Peran Interleukin-10 Pada Infeksi Malaria

advertisement
Peran Interleukin-10 Pada Infeksi Malaria
Nur Wahyuniati, Reza Maulana*
Abstrak. Malaria merupakan suatu penyakit infeksi yang memiliki patogenesis sangat
kompleks. Teori imunologis merupakan salah satu teori utama yang berupaya menjelaskan
secara lebih rinci dan komprehensif terkait patogenesis infeksi malaria. Interleukin-10, yang
merupakan sitokin anti-inflamasi,memainkan peranan yang penting dalam regulasi respon imun
pada host. Interleukin-10 menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari
monosit/makrofag, dan hal ini akan menghambat sekresi TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, G-CSF, dan
GM-CSF. Interleukin-10 juga menghambat proliferasi dan juga sintesis sitokin sel T CD4 +,
termasuk produksi IL-2 dan IFN-γ oleh Th1 dan IL-4 dan IL-5 oleh Th2. Timbulnya komplikasi
malaria berat ditentukan oleh keseimbangan antara kadar sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, yaitu berupa rasio IL-10 rendah. Rasio IL-10:TNF-α yang kurang dari 1 beresiko
mengalami malaria serebral dan anemia berat, sebaliknya rasio lebih dari 1 sering ditemukan
pada pasien hiperparasitemia.(JKS 2015; 2: 95-102)
Kata kunci: malaria, interleukin-10, sitokin anti-inflamasi
Abstract. Malaria is an infectious disease which has a very complex pathogenesis.
Immunological theory is one of the main theories that attempt to explain a more detail and
comprehensive pathogenesis of malaria infection. Interleukin-10, which an antiinflammatory cytokines, play an important role in the regulation of immune response in the
host. Interleukin-10 inhibits the release of mediators of pro-inflammatory
monocyte/macrophages, and it will inhibit the secretion of TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, G-CSF
and GM-CSF. Interleukin-10 also inhibits the proliferation and synthesis of CD4+ T cell
cytokines, including IL-2 and IFN-γ by Th1 and IL-4 and IL-5 by Th2. The incidence of
complications of severe malaria is determined by the balance between the levels of proinflammatory and anti-inflammatory cytokines, in the form of a low ratio of IL-10. The
ratio of IL-10: TNF-α less than 1 is believed to have a risk of cerebral malaria and severe
anemia, whereas the ratio more than 1 is often related to hyper parasitemia condition.
(JKS 2015; 2: 95-102)
Key words: Malaria, interleukin-10, anti-inflammatory cytokine
Pendahuluan1
Malaria, disebabkan oleh parasit protozoa
dari genus Plasmodium, merupakan suatu
penyakit parasit yang utama di daerahdaerah tropis dan subtropis, mencakup
sejumlah area di benua Amerika, Asia dan
Afrika.1 Malaria merupakan salah satu
penyakit infeksi yang paling penting di
dunia, menyebabkan 200-300 juta kasus
klinis dan sekitar 1 juta kematian per
tahun.1Terdapat
sekitar
150
spesies
Nur Wahyuniati adalah Dosen Bagian Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh, dan
Reza Maulana adalah Dosen Bagian Anatomi
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh
*Penulis Korespondensi
Plasmodium, dan 4 diantaranya diketahui
dapat menginfeksi manusia, yaitu: P.
falciparum, P. vivax, P. malariae, dan
P.ovale.2
Patogenesis malaria sangat kompleks,
sampai saat ini banyak penelitian yang
masih berupaya mengungkap patogenesis
dari malaria, terutama malaria cerebral.
Terdapat tiga teori utama yang diajukan
untuk menjelaskan patogenesis malaria
cerebral, yaitu: teori “mekanis”, teori
“imunologis”, dan teori gabungan keduanya.
