kalau mau bisa - World Bank Group

advertisement
GUBERNUR WAKIL GUBERNUR PILIHAN RAKYAT
APBD DAN “GOOD GOVERNANCE” ACEH
Oleh : Jamaluddin Ahmad
1. Pendahuluan
Hampir 100% kegiatan pemerintah secara nasional dalam melaksanakan roda
pemerintahan, apakah itu kegiatan melaksanakan administrasi pemerintahan,
berbagai fungsi pelayanan publik dan kegiatan pembangunan lainnya tercermin dan
terakomodasi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Demikian
juga secara daerah, apakah itu pemerintahan provinsi ataupun pemerintahan
kabupaten/kota tercermin dan terakomodasi dalam APBD (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah).
APBN atau APBD, sering diberi julukan sebagai “lokomotif” kegiatan
ekonomi, karena dari pendekatan pengeluaran (expenditure approach), apakah itu
pengeluaran konsumsi ( C ), pengeluaran investasi ( I ) dan pengeluaran pemerintah (
G ), sebagai suatu persamaan identitas (identity) dari kegiatan ekonomi atau
permintaan agregat (AD) atau Produk Domestik Bruto (PDB), secara nasional atau
produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara daerah. Secara singat dapat
dirumuskan : AD=PDB=C+I+G dalam sistem ekonomi tertutup. Kalau sistem
ekonomi terbuka menjadi
AD = PDB=C+I+G +X-M dimana :
X = ekspor
M= impor
Salah satu kebijakan utama pemerintah di sektor ekonomi adalah kebijakan
fiskal (fiscal policy) . Kebijakan fiskal itu dapat dipelajari melalui APBN (maupun
APBD), dan seterusnya APBN (APBD) dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi atau
permintaan Agregrat (Agregate demand) melalui efek pengganda (multiflier effect).
APBN atau APBD semacam apa yang dapat disebut sebagai “lokomotif”
kegiatan ekonomi ?. Jawabannnya tergantung pada besaran dan struktur APBN atau
APBD itu sendiri. APBN-RI sejak krisis sampai sekarang ini (2007), dipahami tidak
dapat lagi dijadikan sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi, karena beban utangnya
sudah terlalu berat. Dengan demikian APBN kehilangan kebebasan atau APBN
kehilangan kebebasan atau kelonggaran atau diskresi (discretion), sehingga APBN

Makalah disampaikan pada Seminar satu hari kerjasama antara Tunas Aceh Research Institute dan World Bank,
Banda Aceh di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala

Jamaluddin Ahmad adalah Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Publik pada Program S1, S2 dan S3
Fakultas Ekonomi Unsyiah
1
tidak dapat dijadikan untuk menstimulasi kegiatan ekonomi atau tidak biasa menjadi
“Fiscal Stimulus”. Sebagian besara belanja APBN terpaksa digunakan untuk
membayar utang, menanggung beban susidi BBM menanggung bunga pinjaman
dalam negeri dan beban rutin lainnya. Dana yang tersisa untuk membiayai kegiatan
pembangunan sangat terbatas.
Akibat krisis, pemerintah terpaksa (terperangkap) harus melaksanakan
sejumlah kebijakan yang sangat memberatkan beban APBN. Berbabagai kebijakan
yang harus dilakukan adalah (a) Kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia);
(b). Kebijakan Penjaminan Bank dan (c) Kebijakan rekapitalisasi. Tiga kebijakan ini
menyebabkan hutang Indonesia di dalam negeri lebih dari Rp 643 trilliun, Sekarang
sudah mencapai lebih dari US $ 82 milyar. APBN menanggung bunga saja atas 3
kebijakan tersebut mencapai sekitar Rp 50 trilliun setiap tahunnya.
Periode 2004 sampai 2009, merupakan periode jatuh tempo obligasi (bonds)
yang dikeluarkan oleh pemerintah cukup banyak dan harus ditebus atau dibeli
kembali (buyback). Oleh karena uangnya (dananya) tidak ada maka dilakukanlah
penjadwalan atau merestruktur waktu jatuh tempo berbagai “bonds” tersebut dalam
beragam waktu dan beragam jenis “bonds”, seperti dikenal ORI (Obligasi Republik
Indonesia), dan SUN (Surat Utang Negara). Supaya SUN ini laku dijual, tentu
dirangsang dengan suku bungan (interst rate) yang relatif tinggi, malah ada yang
ditawarkan dalam nilai US$. Inilah suatu paradok, di mana pemerintah menyuruh
Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga guna mendorong investasi,
dalam waktu yang bersamaan pemerintah menaikkan suku bunga obligasi supaya
obligasi dan SUN laku.
