Templat tesis dan disertasi

advertisement
PENGEMBANGAN STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT
Pediococcus pentosaceus E.1222 MENGGUNAKAN SUBSTRAT
WHEY TAHU
YENI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pengembangan Starter
Bakteri Asam Laktat Pediococcus pentosaceus E.1222 Menggunakan Substrat
Whey Tahu” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,
Januari 2016
Yeni
NIM P051120151
RINGKASAN
YENI. Pengembangan Starter Bakteri Asam Laktat Pediococcus pentosaceus
E.1222 Menggunakan Substrat Whey Tahu. Dibimbing oleh ANJA
MERYANDINI dan TITI CANDRA SUNARTI.
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang paling banyak
digunakan sebagai kultur starter karena sifat menguntungkan BAL terhadap nilai
nutrisi, organoleptik, dan memperpanjang umur simpan. BAL akan memulai
proses pengasaman secara cepat terhadap bahan baku dengan memproduksi asam
organik, terutama asam laktat. BAL mampu menghambat berbagai
mikroorganisme patogen dan menghasilkan senyawa yang bersifat antimikrob
sehubungan dengan pengawetan dan keamanan makanan. Faktor penting dalam
pengembangan kultur starter di industri adalah pemilihan media. Whey tahu
(WT) merupakan limbah cair dari proses pembuatan tahu dan masih mengandung
bahan organik yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme, sehingga
dapat digunakan sebagai media pertumbuhan BAL. WT yang digunakan pada
penelitian ini mengandung protein terlarut sebagai komponen yang paling
dominan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang atau mendesain
proses produksi starter BAL untuk industri menggunakan WT sebagai media
produksi, dengan mengkaji pengaruh penambahan sumber karbon pada beberapa
skala produksi.
Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan, diawali dengan melakukan
pemilihan sumber karbon yaitu sukrosa dan glukosa, penentuan konsentrasi
sumber karbon terpilih, dan peningkatan skala produksi. Whey tahu dengan
suplementasi sumber karbon digunakan untuk menumbuhkan Pediococcus
pentosaceus dengan waktu inkubasi 24 jam pada suhu 37 °C, tanpa pengadukan.
Hasil pemilihan sumber karbon didapatkan bahwa glukosa memberikan jumlah
BAL (4.5 × 108 CFU/mL) dan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum (µmaks )
(0.65 Jam-1) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah BAL (1.3×108
CFU/mL) dan nilai µmaks (0.37 Jam-1) yang didapat pada media WT
disuplementasi sukrosa. Berdasarkan hasil tersebut dipilihlah glukosa sebagai
sumber karbon untuk meningkatkan pertumbuhan BAL. Tahapan berikutnya
dilakukan penentuan konsentrasi glukosa yang akan memberikan pertumbuhan
BAL optimal. Konsentrasi glukosa yang digunakan adalah 1%; 2%; 5%; dan 10%,
dengan hasil yang didapat yaitu whey tahu yang disuplementasi glukosa 5%
memberikan pertumbuhan BAL yang paling tinggi, yaitu mencapai 1.4 × 1010
CFU/mL dengan nilai µmaks 0.91 Jam-1.
Tahap selanjutnya meningkatkan skala produksi starter dengan formulasi
media whey tahu disuplementasi glukosa 5%. Proses fermentasi diawali pada
skala 150 mL, kemudian ditingkatkan menjadi 500 mL dan 1 L. Hasil proses
fermentasi ini menunjukkan adanya sedikit penurunan jumlah bakteri pada setiap
peningkatan volume yaitu dari 1.10×1010CFU/mL(150 mL), 1.09×1010 CFU/mL
(500 mL) menjadi 1.03×1010 CFU/mL (1 L); serta penurunan laju pertumbuhan
spesifik maksimum (µmaks ) berturut-turut 0,91 Jam-1, 0,91 jam-1 dan 0,90 jam-1.
Kata kunci: Bakteri asam laktat, kultur starter, whey tahu, Pediococcus
pentosaceus
SUMMARY
YENI. Development of Lactic Acid Bacteria Starter Pediococcus pentosaceus
E.1222 Using Tofu Whey as Substrate. Supervised by ANJA MERYANDINI and
TITI CANDRA SUNARTI.
Lactic acid bacteria (LAB) has been widely used as a starter culture
because of their beneficial influences on nutritional, organoleptic, and shelf life
characteristics. They cause rapid acidification of the raw material through the
production of organic acids, mainly lactic acid. LAB are capable to inhibit
various microorganism in a food environment and display antimicrobial
properties with respect to improve food preservation and safety. The most
important factor for developing starter culture is the selection of production
media. Tofu whey (TW), a liquid by-product of tofu production is a good source of
organic compounds to support LAB growth. TW was used as a growth medium for
LAB. The TW used in this study contained soluble protein as the primary
compound. The aim of this study is to design the production process of LAB
starter for industrial sacle by using tofu whey as substrate, by examining the effect
of carbon source addition in some production scale.
This work was conducted in several stages, first stage was selection of
carbon source; sucrose and glucose, determining the concentration of carbon
source, and scaling up the production medium. TW was supplemented with the
carbon source used to grow the Pediococcus pentosaceus for 24 hours at 37 °C,
and without mechanical agitation. The results showed that in the carbon source
selection, it is found that glucose gives the higher number of LAB (4.5 × 108
CFU/mL) and maximum spesific groth rate (µmaks) (0.65 h-1), higher than TW with
sucrose, the number of LAB and µmaks reached 1.3×108 CFU/mL ; 0.37 h-1,
respectively. Based on these result, glucose was used as the best carbon source to
increase the growth of LAB. The next stage was determining glucose
concentration that will provide the maximum LAB number. Glucose concentration
variation at 1%; 2%; 5% and 10%, and the highest growth was at TW with 5%
glucose, where the number of LAB reached 1.4 × 1010 CFU/mL and µmaks is
found to be 0.91 h-1.
The next stage was scaling up the starter production with TW supplemented
with 5% of glucose. Fermentation were initially performed at scale 150 mL
medium, then scaling up to 500 mL and 1 L. The result showed a slight decreasing
in the number of LAB on each volume, from 1.10×1010 CFU/mL (150 mL),
1.09×1010 CFU/mL (500 mL) become 1.03×1010 CFU/mL (1 L); and decline in
spesific growth rate (µmaks) was found to be 0.91 h-1; 0.91 h-1; and 0.90 h-1,
respectively.
Keyword: Lactic acid bacteria, starter culture, tofu whey, Pediococcus
pentosaceus
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT
Pediococcus pentosaceus E.1222 MENGGUNAKAN SUBSTRAT
WHEY TAHU
YENI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan Pendidikan Strata S2 di
Program Studi Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor dengan tesis berjudul :
“Pengembangan Starter Bakteri Asam Laktat Pediococcus pentosaceus E.1222
Menggunakan Substrat Whey Tahu”.
Terima kasih dan rasa hormat penulis sampaikan kepada Prof Dr Anja
Meryandini, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Titi Candra Sunarti,
MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, saran, motivasi, waktu konsultasi, serta solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih atas hibah penelitian tahun 2014 a.n.
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat
terlaksana dengan baik. Juga terima kasih dan penghargaan yang tulus
disampaikan kepada Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MSi selaku penguji luar komisi,
Prof Khaswar Syamsu selaku wakil Program Studi atas kesediaan untuk menguji
dan masukan yang sangat bermanfaat.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof Dr Ir Suharsono, DEA
selaku Ketua Program Studi Bioteknologi IPB yang telah banyak memberikan
masukan dan bantuan demi kelancaran studi penulis. Tak lupa terima kasih
penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu demi
kelancaran pelaksanaan penelitian, yaitu Ibu Dewi Asnita dan rekan-rekan di
Laboratorium Bioteknolog Hewan (Nurleni, Anik, Novianty, Rahmi, Hamtini, Lia,
Ika, Wahyu, Teh Pipit).
Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis ucapkan kepada keluarga
besar, yaitu suami tercinta Brigpol Wahyu Gusti Riandi SE, anakku tersayang
Adzkhan Alifiandra Riandi, Ayah almarhum Mutiyan dan Ibuku Sri Hartini,
kedua mertua, serta adik-adikku Fenda, Yusuf, Maisa, terima kasih atas doa,
dukungan baik moril dan materil, kasih sayang, motivasi dan semangat yang
diberikan. Terima kasih untuk teman-teman seperjuangan di Sekolah Pascasarjana
Bioteknologi IPB angkatan 2012 serta seluruh pihak yang telah memberikan doa
dan dukungannya, penulis ucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Yeni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kultur Starter
Bakteri Asam Laktat
Limbah Cair Tahu
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Metode
Karakterisasi Bahan Baku
Penyiapan Kultur
Formulasi Media untuk Produksi Starter
Peningkatan Skala Produksi
HASIL PEMBAHASAN
Karakterisasi Bahan Baku
Formulasi Media untuk Produksi Starter
Pemilihan Sumber Karbon
Pengaruh Konsentrasi Sumber Karbon
Peningkatan Skala Produksi
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
ii
ii
1
1
3
3
3
3
4
6
6
6
6
7
7
8
8
9
9
15
21
26
26
DAFTAR TABEL
1 Komposisi kimia whey tahu
2 Komposisi kimia whey tahu hasil analisis proksimat
3 Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap parameter kinetika
pertumbuhan bakteri P. pentosaceus pada media perlakuan
4 Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap parameter kinetika pertumbuhan
bakteri P. pentosaceus pada media perlakuan
5 Pengaruh peningkatan skala produksi terhadap parameter kinetika
pertumbuhan bakteri P. pentosaceus pada media perlakuan
6
9
14
19
25
DAFTAR GAMBAR
1 Jalur fermentasi gula heksosa bakteri asam laktat
2 Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap jumlah BAL dan total
gula
3 Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap nilai total asam dan
nilai pH
4 Pengaruh variasi konsentrasi glukosa terhadap jumlah BAL dan total
gula
5 Pengaruh variasi konsentrasi glukosa terhadap nilai total asam dan nilai
pH
6 Pengaruh variasi rasio C/N terhadap nilai µmaks dan jumlah biomassa
7 Pengaruh peningkatan skala produksi terhadap jumlah BAL dan total
gula
8 Pengaruh peningkatan skala produksi terhadap nilai total asam dan nilai
pH
5
10
12
15
17
20
22
24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis karakteristik kimia whey tahu
2 Prosedur formulasi media kultur starter
3 Hasil analisis statistik
32
35
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kultur starter dalam industri fermentasi sangat penting diperhatikan karena
perannya untuk mengubah bahan baku menjadi produk yang diinginkan.
Penggunaan kultur starter industri pertama kali dilakukan di Denmark dan Jerman
pada tahun 1890 untuk industri pembuatan keju. Starter dalam fermentasi
digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan laju fermentasi sehingga proses
fermentasi menjadi lebih singkat, dapat mengendalikan atau mengontrol proses
fermentasi, dan mengurangi ketidakseragaman kualitas produk yang dihasilkan
(Kimaryo et al. 2000; Marcon et al. 2006). Hal yang sama juga disampaikan oleh
Leroy dan De Vuyst (2004) kultur starter adalah bahan yang mengandung
sejumlah besar mikroorganisme yang ditambahkan ke bahan baku untuk
menghasilkan makanan fermentasi dengan mempercepat dan mengarahkan proses
fermentasi tersebut. Pemilihan kultur starter dalam proses fermentasi sangat
menentukan mutu produk akhir yang dihasilkan. Menurut Stanbury dan Whitaker
(1984), kriteria yang digunakan dalam pemilihan kultur starter untuk fermentasi
antara lain harus dalam keadaan aktif sehingga dapat meminimalkan fase lag,
masih tetap aktif dengan viabilitas sel tinggi, bebas dari kontaminasi,
pertumbuhan cepat dan dapat dipertahankan stabilitasnya, mampu memproduksi
asam dan toleran terhadap asam, dan tidak sensitif terhadap fage.
Mikroorganisme yang biasa digunakan sebagai kultur starter adalah
khamir, bakteri, dan kapang. Menurut Holzapfel (1997) bakteri asam laktat
merupakan bakteri yang dominan terdapat pada produk pangan fermentasi karena
bakteri ini akan memulai proses pengasaman (fermentasi) secara cepat terhadap
bahan baku. Oleh karena itu pada industri fermentasi makanan, penambahan
kultur starter bakteri asam laktat sering dilakukan. Bakteri asam laktat merupakan
bakteri Gram positif, bersifat katalase negatif, toleran terhadap asam, mampu
menghasilkan asam laktat yang dapat berfungsi sebagai senyawa antimikrob dan
antifungi sebagai produk akhir fermentasi. Selain itu, bakteri ini juga
memproduksi asam asetat, komponen aroma, etanol, dan bakteriosin, sehingga
bakteri asam laktat mampu mengendalikan pertumbuhan bakteri patogen dan
bakteri pembusuk (Ogunbanwa et al. 2004; Dike dan Sani 2010). Beberapa
penelitian tentang penggunaan kultur starter BAL untuk fermentasi bahan
makanan antara lain; pembuatan sosis (Ammor dan Mayo 2006), fermentasi sayur
(pickles) (Panda et al. 2007), tapioka asam (Lacerda et al. 2006; Huch et al. 2008),
dan tepung sereal (Rathore et al. 2012; Brandt 2014).
