Analisa kadar MDA - Repository Unand

advertisement
A. Judul Penelitian
EFEK PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP PENURUNAN KADAR
MALONDIALDEHID (MDA) SERUM PADA LANSIA
B. Bidang Ilmu
Bidang Ilmu : Kedokteran
C. Pendahuluan
Seiring dengan meningkatnya teknologi kesehatan dan kemajuan disegala bidang,
populasi usia lanjut (lansia) meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat
populasi usia lanjut 100 tahun yang lalu hanya 2 % dari jumlah populasi.
Diperkirakan pada tahun 2040 jumlah orang berusia lanjut sekitar 23 % dari jumlah
populasi. tahun 1950 populasi meningkat 8%, tahun 1990 terus meningkat 12,6% atau
lebih dari 31 juta jiwa dan pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 20%. Di Indonesia
sendiri populasi lanjut usia dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada tahun 1990
berjumlah12,7 juta orang, pada tahun 2000 meningkat menjadi 15,9 juta dan pada
tahun 2005-2010 diperkirakan jumlah tersebut terus meningkat mencapai 19 juta
orang. (Rosmiati, 2000 ; Depkes RI, 2000)
Pada usia lanjut terjadi penurunan berbagai penurunan fungsi fisiologis akibat
kerusakan sel atau jaringan. Salah satu penyebab kerusakan sel atau jaringan adalah
karena terjadinya stress oksidatif oleh radikal bebas. Sistem biologic dapat terpapar
oleh radikal bebas baik yang terbentuk endogen oleh proses metabolisme tubuh
maupun eksogen seperti pengaruh radiasi ionisasi. Radikal bebas bersifat sangat
reaktif, dapat menimbulkan perubahan biokimiawi dan merusak berbagai komponen
sel hidup seperti protein, lipid, karbohidrat dan nukleat. Membran sel terutama terdiri
dari komponen-komponen lipid. Serangan radikal bebas terhadap komponen lipid
akan menimbulkan reaksi peroksidasi lipid yang menghasilkan produk yang bersifat
toksik terhadap sel. Dengan bertambahnya usia, kerusakan sel akibat stress oksidatif
tadi menumpuk selama bertahn-tahun sehingga terjadi penyakit-penyakit degeneratif,
keganasan, kematian sel-sel vital tertentu yang pada akhirnya akan menyebabkan
proses penuaan. (Gitawati, R, 1995 ; Purnomo S, 2000)
Malondialdehid (MDA) merupakan salah satu senyawa produk dari rekasi
peroksidasi lipid yang digunakan sebagai marker (petanda) terjadinya stress oksidatif.
Pada keadaan stress oksidatif yang tinggi, terjadi peningkatan kadar MDA serum
secara signifikan. Bila keadaan stress oksidatif teratasi, kadar MDA kembali
menurun. (Papas, A.M, 1999)
Kerusakan sel atau jaringan akibat stress oksidatif ini dapat diperlambat dengan
pemberian antioksidan. Anti oksidan merupakan substansi vital yang dapat membantu
melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dengan cara menetralisir atau meredam
dampak negatifnya. Terdapat beberapa kelompok antioksidan, yaitu anti oksidan
enzimatis dan non enzimatis. Vitamin C merupakan salah satu anti oksidan non
enzimatis. Vitamin C selama ini biasanya digunakan untuk suplemen terapi seharihari dan dapat diharapkan nantinya memperbaiki stress oksidatif pada lansia.
(Atmosukarto dkk, 2003, Oenzil, F, 1998).
D. Perumusan Masalah
Apakah pemberian vitamin C pada lansia dapat menurunkan kadar MDA serum ?
