html
NSTA & AETS. (1998). Standars for Science Teacher Association Preparation.
America.
54
Download