Faktor penting dalam pengembangan kultur starter BAL adalah pemilihan
media kultur starter, yang harus mengandung nutrisi yang sesuai kebutuhan
bakteri dan harus cukup mirip dengan media produksi untuk meminimalkan waktu
adaptasi dari kultur starter, mengurangi fase lag dan waktu fermentasi. Pada skala
besar media kultur starter biasanya dibuat menggunakan sumber nutrisi yang
murah tetapi tetap dapat menghasilkan yield produk dan konsentrasi biomassa
yang maksimum dengan kualitas yang konsisten (Stanbury dan Whitaker 1984).
Pada skala kecil starter BAL dapat dibuat dengan menggunakan media
MRS (Mann Rogosa and Sharpe), namun penggunaan media tersebut pada skala
2
industri tidaklah efektif dikarenakan harga yang relatif tinggi. Media pengganti
yang harganya relatif murah namun mengandung sejumlah nutrisi penting yang
dapat menunjang pertumbuhan kultur starter menjadi perhatian. Salah satu media
alternatif pengganti yang dapat digunakan adalah limbah cair tahu (whey) karena
mengandung senyawa-senyawa organik, seperti N-organik (7.61%), gula total
(0.32%), gula reduksi (0.09%), dan mineral. Komponen nutrisi yang lengkap dari
whey tahu terutama kandungan proteinnya diharapkan sesuai sebagai sumber N
dan mineral untuk media starter bakteri asam laktat (Ghofar et al.2005; Yuwono
dan Sutopo 2008).
Pemanfaatan whey tahu sebagai media pertumbuhan BAL sudah banyak
dilakukan. Thi et al. (2003) melaporkan bahwa penggunaan whey tahu yang
mengandung stakiosa, rafinosa, sukrosa, fruktosa, dan glukosa; diperkaya dengan
ekstrak khamir, garam (fosfat, sitrat, magnesium, dan mangan), dan Tween 80
dapat menumbuhkan kultur Lactobaciullus paracasei ssp. Paracasei LG3 dengan
populasi 2.9 × 109 cfu/mL, sama dengan yang ditumbuhkan pada media MRS cair.
Tripathi (2014) mendapatkan bahwa populasi Lactobacillus casei yang tumbuh
pada medium MRS lebih tinggi jika dibandingkan dengan whey tahu tanpa
penambahan apapun. Penambahan ekstrak khamir, dan glukosa ke dalam whey
tahu menunjukkan populasi BAL yang lebih tinggi yaitu mencapai 1.7 × 109
CFU/mL. Kurniasari et al. (2011) mendapatkan bahwa P. acicilactici mampu
tumbuh pada media whey tahu dan penambahan sumber karbon berupa air kelapa
(konsentrasi 25% dan 50%) meningkatkan rasio pertumbuhan spesifik dari P.
acidilactaci.
Menurut Harmayani et al. 2009, whey tahu juga memiliki kelemahan
sebagai media pertumbuhan yaitu kadar gula reduksi yang rendah dan kadar gula
total yang tidak menacapai 1%. Untuk menutupi kelemahan tersebut maka
dilakukan penambahan sukrosa dan glukosa sebagai sumber karbon untuk
meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat. Campuran whey tahu dengan
sukrosa dan glukosa dapat digunakan sebagai alternatif media starter yang cukup
murah untuk skala industri.
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan isolasi BAL dari hasil
fermentasi spontan tepung jagung, bakteri ini mampu menghasilkan asam laktat
yang tinggi, mengasilkan bakteriosin, serta memiliki nilai OD yang paling tinggi
pada fase logaritmik. Bakteri ini teridentifikasi sebagai Pediococcus pentosaceus
(Rosyidah et al. 2013; Hamidah et al. 2015). P. pentosaceus toleran terhadap
asam dan pengembangan bakteri ini sangat penting karena kemampuannya
sebagai kultur starter untuk memfermentasi berbagai makanan seperti daging,
sayuran, dan keju. Selain itu pula bakteri ini sedang banyak diteliti karena
kemampuannya sebagai probiotik dan kemampuan dalam menghasilkan senyawa
antimikrob (bakteriosin), yang mana akan sangat berguna untuk industri
pengawetan makanan (Osmanagouglu et al. 2001; Hu et al. 2006; Jonganurakkun
et al. 2008)
Berdasarkan latar belakang tersebut, penerapan ilmu bioteknologi
memberikan peluang untuk bisa memanfaatkan potensi limbah organik untuk
media starter BAL sehingga memiliki nilai guna yang tinggi. Pertumbuhan BAL
yang tinggi dalam media whey tahu yang disuplementasi glukosa dan sukrosa
akan menjadi parameter untuk bisa menjadikannya sebagai salah satu alternatif
media yang murah sehingga menekan biaya produksi dalam skala industri.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merancang atau mendesain proses produksi
starter BAL untuk industri menggunakan substrat whey tahu, dengan mengkaji
pengaruh penambahan sumber karbon pada beberapa skala media.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya formula untuk media
starter skala industri menggunakan produk atau hasil samping pertanian sehingga
pengembangan starter akan menjadi lebih murah. Starter yang dihasilkan dari
formulasi media yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik dan kuantitas
yang tinggi sehingga dapat diaplikasikan pada skala industri.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1
2
3
Isolat BAL yang digunakan adalah P. pentosaceus (E.1222) yang merupakan
isolat yang diperoleh dari fermentasi jagung secara spontan
Whey tahu yang digunakan berasal dari pabrik tahu dengan pengolahan
tradisional.
Pengembangan starter dilakukan pada kondisi suhu 37 °C tanpa adanya agitasi
TINJAUAN PUSTAKA
Kultur Starter
Kultur starter adalah mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi
untuk memperoleh bentuk atau cita rasa tertentu produk (Leroy dan Vuyst 2004).
Rahman et al. (1992) menyatakan bahwa starter merupakan bagian penting dalam
pembuatan makanan fermentasi. Menurut Stanbury dan Whitaker (1984)
mikroorganisme yang biasa digunakan sebagai kultur starter adalah khamir,
bakteri, kapang. Syarat mikroorganisme sebagai kultur starter adalah pertumbuhan
sel yang cepat dan viabilitas sel yang tinggi, memiliki fase lag yang pendek, bebas
dari kontaminasi, dan tidak sensitif terhadap fage.
Pengembangan kultur starter untuk makanan fermentasi sekarang ini lebih
diutamakan dengan cara mendesain daripada mencari (screening). Prinsip desain
ini didasarkan atas pengetahuan terhadap metabolisme bakteri dan interaksi
fisiologinya pada produk makanan. Tipe-tipe makanan fermentasi yang biasa
menggunakan kultur starter adalah bir (khamir), wine (khamir dan BAL), roti
(khamir dan bakteri asam laktat), kecap (kapang dan bakteri asam laktat), kimchi
(BAL), sosis fermentasi (BAL), susu fermentasi (BAL), keju (BAL dan khamir)
(Hansen 2002).
Menurut Leroy dan De Vuyst (2004) dan Holzapfel (1997; 2002), BAL
merupakan bakteri yang paling dominan yang terdapat dalam makanan fermentasi.
4
Leroy dan De Vuyst (2004) menyatakan, belakangan ini, kultur starter BAL dalam
industri telah dikembangkan. Peranan BAL ini nantinya akan berkontribusi pada
keamanan mikrobial, organoleptik, teknologi, nutrisi dan keuntungan kesehatan.
Peranannya ini terkait dengan kemampuannya menghasilkan substansi anti
mikrob, polimer gula, pemanis, senyawa aromatik, atau senyawa probiotik.
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang termasuk ke dalam
filum firmicute. Menurut Hofvendahl dan Hahn-Hagerdal (2000), BAL
merupakan bakteri Gram positif, bersifat mikroaerofilik, katalase negatif,
berbentuk kokus atau batang dan tidak berspora, memiliki sifat toleran terhadap
asam dan dapat bertahan pada pH 5 dan lebih rendah. Sebagai tambahan pula suhu
optimal untuk pertumbuhan berbagai genus mulai dari 20 sampai 45 oC.
Soudergard dan Stolt (2002) menyatakan sifat terpenting dari BAL adalah
kemampuannya untuk mengubah gula heksosa menjadi asam laktat. BAL dapat
memproduksi asam laktat dan metabolit lain yang bersifat antibakteri sehingga
pertumbuhan mikroorganisme lain dapat dihambat.
Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu homofermentatif dan heterofermentatif (Davidson et al. 1983). Kelompok
homofermentatif selama metabolisme sel yang difermentasi adalah gula heksosa
dan yang dihasilkan adalah asam laktat dalam jalur Embden-Mayerhorf-Parnas
(EMP), dan tidak memfermentasikan pentosa atau glukonat. Jalur
homofermentatif dapat dilihat pada Gambar 1. BAL homofermentatif sering
digunakan untuk pengawetan makanan, karena produksi asam laktat dalam jumlah
tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Fermentasi oleh
bakteri heterofermentatif akan memecah glukosa menjadi asam laktat dan
senyawa lain seperti CO2, etanol, asetaldehid, diasetil, dan senyawa lainnya. Gula
Pentosa lalu diubah menjadi asam laktat dan asam asetat melalui jalur Pentosa
Fosfat. Jalur heterofermentatif dapat dilihat pada Gambar 1.
Pediococcus pentosaceus
P. pentosaceus termasuk ke dalam Genus Pediococcus yang merupakan
bakteri Gram positif. Bakteri pada genus ini adalah BAL satu-satunya yang bisa
membagi tubuhnya tegak lurus secara langsung membentuk tetrad. Sel bakteri ini
dalam bentuk tunggal berbentuk sperikal dengan ukuran diameter 0.6 – 1.0 µm.
Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif sampai mikroaerofilik, tidak bergerak, dan
tidak berspora (Schlegel, 1993; Holzapfel dan Wood 2012).
Nama bakteri ini merupakan berasal dari bahasa Latin, berasal dari kata
pentosum, yang artinya pentosa. Pentosaceus artinya “yang berhubungan dengan
pentosa”. Bakteri ini tumbuh dengan baik pada pH 4.5-8 dengan suhu maksimum
39-45 °C, berbeda dengan jenis Pediococcus lainnya, bakteri ini lebih tidak tahan
panas. Kemampuan memfermentasi maltosa dan tumbuh pada media dengan suhu
yang lebih rendah merupakan faktor yang membedakan bakteri dengan P.
acidilactici. Kurangnya kemampuan untuk memfermentasi sukrosa dan melizitosa
dan kemampuannya menghidrolisis arginin memisahkan bakteri ini dengan jenis
Pediococcus lainnya (Holzapfel dan Wood 2012). Ditambahkan oleh Ray (1995)
bahwa sebagian besar strain bakteri ini mampu memferentasi glukosa, ribosa,
5
galaktosa, arabinosa, dan fruktosa menjadi DL-laktat. Sedikit strain mampu
memfermentasi laktosa dan xylosa. Gula heksosa diangkut ke dalam sel oleh P.
pentosaceus menggunakan system fosfoenolpiruvat: fosfotransferase melalui jalur
EMP (glikolisis). P. pentosaceus mampu tumbuh pada media yang mengandung
sedikit glukosa dan menghasilkan DL-laktat dari fermentasi glukosa. P.
pentosaceus dalam metabolismenya juga memproduksi beberapa senyawa selain
asam laktat, seperti campuran asetat dan laktat dari metabolisme gula pentosa
(Holzapfel dan Wood 2012). P. pentosaceus membentuk D(-) dan L(-) laktat dari
glukosa, selain itu mengubah asam malat menjadi L(+)-laktat. P. pentosaceus
mampu menggunakan substrat gliserol ketika ada oksigen dan dapat memproduksi
asam laktat, asam asetat, asetonin dan CO2 (Dobrogosz dan Stone 1962).
Beberapa strain dari P. pentosaceus bisa digunkan sebagai starter kultur
pada berbagai proses fermentasi termasuk fermentasi sosis kering (Raccach 1987;
Ho et al. 2009), fermentasi susu kedelai, fermentasi timun dan kacang hijau
(Kimura et al. 1997; Raccach 1987; Ray 1995). Beberapa strain diketahui pula
mampu menghasilkan senyawa antimikrob (pediocin) (Bagenda et al. 2008;
Kimura et al. 1997; Kobayashi et al. 2009; Papagianni dan Anastasiadou 2009),
senyawa aromatik (Escamilla-Hurtado et al. 2005).
Gambar 1. Jalur utama fermentasi gula heksosa pada bakteri asam laktat
(Holzapfel dan Wood 2012)
6
Limbah Cair Tahu (Whey)
Limbah cair tahu (whey) merupakan air sisa penggumpalan tahu pada
waktu pembuatannya.Di dalam whey tahu masih terdapat sisa protein yang tidak
menggumpal dan zat-zat lain yang larut dalam air, termasuk lesitin dan
oligosakarida (Hariyadi 2002). Whey tahu yang tidak dimanfaatkan akan dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan karena membusuknya senyawa-senyawa
organik tersebut, sedangkan pemanfaatannya masih sangat terbatas (Hariyadi
2002). Bahan-bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu adalah protein
(40-60%), karbohidrat (25-50%), dan lemak (10%) (Rossiana 2006).