E. Tinjauan Pustaka
Lansia
Lansia merupakan singkatan dari lanjut usia. Menurut WHO seseorang dikategorikan
lansia bila berumur > 60 tahun. Pada lanjut usia terjadi penurunan berbagai fungsi
fisiologis yang merupakan proses penuaan. Keadaan ini diperberat dengan peningkatan
insiden penyakit kronis, proses degeneratif, hospitalisasi dan peningkatan pemakaian
obat. Sebenarnya proses penurunan fungsi fisiologis tubuh manusia sudah dimulai antara
umur 30 dan 45 tahun, walaupun kadang-kadang bersifat individual. Dalam
melaksanakan usaha pembinaan kesehatan usia lanjut, pemerintah telah membagi
kelompok usia lanjut berdasarkan usia biologis, yaitu kelompok usia virilitas/pra senilis
(usia 45-59 tahun), kelompok usia lanjut ( usia 60-69 tahun) dan kelompok usia lanjut
resiko tinggi (>70 tahun).(Rosmiati, H dan Wardhini, 2000; Direktorat Kesga Depkes RI, 2000)
Penurunan fungsi fisiologis pada pada lansia terjadi pada berbagai organ tubuh. Pada
system kardiovaskuler terjadi penurunan curah jantung, penurunan denyut jantung dan
elastisitas pembuluh darah tepi. Pada ginjal terjadi penurunan aliran darah ginjal (RBF),
penurunan kreatinin klirens dan osmolalitas urin. Pada system gastro intestinal terjadi
penurunan kadar HCl lambung dan aliran saliva. Juga terjadi gangguan akomodasi dan
penurunan fungsi pendengaran. (Atkinson, R.L, 1998 ; Curruthers, S.G 2000)
Berbagai teori telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme proses penuaan,
tetapi semua teori tersebut mempunyai kelemahan masing-masing. Sampai saat ini,
belum terdapat bukti yang menunjukkan mekanisme tunggal untuk terjadinya penuaan.
Teori baru yang banyak mendapatkan dukungan untuk menjelaskan proses penuaan ialah
teori radikal bebas. Teori ini menyatakan bahwa proses penuaan berlangsung ketika selsel secara permanen dirusak oleh serangan terus-menerus dari sejumlah partikel kimia
yang disebut radikal-radikal bebas. Secara sederhana, kerusakan sel itu menumpuk
selama bertahun-tahun, sampai jumlah mencapai titik yang tidak mungkin dibalikkan
sehingga timbul penyakit-penyakit yang terjadi bersamaan pada akhir kehidupan sampai
akhir hayat. Teori radikal bebas tentang penuaan ini, disusul dengan berbagai penelitian,
bukan saja mengenai proses penuaan itu sendiri, melainkan juga tentang penyakitpenyakit akibat proses penuaan seperti kanker, jantung, arthritis yang tampaknya berasal
dari satu sumber yang sama, yaitu radikal bebas. (Atmosukarto, K dan Rahmawati
2003; Gitawati, R, 1995)
Stress Oksidatif
Salah satu penyebab kerusakan sel atau jaringan adalah karena terjadinya stress
ksidatif oleh radikal bebas. Radikal bebas merupakan produk antara yang terbentuk
dalam berbagai proses reaksi dan metabolisme sel. Sistem biologik dapat terpapar oleh
radikal bebas baik yang terbentuk endogen maupun eksternal. Berbagai proses
metabolisme dalam tubuh manusia menghasilkan radikal bebas yang berbahaya dan
faktor lingkungan seperti polusi udara, merokok, eksposure kimia dan radiasi ultra violet
dapat memulai pembentukan radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom
atau molekul yang memiliki satu atau lebih electron yang tidak berpasangan pada orbit
paling luar. Adanya electron yang tidak berpasangan menyebabkan radikal bebas secara
kimiawi sangat reaktif.
Stress oksidatif didefinisikan sebagai sebagai suatu keadaan dimana terdapatnya
ketidakseimbangan antara proses oksidasi oleh radikal bebas dan proses penetralan oleh
antioksidan dalam tubuh. Pada keadaan stress oksidatif terbentuk spesies oksigen reaktif
(ROS) yang terdiri dari radikal bebas oksigen (super oksida) dan derivatnya (radikal
hidroksil) yaitu O2-, OH dan H2O2. Sebagaimana sifat radikal bebas, ROS bersifat aktif
dan selalu mencari electron lain agar dapat berpasangan dan dapat menyebabkan
kerusakan sel, disfungsi membran, modifikasi protein, inaktifasi enzim dan pecahnya
rantai DNA. Kerusakan struktur sub seluler secara langsung mempengaruhi pengaturan
metabolisme sel. ROS dapat menyerang molekul –molekul pada membran sel dan
jaringan, sebagai contoh, disrupsi membran lisosom menyebabkan pelepasan enzimenzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya memperantarai pengrusakan intraseluler dan
memperkuat kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel.
