3488

advertisement
Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak
Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes
xvi+ 77halaman + 8 tabel + 2 gambar + 13 lampiran
oleh:
ABSTRAK
Keberhasilan anak dalam melakukan toilet training juga dipengaruhi dari komunikasi orang
tua kepada anak. Komunikasi orang tua yang terlalu lemah atau pun terlalu keras akan mempengaruhi
tindakan anak dalam melakukan toilet training. Komunikasi dua arah yang menghasilkan timbal balik
dari anak adalah komunikasi yang dianggap baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara komunikasi orang tua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia
prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training.
Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Populasi yang diambil adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah (3-6
tahun). Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan quota sampling diperoleh jumlah
responden sebanyak 68 orang. Analisis data yang digunakan yaitu analisis bivariat dengan
menggunakan rumus kendall tau.
Hasil penelitian didapatkan dari 26 responden yang komunikasi orangtua tentang
toilettraining kurang, ada 22 responden (84,6%) anak belum berhasil dalam melakukan toilettraining
dan 4 responden (15,4%) anak berhasil dalam melakukan toilettraining. 22 responden yang
komunikasi orangtua tentang toilettraining cukup, ada 14 responden (63,6%) anak belum berhasil
dalam melakukan toilettraining dan 8 responden (36,4%) anak berhasil dalam melakukan
toilettraining. 20 responden yang komunikasi orangtua tentang toilettraining baik, ada 4 responden
(20,0%) anak belum berhasil dalam melakukan toilettraining dan 16 responden (80,0%) anak berhasil
dalam melakukan toilettraining. Menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
komunikasi orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun)
dalam melakukan toilet training dengan nilai korelasi  = 0,495 dan p-value 0,000 < α = 0,05.
Dari penelitian tersebut makaorangtua perluuntuk meningkatkan komunikasi kepada anak
secara dini dalam mengajari toilet training, dengan harapan agar kemampuan toilet training anak
dapat berkembang dengan baik dan mandiri.
Kata Kunci
: Toilet training, komunikasiorangtuapadaanak, anak usia
prasekolah
Pustaka : 20 (2002-2011)
preschool (usia 3-6 tahun), usia sekolah (umur 6-10
tahun), usia preadolenscence(umur 10-12 tahun),
early adolenscence ( umur 12-16 tahun), late
adolenscence (umur 16-19 tahun) (Novak & Broom,
2005).
Hidayat (2009) mengatakan, anak merupakan
individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga
remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1
Tahun) usia bermain/toddler (1-2,5 tahun),
prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun)
hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda
antara anak satu dengan anak yang lainnya
mengingat latar belakang anak berbeda.Pada anak
terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah
masa balita, dimana pada masa ini pertumbuhan
dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita
ini
perkembangan
kemampuan
berbahasa,
kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
intelegensi berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya (Soetjiningsih,
1999).
Berdasarkan tahapan perkembangan anak dapat
dibagi menjadi :usia infancy (dari lahir sampai 1
tahun), usia toddler (umur 1 sampai 3 tahun), usia
1
perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.
Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri
fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku
sosial.
lainnyamengingatlatarbelakanganakberbe
da.Padaanakterdapatrentangperubahanpertumbuhand
anperkembanganyaiturentangcepatdanlambat.Dalam
proses perkembangananakmemilikicirifisik, kognitif,
konsepdiri, polakopingdanperilakusosial.
Menurut
Adriana
(2011),
dalam
perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana
diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna
agar potensi berkembang, sehingga hal ini perlu
mendapatkan perhatian. Perkembangan psiko-sosial
sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi
antara anak dengan orang tuanya atau orang dewasa
lainnya.
Nursalam
(2005)
mengatakan,
perkembangan anak akan optimal bila interaksi
sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak
pada berbagai tahap perkembangan. Sementara itu,
lingkungan yang tidak mendukung akan
menghambat perkembangan anak. Tahap yang
paling memerlukan perhatian adalah pada masa
anak-anak salah satunya dalam tahapan tumbuh
kembang anak usia prasekolah.
Perkembangan anak usia prasekolah
diantaranya adalah belajar makan sendiri, berjalan,
berbicara, bermain bersama anak lain, kemampuan
memperhatikan rasa cemburu dan rasa bersaing
terhadap saudara, kemampuan untuk mengontrol
buang air kecil, dapat menggunakan kata-kata,
bertanya dan mengerti kata-kata yang ditunjukkan
padanya dan kemampuan berinteraksi sosial
(Mansur, 2001).
Hidayat (2009) mengatakan, anak
membutuhkan pembelaan dari orang dewasa untuk
mempertahankan, meningkatkan dan memperbaiki
kesehatan. Pembelaan tersebut merupakan salah
satu bagian dari hak anak yang harus dibela dan
dilindungi dari berbagai perlindungan kesehatan
dan kesejahteraan anak. Dalam penanganan
pelayanan kesehatan anak harus didahulukan dalam
penanganan, mengingat anak merupakan salah satu
generasi penerus yang harus dilindungi dari
kecacatan. Perlindungan dan pembelaan dari orang
dewasa merupakan salah satu kewajiban untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Anak
sangat tergantung pada orang dewasa serta
lingkungan yang ada di sekitarnya yang dapat
memfasilitasi
dalam
segala
pemenuhan
kebutuhannya.
Keluarga merupakan orang terdekat dari
seorang anak. Orang tua adalah orang dewasa yang
selalu bersama dan anak akan selalu bersandar
dengan mereka. Kedekatan orang tua dengan anak
bisa didapatkan dengan komunikasi. Komunikasi
merupakan proses kompleks yang melibatkan
perilaku dan memungkinkan individu untuk
berhubungan dengan orang lain dan dunia
sekitarnya. Pada tahapan toilet training komunikasi
yang baik sangat berpengaruh pada perkembangan
anak kedepannya (Defi, 2011).
Aspek penting dalam perkembangan anak
usia prasekolah yang harus mendapatkan perhatian
orang tua adalah latihan berkemih dan defekasi atau
toilet
training
(Supartini,
2004).
Toilet
trainingmerupakan suatu usaha untuk melatih agar
anak mampu mengontrol dalam melakukan buang
air kecil dan buang air besar. Selain melatih anak
dalam melakukan buang air kecil dan buang air
besar juga dapat melatih dan bermanfaat dalam
pendidikan seks, sebab saat anak melakukan
kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari
anatomi tubuhnya sendiri serta fungsinya (Hidayat,
2009).
Walaupun terdapat variasi yang sangat
besar, akan tetapi setiap anak akan melalui tahapan
dari perkembangannya dan setiap tahapan
mempunyai ciri-ciri tersendiri (Nursalam, 2005).
Menurut Celicy (2002) umur anak prasekolah
masuk dalam rentang antara 3-6 tahun.
Perkembangan anak pada usia prasekolah yaitu
perkembangan psikoseksual (Tahap Falik) yang
petama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud
dalam Wong (2000), psikoseksual merupakan
proses perkembangan anak dengan pertambahan
kemampuan fungsi struktur dan kejiwaan yang
dapat menimbulkan dorongan untuk mencari
rangsangan dan kesenangan untuk menjadi dewasa.
Pada masa kanak-kanak menduga bagian tubuh
paling baik untuk psikologi yang diartikan sebagai
tekanan baru dan konflik baru yang berangsurangsur berubah dari satu tahap ketahap berikutnya.
Jane Gilbert menyatakan dalam bukunya
Latihan Toilet bahwa riset yang dilakukan di
Amerika menunjukkan usia rata-rata anak
menguasai latihan toilet (menguasai tidak
mengompol selama satu hari penuh) adalah usia 35
bulan bagi anak perempuan dan usia 39 bulan bagi
anak laki-laki. Dan Jane Gilbert juga menyatakan
bahwa hampir 90% anak dapat mengendalikan
kandung kemihnya saat siang hari yaitu pada usia 3
tahun. Sekitar 90% anak biasanya berhenti
mengompol pada usia 5-6 tahun, sementara yang
lainnya baru bisa melakukan beberapa tahun
kemudian (Gilbert, 2009).
Menurut Supartini (2004), sukses
tidaknya toilet training tergantung pada kesiapan
yang ada pada diri anak dan orang tua. Whaley dan
Wong dalam Hidayat (2009) mengatakan, ada
beberapa tanda anak mampu mengontrol rasa ingin
berkemih dan defekasi antara lain yaitu kesiapan
fisik, mental, dan kesiapan psikologis. Sedangkan
kesiapan orang tua itu sendiri antara lain yaitu
2
mengenal kesiapan anak untuk berkemih dan
defekasi, menyediakan waktu, dan tidak mengalami
konflik atau stres kekeluargaan. Menurut Crisida
(2009), Anak sesekali enkopresi (mengompol)
dalam masa toilet training itu merupakan hal yang
normal. Apabila anak berhasil melakukan toilet
training maka orang tua dapat memberikan pujian
dan jangan menyalahkan apabila anak belum dapat
melakukan dengan baik.
