jo BIOETIKA KRISTIANI | Marcellius Ari Christy

advertisement



Log In
Sign Up
more

o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o


Job Board
About
Press
Blog
People
Papers
Terms
Privacy
Copyright
We're Hiring!
Help Center
Log In
Sign Up
doc
jo BIOETIKA KRISTIANI.doc
25 Pages
jo BIOETIKA KRISTIANI.doc

Uploaded by
M. Christy
connect to download
Get doc
jo BIOETIKA KRISTIANI.doc
Download
jo BIOETIKA KRISTIANI.doc

Uploaded by
M. Christy
C. Bioetika yang Berpusat pada Pribadi Manusia 1. Martabat dan Hak Asasi Manusia studi kita
terbatas pada manusia, secara khusus pada martabatnya karena hak ini merupakan nilai intrinsik
yang khas melekat pada setiap manusia dan menjadi dasar yang kokoh untuk etika, khususnya
bioetika. Martabat manusia dibagi menjadi 4 sumber menurut Adam Schulman a. Perspektif
Yunani-Romawi: Dignitas martabat manusia dalam filsafat barat klasik menunjuk pada dignitas
(kelayakan untuk mendapatkan penghormatan dan penghargaan) Term ini diambil dari kata Latin
dignus (layak) or dignitas (kelayakan). Konsep ini berbasiskan pada keunggulan (excellence)
manusia. Keunggulan inilah yang menjadi ukuran kelayakan manusia dan dalam tulisan Cicero,
McCrudden menganalisa, "dignitas menunjuk pada martabat manusia sebagai manusia, tak
tergantung pada status tambahan lainnya. Dalam hal ini manusia dipertentangkan dengan
binatang."29 Sekolah Stois percaya bahwa manusia bermartabat karena memiliki akal budi. b.
Perspektif Biblis: Imago Dei Konsep ini berpengaruh lebih besar dari konsep sebelumnya karena
berdasarkan pada wahyu ilahi dalam Kitab Suci yakni ”manusia diciptakan menurut citra
Allah”.Perspektif ini diakui oleh tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. inti pokoknya
yakni bahwa "manusia, karena ia serupa dengan Allah, memiliki martabat yang diembannya
sejak ia ada dan martabat ini tak dapat ditukaralihkan. Namun perlu diingat bahwa meskipun
secitra dengan Allah, manusia tetaplah ciptaan dan bukan Allah. Menurut Schulman"dicipta
menurut citra Allah" memiliki konsekuensi bahwa kita harus menghargai manusia lain seperti
Allah menghargai mereka tanpa memandang keadaan, kelibihan maupun kekuarangan (sehat,
utuh, sakit, cacat, embrio). Perspektif ini sungguh kuat, namun sisi lemahnya adalah agamaagama non biblis dan para ateis tidak akan mempercayainya c. Perspektif Kantian: rasionalitas
don "bukan sarana" Pada abad ke 18, Immanuel Kant menawarkan suatu pengertian universal
tentang martabat manusia, berdasarkan pada pemikiran rasional murni (definisi non religius). Dia
menunjukkan bahwa kebebasan moral dan tanggung jawab masih mungkin meskipun dunia
diwarnai dengan matematika dan fisika. Manusia memiliki martabat karena otonomi rasional
(kemampuan manusia untuk dengan bebas menaati hukum moral yang mereka sendiri adalah
pembuatnya. Etika Kant dapat dirumuskan sebagai berikut: "Jangan pernah memperlakukan
manusia seolah-olah dia hanyalah bukan pribadi manusia atau hargailah selalu pelaku moral
sedemikian rupa sehingga mereka diperlakukan sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri.i35
Schulman menjelaskan, "Doktrin Kant tentang martabat manusia menuntut suatu hormat yang
seimbang bagi semua manusia dan melarang untuk menggunakan orang lain melulu sebagai alat
untuk mencapai tujuan."36 Namun dalam diskusi bioetis argumennya ini menunjukkan titik
lemah, khususnya dalam meletakkan martabat manusia sepenuhnya pada otonomi rasional.
Bagaimana dengan bayi atau embrio yang belum memiliki otonomi rasional? Bagaimana dengan
orang yang tidak dapat menggunakan kemampuan otonomi rasionalnya? d. Perspektif
Konstitusi-Konstitusi Modern Konsep martabat manusia juga berkembang dan banyak
digunakan dengan baik dalam konstitusi-konstitusi modern abad 20 dan dalam deklarasideklarasi internasional. Beberapa contohnya: Pembukaan Piagam P88 (1945) dan Deklarasi
Universal Hak-hak Asusi Manusia (1948), Indonesia, meletakkan konsep tentang martabat
manusia dalam sila ke dua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Dengan demikian
menuntut agar manusia dihargari seturut martabatnya sebagai ciptaan Allah dan tidak dapat
ditolerir tekanan fisik atau batin pada sesama manusia dari orang sebangsa atau dari bangsabangsa lain.41 Namun semua dokumen ini hanyalah consensus politis antara bangsa-bangsa dan
di dalamnya tidak didefinisikan secara eksplisit artl, isi, dan dasar dari martabat manusia. Banyak
bangsa dan negara yang masih mempertahankan pengertian mereka tentang martabat manusia,
meskipun secara resmi menyetujui deklarasi internasional tentang martabat manusia. Dari sinilah
dapat disimpulkan bahwa perspektif kedua merupakan hal yang perlu dirujuk karena
menawarkan pendekatan yang lebih holistik tentang martabat manusia. Selanjutnya muncul
pertanyaan mungkinkah mengikutsertakan ide teologis dalam diskusi tentang etika universal?"
Jawabannya afirmatif, "Ya!". Francesco Compagnoni berargumen, "Mungkinlah
mengikutsertakan dalam diskusi rasional bioetis, setidaknya, secara linguistik dapat
dikomunikasikan, suatu kategori martabat manusia absolut karena ia dicipta menurut citra Allah.
Dalam nada yang sama Ebehard Schockenhoff juga mencari pendasaran rasional akan martabat
manusia, namun iapun tidak menolak pentingnya Allah, bahkan •pentingnya iman manusia pada
Allah. Michael J.Perry, yang juga mendiskusikan pendasaran secular martabat manusia, tidak
berkeberatan untuk juga mengikutasertakan Allah dalam baginya moralitas tak membutuhkan
dasar-dasar metafisik... harus membiarkan suatu moralitas yang mengabaikan peran utama Allah,
maka jagad moralitasnya akan runtuh. 2. Tubuh Manusia, Kesehatan dan Penyakit Setelah
memahami siapakah manusia dan martabat agung yang diembannya, kita kioi mendiskusikan
kualitas yang dapat mengenai manusia. Dalam konteks bioetika ada dua kualitas pokok yakni
sehat dan sakit. Kita perlu memahami dengan baik dua kualitas ini agar detil-detil diskusi yang
lebih spe-lifik nanti dapat kita pahami dalam kerangka besar yang melingkupinya. a. Apa itu
sehat dan sakit? Sehat Kata sehat berasal dari kata health yang juga mengakar dari kata healing
(kesembuhan), holiness (kekudusan) dan wholeness (keseluruhan). Semuanya ini mengarah pada
satu konsep "kelengkapan" (completeness) yakni suatu keseluruhan yang memiliki semua
bagiarnya. Kesehatan juga dapat dipahami secara dinamis yakni lengkap secara fungsional, yakni
seluruh fungsi tubuh ada dan bekerja sama dengan harmonis. Dalam dunia medis yang telah
dipengaruhi sains modern kesehatan diukur dari "parameter fisiologis standari dan tergantung
dari kalkulasi komputer dan test fisiologis, maka kesehatan didefinisikan sebagai tergantung
pada suatu "model apa yang normal”. Pemikiran seperti ini problematik, karena: pertama, model
universal tentang kesehatan itu tidak mungkin, kita hanya mungkin niemberikan ambang batas
ukuranukuran kesehatan. Normal di sini akhirnya dinilai bukan sebagai ukuran rata-rata, tapi
sebagai ideal. Jadi jika seseorang tidak mencapai ideal kesehatan tertentu, ia dianggap tidak
sehat? Kuantifikasi kesehatan semacam ini menyempitkan apa arti sehat. Kita sehat bukan
karena kita memenuhi syarat ukuran tertentu. Kesehatan mencakup keutuhan struktur dan fungsi
organisme manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. WHO
kemudian mendefinisikan kesehatan sebagai, "Suatu keadaan sejahtera yang lengkap secara fisik,
mental dan sosial dan bukan me!ulu tiadanya penyakit atau kelemahan." Dari sudut religius
Kristiani kita bisa segera menambahkan juga kesejahteraan spiritual.
Sakit Ashley dan O'Rourke membagi konsep tentang penyakit menjadi dua, yakni: ontologis dan
fisiologis. Kcnsep ontologis (penyakit sebagai penyerang dari luar yang mengganggu atau
merusak harmoni tubuh dan organisme terus menerus melawan serangan dari luar ini dengan
mendesak keluar penyakit. Konsep fisiologis memandang penyakit sebagai gangguan atau
kerusakan sistem internal akibat bekerjanya fungsi-fungsi tubuh secara hiper (ber!ebihan) atau
hipo (kekurangan). Disfungsi ini membuat organisme lemah dan mendapat serangan dari luar,
misalnya: bakteri, namun dalam konsep ini bukan bakterilah yang menjadi agen utama penyakit,
tapi disfungsi tubuh. Penyembuhan penyakit menurut konsep ini adalah dengan latihan dan
mengubah cara hidup. Penggunaan obat atau pembedahan bukanlah solusi yang diutamakan.
