Hukum Pasar Palsu

advertisement
Membuang Hukum Pasar “Palsu”
Surwandono
(Dosen Fisipol UMY, Peneliti Centre for Indonesian Reform dan Mahasiswa Doktoral
Ilmu Politik UGM)
Hukum pasar sebuah “alasan mujarab” untuk membenarkan sebuah kebijakan dalam era
liberalisasi perdagangan. Seakan hukum pasar merupakan kata suci dari kitab suci yang
tidak mungkin akan berubah seiring dengan perubahan zaman. Sebuah relasi yang
terkonstruk sejak Adam Smith di abad 16 M yang mengemukakan ide hukum pasar
sebagai mekanisme yang paling fairness dalam menentukan sebuah kebijakan. Sejarah
telah memberikan pembenaran terhadap hukum pasar ini sebagai “hukum alam” yang
dipandu serta digerakkan oleh tangan-tangan perkasa yang tidak kelihatan (the invisible
hand) bahkan sinyal tersebut sampai dinyatakan sebagai bentuk “tangan Tuhan”.
Dalam tradisi ilmu ekonomi, hukum pasar diyakini sebagai bentuk sempurna dari
mekanisme penawaran dan permintaan. Hukum pasar akan senantiasa bergerak kemana
seharusnya ia bergerak. Gerakan hukum pasar seperti halnya gerakan jarum jam yang
secara alamiah bergerak ke posisi yang seharusnya. Gerakan yang akan selalu menuju
kepada suatu titik yang bernama keseimbangan (equilibrium), sebuah mekanisme yang
ramah dan adil bagi semua fihak.
Pada awalnya, hukum pasar diyakini sebagai hukum yang obyektif dan tidak berfihak.
Hukum yang akan memberikan sesuatu yang terbaik kepada siapapun yang berinteraksi
dengannya. Hukum yang akan mengatur gerak dan dinamika masyarakat menuju
masyarakat yang sehat dan bermartabat dalam mewujudkan apa yang disebut dengan
“walfare state” negara kesejahteraan.
Dalam setiap ruang dan waktu, liberalisme senantiasa mengkampanyekan bahwa hasil
akhir dari diterapkannya hukum pasar adalah kemakmuran bersama. Untuk mencapai
kemakmuran tersebut bukanlah sebagai sesuatu yang gratis, hidup tidak pernah ada yang
gratis. Hanya spesies unggullah yang “berhak” untuk bertahan hidup, dan spesies yang
lemah adalah sebuah keniscayaan untuk tidak diberikan hak hidup, karena spesies ini
justru akan menjadi beban kemanusiaan. Kalaupun liberalisme memberikan hak hidup
bagi spesies yang lemah, hak tersebut adalah sangat sedikit, istilah yang kemudian
dikenal hanyalah “tetesan” bukan “guyuran” secara masif, yang bisa kita nukil dari
konsep trickle down effects (efek “tetesan” ke bawah).
Konversi Hukum Pasar
Namun seiring dengan perjalanan dan perubahan waktu, hukum pasar mengalami
dialektika dan revisi. Ia bukan lagi menjadi sesuatu yang digerakkan oleh “tangan-tangan
Tuhan yang tidak kelihatan”, namun digerakan oleh tangan-tangan palsu orang,
kelompok, partai politik ataupun negara yang “mengaku” sebagai Tuhan. Hukum pasar
sudah bukan lagi menjadi fenomena yang universal, namun hanya menjadi sesuatu yang
parsial dan lokal. Sehingga lahirlah dengan apa yang disebut penulis sebagai “hukum
pasar palsu.” Hukum pasar palsu ini jelas telah berfihak kepada fihak yang memiliki
modal, kelompok ini senantiasa memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi pasar
untuk mengarahkan hukum pasar menjadi berfihak kepadanya. Kelompok pemilik modal
besarlah yang kemudian menangguk untung tiada terkira.
Namun sekali lagi, tidak semua fihak sepakat dengan munculnya “hukum pasar palsu”.