Bila dipahami secara tepat sebenarnya beban APBN masih terlalu berat.
Dewasa ini adalah periode bagaimana menyelamatkan APBN atau populer disebut
dengan istilah kesinambungan fiskal (Fiscal Sustainability), yang harus dilakukan
secara komprehensif, baik melalui berbagai pos pendapatan, maupun melalui
berbagai pos belanja. Malah ada kebijakan yang aneh-aneh yaitu menaikan belanja
rutin berbagai tunjangan DPRD, melalui PP37/07. Walalupun beban PP no. 37 adalah
APBD, tetapi tetap beban NKRI juga, bukan beban Republik Mimpi.
2. Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih dan APBD NAD
Dengan otonomi daerah walaupun APBN tidak dapat diharapkan banyak
untuk menstimulasi kegiatan ekonomi secara nasional tetapi masing-masing daerah
dengan APBD mereka (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat membangun dan
memajukan ekonomi mereka masing-masing secara lebih otonom dan lebih maju. Ini
sangat bisa dilakukan dan dicapai kalau mau “Bisa Kalau Mau”, bersama kita bisa
dan telah terbukti di beberapa daerah. Sekadar contoh antara lain dapat dikemukakan
Ibu Bupati Karanganyer, hanya kabupaten yang relatif miskin, bisa membebaskan
uang sekolah sampai SMU dan meningkatkan partisipasi pegawai dan masyarakat
untuk mempercepat pembangunan daerahnya. Hari kerja kantor bukan diturunkan
dari 6 hari menjadi 5 hari, tetapi dinaikan menjadi 7 hari.
2
Bapak Bupati Jembrana di salah satu kabupaten di Bali, yang PAD nya sekitar
Rp 10 milyar, kok bisa mengelola APBD secara optimal, maupun membebaskan uang
sekolah sampai SMU, mampu meningkatkan disiplin pegawai dan partisipasi
masyarakat. Bapak Bupati, Sang Guru Besar merasa sudah cukup terhormat hanya
dengan menggunakan mobil kijang kapsul tahun 2000.
Bapak Bupati Kutai Barat, memang cerdas, berwibawa dan daerahnya kaya,
karena banyak migas, tidak tenggelam dengan kekayaan dan tidak larut dalam
kemewahan, walaupun Bapak Bupati Kutai Barat ini keturunan Raja Kutai. Proses
pembangunan di daerahnya sangat luar biasa. Aspek pendidikan mendapat perhatian
yang cukup tinggi dan mencapai kemajuan yang sangat pesat.
Bapak Gubernur Gorontalo, Tuan Fadel waktu pelantikan Irwandi & Nazar
turut hadir, tanda solidaritas dan pernyataan dukungan. Provinsi Gorontalo hanya 4
kabupaten dengan potensi di bawah rata-rata nasional. Bapak Gubernur Fadil
Muhammad bersama dengan pegawai dan rakyatnya, dapat mengelola pemerintahan
secara “Good Governance” sehingga mencapai kemajuan pesat, terutama dibidang
komoditi jagung dan kelautan. Jabrana, Gorontalo, Karanganyar dan berbagai daerah
lain yang berhasil adalah bukti-bukti nyata, bisa, kalau kita mau mempercepat
kemajuan dan mengeliminir kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan.
Bagi Bapak Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, lebih bisa lagi lebih dapat,
kalau mau, karena berbagai kondisi lebih mendukung. Atau dengan perkataan lain
merupakan momentum yang tepat untuk memulai keberhasilan awal untuk
mencapai kemajuan dan keberhasilan yang lebih cepat dan lebih besar di masa yang
akan datang. Momentum yang menentukan ini antara lain adalah :
 Aceh Pasca Tsunami telah menggugah empati nasional dan masyarakat
internasional, mengucurkan dana, tenaga dan pikiran. Ini perlu diingatkan betul
jangan ada yang menzalimi. Dana yang mengalir ke Aceh dan Nias adalah dana
“Takziah” atas korban yang sudah terjadi. Kita yang hidup, lebih-lebih yang
mengelola jangan sampai menzalimnya.
 Situasi damai yang didukung oleh MoU Helsinki dan UU No.11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Terdapat sejumlah kewenangan dan kekhususan,
serta tambahan pendapatan migas menjadi 70% (beda dengan daerah lain) dan
tambahan 2% sebagai dana otonomi khusus sejak tahun 2008 (sampai 15 tahun).
