makalah seminar umum

advertisement
MAKALAH SEMINAR UMUM
PENGARUH MONOKULTUR TANAMAN TEBU (Saccharum Officinarum
L.) TERHADAP STATUS NPK DI DALAM TANAH
Dosen pembimbing seminar : Ir. Sri Muhartini, M.S.
OLEH
CITRA RECHA SARI
10/ 300274/ PN/ 12008
PROGRAM STUDI
AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH SEMINAR UMUM
PENGARUH MONOKULTUR TANAMAN TEBU (Saccharum Officinarum L.)
TERHADAP STATUS NPK DI DALAM TANAH
OLEH
CITRA RECHA SARI
10/ 300274/ PN/ 12008
Laporan ini telah disahkan dan diterima sebagai kelengkapan mata kuliah Seminar Umum yang
disetujui oleh:
Pembimbing Seminar Umum
Ir. Sri Muhartini, S.U.
Tanda tangan
Tanggal
....................................
………………...
....................................
………………...
Komisi Seminar Umum
Ir. Sri Muhartini, M. S.
Ketua Jurusan
Dr. Ir. Taryono, M.Sc
………………………
………………...
2
I.
PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang
Penanaman merupakan suatu proses yang sangat penting dalam proses pengembangan
tanaman, karena pada proses ini bila tidak sesuai maka tanam yang ditanam dapat mengalami
kesulitan tumbuh atau kematian. Tanaman juga memiliki peran yang tinggi dalam
kelansungan hidup manusia, karena tanaman dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan
atau diolah menjadi barang yang berguna bagi manusia. Salah satu tanaman yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia adalah tebu. Tebu dapat dimanfaatkan manusia
sebagai gula alami yang aman atau pengawet alami makanan karena kandungan glukosa.
Secara nasional, di tahun 2012, total kebutuhan konsumsi gula mencapai 5,2 juta
ton/tahun. Angka ini terdiri dari demand gula untuk industri sebesar 2,5 juta ton/tahun dan
demand untuk konsumsi rumah tangga langsung sebesar 2,7 juta ton/tahun. Sementara itu,
supply gula untuk industri hanya dapat dipenuhi sekitar 2,1 ton/tahun. Angka ini merupakan
hasil pemotongan kuota sebesar 400 ribu ton dari tahun sebelumnya. Sementara itu, pasokan
gula kristal putih untuk industri rumah tangga langsung hanya dapat dipenuhi sekitar 2,1 juta
ton per tahun. Padahal produksi sudah ditopang oleh 62 pabrik gula seluruh Indonesia, yakni
51 pabrik milik BUMN, dan 11 pabrik milik swasta. Apalagi setelah kuotanya dipotong, dari
2,5 juta ton dipotong 400.000 ton. Jadi kuotanya tinggal 2,1 juta ton, ditambah produksi gula
kristal putih 2,1 juta ton. Artinya gula nasional saat ini mengalami defisit sebesar 600.000 ton
Kini Indonesia menjadi negara pengimpor gula terpenting di dunia setelah Rusia. Impor gula
yang tinggi serta harga gula internasional yang murah mempersulit sebagian besar pabrik
gula untuk bertahan dalam Industri Gula Nasional (IGN). Di samping itu impor gula yang
tinggi merupakan ancaman terhadap kemandirian pangan. Kemandirian pangan sangat
penting bagi negara berkembang berpenduduk besar dengan daya beli rendah seperti
Indonesia (Soejono, 2003).
Pada pertanaman monokultur peningkatan secara komersial dimaksudkan untuk
meningkatkan produksi per satuan luas lahan, antara lain melalui peningkatan populasi
dengan mempersempit jarak antarbaris tebu. Dengan peningkatan populasi ini ketersediaan
lahan, lengas tanah, unsur hara, dan cahaya matahari dapat dimanfaatkan tebu semaksimal
mungkin sehingga dapat memberikan peningkatan rendemen per hektar.