Obat dan Pengobatan Obat atau pengobatan (medicine) memmiliki arti (1) Suatu obat atau
penyembuhan. (2) Seni menghindari, merawat dan membantu dalam menyembuhkan penyakit
dan merawat yang sakit/terluka. (3) Perawatan pengobatan secara medis terhadap suatu penyakit,
sebagaimana dibedakan dari pengobatan dengan pembedahan. Dari sini kita dapat memahami
bahwa obat/pengobatan tidak boleh direduksi pada definisi pertama, melainkan juga suatu seni
menghindari, merawat dan membantu orang lain dan hal ini mengandaikan adanya suatu relasi
antara mereka yang merawat dan dirawat. Sumpah Hipokrates di atas menulis, "1 will come for
the benefit of the sick, remaining free of all intentional injustice." Di sinilah letaknya aspek etis
dari obat/pengobatan, karena keduanya menyanggkut relasi antar pribadi, dengan pasien sebagai
agen utama. Si pasien yang mengalami gangguan kesehatan karena suatu penyakit dan dokter
hadir sebagai agen pembantu si pasien untuk kembali memulihkan kesehatannya. b. Makna
Tubuh dan Biologisme Tubuh manusia adalah manusia itu sendiri. Lalu bagaimana dengan jiwa?
Ekstrim yang mementingkan tubuh disebut biologisme dan sebaliknya, spiritisme. Antropologi
Thomistik menawarkan bahwa manusia itu embodied soul (jiwa yang membadan). Dari definisi
ini kita masih dapat "melihat" perbedaannya secara intelektual, tapi de facto jiwa dan badan itu
menyatu dalam kesatuan yang harmonis (persatuan psikosomatis). Antropologi ini bersumber
dari konsep tentang persona yang ditemukan oleh Boethius, substansia individual yang
berhakekat rasional. Term substantia berarti "suatu makluk individual dengan jenis tertentu.
Substansia tak dapat kehilangan hakekat utamanya dan ia terus bereksistensi. Substansia
memiliki potensi untuk berubah menjadi ini dan itu, tapi perubahan itu tidak pernah dapat
menyentrah hakekatnya. Pemikiran berlawanan dengan Rene Descartes (tubuh manusia itu
layaknya sebuah mesin dan kekuatan yang menggerakkannya adalah jiwa). Jadi jiwa itu seperti
hantu di dalam mesin (ghost in a machine). Konsep inilah yang kemudian mewujud pada
padangan ekstrim yang melihat tubuh hanya sebagai suatu "mesin biologis." Pandangan ini bisa
kita sebut dengan biologisme. Biologisme lahir dari suatu tendensi materialisme dari biologi
modern. Kaas menambahkan bahwa kemampuan/kekuatan tubuh untuk beraktivitas itu bukan
material walaupun ia ada di dalam dan tak terpisahkan dari mated ."55 Maka sebenarnya
biologisme mereduksir manusia ke tingkat benda-benda. Biologisme juga menganjurkan untuk
selalu menanyakan, "bagaimana tubuh bekerja?" biologisme kemudian mempersempit
pandangan tentang manusia berdasarkan bagian bagian tubuhnya saja.
c. Kehidupan Kekal Dalam Summa Theologiae, Aquinas berkata, "Manusia melakukan sesuatu
mesti demi suatu tujuan... Kebahagiaan itulah yang merupakan tujuan akhir hidup
manusia...Kebahagiaan manusia itu hanya dapat ditemukan dalam Allah... Konsekuensinya
kebahagiaan sempurna itu hanya dapat dicapai dalam persatuan hidup manusia dengan Allah"
(S.T., q. 1, 1.8; 2, 8; 3, 8). Manusia sebenarnya hanya mempunyai tujuan akhir yakni
kebahagiaan sejati dalam Allah. Inilah titik tolak ajarannya tentang moral. Kebahagiaan sejati itu
disebut dengan visio beatifica dan visio ini hanya akan dialami sepenuh-penuhnya dalam
kehidupan kekal. Pius XII dalam pernyataannya tentang "Memperpanjang Hidup" (1957),
mengatakan: "Sesungguhnya hidup, kesehatan, seluruh aktivitas temporal disubordinasikan pada
tujuan-tujuan spiritual." Secara sederhana pernyataan ini dapat dimengerti bahwa meskipun
hidup dan kesehatan manusia itu sangat bernilai penting, namun kehidupan kekal yang
merupakan tujuan hidup manusia tidaklah boleh dipandang rendah nilainya. 3. Tanggung Jawab
Pribadi atas Hidup dan Kesehataan Bertanggung jawab pada kesehatan tidak berarti pergi ke
dokter atau rutin memeriksakan kesehatan. bertanggung jawab pada kesehatan berarti
memperhatikan gaya hidup yang sehat. Mens sana in corpore sano, budi yang sehat terletak
dalam tubuh yang sehat. Selain itu menjaga kesehatan tidak hanya dimulai dari pribadi tetapi
juga lingkungan. Selain dua unsur diatas masih ada satu aspek lagi yang perlu diperhatikan yakni
tingkat sterss (karena rutinitas) secara khusus di daerah perkotaan. Dengan adanya stres ini maka
orang akan dengan mudah mencari pelampisan, kenikmatan intens atau pelarian diri dari sakit
hidupnya ini seperti narkoba, merokok, alkohol, obat-obatan penenagn bahkan seks bebas yang
tanpa disadari akan menjadi suatu kecanduan dan merusak pribadi manusia. Bab II. Bioetika
Kristiani A. Allah Sang Pencipta dan Pencinta Kehidupan Hampir sebagian besar pembahasan
tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah ditemukan dalam Perjanjian Lama (PL),
terutama Kitab Kejadian (Kej). Pola pikir dalam Kej amatlah jauh berbeda dengan pola pikir
skolastik yang menekankan distingsi dan penjelasan yang amat detil-rasionalistis. Untuk
mengerti kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya sebagai dasar pemikiran teologis bioetika
Kristiani, kita perlu memasuki ranah pikir kebijaksanaan timur kuno. Agar tidak terjebak dalam
detil eksegesis, yang bukan tujuan kita di sini, kita perlu untuk melihat garis besar pesan teologis
yang disampaikan Kej. Pertama, dalam membaca Kej 1-3 kita mesti mencatat baik-baik bahwa
pelaku utama di sini bukanlah manusia, seperti kesan banyak orang, tetapi Allah sendiri. Allah
tampil di sini sebagai Sang Pencipta. Ini ide dasar yang amat penting, yang mewarnai pemikiran
teologis umat Israel dan Gereja. Allah yang berperan aktif dalam sejarah umat manusia dan
dalam penciptaan adalah "selalu Allah Pencipta.i1 Kata elohim (Kej 1:1) sebagai nama diri Allah
menunjukkan "relasinya yang transenden terhadap ciptaan... Allah yang tidak seperti manusia itu
adalah Allah yang tak berawal, tak dikandung, tak bertentangan dalam diriNya sendiri, dan tak
terbatas kuasaNya."Z Fokus pada Allah ini membuat kisah penciptaan lebih dimengerti sebagai
teologi daripada sebuah antropologi. Inilah pemikiran yang mesti kita simak sungguh bahwa
manusia bukanlah pusat dari kisah penciptaan. Kisah ini menggarisbawahi tindakan kreatif Allah
sekaligus mewartakan bahwa Allah adalah satu- satunya Pencipta. Ide dasar ini yang akan
mewarnai seluruh pemahaman kita tentang hakekat manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
Kedua, kita perlu mencatat baik-baik bahwa kisah penciptaan dalam Kej tidak bermaksud untuk
menjawab semua pertanyaan atau memecahkan seluruh persoalan yang berhubungan dengan
penciptaan. Kej membiarkan misted tetap sebagai misted. Contohnya, Allah tiba-tiba begitu saja
muncul tanpa awal dan asal (1:1). Si jahat juga merupakan suatu tekateki yang penuh misted. la
dikisahkan sebagai salah satu ciptaan Allah (3:1), namun tidak dijelaskan dengan gamblang
siapakah atau apakah ular (hewan) yang berbicara itu. Waltke dan Fredericks berpendapat bahwa
"si pencoba itu bukanlah manusia, dia mestinya salah satu dari ciptaan-ciptaan lain.i3 Kita
sungguh dibuat binggung mengapa Allah menciptakan ciptaan yang dapat menuntun manusia
untuk berontak melawanNya. "Asal muasal kejahatan tetap tinggal sebagai misted besar."4 Kita
tidak membahas lebih lanjut hal ini karena ini bagian dari teologi penciptaan, namun yang perlu
kita pahami di sini adalah bahwa Kej tidak menjawabi semua persoalan seperti sering kita
sangka. Ketiga, kita perlu mengerti dengan baik arti penciptaan Adam dan Hawa. Kata "adam"
berarti kulit atau permukaan bumi. Dalam bahasa Arab Selatan dan Ibrani, kata ini dipakai
sebagai pars pro toto (menyebutkan sebagian tapi memaksudkan keseluruhan) untuk menyebut
manusia atau umat manusia.s Kata "adam" dapat juga berarti setiap orang (anyone) atau tak
seorangpun (no one), dan menunjuk pada spesies manusia.6 Kata ini menunjukkan status
manusia sebagai ciptaan dan terus memaknai manusia sebagai demikian dalam penggunaan
katanya.' Maka dapat kita pahami bahwa Kej tidak menulis tentang penciptaan dua orang
manusia yang berbeda jenis kelamin, lelaki dan perempuan,8 tapi mengisahkan tentang
penciptaan kolektif seluruh umat manusia. Penafsiran yang memahami kisah penciptaan dalam
Kej sebagai penciptaan dua manusia terjadi dalam tradisi teologis Yahudi yang kemudian, seperti
Rasul Paulus sebagai contoh. la memahami penciptaan Adam dan Hawa dalam konteks sejarah
keselamatan, bukan dalam pengertian yang dipahami dalam PL .9 Untuk memahami dengan
tegas pesan teologis suatu kitab, kita mesti fokus pada pesan kitab itu sendiri, bukan pada