Mengajarkan toilet training pada anak
memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan
menggunakan toilet pada anak untuk buang air,
dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC
anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga perlu
dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan
pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak
kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak
ketika anak terlihat ingin buang air (Crisida, 2009).
Tim Redaksi Ayah Bunda (2007) mengatakan
bahwa mengajarkan anak buang air kecil di kloset
dan membersihkan diri biasanya lebih mudah
dibandingkan mengajarkan anak menahan air
seninya. Dalam mengajarkan buang air kecil di
kloset orang tua dapat menetapkan langkah yang
sama dengan buang air besar.
Adapun risiko yang ditimbulkan jika anak
tidak mampu melewati tahapan ini maka akan
berdampak pada perkembangan psikologisnya
terutama dalam perkembangan kepribadian anak.
Ketidakberhasilan dalam toilet training akan
membuat anak mengalami kepribadian eksprensif
dimana anak akan lebih tega, cenderung ceroboh,
suka buat gara-gara, emosional, dan seenaknya
dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat,
2009).
Keberhasilan anak dalam melakukan toilet
training juga dipengaruhi dari komunikasi orang
tua kepada anak. Komunikasi adalah suatu interaksi
dan transaksi yang digunakan oleh manusia dalam
menerima dan memberi pesan (Rusmi, 2009).
Komunikasi orang tua yang terlalu lemah ataupun
terlalu keras akan mempengaruhi tindakan anak
dalam melakukan toilet training. Komunikasi dua
arah yang menghasilkan timbal balik dari anak
adalah
komunikasi
yang
dianggap
baik.
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus
dan berarti dalam hubungan antar manusia. Untuk
itu memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian
sosial yang mencakup ketrampilan intelektual,
tehnik dan interpersonal yang tercermin dalam
perilaku caring atau kasih sayang dalam
berkomunikasi dengan orang lain (Defi, 2011).
Dari
studi
pendahuluan
melalui
wawancara pada tanggal 15 mei 2013 di Desa
Tegalglagah RW 08, di dapatkan 10 sampel yang
mempunyai anak umur 3-6 tahun, 6 orang tua
diantaranya tidak menemani dan mendampingi anak
saat anak hendak BAB/BAK., dan5 anak belum
berhasil dalam toilet training, danmasih BAB/BAK
di celana, tetapi 1 anak berhasil dalam toilet
training (latihan toilet) ditandai dengan kekamar
mandi sendiri ketika BAB/BAK. Sedangkan 4
orang tua yang menemani dan mendampingi anak
saat anak hendak BAB/BAK ke kamar mandi,2
anak berhasil dalam toilet training,sedangkan2
diantaranya masihBAB/BAKdi celana. Dari data
tersebut ada 7 anak mereka yang masih mengalami
BAK dan BAB di celana.
Berdasarkan data dan fenomena tentang
teknik komunikasi dalam toilet training masih
banyak yang belum berhasildalam toilet training,
maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua tentang
Toilet Trainingdengan Keberhasilan Anak Usia
Prasekolah (3-6 Tahun) dalam melakukan Toilet
Training
Di Desa Tegalglagah Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes”.
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka
peneliti merumuskan masalah peneliti yaitu
“Adakah Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua
Tentang Toilet Trainingdengan Keberhasilan Anak
usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan
Toilet Training Di Desa Tegalglagah Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes?”.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Hubungan Antara
Komunikasi Orang Tua tentang Toilet Training
dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6
Tahun) dalam Melakukan Toilet Training Di Desa
Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes.
D. Manfaat Penelitian.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan sebagai bahan evaluasi
padamahasiswa dalam menerapkan teori tentang
komunikasi orang tua kepada anak usia prasekolah
(3-6 tahun) tentangtoilet training.
Untukmenambahpengetahuandanwawasan
tentang toilettraining dan dapat dijadikan
sumberinformasi untuk penangan anak yang masih
mengalami keterlambatan dalam perkembangan
khususnya masalah dalam BAK dan BAB di celana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi
1. Pengertian komunikasi
Adabeberapa
pengertian
mengenai
komunikasi yang dikemukakan para ahli.Dimana
masing-masing pengertian tersebut kebanyakan
lebih didasarkan atas pendapat dan pengalaman
3
serta
latar
belakang
dari
ahli
yang
bersangkutan.Ada yang mengartikan komunikasi
secara khusus dengan mengaitkan pada kondisi
tertentu, misalnya komunikasi keluarga, komunitas,
psikolog, mamajemen dan juga komunikasi
keperawatan. Kebanyakan para ahli mendefinisikan
komunikasi secara umum yang artinya lebih kepada
bagaimana proses komunikasi berlangsung.
McCubbin dan Dahl (1985) dalam Arwani (2002)
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses
tukar menukar perasaan, keinginan, kebutuhan, dan
pendapat. Johnson (1981) dalam Arwani (2002)
juga mendefinisikan komunikasi didasarkan atas
pengertian secara sempit dan pengertian secara
luas.Secara sempit komunikasi diartikan sebagai
pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau
lebih penerima dengan maksud sadar untuk
memengaruhi tingkah laku penerima. Sedangkan
dalam arti luas komunikasi dideskripsikan sebagai
setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal
maupun non verbal yang ditanggapi orang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan
oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku secara keseluruhan baik secara langsung
dengan lisan maupun tidak langsung melalui media
(Arwani, 2002).
Komunikasi dengan anak usia Pada anak usia ini anak
sudah mampu menguasai sembilan ratus kata dan
banyak kata-kata digunakan seperti mengapa, apa, kapan
dan sebagainya. Komunikasi pada usia tersebut sangat
egosentris, rasa ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya
tinggi, kemampuan bahasa mulai meningkat, mudah
merasa kecewa dan rasa bersalah karena tuntutan tinggi,
setiap komunikasi harus berpusat pada dirinya, takut
terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada
usia ini anak masih belum fasih dalam berbicara.
5. Teknik komunikasi dengan anak
Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam
membangun kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui
komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang,
dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu
penghargaan pada dirinya. Dalam tinjauan ilmu
keperawatan anak, anak merupakan seseorang yang
membutuhkan suatu perhatian dan kasih sayang sebagai
kebutuhan khusus anak yang dapat dipenuhi dengan cara
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal yang
dapat menumbuhkan kepercayaan pada anak sebingga
tujuan komunikasi dapat tercapai (Hidayat, 2009).
a.
Melalui orang lain atau pihak ketiga
b.
Bercerita
c.
Menfasilitasi
d.
Biblioterapi
e.
Meminta untuk menyebutkan keinginan
f.
Pilihan pro dan kontra
g.
Penggunaan skala
h.
Menulis
i.
Menggambar
j.
Bermain
6.
Teknik Komunikasi dengan orang tua anak
Komunikasi dengan orang tua adalah salah satu, hal
yang penting dalam perawatan anak, mengingat
pemberian asuhan keperawatan pada
anak selalu
melibatkan peran orang tua dan yang memiliki peranan
penting dalam mempertahankan komunikasi dengan
anak.
Untuk mendapatkan informasi tentang anak sering kita
mengobservasi secara langsung atau berkomunikasi
dengan orang tua. Ada beberapa hal yang harus kita
perhatikan dalam berkomunikasi dengan orang tua,
diantaranya:
a.
Anjurkan orang tua untuk berbicara
b.
Arahkan ke fokus
c.
Mendengarkan
d.
Diam
e.
Empati
f.
Meyakinkan kembali
g.
Merumuskan kembali
h.
Memberi petunjuk kemungkinan apa yang
terjadi
i.
Menghindari hambatan dalam komunikasi
7.
Tahapan dalam komunikasi dengan anak
2. Bentuk komunikasi
Individu mengirimkan pesan dalam caracara verbal dan non-verbal yang saling
bersinggungan ketika terjadi interaksi.Pada waktu
bicara orang mengekspresikan diri melalui gerakan,
nada dan suara, ekspresi wajah dan penampilan
umum. Cara-cara ini dapat mengirimkan pesan
yang sama atau berbeda.
a. Komunikasi verbal
b. Komunikasi non-verbal
3. Komponen dalam komunikasi
Hidayat (2009) mengatakan, komunikasi
dapat terjadi bila prosesnya dapat berjalan dengan
baik. Proses komunikasi yang dimaksud di sini
adalah pengirim pesan (informasi), penerus pesan,
pesan itu sendiri, media, dan umpan balik. Proses
tersebut
merupakan
suatu
komponendalam
komunikasi yang satu dengan lainnya saling
berhubungan, di antara komponen dalam
komunikasi adalah sebagai berikut:
a. Pengirim pesan
b. Penerima pesan
c. Pesan
d. Media
e. Umpan balik
4. Komunikasi dengan anak usia prasekolah
4
Dalam melakukan komunikasi pada anak terdapat
beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum
mengadakan komunikasi secara langsung, tahapan ini
dapat melliputi tahap awal (pra interaksi), tahap
perkenalan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terakhir
yaitu tahap terminasi.
a.
Tahap pra interaksi
b.
Tahap perkenalan atau orientasi
c.