Monokultur tebu sangat menguntungkan bagi petani dan industri gula, karena
mengurangi biaya produksi sebesar 30-40%. Tapi produktivitas tebu di bawah multiratooning
menurun sebesar 30-50% setiap tahun disebabkan oleh penurunan kualitas tanah baik fisik
3
maupun kimiawi (kandungan nutrien) (Ghayal et al., 2011). Degradasi tanah telah menjadi
hasil dari monokultur jangka panjang tebu. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sebuah
penelitian khusus yang menunjukkan bahwa monokultur jangka panjang, lalu lintas yang
tidak terkontrol dari mesin-mesin berat dan pengolahan berlebihan bersama dengan praktekpraktek yang menguras bahan organik semua berkontribusi untuk menghasilkan penurunan
pada kualitas tanah (Garside et al., 1997).
Masalah ini terjadi pada industri gula di Indonesia yang mengalami penurunan tingkat
produktivitas. Luas areal tebu di lahan sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini
areal tebu di lahan sawah tinggal sekitar 40%, selebihnya telah beralih ke lahan kering
(Anonim, 2012).
I.B. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh sistem monokultur tanaman tebu (Saccharum officinarum L.)
terhadap penurunan hasil produksi.
2. Mengetahui pengaruh ratooning terhadap hasil tanaman tebu (Saccharum officinarum
L.).
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Tebu (Saccharum officinarum Linn) adalah tanaman untuk bahan baku gula. Tanaman
ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumputrumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.
Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera (Wikipedia, 2007)
Sejak zaman kuno, para petani telah mencatat pengurangan hasil tanaman di bawah
sistem pertanaman monokultur tebu. Faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena ini
adalah para alelokemikal yang dirilis melalui dekomposisi residu tanaman dan eksudasi dari
sistem akar tebu ratoon. Penelitian mengenai monokultur jelas menunjukkan bahwa penyakit
tanah dan hama tebu dan penyakit adalah penyebab utama dari penurunan hasil sistem
monokultur tanaman tebu (J.V. Lovette and A.P. Hurry, 1992). Menurunnya sifat fisik dan
biologi tanah memberikan pengaruh negatif terhadap populasi tebu melaui pengurangan
mikroorganisme tanah yang menguntungkan dan nutrien-nutrien penting (Ghayal et al.,
2011).
Dampak
positif
pertanian
monokultur
tumbuhan
tebu
adalah (1) mempermudah petani dalam produksi karena tanaman tebu lebih mudah
perawatannya dibanding dengan tanaman produksi lainnya; (2) kesejahteraan petani
meningkat karena persentase gagal panen tanaman sangat kecil; (3) terbukanya lapangan
pekerjaan untuk masyarakat dari pertanian tebu karena ada beberapa proses pertanian yang
membutuhkan bantuan orang banyak, seperti pada saat pembibitan, pemupukan dan
pemanenan; (4) berjalannya pabrik-pabrik industri gula dan home industry yang semakin
maju karena pasokan bahan tumbuhan tebu cukup banyak.
Sedangkan dampak negatif pertanian monokultur tumbuhan tebu adalah (1)
menurunnya kualitas tanah akibat pertanian monokultur tebu yang berkelanjutan. Hal ini
terindikasi dengan tekstur tanah yang mengeras dan ada yang menjadi pasir; (2) rusaknya
ekosistem pada area lahan pertanian tebu karena proses pasca panen melalui pembakaran
sisa-sisa daun tebu yang menyebabkan kematian hewan dan vegetasi yang menguntungkan
maupun merugikan untuk pertanian; (3) petani menjadi tergantung pada pupuk sintetis karena
menurunnya kualitas tanah akibat pertanian tebu terus menerus menyebabkan petani harus
menggunakan pupuk sintetis tiap tahun; (4) karena mudahnya penjualan tanaman tebu mulai
marak Praktek Ijon penjualan tanaman tebu; (5) menigkatkan timbulnya serangan hama dan
penyakit.
5
Industri gula di Australia mengalami penurunan hasil produksi yang mereka
definiskan sebagai hilangnya kapasitas produktif tanah dalam membantu pertumbuhan tebu
dalam jangka panjang penerapan sistem monokultur. Penurunan hasil merupakan masalah
yang telah menjangkiti sistem produksi tebu di seluruh dunia selama lebih dari setengah abad.