penafsiran yang selanjutnya. Sekali lagi kita tidak sedang membahas eksegese Kej, namun hanya
untuk memahami isi teologis Kej yang akan sangat berguna bagi refleksi lebih lanjut dalam
bioetika Kristiani. Kej adalah suatu kisah tentang kehidupan kita. Dengan mengundang para
pembacanya untuk menjadi satu dengan kisah, penulis Kej memberi pengajaran yang lebih
implisit daripada eksplisit. la melontarkan dan menyatakan pada para pembaca pemikiran dan
pandangan terhadap hidup yang sungguh tajam menantang. Kej menampilkan manusia muncul
ke permukaan kala kehidupan dipaparkan Allah. Kej mengajak untuk memahami siapa manusia
dengan lebih jelas dan mengertinya sebagai suatu keseluruhan. Biografi yang ditampilkan oleh
Kej adalah metafora kehidupan kita, suatu bentuk ikon kehidupan kita. Ikon yang memampukan
kita untuk membandingkan dan menata kembali kehidupan kita. Lebih dari itu semua, Allah
lebih dipahami sebagai Allah yang berperan serta aktif dalam kehidupan kita. Jauh berbeda
dengan Allah yang jauh dan abstrak seperti ditampilkan dalam teologi sistematis.10 Dengan
pemaparan awal ini, kita siap untuk mengupas leih dalam apa makna pribadi manusia menurut
Kej, makna yang akan mewarnai pemahaman kita tentang manusia dalam berhadapan dengan
pemikiran-pemikiran yang modern. 1. Makhluk Ciptaan Pengertian yang paling mendasar
tentang manusia dalam Kej dan juga dalam seluruh Alkitab adalah bahwa manusia dicipta
menurut gambar dan rupa Allah. Gelar "gambar dan rupa Allah" dengan unik hanya diberikan
pada manusia, bukan pada ciptaan lain. Ini memberikan kesan pada kita bahwa manusia itu
istimewa dan terpisah dari makluk ciptaan lain. Kata "gambar" (selem) memiliki beberapa arti,
seperti: potongan, ukiran, bayang-bayang atau bayangan. Kata ini juga dapat berarti penampilan
fisik seseorang, seperti patung dewadewi
yang menggantikan kehadiran dewa-dewi itu secara pribadi. Atau juga seperti orang melihat
bayangannya sendiri di depan cermin. Inilah nuansa makna kata "gambar".11 Maka, kata
"gambar" mengandung pengertian penampilan fisik. Namun patutlah dicatat bahwa kemiripan
antara Allah dan manusia dalam hal ini bukanlah substansial tapi lebih fungsional. 1z "Gambar"
menjelaskan bahwa manusia adalah wakil yang layak akan kehadiran Allah di tengah dunia ,f
ciptaan. Waltke dan Fredericks berkata, "Jika Alkitab menampilkan Allah secara antropomorfis,
manusia itu teomorfis, dia diciptakan seperti Allah sehingga Allah dapat mengkomunikasikan
diriNya di tengah umatNya." 13 Sebagai representasi Allah, manusia mengemban hidup Allah
yang ia wakili.la Hal ini tercermin dalam ayat ini: "TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hinungnya; demikianlah manusia itu
menjadi makhluk yang hidup" (Kej 2:7). Makhluk hidup yarig disebut manusia ini responsif
pada penciptanya, seperti yang disimpulkan Schule, "Jika manusia adalah gambar Allah... maka
kita mengemban suatu gambar yang mampu merespon penciptanya, suatu gambar yang mampu
mendekatiNya dalam doa, penyembahan dan korban yang datang dari daya ciptanya sendiri dari
kebijaksanaannya clap dari devosinya yang terdalam pada apa yang dicipta olehNya sepertinya:
sesama manusia yang terdiri dari daging dan darah."ls Di sisi lain, kata "rupa" (demut)
menggarisbawahi bahwa manusia hanyalah dicipta mirip dengan Allah dan oleh karenanya
berbeda denganNya.lika di Timur kuno gambar dewa disejajarkan dengan dewa itu sendiri, kata
rupa berfungsi untuk dengan jelas membedakan Allah dengan manusia menurut pemikiran bib
lis.i16 Oleh karena itu, secara semantik "gambar dan rupa" mengandung arti baik kemiripan dan
juga perbedaan antara manusia dan Allah. Pemahaman biblis bahwa manusia dicipta menurut
gambar dan rupa Allah lebih menjelaskan pada kita tentang relasi antara Allah sebiagai Pencipta
dan manusia sebagai ciptaan. Kej tidak mengajarkan bahwa kita adalah para clone Allah, seolaholah kita semua adalah dewadewi kecil, sebaliknya Kej menggarisbawahi perbedaan besar antara
Allah dan manusia. Kej mengajak kita untuk merayakan siapa kita dan tempat kita di antara pada
ciptaan yang lain, karena kita ?ni sedikit lebih rendah daripada Allah (bdk. Mzm 8:5). 17 Towner
menambahkan, "Jika kita mengemban gambar Allah dalam diri kita sebagai rahmat dari Sang
Pencipta, hal ini membedakan kita dari ciptaan-ciptaan lain di dunia ini, dan jika hanya manusia
yang diundang untuk menjalin relasi pribadi dengan Allah, relasi ini memberi kuasa pada
manusia untuk memerintah di dunia. Ini semua menunjukkan bahwa kita semua sedang
berhadapan dengan suatu pandangan yang amat tinggi tentang hakekat manusia!i 18 Westermann
juga menan;bahkan, "Apa yang Allah putuskan untuk ciptakan mesti sesuatu yang memiliki
relasi denganNya."ly Maksud diciptakannya manusia menurut gambar Allah adalah agar ia relasi
antara pencipta dan ciptaan mungkin terjadi.20 Philip Hefnerjuga m2nambahkan,
"Diciptakannya manusia sebagai gambar Allah membuat ide tentang pribadi mlingkin, karena
pribadi mencerminkan relasi manusiawi yang Allah jalin dengan kita." Z' Relasi ini
menyingkirkan segala macam perbedaan antar manusia dan melampaui segala agama,
kepercayaan, ras, dan suku. "Keunikan manusia terletak pada jati dirinya sebagai rekan Allah.
Relasi dengan Allah bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada manusia, ia dicipta sedemikian
rupa sehingga keberadaannya dimaksudkan untuk menjalin relasi dengan Allah .n22 Singkat
kata, manusia adalah rekan Allah, wakil Allah dan mereka "berkuasai 23 di bumi bukan untuk
semena-mena, tapi untuk menjadi pelayan Allah dalam memelihara alam semesta yang
dipercayakan pada mereka. Antropologi biblis dalam menjelaskan hakekat manusia tidak
menggunakan pola pikir substansialis yang sibuk dengan diskusi tentang apa yang membuat
manusia sebagai gambar Allah dan di mono tepatnya letak gambar Allah itu dalam diri manusia.
Pola pikir ini jauh
dari dunia biblis, khususnya dari Kej. Kitab ini hanya mau menekankan manusia betapapun
mulia posisinya di hadapan ciptaan lain. la hanya ciptaan dan Allahlah Sang Pencipta tunggal.
Kej menunjukkan hal ini dengan menampilkan bahwa Allah memerintah manusia, 24 bukan
sebaliknya. Tindakan ini menunjukkan bahwa Allahlah pusat kisah penciptaan, bukan manusia.
2. Kesatuan Total Kisah penciptaan berbicara tentang diciptanya manusia dari tanah (adamah)
dan kala Allah menghembusi tanah yang berbentuk manusia itu, ia menjadi hidup (bdk. Kej 2:7)
25. Kita sebaiknya tidak membaca kisa penciptaan ini dari sudut pandang Helenistis yang
mengerti bahwa jiwa dan badan sebagai terpisah, sehingga kita membaca bahwa pertama-tama
Allah membentuk badan dari tanah dan kemudian Allah menyelipkan jiwa ke dalam badan itu.
Kisah penciptaan hendak menyampaikan pada para pembacanya bahwa manusia itu lemah dan
rapuh dan Allah itu jauh lebih kuat dan berkuasa daripadanya. Maka sekali lagi, kisah ini
menggarisbawahi kuasa Allah sebagai Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Inilah warta
utama kisah penciptaan.26 Konsep terpisahnya tubuh dan jiwa sangat jauh dari konsep biblis,
terutama dari kisah penciptaan dalam Kej. Kisah penciptaan tidak mengenal atau mewartakan
bahwa ada dua elemen dalam diri manusia yakni badan dan jiwa. Ide ini sangat jauh dari Kej 1-3.
Westermann berpendapat: Kisah ini menunjuk pada pengertian akan kemanusiaan atau hakekat
manusia yang telah ada selama ribuan tahun, yakni manusia tidak terdiri dari dua bagian (seperti
tubuh dan jiwa, dst), tetapi sebagai `sesuatu' yang menjadi ada dan hidup sebagai manusia. Di
balik pemahaman ini terdapat suatu pengalaman hidup bahwa seorang manusia 'berada' dalam
dua cara yang menyatu yakni: hanya sebagai sesuatu (melulu tubuh) dan sebagai sesuatu yang
menjadi hidup. Berada sebagai manusia adalah berada sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.27
Teks kisah penciptaan ditulis dalam bentuk naratif, dan melalui narasi ini pengarang hendak
menyampaikan bahwa sebelum tindakan kreatif Allah, manusia belum berada. Jadi pengarang
bukannya mau menyampaikan bahwa Allah inenciptakan dan menyatukan dua elemen yang
berbeda. Sebaliknya, teks mengisahkan penciptaan "hidup manusia yang satu dan total.i 28
Westermann menambahkan, "'Demikianlah menusia itu menjadi makluk yang hidup' (Kej 2:7)...
Kalimat ini sangat penting untuk mengerti pemahaman biblis tentang kemanusiaan: manusia
dicipta sebagai nefes hayah, 'jiwa yang menghidupkan' tidak dimasukkan dalam tubuh manusia.