Tahap kerja
d.
Tahap terminasi
anak usia 18 bulan-2 tahun agar mampu mengontrol
dalam buang air besar dan buang air kecil. Toilet
training dapat berlangsung pada fase anak usia 18
bulan-2 tahun. Dalam melakukan latihan buang air besar
dan buang air kecil pada anak membutuhkan persiapan
mental dan fisik, psikologis maupun intelektual. Melalui
persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol
buang air besar dan buang air kecil juga bermanfaat
dalam pendidikan seks sebab saat anak melaukan
kegiatan tersebut disitulah anak akan mempelajari
anatomi tubuhnya sendiri dan fungsinya.
Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara
anak untuk mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di
tempat yang semestinya, sehingga tidak sembarang
membuang
hajatnya.
Mengajari
anak
untuk
menggunakan toilet membutuhkan waktu, pengertian,
dan kesabaran.Yang paling penting di ingat adalah orang
tua tidak bisa mengharapkan dengan cepat anak
langsung bisa menggunakan toilet (Hidayat, 2009).
2.
Tahapan toilet training
Mengajarkan anak toilet training memerlukan beberapa
tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada
anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk
ke dalam WC anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga
perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan
pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan
toilet.Lakukan secara rutin kepada anak ketika anak
terlihat ingin buang air.
Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu
tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah bangun
tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak
dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali
enkopresi (mengompol) dalam masa toilet training itu
merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil
melakukan toilet training maka orang tua dapat
memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila
anak belum dapat melakukan dengan baik (Crisida,
2009).
3.
Hal yang perlu diperhatikan dalam toilet training
Menurut Suririnah (2010), masing-masing anak
mempunyai waktu kesiapan yang berbeda untuk
memulai toilet training. Proses melatih anak tidak boleh
terburu-buru dan hanya dapat dimulai setelah anak siap
secara fisik dan mental. Tidak ada yang bisa dilakukan
untuk mempercepat proses ini. Anak secara fisik siap
jika hubungan antara sistem saraf dengan kandung
kemih dan saluran cerna ke otak untuk mengontrol
BAK/BAB sudah bekerja sempurna.
8.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi
dengan anak
Menurut Hidayat (2009), dalam proses komunikasi
kemungkinan ada hambatan selama komunikasi, karena
selama proses komunikasi melibatkan beberapa
komponen dalam komunikasi dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu pendidikan, pengetahuan, sikap,
usia tumbuh kembang, status kesehatan anak, sistem
sosial, saluran, dan lingkungan.
a.
Pendidikan
b.
Pengetahuan
Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan
pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan lain sebagainya).
Lebih lanjut menurut Hidayat (2009), pengetahuan
merupakan proses belajar dengan menggunakan panca
indera yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu
untuk
dapat
menghasilkan
pengetahuan
dan
keterampilan. Menurut Notoatmodjo (2003), membagi
pengetahuan dalam 6 tingkatan di antaranya tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi.
1) Tahu (know)
2) Memahami (comprehension)
3) Aplikasi (application)
4) Analisis (analysis)
5) Sintesis (synthesis)
6) Evaluasi (evaluation)
c.
Sikap
d.
Usia tumbuh kembang
e.
Status kesehatan anak
f.
Sistem sosial
g.
Saluran
h.
Lingkungan
B. Toilet Training
1.
Pengertian toilet training
Toilet training adalah upaya orang tua melatih anak
mengurus dirinya sendiri saat hendak buang air kecil
(bak) maupun buang air besar (BAB) (Eveline,
2010).Toilet training merupakan proses pengajaran
untuk mengontrol buang air besar (BAB) dan buang air
kecil (BAK) secara benar dan teratur (Crisida, 2008).
Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih
Perlu kerjasama yang baik dari orang tua dan anak agar
proses ini menyenangkan untuk kedua belah pihak.
Setiap anak membutuhkan waktu yang berbeda-beda dan
bila saatnya tiba, anak akan dapat melakukannya.
a.
Tanda-tanda anak siap memulai latihan
Semakin siap fisik mental anak untuk toilet training
maka semakin mudah dan cepatnya proses ini berjalan.
Beberapa tanda anak sudah siap adalah:
5
1)
Saat sedang buang air kecil atau besar, anak
akan berhenti bermain, diam berdiri, melihat kepada
orang tua, mukanya menjadi merah, dan bahkan
mencoba memberitahu apa yang sedang terjadi dengan
mengatakan ”pipis” atau kata-kata dalam bahasanya
sendiri.
yang tidak diinginkan seperti pemaksaan dari orang
tuaatau anak trauma melihat toilet.
b.
Persiapan dan perencanaan
Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan
perencanaan. Hal yang perlu diperhatikan sebagai
berikut gunakan istilah yang mudah dimengerti oleh
anakyang menunjukkan perilaku buang air besar (BAB)/
buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air
besar (BAB) dan peepee untuk buang air kecil (BAK).
Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada
anak sebab pada usia ini anak cepat meniru tingkah laku
orang tua. Orang tua hendaknya segera mungkin
mengganti celana anak bila basah karena enkopresi
(mengompol) atau terkena kotoran.Jangan lupa memberi
pujian jika anak mampu mengendalikan dorongan buang
air.
Selain itu ada juga persiapan dan perencaan yang lain
seperti:
2)
Jika mengompol, anak akan diam dan
memandangi genangan air yang dibuatnya.
3)
Anak tidak mengompol selama beberapa jam (34 jam), hal ini menunjukkan kapasitas dan kontrol
kandung kemihnya semakin baik.
4)
Anak tidak membasahi popoknya/mengompol
saat orang tua melihatnya bangun tidur di pagi hari atau
siang hari.
5)
Bila anak masih menggunakan popok seharihari, dia merasakan tidak nyaman dan meminta ganti
jika popoknya terasa kotor (setelah BAB/BAK).
6)
Anak mengerti apa yang dibicarakan saat orang
tua menjelaskan kegunaan toilet dan menunjukkan cara
menggunakan toilet.
7)
Anak bersedia untuk mencoba duduk di toilet
walaupun belum benar-benar menggunakannya.
8)
Anak ingin meniru tindakan orang tua saat
menggunakan toilet.
9)
Anak dapat menarik dan menurunkan celananya
sendiri.
b.
Perhatikan tanda-tanda ketika anak akan BAB
atau BAK
Sears (2007) mengatakan, cermati tanda-tanda eksternal
yang menunjukkan bahwa anak merasakan tekanan dari
dalam: berjongkok, memegang celana, menyilangkan
kaki; wajah yang tampak sedang mengejan dan
menyeringai; dan mundur ke pojok atau belakang
sofa.Tanda-tanda ini mengatakan bahwa anak sudah
mencapai perkembangan yang cukup matang untuk
menyadari hal yang sedang terjadi di dalam tubuhnya.
Sedangkan menurut Crisida (2009), prinsip dalam
melakukan toilet training ada 3 langkah yaitu melihat
kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet
training:
a.
Melihat kesiapan anak
Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training
adalah kapan waktu yang tepat bagi orang tua untuk
melatih toilet training.Sebenarnya tidak ada patokan
umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training
karena setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal
fisik dan proses biologisnya.Orangtua harus mengetahui
kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang
air dengan benar.Para ahli menganjurkan untuk melihat
beberapa tanda kesiapan anak itu sendiri, anak harus
memiliki kesiapan terlebih dahulu sebalum menjalani
toilet training. Bukan orang tua yang menentukan kapan
anak harus memulai proses toilet trainingakan tetapi
anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet
training, hal ini untuk mencegah terjadinya beberapa hal
1)
Mendiskusikan tentang toilet training dengan
anak
Orang tua bisa menunjukkan bahwa pada anak kecil
memakai popok dan pada anak besar memakai celana
dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang
cara yang benar dan tepat ketika buang air.
2)
Menunjukkan penggunaan toilet
Orang tua harus melakukan sesuai jenis kelamin anak
(ayah dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak
perempuan).Orang tua juga bisa meminta kakaknya
untuk
menunjukkan
padaadiknya
bagaimana
menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga
dengan jenis kelamin).
3)
Membeli
pispot
yang
sesuai
dengan
kenyamanan anak
Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia bisa
dan terbiasa untuk duduk di toilet. Anak bila langsung
menggunakan toilet orang dewasa, ada kemungkinan
anak akan takut karena lebar dan terlalu tinggi untuk
anak atau tidak merasa nyaman. Pispot disesuaikan
dengan kebutuhan anak, diharapkan dia akan terbiasa
dulu buanng air di pispotnya baru kemudian diarahkan
ke toilet sebenarnya. Orang tua saat bisa menyesuaikan
dudukan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar
atau bentuk yang ia sukai.
4)
Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak
Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet
training ini, seringkali dibutuhkan suatu bentuk reward
atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada
kemajuan yang dilakukan anak dengan sistem reward
yang tepat. Anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya
bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa
yang sudah terjadi tuntutan untuknya sehingga hal ini
akan menambah ras mandiri dan percaya dirinya. Orang
tua bisa memilih metode peluk cinta serta pujian di
depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil
melakukan sesuatu atau mungkin orang tua bisa
6
menggunakan sistem stiker/bintang yang ditempelkan
dibagian “keberhasilan” anak.
c.