Whey tahu diharapkan masih mengandung protein terlarut dan terdispersi
dalam air yang tidak tergumpalkan pada proses pembuatan tahu, serta berbagai
mineral yang dibutuhkan untuk menumbuhkan mikroba. Komposisi whey tahu
dapat dilihat padaTabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia limbah cair tahu
Komponen
Gula reduksi
Nitrogen
Zat padatan total
Fosfat
pH
Jumlah
1,40%
7,61%
4,550 mg/L
0,6 mg/L
5,0
Sumber : Choirunnisa (2001)
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Februari 2015
di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Sumber
Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (PPSHB IPB).
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi whey tahu yang
diambil dari pabrik tahu yang berada di Pasar Cibeureum, BAL yang digunakan
adalah isolat lokal Pediococcus pentosaceus E.1222, media MRS (Merck),
sukrosa teknis, glukosa teknis, akuades, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH,
H2BO3, fenol 5%, indikator fenolfthalein.
Metode
Karakterisasi Bahan Baku
Karakterisasi komposisi kimia whey tahu dengan analisis proksimat
dengan metode AOAC (1995) meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, serat
7
kasar, protein kasar, karbohidrat by difference. Pengukuran pH dan kadar gula
total dengan metode fenol-H2SO4 (Dubois et al. 1956). Pengukuran total C
metode oksidasi kromat-sulfat. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.
Penyiapan Kultur
Penyegaran dan Propagasi Kultur. Kultur stok disiapkan dengan membuat
media campuran 40 mL media MRS cair dan 10 mL larutan gliserol. 800 µL
media tadi dicampur dengan 200 µL bakteri P. pentosaceus pada tube eppendorf
steril, dan dengan segera diletakkan pada freezer. Kultur stok bakteri sebanyak 1
mL diinokulasikan ke dalam 9 mL media MRS steril dan diinkubasi pada suhu
37 °C selama 24 jam.
Propagasi kultur dilakukan pada media campuran 80 mL MRS dengan 20
mL whey tahu, yang kemudian dipisahkan ke dalam tabung ulir berisi 9 mL media
propagasi. Sterilisasi dilakukan pada suhu 121 °C selama 15 menit. Bakteri P.
pentosaceus hasil peremajaan diinokulasikan sebanyak 1 mL kedalam 9 mL
media propagasi dan diinkubasi pada suhu 37 °C sampai fase logaritmik tertinggi
(5-6 jam fermentasi, penentuan fase logaritmik berdasarkan hasil pengukuran OD
dan penghitungan jumlah koloni dengan TPC).
Formulasi Media untuk Produksi Starter
Formulasi media ditentukan berdasarkan persentase sumber karbon yang
dapat menghasilkan biomassa sel yang tinggi yaitu 2-5% (Kobayashi et al. 2009).
Pemilihan Sumber Karbon. Percobaan dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 3 perlakuan dan 3 kali ulangan,
sebagai berikut :
Perlakuan 1 : media whey tahu tanpa suplementasi (WT) (rasio C/N 0.3)
Perlakuan 2 : media WT + glukosa 1% (rasio C/N 1.43)
Perlakuan 3 : media WT + sukrosa 1% (rasio C/N 1.50)
Semua media yang digunakan dilakukan pengaturan pH 6 sebelum
dilakukan sterilisasi selama 15 menit pada suhu 121 °C. Percobaan dilakukan
menggunakan botol Duran 200 mL dengan volume kerja 150 mL. Media
diinokulasikan dengan bakteri P. pentosaceus (10%) dan diinkubasi pada suhu
37 °C selama 24 jam dan pertumbuhan diamati setiap satu jam selama sepuluh
jam. Parameter yang diamati antara lain jumlah sel bakteri dengan metode TPC
(total plate count), nilai total gula, nilai total asam tertitrasi, dan parameter
kinetika (µmaks, Ks, Yp/s, dan Yx/s). Prosedur analisis dan perhitungan parameter
kinetika disajikan pada Lampiran 2. Parameter utama yang digunakan sebagai
dasar untuk pengembangan starter tahap selanjutnya adalah perlakuan media yang
memberikan jumlah BAL tertinggi dan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum
(µmaks). Data yang diperoleh pada jam ke-24 dianalisis menggunakan analysis of
variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan α = 5%.
Pengaruh Konsentrasi Sumber Karbon. Dari tahapan penelitian sebelumnya
didapatkan bahwa sumber karbon terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan BAL
adalah media WT+glukosa. Pada tahap ini percobaan didisain dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 6 perlakuan dan
3 kali ulangan, sebagai berikut :
8
Perlakuan 1 : media WT + glukosa 1% (rasio C/N 1.43)
Perlakuan 2 : media WT + glukosa 2% (rasio C/N 2.85)
Perlakuan 3 : media WT + glukosa 5% (rasio C/N 7.14)
Perlakuan 4 : media WT + glukosa 10% (rasio C/N 14.85)
Perlakuan 5 : media WT (kontrol negatif)
Perlakuan 6 : media MRS broth (kontrol positif)
Percobaan dilakukan menggunakan botol Duran 200 mL dengan volume
kerja 150 mL.Media diinokulasikan dengan bakteri P. pentosaceus (10%) dan
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam dan pertumbuhan diamati setiap satu
jam selama sepuluh jam. Parameter yang diamati antara lain jumlah sel bakteri
dengan metode TPC (total plate count), nilai total gula, nilai total asam tertitrasi,
dan parameter kinetika (µmaks, Ks, Yp/s, dan Yx/s). Prosedur analisis selengkapnya
disajikan pada Lampiran 2. Parameter utama yang digunakan sebagai dasar untuk
pengembangan starter tahap selanjutnya adalah perlakuan media yang
memberikan jumlah BAL tertinggi dan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum
(µmaks). Data yang diperoleh pada jam ke-24 dianalisis menggunakan analysis of
variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan α = 5%.
Peningkatan Skala Produksi
Peningkatan skala dilakukan dengan cara cascade (bertahap) menggunakan
formulasi media terbaik yang didapat pada tahap sebelumnya (WT + glukosa 5%).
Percobaan dilakukan menggunakan desain percobaan RAL yang terdiri atas 3
perlakuan dan 3 kali ulangan.
Perlakuan 1 : skala media 150 mL
Perlakuan 2 : skala media 500mL
Perlakuan 3 : skala media 1 L
Media diinokulasikan dengan bakteri P. pentosaceus (10%) dan diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 24 jam dan pertumbuhan diamati setiap satu jam selama
24 jam. Parameter yang diamati antara lain jumlah sel bakteri dengan metode TPC
(total plate count), nilai total gula, nilai total asam tertitrasi, dan parameter
kinetika (µmaks, Ks, Yp/s, dan Yx/s), dengan prosedur analisis seperti tersaji pada
Lampiran 2. Data yang diperoleh pada jam ke-24 dianalisis menggunakan analysis
of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan α = 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteritik Bahan Baku
Whey merupakan limbah cair yang dikeluarkan oleh industri pengolahan
kedelai menjadi tahu. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa whey tahu dapat
digunakan untuk media pertumbuhan BAL (Tabel 2) karena mengandung
sejumlah bahan organik yang dapat menunjang pertumbuhan BAL, khususnya
protein. Sejalan dengan beberapa penelitian yang memanfaatkan whey tahu
sebagai media pertumbuhan BAL (Thi et al. 2003; Ben-Ounis et al. 2007;
Harmayani et al. 2009; Yuwono dan Hadi 2008; Yuwono dan Kokugan 2009;
Kurniasari et al.2011; Tripathi 2014; Tripathi et al. 2014).
9
Jumlah total gula dan protein yang terkandung didalam whey tahu tidak
berbeda jauh dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Harmayani et al. (2009),
yaitu sebesar 0.32%, sementara jumlah protein sangat kecil hanya mencapai
0.20% bk. Kadar gula total whey tahu tidak mencapai 1% merupakan kelemahan
utama dari media ini. Oleh karena itu, untuk memperoleh pertumbuhan sel bakteri
yang optimal perlu dilakukan penambahan sumber karbon. Sejalan dengan
Harmayani et al. (2009) yang mengungkapkan bahwa whey tahu sebagai media
fermentasi memiliki kelemahan yaitu kadar gula reduksi yang rendah dan kadar
gula total yang tidak mencapai 1%, sehingga perlu dilakukan penambahan sumber
karbon lain untuk menunjang pertumbuhan bakteri.
Tabel 2. Komposisi kimia whey tahu
Komponen
Kadar air
Kadar abu
Lemak kasar
Protein kasar
Serat kasar
Karbohidrat (by difference)
pH
Total gula
Rasio C/N
Jumlah (%bb)
98.02
0.11
0.11
1.75
0.003
0.01
4.05
0.26
0.3
% bk
5.55
5.55
88.38
0.15
Penambahan sumber karbon dilakukan untuk meningkatkan produksi
biomassa BAL. Glukosa berperan sebagai aseptor elektron terakhir yang
menyebabkan terbentuknya senyawa produk akhir fermentasi yang stabil. Glukosa
dimetabolisme oleh BAL menjadi asam piruvat melalui jalur Embden-Mayerhof
untuk kemudian direduksi menjadi asam laktat melibatkan enzim laktase
dehidrogenase menggunakan kelebihan NADH. Tingginya pertumbuhan BAL
akan sejalan dengan tingginya asam laktat yang dihasilkan pada media fermentasi.
Formulasi Media untuk Produksi Starter
Syarat yang diperlukan untuk memformulasi media starter menurut
Stanbury dan Whitaker (1984) antara lainmedia menggunakan sumber nutrisi
yang murah dan kualitas yang konsisten serta tersedia sepanjang tahun; dapat
memproduksi yield produk dan biomassa maksimum per substrat yang
dikonsumsi; dapat memproduksi konsentrasi produk dan biomassa yang
maksimum; dapat menghasilkan laju pembentukan produk maksimum; dan dapat
meminimalkan produk yang tidak diinginkan
Pemilihan Sumber Karbon
Tahapan ini dilakukan untuk menyeleksi sumber karbon terbaik untuk
meningkatkan pertumbuhan BAL. Pemilihan glukosa dimaksudkan untuk
mensubtitusi sumber karbon pada media MRS, seperti diketahui bahwa didalam
MRS terkandung glukosa sebesar 20 g/L. Sukrosa dipilih karena gula utama yang
terkandung di dalam whey tahu adalah sukrosa (Thi et al. 2003), penambahan
sukrosa diharapkan mampu lebih meningkatkan pertumbuhan BAL. Pengaruh
10
9
Total gula (mg/mL)
Jumlah BAL (log CFU/mL)
penambahan sumber karbon dengan jenis yang berbeda terhadap jumlah BAL dan
konsumsi gula dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
8
7
6
5
35
30
25
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (a)
Waktu Inkubasi (Jam) (b)
Gambar 2. Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap pertumbuhan P.
pentosaceus. (a) Jumlah P. pentosaceus, (b) total gula pada media
whey tahu (─●─), disuplementasi dengan glukosa (─■─), dan
sukrosa (─∆─) yang diinkubasi 24 jam suhu 37 °C, pH 6.
Jumlah BAL pada ketiga media perlakuan menunjukkan peningkatan
(Gambar 2a) seiring dengan meningkatnya waktu fermentasi. Hal ini, sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Sun et al. (2010) bahwa perbedaan jumlah
mikroba ditentukan oleh lama fermentasi dan ketersediaan nutrisi. Hasil analisis
sidik ragam (ANOVA) terhadap jumlah BAL didapatkan bahwa penambahan
sumber karbon pada media whey tahu memberikan pengaruh terhadap jumlah
BAL dan hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa jumlah BAL di ketiga media
berbeda nyata (P<0,05) (Lampiran 3a). Jumlah BAL tertinggi terdapat pada media
WT + 1% glukosa, yaitu mencapai 4.5 × 108 CFU/mL dan diikuti dengan media
WT + 1% sukrosa (1.3 × 108 CFU/mL) dan media WT (6.4 × 107 CFU/mL).
Tingginya jumlah BAL pada media WT + 1% glukosa karena perbedaan aktivitas
yang ditimbulkan oleh perbedaan proses fermentasi yang terjadi akibat perbedaan
struktur molekul kedua sumber karbon yang digunakan. Glukosa sebagai
monosakarida merupakan senyawa yang langsung dapat digunakan secara penuh
oleh bakteri P. pentosaceus dalam metabolismenya. Ditambahkan oleh Goderska
et al. (2008) glukosa merupakan sakarida termudah untuk dimetabolisme bakteri.