Pribadi manusia sebagai makluk hidup harus c+imengerti sebagai keseluruhan dan teori yang
berpendapat bahm,a manusia tersusun dari tubuh dan jiwa bukanlah bagian dari pemahaman
kisah penciptaan. Manusia dicipta sebagai makluk hidup berarti bahwa seseorang adalah pribadi
manusia hanya jika dia berada dalam keadaan hid U P.,, 29 Semua pembahasan ini hanya mau
merujuk ke satu poin yakni bahwa manusia itu berada sebagai suatu kesatuan total. 3. Kesetaraan
Radikal Konsekuensi logis dari diciptanya manusia menurut gambar dan rupa Allah adalah
hahwa manusia saling berbagi hakekatnya sebagai makluk ciptaan. Manusia setara dan berbagi
kemanusiaannya dengan sesamanya meskipun masing-masing memiliki keunikkannya sebagai
individu. Kesetaraan manusia ini, di luar perbedaar. yang ada, mendapat pendasaran biblis dalam
penciptaan manusia perempuan sebagai rekan manusia lelaki. Kej 2:18 mengisahkan bahwa
tidaklah baik jika lelaki sendirian saja. Makna frase "tidaklah baik " bukanlah melulu menunjuk
pada seksualitas, seperti banyak dipahami orang, tapi frase ini menunjuk pada ketidaksetaraan
antara manusia dengan hewan. Binatang bukanlah rekan sederajat manusia.30
Itulah sebabnya Sang Pencipta melihat bahwa kesendirian manusia di tengah makluk ciptaan
yang lain sebagai sesuatu yang negatif. Dengan mengisahkan bahwa Allah menciptakan bagi
manusia seorang penolong yang lain "yang sepadan dengan dia" (ay. 18) menunjukkan bahwa
manusia membutuhkan rekan yang sepadan dengannya. "Manusia dicipta Allah sedemikian rupa
sehingga dia membutuhkan bantuan dari seorang rekan, maka dari itu saling membantu
nierupakan bagian esensial dari eksistensi manusia. Selain saling membantu, sikap saling
tanggap, yakni saling paham dalam kata maupun dalam keheningan, membentuk hidup bersama.
Dua hal ini menjelaskan apa itu komunitas manusiawi dengan cara yang luar biasa.i31 Maka,
frase "tidaklah baik, kalau manusia itu seorang diri saja" menggarisbawahi pentingnya untuk
mengakui bahwa manusia satu dengan yang lain adalah sederajat dan bersama-sama rr:ereka
membentuk suatu komunitas umat manusia (community among the equals). Tentang penciptaan
perempuan, Kej 2 tidak hanya menyatakan bahwa seksualitas itu baik dan dikehendaki oleh
Allah,32 tapi juga menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah bisa menemkan makna
terdalam keberadaannya sebagai manusia melulu sebagai ciptaan, jika demikian, keberadaanya di
tengah dunia tanaman dan binatang sudah cukup but also. Manusia hanya dapat menemukan
makna hidupnya dalam komunitas umat manusia, karena hanya komunitas umat manusia yang
memunculkan kemanusiaan sejati.33 Luapan kegembiraan manusia lelaki yang menyambut
kedatangan manusia perempuan dalam Kej 2:23 menunjukkan rasa syukurnya pada Allah yang
memberinya seorang penolong yang sederajat dengannya.34 Penolong ini diambil keluar dari
tubuhnya sendiri. Ini menunjukkan kesetaraan antara dua jenis kelamin. Ide kesetaraan ini
merupakan suatu ide yang baru dan berani di tengah dunia yang sangat paternalistik pada waktu
itu yang sangat menekankan martabat dan peran lelaki di atas wanita. "Kej 2 merupakan suatu
kisah penciptaan yang unik di seluruh dunia timur tengah kuno dalam hal penghargaannya pada
perempuani3s Konsep ini sangat penting, karena konsep ini menggarisbawahi kesetaraan antar
manusia di tengah segala macam perbedaannya, termasuk di dalamnya, perbedaan jenis kelamin.
Manusia secara radikal setara satu sama lain. Tak seorangpun menurut tata penciptaan dapat
mengklaim bahwa dirinya lebih tinggi daripada yang lain. Gambar dan rupa Allah mengemban di
dalamnya ide perbedaan dan komplementaritas, yakni bahwa umat manusia secara individu
memang unik dan berbeda, tapi sekaligus individu yang unik dan berbeda ini hidup dalam suatu
komunitas yang membuat mereka saling mengisi justru karena keberbedaan yang ada.36 "Tata
penciptaan ini kelak mendasari pewahyuan Allah selanjutnya mengenai tata sosial manusia.
HukumNya (ajaraan Alkitab) serasi dengan dunia ciptaan. Oleh karena itu, mencemoohkan tata
moral yang diwahyukanNya berarti menentang ciptaan itu sendiri, realitas yang diciptaNya.i37
Komisi Kitab Suci Kepausan juga melihat diciptakannya manusia secitra dengan Allah
mengemban makna kesucian hidup manusia dan martabatnya sebagai pribadi, suatu 'ada
relasional' yang mampu berhubungan secara personal dengan Allah sebagai penciptanya dan
dengan orang lain sebagai sesamanya yang sederajat.38 Singkat kata, penciptaan manusia secitra
dengan Allah menyediakan suatu dasar teologis yang kokoh untuk martabat manusial39 karena
alasan-alasan berikut: Pertama, menurut kisah penciptaan manusia memiliki tempat khusus di
antara ciptaanciptaan lain. Posisinya yang terangkat menunjukkan dignus (martabat) mereka di
antara yang lain (hewan dan tetumbuhan), karena manusia dianugerahi dengan dignitas. Yohanes
Paulus II menegaskan hal ini seraya menjelaskan bahwa manusia itu secara misterius berbeda
dengan makluk ciptaan lain, manusia telah mencapai suatu tahap kesempurnaan yang tinggi
(bdk. EV 22). Posisi yang tinggi tidak serta merta mengandaikan bahwa manusia dapat dengan
seenaknya mengeksploitasi dan menguasai ciptaan yang lain. Martabat ini dianugerahkan
oleh Sang Pencipta dan tidak bermuasal dari tugas "menguasai" yang diberikan Allah pada
manusia. Martabat ini dianugerahkan Allah agar manusia mampu berelasi secara khusus
denganNya. Kedua, jika Sang Pencipta merupakan penganugerah tunggal martabat pada
manusia, __ maka tak seorang manusiapun yang dapat mengklaim bahwa mereka dapat
menganugerahkan martabat kepada sesamanya. Oleh karenanya, martabat manusia sudah ada
secara intrinsik sejak awal hidup manusia, dalam semua manusia tanpa kecuali. Konsep teologis
ini juga menolak sautu konsep bahwa martabat itu dianugerahkan secara sosial kepada manusia.
Ketiga, kisah penciptaan menggarisbawahi pentingnya mengakui bahwa Allah adalah Sang
Pencipta dan manusia adalah ciptaan. Pengakuan ini mendasari bagaimana manusia yang satu
secara etis memperlakukan manusia lain. Manusia harus mengakui dan sesamanya sebagai rekan
yang secara radikal sederajat. Nilai hakiki manusia menjadi semakin intens dalam inkarnasi
Yesus Kristus, Anak Allah. Dengan menjadi manusia seperti kita, Kristus mengamini nilai kita
sebagai citra Allah, seraya memberikan teladan bagaimanakah semestinya menjadi secitra
dengan Allah di tengah hakekat kita yang terluka oleh dosa ini. Yohanes Paulus II mengingatkan
kita agar tetap menyadari kebenaran yang didengungkan oleh Vatikan II, "Dengan inkarnasiNya,
Anak Allah telah menyatukan diriNya dengan setiap umat manusia" (GS 22). Ini menegaskan
nilai setiap manusia. "Peristiwa yang menyelamatkan ini mengungkapkan kepada seluruh umat
manusia bukan saja cinta Allah yang tanpa batas pada manusia Yang 'telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal' (Yoh 3:16), namun juga mengungkapkan nilai yang tak tertandingi dari
setiap pribadi manusia" (EV 2). Inkarnasi bukan saja bersangkut paut dengan misteri iman kita,
tapi juga menyentuh setiap tindakan etis kita seraya memberinya arah. Yesus Kristus, sebagai
citra Allah par excellence, telah menunjukkan pada kita dengan inkarnasinya bagaimana hidup
dengan sungguh sesuai dengan citra Allah. Untuk hal ini Schockenhoff menambahkan, Hal ini
membuat kita memahami setiap tindakan etis manusia sebagai suatu jalan historis antara dua
kutub. Di satu sisi, sautu ide tentang mar,usia sempurna yang menjawab dengan tepat kepada
Allah dalam setiap dimensi kehidupannya, telah menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus,
sehingga kepada setiap manusia kemungkirian historis ini terbuka lebar. Di sisi lain, dia yang
telah dibahzrui dalam baptis dan menerima rahmat Kristus adalah seorang makluk yang tak
sempurna dan terbatas: olPh karenanya, dia harus tetap berada da/am perja/anan (in via)
sepanjang hidupnya, agar ia dapat menanggapi dengan lebih balk tujuannya dicipta.40 4.
Penciptaan Berlanjut dalam Prokreasi Kita telah membahas dasarteologis martabat manusia,
yakni bahwa ia dicipta secitra dengan Allah. Penciptaan ini tidak berhenti namun terus berlanjut
dalam prokreasi, yakni dalam dikandungriya anak. Manusia bukan memproduksi namun
melahirkan anak dengan pertolongan Allah, seperti yang direfleksikan dalam EV 43, "Suatu
partisipasi manusia dalam kedaulatan Allah juga terlihat jelas dalam tanggung jawab khusus
yang diberikan kepadanya atas hidup manusia itu sendiri. Tanggung jawab mencapai titik
tertingginya dalam pemberian hidup melalui pengadaaii keturunan (prokreasi) oleh pria dan
wanita dalam perkawinan." Kita manusia melahirkan seseorang yang seperti kita, bukan spesies
lain. Secara biolgis, sehuah spesies hanya dapat melahirkan spesies yang sama. O'Donovan
menambahkan, "Keturunan kita adalah manusia, yang berbagi dengan kita satu martabat manusia
yang sama, 40 Schockenhoff, Natural Law and Human Dignity, 236-37. See also Hefner, "Imago
Dei," 89. He says, "It (the image at God) also makes personhood necessary, because it is only as
free, centered selves, that we can decide
to carry out the kinds of behaviors that can sarve to portray God to creation, in the paradigm of
Jesus Christ. Our possibilities for personhood are set in motion as we respond to the calling that
is set before us." 32 satu pengalaman dan tujuan manusia yang sama. Kita tidak menentukan
apakah keturunan kita itu, kecuali dengan hakekat kita sendiri, yang dengannya keturunan kita
akan menjadi."al Bukan kita yang mencipta atau membuat keturunan kita, seolah-olah mereka itu
barang dan bukan pribadi, penciptaan hanya direservir oleh Allah, sebagai Pencipta tunggal.