Walau bagaimanapun, mekanisme pasti dari
kompleks sindrom pada penyakit ini masih
belum sepenuhnya dipahami.3
95
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015
Sebagaimana
penyakit
infeksi
pada
umumnya, patogenesis malaria melibatkan
berbagai macam faktor, diantaranya yaitu
faktor parasit, host dan lingkungan.4 Ketiga
faktor ini saling terkait satu sama lain, dan
akan menentukan manifestasi klinis malaria
yang bervariasi mulai dari yang paling berat,
yaitu komplikasi gagal organ, malaria ringan
tanpa komplikasi, atau yang paling ringan,
yaitu infeksi asimptomatik.4
Material dan Metode
Artikel ini disusun dengan menggunakan
metode literature review.
daerah Jawa-Bali, meskipun masih terdapat
desa/fokus malaria tinggi.5
Berbagai faktor parasit menentukan
terjadinya malaria berat, seperti adanya
kemampuan evasi parasit dari respon imun
host melalui variasi antigenik, adanya
resistensi terhadap obat anti malaria,
munculnya berbagai strain parasit yang
virulen dengan kecepatan multiplikasi yang
tinggi, adanya peristiwa sitoadherens dan
pembentukan formasi roset, serta peran
berbagai toksin malaria.4
1.
Hasil dan Pembahasan
Malaria, disebabkan oleh parasit protozoa
dari genus Plasmodium, merupakan suatu
penyakit parasit yang utama di daerahdaerah tropis dan subtropis, mencakup
sejumlah area di benua Amerika, Asia dan
Afrika.1 Malaria merupakan salah satu
penyakit infeksi yang paling penting di
dunia, menyebabkan 200-300 juta kasus
klinis dan sekitar 1 juta kematian per tahun.1
Terdapat sekitar 150 spesies Plasmodium,
dan 4 diantaranya diketahui dapat
menginfeksi manusia, yaitu: P. falciparum,
P. vivax, P. malariae, dan P.ovale.2 Di
antara keempat spesies tersebut, P.
falciparum merupakan spesies yang paling
virulen, menyebabkan 91 % dari total kasus
malaria di seluruh dunia, di mana
mayoritasnya (sekitar 86 %) terjadi di
daerah Afrika.1,2 P. falciparum juga
menyebabkan munculnya komplikasi yang
sangat serius berupa malaria cerebral yang
dapat menimbulkan defisit neurologis
bahkan kematian.
Di Indonesia, penyakit malaria masih
ditemukan di seluruh provinsi. Berdasarkan
Annual Parasite Incidence (API), Indonesia
bagian timur termasuk ke dalam daerah
dengan stratifikasi malaria yang tinggi,
stratifikasi sedang berada di beberapa daerah
di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera,
sedangkan stratifikasi rendah berada di
Faktor Parasit
a. Karakteristik genom Plasmodium
falciparum.
Plasmodium falciparum memiliki genom
yang berukuran 22,8 Mega basa (Mb) yang
tersebar pada 14 kromosom yang masingmasing berukuran sekitar 0,643-3,29 Mb.6
Jumlah gen yang terdapat dalam kromosom
P. falciparum adalah sebanyak 5.300 gen
yang
mengkode
berbagai
protein.6
Plasmodium falciparum memiliki famili gen
yang bersifat sangat variabel, diantaranya
gen var, rif dan stevor, secara berurutan
masing-masing mengkode P. falciparum
erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1),
repetitive interspersed family (rifin), dan
subtelomeric variable open reading frame
(stevor).6-8 PfEMP-1 diekspresikan di
permukaan sel darah merah yang terinfeksi
parasit.7 PfEMP-1 memperantarai perlekatan
(adhesi) sel darah merah yang terinfeksi ke
berbagai reseptor yang tersebar pada sel-sel
endotel berbagai organ.6,7,9 Kemampuan
inilah yang merupakan faktor virulens dari
P. falciparum sehingga sering diasosiasikan
dengan terjadinya malaria berat. Protein
PfEMP-1 merupakan target dari antibodi
yang bersifat spesifik, namun karena gen var
memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan (switching) sekitar 2% per
generasi, hal ini menyebabkan sulitnya
usaha untuk penemuan vaksin terhadap