Radikal bebas oksigen yang terbentuk akan bekerja sebagai mediator proses
patofisiologis. Contoh proses patofisiologi yang melibatkan pembentukan radikal bebas
dengan terjadinya kerusakan jaringan yang banyak dipelajari terutama mengenai iskemia
(jantung dan SSP) dan proses inflamasi akut.
Pada iskemia, radikal bebas superoksida terbentuk dari hipoxantin yang merupakan
hasil degradasi ATP yang terbentuk pada keadan patologik (iskemia) karena energi
rendah. Pada proses inflamasi diperantarai oleh sintesis prostaglandin yang dikatalisis
oleh siklo-oksigenase. Produk antara pada sintesis ini adalah terbentuknya radikal bebas,
selain itu aktifitas sel-sel fagosit sebagai mekanisme imunulogik normal dalam
meregulasi proses inflamasi (antara lain dengan merubah permiabilitas vaskuler dan
pembentukan faktor-faktor kemotaktik) juga akan menghasilkan radikal bebas oksigen.
Zat-zat yang dapat bereaksi dengan DNA, sangat potensial bersifat karsinogenik.
DNA yang terpapar system penghasil radikal bebas oksigen misalnya radikal hidroksil
reaktif yang terbentuk dengan adanya ion-ion logam transisi, akan mengalami pemecahan
dan degradasi rantai desoksiribose. Efek mutagenik radikal superoksida yang terbentuk
selama aktifasi sel-sel fagosit pada inflamsi jaringan kronik dapat mendorong terjadinya
sel kanker. Zat-zat kimia karsinogen dapat mengalami aktifasi metabolic menjadi produk
antara radikal bebas , bila terbentuk dekat dengan DNA akan bereaksi dengan DNA
tersebut dan terjadi aktifitas karsinogenik.
Bila radikal bebas adalah elemen perusak sel-sel tubuh, maka secara kimaiawi
antioksidan dirancang untuk menawarkan radikal bebas yang merusak tadi. Pemberian
antioksidan yang tepat dan cukup, dapat menyempurnakan perbaikan sel-sel yang rusak
akibat radikal bebas tadi sehingga proses penuaan dihambat. Jenis anti oksidan yang
diperlukan itu dapat berupa vitamin, mineral dan lain sebagainya. Dengan pemberian anti
oksidan seperti vitamin C, vitamin E, bioflavonoid dan lain-lain dapat mengurangi stress
oksidatif yang terjadi. (Atmosukarto, K dan Rahmawati, 2003; Gitawati, R, 1995;
Papas, A.M, 1999; T.Yoshikawa, 2002)
Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) disebut juga sebagai faktor antiskorbutik karena
berkhasiat sebagai antiskorbut yang diisolasi pada awalnya dari jaringan adrenal, jeruk
dan cabbage dan dinamakan asam heksuronat. Vitamin C adalah derivat heksosa yang
disintesa oleh tumbuhan dan binatang dari glukosa dan galaktosa. Manusia dan primata
tidak memiliki enzim l-gulonolactone oksidase sehingga tidak dapat mensintesis asam
heksuronat tersebut. Pemberian vitamin C dalam keadaan normal tidak menunjukkan
efek farmakodinamik yang jelas. Tetapi pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C
akan menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. (Rosmiati, H dan Wardhini, 2000;
Mahan, L.K, Escott)
Kebutuhan vitamin C meningkat dari bayi sampai dewasa. Untuk bayi kebutuhan
vitamin C sehari adalah 35 mg dan dewasa 60 mg. Kebutuhan sehari akan meningkat
sekitar 300-500% seperti pada keadaan infeksi, TBC, trauma, kehamilan dan laktasi.