Glukosa dalam metabolismenya langsung dapat memasuki sel. Masuknya glukosa
ke dalam sel dengan melewati membrane sitoplasma sel melali system transport
aktif yang dikenal dengan system pospoenol piruvat (PEP). Pada system tersebut
molekul protein bertindak sebagai pembawa yang memberikan gugus fosfat dari
PEP ke molekul glukosa selama transportasi. Molekul glukosa yang sudah diubah
tersebut tidak lama berikatan dengan sisi aktif molekul protein pembawa, terlepas
dan terakumulasi dalam sel (Wang et al. 1978; Bailey dan Oilis 1986).
Metabolisme sukrosa yang merupakan disakarida harus melalui tahap yang
lebih panjang lagi, yaitu mula-mula harus diubah menjadi sukrosa 6-fosfat agar
dapat memasuki sel, selanjutnya di dalam sel sukrosa dihidrolisis atau inversi
menjadi glukosa 6-fosfat dan fruktosa untuk selanjutnya mengikuti lintasan
glikolisis yang umum. Pada glikolisis tersebut, enzim-enzim yang ada akan
11
mengoksidasi glukosa, sehingga akan dihasilkan energi yang akan digunakan oleh
bagian sel lain serta memecah glukosa menjadi molekul yang lebih kecil yang
akan digunakan sebagai senyawa awal pembentukan senyawa penting lain
(Chesworth et al. 1998).
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Kobayashi et al. (2009) melaporkan bahwa glukosa dan maltosa
adalah sumber karbon terbaik untuk produksi pediocin Iz3.13 oleh bakteri P.
pentosaceus Iz3.13 dengan menghasilkan aktivitas tertinggi sebesar 512.6 AU/
mL. Araya-Cloutier et al. (2012) juga melaporkan bahwa berdasarkan proses
metabolisme L. casei subs. rhamnosus pada media ampas nanas, glukosa adalah
sumber karbon pertama yang dimetabolisme lebih dulu, yang kemudian diikuti
dengan fruktosa, sementara metabolisme sukrosa dilakukan setelah lima jam
waktu fermentasi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Chan-Blanco (2003),
bakteri L. casei yang difermentasi pada media pisang yang disuplementasi
beberapa sumber karbon (glukosa, fruktosa, sukrosa) tidak memetabolisme
sukrosa pada awal waktu fermentasi, bakteri hanya memanfaatkan glukosa dan
fruktosa. Sukrosa baru dimetabolisme oleh bakteri setelah empat jam fermentasi.
Jumlah BAL yang rendah (6.4 × 107 CFU/mL) pada media WT disebabkan
karena sumber karbon yang terdapat dalam media berada dalam jumlah yang
sedikit. Sejalan dengan yang dilakukan oleh Thi et al. (2003) bahwa media whey
tahu tanpa suplementasi menghasilkan pertumbuhan bakteri L. paracasei ssp.
paracasei yang lebih rendah dibandingkan dengan whey tahu dengan
suplementasi. Namun demikian, kandungan protein whey tahu dapat
dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan yang baik untuk bakteri.
BAL pada media WT + glukosa 1%, mengalami 4 fase pertumbuhan
(Gambar 2a). Fase lag (jam ke-0 sampai jam ke-4), fase log (jam ke-4 sampai jam
ke-7), fase pertumbuhan lambat (jam ke-7 sampai jam ke-9), dan fase stasioner
(jam ke-10 sampai jam ke-24). Fase lag (fase adaptasi) terjadi cukup panjang
dikarenakan media yang digunakan pada perlakuan berbeda dengan media pada
penyegaran dan bukan merupakan media sintesis kompleks (MRS), sehingga
dengan jumlah nutrisi yang minimum pada media whey tahu, bakteri P.
pentosaceus membutuhkan fase adaptasi yang lebih lama untuk dapat tumbuh.
Menurut Yuliana (2010) jika mikroba dipindahkan ke dalam suatu media mulamula akan mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan sekitarnya. Bakteri P. pentosaceus menunjukkan fase logaritmik pada
jam ke-4, fase ini dicirikan dengan adanya pertumbuhan sel bakteri yang
signifikan, namun jika dibandingkan dengan media WT dan WT + sukrosa 1%
peningkatan jumlah BAL tidak signifikan (Gambar 2a).
Pada media WT dan media WT + sukrosa 1%, bakteri P. pentosaceus
mengalami fase percepatan yaitu pada jam ke-4 sampai jam ke-6, dimana pada
jam ke-7 baru memasuki fase logaritmik. Sementara pada media WT + glukosa
1%, bakteri P. pentosaceus tidak mengalami fase percepatan, tetapi langsung
memasuki fase logaritmik pada jam ke-4. Pada ketiga media perlakuan fase
stasioner bakteri P. pentosaceus terjadi relatif panjang (jam ke-9 sampai jam ke24). Fase stasioner ditandai dengan jumlah BAL yang relatif tetap. Hal yang sama
terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Mercier et al. (2004), L. amylophylus
mengalami fase stasioner yang relatif panjang pada fermentasi asam laktat pada
substrat glukosa 2%.
12
2.5
6
2
5.5
1.5
pH
Nilai Total Asam (mg/mL)
Peningkatan BAL pada setiap waktu fermentasi diikuti dengan penurunan
nilai total gula sejalan dengan meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 2b).
Penambahan sumber karbon dengan jenis yang berbeda diketahui berpengaruh
terhadap nilai total gula pada media dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
perbedaan nyata pada tiap perlakuan (P<0.05) (Lampiran 3a). Hasil pengukuran
diketahui bahwa nilai total gula yang terkandung pada media WT sangat rendah
pada awal fermentasi, yaitu 7.77 mg/mL. Media WT + glukosa 1%, nilai total
gula mencapai 30.29 mg/mL dan media WT + sukrosa 1% mencapai 29.66
mg/mL pada awal fermentasi. Penurunan nilai total gula sangat signifikan terjadi
pada media WT + glukosa 1% pada fase logaritmik (37% dari nilai total gula
awal), hal ini dikarenakan bakteri P. pentosaceus tumbuh dengan cepat dan
konstan pada fase ini sehingga bakteri akan memanfaatkan nutrisi yang lebih
tinggi untuk dapat tumbuh.
Hasil pengukuran total gula pada media WT + glukosa 1%, bakteri P.
pentosaceus mampu mengkonsumsi gula sebesar 60.81% pada akhir proses
fermentasi. Sementara pada media WT + sukrosa 1% dan WT, gula yang berhasil
dikonsumsi bakteri P. pentosaceus sebesar 47.33% dan 47.52% gula pada akhir
proses fermentasi (Tabel 3). Nilai total gula yang signifikan menurun pada media
WT + glukosa 1% dipengaruhi pula oleh jumlah bakteri P. pentosaceus yang
tinggi jika dibandingkan dengan kedua media lainnya, oleh karena itu semakin
banyak substrat gula yang dirombak menjadi asam organik. Busairi (2010)
menyatakan bahwa peningkatan jumlah total gula yang difermentasi (nilai total
gula menurun) sejalan dengan meningkatnya jumlah bakteri yang tumbuh pada
media fermentasi.
Substrat gula yang dikonsumsi pada media digunakan oleh bakteri untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan sel, serta pembentukan asam laktat. Pembentukan
asam laktat pada media dapat dilihat dengan pengukuran nilai total asam dan nilai
pH media pada Gambar 3a dan 3b.
1
5
4.5
0.5
0
4
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (a)
Waktu Inkubasi (Jam) (b)
Gambar 3. Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap (a) nilai total asam dan
(b) pH media. Media whey tahu (─●─), disuplementasi dengan glukosa
1% (─■─), dan sukrosa 1% (─∆─) yang diinkubasi 24 jam suhu 37 °C,
pH 6.
Bakteri P. pentosaceus merupakan bakteri homofermentatif dimana bakteri
ini hanya menghasilkan asam laktat sebagai produk fermentasi. Pembentukan
13
asam laktat pada bakteri homofermentatif melalui jalur Embden-Mayerhof dimana
akan menghasilkan 2 mol asam piruvat, 2 mol ATP, dan 2 mol NADH.
Selanjutnya asam piruvat akan direduksi menjadi asam laktat dengan bantuan
enzim laktat dehidrogenase. NADH dihasilkan dari oksidasi gliseraldehid 3-fosfat
menjadi 1,3 bifosfogliserat. Bakteri homofermentatif memiliki kemampua untuk
menghasilkan enzim fruktobifosfat aldolase yang akan mengkatalis konversi 1
mol fruktosa-1,6 bifosfat menjadi 2 mol gliseraldehid 3-fosfat. Kemampuan
bakteri dalam menghasilkan enzim aldolase yang membedakan dengan bakteri
heterofermentatif.
Pada awal pembuatan media fermentasi pH whey tahu diatur hingga
mencapai pH 6, hal ini dimaksudkan untuk menyamakan pH media sintesis
kompleks (MRS) yang memiliki pH 6 ± 0.2. Selain itu juga bakteri P. pentosaceus
optimal tumbuh pada kisaran pH media 5–6, dan toleran terhadap pH 4.5 dan 7.5
(Bagenda et al. 2008). Hasil pengukuran terhadap nilai total asam tertitrasi dan
nilai pH diketahui bahwa total asam semakin meningkat dan diikuti penurunan
nilai pH sejalan dengan meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 3). Pada
perlakuan dengan media WT + 1% glukosa, media memiliki pH yang lebih rendah
(4.4) dan nilai total asam yang lebih tinggi (2.34 mg/mL) pada akhir waktu
fermentasi jika dibandingkan dengan media WT (4.8 dan 1.3 mg/mL) dan media
WT + sukrosa 1% (4.85 dan 2.2 mg/mL).
Media WT + glukosa 1% memberikan nilai total asam tertinggi (2.34
mg/mL) yang bisa dilihat pada Gambar 3(a). Kondisi ini disebabkan karena media
tersebut memiliki jumlah bakteri P. pentosaceus paling tinggi dibanding kedua
media lainnya (Gambar 2a) dan memiliki kandungan gula yang paling bisa
dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, sehingga dalam proses fermentasi gula
(glukosa) tersebut akan dimetabolisme dengan baik oleh bakteri P. pentosaceus
untuk pertumbuhan dan pembentukan asam laktat.
Penurunan pH dan kenaikan nilai total asam pada media fermentasi
disebabkan karena aktivitas BAL sehingga terjadi akumulasi asam laktat (Yuliana
2010; Greppi et al 2013). Penurunan pH dan peningkatan nilai total asam pada
media fermentasi ini sangat menguntungkan karena dapat menghambat beberapa
mikroba patogen (Makras dan De Vuyst 2006). Asam laktat merupakan asam nonvolatil yang umum terdapat pada media fermentasi. Jumlah BAL yang
ditambahkan sebagai starter berkontribusi menambah jumlah asam laktat yang
dihasilkan, oleh karena itu semakin banyak jumlah BAL maka akan semakin besar
nilai total asam. Sesuai dengan Busairi (2010) produksi asam pada media
fermentasi tergantung pada pertumbuhan organisme dan kemampuannya dalam
memfermentasi karbohidrat.
Bakteri P. pentosaceus yang digunakan pada penelitian ini mampu tumbuh
pada tiga variasi media whey tahu yang digunakan sebagai perlakuan. Kinetika
pertumbuhan bakteri adalah sebuah pengaturan hubungan antara pertumbuhan
biomassa, penggunaan substrat dan produk yang dihasilkan. Data kinetika yang
diperoleh pada skala kecil nantinya dapat digunakan untuk proses penggandaan
skala (scale up) (Palaniraj dan Nagarajan 2012). Data parameter kinetika yang
diperoleh pada penelitian ini antara lain; µmaks, Ks, Yp/s, dan Yx/s dan dapat dilihat
pada Tabel 3.
14
Tabel 3. Pengaruh penambahan sumber karbon terhadap parameter kinetika
pertumbuhan bakteri P. pentosaceus
Substrat
Rasio
C/N
Nmax
(Log
CFU/mL)
µmax
Yp/s
-1
(Jam ) (g produk
/g substrat)
Yx/s
(CFU/mg)
Ks
Efisiensi
(g/L) substrat
(%)
WT
WT+
glukosa 1%
WT+
sukrosa 1%
0.3
1.43
7.81c
8.65a
0.36
0.65
0.38
0.07
1.41
0.36
0.012
0.022
47.33
60.81
1.50
8.12b
0.37
0.14
0.36
0.01
47.52
Berdasarkan data parameter kinetika pertumbuhan bakteri yang diperoleh
(Tabel 3), jumlah BAL sejalan dengan nilai µmaks yang diperoleh. Media WT +
glukosa 1% memiliki nilai µmaks tertinggi yang mencapai 0.65 jam-1. Hal ini
berbeda jauh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Thi et al. (2003) yang
mendapatkan nilai µmaks bakteri L. paracasei ssp. paracasei yang tumbuh pada
media whey tahu yang mengandung glukosa hanya mencapai 0.36 jam-1.
Tingginya nilai µmaks pada media WT + glukosa 1% dikarenakan bakteri P.
pentosaceus mampu memfermentasi glukosa lebih cepat sehingga pertumbuhan
sel juga meningkat cepat. Yeh et al. (2008) menyatakan bahwa glukosa
merupakan monosakarida yang paling baik dimanfaatkan oleh bakteri
Pediococcus.