malaria.6,9 Dengan adanya variasi antigen ini
memungkinkan terjadinya malaria kronik
96
NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria
yang dapat mempengaruhi pola transmisi
malaria yang terjadi melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina.6,9
b. Sitoadherens
Sitoadherens adalah ikatan anatara eritrosit
yang telah terinfeksi parasit malaria
(PRBCs, Parasitized Red Blood Cells)
dengan endotel vaskuler terutama kapiler
postvenula yang menyebabkan terjadinya
sekuesterasi parasit pada kapiler-kapiler
organ.4,7
Timbulnya
fenomena
ini
diperantarai oleh protein Plasmodium yang
terekspresikan di permukaan eritrosit yang
terinfeksi, protein-protein dinding sel
eritrosit yang telah termodifikasi serta ligand
di sel endotel.7 Adanya perlekatan / adhesi
PRBCs ini akan mengurangi aliran darah di
mikrosirkulasi, yang mana hal ini mungkin
dapat menjelaskan penyebab terjadinya
disfungsi jaringan dan organ, seperti halnya
koma pada kasus malaria cerebral.7 Parasit
yang mengalami sekuesterasi ini bersifat
aktif dalam hal metabolismenya, dan ia akan
berkompetisi dengan jaringan tubuh host
untuk memperoleh berbagai substrat, seperti
glukosa, dan ia juga akan memproduksi
toksin yang mengganggu metabolisme
jaringan tubuh host.7
Mekanisme terjadinya sitoadherens adalah
sebagai berikut, pada permukaan PRBCs
akan timbul tonjolan-tonjolan yang disebut
knob.4,7,10 Pada Knob ini terdapat berbagai
protein seperti Histidine rich protein-1
(HRP-1), PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA).4,7
Protein ini akan berikatan dengan berbagai
molekul adhesi pada permukaan endotel
vaskuler,
seperti
CD36
(platelet
glycoprotein IIIb atau IV), CD31, CD51,
CD54, intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1), endothelial selectin (E-Selectin,
ELAM-1), vascular cell adhesion molecule1 (VCAM-1), trombospondin, asam
hialuronat,
glikosaminoglikan,
serta
kondroitin sulfat (CSA).4,7,10-12
PfEMP-1 dapat berikatan secara simultan
dengan berbagai reseptor sekaligus, namun
antara parasit satu dengan yang lain dapat
mengekspresikan PfEMP atau proteinprotein lain yang lebih dominan berikatan
dengan jenis molekul adhesi tertentu.4,7
Sebagai contoh, parasit yang menginfeksi
jaringan plasenta akan mengekspresikan
PfEMP-1 yang mampu berikatan dengan
CSA namun tidak dengan CD36.4 Di lain
pihak,
parasit
tertentu
yang
mengekspresikan PfEMP-1 ada yang lebih
dominan berikatan dengan ICAM-1 yang
merupakan molekul adhesi utama di endotel
pembuluh darah otak, sehingga parasit
tesebut lebih banyak tesekuesterisasi di otak,
hal ini diduga ikut berperan terhadap
timbulnya malaria cerebral.4
c. Rosetting dan agglutinasi
Rosetting adalah ikatan antara PRBCs
dengan beberapa eritrosit yang tidak
terinfeksi, sehingga membentuk gumpalan
yang disebut ‘roset’.7 Sedangkan agglutinasi
adalah ikatan antara PRBCs, yang akan
membentuk aggregat yang tidak melibatkan
eritrosit tak terinfeksi 7. Pada fenomena
rosetting ini, gen var sepertinya bertanggung
jawab atas terjadinya ligand, dan interaksi
intereritrositik ini merupakan interaksi yang
sensitif terhadap pH dan heparin.7 Sejumlah
protein reseptor pada permukaan eritrosit tak
terinfeksi yaitu complement receptor 1
(CR1)/CD35, CD36, dan heparan sulfatelike glycosaminoglycans (HS-like GAG).4
Tingginya formasi roset ditemukan pada
anak-anak di Gambia yang mengalami
malaria cerebral, dimana pada pasien-pasien
ini ternyata terdapat hubungan dengan
kurangnya antirosetting antibodi, sedangkan
pada penelitian-penelitian di belahan bumi
yang lain tidak menunjukkan adanya
hubungan dengan antibodi tersebut.7
Kontribusi agglutinasi terhadap patofisiologi
malaria berat masih belum jelas.