Seterusnya 1% mulai tahun ke 16, (2% dan 1 % dari dana setara DAU nasional
menurut APBN tahun bersangkutan).
 Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
yang dipilih langsung oleh rakyat dengan dukungan suara mayoritas yang
berbeda secara nyata (significant) dari calon lainnya dan merupakan calon
independen.
 Bersamaan dengan pemilihan Bupati/Walikota di 19 kabupaten/kota dari 21
kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam. Sama-sama dengan semangat
baru, periode yang sama dan merupakan kepala daerah yang diplih langsung oleh
rakyat bukan pejabat sementara.
3
 Memulai dengan bulan-bulan awal tahun fiskal atau APBD 2007 di mana visi-misi,
sasaran , tujuan, program dan kegiatan diputuskan dan di mulai dengan langkah
awal yang harus tepat.
3. Memulai dengan APBD Baru
Di bagian awal telah dikemukankan bahwa APBN atau APBD dapat dijadikan
“lokomotif” kegiatan ekonomi, APBD seperti apa ?. APBN selama ini sangat tidak
bisa menstimulasi kegiatan ekonomi, karena bebannya berat, APBD NAD tidak ada
beban. Struktur APBD akan menentukan kegiatan, program, sasaran, tujuan, misi dan
visi daerah ini ke depan, secara realistik dan tepat.
Untuk menyusun dan memutuskan anggaran berbasis kinerja (peformance
based budget), setiap kegiatan yang tercermin dalam APBD sebagai rencana tahunan
jangka pendek, haruslah merupakan penjabaran dari rencana jangka menengah 5
tahun dan seterusnya rencana jangka menengah 5 tahun haruslah merupakan
penjabaran dari rencana jangka panjang 20 atau 25 tahun guna mencapai visi dan
misi. Apakah APBD NAD tahun ini, Resntra Lima Tahun, dan RPJP 20-25 sudah
disusun secara realistik dan benar?
Dengan perkataan lain antara rencana tahunan APBD, Rencana Jangka
Menengah (Rencana Strategis 5 tahun) dan Rencana Jangka Panjang (RPJP) 20-25
tahun haruslah terdapat “Benang Merah” yang jelas dan gamblang, setiap kegiatan
yang dilakukan tahun ini, haruslah terdapat “benang merah” untuk mencapai visi, misi
20-25 kedepan.
APBD selama 5 tahun haruslah dapat mencapai rencana jangka menengah
(renstra) 5 tahun dan 4 atau 5 periode 5 tahunan, bila dijumlahkan menjadi dan
mencapai Rencana Jangka Panjang (RPJP) 20-25 tahun, yaitu mengacu kepada capaian
visi-misi.
Tiap kegiatan dan program haruslah dapat diukur secara kuantitatif dan
kualitatif. Penjumlahan kegiatan harus mendukung program. Penjumlahan program
dapat mencapai tujuan, penjumlah tujuan dapat mencapai sasaran dan penjumlahan
sasaran dapat mendukung dan mencapai visi dan misi.
Untuk mengukur anggaran yang berbasis kinerja, haruslah dipahami konsep
yang menyangkut dengan :
 Masukan (input)
 Keluaran (output)
 Hasil (outcome)
 Manfaat (benefit)
 Dampak (impact)
Ada kerangka logis (logic model) antara ke lima komponen dan proses tersebut
sebagai berikut :
4
 Input
 Output
 Outcome
Menghasilkan
 Benefit
 Impact
Input dapat berupa uang, SDM, waktu, material yang dipakai. Berbagai input
misalnya membangun gedung sekolah, maka diperoleh output gedung sekolah sesuai
dengan spesifikasi secara cepat. Bila gedung sekolah sudah ada (output) seterusnya
bagaimana proses mengajar-belajar, ini melibatkan sejumlah kegiatan. Seterusnya
kalau proses belajar mengajar sudah berjalan, bagaimana hasilnya (outcome) seperti
jumlah dan kualitas kelulusan, seterusnya berapa anak didik yang dapat masuk ke
Perguruan Tinggi terkemuka dengan fakultas atau bidang sudi yang diinginkan
dalam bentuk manfaat (benefit). Seterusnya setelah lulus dalam jumlah dan kualitas
yang memuaskan dapat bekerja dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi,
tentunya dengan pendapatan yang lebih tinggi pula (dampak-impact) sebagai hasil
akhir yang hendak dicapai, secara singkat dapat disimpulkan :
 Masukan (input) jumlah dana sumber daya dan faktor lain yang dibutuhkan.
