ANALISIS Sebelum membahas lebih jauh mengenai capacity

advertisement
ANALISIS
Sebelum membahas lebih jauh mengenai capacity building yang dilakukan oleh
UNOCHA dalam bencana yang terjadi di DIY, kami akan membahas terlebih dahulu
mengenai vulnerability dari masyarakat. Hal ini penting karena sesuai dengan yang
disampaikan Bankoff bahwa bencana bukan semata-mata merupakan natural hazard
saja namun banyak elemen yang mempengaruhinya. Kita melihat kembali formula
bencana yang di sampaikan oleh Bankoff:
RISK (DISASTER) = HAZARD x VULNERABILITY
CAPACITY
Dari formula ini, kita sepakat bahwa semakin tinggi vulnerability masyarakat maka
resiko bencana akan semakin tinggi pula1. Dalam kasus bencana yang terjadi di
Yogyakarta, kita akan melihat tiga area kerentanan, yaitu:

Sosial dan fisik:
o Bencana Merapi
Melihat Gunung Merapi yang kebanyakan membawa dampak yang
kurang
menguntungkan
dan
sewaktu-waktu
mengancam
jiwa
masyarakat yang tinggal sekitarnya seharusnya wilayah tersebut didak
digunakan sebagai tempat tinggal maupun digunakan sebagai tempat
mencari nafkah. Namun yang terjadi adalah masyarakat masih banyak
yang memilih tetap tinggal di lereng Gunung Merapi. Hal ini
dibuktikan dengan data statistik bahwa pada 1961 jumlah penduduk
ditiga wilayah yang berada di lereng selatan Merapi selalu meningkat.
Wilayah tersebut adalah Kecamatan Turi dengan penduduk 24218 jiwa
menjadi 32328 jiwa pada tahun 2010, Kecamatan Pakem dengan
1
Kerentanan (vulnerability) adalah karakteristik dari seseorang atau kelompok masyarakat dan
keadaan mereka yang dapat mempengaruhi kapasitas (capacity) mereka untuk mengantisipasi dan
mengatasi, menahan dan memulihkan keadaan mereka dari dampak bencana alam. Blaikie, P.,
Canon, T., Davis Ian, and Wisner,B.(2005). At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability , and
Disaster. Journal of Homeland Security and Emergency Management, Vol 2. Article 4
penduduk 24886 jiwa menjadi 33986 ditahun 2010 dan Kecamatan
Cangkringan dengan penduduk 21008 menjadi 27560 ditahun 20102.
Ketiga pedesaan yang dalam waktu 40 tahun ini mempunyai laju
pertumbuhan penduduk sekitar 25% atau 0.625% pertahunnya.
Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia, mengungkapkan bahwa
daerah di lereng gunung biasanya subur, maka banyak masyarakat
yang senang tinggal di daerah tersebut walaupun dengan sebuah
konsekuensi yang cukup membahayakan yaitu terlanda material
gunung berapi ketika sedang erupsi. Oleh karena itu tidak heran bahwa
pertambahan penduduk di lereng Gunung Merapi cukup tinggi.
o Bencana gempa bumi Bantul
Kabupaten Bantul merupakan kabupaten yang padat penduduk.
Berdasarkan data registrasi penduduk, pada tahun 2005 jumlah
penduduk Kabupaten Bantul tercatat sejumlah 809.971 jiwa, yang
terdiri dari 397.261 laki‐laki dan 412.710 perempuan, dengan laju
pertumbuhan rata‐rata selama 5 tahun terakhir tercatat 0,74 persen per
tahun, dan kepadatan penduduk mencapai 1.598 jiwa per km23.