d. Toksin parasit
Eritrosit yang terinfeksi parasit (PRBCs)
yang pecah pada saat proses skizogoni akan
mengeluarkan berbagai toksin seperti
glycosylphosphatidylinositols
(GPI),
97
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015
hemozoin, merozoit surface protein-1
(MSP-1), MSP-2, MSP-3, MSP-4 rhoptryassociated protein-1 (RAP-1).4,13 Diantara
berbagai antigen di atas, antigen yang paling
banyak diteliti adalah MSP-1, molekul ini
mengandung conserved C-terminal amino
acid sequence (19 kD) yang dibawa oleh
parasit saat ia menginvasi eritrosit8 serta GPI
yang berfungsi sebagai jangkar/ anchor pada
permukaan plasmodium yang berhubungan
dengan protein permukaan seperti MSP.4,14
2. Faktor host
Terdapat berbagai faktor host yang berperan
pada patogenesis malaria cerebral, meliputi
faktor genetik, umur, nutrisi, imunitas, dan
juga berbagai mediator yang dihasilkan oleh
sel imunokompeten akibat rangsangan
antigen parasit.
a. Faktor genetik
Beberapa kelainan genetik pada eritrosit
atau hemoglobin dapat menghambat perk,
embangan malaria dan mencegah malaria
berat, di antaranya adalah HbS (sickle cell),
HbC, HbE, defisiensi G6PD, thalasemia,
ovalositosis herediter defisiensi enzim
piruvat kinase.4,15 Beberapa tipe HLABw53,
HLA-A2,
HLA-B17,
HLADRB1*1502,*0701,*1301,*1302,
DQB1202, 0501, diduga memiliki efek
perlindungan terhadap malaria berat.4
Penelitian Dieye, dkk di Senegal
menemukan
HLA-DR13
berhubungan
4
dengan resiko malaria berat. Faktor genetik
non-HLA lain yang juga dilaporkan
memiliki efek perlindungan terhadap
malaria adalah polimorfisme gen spektin,
gen eritrosit-band 3, golongan darah ABO,
gen glikoporin A dan B, dan suatu gen yang
melindungi terhadap infeksi schistosoma
mansoni (gen SM-1 yang terletak di
kromosom 5q31-33) dilaporkan juga
melindungi
terhadap
malari
berat.4
Polimorfisme gen iNOS juga bersifat
protektif. Di lain pihak, terdapat tiga bentuk
polimorfisme gen promotor TNF-α yang
berhubungan dengan manifestasi klinis
malaria berat, yaitu alel TNF-308A
membuat pasien lebih peka terhadap malaria
berat, alel TNF-376A berkaitan dengan
kepekaan terhadap malaria cerebral pada
anak-anak di Kenya dan Gambia, alel TNF238A yang berhubungan dengan komplikasi
anemia berat malaria.4 Polimorfisme Fc
gamma receptor IIA (CD32) dan mutasi
pada gen ICAM-1 juga turut berperan dalam
kerentanan infeksi malaria berat serta
menimbulkan efek yang luas pada LFA-1,
fibrinogen, rhinovirus dan adhesi P.