Penurunan hasil produksi telah jelas terkait dengan degradasi tanah disebabkan oleh
monokultur tanaman tebu jangka panjang, yaitu terjadi pengurasan unsur hara dari dalam
tanah (Garside et al., 1997).
Multiratooning tebu adalah penanaman tanaman tebu secara berkelanjutan dan terus
menerus. Di sebagian negara berkembang sistem ini memberi keuntungan. Di India kisaran
ratoon biasanya dua sampai sepuluh kali. Sementara di negara bagian Maharashtra, maksimal
berbagai multi-ratooning ini hanya dua sampai empat. Multiratooning memiliki korelasi
mikroflora yang baik, proses enzimatik, dan kesuburan tanah. Mikroorganisme yang
berhubungan dengan akar baik mikroba maupun mikroflora yang terlibat dalam interaksi
allelopati dan memicu pelepasan alelokemikal (UNDP, 2010).
Mikroflora tanah adalah salah satu jasad hayati tanah. Secara umum terdapat dua
golongan jasad hayati tanah, yaitu yang menguntungkan dan yang merugikan. Jasad hayati
yang menguntungkan ini, yaitu yang terlibat dalam proses dekomposisi bahan organik,
pengikat/penyediaan unsur hara dan atau pembentukan serta perbaikan struktur tanah.
Sedangkan jasad yang merugikan adalah yang memanfaatkan tanaman hidup, baik sebagai
sumber pangan atau sebagai inangnya, yang disebut sebagai hama atau penyakit tanaman
maupun sebagai kompetitor dalam penyerapan hara dalam tanah.
Mikroflora tanah meliputi: ganggang (ganggang hijau dan hijau-biru); Cendawan
(jamur, ragi); dan bakteri (aerobik dan anaerobik). Bakteri aerobik adalah bakteri yang
membutuhkan oksigen untuk proses respirasi.meliputi Azotobakter, Beijerinkia, Rhizobium
dan Azospirillum. Bakteri aerob memiliki manfaat dalam memecah gula menjadi air,
karbondioksida (CO2), dan energi. Oleh karena itu, saat ini, bakteri aerob banyak
dimanfaatkan untuk pengolahan limbah-limbah cair yang dihasilkan dari pabrikpabrik. sebagai penyubur tanah dengan proses nitrifikasi yang dilakukannya di dalam tanah.
Bakteri aerob bekerja dengan mengikat molekul-molekul nitrogen untuk dijadikan senyawa
pembentuk tubuh mereka. Bakteri aerob juga berfungsi sebagai zat pembusuk alami yang
dapat mendekomposisi sampah-sampah organik menjadi inorganik sehingga dapat
mengurangi jumlah sampah, menyuburkan tanah, dan menjadi sumber nutrisi tumbuhan.
Bakteri anaerob adalah bakteri yang berkembang biak tidak membutuhkan udara
(oksigen). Bakteri anaerob memiliki manfaat antaralian: (1) untuk pembuatan dekomposer;
6
(2) untuk Bio fertilizer; (3) dimati surikan kemudian diolah untuk campuran makanan ternk
agar cepat menguraikan makanan dalam pencernaan ternak; (4) ditambahkan dalam
pembuatan pupuk granul maupun pupuk kompos; (5) pengusir bau dan pengurai limbah
organik.Bakteri anaerobik meliputi Desulfovibrio.
Selain berhubungan terhadap keberadaan mikroba dan miklroflora dalam tanah,
multiratooning pun memiliki kolerasi terhadap proses enzimatik di dalam tanah. Enzim tanah
memiliki
fungsi
penting,
di
antaranya
dalam:
(1)
siklus
nutrisi,
(2) mempengaruhi kesuburan secara efisien, (3) merangsang aktivitas degradasi bahan
organik, dan (4) berperan dalam indikator kualitas tanah. Aktivitas enzim tanah dipengaruhi
oleh:
1.
Kelembaban tanah, suhu, aerasi dan struktur, pH, kandungan koloid anorganik dan
organik
2.
Terdapatnya substansi nutrien bagi organisme tanah
3.
Vegetasi
4.
Kualitas dan kuantitas bahan organik
5.
Adanya inhibitor dan aktivator
6.