 Keluaran (output) jumlah dan kualitas, barang/gedung atau pelayanan yang
disediakan
 Hasil (outcome), yaitu apa yang dihasilkan melalui output
 Manfaat (benefit) yaitu gambaran manfaat positif dari outcome yang telah dicapai
 Dampak (impact), yaitu hasil akhir yang dituju.
4. Besaran dan Struktur APBD-2007
Kegiatan ekonomi atau berbagai kegiatan lain, itu tergantung pada besaran
dan struktur APBD. Dilihat dari segi besaran APBD Aceh secara relatif (posisi luas
daerah, penduduk, dan sejumlah kreteria lain), pendapatan menurut APBD, cukup
berarti seperti angka-angka sementara sebagai berikut : dalam Rp milyar (M).




PAD Rp 537,5 milyar (Rp 366,6 milyar tahun 2006 setelah perobahan)
BHP & BP 1.464,1 milyar (Rp3.037,9 milyar tahun 2006 setelah perobahan)
DAU 487,9 milyar (Rp 460,8 m tahun 2006 setelah perobahan)
Dana otonomi khusus 2% ada sekitar 3,5 triliun (sejak tahun 2008)
Pendapatan dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHP & BP), menurut
hemat saya terlalu kecil ditargetkan, yaitu tidak sampai 50% dari tahun lalu setelah
perobahan, yaitu Rp 1,464,1 milyar (2007) dan Rp 3,037,9 milyar (2006). Penerimaan
5
dari migas Aceh memang dalam posisi yang sedang menurun, tetapi turunnya tidak
lebih dari 20%. Bila dalam perjalanan sepanjang tahun 2007, penerimaan dari migas
(komponen terbesar dari BHP & BP) bertambah, tambahan ini dapat diakomodasi
dalam APBD perubahan pada bulan Juni atau Agustus harus sudah ditetapkan APBD
perubahan.
Tampak bahwa ada sekitar lima sampai enam triliun rupiah setiap tahunnya
dana yang dikelola oleh Gubernur/wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jumlah ini cukup berarti bila dikelola secara tepat. Seterusnya yang
perlu dipertanyakan seperti apa struktur APBD NAD ?. Selama ini dana dari BHP
dan BP sekitar 30% digunakan untuk pendidikan yang pengelolaannya masih sangat
“amboradol”.
Setiap tahun keterlambatan pengesahan anggaran antara lain
disebabkan penyusunan kegiatan dan program dari dana pendidikan yang saban
tahun terlambat. Dampak lebih lanjut adalah posisi pendidikan di NAD berada pada
nomor dua atau tiga dari belakang diantara provinsi lainnya di Indonesia.
Seterusnya menyangkut dengan kegiatan ekonomi dan kemiskinan, Acehlah
yang paling terparah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Memang Aceh
didera oleh konflik yang berkepanjangan dan ditutup dengan musibah Tsunami serta
berbagai bencana alam lainnya.
Bayangkan berapa banyak anak-anak dinegeri ini yang lahir dalam periode
konflik dengan serba kekurangan, didera oleh berbagai penyakit seterusnya tentu
tidak bersekolah. Konsekwensi lebih lanjut adalah keboodahan dan kemiskinan. Bila
anak-anak ini memasuki angkatan kerja tentu dengan produktivitas yang sangat
rendah atau tidak bisa bekerja sama sekali, apalagi dalam situasi ekonomi yang
terpuruk.
Melihat kepada kondisi yang ada (present condition / existing condition), hanya
ada dua masalah yang menonjol, yaitu masalah pendidikan dan ekonomi (ekonomi
kerakyatan). Oleh karena itu program utamanya juga hanya dua, yaitu program
pemberdayaan ekonomi (kerakyatan) dan program pendidikan. Program lain
(kalaupun harus ada) adalah yang mendukung kedua program ini. Buatlah rencana
kegiatan-kegiatan secara tepat guna mendukung program pendidikan dan ekonomi.
Jangan sampai kegiatan yang muncul setiap tahun seperti bagi bibit, kebanyakan
tidak ditanam, kalaupun ada yang ditanam ternyata setelah 5 tahun tidak berbuah,
atau buahnya asam. Tampak dewasa ini dinas-dinas lebih pada melaksanakan
kegiatan ekonomi atau adanya berbagai UPTD, yang lebih kepada “business unit”.