Falciparum.16 Polimorfisme pada gene
RNASE3 berhubungan dengan kerentanan
terhadap malaria cerebral pada anak-anak di
Ghana.17
Polimorfisme
pada
Haem
oxygenase-1 (HMOX1) gene promoter alel
juga berhubungan dengan kejadian malaria
berat pada anak-anak di Gambia.18,19
Terdapat sejumlah perbedaan dari hasil
penelitian
genetik
malaria
yang
menimbulkan kesulitan dalam pengambilan
kesimpulan dalam tatalaksana faktor
genetik, misalnya mutasi pada ICAM-1
ternyata ditemukan berhubungan dengan
meningkatnya
kerentanan
seseorang
terhadap malaria cerebral (di Kenya), namun
tidak memberikan efek yang berarti pada
pasien-pasien di Gambia, dan yang menarik
adalah bahwa ternyata mutasi tersebut
menimbukan efek proteksi pada pasienpasien di gabon 16. Adanya kombinasi antara
KIR2DL3-HLAC1 (Killer Immunoglobulinlike Receptors dan HLA-C1 ligand) pada
seorang individu akan meningkatkan
kerentanannya terhadap malaria cerebral.20
Lokus TNF/LTA (limfotoksin α) ternyata
tidak berhubungan dengan kejadian malaria
berat.21
b. Peran sitokin proinflamasi
Pada infeksi malaria, sitokin yang terutama
dihasilkan oleh makrofag merupakan respon
imun non-spesifik (innate immunity) yang
ditujukan untuk menghambat pertumbuhan
parasit secara tidak langsung dengan
mengaktifkan leukosit untuk menghasilkan
radikal bebas yang akan mematikan parasit.4
98
NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria
Selain itu, sitokin berfungsi mengaktifkan
sel-sel imun lain seperti makrofag, limfosit
T, limfosit B dan sel NK untuk
berproliferasi dan menghasilkan lebih
banyak mediator guna bekerja sama
mengatasi infeksi.4 Di lain pihak, sitokin
mempunyai efek biologis metabolik seperti
hipoglikemia, pireksia, inflamasi, dan dalam
kadar tinggi dapat merusak sel terutama
endotel, bahkan dapat menguntungkan
pertumbuhan parasit karena meningkatkan
sitoadherens (melalui peningkatan ekspresi
molekul adhesi pada endotel).4 Di sini
terlihat bahwa sitokin memiliki peran ganda
seperti “pedang bermata dua”, pada kadar
yang tepat bersifat protektif namun pada
kadar yang berlebihan justru berefek
patologis.4
Berdasarkan
jenis
sitokin
yang
dihasilkannya, limfosit T helper dibagi
menjadi Th1 yang menghasilkan sitokin
proinflamasi IFN-γ, TNF-α, TNF-β (juga
disebut sebagai limfotoksin, LT), IL-1, IL-6,
IL-8, IL-12; berfungsi mengaktifkan
imunitas seluler dan imunitas nonspesifik.4,22,23
Sedangkan
Th2
yang
menghasilkan sitokin anti-inflamasi IL-4,
IL-10; berfungsi mengaktifkan imunitas
humoral.4,22,23
Pada cerebral malaria, konsentrasi sitokin
pro-inflamasi di dalam darah meningkat,
sebagaimana ditemukan pula pada banyak
kondisi infeksi yang parah.7 TNF-α
berhubungan dengan berbagai kondisi
patologis pada infeksi malaria, terutama
dengan acute respiratory distress syndrome
(ARDS) dan malaria cerebral.24 TNF-α, baik
berperan sendiri atau bersama-sama dengan
IL-6 dan IL-1, telah diketahui dapat
menginduksi sintesis acute phase response
proteins
oleh
hepatosit.25
TNF-α
meningkatkan regulasi reseptor sitoadherens
di endotel, serta juga dapat menimbulkan
diseritropoesis. Pada anak-anak di Afrika,
tingginya konsentrasi TNF-α berhubungan
dengan timbulnya koma, hipoglikemia,
hiperparasitemia, bahkan kematian.7,22
Interferon (IFN)-γ dan interleukin (IL)-12
memainkan peranan yang penting untuk
clearance patogen-patogen intraseluler.4
Sejumlah anak di Afrika yang mengalami
anemia berat pada infeksi P.falciparum
ternyata memiliki kadar IFN-γ dan IL-12
yang rendah.Produksi IFN-γ dan IL-12
dihambat oleh sitokin anti-inflamasi seperti
IL-10.4 IFN-γ juga telah terungkap memiliki
peran yang krusial dalam hal imunitas
terhadap
stage
preeritrositik
P.