Berbicara tentang melahirkan anak berarti berbicara tentang melahirkan makluk lain yang
hakekatnya sama dengan kita, yang dengan mereka kita berbagi persekutuan berdasarkan
kesetaraan radikal sebagai sesama ciptaan Allah.42 Sebaliknya, sesuatu yang kita buat tidak
memiliki kesetaraan radikal dengan kita. Oleh karenanya, kita sebagai pembuat akan teralienasi
dari apa yang kita buat, mengunggulinya dengan kemauan kita dan kita bertindak sebagai hukum
atas kodratnya.43 Allah terus berlanjut mencipta sepanjang sejarah. Kej 5:1-3 mengisahkan
tentang keturunan Adam. Dikisahkan bahwa bukan hanya Adam, namun juga Set yang
diciptakan menurut citra Allah: "Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah
dia menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. la memberkati mereka
dan memberikan nama "Manusia" kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan. Setelah Adam
hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan
gambarnya, lalu memberi nama Set." Teks ini hendak mengatakan bahwa citra Allah diteruskan
melalui pengadaan keturunan. Yoh. Paulus menambahkan, "Jadi, pria dan wanita yang berpadu
dalam pernikahan menjadi mitra dalam karya ilahi yakni melalui pengadaan keturunan, kurnia
Allah diterima dan hidup baru terbuka bagi masa depan." (EV 43). Hal ini mengandaikan bahwa
manusia menerima tugas suci dari Allah untuk menjadi rekan penciptaNya dalam prokreasi.
Allah sungguh memberkati prokreasi. Kej 1:28 menulis, "8 Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak." Vatikan II juga
menandaskan, "Allah sendiri yang bersabda '"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja'
(2:18) dan `la yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan' (Mat 19:4), berkehendak membagi dengan manusia suatu partisipasi khusus dalam
karya penciptaanNya" (GS 50). Yoh. Paulus menerangkan hal ini lebih lanjut demikian: Dengan
berbicara tentang 'partisipasi khusus' pria dan wanita dalam karya penciptaan Allah, Konsili
bermaksud mengemukakan bahwa mempunyai anak itu suatu peristiwa yang secara mendalam
manusiawi dan penuh dengan makna religius, sejauh melibatkan suami istri, yang menjadi satu
daging dan Allah yang menghadirkan diri. Dalam Surat kepada Keluarga- keluarga saya menulis:
'Kala lahir manusia baru dari persatuan kedua insan dalam perkawinan, manusia membawa citrakeserupaan Allah sendiri ke dalam dunia. Garis keturunan manusia tertera dalam biologi
pengadaan keturunan itu sendiri. Dalam menegaskan bahwa suami-istri, sebagai orang tua,
bekerja sama dengan Allah, Sang Pencipta, dalam mengandung dan melahirkan manusia baru, di
sini kita tidak membicarakan hal yang hanya berkenaan dengan hukum biologis. Sebaliknya, kita
hendak menekankan bahwa Allah sendiri hadir dalam kebapaan dan keibuan manusia, berbeda
dengan kehadiranNya dalam peristiwa dikandungnya makluk-makluk lain di
bumi. Sesungguhnya, hanya Allahlah sumber 'gambar dan rupa' yang pantas untuk manusia saja,
seperti yang diterimanya dalam penciptaan. Menurunkan anak adalah kelanjutan dari penciptaan"
(EV 43). a ' Oliver O'Donovan, Begotten or Mode? (Oxford: Clarendon Press, 1984), 1. 42 Cf.
Ibid., 2. 43 Cf. Ibid. For example, when we make a pottery from clay, we transcend the nature of
the clay, and we can do anything that we want to that clay, thus we become the law of clay's
being. The result of this creative act is a pottery which is substantially different from us. We are
the creators and the pottery is the creation. 33
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa tinc+akan menurunkan anak, kita tidak y hanya
melahirkan seseorang yang serupa dengan kita manusia, tapi juga bekerja sama deligan ' Allah,
kita merieruskan citra Allah kepada keturunan kita. Teologi kelanjutan penciptaan melalui
prokreasi memberi bobot atas argumen kita bahwa manusia hanya dapat menurunkan manusia,
bukannya calon manusia (potential person). Manusia tidak dapat menurunkan apa yang bukan
manusia dan hal ini merupakan karya penciptaan Allah yang bekerja melalui proses biologis
prokreasi. Namun sayangnya, hal yang amat jelas dan jernih ini saat ini mendapat banyak
tantangan dari kesombongan manusia. Manusia yang sejatinya adalah sesama kita yang
sederajat, namun dengan kesombongannya mereka ingin menjadi allah atas sesamanya. 5.
Bertindak sebagai Allah dan Menyangkal Did sebagai Ciptaan Mentalitas manusia zaman
modern ini adalah menentang tata penciptaan dan pada saat yang sama menolak adanya Allah.
Dengan cerdas Yoh. Paulus II menulis, Ketika rasa akan Mah hilang, rasa akan sesama manusia
akan juga terancam dan teracuni, seperti yang dengan bijak dinyatakan oleh Konsili Vatikan II:
'Tanpa Sang Pencipta ciptaan akan lenyap... Ketika Allah dilupakan, ciptaan itu sendiri menjadi
tak dapat dipahami.' Manusia tidak akan mampu lagi untuk memandang diri sebagai makluk
yang'secara misterius berbeda' daripada makluk lain. Manusia akan menganggap diri hanya
sebagai satu dari banyak makluk yang lain, sebagai suatu organisme yang, paling banyak, telah
mencapai tahap penyempurnaan yang sangat tinggi. Terkungkung dalam cakrawala sempit
hakekat fisiknya, manusia entah bagaimana telah direduksi menjadi seperti 'benda', dan ia tak
dapat lagi menangkap ciri transenden dari keberadaannya sebagai manusia. Dia tak lagi
menganggap kehidupan sebagai anugerah agung dari Allah, sesuatu yang sakral yang
dipercayakan pada tanggung jawabnya dan juga ada pemeliharaannya yang penuh kasih serta
mengagungkannya. Kehidupan itu sendiri hanya menjadi sebuah benda yang dituntut sebagai
miliknya, yang sepenuhnya ada di bawah kontrol dan manipulasinya' (EV 22). Rasa akan Allah
yang hilang ini terekspresikan dalam bertindak sebagai allah, pencipta. Hal ini hanyak dikenal
dengan istilah bermain-main sebagai Allah (p!aying God). Istilah playing God kUrang
bermakna, maka lebih baik dipakai istilah "bertindak seperti pencipta," yakni, "merampas kuasa
yang hanya pantas untuk Allah.i44 Apa yang saya maksud di sini adalah tingkah laku manusia
terhadap sesama dan lingkungannya. Westermann menambahkan, Kala rriar,usia menjadi pusat
dari segalanya, Allah disingkirkan jauh dalam transendensinya... Kemudian ketika konsekuensi
teknis dari perkembangan sains menggerogoti konsep utuh tentang alam dan menghasilkan
manusia yang dalam kesehai ian hidupnya harus berhubungan dengan teknik produksi dan
dengan benda-benda yang secara teknis diproduksi, konsep biblis tentang ciptaan dan pencipta
semakin didorong jauh ke belakang layar. Pertanyaan mendasarnya sekarang bukanlah apakah
seseorang percaya atau tidak pada seorang pencipta..., pertanyaan yang sebenarnya adalah
apakah kita mampu atau tak mampu mencari jalan yangjelas dan sejati untuk berelasi dengan
keberadaan kita yang tertekniskan - seperti yang sekarang kita hidupi, dengan mesin-mesin,
fisika nuklir dan genetika modern, dengan apa yang Kitab Suci wartakan tentang Allah, Sang
Pencipta.45 Bertindak sebagai Allah itu malah menentang hakekat kita manusia sebagai ciptaan.
Di 04 Allen Verhey, "'Playing God' and Invoking a Perspective," in On Moral Medicine:
Theological Perspectives in Medical Ethics, 2"d ed., eds. Stephen E. Lammers and Allen Verhey
(Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company), 288. 45 Claus Westermcnn,
"The Human in the Old Testament," Word and World 9, vol. 4 (1989): 320.
34
dalam tinclakan itu terkandung suatu hasrat untuk melakukan "lompatan hakekat", dari
manusiawi ke ilahi. Inilah tindakan yang contra naturam. Rupanya manusia belumlah cukup
dengan kedudukannya yang paling tinggi di antara seluruh ciptaan, ia ingin menjadi Allah
sendiri. Di sinilah letaknya tendensi manusia seperti leluhur mereka yang dicobai dan jatuh
dalam pencobaan ini.46 Tindakan penyombongan diri ini sia-sia dan tidak mungkin dapat
dilakukan. Adalah hal yang menyedihkan bahwa manusia secara total hendak melepaskan diri
dari Allah, tepatnya, mau bebas dari segala tanggung jawab moral di tengah kemungkinankemungkian liar budaya teknologi ini.47 Bertindak sebagai Allah merupakan hasil dari
kesalahpahaman tentang anugerah dan tugas dari Allah untuk "menguasai" semesta alam. Dalam
Kitab Kej, anugerah ini tidak pernah dimaksudkan untuk mengeksploitasi alam. Kesalahpahaman
akan pesan biblis ini membuat kita tidak hanya mengeksploitasi alam namun lebih buruk
daripada itu manusia mendominasi dan mengeksploitir sesamanya. Sekarang manusia menuntut
kuasa atas kehidupan, seperti Allah sendiri. Mereka lupa bahwa mereka hanyalah ciptaan yang
tidak pernah dapat menuntut hak hidup rekan sederajatnya. Mereka juga lupa bahwa "kuasa"
yang diberikan adalah "kuasa" sebagai pelayan-pelayan Allah untuk menjaga alam ini, seperti
Allah sendiri juga menjaga alam ini. Ashley menggarisbawahi, "Meskipun manusia adalah tuan
atas ciptaan lain yang lebih rendah, kuasa atas ciptaan lain dan atas dirinya sendiri hanyalah
sebuah tugas pelayanan di mana manusia tetap bertanggung jawab pada Sang Satu Tuan...