Bukan kegiatan dan program yang tepat dan mendukung ekonomi rakyat.
Konsep mengenai uang (money) mengikuti kegiatan (fungsi) atau “money follow
function” perlu dipahami secara tepat, jangan sampai dalam pembahasan APBD
membagi-bagi uang kepada berbagai institusi, apakah itu biro, dinas, badan atau unit
kerja lainnya yang mengacu kepada berapa besar masing-masing institusi tersebut
mendapatkan dana tahun yang lalu. Kalau tahun ini pendapatan dari APBD
bertambah berbagai institusi tersebut mendapatkan tambahan dana untuk
6
dihabiskan. Ada dana terlebih dahulu baru disusun kegiatan dan program. Ini
merupakan cara befikir yang salah. Jangan dibalik-balik. “Money follow function, bukan
function follow money”.
Kalau masalah utama yang kita hadapi adalah masalah ekonomi berakyatan
dan pendidikan, maka sebagian besar dana dialokasi ke kegiatan, program, sektorsektor ini. Berbagai kegiatan program, sektor lain mendukung masalah dan sektor
utama tersebut. Janga sampai tujuan utama menjadi embel-embelan dan yang embelembelan menjadi tujuan utama.
5. Struktur dan Besaran APBD menentukan Permintaan Agregat atau Kegiatan
Ekonomi
APBD sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi itu tergantung pada besaran dan
struktur APBD itu sendiri. Struktur APBD menentukan besaran berbagai pos APBD,
baik berbagai pos pendapatan maupun berbagai pos belanja. Pada tulisan ini kita
fokuskan pada pos belanja (G), karena pos-pos inilah yang menentukan Permintaan
Agregat atau tingkat kegiatan ekonomi.
Kalau belanja APBD ditujukan untuk belanja rutin aparatur, maka efek
pengganda menjadi lebih kecil. Kalau membeli mobil dinas ini akan memperbesar
biaya rutin lebih lanjut, apakah itu untuk BBM, pemeliharaan, supir dan seterusnya.
Bila berbagai pos belanja dibelanjakan ke daerah lain atau ke luar negeri, maka
tidak akan ada pengaruh pada kegiatan ekonomi di Aceh, malah dana dari daerah ini
bocor (leakages), ke luar daerah atau ke luar negeri.
Sama halnya kegiatan BRR selama ini, kalau berbagai material (input)
dimasukkan itu dari luar daerah, maka daerah pemasuk itu yang tergerak
ekonominya. Demikian juga bila sebagian besar orang yang bekerja di BRR dari luar,
maka gaji yang lumanyan besar yang mereka terima sebagian besar dikirim ke kota
atau kampung mereka. Yang dibelanjakan di Aceh hanya sebagian kecil, apakah
untuk sewa rumah, atau biaya makan lainnya. Jadi sebagian besar dana bocor
(leakages) ke luar daerah.
Konsep pelipat (multiplier effect) secara sederhana dapat diformulasikan :
K 
1
1  MPC
bila beli barang
K
MPC
1  MPC
bila bayar gaji
7
MPC = Kencendrungan menambah konsumsi karena ada tambahan pendapatan
(marginal propensity to consume)
MPC dapat dihitung berapa besarnya,misalkan MPC = 0,8
Bila G belanja dari APBD Aceh seluruhnya sebesar Rp 5 triliun, separuhnya
atau Rp 2,5 triliun untuk bayar gaji dan gaji tersebut dibelanjakan di Aceh ini, maka
kegiatan ekonomi yang tercipta dari G bayar gaji sebesar :
0,8
X Rp 2,5T
1  0,8
 4 X Rp 2,5T  Rp 10T
PDRB 
bila bayar gaji
Seandainya Rp 2,5 T lagi digunakan untuk membeli barang di dalam daerah
1
xRp 2,5T
atau digunakan untuk kegiatan pembangunan maka
1  0,8
 5 X Rp 2,5T  Rp 12,5T
PDRB 
Jelas bahwa efek pengganda menjadi lebih besar bila ditujukan untuk kegiatan
pembangunan. Ditambah lagi dalam kegiatan pembangunan itu misalnya untuk bikin
jalan, maka jalan tersebut dapat mendukung kelancaran berbagai kegiatan ekonomi
lainnya. Karenanya dari segi pandang ekonomi perlu ada pengurangan (saving rutine)
pada belanja rutin (katakanlah untuk gaji pegawai) guna dapat diperbesar belanja
pembangunan, di samping efek pengganda lebih besar dan seterusnya dapat
menstimulasi (fiscal stimulus) kegiatan ekonomi secara lebih besar.