26
Falciparum.
Konsentrasi IFN-γ yang
sangat rendah sekalipun ternyata terbukti
efisien untuk melawan P. falciparum pada
stage hepar, sedangkan konsentrasi IFN-γ
yang sedang dapat menghambat sepenuhnya
perkembangan skizogoni pada tahap hepar
26
. IFN-γ juga telah sering diikutsertakan
sebagai kontrol positif pada penelitianpenelitian obat anti malaria in vitro atau
penelitian inhibisi sporozoit.26
3. Peran Interleukin-10
IL-10, sitokin anti-inflamasi, memainkan
peranan yang penting dalam regulasi respon
imun pada host, sebagaimana yang juga
diperankan oleh TGF-β 1. Sumber utama IL10 adalah subset sel T yang meliputi sel
Th1, sel Th2, sel Tr1 (CD25+Foxp3-), dan T
regulatory
(Treg,
CD25+Foxp3+).1,23
Stimulasi Th1 dengan IL-27 meningkatkan
produksi IL-10 dan memacu ekspresi IFNγ.1 Tr1 merupakan subset sel CD4+ yang
memproduksi IL-10 dalam kadar yang
tinggi, IL-2 dalam kadar rendah, namun ia
tidak memproduksi IL-4 1. Tr1 berkembang
dari sel T naif di bawah pengaruh IL-27.
TGF-β menginduksi ekspresi IL-10. IL-2,
suatu aktivator aktifitas supresif oleh sel
Treg, ternyata memacu produksi IL-10.
Dewasa ini, telah diketahui bahwa sumber
IL-10 tidak hanya berasal dari subset sel T
namun juga dari hampir semua leukosit.1
Monosit/makrofag merupakan sel sasaran
utama dari efek inhibisi yang dimiliki oleh
IL-10. IL-10 menghambat pelepasan
mediator-mediator
pro-inflamasi
dari
monosit/makrofag, dan hal ini akan
99
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015
menghambat sekresi TNF-α, IL-1β, IL-6,
IL-8, G-CSF, dan GM-CSF.1 IL-10 juga
menghambat presentasi antigen oleh
monosit/makrofag. IL-10 menghambat
proliferasi dan juga sintesis sitokin sel T
CD4+, termasuk produksi IL-2 dan IFN-γ
oleh Th1 dan IL-4 dan IL-5 oleh Th2.1
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
bahwa terdapat pengaturan silang dan
bersifat antagonis antara sitokin proinflamasi (Th1) dan sitokin anti-inflamasi
(Th2), dimana IL-10 akan menghambat TNF
serta IFN, begitu pula sebaliknya.1,4,27
Timbulnya komplikasi malaria berat
ditentukan oleh keseimbangan antara kadar
sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi,
yaitu berupa rasio IL-10 rendah. Rasio IL10: TNF-α yang kurang dari 1 beresiko
mengalami malaria serebral dan anemia
berat, sebaliknya rasio lebih dari 1 sering
ditemukan
pada
pasien
1,27,28
hiperparasitemia.