Nilai µmaks pada media WT + sukrosa 1% dan media WT tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti, yaitu 0.37 jam-1 dan 0.36 jam-1. Nilai µmaks yang diperoleh
pada media WT + 1% sukrosa ini hampir sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Thi et al. (2003) dimana pada media whey tahu yang mengandung
sukrosa bakteri L. paracasei ssp. paracasei hanya mampu mencapai nilai µmaks
sebesar 0.30 jam-1. Ben-Ounis et al. (2008) memperoleh nilai µmaks pada bakteri L.
plantarum yang tumbuh pada media DSTW (demineralized skimmed tofu whey)
sebesar 0.14 jam-1. Rendahnya nilai µmaks yang diperoleh pada media WT + 1%
sukrosa mengindikasikan bahwa bakteri P. pentosaceus tidak cukup baik dalam
memfermentasi gula (sukrosa) yang terkandung dalam media. Hasil yang
diperoleh ini juga dapat dijadikan dasar bahwa pemanfaatan sukrosa mungkin
akan lebih baik jika dilakukan induksi menggunakan enzim β-fructofuronidase
(invertase).
Penurunan nilai laju pertumbuhan karena menipisnya substrat, dapat
digambarkan dengan hubungan antara laju pertumbuhan spesifik (µ) dan
konsentrasi substrat pertumbuhan (s) sehingga didapatkan nilai Ks (konstanta
saturasi). Nilai Ks yang diperoleh di ketiga media perlakuan pada penelitian ini
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai Ks oleh bakteri P. pentosaceus
pada penelitian Boontawan et al. (2011) yang mencapai 0.23 g/L. Rendahnya nilai
Ks artinya bahwa organisme memiliki afinitas yang tinggi terhadap substrat,
sehingga laju pertumbuhan tidak akan terpengaruh sampai konsentrasi substrat
menurun sampai tingkat yang paling rendah (Standbury dan Whittaker 1983).
Pramono et al. (2003) juga menambahkan bahwa semakin rendah nilai Ks akan
semakin baik.
15
Secara umum substrat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhan biomassa, pemeliharaan sel dan menghasilkan produk berupa asam
laktat (Yuliana 2010). Hasil perhitungan yield asam laktat yang dihasilkan per
substrat glukosa yang terkonsumsi (Yp/s) selama fermentasi tertinggi dicapai BAL
pada media WT tanpa suplementasi (Tabel 3), artinya bahwa efisiensi penggunaan
substrat membentuk asam laktat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedua
media lainnya. Hal ini dikarenakan BAL memanfaatkan nutrien yang terkandung
di dalam WT secara maksimal, dan ditambahkan oleh Thi et al. (2003) bahwa WT
mengandung nutrien yang baik dan siap digunakan oleh bakteri untuk tumbuh
namun masih membutuhkan pengayaan untuk bisa menghasilkan pertumbuhan
BAL yang optimal. Ditambahkan pula oleh Ben-Ounis et al. (2008), WT
merupakan sumber karbohidrat yang baik serta kaya akan protein dan garam
mineral, namun untuk dapat memperoleh jumlah BAL yang tinggi masih
membutuhkan penambahan gula.
Growth yield (Yx/s) adalah hasil bagi antara perubahan jumlah biomassa
dengan substrat. Diketahui bahwa nilai Yx/s media WT tanpa suplementasi paling
tinggi (Tabel 3). Nilai Yx/s yang tinggi pada media WT tanpa suplementasi
menggambarkan kebutuhan nutrisi bakteri pada media tersebut juga tinggi, sesuai
dengan Yuliana (2010) growth yield menggambarkan kebutuhan nutrisi oleh suatu
mikroorganisme secara kuantitatif.
Berdasarkan data-data yang diperoleh bahwa whey tahu dapat digunakan
sebagai media pertumbuhan BAL, dimana media WT tanpa suplementasi sudah
bisa menumbuhkan bakteri P. pentosaceus mencapai 6.4 × 107 CFU/mL pada
akhir fermentasi. Namun untuk bisa meningkatkan pertumbuhan perlu dilakukan
penambahan suplemen berupa sumber karbon. Hasil penelitian menunjukkan
sumber karbon yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri P. pentosaceus adalah
glukosa berdasarkan jumlah BAL dan nilai µmaks yang diperoleh.
12
11
Total gula (mg/mL)
Jumlah BAL (log CFU/mL)
Pengaruh Konsentrasi Sumber Karbon
Pengamatan dilakuan dengan melihat pengaruh konsentrasi glukosa terhadap
jumlah BAL dan nilai total gula yang disajikan pada Gambar 4a dan 4b.
10
9
8
7
6
5
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (jam) (a)
Waktu Inkubasi (Jam) (b)
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap jumlah BAL dan total gula. (a)
jumlah BAL (b) nilai total gula pada media WT+glukosa 1% (─◊─);
WT + glukosa 2% (─■─); WT + glukosa 5% (─▲─); WT+glukosa
10% (─○─); WT (─□─); MRS (─●─) yang diinkubasi 24 jam, suhu
37 °C pH 6.
16
Hasil pengamatan terhadap jumlah BAL pada berbagai konsentrasi glukosa
dan kontrol diperoleh bahwa jumlah BAL meningkat seiring dengan berjalannya
waktu fermentasi (Gambar 4a), hal ini dikarenakan kandungan nutrisi whey tahu
yang mampu menunjang pertumbuhan bakteri. Tiap sel mikroba mensintesis
sendiri konstituen tubuhnya dari zat-zat sederhana yang ditemukan dalam
lingkungannya (Irianto 2010). Pertumbuhan BAL meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi glukosa yang dtambahkan dalam media whey tahu
(Gambar 4a). Namun, pada konsentrasi glukosa 10% jumlah BAL kembali
mengalami penurunan. Pattnaik et al. (2005) menyatakan bahwa tingginya
konsentrasi substrat glukosa akan menurunkan jumlah bakteri dan produksi
bakteriosin, penghambatan ini disebabkan karena adanya represi katabolik.
Beberapa penelitian lainnya juga menyatakan penghambatan oleh substrat
menggunakan bakteri P. pentosaceus terjadi pada konsentrasi glukosa yang tinggi,
Olaoye et al. (2008) mendapatkan konsentrasi glukosa terbaik adalah 6%,
konsentrasi 8 dan 10% memperlihatkan efek penghambatan substrat terhadap
pertumbuhan dan produksi asam laktat. Liu et al. (2013) juga mendapatkan
pertumbuhan P. pentosaceus ATCC terbaik pada konsentrasi glukosa 5%, dan
ketika konsentrasi glukosa ditingkatkan menjadi 7.5% pertumbuhan dan produksi
asam laktat mengalami penurunan. Selain itu beberapa penelitian menggunakan
bakteri lain juga mendapatkan hasil penghambatan oleh substrat glukosa ketika
konsentrasi ditingkatkan antara lain Oshiro et al.2009; Busairi 2010.
Hasil analysis of variance menunjukkan perlakuan konsentrasi berpengaruh
terhadap respon jumlah BAL dan hasil uji lanjut Duncan (P<0.05) diketahui
bahwa semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (WT dan MRS), dan
konsentrasi glukosa 1% dan 2% saling tidak berbeda nyata (Lampiran 3b). Hasil
pengamatan jumlah BAL yang didapat pada media perlakuan, media WT +
glukosa 5% memiliki jumlah BAL yang paling tinggi yaitu mencapai 1.4 × 1010
CFU/mL, hampir menyamai jumlah BAL pada media MRS (5.6 × 1010 CFU/mL).
Ghofar et al. (2005) melakukan suplementasi media WT dengan glukosa 5%,
dan menghasilkan jumlah bakteri Streptococcus bovis mencapai 9.3log CFU/mL.
Jumlah ini lebih rendah dari hasil yang didapat pada penelitian ini (10.13 log
CFU/mL). Ghofar et al. (2005) juga menyatakan bahwa media limbah cair tahu
dengan suplementasi glukosa 5% adalah komposisi media terbaik yang dapat
meningkatkan viabilitas bakteri S. bovis dan meningkatkan produksi asam laktat.
Kobayashi et al. (2009) melaporkan bahwa konsentrasi optimum sumber karbon
untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri dan produksi bakteriosin adalah 2-5 %.
Selama proses fermentasi pertumbuhan bakteri P. pentosaceus diikuti
dengan menurunnya nilai total gula (Gambar 4b) sebagai gambaran laju konsumsi
substrat untuk pertumbuhan sel dan pembentukan asam laktat. Hasil analisis
varian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi glukosa berpengaruh terhadap
penurunan total gula dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan
berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 3b).
17
6
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
5.5
Nilai pH
Total asam (mg/mL)
Penurunan total gula diikuti dengan meningkatnya nilai total asam tertitrasi
dan menurunnya nilai pH media yang disajikan pada Gambar 5a dan 5b.
5
4.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (a)
4
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (b)
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap total asam dan pH (a) total
asam (b) nilai pH pada media WT+glukosa 1% (─◊─); WT + glukosa
2% (─■─); WT + glukosa 5% (─▲─); WT+glukosa 10% (─○─); WT
(─□─); MRS (─●─)yang diinkubasi 24 jam, suhu 37 °C pH 6.
Berdasarkan hasil pengukuran total gula pada media perlakuan (WT +
glukosa 1%, 2%, 5%, 10%) dan media kontrol (WT dan MRS) diketahui
penurunan nilai total gula masing-masing setelah 24 jam fermentasi, yaitu WT +
1% glukosa (28.14 mg/mL ke 10.12 mg/mL), WT + 2% glukosa (29.27 mg/mL ke
11.25 mg/mL), WT + 5% glukosa (50.89 mg/mL ke 24.05 mg/mL), WT + 10%
glukosa (84.96 mg/mL ke 45.25 mg/mL) media WT (6.8 mg/mL ke 3.2 mg/mL)
dan MRS (53.69 mg/mL ke 25.23 mg/mL). Pemanfaatan gula pada media
perlakuan oleh bakteri P. pentosaceus berkisar antara 46–62% dengan konsumsi
gula tertinggi pada media WT + glukosa 5% sebesar 62% sejalan dengan
tingginya jumlah BAL pada media tersebut. Sejalan dengan itu Ben-Ounis et al.
(2008) memperoleh data bahwa bakteri L. plantarum pada media whey tahu yang
didemineralisasi hanya mampu memanfaatkan 60% dari total gula yang
terkandung dalam media. Sebagai tambahan Kurniasari et al. (2011) melaporkan
bahwa bakteri P. acidilactici F11 hanya mampu memanfaatkan gula yang
terkandung dalam media whey tahu yang disuplementasi air kelapa sebesar 4870%.
Pengamatan terhadap nilai total asam tertitrasi menunjukkan nilai total asam
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi glukosa yang
ditambahkan ke dalam media, namun mengalami penurunan pada media
suplementasi glukosa 10%. Hasil ini diperkuat dengan hasil analisis sidik ragam
(ANOVA) dengan menyatakan bahwa respon perlakuan (konsentrasi glukosa)
berpengaruh terhadap respon nilai total asam dan uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa total asam media perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (WT dan MRS),
namun pada media WT + glukosa 1%, 2%, dan 10% tidak berbeda nyata
(Lampiran 3b). Penurunan nilai total asam pada media WT + glukosa 10%
mungkin disebabkan karena bakteri P. pentosaceus lebih menggunakan substrat
glukosa untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel bukan untuk produksi asam
laktat. Selain itu menurut Busairi (2010) menurunnya nilai produk yang
18
dihasilkan mungkin karena adanya efek penghambatan oleh konsentrasi gula yang
tinggi. Hasil yang berbeda diperoleh oleh Palaniraj dan Nagarajan (2012) bahwa
semakin tinggi konsentrasi substrat glukosa yang digunakan (50 g/L, 75 g/L, dan
100 g/L), bakteri L. casei menghasilkan produk asam laktat yang semakin tinggi
pula. Liu et al. (2013) juga memperoleh hasil yang sama bahwa meningkatnya
konsentrasi glukosa yang digunakan (25, 50, 75 g/L), menghasilkan total asam
tertitrasi tertinggi dari bakteri galur Pediococcus.
Nilai total asam tertinggi dihasilkan pada media WT + glukosa 5% yaitu
sebesar 2.82 mg/mL sangat berbeda jauh dengan nilai total asam pada media
kontrol positif (MRS) yang mencapai 8.94 mg/mL. Hasil ini jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan hasil Kurniasari et al (2011) dimana bakteri P. acidilactici
F11 pada media whey tahu mampu menghasilkan total asam sebesar 3.86 g/L.
Tingginya nilai total asam pada media MRS tidak diikuti dengan penurunan nilai
pH yang signifikan (Gambar 5), hal ini dimungkinkan karena zat-zat yang
terkandung di dalam media MRS ikut dinetralkan oleh NaOH pada saat
pengukuran total asam tertitrasi, sementara pengukuran nilai pH didasarkan atas
ion H+ yang terkandung pada media.