Proses toilet training
Setelah orang tua sudah melakukan 2 langkah di atas
maka bisa masuk ke langkah selanjutnya yaitu toilet
training. Proses toilet training ada beberapa hal yang
perlu dilakukan yaitu:
1)
Membuat jadwal untuk anak
Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika
orang tua tahu dengan tepat kapan anaknya biasa buang
air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK). Orang tua
bisa memilih waktu selama 4 kali dalam sehari untuk
melatih anak yaitu pagi, siang, sore dan malam bila
orang tua tidak mengetahui jadwal yang pasti BAK
(buang air kecil) atau BAB (buang air besar) anak.
2)
Melatih anak untuk duduk di pispotnya
Orang tua sebaliknya tidak memupuk impian bahwa
anak akan segera menguasai dan terbiasa untuk duduk di
pispot dan buang air. Awalnya anak dibiasakan dulu
untuk duduk di pispotnya dan ceritakan padanya bahwa
pispot itu digunakan sebagai tempat membuang kotoran.
Orang tua bisa memulai memberikan rewardnya ketika
anak bisa duduk di pispotnya selama 2-3 menit misalnya
ketika anak bisa menggunakan pispotnya untuk BAK
maka reward yang diberikan oleh orang tua harus lebih
bermakna dari pada yang sebelumnya.
3)
Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat
dengan kemajuan yang diperlihatkan oleh anak
Orang tua harus menyesuaikan jadwal yang dibuat
dengan kemajuan yang diperlihatkan anak, misalnya
anak hari ini pukul 09.00 pagi anak buang air kecil
(BAK) di popoknya maka esok harinya orang tua
sebaliknya membawa anak ke pispotnya pada pukul
08.30 atau bila orang tua melihat bahwa beberapa jam
setelah buang air kecil (BAK) yang terakhir anak tetap
kering, bawalah dia ke pispot untuk buang air kecil
(BAK). Hal yang terpenting adalah orang tua harus
menjadi pihak yang pro aktif membawa anak ke
pispotnya jangan terlalu berharap anak akan langsung
mengatakan pada orang tua ketika dia ingin buang air
besar (BAB) atau buang air kecil (BAK).
4)
Membuat bagan untuk anak
Buatlah bagan untuk anak supaya dia bisa melihat
sejauh mana kemajuan yang bisa dicapainya dengan
stiker lucu dan warna-warni, orang tua bisa meminta
anaknya untuk menempelkan stikertersebut di bagian itu.
Anak akan tahu bahwa sudah banyak kemajuan yang dia
buat dan orang tua bisa mengatakan padanya orang tua
bangga dengan usaha yang telah dilakukan anak
(Crisida, 2009).
4.
Kontrol dalam toilet training
Kontrol dalam toilet training meliputi dua jenis kontrol,
yaitu bowel control dan bladder control.
a.
Bowel control (kontrol buang air besar/BAB)
Merupakan kemampuan anak dalam mengendalikan
BAB, baik menahan, maupun melepaskan keinginan
BAB dalam tempatnya.Biasanya kemampuan manahan
BAB lebih cepat dikuasai anak daripada menahan
BAK.Tanda tiap anak yang hendak BAB biasanya
berbeda-beda.Ada yang tiba-tiba menangis, ada yang
berdiri dari sudut rumah sambil mengejan, ada yang
mukanya memerah sambil mengerutkan wajah, dan
sebagainya.Kenalilah tanda-tanda itu pada anak. Begitu
ditemui tanda itu, segera tuntun anak ke kamar mandi
dan kerjakan langkah-langkah berikut:
1)
Dudukkan anak dengan nyaman pada toilet atau
pispot. Katakanlah padanya bahwa kloset atau pispot
itulah tempat sebenarnya untuk BAB.
2)
Upayakan agar anak segera BAB setelah
didudukkan. Jangan sampai berlama-lama duduk di
toilet atau pispot tanpa mengeluarkan BAB. Sebab, ia
akan merasa bosan. Hal ini, justru menghambat proses
toilet training berikutnya.
3)
Jangan memarahinya jika ia belum mau atau
tidak berhasil BAB di toilet atau pispot. Jangan pula
membicarakan ketidakberhasilannya itu dihadapannya.
Sebab, ia akan merasa malu, juga menghambat toilet
training¬ berikutnya.
4)
Beri apresiasi jika ia berhasil BAB di toilet atau
pispot dengan lancar. Dapat pula mengungkapkan
melalui ciuman disertai kata-kata, misalnya,”nah gitu
dong. Ini baru anak mama yang pintar. Sebab, bisa pup
(BAB) di tempat yang benar”. Jangan lupa, perlu juga
mengajarinya menyiram dan membersihkan kotoranya
hingga bersih.
Beritahu anggota keluarga lain, termasuk pengasuh
tentang latihan BAB yang sedang dijalani anak.
Upayakan mereka mampu melakukan pelatihan pada
anak.Hal ini demi konsistensi penerapan toilet training
pada anak.
Jauh-jauh hari sebelum anda mempraktikkan toilet
training,akan lebih baik jika:
1)
Anak sering diperlihatkan saat membuang dan
membersihkan kotoran dari popok atau celananya
2)
Atau, ajak anak ketika anda sedang
menggunakan toilet. Beri tahu cara pemakaiannya.
b.
Bladder control (kontrol buang air kecil/BAK)
Merupakan kemampuan anak mengendalikan BAK, baik
menahan maupun melepaskan keinginan BAK pada
tempatnya.Kemampuan menahan BAK umumnya lebih
lambat daripada menahan BAB. Biasanya, anak tahan
tidak kencing selama 2 jam pada usia sekitar 18 bulan.
Sebab, daya tampung kantong air seninya telah
bertambah. Selain itu, fungsinya sistem
saraf
pengontrolnya pun telah semakin baik.
Secara umum melatih anak pipis di toilet dapat
dilakukan seperti melatihnya BAB.
1)
Amati siklus BAK-nya, seraya mengamati pola
minumnya. Misalnya, ia BAK dua jam sekali. Maka,
sebelum dua jam perlu mengajaknya ke toilet. Bantu dan
ajari anak membuka celananya. Lalu, minta ia BAK di
toilet.
2)
Jika pola BAK belum teratur, jangan marahi jika
ia masih BAK di celananya.
7
Ketahuilah, melatih anak BAK ke toilet dan
membersihkan dirinya, relatif lebih mudah daripada
melatihnya menahan BAK. Apalagi saat ia dalam
keadaan tertidur, dimana anak sering “ngompol”.
Ngompol atau enkopresi adalah keluarnya urine tanpa
disadari saat tidur.Adakalanya pengertian mengompol
juga dipakai untuk merujuk pada anak yang gagal
mengontrol pengeluaran urinenya saat terjaga (Eveline,
2010).
5.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak dalam
Toilet Training
Menurut
Gilbert
(2003),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi anak dalam toilet training adalah sebagai
berikut :
a.
Teknik Lisan
b.
Teknik Modelling
7.
Tanda-Tanda Anak Berhasil Melakukan Toilet
Training
Menurut Gilbert (2003), tanda-tanda anak berhail
melakukan toilet trainingadalah :
a.
Tidak mengompol beberapa jam sehari, minimal
3 sampai 4 jam
b.
Anak berhasil bangun tidur tanpa mengompol
sedikitpun
c.
Tahu waktu untuk buang air kecil dan besar
dengan menggunakan kata ’pipis’ atau ’pup’, serta BAB
dan BAK menjadi teratur
d.
Sudah mampu memberitahu bila celana atau
popok sekali pakainya sudah kotor ataupun basah
e.
Bisa memegang alat kelamin atau minta ke
kamar kecil sebagai ’alarm’ bahwa keinginan BAK atau
BAB memanggil
a.
Faktor internal
1)
Kesiapan anak (fisik, mental, psikologis)
2)
Genetik
3)
Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin terhadap keberhasila toilet
training memiliki kecenderungan bahwa anak laki-laki
lebih lamban dalam penguasaan kontrol terhadap
kandung kemihnya dibandingkan anak perempuan.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor :
a)
Sistem saraf anak laki-laki berkembang lebih
lambat daripada anak perempuan yang mulai dapat
menguasai keinginan buang air kecil pada umur 18
bulan, sementara anak laki-laki setelah berusia 22 bulan
(Gilbert, 2003).
b)
Anak laki-laki kurang sensitiv dengan rasa
basah di kulit mereka dibandingkan dengan anak
perempuan (Gilbert, 2003).
c)
Perawatan kesehatan yang teratur, tidak hanya
pada saat anak sakit, pemeriksaan kesehatan secara rutin
akan menunjang pada tumbuh kembang anak. Anak
yang menderita penyakit menahun, akan terganggu
tumbuh kembangnya dan pendidikannya serta akan
mengalami stress yang long memory (Gilbert, 2003)
b.