Perlakuan terhadap tanah
Sumber enzim tanah termasuk mikroba hidup dan mati, akar tanaman dan residu, dan
hewan tanah. Enzim stabil dalam matriks tanah menumpuk atau membentuk kompleks
dengan bahan organik (humus), tanah liat, dan humus-liat kompleks, tetapi tidak lagi
berhubungan dengan sel yang layak. Diperkirakan bahwa 40 sampai 60% dari aktivitas enzim
dapat berasal dari enzim stabil, sehingga kegiatan tidak selalu berkorelasi tinggi dengan
biomassa mikroba atau respirasi.
Enzim merespon perubahan pengelolaan tanah jauh sebelum perubahan indikator kualitas
tanah lainnya yang terdeteksi. Enzim tanah memainkan peran penting dalam dekomposisi
bahan organik dan siklus hara (lihat tabel 1). Beberapa enzim hanya memfasilitasi pemecahan
bahan organik (misalnya, hidrolase, glukosidase), sementara yang lain terlibat dalam
mineralisasi hara (misalnya, amidase, urease, fosfatase, sulfat).Dengan pengecualian dari
aktivitas fosfatase, tidak ada bukti yang kuat yang secara langsung berhubungan aktivitas
enzim pada ketersediaan hara atau produksi tanaman (Astutik et al, 2009).
7
III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertanian monokultur adalah pertanian yang hanya menggunakan satu jenis vegetasi
yang di tanam. Sistem pertanian monokultur memiliki dampak positif dan negatif, khususnya
dapat menyebabkan pengurasan unsur hara di dalam tanah oleh tanaman yang sama
berakibat tanah yang sebelumnya bersifat subur menjadi kurang subur untuk ditanami.
Di dalam laporan seminar umum ini dibahas tentang perbandingan status NPK pada
lahan pertanaman tebu monokultur pada frekuensi ratoon yang bervariasi, yaitu plant cane (1
kali ratoon/R1), 2 kali (R2), 3 kali (R3), 5 kali (R5), dan 6 kali (R6). Varietas tebu yang
digunakan adalah CoC671 dan Co 86032.
Identifikasi mikroflora tanah
Lingkungan mikro dan mikroflora dalam kontak dengan akar tanaman dapat diubah
oleh eksudat yang mengandung berbagai jenis senyawa organik dan anorganik. Beberapa
eksudat metabolit merangsang pertumbuhan mikroba, tetapi ada yang bersifat menghambat.
Sifat eksudat akar menentukan keseimbangan mikroba dalam rhizosfer tanah, yang mungkin
memiliki efek langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan dan perkembangan
tanaman penerima. Rhizosfer adalah daerah di sekitar akar tanaman dimana memungkinkan
terjadi interaksi antara akar dengan faktor lingkungan; terjadi asosiasi dengan mikrobia,
penyerapan unsur hara, dan penyerapan air. Data pada mikroflora tanah rizosfer
menunjukkan jenis yang berbeda dari jamur yang berbahaya dan bakteri dikembangkan
dalam tanah rizosfer tebu di bawah pertanian tunggal dibandingkan dengan kontrol mutlak
dan tebu tanaman kedua kultivar di zona pemulihan menengah (Tabel 1).
