perikanan tangkap nad sebelum tsunami

advertisement
PERIKANAN TANGKAP DI NAD SEBELUM TSUNAMI
Nazamuddin
Universitas Syiah Kuala
Socioeconomy
NAD adalah sebuah provinsi yang mempunyai 21 kabupaten/kota dan 16 diantaranya
berbatasan langsung dengan lautan. Kondisi geografis ini menyebabkan sektor kelautan dapat
dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakat dan dapat dikembangkan
menjadi sumber
pendorong perekonomian terutama dari segi industri perikanan. Pada tahun 2003, PDRB NAD
tanpa migas pada harga konstan 1993 sebesar 6.666.362,69 juta rupiah disumbangkan oleh
sektor pertanian sebanyak 40,37% , khususnya sub sektor perikanan sebesar 8,06% (Aceh Dalam
Angka, 2003). Dengan jumlah pekerja di sektor ini sebanyak 1.020874 atau 62,05% dari jumlah
penduduk di atas 10 tahun yang telah bekerja di tahun 2003. Terlebih lagi ekspor hasil laut dari
Aceh pada tahun 2002 mencapai 144.876 kg dengan nilai 334.932 US$. Berdasarkan hal ini, jika
sector pertanian khususnya sub sector perikanan dikembangkan maka akan dapat
memberdayakan lebih banyak tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Produksi hasil laut yang dihasilkan oleh nelayan di NAD mencapai 134.076 ton dari jenis
ikan, crustaceans dan molusc dengan nilai produksi lebih dari 800 milyar rupiah. Hasil laut Aceh
yang mempunyai nilai tinggi, seperti: Kerapu, Tuna, Cakalang, Bawal Hitam, dan juga Teri.
Selain dari Ikan, laut Aceh juga menghasilkan Kepiting, Udang Windu, dan lobster,terutama
dipantai Selat Malaka. Sedangkan di Pantai Barat lebih banyak menghasilkan tiram, scallop, dan
cumi-cumi.
Potensi laut ini sangat memungkinkan untuk dijadikan andalan bagi sumber penghasilan
masyarakat jika pengolahan hasil penangkapan dapat dilakukan di Aceh dan di ekspor melalui
pelabuhan di Aceh sehingga efek multiplier dapat terjadi di daerah ini dan bukan di daerah lain
seperti Medan, tempat dimana hasil laut Aceh dikumpulkan selama ini, sebelum di ekspor ke
luar negeri.
Usaha perikanan tangkap di NAD, selama ini masih diusahakan secara sederhana yang
terlihat dari penggunaan perahu tanpa motor yang masih 38,9% dari jumlah semua perahu,
bahkan untuk kapal yang telah menggunakan motor 61,4% hanya menggunakan motor dengan
kekuatan lebih kecil 5 GT. Alat penangkap ikan yang digunakan juga masih 38,17% berupa
pancing, 36,1% jaring, dan hanya 14% memakai pukat.
Penggunaan peralatan dan perlengkapan (fishing effort) melaut yang masih sederhana ini
bisa mempengaruhi hasil tangkapan. Dengan peralatan berupa perahu tanpa motor dan pancing
maka nelayan tersebut hanya akan mendapatkan ikan-ikan permukaan yang berada disekitar
pantai. Ikan-ikan ini biasanya untuk konsumsi lokal dan mempunyai harga yang relatif lebih
rendah. Nelayan dengan konsumsi seperti ini melaksanakan usaha perikanannya secara informal.
Pemasaran terhadap hasil tangkapan biasanya langsung dijajakan dengan hanya menggunakan
motor bebek ke komplek-komplek perumahan di sekitar tempat pendaratan ikan (PPI atau TPI).
Sedangkan bagi nelayan dengan kapal bermotor mampu melaut lebih jauh ke tengah laut
sehingga mendapat ikan-ikan pedalaman (demorsal) yang relative lebih mahal harganya, seperti:
cakalang, tuna, bawal dan juga cucut. Dengan menggunakan pukat, hasil yang diperoleh bisa
lebih banyak dan mempunyai harga yang lebih tinggi. Namun, kendala berikutnya adalah
industri pengolahan ikan yang masih minim, terutama untuk ikan tujuan ekspor yang masih
dilakukan di provinsi di luar Aceh. Sehingga hasil tangkapan di perairan NAD ini harus dibawa
ke luar daerah untuk diproses sebelum diekspor ke luar negeri.
Berikut adalah table yang menunjukkan profil sub sector perikanan tangkap di NAD
selama tahun 2003 yang disadur dari Statistik Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan
Nanggroe Aceh Darussalam.