Ekonomi :
o Bencana gempa bumi Bantul
Gempa dengan kekuatan 6,3 skala richter, versi USGS, terbukti telah
melumpuhkan tidak hanya rumah namun juga tempat, pabrik, bahan
baku, barang jadi, barang siap ekspor, dan peralatan usaha yang
hancur. Sektor yang paling banyak mengalami kerusakan adalah sektor
perumahan diikuti oleh sektor produktif, sosial, infrastruktur dan
sektor lain. Bank Dunia (2006) dan Bappenas (2006) mengestimasi
2
Data ini dikutib dari Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 1983 dan pada 2010, kemudian
dikomparasikan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman bekerjasama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman. Untuk detail data kependudukan di area Sleman bisa diakses di
http://www.slemankab.go.id/1260/data-sebaran-penduduk-krb-iii-ii-gunung-merapi.slm
3
Basuki, Agus Tri (2008). Strategi Pengembangan Sektor Pertanian Pasca Gempabumi Kabupaten
Bantul. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 9, Nomor 1, April 2008: 11 ‐ 25
total kerusakan dan kerugian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) di wilayah ini sekitar Rp 7 triliun. Sentra-sentra UMKM di
Bantul dan Klaten terancam bangkrut dan tutup. Ribuan pengrajin dan
buruh terancam menganggur. Sehingga akibat gempa selain tinggi nya
korban jiwa juga meningkatnya jumlah penduduk miskin dan tingkat
kemiskinan. Di wilayah yang terkena gempa jumlah keluarga miskin
meningkat rata-rata 2%. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di
Bantul sebesar 151,4 ribu orang, yang berarti tingkat kemiskinannya
sebesar 18,55%. Pascagempa, jumlah penduduk miskin di Bantul
menjadi sebesar 266,3 ribu orang , artinya, tingkat kemiskinan juga
meningkat menjadi 34,3%4.
o Bencana Merapi
Sebagian besar penduduk di lereng merapi bekerja di sektor pertanian.
Akibat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yaitu penetapan program
PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dicapailah swasembada beras
pada tahun 1984. Dalam program ini para petani diberikan pelatihanpelatihan dan suntikan benih-benih yang unggul dengan teknologi
pertanian yang baru diusahakan secara intensif, sehingga hasil
pertanian semakin meningkat dan taraf hidup petani meningkat. Hal
ini menyebabkan penduduk lokal enggan untuk dipindahkan dari
wilayah yang sangat rawan bencana ini. Ditambah sektor pariwisata
yang sangat berkembang di kawasan Merapi. Dua sektor ini membuat
masyarakat rentan dalam sisi ekonomi karena ketika bencana terjadi
maka masyarakat setempat akan kehilangan pekerjaannya.
4
Data diakses di http://bappeda.bantulkab.go.id/filestorage/dokumen/2014/07/20100526114000dok_bappeda_97.pdf
Ironisnya alokasi anggaran untuk merehabilitasi ekonomi UMKM di daerah Bantul
ini justru mendapatkan persentase yang relatif minim. Hanya tersedia dana sebesar
Rp 61,9 miliar pada tahun 2006, terdiri dari Rp14,9 miliar dana dari APBN dan
anggaran dekonsentrasi ditambah Rp 47 miliar dana dari pemerintah propinsi.
Teori Capacity Building
Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Peningkatan Kapasitas melalui Kemitraan
: Perantara Organisasi Non-pemerintah sebagai aktor lokal dan Global”, Paromita Sanyal
mengemukakan bahwa peningkatan kapasitas melalui jalinan kemitraan menjadi salah
satu strategi yang berkembang diantara organisasi-organisasi non-pemerintah. Kemitraan
merupakan salah satu jalan yang terfokus pada kerjasama antar organisasi dan
peningkatan kapasitas sebagai sarana untuk mengukur kemampuan organisasi lokal.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa banyak organisasi-organisasi lokal menempuh
strategi yang unik untuk membentuk sebuah jalinan kerjasama dengan organisasi
internasional.5
Analisis Capacity Building
Terkait dengan kerentanan masyarakat tersebut maka capacity building yang
dilakukan oleh UNOCHA untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan juga
keselamatan masyarakat pasca bencana gempa bumi di Bantul maupun bencana letusan
gunung merapi di wilayah Sleman. Peningkatan kapasitas yang dilakukan tidak hanya
dilakukan oleh organisasi internasional yang mampu memberikan kontribusi lebih tetapi
juga melibatkan organisasi lokal yang menjalin kerjasama dengan organisasi
internasional.