Faktor Eksternal
1)
Sosial dan Ekonomi Keluarga
2)
Tingkat Pengetahuan Orang Tua
3)
Pola Asuh Orang Tua
4)
Ketersediaan Sumber-Sumber dan Fasilitas
6.
Cara Mengajarkan Toilet Training Pada Anak
Menurut Hidayat (2005), Latihan buang air besar atau
buang air kecil pada anak atau dikenal dengan nama
toilettraining merupakan suatu hal yang harus dilakukan
pada orang tua anak, mengingat dengan latihan itu
diharapkan anak mempunyai kemampuan sendiri dalam
melaksanakan buang air kecil dan buang air besar tanpa
merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak
akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai
usia tumbuh kembang anak. Banyak cara yang dapat
dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk
buang air besar dan kecil, diantaranya :
C.
Hubungan Komunikasi dalam Toilet Training
Anak Usia Prasekolah
Periode prasekolah mendekati tahun antara 3 dan 6
tahun.Anak-anak
menyempurnakan
penguasaan
terhadap tubuh mereka dan merasa cemas menunggu
awal pendidikan formal.Banyak orang menyadari hal ini
merupakan masa yang paling menarik untuk orang tua
karena anak-anak menjadi kurang negatif, dapat lebih
secara akurat membagi pemikiran mereka, dan dapat
lebih
secara
efektif
berinteraksi
dan
berkomunikasi.Anak-anak memerlukan kesempatan
untuk belajar dan latihan keterampilan fisik.Orang tua
merancang kesempatan ini ke dalam pengalaman anakanak sehari-hari, bergantung pada kemampuan,
kebutuhan dan tingkat tenaga mereka, seperti halnya
tentang latihan ke toilet untuk buang air besar (BAB)
dan buang air kecil (BAK) (Perry dan Potter, 2005).
Buang air besar (BAB) dan air kecil (BAK) bukanlah
suatu masalah besar, namun bagi anak-anak, mandiri
untuk bisa BAB dan BAK hal yang patut diacungi
jempol. Minimal anak bisa memberi tanda-tanda saat
akanBAK atau BAB. Cara untuk melatih kemandirian
anak agar bisa BAB dan BAK di toilet yaitu dengan
berkomunikasi.
Berikut cara berkomunikasi yang bisa digunakan dalam
melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar
di toilet, yaitu:
1.
Caraberkomunikasi lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara
memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata
sebelum dan sesudah buang air kecil dan besar. Cara ini
kadang-kadang merupakan hal yang biasa yang
dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila kita
perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang
cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang
air kecil dan besar dimana dengan lisan ini persiapan
psikologis pada anak semakin matang dan akhirnya anak
8
mampu dengan baik dalam melakukan buang air kecil
dan buang air besar (Hidayat, 2009).
2.
Berkomunikasi dengan pengaturan jadwal
Anak yang telah menampakkan tanda kesiapan secara
bertahap diminta duduk di atas toilet sebentar dalam
keadaan berpakaian lengkap.Anak diminta untuk
melepaskan pakaian dalamnya sendiri dan duduk di
toilet selama 5-10 menit.Ibu memberikan pujian pada
anak bila anak dapat melakukan dengan baik. Metode ini
efektif untuk anak-anak yang memiliki jadwal buang air
besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang teratur
(Crisida, 2009).
D. Hipotesis Penelitian
Ada Hubungan Antara Komunikasi Orang
Tua
Tentang
ToiletTraining
Dengan
Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun)
Dalam Melakukan ToiletTraining di Desa
Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes.
E. Definisi Operasional
BAB IV
METODE PENELITIAN
3.
Berkomunikasi menggunakan alat bantu
Anak telah memperlihatkan kesiapannya untuk latihan
buang air, kemudian anak diajarkan toilet training
menggunakan boneka. Orang tua memberikan contoh
lewat boneka kemudian orang tua meminta anak untuk
menirukan proses toilet training dengan boneka secara
berulang-ulang dan anak diajarkan untuk memberi
pujian pada boneka (Crisida, 2009).
BAB III
KERANGKA KERJA PENELITIAN
A.
B. KerangkaTeori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Hidayat (2009), Arwani (2002), Crisida
(2009), Perry dan Potter
(2005),Notoatmodjo (2003), Taufik (2007).
C. KerangkaKonsep Penelitian
Bagan 2.2 KerangkaKonsepPenelitian
Hidayat (2009), Crisida (2009)
9
DesainPenelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif
korelatif. Menurut Nursalam (2008), deskriptif
korelatifadalah penelitian/penelaahan hubungan antara
dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan pendekatan cross sectional. Menurut
Notoatmodjo (2005), pendekatan cross sectional adalah
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek melalui
pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus
pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap
subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau
variabel subjek pada saat pemeriksaan.
4)
Orang tua yang memiliki anak yang sedang sakit
atau sedang dalam terapi pengobatan baik di rumah sakit
ataupun di rumah
C.
Tempatdan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan Di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Waktu
penelitian
dilaksanakan
pada
tanggal
29-31
Agustus2013.
D.
TeknikPengumpulan Data
1.
Sumber data
Jenis data yang digunakan adalah data primer. Menurut
Notoatmodjo (2005), data primer yaitu data yang
diperoleh langsung dari responden ataupun dari sumber
pertama.
Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan datanya dari
kuesioner yang berisi tentang komunikasi orang tua
dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun)
dalam toilet training.
2.
Alat pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
yaitu kuesioner atau angket. Menurut Notoatmodjo
(2005), kuesioner adalah sebagian daftar pertanyaan
yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana
responden tinggal memberikan jawaban atau dengan
memberikan tanda-tanda tertentu.
Instrument dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
atau angket sebanyak 19 pertanyaan dengan bentuk
pertanyaan positif dan negatif. Cara menilainya yaitu
dengan menjumlahkan seluruh jawaban kemudian
menyimpulkan dari hasil penjumlahan tersebut.
B.
PopulasidanSampelPenelitian
1.
Populasipenelitian
Menurut Notoatmodjo (2005), populasi merupakan
keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dan anak
usia prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes Tahun 2013
yang berjumlah 343anak.
2.
SampelPenelitian
Sampel adalah subset (bagian) populasi yang diteliti
(Sastroasmoro, 2002), sedangkan menurut Aziz (2003),
sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh
populasi.
Pengambilan sampel dalam penelitian di Desa
Tegalglagah sebesar 343 x 20% sampel yaitu ada 68
sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah kuota sampling dimana sampel diam bila sesuai
jumlah perhitungan yang ditetapkan.
Untuk itu penentuan sampel dalam penelitian ini
menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.
a.
Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu
dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010)
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1)
Orang tua yang mempunyai anak usia
prasekolah (3-6 tahun)
2)
Bersedia menjadi responden
b.
Kriteria eksklusi
Kriteria eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,
2010).
Kriteria eklusi dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1)
Orang tua yang memiliki anak yang mengalami
gangguan fisik (cacat) yang setiap kebutuhan di bantu
oleh orang lain
2)
Orang tua yang memiliki anak yang mengalami
gangguan mental atau gangguan psikologis
3)
Orang tua tidak mempunyai toilet
3.
Uji Validitas dan Uji Reabilitas
Sebelum digunakan sebagai instrumen penelitian maka
kuisoner harus diuji terlebih dahulu dengan melakukan
10
uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dan
reliabilitas penelitian ini dilakukan di Desa Petunjungan
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes karena
karakteristiknya sama pada tanggal 27 Agustus 2013,
dengan jumlah responden sebanyak 20 responden
a.
Uji Validitas
Menurut Notoatmodjo (2005), validitas adalah suatu
indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Instrumen penelitian
dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan dan apabila dapat mengungkapkan data
secara variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto,
2006). Uji validitas dilakukan dengan menganalisis tiap
butir pernyataan mengenai komunikasi orang tua tentang
toilet training dan pernyataan tentang keberhasilan
toilettraining dengan menggunakan rumus “product
moment person” pada tempat yang berbeda yang
memiliki kriteria sama dengan tempat yang akan diteliti.
Menurut Arikunto (2006), uji validitas dengan
menggunakan teknik korelasi product moment dengan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
K
: jumlah item
∑σb2
: jumlah varian skor total
σ2t
: jumlah responden untuk item
Uji instrumen ini dikatakan reliabel jika nilai r hitung
atau hasil nilai alpha lebih besar dari r tabel (Arikunto,
2006). Hasil coba instrumen di dapatkan r hitung antara.
Nilai r tabel pada n = 20 adalah 0,60, jadi nilai
rhitung>rtabel berarti dapat dinyatakan reliabel.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas AlphaCronbach
diperoleh nilai r = 0,932> r tabel 0,60, sehingga
disimpulkan bahwa instrumen dinyatakan reliabel.
4.
Metode pengumpulan data
a.
Peneliti meminta surat ijin penelitian kepada
Kaprodi S1 Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo.
b.
Setelah mendapat surat izin dari Kaprodi S1
Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo, mengajukan izin
penelitian kepada Kepala Dinas Kesehatan Brebes.
c.