8
Tabel.1 Hasil Pengamatan Mikroflora pada sampel tanah
Frekuensi
ratoon
*kontrol
Jamur
Coc 671
Co 86032
Penicillim flavus
Penicillium expansum
Aspergilus falvus,
Aspergilus falvus,
Plant cane (R1) Penicillim flavus
Penicillium expansum
Alternia alternata
Aspergilus falvus,
Penicillium expansum
Penicillium expansum
Alternia alternata
R2
Fusarium oxysporum
Fusarium oxysporum
Paecilomyces marquandi Aspergilus niger
Aspergilus niger
Aspergilus falvus,
R3
Penicillium expansum
Penicillium expansum
Fusarium oxysporum
Fusarium moniliforme
Verticillium alboatrum
Aspergilus falvus,
Aspergilus falvus,
Fusarium moniliforme
Penicillium expansum
Rhizoctonia
Fusarium oxysporum
R5
Curvularia lunata
Alternia alternata
Cladosporium cladosporiodes
Verticillium alboatrum
Trichoderma viride
Aspergilus falvus,
Aspergilus niger
Penicillium expansum
Penicillium expansum
R6
Paecilomyces marquandi Curvularia lunata
Trichoderma viride
Gladosporium
Coc 671
Actinomycetes
Staphylococcus lentus
Bakteri
Co 86032
Agrobacterium radiobacter
Enterbacter erogens
Agrobacterium radiobacterAgrobacterium radiobacter
Enterbacter gergoviae
Actinomycetes
Agrobacterium radiobacter
Brevundimonas diminuta Azotobacter
Azotobacter
Echerichia coli
Actinomycetes
Tabel di atas menunjukkan pertumbuhan jamur dan bakteri berbahaya seiring dengan
meningkatkan frekuensi ratooning pertama (plant cane/R1), tahun kedua (R2), tahun ketiga
(R3), tahun kelima (R5), tahun keenam (R6). Dati tabel di atas dapat dinyatakan bahwa
peningkatan frekuensi multi-ratooning menyebabkan tumbuhnya jamur berbahaya seperti
Fusarium oxysporum, F. moniliformae, Rhizoctonia, Cladosporium, Alternaria, Aspergillus
niger. Demikian pula bakteri berbahaya seperti Enterobacter dan Agrobacter yang sering
terdeteksi di bawah sistem monokultur tebu. Mikroflora tersebut merusak sifat kimia tanah
seperti kandungan nutrisi melalui penggunaan nutrien terlarut yang menjadi pesaing tanaman
tebu sehingga mempengaruhi produktivitas tanaman. Di antara spesies mikroba, Fusarium
oxysporum adalah yang paling buruk dampaknya dikarenakan dapat mensekresikan asam
fusarat, yang dapat memproduksi phytotoxins yang memiskinkan pertumbuhan tanaman tebu
melalui perubahan pH tanah yang menjadi asam.
Jumlah mikroba pada rizosfer tanah
Jumlah Azotobacter pada rizosfer tanah di bawah sistem monokultur meningkat
signifikan dengan meningkatnya frekuensi ratooning bila dibandingkan antara kontrol dan
zona pemulihan menengah dari kedua kultivar (Tabel 2). Perubahan ini dianggap sebagai
indikator sensitif dari kualitas tanah. Perubahan jumlah mikroba biasanya sebagai tanggapan
9
dari siklus bahan organik dalam tanah. Biomassa mikroba berfluktuasi karena terjadi
perubahan substrat karbon dan nutrisi yang tersedia. Setelah panen pada akhir tanaman ratoon
terdapat perubahan atau penggabungan 5 sampai 6 ton sisa tanaman per hektar. Residu
tanaman ini (daun kering tebu) dapat menambahkan karbon organik di tanah dan mungkin
bertanggung jawab untuk menginduksi perubahan mikroflora tanah. Hal ini menjadi alasan
dari variasi jumlah mikroba pada monokultur tebu. Ada hubungan antara frekuensi ratooning
dan residu membusuk terhadap jenis mikroba.
Tabel. 2 Jumlah Colony dari Mikroflora
Frekuensi
Ratoon
*kontrol
Azotobacter
Coc 671
Co 86032
Residue decomposing microbes
Other microbes
Coc 671
Co 86032
Coc 671 Co 86032
2 x 104
1 x 104
2 x 107
3 X 107
5
5
7
7
12 X 107 1 X 108
R1
3 X 10
2 X 10
3 X 10
5 X 10
14 X 107
11 X 107
R2
2 X 105
2 X 105
4 X 107
1 X 107
17 X 107
12 X 107
R3
2 X 105
2 X 105
5 X 105
3 X 103
17 X 107
12 X 107
R5
3 X 105
3 X 106
7 X 107
3 X 107
20 X 107
6 X 107
R6
3 X 107
3 X 107
1 X 107
3 X 107
12 X 107
20 X 108
LSD
SIGNIFICANCE
3.63 X 106 3.65 X 106 5.69 X 106 3.29 X 106
**
**
**
**
2.62 X 107 1.46 X 107
**
**
Status NPK pada rizosfer tanah
Unsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar.