Hal ini menunjukkan
bahwa
rendahnya
produksi
IL-10
berhubungan
dengan
meningkatnya
produksi TNF-α, yang kemudian diikuti oleh
meningkatnya produksi IFN-γ. Perbedaan
rasio ini ditentukan secara genetik
berdasarkan polimorfisme gen promotor
TNF; individu dengan alel TNF-238A dan
TNF-376A akan mempunyai rasio IL-10 :
TNF kurang dari 1.1,4,27
Suatu penelitian dengan menggunakan
mencit
menunjukkan
bahwa
IL-10
memainkan peranan yang penting pada host
saat terjadinya infeksi malaria. IL-10 knockout mice (IL-10-/-) memang menunjukkan
kadar parasitemia yang lebih rendah
daripada mencit wild-type, namun mencit ini
mengalami sejumlah kelainan berat seperti
kelaian di hati dan cerebral.1 Sebenarnya,
proses inflamasi (yang terlibat dalam proses
eliminasi parasit) meningkat pada mencit
IL-10-/-, namun inflamasi yang berlebihan
(seperti dengan meningkatnya produksi IFNγ) juga muncul, dan hal ini mengakibatkan
munculnya kondisi patologis di hati dan/atau
di otak.1,27 Oleh sebab itu, keberadaan IL-10
dianggap penting untuk mensupresi
munculnya kondisi patologis di hati dan otak
di host saat terjadinya infeksi malaria.
Penelitian
lain
yang
menggunakan
Plasmodium chabaudi pada mencit IL-10-/menunjukkan bahwa mencit-mencit knockout ini lebih rentan terhadap infeksi yang
letal, serta mengalami anemia berat,
hipoglikemia, dan memiliki konsentrasi
IFN-γ dan TNF-α di plasma yang lebih
tinggi daripada wild-type mice. Selain itu,
mencit IL-10-/- juga menunjukkan adanya
cerebral edama dan cerebral hemorrhages.27
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Niikura M, Inoue S-I, Kobayashi F. Role of
interleukin-10 in malaria: focusing on
coinfection with lethal and nonlethal
murine malaria parasites. Journal of
Biomedicine and Biotechnology. 2011:1-8.
Perkins DJ, Were T, Davenport GC,
Kempaiah P, Hittner JB, Ong'echa JM.
Severe malarial anemia: innate immunity
and pathogenesis. Int J Biol Sci.
2011;7(9):1427-42.
Combes Vr, El-Assaad F, Faille De,
Jambou R, Hunt NH, Grau GER.
Microvesiculation and cell interactions at
the brain–endothelial interface in cerebral
malaria
pathogenesis.
Progress
in
Neurobiology. 2010;91:140-51.
Nugroho A. Patogenesis malaria berat. In:
Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA,
editors. Malaria-dari molekuler ke klinis.
2nd ed. Jakarta: EGC, 38-63; 2008.
Kementerian kesehatan RI. Epidemiologi
malaria di Indonesia. Buletin jendela data
dan informasi kesehatan. 2011.
Noviyanti R. Patogenesis molekuler
Plasmodium falciparum: kajian gen parasit
yang berkaitan dengan virulensi. In:
Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA,
editors. Malaria-dari molekuler ke klinis.
Jakarta: EGC, hal 17-37; 2008.
Newton CR, Hien TT, White N. Cerebral
malaria. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:433-441.
Perlmann P, Troye-Blomberg M. Malaria
and the Immune System in Humans. In:
Perlmann P, Troye-Blomberg M, editors.
Malaria Immunology Chem Immunol.
100
NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Basel: Karger, vol 80, 229-242; 2002. p.
229-42.
Hisaeda H, Yasutomo K, Himeno K.
Malaria: immune evasion by parasites. The
International Journal of Biochemistry &
Cell Biology. 2005;37:700-6.
Souza JBd, Riley EM. Cerebral malaria: the
contribution of studies in animal models to
our understanding of immunopathogenesis.
Microbes and Infection. 2002;4:292-300.
Ringwald P, Peyron F, Lepers JP,
Rabarison
P,
Rakotomalala
C,
Razanamparany M, et al. Parasite virulence
factors during falciparum malaria: rosetting,
cytoadherence,
and
modulation
of
cytoadherence by cytokine. Infect Immun.
1993;61 (12):5198-204.
Urban BC, Stevenson MM. Early
Interactions
Between
Blood-Stage
Plasmodium Parasites and the Immune
System. 2005. In: Immunology and
Immunopathogenesis of Malaria [Internet].
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 25-70.