5
Paromita Sanyal, Capacity Building Through Partnership:Intermediary Nongovernmental
Organizationsas Local and Global Actors. Harvard University
Dalam kasus bencana gempa bumi di Bantul DIY dan juga bencana letusan
gunung merapi di Sleman, organisasi internasional yang kami ambil sebagai objek
penelitian adalah UNOCHA. UNOCHA merupakan suatu organisasi internasional yang
membantu organisasi lokal di suatu negara khususnya Indonesia dalam hal keuangan
yang kemudian direalisasikan dalam bentuk respon kemanusiaan. Dapat dilihat
peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh UNOCHA dalam kerjasamanya dengan
organisasi-organisasi lokal di DIY seperti Inprosula, Elnusa, YAKKUM Emergency
Unit, Yayasan Kesatuan Pelayanan Kerjasama, Detak Jaringan Rupa (DEJARUP) dan
Karitas. UNOCHA melihat bahwa kemitraan itu penting untuk mengurangi kesenjangan
finansial dalam respon kemanusiaan. Dalam keadaan bencana darurat, UNOCHA melihat
adanya kesempatan untuk mempermudah organisasi lokal untuk berperan aktif dalam
menangani kondisi wilayahnya sendiri tanpa bergantung lebih kepada organisasi
internasional yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi.
Peningkatan kapasitas yang dilakukan UNOCHA dengan menjalin kemitraan ini
bertujuan untuk menyiapkan sebuah negara dengan organisasi lokal yang lebih
berkompeten dan memiliki kemampuan yang memadahi dalam menangani resiko
bencana berkelanjutan. Selain itu juga membantu meningkatkan kecepatan dan kualitas
organisasi-organisasi lokal dalam merespon kebutuhan penanganan bencana darurat.
UNOCHA juga mengharapkan dengan adanya peningkatan kapasitas melalui jalinan
kemitraan ini mampu memberikan persiapan lebih kepada organisasi-organisasi lokal
untuk mengoptimalkan penggunaan asetnya dalam penanganan bencana. Mempersiapkan
organisasi lokal di daerah rawan bencana untuk menggunakan akses kerjasama
internasional untuk menjalin kerjasama dalam penanganan bencana.
Peningkatan kapasitas untuk pengadaan tempat pengungsian dan NFls Cluster
melalui Humanitarian Response Fund yang dilakukan UNOCHA dengan organisasi lokal
seperti Church World Service, Karitas Indonesia, HOPE Worldwide, dan Institute for
Development and Economic Analysis (IDEA) sudah sangat efektif dan tepat. Melihat
kerentanan-kerentanan yang ada, maka pengadaan tempat pengungsian sementara sangat
dibutuhkan pasca bencana karena masyarakat korban bencana membutuhkan tempat
tinggal untuk menjaga keselamatan dirinya. UNOCHA melalui kemitraannya tidak hanya
sekedar mendirikan pengungsian sementara dalam bentuk fisik saja tetapi juga
memberikan kontribusi lebih seperti memberikan bantuan untuk pengadaan tempat
tinggal sementara ( Bahan bangunan, kapasitas pembangunan untuk membangun tempat
tinggal yang aman, dan bantuan untuk pembangunan konstruksi. Selain itu juga
mendistribusikan peralatan pertanian, peralatan pemancingan, dan peralatan rumah
tangga bukan makanan.
Peningkatan kapasitas untuk pengadaan Sanitasi Air Bersih dan Kesehatan
melalui Humanitarian Response Fund yang dilakukan UNOCHA dengan organisasi lokal
seperti Islamic Relief, Detak Jaringan Rupa (DEJARUP), PMI, Yayasan Tanggul Bencana
Indonesia (YTBI) dan Yayasan Kesatuan Pelayanan Kerjasama (Satunama) sudah sangat efektif
dan tepat. Kerentanan masyarakat karena kurangnya sumber pendapatan dan sumber daya untuk
pengadaan sanitasi air bersih dan kesehatan menyebabkan capacity building menjadi satu hal
yang menjadi fokus utama. UNOCHA melalui perantara organisasi lokal di DIY memberikan
kontribusi yang cukup besar sebagai salah upaya penanganan bencana yang responsif.