Unsur makro meliputi nitrogen, posfor, dan kalium. Unsur hara terumata NPK sangat
berperan penting bagi pertumbuhan, perkembangan, dan pembentukan hasil tanaman.
Tanaman mendapatkan unsur NPK dari dalam tanah melalui penyerapan oleh akar.
Kebutuhan tanaman akan NPK sangat bervariatif sesuai dengan jenis tanamannya. Bila suatu
lahan ditanami tanaman yang sejenis secara terus menerus, maka unsur hara jenis yang sama
di lahan tersebut akan terkuras terus menerus. Di bawah ini terdapat status kandungan hara
makro pada lahan yang ditanami tebu secara monokultur dengan frekuensi ratoon yang
berbeda-beda.
10
Grafik. 1 Kandungan unsur N pada monokultur tebu
Grafik di atas menunjukkan status unsur N pada pertanaman tebu monokultur dengan
frekuensi ratoon 1 kali, 2 kali, 3 kali, 5 kali, dan 6 kali pada varietas tebu CoC671 dan Co
86032. Dapat diketahui bahwa penurunan status nitrogen pada lahan pertanaman tebu
monokultur terjadi pada kedua varietas tebu yang dicobakan. Pada varietas Coc671, status
nitrogen tertinggi terdapat pada lahan dengan frekuensi ratoon sekali yaitu 197 kg/ha dan
status nitrogen terendah terdapat pada lahan dengan frekuensi ratoon 6 kali yaitu 184 kg/ha.
Sedangkan pada varietas Co86032, status nitrogen tertinggi terdapat pada lahan dengan
frekuensi ratoon sekali yaitu 199 kg/ha dan status nitrogen terendah terdapat pada lahhan
dengan frekuensi ratoon 6 kali yaitu 185 kg/ha.
Fungsi dari unsur nitrogen adalah merangsang pertumbuhan tanaman secara
keseluruhan; merupakan bagian dari sel (organ) tanaman itu sendiri; untuk sintesa asam
amino dan protein dalam tanaman; dan merangsang pertumbuhan vegetatif (warna hijau)
seperti daun. Sedangkan tanaman yang kekurangan unsur N gejalanya: pertumbuhan
lambat/kerdil, daun hijau kekuningan, daun sempit, pendek dan tegak, daun-daun tua cepat
menguning dan mati.
11
Grafik. 2 Kandungan unsur P pada monokultur tebu
Grafik di atas menunjukkan status unsur P pada pertanaman tebu monokultur dengan
frekuensi ratoon 1 kali, 2 kali, 3 kali, 5 kali, dan 6 kali pada varietas tebu CoC671 dan Co
86032. Dapat diketahui bahwa pada lahan penurunan status unsur P sama seperti dengan
status unsur N dan terjadi pada kedua varietas tebu yang dicobakan. Pada varietas Coc671,
status P tertinggi terdapat pada lahan dengan frekuensi ratoon sekali yaitu 46 kg/ha dan status
P terendah terdapat pada lahhan dengan frekuensi ratoon 6 kali yaitu 31 kg/ha. Sedangkan
pada varietas Co86032, status P tertinggi terdapat pada lahan dengan frekuensi ratoon sekali
yaitu 47 kg/ha dan status P terendah terdapat pada lahhan dengan frekuensi ratoon 6 kali
yaitu 36 kg/ha.
Unsur P berfungsi untuk pengangkutan energi hasil metabolisme dalam tanaman
merangsang pembungaan dan pembuahan; merangsang pertumbuhan akar; merangsang
pembentukan biji; merangsang pembelahan sel tanaman dan memperbesar jaringan sel.
Tanaman yang kekurangan unsur P memiliki gejala pembentukan buah/dan biji berkurang,
kerdil, daun berwarna keunguan atau kemerahan (kurang sehat); daun melengkung dan
terpelintir (ditorsi). Tepi daun, cabang, dan batang berwana ungu. Kekurangan unsur P dapat
menggangu sitem perakaran tanaman. Bila sistem perakaran tanaman terhambat, maka aliran
air, unsur hara, dan nutrien pernting dari dalam tanah akan terhambat, sehingga tanaman akan
kekurangan air untuk fotosintesis, menyusun tubuh, untuk menjalankan reaksi metabolit,
sehingga tanaman tidak dapat berfotosintesis dan menghasilkan (produktivitas menjadi
menurun).