Pemberian vitamin C di klinik diharapkan dapat mengurangi stress oksidatif yang
disebabkan oleh berbagai penyakit. Pemberian vitamin C dalam dosis lazim tidak
menimbulkan masalah, tapi pemberian lebih dari 1 gr/hari dapat menyebabkan diare dan
iritasi lambung. (Atkinson, R.L, 1998 ; Curruthers, S.G 2000; Titz, N.W, 1986)
Dalam beberapa proses metabolisme, vitamin C berfungsi sebagai kofaktor
enzim, bahan pelindung dan sebagai reaktan dengan ion-ion logam. Masing-masing
fungsi ini melibatkan proses reduksi atau oksidasi vitamin. Karena asam askorbut dengan
mudah dapat kehilangan elektron dan dengan mudahnya mengalami oksidasi monovalen
menjadi radikal askorbil, maka vitamin C ini dapat berperan pada sistem redoks biokimia
yang terjadi pada berbagai reaksi transport elektron, termasuk pada pembentukan
kolagen, degradasi 4-hidroksifenilpiruvat, sintesa norepinefrin dan desaturasi asam
lemak. Dan karena asam askorbut ini dapat bereaksi dengan radikal bebas maka dapat
pula digolongkan sebagai antioksidan karena kelebihan sebuah elektron tunggal pada
radikal askorbil yang sifatnya tidal stabil. Dengan reaksi seperti itu, vitamin ini sangat
potensial mengatasi sifat toksik dari spesies oksigan reaktif seperti superoksida atau
radikal hidroksil. (Mahan, L.K, Escott-Stump, S; Murray, R.K, Granner, D.K, 1996)
Malondialdehid (MDA)
Akibat serangan radikal bebas maka akan terbentuk produk oksidatif yang sering
digunakan sebagai marker untuk menilai stress oksidatif, dengan penilaian yang akurat
terhadap marker tersebut dapat diketahui kondisi patologis yang terjadi pada tubuh
seseorang. Biomarker dapat ditemukan dalam darah, urin, dan cairan tubuh lainnya.
Beberapa marker/petanda yang digunakan adalah malondialdehid, 4-hidroksinenal akibat
peroksidasi lipid, isoprostan akibat kerusakan asam arakidonat, 8-hidroksiguanin dan
thiaminglikol akibat kerusakan DNA.
MDA merupakan salah satu produk final dari peroksidasi lipid. Senyawa ini terbentuk
akibat degradasi radikal bebas OH terhadap asam lemak tak jenuh yang nantinya
ditransformasi menjadi radikal yang sangat reaktif. Proses terbentuknya MDA dapat
dijelaskan sebagai berikut, radikal bebas oksigen O2*diproduksi melalui proses
enzimatik dan non enzimatik. Sel-sel tubuh yang dapat membentuk radikal bebas oksigen
dan H2O2 adalah sel polimorfonuklir, monosit dan makrofag.
Radikal bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan SOD dan ion Cu +2 menjadi
H2O2. H2O2 ini banyak diproduksi di mitokondria dan mikrosom dan yang penting
H2O2 ini dapat menembus membran sel (O2* tidak). Sebagai sistem pertahanan tubuh,
H2O2 oleh katalase dapat diubah menjadi H2O dan O2*. Hidrogen peroksida ini
merupakan oksidan yang kuat oleh karena dapat bereaksi dengan berbagai senyawa.
Selain itu H2O2 oleh enzim glutation peroksidase diubah pula menjadi H2O. Pada stress
oksidatif radikal bebas oksigen yang terbentuk tentu berlebihan begitu juga dengan H2O2
yang terbentuk banyak, sehingga sistem proteksi tubuh seperti enzim katalase dan
glutation peroksidase tidak dapat lagi menetralkan semua radikal bebas oksigen yang
terbentuk.
Selanjutnya jika H2O2 bereaksi dengan dengan Fe+2 dan Cu+2 maka terbentuklah
radikal bebas hidroksil melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Radikal hidroksil adalah
spesies yang sangat reaktif . Membran sel terdiri dari banyak komponen penting yaitu
fosfolipid, glikolipid, (keduanya mengandung asam lemak tak jenuh) dan kolesterol.
Asam lemak tak jenuh ini sangat peka terhadap radikal hidroksil
Kemampuan radikal hidroksil ini akan membentuk reaksi rantai dengan satu atom
hidrogen dari membra sel dan terbentuk peroksida lipid. Kelanjutan dari reaksi ini adalah
terputusnya rantai asam lemah menjadi senyawa aldehid yang memiliki daya perusak
yang tinggi terhadap sel-sel tubuh antara lain malondialdehid, 4-hidroksinenal, etana dan
pentana. Demikian pula dengan DNA dan protein juga mengalami kerusakan yang
seringkali cukup hebat. (T. Yoshikawa. Y. Naito, 2002)
Landasan Teori
LANSIA
MDA ↓
Vit C
MDA
Stress Oksidatif :
MDA 
Hipotesis
Pemberian vitamin C pada lansia dapat menurunkan kadar MDA (Malonaldehid)
serum.