Akumulasi asam laktat pada media menyebabkan menurunnya pH media
fermentasi (Gambar 5b). Pada akhir fermentasi, pH media perlakuan (media WT
+ glukosa 1%, 2%, 5%, 10%) berturut-turut 4.39; 4.43; 4.2; dan 4.47. Sementara
pH pada media kontrol negatif (WT) dan kontrol positif (MRS) mencapai 4.8 dan
4.22. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai pH pada media MRS tidak
berbeda dengan media WT+ glukosa 5%, nilai pH media WT + glukosa 1%, 2%,
dan 10% tidak berbeda signifikan, semntara nilai pH media WT berbeda
signifikan dengan semua perlakuan (Lampiran 3b).
Selama proses fermentasi penurunan pH media mencapai 0.7–1.1, bervariasi
pada setiap media perlakuan dan kontrol. Hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh
dengan hasil penelitian Ho et al.(2009) selama 24 jam fermentasi dimana pH
media menurun 0.40–1.04. Nilai pH yang terendah diperoleh dari jumlah bakteri
yang tertinggi. Media WT+ glukosa 5% memiliki pH akhir yang paling rendah
menyamai pH pada media MRS, jika dibandingkan dengan ketiga media
perlakuan lainnya (WT glukosa 1%, 2%, dan 10%) dan kontrol negatif.
Rendahnya nilai pH yang diperoleh pada media WT + glukosa 5% dan MRS
dikarenakan jumlah koloni bakteri P. pentosaceus pada kedua media ini
merupakan yang paling tinggi, sehingga semakin banyak bakteri yang akan
mengubah gula menjadi asam laktat. Asam laktat jika berdisosiasi dalam air
menghasilkan ion H+ yang akan menurunkan cairan kultivasi. Selain itu menurut
Liu et al. (2013) penurunan nilai pH juga bisa disebabkan oleh pelepasan proton
kedalam media pada saat mengkonsumsi NH4+ sebagai sumber nitrogen.
Hasil pengamatan terhadap nilai parameter kinetika pertumbuhan disajikan
pada Tabel 4. Nilai µmaks dan Nmaks yang diperoleh semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi glukosa dan mengalami penurunan ketika
konsentrasi glukosa mencapai 10%.
19
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap parameter kinetika pertumbuhan
bakteri P. pentosaceus pada media perlakuan
Substrat
WT+
glukosa 1%
WT+
glukosa 2%
WT+
glukosa 5%
WT+
glukosa
10%
WT
MRS
µmax
(Jam -1)
1.43
Nmax
(Log
CFU/mL)
8,75c
2.85
8,79c
0,66
0,06
0,22
0,017
60.79
7.14
10,13d
0,91
0,07
0,32
0,033
62.75
14.85
8,50b
0,40
0,02
0,06
0,025
46.48
0.3
7,80a
10,7e
0,31
1,1
0,47
0,34
1,33
0,44
0,002
0,084
51.40
51.75
Rasio
C/N
0,50
Yp/s
Yx/s
Ks
(g produk /g (CFU/mg) (g/L)
substrat)
0,06
0,21
0,011
Efisiensi
substrat
(%)
52.72
Hasil pengamatan didapat bahwa media WT + glukosa 5% yang memiliki
jumlah BAL tertinggi memiliki nilai µmaks yang tinggi pula (0.91 jam-1), jika
dibandingkan dengan media perlakuan lainnya. Tingginya nilai µmaks disebabkan
karena tingginya aktivitas reproduksi sel bakteri, sebagaimana diketahui bahwa
semakin tinggi nilai µmaks maka semakin cepat sel tersebut tumbuh. Ditambahkan
pula oleh Deegest dan De-Vuyst (1999) bahwa tingginya nilai µmaks bakteri yang
didapat pada suatu media, menandakan bahwa media tersebut merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Nilai µmaks media WT + glukosa
5% paling mendekati nilai µmaks pada media MRS yang merupakan kontrol positif
(1.1 jam-1). Yeh et al. (2008) juga mendapatkan hasil bahwa besarnya nilai µmaks
yang diperoleh seiring dengan banyaknya jumlah bakteri P. acidilactici yang
ditumbuhkan pada media kaldu M-17 yang disuplementasi dengan fruktosa,
sukrosa, glukosa, fruktooligosakarida dari chicory (FOSc), hidrolisat campuran
yang dibuat dari daun wolfberry Cina (H1+H2). Beberapa penelitian telah
mendapatkan nilai µmaks bakteri P. pentosaceus, Rodriguez et al. (1995) meneliti
efek dari pH dan hydrogen peroksidase pada pertumbuhan bakteri P. pentosaceus,
mendapatkan nilai µmaks sebesar 0.17 jam-1. Escamilla-Hurtado et al. (2005)
mendapatkan nilai µmaks pada media semi padat berbahan dasar tepung jagung
putih sebesar 0.47 jam-1. Boontawan et al. (2011) mendapatkan nilai µmaks bakteri
P. pentosaceus untuk memproduksi L-(+)- asam laktat menggunakan teknik
elektrodeionisasi sebesar 0.44 jam-1.Jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, nilai µmaks yang didapat pada penelitian ini masih lebih tinggi,
sehingga bisa dijadikan tambahan pustaka untuk pertumbuhan bakteri P.
pentosaceus.
Laju konsumsi substrat oleh bakteri P. pentosaceus dapat dilihat dari
penurunan nilai total gula (Gambar 4b). Substrat yang dikonsumsi oleh bakteri
kemudian akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan juga pembentukan asam
laktat. Hal ini dapat dilihat dari nilai Yp/s (product yield) dan nilai Yx/s (growth
yield) (Tabel 4). Dari data diketahui bahwa nilai Yp/s dan Yx/s tertinggi terdapat
pada media kontrol negatif (media WT), artinya bahwa efisiensi substrat yang
20
1
10.5
10
9.5
9
8.5 y = -0.0336x2 + 0.5452x + 7.8259
R² = 0.9008
8
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Rasio C/N (a)
µmax (per Jam)
Nmax (log CFU/mL)
diubah menjadi asam laktat dan biomassa juga tinggi. Jika dibandingkan dengan
media perlakuan lainnya, media WT tanpa suplementasi memiliki jumlah total
gula terendah (7.2 mg/mL) namun dapat memproduksi total asam sebesar 1.56
mg/mL, hal ini bisa dikatakan bahwa bakteri P. pentosaceus mampu
memanfaatkan gula (substrat) dan nutrisi yang terkandung di dalam whey tahu
dengan baik.
Nilai Yp/s,Yx/s dan Ks yang diperoleh pada media perlakuan semakin tinggi
sejalan dengan meningkatnya konsentrasi glukosa yang ditambahkan pada media
whey tahu, dan menurun pada konsentrasi glukosa terlalu tinggi (10% glukosa)
(Tabel 4). Sejalan dengan penelitian Palaniraj dan Nagarajan (2012) yang
mendapatkan nilai Yp/s, Yx/s, dan Ks berubah meningkat sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi glukosa di awal, dan menurun pada konsentrasi gula
terlalu tinggi pada media fermentasi.
Berdasarkan variasi rasio C/N yang digunakan pada tahapan ini, dapat
dilihat pengaruhnya terhadap nilai µmaks dan jumlah BAL (Nmax), yang disajikan
pada Gambar 6a dan 6b. Berdasarkan nilai R2 yang diperoleh melalui persamaan
polinomial diketahui bahwa rasio C/N berkorelasi positif dengan nilai µmax (nilai
R2 = 0.999) dan nilai Nmax (nilai R2 = 0.900) (Gambar 5a dan 5b). Hasil penurunan
persamaan kuadrat yang didapat, diketahui bahwa rasio C/N optimum yang dapat
menghasilkan jumlah BAL (Nmax) terbaik adalah 8.2, sementara untuk
mendapatkan nilai µmax terbaik adalah 8. Rasio C/N ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam merancang media fermentasi untuk memproduksi kultur starter
sehingga didapatkan jumlah BAL dan nilai µmax yang tinggi menggunakan P.
pentosaceus.
0.8
0.6
0.4
y = -0.0103x2 + 0.16x + 0.2903
R² = 0.9999
0.2
0
0
2
4
6
8
10 12 14 16
Rasio C/N (b)
Gambar 6. Pengaruh variasi rasio C/N terhadap pertumbuhan bakteri yang dilihat
dengan parameter (a) jumlah BAL (Nmax) (─○─) dan (b) nilai µmax
(─◊─) pada media perlakuan yang diinkubasi selama 24 jam, suhu
37 °C, pH 6.
Rasio C/N sangat mempengaruhi nilai Nmax dan µmax yang dihasilkan,
sebagaimana diketahui bahwa sumber karbon dan sumber nitrogen mempengaruhi
pertumbuhan sel, karena nitrogen berfungsi sebagain bahan dasar protein, asam
nukleat, dan koenzim. Hasil yang berbeda didapatkan oleh Deegest dan De-Vuyst
(1999) bahwa variasi rasio C/N yang digunakan (1.4-7.0) tidak begitu
mempengaruhi nilai Nmax dan µmax yang dihasilkan oleh bakteri Streptoccocus
21
thermophilus LY03, hal ini dikarenakan adanya faktor pembatas pertumbuhan
ketika konsentrasi nitrogen ditingkatkan.
Hasil pengamatan penelitian ini juga diketahui bahwa semakin tinggi rasio
C/N media nilai µmaks dan jumlah biomassa semakin tinggi dan menurun pada
rasio C/N tertinggi (14,85) (Gambar 6a dan 6b). Tingginya rasio C/N yang
digunakan pada penelitian dikarenakan tidak adanya suplementasi sumber
nitrogen sementara terjadi penambahan glukosa sebagai sumber karbon. Nilai
µmaks dan jumlah biomassa tertinggi diperoleh pada media dengan rasio C/N 7,14
(glukosa 5%) sebesar 0,91 jam-1; 1,04 × 1010 CFU/mL. Tingginya jumlah BAL
dan nilai µmaks mengindikasikan bahwa konsentrasi glukosa mempengaruhi
pertumbuhan BAL. Sesuai dengan De Vuyst et al. (1996) bahwa produksi
biomassa tergantung pada ketersediaan glukosa pada media. Rasio C/N terbaik
yang didapat pada penelitian ini masih termasuk kedalam syarat rasio C/N untuk
pertumbuhan biomassa bakteri menurut Riadi (2007) yaitu 7–10.
Beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji pengaruh rasio C/N
terhadap produksi biomassa antara lain Degeest dan De Vuyst (1999) memperoleh
rasio C/N 2.6 memberikan biomassa S. thermophilus (4.01 g/L) dan nilai µmaks
tertinggi (1.38 jam-1). Jin-Bo et al. (2005) memperoleh rasio C/N 3.5–5
memberikan biomassa dan produksi asam laktat tertinggi oleh R. oryzae. Zhang et
al. (2007) memperoleh rasio C/N 28 menghasilkan asam laktat tertinggi oleh R.
arrhizus. Aspmo et al. (2005) memperoleh rasio C/N 3.4 memberikan biomassa L.
sakei (0.68 g/L) dan nilai µmaks tertinggi (0.37 jam-1). Seesuriyachan et al. (2011)
memperoleh rasio C/N 2 memberikan biomassa Lactobacilus confusus TISTR
1498 tertinggi (2.54 g/L). Manochai et al. (2014) memperoleh rasio C/N 2.26
memberikan biomassa L. confusus TISTR 1498 tertinggi (2,78 g/L) dengan yield
EPS tertinggi pula mencapai 114.72 g/L. Jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, rasio C/N yang dibutuhkan pada penelitian ini cukup tinggi untuk
memperoleh biomassa tertinggi, hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan C/N
setiap jenis organisme berbeda-beda karena kemampuan setiap mikroba dalam
mengasimilasi sumber karbon dan nitrogen juga berbeda.
Berdasarkan data yang telah diperoleh sebelumnya didapatkan bahwa media
WT + glukosa 5% adalah persentasi glukosa terbaik untuk meningkatkan
pertumbuhan BAL. Hal ini didasarkan pada jumlah BAL tertinggi dan nilai µmaks
tertinggi yang didapatkan bakteri P. pentosaceus pada media tersebut. Oleh
karena itu media WT + glukosa 5% digunakan sebagai media pengembangan
starter kultur yang akan ditingkatkan skala produksinya sampai volume 1 L secara
kaskade (bertahap).
Peningkatan Skala Produksi Starter
Peningkatan skala produksi yang dilakukan berpengaruh terhadap jumlah
BAL dan total gula yang terkandung dalam media, hal ini dapat dilihat pada
Gambar 7a dan 7b dan diperkuat dengan hasil analisis ragam yang terlampir pada
Lampiran 3c. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan jumlah bakteri P.
pentosaceus terhadap ketiga skala yang digunakan menunjukkan bahwa
pertumbuhan sel bakteri mengikuti pola yang sama (Gambar 7a), dan hasil uji
Duncan menyatakan bahwa jumlah BAL pada skala media 150 mL tidak berbeda
signifikan dengan jumlah BAL pada media skala 1L dan 500 mL, namun jumlah
BAL antar skala 1L dan 500 mL saling berbeda sgnifikan (Lampiran 3c).