Peneliti mendapat ijin penelitian dari Kepala
Dinas Kesehatan Brebes untuk melakukan penelitian.
d.
Permohonan ijin penelitian dan koordinasi
dengan Kepala Desa Tegalglagah Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes dan Bidan Desa.
e.
Peneliti mengumpulkan data dengan cara
mendatangi kerumah responden.
f.
Peneliti memberikan penjelasan mengenai
tujuan penelitian, cara pengisian kuesioner dan meminta
partisipasinya untuk memberikan jawaban.
g.
Responden dipersilahkan untuk menandatangani
informed consent bila calon responden bersedia menjadi
responden.
h.
Peneliti
memberikan
kuesioner
kepada
responden untuk diisi sesuai dengan format pertanyaan,
dan peneliti mendampingi respondon saat pengisian
kuesioner.
i.
Kuesioner yang telah diisi, kemudian
dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya, disimpan
dalam file tertutup kemudian dilakukan analisa oleh
peneliti.
Etika Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menjunjung tinggi etika
penelitian secara umum dengan menghormati manusia
sebagai subyeknya (Nursalam, 2003), etika yang harus
diperhatikan antara lain :
Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang
tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan, sebelum
dilakukan pengambilan data penelitian. Kemudian calon
responden yang bersedia harus menandatangani lembar
persetujuan tersebut. Peneliti tidak memaksa terhadap
responden yang tidak mau mengisi kuisioner. Pada saat
penelitian berlangsung tidak terdapat responden yang
mengundurkan diri pada saat megisi kuisioner.
Tanpa Nama (Anonimity)
Kuesioner dikatakan valid jika rhitung>rtabel
(Notoatmodjo, 2005). Hasil uji validitas dilakukan
kepada 20 responden pada ibu yang mempunyai anak
usia 3-6tahun di Desa Petunjungan Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes didapatkan r hitung
antara r tabel pada n= 20 adalah 0,444 jadi
rhitung>rtabel berarti variabel alat ukur dapat
dinyatakan valid.
Dari hasil uji validitas diperoleh 10 item valid dengan
nilai r hitung terletak antara 0,684-0,887. Dan 9 item
valid dengan nilai hitung terletak antara 0,680-0,873.
Terlihat bahwa nilai-nilai ini lebih besar dari r tabel
0,444, ini menunjukan bahwa 19 item dinyatakan valid.
b.
Uji Reabilitas
Reabilitas adalah suatu cara untuk mengetahui sejauh
mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana
hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang
sama (Notoatmodjo, 2005). Pengukuran reabilitas dapat
menggunakan rumus AlphaCronbach.
Untuk
menguji
reabilitas
instrumen
dengan
menggunakan teknik AlphaCronbach sebagai berikut:
11
“Sering” diberi skor 3, “Kadang-kadang” diberi skor 2
dan “Tidak pernah” diberi skor 1. Sedangkan pada
pertanyaan negatif, jawaban “Selalu” diberi skor 1,
“Sering” diberi skor 2, “Kadang-kadang” diberi skor 3
dan “Tidak pernah” diberi skor 4.
Coding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka atau bilangan untuk
mempermudah pada saat analisisdata dan mempercepat
pada saat entri data dalam penelitian ini dilakukan kode
sebagai berikut :
Komunikasi orang tuatentangtoilettraining
Komunikasi orang tua tentang toilettraining
kurang = 1
Komunikasi orang tua tentang toilettraining
cukup = 2
Komunikasi orang tua tentangtoilettraining baik
=3
Keberhasilananakusiaprasekolah (3-6 tahun) dalam toilet
training
Berhasil
:2
Belum berhasil : 1
Tabulating
Kagiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam
tabel kemudian diolah dengan bantuan komputer.
Entering
Proses memasukkan data kedalam komputer melalui
program SPSS, sebelum dilakukan analisa dengan
komputer pengecekan ulang terhadap data.
Cleansing
Cleansing adalah memastikan bahwa seluruh data yang
dimasukkan ke dalam mesin pengolah data sudah sesuai
dengan sebenarnya atau proses pembersihan data.
Untuk menjaga kerahasiaaan responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden dalam pengolahan data
penelitian. Peneliti hanya menggunakan nomor untuk
memberikan kode responden.
Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti menjamin kerahasiaan tiap Informasi yang
diberikan oleh responden serta semua data yang telah
terkumpul. Hasil kuesioner setelah selesai digunakan
dibakar oleh penelitian.
Sukarela
Partisipasi responden sebagai subyek peneliti didalam
penelitian ini harus secara sukarela atau tidak terdapat
unsur paksaan, tekanan secara langsung maupun tidak
langsung atau paksaan secara halus atau adanya unsur
ingin menyenangkan dan sejenisnya untuk menjamin
kesukarelaan responden menjadi subyek penelitian ini
maka dilakukan pengisian Informed Consent.
Pengolahan Data
Menurut Budiarto (2002), pengolahan data dilakukan
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
Editing
Editing dilakukan untuk mengetahui data sudah diisi
dengan benar sesuai petunjuk pengisian. Pada tahap ini
semua data diperiksa, sehingga apabila ada pernyataan
yang belum diisi atau kesalahan penulisan, masalah
tersebut dapat ditanyakan kepada responden
Pada penelitian ini data yang diperolah diteliti kembali
hal-hal sebagai berikut:
Kelengkapanjawaban yang diberikan
Tulisan-tulisanpada
data
yang
terteradalamkuesionerharusdapatdibaca
Kejelasanmaknajawaban
Kesesuaianjawabansatusama lain
Keseragamansatuan data
Scoring
Memberikan skor atau nilai pada masing-masing
jawaban responden.
Untuk jawaban variabel komunikasi orang tua
tentang toilet trainingdikatakan dalam kategori “Baik”
jika skor antara 26-40, “Cukup” jika skor antara 16-25
dan “Kurang” jika skor antara 1-15. Pada pertanyaan
positif, jawaban “Selalu” diberi skor 4, “Sering” diberi
skor 3, “Kadang-kadang” diberi skor 2 dan “Tidak
pernah” diberi skor 1. Sedangkan pada pertanyaan
negatif, jawaban “Selalu” diberi skor 1, “Sering” diberi
skor 2, “Kadang-kadang” diberi skor 3 dan “Tidak
pernah” diberi skor 4.
Untuk jawaban variabel keberhasilan anak
prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training
dikatakan dalam kategori “Berhasil” jika skor antara 2336 dan kategori “Belum Berhasil” jika skor antara 9-22.
Pada pertanyaan positif, jawaban “Selalu” diberi skor 4,
Analisis data
Data yang sudah dilakukan pengelolaan kemudian
dianalisis secara bertahap sesuai dengan tujuan
penelitian, meliputi:
Analisa univariat
Analisis Univariat adalah analisis untuk menggambarkan
tiap variabel dengan menggunakan tabel frekuensi.
Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk
mendefinisikan tiap variabel yang diteliti secara terpisah
dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel (Notoatmodjo, 2005).
Dalam analisis ini hasilnya akan ditampilkan dalam
bentuk presentase dan distribusi frekuensi dari tiap
variabel, yaitu variabel bebas (komunikasi orang tua
tentang toilet training) dan variabel terikat (keberhasilan
anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet
training.
Analisa bivariat
12
Yaituanalisis yang dilakukanterhadapduavariabel yang
didugaberhubungandanberkorelasi
(Notoatmodjo,
2002).Analisisbivariatmenganalisishubungankomunikasi
orang
tuatentang
toilet
training
dengankeberhasilananakusiaprasekolah (3-6 tahun)
dalammelakukantoilet training. Analisa bivariat ini
menggunakan Kendal Tau karena datanya berbentuk
ordinal dengan ordinal.
Kabupaten Brebes.Hasil penelitian ini terdiri dari
analisis univariat dan analisis bivariat.
A.
Karakteristik Responden
1.
Jenis Kelamin Anak
Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin anak
disajikan pada tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis
Kelamin Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) di Desa
Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013
Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 68
responden anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah
Kec. Bulakamba Kab. Brebes, lebih banyak yang
berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah 36 anak
(52,9%).
Koefisien korelasi ranking Kendall Tau cocok
digunakan sebagai ukuran korelasi dengan jenis data
yang sama dengan data dimana koefisien korelasi
ranking spearman dapat digunakan, artinya jika
sekurang-kurangnya tercapai pengukuran ordinal dari
tabel X dan Y. Nilai korelasi yang dihasilkan berkisar
antara -1 sampai dengan +1. Angka pada nilai korelasi
menunjukan keeratan hubungan antara 2 variabel Yang
diuji. Jika angka korelasi makin mendekati 1, maka
korelasi 2 variabel akan makin kuat, sedangkan angka
korelasi makin mendekati 0 maka korelasi 2 variabel
makin lemah. Sedangkan tanda minus dan positif pada
nilai korelasi menyatakan sifat hubungan. Jika nilai
korelasi bertanda minus, berarti hubungan diantara
kedua tabel bersifat searah. Sedangkan nilai korelasi
bertanda plus, berarti hubungan diantara kedua tabel
bersifat berlawanan arah.