Manusia adalah pelayan atas alam semesta ini, sebagaimana mereka sendiri berasal dari dunia di
mana Allah menempatkan mereka.i48 Dalam konteks, misalnya, awal hidup manusia, saya
menyetujui O'Donovan yang mengatakan bahwa kejahatan terbesar pada zaman ini bukanlah
pertama-tama membunuh embrio, tapi secara halus dan intelektual meredefinisi embrio menjadi
manusia ambigu.49 Allah menciptakan kita menurut citraNya, sebaliknya kita mencoba
"mencipta" sesama kita dengan meredefinisikannya sebagai yang bertentangan dengan citra kita.
Tindakan inilah sautu contoh konkret bagaimana manusia yang satu bertindak sebagai Allah
terhadap manusia yang lain. Tentu saja sah bahwa kita menawarkan suatu iman akan Allah
sebagai Pencipta kepada masyarakat modern. Iman ini menjadi suatu kritik atas kecenderungan
manusia untuk menjadi dan bertindak sebagai Allah. Dengan mengimani dan mengakui Allah
sebagai Pencipta, dalam waktu yang sama pula kita mengakui bahwa kita bukanlah Allah dan
tidak akan pernah bertindak sebagai Allah bagi sesama kita, melainkan menjadi rekan sederajat.
James Gustafson melihat implikasi dari iman ini terhadap pemahaman kita tentang nilai-nilai
pribadi manusia. la berpendapat bahwa mereka yang percaya akan transendensi Allah menjadi
"better valuers" 46 The text form the Genesis writes, "But the serpent said to the woman, 'You
will not die, for God knows that when you eat of it your eyes will be opened, and you will be like
God, knowing good and evil.' So when the woman saw that the tree was good for food, and that
it was a delight to the eyes, and that the tree was to be desired to make one wise, she took of its
fruit and ate; and she also gave some to her husband who was with her, and he ate" (Gen 3:4-6).
47 Cf. Paolo Carlotti, "Genetica umana e bene commune," Rasegna di teologica 3 (luglioSettembre 2008): 502. 48 Benedict M. Ashley and Kevin D. O'Rourke, Health Care Ethics: A
Theological Analysis (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1997), 43. 49 Cf.
O'Donovan, Begotten, 65. See also Robert Barry, "'Imago Dei' and the Sanctity of Human Life,"
Angelicum: Periodicum Trimestre Pontificiae Studiorum Universitatis A
Sancto Thoma Aquinate in Urbe 2, vol. 73 (1996): 217-54. From his study on the relation among
the concepts of imago Dei, the sanctity of life and the prohibition of direct killing (the innocent),
he concludes that, "This form of killing is wrong because the human person was created
precisely not to be deliberately brought to death by us. This ground is also an appropriate
grounds for the doctrine of the sanctity of human life's prohibition of direct killing because like
the sanctity of human life, it is a theological and transcendent category." 35
daripada mereka yang tidak percaya.so Nilai yang ingin kita pertahankan sebenarnya sederhana,
namun amat mendalam, yakni Mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, dan kita
manusia adalah ciptaan yang saling berbagi kesederajatan dengan manusia yang lain. Untuk
menjadi penilai-penilai yang lebih baik nilai pribadi manusia, kita sebagai orang Kristiani
menemukan model yang paling unggul dalam pribadi Yesus Kristus. Dia menunjukkan pada kita
bagaimana seharusnya menjadi penilaipenilai yang lebih baik, terutama dalam menilai orang lain
sebagai rekan dan sesama kita. Yesus mengajarkan dua hal besar yang tak terpisahkan satu
dengan yang lain, yakni mencintai Allah dan manusia (Mat 22:34-40, par). 6. Perumpamaan
"Orang Samaria yang Balk Hati" Setelah kita berdiskusi tentang siapakah manusia itu dalam
kisah penciptaan, kini kita berdiskusi bagaimana kita semestinya memperlakukan orang lain
yang adalah sesama kita. Ajaran Kristus dalam hal ini terungkap dengan apik dalam
perumpamaan orang Samaria yang balk hati. Di sinilah kita akan memahami apa arti sesama dan
apa yang patut kita lakukan pada sesama kita. Pendekatan Yesus yang radikal pada relasi antar
manusia menjadi kerangka acuan dalam refleksi teologis cinta pada sesama. Cinta bukanlah
sesuatu yang pasif. Cinta yang sejati bergerak untuk mempengaruhi tindakan kita. Oleh karena
itu kita dapat merumuskan bahwa cinta itu sungguh praktis dan merupakar, suatu tindakan,
bukan ide. Yohanes menulis, "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengar perkataan
atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran" (1 Yoh 3:18). Cinta ini berasal
dari tindakan Allah mencintai kita dan tindakan Allah ini kita alami, oleh .<arenanya
pengalaman ini menggerakkan kita mencintai sesama kita. Maka tindakan cinta Allah menjadi
dasar yang kuat untuk tindakan cinta kita. Von Balthasar berkata, "Dia atas sega'anya, tingkah
laku kristiani itu adalah suatu reaksi kedua jika dibandingkan dengan tindakan pertama Allah
mencintai manusia." sl Dalam tindakan mencinta ini manusia bertemu dengan sesamanya, namun
juga Allah sendiri (bdk. Mat 25:31-45), maka dua bentuk cinta ini tidak terpisahkan satu dengan
yang lain. O'Donovan menyebut hal ini sehagai "aspek dobel hidup moral kristiani.i52 Tentang
hal ini Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang pertama mewlis, Cinta pada Allah dan
sesama tidak terpisahkan, keduanya membentuk satu perintah. Namun keduanya mendapatkan
hidup dari cinta Allah yang terlebih dahulu mencintai kita. Oleh karenanya, hal ini bukan lagi
suatu pertanyaan tentang 'perintah' yang dipaksakan dari luar dan panggilan untuk melakukan
sesuatu yang tak mungkin, melainkan lebih merupakan suatu pengalaman akan cinta yang
dengan bebas dianugerahkan dari dalam, suatu cinta yang pada hakekatnya mesti dibagikan pada
orang lain. Cinta tumbuh melalui cinta. Cinta itu 'ilahi' kerena ia berasal dari Allah dan
menyatukan kita pada Allah; melalui proses penyatuan ini, cinta membuat kita menjadi suatu
'kami' yang melampaui keterpPCahan kita dan membuat kita satu, sampai pada akhirnya Allah
menjadi 'segala dalam segala' (1 Kor 15:28).s3 50 Bdk. James M. Gustafson, "The
Transcendence of God and the Value of Human Life," in On Moral Medicine, eds. Lammers and
Verhey, 163. sl Hans Urs von Dalthasar, Love Alone is Credible (San Francisco: Ignatius Press,
2004), 112. 52 Oliver 0'Donovan, Resurrection and Moral Order: An Outline for Evangelical
Ethics (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986), 226. 53 Benedict XVI.
God is Love, Deus Caritas Est, art. 18 (Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2006), 40-1. 36
Siapakah sesamaku manusia? Ajaran Yesus tentang cinta pada sesama dengan padat makna
tersaji dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37).54
Perumpamaan ini adalah suatu contoh par excellence dari argumen naratif, suatu argumentasi
yang disampaikan melalui cerita.ss Perumpamaan ini adalah tentang seorang ahli Taurat yang
untuk membenarkan dirinya mencobai Yesus dengan melontarkan pertanyaan yang aneh yakni
"siapakah sesamaku manusia?" (ay. 29). Yesus tidak pernah menjawab pertanyaan aneh ini. la
berargumentasi dengan menceritakan perumpamaan. Dalam perumpamaan itu dibandingkan
sikap orang Yahudi dari kalangan elite yakni seorang iman dan seorang dari kaum Lewi, mereka
disibukkan untuk memenuhi hukum ritual (bdk. Im 21:11) sampai menutup mata dan tak peduli
untuk menolong sesamanya yang sekarat. Namun sikap orang Samaria lain. Meskipun ia secara
hukum tidak boleh bersentuhan dengan orang Yahudi, ia melanggar hukum itu demi kasih pada
sesamanya. Dua hukum dilanggarnya, yakni hukum kenajisan menyentuh mayat (bdk. Im 21:11)
dan hukum pemisahan antara orang Yahudi dan Samaria (bdk. Luk 9:53, Yoh 4:9),ss Dalam
benaknya, si ahli Taurat menganggap bahwa sesama manusia adalah ia yang membutuhkan belas
kasihan. Yesus menentang konsep salah ini, karena dengan demikian ia menjadikan sesamanya
manusia sebagai obyek. Yesus memutar pertanyaan "siapakah sesamaku manusia?" menjadi
"siapakah yang menjadi sesama manusia bagi orang lain?" (Lk. 10:36-37).57 Sekarang pusatnya
bukanlah pada orang yang harus ditolong, tapi ia yang harus menolong. Yang bermasalah
bukanlah si obyek, tapi si subyek. Si imam dan si Lewilah yang bermasalah, bukan orang yang
dirampok yang tengah sekarat. Si imam dan si Lewi tidak menjadi sesama bagi orang yang
sekarat itu, sedangkan si Samaria menjadi sesama. Problemnya bukan terletak siapa yang harus
ditolong, tapi siapa yang harus memberikan pertolongan. Bukan pada siapa yang pantas menjadi
sesamaku, tapi apakah aku menjadi sesama bagi semua orang. G. Segalla lebih praktis dan
sederhana dalam menjelaskan perumpamaan ini. Menurutnya, Yesus seolah-olah berkata
demikian, "Orang itu membutuhkan pertolonganmu, berhentilah membuat
pembedaanpembedaan, jadilah sesama bagi dia, cukuplah sudah."58 Hultgren menjelaskan
dengan lebih tajam perumpamaan ini dengan memperlawankan antara "siapakah yang menjadi
sesamaku dan siapa yang bukan." 59 Dalam benak si ahli Taurat tentunya ada kategori-kategori
ini. la yang memenuhi kategori atau kriteria tertentu pantas menjadi sesama, jika tidak maka ia
bukan sesama. Jadi ia menarik perbedaan antar pribadi sa For a profound exegesis on this
parable, see Joseph A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke X-XXIV, (Garden City:
Doubleday & Company, Inc., 1985), 882-85. ss Giuseppe Segalla, Un'etica per tre communito
(Brescia: Paideia Editrice, 2000), 196. 56 Fitzmyer, Gospel According to Luke, 883. He points
several details that are essential in understanding this parable. Those essential details are: (1) The
privileged status of a priest and the Levite in Palestinian Jewish society - their Levitical and/or
Aaronic heritage, which associated them intimately with the Temple cult and the heart of Jewish
life as worship of Yahweh. (2) The defilement considered to be derived from contact with a dead
(or apparently dead) body. (3) The attitude shared by Palestinian Jews concerning the
Samaritans, summed up so well in the Johannine comment, "Jews, remember, use nothing in
common with Samaritans" (John 4:9). 57 See O'Donovan, Resurrection and Moral Order, 242.