22
12
70
11
60
Total gula (mg/mL)
Jumlah BAL (log CFU/mL)
Walaupun berbeda nyata secara matematis, pada jumlah sebenarnya jumlah BAL
pada ketiga skala yang digunakan tidaklah mempunyai arti dan masih termasuk
kedalam syarat sebagai kultur starter (107-108 CFU/mL). Laju pertumbuhan sel
yang baik pada media dijadikan dasar untuk menumbuhkan pada skala yang lebih
besar, dimana bakteri pada skala 150 mL dijadikan starter untuk media whey tahu
skala 500 mL, dan bakteri skala 500 mL dijadikan starter untuk fermentasi pada
skala 1L.
10
9
8
7
6
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (a)
Waktu Inkubasi (Jam) (b)
Gambar 7. Pengaruh peningkatan skala media terhadap pertumbuhan BAL. (a)
jumlah BAL (b) nilai total gula pada skala150 mL (─▲─); skala 500
mL (─■─); skala 1L (─●─)
Jumlah BAL pada skala 150 mL, 500 mL, dan 1L setelah 24 jam fermentasi
berturut-turut 1.1 × 1010 CFU/mL, 1.09 × 1010 CFU/mL, dan 1.03 × 1010 CFU/mL
(Tabel 5). Beberapa penelitian mendapatkan jumlah bakteri P. pentosaceus yang
ditumbuhkan pada berbagai macam media berbeda-beda, Escamilla-Hurtado et al.
(2005) memperoleh jumlah P. pentosaceus mencapai 9.28 log CFU/mL pada
media semi padat berbahan dasar tepung jagung. Suhartatik et al. (2014)
memperoleh jumlah bakteri P. pentosaceus pada media MRS + antosianin
mencapai 9.74 log CFU/mL. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian
sebelumnya, jumlah bakteri yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi, artinya
whey tahu lebih baik digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri P.
pentosaceus. Abdel-Rahman et al. (2011) mengatakan bahwa viabilitas mikroba
bervariasi tergantung pada genetik, struktur dan fisiologi sel, serta komposisi
media pertumbuhan.
Pertumbuhan bakteri P. pentosaceus menunjukkan pola kurva pertumbuhan
yang hampir sama pada ketiga skala yang digunakan (Gambar 7a), bakteri P.
pentosaceusmempunyai fase lag yang relatif singkat (jam ke-0 sampai jam ke-2
waktu fermentasi) pada ketiga skala, karena bakteri P. pentosaceus tumbuh pada
media yang sama pada media starter sebelumnya sehingga penyesuaian terhadap
lingkungan yang baru relatif cepat. Abraham et al. (2014) mengatakan bahwa fase
adaptasi dibutuhkan oleh sel bakteri sekitar 3 jam pertama waktu fermentasi, hal
ini dikarenakan perbedaan kondisi lingkungan seperti fluktuasi distribusi
biomassa, ketersediaan oksigen, konsentrasi garam, pH, glukosa. Namun, apabila
penyegaran inokulum bakteri sering dilakukan maka fase adaptasi dapat saja tidak
dibutuhkan oleh bakteri. Pada fase adaptasi ini bakteri tumbuh dan ukuran sel
23
meningkat, namun kerapatan populasi konstan. Fase ini diikuti dengan fase
logaritmik.
Fase logaritmik bakteri P. pentosaceus pada media whey tahu di ketiga skala
berlangsung pada jam ke-2 sampai jam ke-8 waktu fermentasi, dimana jumlah
koloni bakteri pada akhir fase log pada skala 150 mL, 500 mL, dan 1 L berturutturut adalah 9.65 log CFU/mL, 9.7 log CFU/mL, dan 9.5 log CFU/mL. Pada fase
logaritmik, bakteri membelah dengan cepat dan konstan dan pada fase ini
kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media tempat tumbuhnya seperti,
pH dan kandungan nutrient, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan
kelembaban. Selanjutnya waktu fermentasi ke 9- 24 jam (akhir fermentasi),
bakteri P. pentosaceus mengalami fase pertumbuhan yang relatif konstan dan
memasuki fase stasioner. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel
yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Yuliana (2010) menyatakan
bahwa ukuran sel pada fase stasioner menjadi lebih kecil-kecil karena sel tetap
membelah meskipun zat-zat nutrisi yang terkandung dalam media sudah menipis.
Standbury dan Whitaker (1983) menambahkan bahwa pada fase stasioner laju
pertumbuhan akhirnya menurun yang biasanya disebabkan karena kekurangan
faktor pertumbuhan seperti vitamin dan unsur mineral. Berhentinya pertumbuhan
juga dapat disebabkan oleh berkurangnya beberapa nutrien esensial dalam media
atau karena terjadinya akumulasi autotoksin dalam media atau karena kombinasi
keduanya.
Meningkatnya jumlah BAL diikuti dengan menurunnya total gula pada
media (Gambar 7b). Pada akhir masa fermentasi (24 jam), total gula yang berhasil
dikonsumsi oleh bakteri P. pentosaceus untuk diubah menjadi asam laktat pada
media skala 150 mL, 500 mL, dan 1 L berturut-turut adalah 57.06 %, 56.59%, dan
56.51% dengan nilai total asam yang dihasilkan sebesar 2.7 mg/mL, 2.76 mg/mL,
dan 2.76 mg/mL. Hasil yang hampir sama diperoleh oleh Liu et al. (2013) dimana
bakteri P. pentosaceus mampu mengkonsumsi 63% dari total gula yang
terkandung pada media setelah 24 jam fermentasi. Hasil yang berbeda didapatkan
oleh Escamilla-Hurtado et al. (2005) yang mendapatkan ± 80% gula dikonversi
menjadi asam laktat (665 mg/kg) pada media semi padat yang berbahan dasar
tepung jagung oleh bakteri P. pentosaceus.
Melihat hasil yang didapat bahwa hanya sejumlah kecil gula yang tersedia
yang dikonsumsi bakteri P. pentosaceus selama fermentasi mengindikasikan
bahwa gula yang terkandung pada media tidak menentukan faktor pembatas
pertumbuhan (Charalampopoulus et al. 2004). Menurut Ben-Ounis et al. (2008)
tingginya konsentrasi total gula yang tersisa pada media (> 30%) menerangkan
bahwa akhir fermentasi terjadi bukan karena kurangnya karbohidrat tetapi karena
kurangnya nutrisi pada media. Ditambahkan oleh Ding dan Tan (2006) bahwa
rendahnya konsentrasi total asam yang dihasilkan sebagai produk dikarenakan
rendahnya nutrisi yang terkandung di dalam media.
Pengamatan terhadap nilai total asam dan penurunan nilai pH dapat dilihat
pada Gambar 8a dan 8b. Asam laktat yang dibentuk selama fermentasi oleh
bakteri P. pentosaceus pada media whey tahu di ketiga skala diukur dengan total
asam tertitrasi. Asam laktat yang diproduksi selama fermentasi mengalami
peningkatan yang sama pada ketiga skala (Gambar 8a).
24
3
2.5
Nilai pH
Total Asam (mg/mL)
3.5
2
1.5
1
0.5
0
5.6
5.4
5.2
5
4.8
4.6
4.4
4.2
4
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 24
Waktu Inkubasi (Jam) (a)
Waktu Inkubasi (jam) (b)
Gambar 8. Pengaruh peningkatan skala media terhadap total asam dan pH. (a)
nilai total asam tertitrasi (b) nilai pH pada skala150 mL (─▲─);
skala 500 mL (─■─); skala 1L (─●─)
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa peningkatan skala
produksi tidak berpengaruh terhadap nilai pH dan nilai total asam yang dihasilkan
(Lampiran 3c). Pada skala 150 mL, nilai total asam yang dihasilkan pada akhir
fase logaritmik mencapai 1.8 mg/mL (66.67% dari total asam yang dihasilkan
selama 24 jam fermentasi) dengan konsumsi gula sebesar 43.27%. Pada skala 500
mL, nilai total asam yang dihasilkan pada akhir fase logaritmik mencapai 1.89
mg/mL (67% dari total asam yang dihasilkan selama 24 jam fermentasi) dengan
konsumsi glukosa sebesar 47.15%. Dan pada skala 1 L, nilai total asam yang
diperoleh pada akhir fase logaritmik hampir sama dengan kedua skala sebelumnya
yaitu, 1.86 mg/mL (67.39% dari total asam yang dihasilkan) dengan konsumsi
gula sebesar 46.84%. Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Charalampopoulus et
al. (2004) memperoleh data bahwa bakteri L. plantarum dan L. acidophilus hanya
mampu memetabolisme 43% dan 19% dari gula yang terkandung pada media
gandum pada fase logaritmik. Sebagai tambahan Passos et al. (2004)
mendapatkan bakteri L. plantarum hanya mampu memetabolisme 45% gula yang
terkandung dari media jus timun pada fase logaritmik.
Terbentuknya asam laktat menyebabkan pH pada media menurun (Gambar
8b). Pada ketiga skala yang digunakan terjadi penurunan pH yang hampir sama
sebesar 1,0 – 1.19, skala 150 mL (5.39 pada awal fermentasi ke 4.2 pada akhir
fermentasi), skala 500 mL (5.35 pada awal fermentasi ke 4.3 pada akhir
fermentasi), dan skala 1 L (5.2 pada awal fermentasi ke 4.2 pada akhir fermentasi)
(Gambar 7b). Liu et al. (2013) melaporkan hasil yang sama menggunakan bakteri
P. pentosaceus ATCC 25745 dan bakteri P. acidilactici DQ2 dan DSM 20284
dengan konsentrasi glukosa awal sebesar 50 g/L, ketika pH media awal diatur 5.5,
setelah 24 jam pH media turun signifikan menjadi 4.3.
Laju pertumbuhan bakteri P. pentosaceus pada media whey tahu di berbagai
skala dapat dilihat dari nilai µmaks yang diperoleh. Berdasarkan data diketahui
bahwa nilai µmaks pada skala 150 mL, 500 mL, dan 1 L tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dan nilai Ks yang diperoleh sebesar 0.020–0.021 g/L
(Tabel 5). Kecilnya nilai Ks yang diperoleh mengindikasikan bahwa kebutuhan
bakteri P. pentosaceus akan gula relatif rendah, dan bakteri ini bisa digunakan
25
untuk memfermentasi media dengan kadar gula rendah seperti whey tahu. Data
parameter kinetika dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh peningkatan skala produksi terhadap parameter kinetika
pertumbuhan bakteri P. pentosaceus pada media perlakuan
Rasio
C/N
Nmax
(Log
CFU/mL)
µmax
(Jam -1)
Yp/s
(g produk
/g substrat)
Yx/s
(CFU/mg)
Ks
(g/L)
Efisiensi
Substrat
(%)
7.14
10.05a,b
0.91
0.06
0.34
0.023
57.06
500 mL
7.14
10.04
b
0.91
0.06
0.33
0.020
56.59
1L
7.14
10.01a
0.90
0.05
0.32
0.021
56.51
Skala
produksi
150 mL
Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian yang melakukan penambahan
glukosa 5% (50 g/L) pada media yang digunakan, nilai µmaks yang diperoleh pada
penelitian ini masih lebih tinggi. Yuwono dan Kokugan (2007) menggunakan
bakteri S. bovis pada media whey tahu ditambah glukosa 5% memperoleh µmaks
sebesar 0.45 jam-1. Nancib et al. (2001) menggunakan bakteri L. casei pada media
jus + 5% glukosa memperoleh µmaks sebesar 0.365 jam-1. Penelitian lain yang
menggunakan BAL P. pentosaceus mendapatkan nilai µmaks sebesar 0.47 jam-1
(Escamilla-Hurtado et al. 2005); 1.21 jam-1 (Blickstad dan Molin 1981); 0.23 jam1
(Fernandez et al. 2003); 0.44 jam-1 (Boontawan et al. 2011); 0.36 jam-1 (Baliarda
et al. 2003).
Laju konsumsi glukosa (substrat) terutama didasarkan pada tiga faktor, yaitu
laju pertumbuhan bakteri, produksi asam laktat, dan laju pengggunaan substrat
untuk memelihara sel (Sharma dan Mishra 2014). Laju konsumsi glukosa
(substrat) dapat dilihat dari nilai Yp/s dan Yx/s yang diperoleh. Nilai Yp/s dan Yx/s
yang didapat pada ketiga skala tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(Tabel 5). Berdasarkan data yang diperoleh bahwa nilai Yp/s (0.05 g produk/g
substrat) lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai Yx/s (0.22 CFU/mg), maka
dapat diketahui bahwa sejumlah besar gula yang dikonsumsi digunakan untuk
pertumbuhan dan pemeliharan sel dibandingkan untuk pembentukan produk asam
laktat. Melihat nilai Yp/s 0.05 mg/mL diasumsikan hanya 5% gula (substrat) yang
dikonsumsi bakteri P. pentosaceus yang akan langsung diubah menjadi asam
laktat (mengingat bakteri P. pentosaceus merupakan bakteri homofermentatif).