Fujioka H, Aikawa M. Structure and life
cycle. In: Perlmann P, Troye-Blomberg M,
editors. Malaria Immunology Chem
Immunol. Basel: Karger, vol 80, 1-26;
2002.
Boutlis CS, Riley EM, Anstey NM, Souza
JBd. Glycosylphosphatidylinositols in
Malaria Pathogenesis and Immunity:
Potential
forTherapeutic
Inhibition
andVaccination. 2005. In: Immunology and
Immunopathogenesis of Malaria [Internet].
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 145186.
Kwiatkowski DP. How malaria has affected
the human genome and what human
genetics can teach us about malaria. Am J
Hum Gemet. 2005;77:171-92.
Craig A, Hastings I, Pain A, Roberts DJ.
Genetics and malaria - more questions than
answers. TRENDS in parasitology.
2001;17:2:55-6.
Adu B, Dodoo D, Adukpo S, Gyan BA,
Hedley PL, Goka B, et al. Polymorphisms
in the RNASE3 Gene Are Associated with
Susceptibility to Cerebral Malaria in
Ghanaian Children. Plos one. 2011;6:12:19.
Walther M, Caul AD, Aka P, Njie M,
Amambua-Ngwa A, Walther B, et al.
HMOX1 Gene Promoter Alleles and High
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
HO-1 Levels Are Associated with Severe
Malaria in Gambian Children. Plos
pathogens. 2012;8:3:1-17.
Kuesap J, Hirayama K, Kikuchi M,
Ruangweerayut R, Na-Bangchang K. Study
on
association
between
genetic
polymorphisms of haem oxygenase-1,
tumour necrosis factor, cadmium exposure
and malaria pathogenicity and severity.
Malaria Journal. 2010;9:260:1-8.
Hirayasu K, Ohashi J, Kashiwase K,
Hananantachai H, Naka I, Ogawa A, et al.
Significant Association of KIR2DL3-HLAC1 Combination with Cerebral Malaria and
Implications for Co-evolution of KIR and
HLA. Plos pathogens. 2012;8:3:1-12.
Randall LM, Kenangalem E, Lampah DA,
Tjitra E, Mwaikambo ED, Handojo T, et al.
A study of the TNF/LTA/LTB locus and
susceptibility to severe malaria in highland
papuan children and adults. Malaria
Journal. 2010;9:302:1-9.
Clark IA, Budd AC, Alleva LM, Cowden
WB.
Human
malarial
disease:a
consequences of inflammatory cytokine
release. Malaria journal. 2006;5:85:1-32.
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular
and Molecular Immunology. Philadelphia,
USA: Elseviers-Saunders; 2012.
Wykes MN, Liu XQ, Jiang S,
Hirunpetcharat C, Good MF. Systemic
Tumor Necrosis Factor Generated during
Lethal Plasmodium Infections Impairs
Dendritic Cell Function. J Immunol.
2007;179:3982-7.
Depinay N, Franetich JF, ner ACG,
Mauduit M, Chavatte J-M, Luty AJF, et al.
Inhibitory Effect of TNF-a on Malaria PreErythrocytic Stage Development: Influence
of Host Hepatocyte/Parasite Combinations.
Plos one. 2011;6:3:1-8.
Perlaza B-L, Sauzet J-P, Brahimi K,
BenMohamed L, Druilhe P. Interferongamma, a valuable surrogate marker of
Plasmodium falciparum pre-erythrocytic
stages protective immunity. Malaria
Journal. 2011;10:27:1-9.
Sanni LA, Jarra W, Li C, Langhorne J.
Cerebral edema and cerebral hemorrhages
in interleukin-10-deficient mice infected
with Plasmodium chabaudi. Infect Immun.
2004;72(5):3054-8.
101
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015
28. Kurtzhals JA, Adabayeri V, Goka BQ,
Akanmori BD, Oliver-Commey JO,
Nkrumah FK, et al. Low plasma
concentrations of interleukin 10 in severe
malarial anaemia compared with cerebral
and uncomplicated malaria. The Lancet.
1998;351:1768-72.
102
Download