F. Tujuan Penelitian
1. Melihat penurunan kadar MDA serum pada lansia
2. Memperbaiki stress oksidatif pada usia lanjut
G. Kontribusi Penelitian
Memberika pelayanan kepada usia lanjut sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
lansia
H. Metode Penelitian
Subyek Penelitian
Populasi adalah Lansia yang ada di posyandu kelurahan Seberang Padang Kotamadya
Padang. Sampel adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi dan berjumlah 40
orang. Sampel di bagi dalam 3 kelompok :
Kelompok masa virilaitas, usia 45-59 tahun
Kelompok usia lanjut, usia 60-69 tahun
Kelompok usia lanjut resiko tinggi >70 tahun
Kriteria inklusi :
- Lansia berumur > 45 tahun
- Tidak menderita penyakit jantung dan gangguan saluran cerna
- Bersedia ikut dalam penelitian
Kriteria eksklusi :
- Tidak bersedia ikut dalam penelitian
Bahan Penelitian
Vitamin C 500mg , spuit 5 cc, kapas, alcohol, serum, TCA 5%, Na thiobarbiturat
0,65% standar MDA, aquades.
Alat Penelitian
Timbangan berat badan, pengukur berat badan, tensimeter, stetoskop
Rancangan Penelitian
Pre dan pos eksperimental
Rencana Penelitian
Pengajuan Ethical Clearance (Surat kelaikan etik ).
Pendataan subyek penelitian
Seleksi subyek penelitian meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik
Penanda tanganan inform Consent ( Surat pernyataan persetujuan )
Pelaksanaan
A. Pengambilan sampel darah I ke lapangan
B. Pemeriksaan MDA sebelum pemberian vitamin C
C. Pemberian vitamin C 500 mg selama 3 minggu
D. Pengambilan sampel darah II ke lapangan
E. Pemeriksaan MDA setelah pemberian vitamin C
Pengolahan data
Analisa statistik
Pembuatan laporan
Analisa kadar MDA
Campur 0,5ml blanko + 0,5 ml standar dan 0,5 ml serum dengan
menggunakan vortex mixer.
Sentrifuge selama 10 menit, dengan kecepatan 2000 rpm
Pipet masing-masing 1 ml filtratnya
Masukkan kedalam water bath mendidih selama 30 menit, kemudian
dinginkan.
Baca absorban dengan spektofotometer dengan panjang gelombang 550 nm.
Analisa Data
Data kadar MDA sebelum dan sesudah pemberian vitamin C ditabulasi, dibandingkan
data kadar sebelum dan sesudah pemberian vitamin C, dan dilakukan uji t berpasangan
dengan derajat kepercayaan 95% pada p<0,05
I. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan I
Jadwal
Ethical Clearance
Mg
1
Mg
2
x
x
Pendataan dan seleksi
Subyek
Pelaksanaan
Penelitian
Pengolahan Data
Penyusunan Laporan
J. Personalia Penelitian
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Ketua Peneliti
Nama
Pangkat/ Golongan
Jabatan Fungsional
Jabatan Struktural
Fakultas
Perguruan Tinggi
Bidang Keahlian
Waktu untuk penelitian
Mg
3
Bulan II
Bulan III
Mg
4
Mg
1
Mg
2
Mg
3
Mg
4
X
x
x
x
x
Mg
1
Mg
2
x
x
Mg
3
Mg
4
x
x
x
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Anggota Peneliti
Nama
Pangkat/ Golongan
Jabatn Fungsional
Jabatan Struktural
Fakultas
Perguruan tinggi
Bidang keahlan
Waktu untuk penelitian
K. Perkiraan Anggaran
1. Honorarium
a. Ketua Peneliti
b. Anggota Peneliti
2. Anggaran Bahan Habis
No.
Uraian
Satuan Volume
Harga
Satuan (Rp)
3.000
Jumlah (Rp)
1.
Spuit 5 cc
Bh
125
2.
Kapas
Bks
3
10.000
30.000
3.
Alkohol 70%
Botol
4
10.000
40.000
4.
Pemeriksaan MDA
100
30.000
3.000.000
5.
Vitamin C
700
735.000
Buah
1050
TOTAL
3. Anggaran Perjalanan
- Transportasi
Transpor Subyek
50 X 20.000
1.000.000,-
-
1.000.000,-
Konsumsi
-
50 X 20.000
4. Anggaran Lain-lain
- Pembuatan Laporan
- Seminar
TOTAL ANGGARAN DIPERLUKAN
375.000
Download