Pengeboran sumber air bersih dilengkapi dengan sumber listrik dan pompa jet. Selain itu,
pengadaan pengelolaan air untuk menjaga fasilitas air dengan biaya yang rendah.
Kerjasama ini berjalan dengan baik dengan bantuan LSM seperti Islamic Relief dan LSM
swasta Elnusa. Pengadaan pos kesehatan bagi korban bencana dan juga pelatihan untuk
orang-orang tertentu sebagai salah satu upaya pemberdayaan pengetahuan. Merehabilitasi
pipa penduduk desa yang rusak dengan mendistribusikan 6.000 meter pipa untuk
penduduk desa. Mendistribusikan 200 unit saluran limbah cair dan 80 unit kontainer
sampah organik dan non-organik untuk orang yang tinggal di pengungsian sementara.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dan
mengurangi risiko wabah penyakit di pengungsian sementara. Memfasilitasi pengelolaan
sampah yang ramah lingkungan dengan mengubah sampah organik menjadi pupuk
organik dan Penggantian 2 tangki besar penampung air dengan kapasitas 24.000 liter per
tangki.
Peningkatan
kapasitas
untuk
pemulihan
awal
pasca
bencana
melalui
Humanitarian Response Fund yang dilakukan UNOCHA dengan organisasi lokal seperti
YAKKUM Emergency Unit. Peningkatan kapasitas yang dilakukan disesuaikan dengan
aspek-aspek kerentanan masyarakat di sekitar daerah rawan bencana. Semakin tinggi
tingkat kerentanan yang ada maka semakin tinggi pula peningkatan kapasitas yang harus
dilakukan untuk mendukung pemulihan kondisi wilayah pasca bencana. UNOCHA
melalui kerjasama kemitraan dengan organisasi lokal seperti YEU tidak semata-mata
memberikan kontribusi berupa modal ataupun materi tetapi juga pengetahuan seperti
sosialisasi dan juga pembagian pengetahuan mengenai bencana. Selain itu juga bantuan
yang diberikan mendukung kegiatan pemulihan kembali perekonomian pasca bencana
seperti contohnya pemulihan kembali lahan mata pencaharian masyarakat sekitar,
merehabilitasi sistem irigasi lokal masing-masing 500 meter yang akan digunakan untuk
sekitar 130 hektar lahan pertanian, pengadaan kembali usaha pertanian dan perikanan,
memfasilitasi masyarakat desa dengan kegiatan program dan proses implementasi untuk
mempercepat rehabilitasi bencana dan memberikan buku panduan penanganan luka-luka
selama bencana kepada masyarakat korban bencana.
Peningkatan kapasitas pengadaan nutrisi melalui Humanitarian Response Fund
yang dilakukan UNOCHA sudah sangat efektif dan tepat karena disesuaikan dengan
kerentanan yang ada selama bencana. Banyak masyarakat korban bencana tinggal di
tempat pengungsian sementara yang kurang memadahi jika dibandingkan dengan rumah
tempat tinggal asli. Keselamatan korban bencana tidak hanya ditentukan oleh tempat
dimana mereka tinggal tetapi juga makanan yang mereka konsumsi sehari-hari. Terutama
oemberian nutrisi kepada balita, ibu hamil dan menyusui serta orang dewasa lanjut usia.
Kerugian bencana yang sudah dialami oleh para korban menyebabkan harta benda hilang
sehingga menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi. Melalui jalinan
kerjasama UNOCHA dan organisasi lokal memberikan kontribusi lebih yang terfokus
pada pemberian nutrisi selama dalam pengungsian. Program ini ditujukan kepada 175
kader kesehatan, 1.164 balita, 464 wanita hamil dan menyusui dan pengasuh. Pemberian
nutrisi secara teratur dilakukan melalui Posyandu selain itu juga dilakukan pemantau
pertumbuhan anak di Posyandu. Menyediakan 1.000 buku yang berisi mengenai
informasi yang terintegrasi pada gizi, kesehatan, keamanan dan kebersihan pangan.
Membagi buku menyusui kepada para ibu.
Download