The lawyer also does not ask Jesus a deeper understanding of who one's neighbor is, but to test
Jesus and to justify himself (cf. v. 25. 29). Bovon understands this as a question that is far from
the eternal life. Jesus, however,
uses this occasion to deepen the understanding of one's neighbor. See Fran4ois Bovon, Luca 2:
commentario (Brescia: Editrice Paideia, 2007), ?.06-7. 58 Segalla, Un'etica per tre communitd,
197. 59 Arland J. Hultgren, The Parables of Jesus: A Commentary, (Grand Rapids, MI: William
B. Eerdmans Publishing Company, 2000), 100. As a comparison also see Paul Ramsey, Basic
Christian Ethics, (Louisville: Westminster/John Knox Press, 1950), 93. 37
manusia dengan mengklaim bahwa pribadi A adalah manusia, pribadi B kira-kira manusia, dan
pribadi C bukan manusia. Sekali lagi, ide berbahaya inh ditentang habis oleh Yesus dengan .~
bertanya, "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama mariusia dari
orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" (ay. 36). "Tuntutan untuk mencintai sesama seperti
diri sendiri tidak mengenal batas.i60 O'Donovan menambahkan, "Untuk mengenal siapakah
sesamaku, aku harus pertama-tama membuktikan bahwa aku adalah sesamanya. Untuk
memahami orang lain sebagai saudara atau saudariku, aku harus pertama- tama menerima dia
apa adanya dalam suatu interaksi personal." 61 Kita mengenali orang lain sebagai sesama
manusia hanya dengan pertama-tama memiliki komitmen moral untuk memperlakukan orang itu
sebagai manusia.bZ B. Yesus Kristus, Sang Penyembuh Agung Jika kita nanti akan berdiskusi
tentang tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh manusia dalam rupa obat, pembedahan, dan
perawatan, maka kita amat perlulah bagi kita untuk mengenal lebih dalam karya Allah, Sang
Penyembuh Agung, dalam diri Yesus Kristus dan yang dilanjutkan oleh GerejaNya lewat
sakramen-sakramen. James Gustafson mengatakan, "Kristus adalah sang norma untuk menerangi
bagaimana seorang Kristen itu seharusnya dan apa harus ia lakiakan dalam tingkah lakunya;
Kristulah norma utama yang mengharuskan bagi mereka yang ingin mengatur hidupnya sebagai
mui -idNya.i63 Selaras dengan tujuan buku ini, kita akan melihat penyembuhan dari sudut
pandang yang holistik. 1. Penyembuhan Kristus Rudolf Bultmann, penganjur demitologisasi,
seperti dikutip oleh John Meier, pernah mengatakan, "Adalah tidak mungkin bagi kita untuk
menggunakan cahaya elektrik dan nir- kabel dan menghargai tinggi obat-obatan modern serta
penemuan-peiiemuan dalam bidang pembedahan, dan pada waktu yang sama tetap percaya pada
mukjizat dari dunia Perjanjian Baru." 64 Namun di sisi lain, Meier juga mengamati bahwa
survey yang dilakukan oleh George Gallup mencatat bahwa di Amerika Serikat 82% orang
percaya bahwa sampai saat ini Allah melekukan mujizat, dan 6% yang menolak total percaya
pada mukjizat. Apakah ini berarti bahwa hanya 6% saja dari rakyat negara termaju di dunia yang
kadar intelektualnya sebanding dengan beberapa profesor Jerman yang sealiran dengan
Bultmann? 65 Juga sangatlah sempit jika membandingkan kuasa Sang Pencipta dengan kekuatan
listrik, wireless, dan obat-obatan. Sebaliknya, semuanya itu tersubordinasikan di bawah kuasa
Allah. Mereka yang bekerja di ranah historis harus rendah hati dan tahu posisinya sehingga tidak
mengambil kesimpulan teologis yang terlalu jauh.ss 60 Ibid. s1 0'Donovan, Begotten, 60. 62 Cf.
O'Donovan, "Who is a Person?" 126. See also Werpehowski, "Persons Argument," 487. Also see
Samuel K. Roberts, "Becoming the Neighbor: Virtue Theory and the Problem of Neighbor
Identity," Interpretation 62, vol. 2 (April 2008): 146-55. He proposes three points in accepting
others as neighbor. Those are: developing a posture toward the `other'; affirming a theocentric
foundation for human nature; becoming attentive to the virtue of prudential wisdom. 63 James
M. Gustdfson, Christ and the Moral Life (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 265.
64 John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus, vol. 2, (New York:
Doubleday, 1994), 520. Lih. Rudolf Bultmann, "New Testament and Mythology," in Hans
Worrier Bartsch, ed., Kerygma and Myth (New York: Harper & Row), 5. 65 Bdk. Ibid. ss Baca
Meier, A Marginal Jew, 509-21.
38
Adalah fakta historis, menurut Meier, bahwa Yesus melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa
dan mukjizat-mukjizat didukung oleh kriteria yang paling meyakinkan dari banyak sumber serta
kesaksian, dan kesemuanya ini konsisten. b' Fakta historis ini cukup untuk menyatakan secara
teologis bahwa Sang Putra Allah melakukan banyak rriukjizat dan di antaranya adalah
menyembuhkan orang-orang sakit. Penyembuhan Kristus bukanlah mitos atau dongeng isapan
jempol saja. Tidak berhenti di sini, Yesus juga memberi perintah pada para muridNya untuk
melanjutkan karya penyembuhanNya sebagai bagian dari pembangunan kerajaan Allah sejak saat
ini dan di dunia ini (bdk. Mat 10:5-15, par.). Jika demikian, apakah tindakan Yesus ini
bertentangan dengan ajaranNya untuk menderita, yakni memanggul salib setiap hari (bdk. Mat
16:24)? Ternyata pemahaman kita tentang salib terlalu tergesa-geesa dihubungkan dengan
penyakit, padahal penyakit adalah salah satu bagian saja dari penderitaan. Konteks pembicaraan
Yesus tentang memanggul salib berada dalam perjalananNya ke Yerusalem, bukan dalam
konteks berhadapan dengan penyakit. Jadi penderitaan yang dimaksudkan di sini bukanlah sertamerta penyakit, tapi lebih penderitaan dari luar, dari pihak lain yang jahat.b$ Demikian juga
halnya dengan Paulus, ketika ia berbicara tentang penderitaan sebagai mengambil bagian dari
penderitaan Kristus dia berbicara tentang pengejaran, penganiayaan dan kerja keras dalam
mewartakan Injil (baca 2 Kor 11:23-29).69 Memang sama sekali tidak keliru memandang
penyakit yang tak tersembuhkan sebagai suatu kesempatan untuk mengambil bagian dalam
penderitaan Kristus, tapi amatlah gegabah jika semua penyakit dianggap begitu saja sebagai
"salib," karena penyakit adalah bagian dari misteri kejahatan. Beberapa poin penting Memang
penderitaan (juga penyakit) adalah sebuah misted yang tak dapat dengan mudah dipecahkan,
namun kiranya beberapa poin di bawah ini yang disumbangkan oleh McNut membantu kita
untuk tidak mengambil keputusan atau pernyataan teologis yang gegabah tentang penyakit. Allah
bergembira atas kepenuhan hidup kita. Allah adalah Sang Pencinta kehidupan, bahkan bukan
kehidupan yang biasa saja, namun yang berlimpah (Yoh 10:10). Dalam diri PutraNya, Yesus,
Allah telah datang semakin mendekat dengan manusia dan mengalami segala suka duka hidup
manusia. Dalam perutusanNya, Yesus menyembuhkan banyak orang sebagai tanda-tanda kuasa
Allah yang menyertai pelayananNya. Hal ini berarti Allah menginginkan agar kita menjadi utuh
dan sehat baik dalam badan, pikiran dan jiwa kita. Allah tidak menyukai kita menjadi sakit.