12
Grafik. 3 Kandungan unsur K pada monokultur tebu
Grafik di atas menunjukkan status unsur K (kalium) pada pertanaman tebu
monokultur dengan frekuensi ratoon 1 kali, 2 kali, 3 kali, 5 kali, dan 6 kali pada varietas tebu
CoC671 dan Co 86032. Dapat diketahui bahwa pada lahan penurunan status K pada lahan
pertanaman tebu monokultur terjadi pada kedua varietas tebu yang dicobakan. Pada varietas
Coc671, status K tertinggi terdapat pada lahan dengan frekuensi ratoon sekali yaitu 525 kg/ha
dan status K terendah terdapat pada lahhan dengan frekuensi ratoon 6 kali yaitu 400 kg/ha.
Sedangkan pada varietas Co86032, status K tertinggi terdapat pada lahan dengan frekuensi
ratoon sekali yaitu 530 kg/ha dan status nitrogen terendah terdapat pada lahhan dengan
frekuensi ratoon 6 kali yaitu 465 kg/ha.
Unsur kalium berfungsi dalam proses fotosintesa, pengangkutan hasil asimilasi, enzim
dan mineral termasuk air, meningkatkan daya tahan dan kekebalan tanaman terhadap
penyakit. Tanaman yang kekurangan unsur K memiliki gejala batang dan daun menjadi lemas
atau rebah, daun berwarna hijau gelap kebiruan tidak hijau segar dan sehat, ujung daun
menguning dan kering, timbul bercak coklat pada pucuk daun. Apabila terjadi defisit usur
kalium, maka dipastikan produktivitas tanaman akan menurun dikarenakan proes fotointesis
terganggu, pengangkutan hasil asimilasi, enzim, dan air pun ikut terganggu. Akibatnya
tanaman tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, serta tidak dapat menghasilkan.
Dari ketiga grafik (grafik 4, 5, 6) di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi
frekuensi ratooning tebu, maka kandungan unsur NPK pada tanah akan semakin menurun.
Hal ini dikarenakan mikroflora yang bersifat negatif pada rizosfer tanah berperan dalam
penggunaan nutrien-nutrien tersedia pada tanah untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan
dirinya. Diketahui bahwa jamur tidak memiliki klorofil, sehingga mikroflora ini tidak dapat
menghasilkan makanan sendiri. Mikroflora ini bersifat parasit dan menjadi pesaing dari
tanaman utama, yaitu tanama tebu. Sehingga dapat dikatakan bahwa frekuensi ratooning yng
13
tinggi dapat menurunkan tingkat nutrien tersedia bagi tanaman, yang menyebabkan tanaman
menjadi kekurangan nutrien dan berdampak pada penurunan produktivitas tanaman.
Tabel . 3 ±
Hasil tanaman pada lahan pertanaman tebu monokultur
Frekuensi
Ratoon
No. Of milliable canes/stool Weight of miliable cane (kg)
Coc 671
Co 86032
Coc 671
Co 86032
12.00
13.00
2.15
2.25
plant cane (R1)
1.68
0.91
0.32
0.24
R2
R3
R5
R6
LSD0.05
Significance
10.10
0.81
8.50
0.93
6.30
0.82
6.00
0.84
1.42
**
11.20
0.90
9.35
1.40
8.50
1.19
7.15
0.64
1.38
**
1.95
0.25
1.35
0.18
1.18
0.08
1.05
0.09
0.28
**
2.00
0.12
1.50
0.19
1.20
0.10
1.10
0.09
0.22
**
Dari tabel.3 di atas menunjukkan penurunan hasil yang drastis di kedua kultivar.
Tingkat pengurangan hasil berkorelasi positif dengan meningkatnya frekuensi ratooning.