Ketentuan menentukan hubungan antar variabel adalah
dengan melihat nilai ι (tau) dan p value, dimana bila
nilai ι hitung ≥ dari nilai
ι tabel atau p value< (α
= 0,05) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan
antara komunikasi orang tua tentang toilettraining
dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun)
dalam melakukan toilettraining di desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes.
BAB V
HASIL PENELITIAN
2.
Pendidikan Orangtua
Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan orangtua
disajikan pada tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan
Pendidikan Orangtua yang Memiliki Anak Usia
Prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes, 2013
Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 68
responden orangtua yang memiliki anak usia prasekolah
di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, lebih
banyak yang berpendidikan SMP, yaitu sejumlah 32
orang (47,1%).
3.
Pekerjaan Orangtua
Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan orangtua
disajikan pada tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan
Pekerjaan Orangtua yang Memiliki Anak Usia
Prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes, 2013
Bab ini membahashasil penelitian tentang hubungan
antara komunikasi orang tua tentang toilet training
dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun)
dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah
Kecamatan
Bulakamba
Kabupaten
Brebes,sedangkansebagai respondennya adalah para
orangtua yang mempunyai anak usia prasekolah (3-6
tahun) di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
13
Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 68
responden orangtua yang memiliki anak usia prasekolah
di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes,
sebagian besar bekerja sebagai petani, yaitu sejumlah 43
orang (63,2%).
B.
Analisis Univariat
1.
Pengetahuan Komunikasi Orangtua tentang
Toilet Training
Distribusi frekuensi berdasarkan komunikasi orangtua
tentang toilet training disajikan pada tabel 5.4berikut ini.
Tabel 5.4
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan
Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training pada
Anak Usia Prasekolahdi Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes, 2013
Tabel 5.6
Hubungan antara Komunikasi Orangtua
tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia
Prasekolah (3-6 tahun) dalam Melakukan Toilet
Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes, 2013
Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa anak
dengan komunikasi orangtua tentang toilet training
dalam kategori kurang sebagian besar belum berhasil
dalam melakukan toilet training sejumlah 22 anak
(84,6%), sedangkan anak dengan komunikasi orangtua
tentang toilet training dalam kategori cukup sebagian
besar juga belum berhasil dalam melakukan toilet
training sejumlah 14 anak (63,6%), dan anak dengan
komunikasi orangtua tentang toilet training dalam
kategori baik sebagian besar telah berhasil dalam
melakukan toilet training sejumlah 16 anak (80,0%).
Berdasarkan uji Kendall Tau didapat nilaikorelasi
0,495 dengan p-value0,000. Oleh karena p-value =
0,000< α (0,05), maka Ho ditolak, dan disimpulkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi
orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan
anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet
training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes. Karena
maka
hubungan ini memiliki arah positif, yang artinya jika
komunikasi orangtua semakin baik maka anak akan
semakin berhasil dalam melakukan toilet trainng.
Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa
komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak
usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba
Kab. Brebes, paling banyak dalam kategori kurang, yaitu
sejumlah 26 orang (38,2%).
2.
Keberhasilan Anak dalam Melakukan Toilet
Training
Distribusi frekuensi berdasarkan keberhasilan anak
dalam melakukan toilet training disajikan pada tabel 5.5
berikut ini.
Tabel 5.5
Distribusi
Frekuensi
Berdasarkan
Keberhasilan Anak dalam Melakukan Toilet Training
pada Anak Usia Prasekolahdi Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes, 2013
Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa sebagian
besar anak usia prasekolah (3-65 tahun) di di Desa
Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes belum
berhasil dalam melakukan toilet training, yaitu sejumlah
40 anak (58,8%).
BAB VI
PEMBAHASAN
A.
Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training di
Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel
5.4, dapat diketahui bahwa komunikasi orangtua tentang
toilet training pada anak usia prasekolah di Desa
Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, dalam
kategori kurang, yaitu sejumlah 26 orang (38,2%),
dalam kategori cukup sejumlah 22 orang (32,4%), dan
dalam kategori baik sejumlah 20 orang (29,4%). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa komunikasi orangtua tentang
toilet training pada anak usia prasekolah di Desa
Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, paling
banyak dalam kategori kurang.
Kurangnya komunikasi orangtua tentang toilet training
pada anak prasekolah di Desa Tegalglagah Kec.
C.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat padabagian ini disajikan untuk
menganalisishubungan antara komunikasi orang tua
tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia
prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training
di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes.Untuk mengetahui hubungan ini digunakan uji
Kendall Tau dimana hasilnya disajikan berikut ini.
14
Bulakamba Kab. Brebes dikarenakan pendidikan
orangtua yang kurang, yang mana dari hasil karakteristik
responden didapatkan bahwa sebagian besar orangtua
anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes berpendidikan rendah SD 15
orang (22,%) dan SMP 32 orang (47,1%). Pendidikan
yang rendah ini menyebabkan kurangnya orangtua
dalam menerima informasi yang datang dari luar
khususnya tentang bagaimana berkomunikasi yang baik
dalam mengajarkan toilet training kepada anak.
Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat
dan mengatasi kehidupannya yang dapat digunakan
untuk mendapatkan informasi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya
semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerima informasi dan makin bagus pengetahuan yang
dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara
efektif akan dapat dilakukannya.Sebaliknya, pendidikan
yang rendah membuat individu terlambat dalam
menerima segala informasi, sehingga dalam menerapkan
komunikasi kepada anak menjadi kurang optimal.
Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam
membangun kepercayaan diri dengan anak. Melalui
komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang,
dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu
penghargaan pada dirinya. Dalam tinjauan ilmu
keperawatan anak, anak merupakan seseorang yang
membutuhkan suatu perhatian dan kasih sayang sebagai
kebutuhan khusus anak yang dapat dipenuhi dengan cara
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal yang
dapat menumbuhkan kepercayaan pada anak sehingga
tujuan komunikasi dapat tercapai (Hidayat, 2009).
Wong (2008) mengemukakan, dalam komunikasi
dengan anak, komponen non verbal pada proses
komunikasi menunjukkan pesan yang paling penting.
Anak akan sangat waspada terhadap lingkungan sekitar
dan memaknai setiap sikap dan gerakan tubuh yang
ditampilkan, terutama anak sangat muda.
Komunikasi orangtua tentang toilet training merupakan
suatu proses penyampaian pesan dari orang tua kepada
anak yang berupa mengenali tanda-tanda anak ketika
anak hendak BAB/BAK dan langsung diajak atau
diajarkan ke toilet. Komunikasi ini sangat penting
karena bagi anak keluarga merupakan orang terdekat.
Orang tua adalah orang dewasa yang selalu bersama dan
anak akan selalu bersandar dengan mereka. Kedekatan
orang tua dengan anak bisa didapatkan dengan
komunikasi. Menurut (Defi, 2011), komunikasi
merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku
dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan dunia sekitarnya. Pada tahapan toilet
training komunikasi yang baik sangat berpengaruh pada
perkembangan anak kedepannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel
5.5, dapat diketahui bahwa anak usia prasekolah (3-65
tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab.
Brebes yang belum berhasil dalam melakukan toilet
training sejumlah 40 anak (58,8%), dan yang berhasil
sejumlah 28 anak (41,2%). Ini menunjukkan bahwa
sebagian besar anak usia prasekolah (3-65 tahun) di
Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes yang
belum berhasil dalam melakukan toilet training.
Belum berhasilnya anak usia prasekolah di Desa
Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes dalam
melakukan toilet training bisa disebabkan oleh pekerjaan
orangtua terutama pekerjaan ibu, dimana dari hasil
karakteristik responden sebagian besar orangtua baik
ayah maupun ibu di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba
Kab. Brebes dalam kesehariannya sibuk bekerja sebagai
petani sejumlah 43 orang (63,2%). Suatu pekerjaan
orangtua
terutama
ibu
mempunyai
akan
berpengaruhterhadap penerapan toilet training secara
dini pada anak usia toddler, dimana pekerjaan ibu dapat
menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet
training secara dini sehingga akan berdampak pada
terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toileting.
Selain itu, kasih sayang dan perhatian ibu juga
mempengaruhi kualitas dalam kemampuan toiletinganak
secara dini, dimana ibu yang perhatian akan memantau
perkembangan anak, maka akan berpengaruh lebih cepat
dalam melatih anak usia prasekolah melakukan toilet
training secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu
maka anak lebih berani atau termotivasi untuk mencoba
karena mendapatkan perhatian dan bimbingan (Safaria,
2004).
Hal ini sesuai dengan pendapat Gilbert (2003), semakin
tinggi tingkat pendidikan orang tua akan semakin
menunjang terhadap pola pengasuhan toilet training.
Pendidikan yang baik dari orang tua dapat menerima
segala informasi dari luar, terutama pengetahuan tumbuh
kembang, pengasuhan anak yang baik, perawatan yang
kesehatan
pada
anaknya,
pendidikannya
dan
sebagainya.Begitupun sebaliknya, rendahnya pendidikan
orangtua, berpengaruh terhadap kurangnya orangtua
dalam menerima informasi dari luar khususnya tentang
pengasuhan dan perawatan anak.