Hukum pasar tak pernah ada kepalsuan, dijamin orisionil sampai 24 karat. Tarik-menarik
kurs mata uang selalu berjalan secara alamiah, nilai dollar yang membumbung tinggi
meninggalkan rupiah sewaktu krisis mendera juga sesuatu yang alamiah. Melonjaknya
harga minyak dunia adalah gejala pasar yang alamiah. Demikian juga kebijakan regime
SBY-JK di 2008 untuk menaikkan harga BBM dalam negeri tanpa melihat dan memotret
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia sekali lagi adalah hal yang alamiah.
Artinya kita tidak perlu menyesali hukum pasar, mungkin sekarang ini sedang tidak
berfihak, namun bisa jadi kali yang lain akan berganti berfihak kepada kita. Sebab hukum
pasar akan senantiasa menyisakan sebuah keberuntungan, blessing undisguised. Kenaikan
harga BBM yang melangit dan menyentuh azimuth keprihatinan dan kesengsaraan adalah
hanya sementara, dan sebentar. Dan pasti setelah ada kesukaran akan datang suatu
kemudahan. Untuk menjadi bangsa yang bermartabat harus melalui proses menjadi
bangsa yang miskin dan melarat. Semua kata-kata suci yang mensejukkan dan
menentramkan sering meluncur dengan sangat deras hanya untuk menutupi “belang”
hukum pasar palsu.
Fenomena tangan-tangan Tuhan palsu sudah dipraktikan dengan sangat kentara oleh
idiologi yang sering disebut kapitalisme. Bagaimana tidak seorang Max Weber telah
mensinyalir bahwa kapitalisme telah memaksa meminjam tangan Tuhan untuk
membenarkan penindasan atas komunitas yang lain dalam karya besar : “Capitalism and
Protestan Ethics.” Bagaimana tidak marahnya seorang Lenin kepada Kapitalisme yang
meminjam
secara
semena-mena
tangan
Tuhan,
bahwa
Imperialisme
yang
mensengsarakan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari tahap-tahap perkembangan
Kapitalisme (Imperialism as the highest stages of Capitalism). Tangan palsu Tuhan di 4
abad terakhir telah mencabik nurani kemanusiaan masyarakat dunia ketiga, masyarakat
selatan tanpa ampun. Bayangkan kesenjangan pendapatan per kapita dan tingkat
kemakmuran yang “melangit” antara masyarakat dunia ketiga dengan dunia pertama yang
kapitalistik.
Buang Sejauh-Jauhnya
Ketegasan regim SBY untuk menolak kehadiran lembaga CGI sebagai metamorfosis dari
IGGI dalam batas tertentu merupakan bentuk keberanian regim SBY-JK untuk mencoba
membuang hukum pasar palsu sejauh-jauhnya. Namun yang pantas dicermati bersama
adalah bahwa hukum pasar palsu juga akan bermetamorfosis dengan mempergunakan
kekuatan tangan-tangan yang tidak terlihat. Jika regim SBY-JK berani membuang
tangan-tangan hukum pasar palsu yang berbasis kumpulan-kumpulan negara seperti IMF
dan CGI, apakah regim SBY-JK juga akan selektif dan kritis terhadap investor yang
sebenarnya juga berpeluang menciptakan hukum pasar palsu.
Inilah dilemma regim SBY-JK yang dalam 2 tahun ke depan pemerintahannya,
cenderung akan mengundang investor asing untuk memantapkan pencapaian target-target
ekonomi dan kesejahteraan melalui kekuatan investasi. Artinya investasi memang sebagai
sesuatu yang tak terhindarkan, namun yang penting adalah pada persoalan manajemen
investasi yang benar-benar rasional dan nasionalistik. Sebuah investasi asing yang benarbenar dihitung secara cermat dengan melibatkan banyak unsur masyarakat guna
mengurangi ekses-ekses investasi. Investasi asing yang tetap senantiasa menghormati
nilai lokal, dan bukan mengganti nilai lokal yang selama ini terbukti mampu menciptakan
keseimbangan ekonomi, politik dan budaya. Semoga
Download