Diketahui bahwa pada tabel.3 keadaan kontrol (tanah yang baru ditanami tebu pertama)
menunjukkan hasil sebesar 12,00 dan 13,00% dan untuk perlakuan 4 (tanah yang telah
dilakukan ratooning selama 6 kali) hasil tebu yang didapatkan sebesar 6,00-7,15%. Tingkat
pengurangan meningkat dari tebu tanaman (2,15 dan 2,25 kg) menjadi (1,05 dan 1,10 kg)
untuk tanaman tebu ratoon ke enam.
14
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaruh praktek monokultur tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah:
a. memberikan penurunan hasil produksi melalui hubungan antara koloni
mikroflora yang bersifat parasit terhadap tanaman tebu dalam penyerapan
unsur NPK.
b. Penurunan hasil tanaman tebu berkorelasi positif dengan tingkat frekuensi
ratoon, yaitu melalui pengurasan unsur hara makro (NPK) secara terus
menerus tanpa ada pengembalian secara silkus alam.
c. Ratoon terbaik yang disarankan untuk diterapkan adalah diulai dari ratoon
tahun pertama samai ratoon ketiga, melebihi itu akan menunjukkan
penurunan hasil yang signifikan bagi hasil tanaman tebu.
B. Saran
Saran yang ditawarkan penulis mengenai permasalahan penurunan produktivitas tebu
pada penanaman monokultur adalah:
1. Melakukan SOP (Standard Operasional Procedure) mengenai batas maksimal
frekuensi ratoon yang dilakukan. Untuk tetap mempertahan produktiitas tebu, maka
frekuensi ratoon harus dibatasi maksimal 3 kali ratoon. Hal ini dilakukan untuk
mencegah munculnya mikroba-mikroba (bakteri, jamur) yang berpengaru negatif bagi
tanaman tebu.
2. Dilakukannya sistem bera pada pertanaman tebu monokultur. Sistem bera (fallow)
adalah suatu sistem pengembalian kesuburan tanah dengan cara membiarkan tanah
tanpa ditanami. Setelah dilakukan penanaman secara terus menerus, maka lahan harus
diistirahatkan dari pertanaman tebu guna mengembalikan kembali unsur hara yang
terpanen atau terkuras selaam proses pertumbuhan dan pemanenan tanaman tebu. Hal
ini untuk mengembalikan kandungan atau status unsur hara, terutama unsur hara
makro secara sikuls alam. Saat bera, tanah dapat ditanami dengan tanama legum yang
memiliki peran positif dalam peningkatan kandungan nitrogen dalam tanah
dikarenakan akar tanaman legum dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium
dimana bakteri ini dapat memfiksasi nitrogen dari udara. Sehingga kadar nitrogen di
dalam tanah dapat ditingkatkan secaraalami. Sealin itu, tanah mendapatkan tmabahan
bahan organik melalui biomassa dari hasil biologi tanaman legum. Tanaman legum
yang telah siap panen, agak dibabat di lahan dan langsung dibajak bersama tanah,
15
sehingga biomassa tanaan bercampur dengan tanah dan dapat meningkatkan
kandungan bahan organik dari tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J. and Mimms, C.W. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons,
New York.
Anonimb.
2012.
Prosiding
Seminar
Teknologi
Inovatif
Pasca
Panen.
<http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/25896/prosiding_seminar_t
eknologi_inovatif_pascapanen-1.pdf?sequence=1>. Diakses 9 Maret 2012.
Astutik, Rahayu Puji, Nengah Dwianita Kuswytasari, Maya Shovitri. 2009. Uji aktivitas
enzim selulase dan xilanase isolat kapang tanah wonorejo surabaya. 1-13.
Ghayal, N., Pravin taware, and Kondiram Dhumal. 2011. Influence of sugarcane
monokultur on rhizosphere Microflora, soil enzymes and npk status.
International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2 : 1-15.
J.V. Lovette and A.P. Hurry. 1992. Allelopathy: a possible contributor to yield decline in
sugarcane, Plant Protect Quart. 17:180- 182.
Soejono , A.T. 2003. Pengaruh jenis dan saat tanam tanaman palawija dalam
tumpangsari tebu lahan kering terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
Ilmu Pertanian (10): 26-34
United Nations Development Programme. 2010. Sugar Scoping Paper.
16
Download