Supartini (2004), sukses tidaknya toilet training
tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan
orang tua. Whaley dan Wong dalam Hidayat (2009)
mengatakan, ada beberapa tanda anak mampu
mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi antara lain
yaitu kesiapan fisik, mental, dan kesiapan psikologis.
Sedangkan kesiapan orang tua itu sendiri antara lain
yaitu mengenal kesiapan anak untuk berkemih dan
defekasi, menyediakan waktu, dan tidak mengalami
konflik atau stres kekeluargaan. Menurut Crisida (2009),
Anak sesekali enkopresi (mengompol) dalam masa toilet
training itu merupakan hal yang normal. Apabila anak
berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat
B.
Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun)
dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kab. Brebes
15
memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila
anak belum dapat melakukan dengan baik.
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan
beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan
toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan
anak masuk ke dalam WC anak akan cepat lebih
adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet
meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada
anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak
ketika anak terlihat ingin buang air (Crisida, 2009). Tim
Redaksi Ayah Bunda (2007) mengatakan bahwa
mengajarkan anak buang air kecil di kloset dan
membersihkan diri biasanya lebih mudah dibandingkan
mengajarkan anak menahan air seninya. Dalam
mengajarkan buang air kecil di kloset orang tua dapat
menetapkan langkah yang sama dengan buang air besar.
Risiko yang ditimbulkan jika anak tidak mampu
melewati tahapan ini maka akan berdampak pada
perkembangan
psikologisnya
terutama
dalam
perkembangan kepribadian anak. Ketidakberhasilan
dalam toilet trainingakan membuat anak mengalami
kepribadian eksprensif dimana anak akan lebih tega,
cenderung ceroboh, suka buat gara-gara, emosional, dan
seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari
(Hidayat, 2009).
hubungan yang signifikan antara komunikasi orangtua
tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia
prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training
di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes. Karena
memiliki arah positif, yang artinya jika komunikasi
orangtua semakin baik maka anak akan semakin berhasil
dalam melakukan toilet training.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Rusmi
(2009), bahwa keberhasilan anak dalam melakukan toilet
training dipengaruhi dari komunikasi orang tua kepada
anak.Komunikasi adalah suatu interaksi dan transaksi
yang digunakan oleh manusia dalam menerima dan
memberi pesan. Komunikasi orang tua yang terlalu
lemah ataupun terlalu keras akan mempengaruhi
tindakan anak dalam melakukan toilet training.
Komunikasi dua arah yang menghasilkan timbal balik
dari anak adalah komunikasi yang dianggap baik.
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan
berarti dalam hubungan antar manusia. Untuk itu
memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial
yang mencakup ketrampilan intelektual, teknik dan
interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring atau
kasih sayang dalam berkomunikasi dengan orang lain
(Defi, 2011).
Buang air besar (BAB) dan air kecil (BAK) bukanlah
suatu masalah besar, namun bagi anak-anak, mandiri
untuk bisa BAB dan BAK hal yang patut diacungi
jempol. Minimal anak bisa memberi tanda-tanda saat
akanBAK atau BAB. Untuk mendapatkan anak bisa
BAK dan BAB secara mandiri bukanlah hal mudah, oleh
karena itu perlu adanya komunikasi yang baik dan
kesabaran dari orangtua untuk melatih kemandirian anak
agar bisa BAB dan BAK di toilet.
Menurut Crisida (2009), ada beberapa cara untuk
berkomunikasi yang bisa digunakan dalam melatih anak
untuk buang air kecil dan buang air besar di toilet,
diantaranya:
cara
berkomunikasi
lisan.
Cara
berkomunikasi lisan merupakan usaha untuk melatih
anak dengan cara memberikan instruksi pada anak
dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil
dan besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal yang
biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila
diperhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai
yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk
buang air kecil dan besar dimana dengan lisan ini
persiapan psikologis pada anak semakin matang dan
akhirnya anak mampu dengan baik dalam melakukan
buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2009).
Selain itu, berkomunikasi dengan pengaturan jadwal.
Anak yang telah menampakkan tanda kesiapan secara
bertahap diminta duduk di atas toilet sebentar dalam
keadaan berpakaian lengkap.Anak diminta untuk
melepaskan pakaian dalamnya sendiri dan duduk di
toilet selama 5-10 menit.Ibu memberikan pujian pada
anak bila anak dapat melakukan dengan baik. Metode ini
efektif untuk anak-anak yang memiliki jadwal buang air
C.
Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang
Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia
Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet
Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel
5.6, dapat diketahui bahwa anak dengan komunikasi
orangtua tentang toilet training dalam kategori kurang
sebagian besar belum berhasil dalam melakukan toilet
training sejumlah 22 anak (84,6%). Hal ini dikarenakan
anak yang kurang mendapat perhatian dan komunikasi
yang kurang dari orangtua akan bersikap seenaknya
sendiri saat BAK atau BAB, misalnya BAK di celana
atau di sembarang tempat, dan ini dikhawatirkan bisa
menjadi kebiasaan dari sang anak dan mengakibatkan
ketidakberhasilan dalam melakukan toilet training.
Sedangkan anak dengan komunikasi orangtua tentang
toilet training dalam kategori baik sebagian besar telah
berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 16
anak (80,0%).Ini karena anak yang mendapat
komunikasi yang baik dari orangtua, selalu diperhatikan
dan dibimbing dalam bertoilet, hal ini menimbulkan rasa
percaya diri bagi anak. Melalui komunikasi akan terjalin
rasa percaya, rasa kasih sayang, dan selanjutnya anak
akan merasa memiliki suatu penghargaan pada dirinya,
sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai.
Berdasarkan uji Kendall Tau didapat nilai korelasi
0,495 dengan p-value0,000. Oleh karena p-value = 0,000
< α (0,05), maka Ho ditolak, dan disimpulkan bahwa ada
16
besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang teratur
(Crisida, 2009).
Sedangkan komunikasi yang lain adalah dengan
menggunakan alat bantu. Anak telah memperlihatkan
kesiapannya untuk latihan buang air, kemudian anak
diajarkan toilet training menggunakan boneka. Orang tua
memberikan contoh lewat boneka kemudian orang tua
meminta anak untuk menirukan proses toilet training
dengan boneka secara berulang-ulang dan anak
diajarkan untuk memberi pujian pada boneka (Crisida,
2009).
dengan harapan agar kemampuan toilet training anak
dapat berkembang dengan baik dan mandiri.
2.
Bagi Institusi
Bagi institusi pendidikan harus dapat memberikan
pembelajaran dan pendidikan bagi masyarakat tentang
mengajarkan toilet training pada anak secara dini, yaitu
dengan memberikan informasi melalui penyuluhan, atau
menyebarkan leaflet-leaflet dan buku-buku tentang toilet
training.
3.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi
peneliti
selanjutnya
diharapkan
dapat
mengembangkan penelitian tentang toilettraining dan
kemampuan
toilettraining,
misalnya
dengan
mengikutkan
faktor-faktor
lain
yang
dapat
mempengaruhi perkembangan kemampuan toilettraining
anak, misalnya faktor lingkungan, pendidikan ibu, dan
lainnya.
D.
Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa penelitian tentang Hubungan
antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training
dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun)
dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes memiliki
banyak kekurangan. Kendala dalam penelitian ini
diantaranya adalah keterbatasan waktu dan alat ukur.
1.
Peneliti
hanya
melakukan
penelitian
berdasarkan kuesioner saja sehingga tidak dapat
mengkaji lebih dalam tentang komunikasi seorang ibu
yang anaknya tidak berhasil dalam melakukan
toilettraining.
2.
Peneliti hanya menggunakan dua variabel yaitu
Komunikasi Orangtuatentang ToiletTraining dan
Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam
Melakukan ToiletTraining, sedangkan masih ada
beberapa variabel lain yang mempengaruhiKeberhasilan
Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan
Toilet Training seperti faktor kesiapan anak, sosial dan
ekonomi keluarga, tingkat pengetahuan orang tua dan
pola asuh.
BAB VII
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Komunikasi orangtua tentang toilet training
pada anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec.
Bulakamba Kab. Brebes, paling banyak dalam kategori
kurang, yaitu sejumlah 26 responden (38,2%)
2.
Sebagian besar anak usia prasekolah (3-65
tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab.
Brebes yang belum berhasil dalam melakukan toilet
training, yaitu sejumlah 22 anak (84,6%)
3.
Ada hubungan yang signifikan antara
komunikasi orangtua tentang toilet training dengan
keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam
melakukan toilet training di Desa Tegalglagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes dengan nilai
korelasi t = 0,495 dan p-value 0,000 < α (0,05).
B.
Saran
1.
Bagi Orangtua
Perlunya orangtua untuk meningkatkan komunikasi
kepada anak secara dini dalam mengajari toilet training,
17
Download