Inilah alasan di balik tindakan penyembuhan yang dilakukan Yesus dan yang dilanjutkan oleh
para pengikutNya. Allah yang menyayangi kehidupan ini memegang kendali kuasa atas segala
sesuatu. la Mahakuasa, seperti tertulis dalam credo. la akan menanggapi doa untuk memohon
kesembuhan, kecuali jika ada beberapa halangan tersalurnya kuasa penyembuhannya atau jika
penyakit itu dimaksudkan untuk suatu kebaikan yang lebih besar.70 67 Bdk. Meier, A Marginal
Jew, 630. 68 Bdk. Francis McNut, Healing (Notre Dame, IN: Ave Maria Press, 1999), 63. 69
ibid., 65. 70 McNut, Healing, 67. 39
Penyakit adalah kejahatan Penyakit adalah bagian dari kejahatan, meskipun kebaikan mungkin
muncul darinya. Penyakit tidak secara langsung dikehendaki oleh Allah. Thomas Aquinas dalam
De Malo mengatakan bahwa penyakit merupakan suatu konsekuensi dari dosa asal, suatu
keadaan "jahat" di mana manusia dikandung dan dilahirkan. 71 Namun Aquinas, mengutip Yoh
9:3, mengatakan bahwa penyakit dapat menjadi kesempatan untuk menghindari dosa dan
mengembangkan keutamaan, sehingga oleh karenanya ia diselamatkan. Dengan kekuatan kuasa
kebangkitanNya kehidupan ilahi menerobos masuk dalam dunia yang terluka parah ini. Dia
memberikan kepada kita kesempatan untuk bekerja sama dengan kuasa kebangkitanNya ini
untuk menyembuhkan si sakit dan dunia yang juga sakit ini.' Z "Karena seluruh makhluk telah
ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang
telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan
dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anakanak Allah" (Rom 8:20-21). Kematian sebagai jawaban. Berhadapan dengan orang tua renta
yang sakit parah orang sering bertanya apakah kita perlu memohon penyembuhan. Dari sini
orang juga berargumen bahwa untuk apa berdoa mohon kesembuhan jika suatu saat akan datang
juga saat kematian kita. Tentunya pemikiran yang demikian amatlah pesimis. Jika demikian
jangankah doa untuk memohonkan penyembuhan, kehadiran dokter juga percuma, karena toh
pada akhirnya orang akan mati. Diperlukan kebijaksanaan yang mendalam dalam menghadapi
hal ini. Amatlah normal bagi jagung untuk tumbuh dan masak selama kurang lebih tiga bulan,
namun amatlah aneh jika jagung harus jatuh busuk setelah berumur sebulan lebih. Demikian juga
kita perlu memohonkan penyembuhan dari Kristus terhadap orang yang menurut kebijaksanaan
kita patut sembuh, misalnya: seorang ibu muda yang sakit leukemia, sedangkan anak-anaknya
masih kecil-kecil dan membutuhkan kehadirannya. Sarana tercapainya sesuatu yang lebih luhur.
Beberapa penyakit, bukan semua, dapat menjadi sarana tercapainya sesuatu yang lebih luhur.
Misalnya, kebutaan Saulus, rusaknya kaki Ignasius Loyola, dan sebagainya. Kita memiliki tradisi
lama tentang "penderitaan yang menyelamatkan." Namun kita sering tergesa-gesa menyimpulkan
bahwa semua penyakit termasuk dalam "penderitaan yang menyelamatkan." Terlalu cepat bagi
kita untuk mengatakan bahwa semua penyakit adalah mempunyai tujuan yang luhur. Hal ini akan
berdampak buruk di dalam pelayanan. Pastor pelayan rumah sakit dapat dengan mudah
mengatakan pada semua pasien yang sedang dirawat untuk mendapatkan kesembuhan, "Allah
menawarkan pada kalian kesempatan untuk menerima penyakit-penyakit ini sebagai berkat." la
tidak berbela rasa dengan mereka yang sakit untuk mengharapkan kesembuhan dari Allah, baik
secara langsung maupun lewat sarana medis. McNut mengatakan, "Menurut Perjanjian Baru,
umat Kristiani wajib berdoa agar penyakit disingkirkan, daripada berdoa untuk menerima
penyakit. Penyakit yang menyelamatkan itu perkecualian, bukan 71 Thomas Aquinas, De Malo,
q. 5, art. 4. Dari Thomas Aquinas, On Evil, trans. Richard Regan (Oxford: Orxford University
Press, 2003), 242-45. 72 Bdk. Ibid., 68. 40
hukum.i73 McNut juga mencatat dalam Ritual Romawi tertulis doa dalam kesempatan
kunjungan orang sakit demikian: Allah dari segala kuasa surgawi, dengan sabdaMu Engkau
mengusir segala kelemahan dan penyakit dari tubuh manusia. Dalam belas kasihanMu, sertailah
hambamu sekarang, sehingga penyakitnya boleh dienyahkan, kekuatan penuh dan kesehatannya
boleh kembali, dan dia boleh memuliakan namaMu. Demi Kristus Tuhan':ami. Amin.74 Setelah
kita memahami bahwa Kristus telah sungguh melakukan penyembuhan orang sakit, kini kita
akan melihat bagaimana karya Kristus itu dilanjutkan oleh Gereja dalam rupa sakramensakramen. 2. Sakramen-sakramen Penyembuhan Kita adalah ciptaan dan bukan pencipta, maka
hakekat kita tidak seagung Sang Pencip'.a. Sebagai ciptaan manusia mengemban kekurangan dan
kelemahan, serta berada di bawah sengsara, penyakit dan kematian. Oleh karena itu Yesus
mengutus Gereja agar terus me/anjutkan apa yang telah la lakukan, yakni pelayanan
penyembuhan dan penyelamatanNya sendiri di dalam kekuatan Roh Kudus (KGK 1423). Untuk
hal inilah ada dua sakramen penyembuhan yakni: sakramen rekonsiliasi dan sakramen
pengurapan orang sakit. Untuk tidak bertumpang tindih dengan sakramentologi, buku ini hanya
membahas kedua sakranien ini dari sudut penyembuhan. Sakramen Rekonsiliasi Sakramen ini
bertujuan untuk berdamai dengan Allah, dan oleh karenanya buah hasil dari sakramen ini adalah
"memberi kembali kepada kita rahmat Allah dan menyatukan kita dengan Dia dalam
persahabatan yang erat" (KGK 1468). Dari sini manusia memperoleh kembali shalom dan
kegembiraan oleh karena penghiburan Roh, suatu "kebangkitan rohani." Bukan hanya
perdamaian dengan dirinya sendiri dan Allah, sakramen ini juga memulihkan perdamaian dengan
sesama dan seluruh ciptaan. Jika penyakit itu dipandang sebagai suatu dis-harmoni yang terjadi
dalam pribadi manusia, maka dosa menjadi sumber subur akan dis-harmoni ini. Katekismus
mengajarkan, "Dalam terang iman tidak ada yang lebih buruk dai-ipada dosa; tidak ada yang
mempunyai akibat yang sama buruk untuk pendosa, untuk Gereja dan untuk seluruh dunia"
(1488). Oleh sakramen rekorisiliasi, jika diterima dan dihayati sungguh-sungguh, dosa
dihapuskan dan manusia dipul?hkan lagi, manusia dibuat lagi menjadi manusia yang harmonis,
maka oleh karenanya ia disembuhkan dan dipulihkan dari dis-harmoninya yang menyumberkan
penyakit. Sakramen pengurapan orang sakit Gereja taat kepada Kristus, Sang Kepala. la yang
memberi perutusan pada Gereja untuk juga rnenyembuhkan orang sakit, seperti yang la sendiri
lakukan: "Mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak
akan mendapat celaka; mereka akan melPtakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan
sembuh" (Mrk 16:18). Gereja perdana mencatat apa yang mereka lakukan, "Kalau ada seorang di
antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan
dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan
menyelamatkan orang 73 1bid., 69.
74 Ibid. 41
sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu
akan diampuni" (Yak 5:14-15). Hal ini mereka dan kita lakukan karena kita yakin akan
kehadiran Kristus yang menyembuhkan jiwa dan badan. la tidak saja berkarya di masa lampau,
tapi juga dalam masa kini di mana ilmu kedokteran dan obat-obatan mencapai taraf yang begitu
maju. Gereja menemani si sakit dengan doa-doanya yang memohon kesembuhan menyeluruh.
Kesembuhan yang terjadi hendak menunjukkan pada dunia bahwa betapa berdaya gunanya
rahmat dari Dia yang telah bangkit dari mati, untuk menunjukkan bahwa Allah itu Mahakuasa
(bdk. KGK 1506). Namun jika penyembuhan tidak terjadi, Gereja tetap menemani orang dengan
doa-doanya, agar mereka dapat dengan bebas dan ikhlas mengambil bagian dari sengsara
Kristus, dan sengsara ini bukan tanpa arti. Sakramen ini bukan sakramen terakhir atau the last
rite, teologi pesimis ini sudah ditinggalkan dalam katekismus yang baru. Sakramen ini adalah
sakramen penyembuhan, bukan sakramen untuk mempercepat kematian. Namun tidak menutup
kemungkinan mereka yang sedang berada dalam tahap terminal untuk menerima sakramen ini,
karena sakramen ini juga memberikan bekal perjalanan untuk menuju hidup abadi. Sakramen ini
membuahkan hasil berupa kekuatan, ketenangan, dan kebesaran hati untuk mengatasi kesulitankesulitan yang berkaitan dengan penyakit berat atau kelemahan karena usia lanjut, namun juga
kesembuhan jiwa dan badan. 42
READ PAPER
GET file
×Close
Log In
Log In with Facebook
Log In with Google
or
Email:
Password:
Remember me on this computer
or reset password
Enter the email address you signed up with and we'll email you a reset link.
Need an account? Click here to sign up


About
Blog






People
Papers
Job Board
Advertise
We're Hiring!
Help Center










Find new research papers in:
Physics
Chemistry
Biology
Health Sciences
Ecology
Earth Sciences
Cognitive Science
Mathematics
Computer Science




Terms
Privacy
Copyright
Academia ©2017
Download