6. Kepemerintahan yang Baik dan Bertanggungjawab (Good Governance)
Anggaran berbasis kinerja (performance Based Budget) atau APBD, atau
rencana tahun berbasis kinerja merupakan ciri-ciri utama kepemerintahan yang baik.
Anggaran berbasi kinerja (APBD, Rencana Tahunan) haruslah nyambung (linkages)
dengan Resntra dan Renstra seterusnya nyambung dengan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) untuk mencapai visi-misi. Visi – Misi merupakan salah satu
kriteria utama kepemerintahan yang baik (good governance).
Ciri-ciri
kepemerintahan yang baik dapat dikemukakan butir-butir sebagai berikut :







Transparan-keterbukaan (transparency)
Akuntabilitas (Accountability) bertanggungjawab kepada publik
Informatif dengan pasar persaingan yang sehat
Berdasarkan hukum (rule of law)
Adil (equity), ada kesempatan yang sama untuk mendapat keadilan dan
kesejahteraan
Efisien dan efektif (efficiency and effectiveness)
Partisipasi dan demokrasi (participation)
8



Keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputuasan melalui perwakilan
(democratic)
Responsif (responsiveness), lembaga publik cepat tanggap dalam melayani
“stakeholders”
Jauh melihat ke depan (strategic vision)
7. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, berikut ini dapat
disimpulkan dalam butir-butir, yaitu :
a) Ada faktor-faktor yang sangat mendukung keberhasilan kepemimpinan baru di
Aceh, berbagai faktor tersebut adalah ;
 Proses damai dengan landasan hukum MOU Helsinki dan UUPA No 11 tahun
2006
 Empati masyarakat dunia paska tsunami, yang diawali dengan proses
rehabilitasi dan rekonstruksi, pemegang amanah harus bertanggung-jawab
secara penuh atas “uang takziah ini”.
 Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota yang dipilih secara
langsung.
 Dana APBD yang relatif besar dan kewenangan yang lebih besar menurut
UUPA No.11 tahun 2006
b) Perlu dipahami secara tepat tentang masalah utama yang dihadapi daerah selepas
dari konflik yang bekepanjangan dan bencana alam, terutama aspek keterpurukan
ekonomi dan pendidikan. Jadikan masalah utama ditangani secara utama, jangan
terbalik-balik,. Mana yang utama, mana yang pendukung dan seterusnya.
c) APBD yang hendak disahkan sungguh-sungguh nyambung (linkages) dengan
Rencana Lima tahun (Renstra) dan Renstra nyambung dengan Rencana Jangka
Panjang/Visi-Misi. Setiap kegiatan tahun ini (2007) tampak “benang Merahnya”
dan punya kontribusi pada pencapaian visi – misi 20-25 tahun ke depan. Tiap
rupiah yang keluar terukur dan tidak sia-sia.
d) Kalau mau bisa, bersama kita bisa. Lebih-lebih bagi Aceh dengan sejumlah
kewenangan dan dana yang lebih secara relatif dari provinsi lain. Provinsi dan
kabupaten lain sudah membuktikan seperti, di Jambrana, Karanganyer, Kutai
Barat, Gorontalo dan lain-lain. Kalau orang nomor satu pada setiap jenjang
pemerintah sudah punya amanah, komitment, rakyat pasti mendukungnya
“Selamat Bekerja Para Pemimpin Aceh Baru”.
9
KEPUSTAKAAN
Ahmad, J (1990). Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia; Kasus : Aceh, Jawa Timur dan DKI-Jakarta (Disertrasi, S3, UGM,
Yogyakarta), Tidak dipublikasi.
Devas, N. dkk (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia; UI-Press, Jakarta
LGSP-USAID (2006), Performance Based Budget, Jakarta
Mardiasmo (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta
Musgrave, R.A. and Musgrave, P.B (1984). Public Finance in Theory and Practice; AcGraw-Hill Book Company, New York, USA
Rahmany, A.F (2004). Ketahanan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam negeri
Pemerintah”; Dalam kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi.
Republik Indonesia (2006) Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh, Jakarta
Republik Indonesia (2004) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan,
Jakarta
Republik Indonesia (2004) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta
Rondinelly D.A.;, dkk (1984). Decentralization in Developing Countries : A.Review
Recent Experience. The World Bank DC
Word Bank (1997). World Development Report, The State in a Changing World,
Washington DC
10
Download