Uraian
Jumlah rumah tangga nelayan
Jumlah perahu (dengan dan tanpa motor)
Jumlah penangkap ikan (pukat, jaring,
pancing,perangkap ikan, tombak dll)
Produksi ikan
Produksi Binatang berkulit keras (crustaceans)
seperti craps, lobster, shrimps
Produksi Binatang berkulit lunak (molluscs)
seperti oyster,scallops, clams, squids
Nilai Produksi ikan
Nilai Produksi Binatang berkulit keras
(crustaceans)
Nilai Produksi Binatang berkulit lunak
(molluscs)
Jumlah
Pantai Barat
7.727
Pantai Selat Malaka
9.558
Total
17.285
Pantai Barat
8.265
Pantai Selat Malaka
7.805
Total
16.070
Pantai Barat
15.525
Pantai Selat Malaka
10.563
Total
26.088
Pantai Barat
65.617,1 ton
Pantai Selat Malaka
60.356,1 ton
Total
125.973,2 ton
Pantai Barat
2.317,2 ton
Pantai Selat Malaka 4.789,2 ton
Total
7.106,4 ton
Pantai Barat
380,8 ton
Pantai Selat Malaka 543,5 ton
Total
924,3 ton
Pantai Barat
Rp. 453.757.988.000,Pantai Selat Malaka Rp. 266.320.399.000,Total
Rp. 720.078.387.000,Pantai Barat
Rp. 51.546.700.000,Pantai Selat Malaka Rp. 84.353.335.000,Total
Rp. 135.900.035.000,Pantai Barat
Rp. 4.471.640.000,Pantai Selat Malaka Rp. 2.699.940.000,Total
Rp. 7.171.580.000,-
Sumber: DKP, Statistik Perikanan Tangkap 2003
Kondisi Sekarang
Potensi yang cukup besar di perairan NAD ini mengalami kerusakan yang parah setelah
terjadi bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. BAPENAS
memperkirakan kerusakan di sector perikanan saja sekitar 11,5% dari 4,5 milyar dolar total
kerusakan yang terjadi di NAD akibat bencana alam tersebut.
Berdasarkan laporan Dirjen Kelautan dan Perikanan pada pertemuan Panglima Laot
seluruh Aceh dinyatakan bahwa korban nelayan akibat gempa dan tsunamimencapai 61.135
orang di SUMUT dan NAD, sebanyak 54.509 orang merupakan korban nelayan Aceh saja dan
jumlah kapal/perahu yang rusak mencapai 9.563 unit di Aceh saja.
Dalam usaha membangun kembali Aceh terutama di bidang perikanan dan membantu
masyarakat pesisir ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
Masalah
Kehilangan
pekerjaan
Kehilangan tempat
tinggal
Akar permasalahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
Tidak memiliki boat
Tidak memiliki alat tangkap
Tidak memiliki kendaraan untuk menjaja ikan
Toko rusak
kesulitan untuk mendapatkan modal usaha
Tidak mempunyai kemampuan untuk Switch Job setelah bencana
Pemukiman hancur secara fisik
Bukti kepemilikan bangunan dan tanah telah hilang
Kemungkinan membangun kembali rumah kecil sekali karena tidak
punya dana
Wanita
nelayan
1. tidak punya skill dan akses untuk mendapatkan income selain dari
tidak
mampu
suami.
membantu income
2. kurangnya skill dan modal untuk memulai usaha baru.
keluarga
Dengan mengidentifikasi permasalahan di atas diharapkan sub sector perikanan terutama
perikanan tangkap di NAD dapat dikembangkan sehingga mampu menjadi sector pendorong
perkenomian daerah setelah musibah gempa dan tsunami yang telah melumpuhkan
perekonomian Aceh secara keseluruhan.
Socioculture
Jumlah penduduk pesisir mencapai 84.000 lebih nelayan diseluruh NAD, sudah
berkembang sejak ratusan tahun yang lalu telah membentuk suatu adat istiadat tersendiri bagi
para nelayan dan telah tercipta suatu Hukom Laot yang dimengerti dan dipahami sebagai aturan
bersama dan wajib ditaati.
Peraturan seperti larangan melaut di hari raya Islam atau ketika ada nelayan yang hilang
di laut sangat ditaati karena dipercaya sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap alam
dan warisan leluhur. Pelaksana hukom laot ini adalah seluruh masyarakat pesisir di NAD yang di
pimpin oleh seorang Panglima Laot di suatu kawasan tertentu yang disebut lhok. Kawasan ini
tidak memiliki pembatasan wilayah secara hukum Negara tapi di tandai dengan batas-batas alami
yang terdapat di lhok tersebut. Dan jabatan sebagai panglima laot juga tidak diberikan secara
turun temurun tetapi dipilih oleh masyarakat yang ada di kampung-kampung nelayan yang
terdapat di lhok tersebut.
Hukom laot ini juga mengatur tata cara pengambilan ikan/hasil laut yang adil sehingga
tidak ada nelayan yang dirugikan oleh nelayan lain. Sebagaimana diceritakan oleh Panglima Laot
Lampuuk (salah satu daerah di kawasan Lhoknga); berdasarkan aturan Hukom Laot di Aceh
Besar, jika ada satu perahu yang sedang menunggu ikan untuk ditangkap, maka perahu lain
hanya boleh melalui perahu itu sejauh 300 meter. Atau jika kurang dari 300 m maka mesin dan
lampu perahu kedua harus dimatikan. Hal ini harus dilakukan agar ikan yang sedang ditunggu
tidak lari karena suara mesin dan tidak lari menuju perahu yang mempunyai lampu lebih terang.
Peraturan-peraturan ini sangat dipahami oleh pimpinan adat dalam hal ini disebut Panglima Laot
yang berfungsi sebagai penengah jika ada sengketa di laut dan di kampong nelayan tersebut.
Fungsi panglima laot bukan hanya sebagai pemangku adat di laut, tapi juga harus
memahami adat istiadat yang berlaku di kampung nelayan termasuk adat perkawinan yang
berlaku di kawasan tersebut. Selain panglima laot juga jabatan adat berupa Pawang laot yang
memimpin di setiap perahu/kapal yang akan melaut. Pawang ini yang biasanya mempunyai
keahlian untuk memprediksi keadaan laut sehingga dapat memperkirakan kawasan mana yang
akan didatangi untuk menangkap ikan pada hari tersebut. Berdasarkan hal ini dapat diketahui
bahwa usaha perikanan laut di NAD masih tradisional sehingga pengembangan sub sector
perikanan untuk dijadikan andalan bagi pembangunan daerah masih sulit terlaksana.
Download