Jika dibandingkan dengan penelitian lain, nilai ini jauh lebih rendah. Rendahnya
nilai Yp/s yang diperoleh kemungkinan disebabkan karena kurangnya kontrol pH.
Nilai Yp/s yang rendah pada media tanpa pengontrolan pH telah dilaporkan
sebelumnya oleh Gupta et al. (2011) dan Sharma dan Mishra (2014).
Berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dimana nilai Yp/s
lebih rendah dari Yx/s, penelitian lain memperoleh nilai Yp/s lebih tinggi daripada
Yx/s, Karp et al. (2011) mendapat nilai Yp/s 0.853 g/L dan Yx/s 0.01 g/L
menggunakan bakteri L. pentosus pada skala pilot. Burgos-Rubio et al. (2006)
mendapat nilai Yp/s 0.90 g/L dan Yx/s 0.093 g/L menggunakan L.
bulgaricus.Berdasarkan data parameter kinetika yang diperoleh diketahui bahwa
26
tujuan dari penelitian ini tercapai yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri
yang nantinya akan digunakan sebagai kultur starter.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1 Whey tahu adalah limbah cair dari industri tahu yang mengandung komponen
utama protein terlarut, sehingga dapat digunakan sebagai media kultur starter
BAL berdasarkan komposisi kimia yang terkandung, namun suplementasi
sumber karbon akan meningkatkan laju pertumbuhan BAL.
2 Sumber karbon terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan BAL adalah
glukosa, dengan konsentrasi 5%.
3 Peningkatan skala produksi kultur starter dari skala 150 mL sampai 1L
menunjukkan penurunan pertumbuhan BAL dengan laju pertumbuhan dan
jumlah sel yang signifikan, meskipun nilainya relatif kecil.
Saran
Perlu dilakukan pengujian kinerja kultur starter bakteri P. pentosaceus
dengan formulasi media kultur yang telah dihasilkan terhadap proses fermentasi
dan produk yang dihasilkan. Selain itu perlu juga dilakukan kajian pada kondisi
optimum dari rasio C/N teoritis.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Analytical Chamist. 1995. Official Methods of Analysis.
Washington DC (US): Assoc Official Analytical Chemist.
Abdel-Rahman MA, Tashiro Y, dan Sonomoto K. 2011. Lactic acid production
from lignocellulose derived sugars using lactic acid bacteria : Review and
Limits. J Biotechnol.156: 286–301.
Abraham A, Giri SK, Tripathi MK, Singh R, Devi WE, dan Shukla V. 2014.
Optimixation of fermentation condition for the development of probiotic
soymilk using Lactobacillus paracasei ssp. paracasei 613 Strain. Int J Res Eng
& Advan Tech. 3(3).
Ammor MS dan Mayo B. 2007. Selection criteria for lactic acid bacteria to be
used as functional starter cultures in dry sausage production: an update. J Meat
Sci. 76 (1) : 138 - 146
Araya-Cloutier C, Rojas-Garbanzo C, dan Velazquez-Carillo C. 2012. Effect of
initial sugar concentration on the production of L(+) lactic acid by
simultaneous enzymatic hydrolysis and fermentation of an agro-industrial
waste product of pinneapple (Annanas comosus) using Lactobacillus casei ssp.
rhamnosus. Int J Biotechnol Wellness Indus.(1) : 91-100.
Aspmo SI, Horn SJ, Eijsink VGH. 2005. Hydrolysates from Atlantic cod (Godus
morhua L) viscera as components of microbial growth media. Proc Biochem.
40 : 3714 – 3722.
27
Bagenda DK, Hayashi K, Yamazaki K, Kawai Y. 2008. Characterization of an
antimicrobial substances produced by Pediococcus pentosaceus Iz3.13 isolated
from Japanese fermented marine food. Fish Sci. (74) : 439-448.
Bailey JE dan Oilis F. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals 2nd Ed. New
York (USA). McGraw-Hill Book Co.
Baliarda A, Robert H, Jebbar M, Blanco C, Deschamps A, Le Marrec C. 2003.
Potential osmoprotectants for the lactic acid bacteria Pediococcus pentosaceus
and Tetragenococcus halophila. Int J Food Microbiol. 84 : 13-20.
Ben-Ounis W, Champagne CP, Makhlouf J, Bazinet L. 2007. Utilization of tofu
whey pre-treated by electromembrane process as a growth medium for
Lactobacillus plantarum LB17. Desalination. 229: 192-203.
Blickstad E dan Molin G. 1981. Growth and lactic acid production of Pediococcus
pentosaceus at different gas environments, temperatures, pH values and nitrite
concentration. Eu J Appl Microbiol Biotechnol. 13 : 170-174.
Boontawan P, Kanchanathawee S, Boontawan A. 2011. Extractive fermentation of
L-(+)- lactic acid by Pediococcus pentosaceus using electrodeionization (EDI)
technique. J Biochem Eng. 54:192-199.
Brandt MJ. 2014. Starter cultures for cereal based foods. J Food Microbiol. 37 :
41–43.
Bulut S, Elibol M, dan Ozer D. 2004. Effect of different carbon sources on L(+)
lactic acid production by Rhizopus oryzae. Biochem Eng J. 21: 32-37.
Burgos-Rubio CN, Okas MR, dan Wankat PC. 2006. Kinetic study of the
conversion of different substrates to lactic acid using Lactobacillus bulgaricus.
Biotechnol Prog (16) : 305-314.
Busairi, AM. 2010. Effect of nitrogen sources and initial sugar concentration on
lactic acid fermentation of pinneapple waste using Lactobacillus delbrueckii. J
Teknik. 1(31) : 10-17.
Chan-Blanco Y, Bonilla-Leiva AR, dan Valazquez AC. 2003.Using banana to
generate lactic acid through batch process fermentation. J Appl Microbiol
Biotechnol. 63 : 147-152.
Charalampopoulos D, Pandlella SS, dan Webb C. 2004. Growth studies of
potentially probiotic lactic acid bacteria in cereal-based substrate. J Appl
Microbiol. 92:851-859.
Chesworth JM, Stuchbury T, dan Scaife JR. 1998. An Introduction to Agricultural
Biochemistry. London (UK). Chapman and Hall.
Choirunnisa F, Hani RH, Wastono T, Baskoro B, dan Moestijanto. 2001. Produksi
nata dari limbah cair tahu (Whey) : Kajian penambahan sukrosa dan ekstrak
kecambah. J Tek Pertanian. 2(2):74-78.
DavidsonPMdan Braner AL. 1983. Antimicrobial in Food 2nd Ed. New York
(USA): Marcel Dekker Inc.
De Vuyst L, Callewaert R, Crabbe K. 1996. Primary metabolite kinetics of
bacteriocin biosynthesis by Lactobacillus amylovorus and evidence for
stimulation of bacteriocin production under unfavorable growth conditions.
Microbiol.142 : 817 – 827.
Deegest B dan De Vuyst L. 1999. Indication that the nitrogen source influences
both amount and size and size of exopolysaccharides produced by
Streptococcus thermophilus LY03 and modeling of the bacterial growth and
28
exopolysaccarides production in a complex medium. J Appl Environ Microbiol.
65 (7) : 2863 – 2870.
Dike KS dan Sanni AL. 2010. Influence of starter culture of lactic acid bacteria on
the shelf life of agidi an indigenous fermented cereal product. Afr J Biotechnol.
9(46) : 7922-7927.
Ding S dan Tan T. 2006. L Lactic acid production by Lactobacillus casei
fermentation using different fed-batch feeding strategies. Proc Biochem. 41 :
1451-1454.
Dobrogosz WJ dan Stone RW. 1962. Oxidation metabolism in Pediococcus
pentosaceus. I. Role of oxygen and catalase. J Bacteriolog. 84: 716-723.
Escamilla-Hurtado ML, Valdes-Martinez SE, Sariano-Santos J, Gomez-Pliego R,
Verde-Calvo JR, Reyos-Dorantes A, dan Tomasini-Campocosio A. 2005.
Effect of culture condition on production of butter flavor compounds by
Pediococcus pentosaceus and Lactobacillus acidophilus in semisolid maizebased cultures. Int J Food Microbiol.(105) : 305-316.
Fernandez A, Saguir PA, Manca de Nadra MC. 2003. Effect of amino acids and
peptides on growth of Pediococcus pentosaceus from wine. Lat Am Appl Res.
[online]. 33 (3) : 225-229
Figueroa C, Davila AM, Pourquie J. 1995. Lactic acid bacteriaof the sourcassava
starch fermentation. Lett Appl Microbiol. 21: 126–130.
Figueroa C, Davila AM, Pourquie J. 1997. Original propertiesof ropy strains of
Lactobacillus plantarum isolated from thesour cassava starch fermentation. J
Appl Microbiol. 82: 68–72.
Fowoyo PT. and Ogunbanwa ST. 2010. Phenotyphic diversity of lactic acid
bacteria isolated from massa a fermented maize dough. Afr J Microbiol Res.
4(24) : 2683-2688.
Ghofar A, Ogawa S and Kokugan T. 2005. Production of L-lactic acid from fresh
cassava roots slurried with tofu liquid waste by Streptococcus bovis. J Biosci
Bioeng.100(6) : 606-612.
Goderska K, Nowak J, dan Czarnecki Z. 2008. Comparison of the growth of
Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium bifidum species in media
supplemented with selected saccharides including prebiotics. Acta Sci Pol
Technol Aliment.7(2) : 5-20.
Gupta S, Abu-Ghannam N, Scannel AGM. 2011. Growth and kinetics of
Lactobacillus plantarum in the fermentation of edible irish brown seaweeds. J
Food Bioprod Proc.198(10).
Hadioetomo RS. 1991. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Jakarta(ID):
Gramedia Pustaka.
Hamida F, Wiryawan KG, Meyandini A. selection of lactic acid bacteria as
probiotic candidate for chicken. Media Petern. 38(2) : 138-144.
Harmayani E, Endang SR, Djafar TF, Citra AS, dan Marwati T. 2009.
Pemanfaatan kulturPediococcus acidilactici F-11 penghasil bakteriosin sebagai
penggumpal pada pembuatan tahu. J Pascapanen. 6(1):10-20.
Hariyadi P. 2002.Pemanfaatan limbah cair tahu untuk memproduksi ingridient
pangan fungsional [Abstrak penelitian].Lembaga penelitian dan pengabdian
kepada Masyarakat (LPPM IPB).Bogor (ID). [diakses 16 Desember 2013].
Tersedia
29
pada :http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&statu
s=buka&id_hasilt=HB/008.02/HAR/p
Ho TN, Nguyen T, Deschamps NT, Sassi AH, Urdaci AMdan Caubet R.
2009.The impact of Lactobacillus brevis and Pediococcus pentosaceus on the
sensorial quality of “nem chua” – a Vietnamese fermented meat product. Int
Food Res J. 16 :71-81.
Hofvendahl K, dan Hahn-Hagerdal B. 2000. Factors affecting the fermentative
lactic acid production from renewable resources. Enzyme Microb Technol.
26:87-107.
Holzapfel W. 1997. Use of starter cultures in fermentation on a household scale.
Food Control. 8(5):241-258.
Holzapfel WH dan Wood BJB. 2012. The genera of lactic acid bacteria vol 2. 2nd
Ed. London (UK). Springer Science+Business Media Dordrecht Pr.
Hu Y, Wenshui X, dan Changrong Ge. 2006. Effect of mixed starter cultures
fermentation on the characteristics of silver carp sausages. World J Microbiol
Biotechnol. 8(5) : 1-11
Huch M, Hanak A, Spechta I , Dortu CM, Thonart P, M bugua S, Holzapfel WH,
Hertel C, Franz CMAP. 2008. Use of Lactobacillus strain to start cassava
fermentation for gari production. Int J Food Microbiol. 128 : 258 – 267.
Jin Bo, Yin P, Ma Y, Zha L. 2005. Production of lactic acid and fungal biomassa
by rhizopus fungi from food processing waste stream. J Int Microbiol
Biotechnol. 32:678-686.
Jonganurakkun B, Wang Q, Hua-Xu S, Tada X, Minamida K, Yasokawa D, Sugi
M, Hara H, Asano K. 2008. Pediococcus pentosaceus NB-17 for probiotic use.
J Biosci Bioeng. 106 (1) : 69-73 / doi;10.1263/jbb.106.69
Karp SG, Igashiyama AH, Siqueira PF, Carvalho JC, Vandenberghe LPS,
Thomaz-Soccol V, Coral J, Tholozan JL, Pandey H, Soccol CR. 2011.
Application of biorefinery concep to produce L-lactic acid from the soybean
vinnase at laboratory and pilot plant. J Biosour Technol. (102) : 1765-1722.
Kimaryo VM, Massawe GA, Olasupo NA, Holzapfel WH. 2000. The use of
Astarter cultures in the fermentation of cassava for the production of “Kivunde”
atraditional Tanzanian food product. Int J Food Microbiol.56:179-190.
Kimura H, Nagano R, Matsusaki H, Sonotomo K, Ishizaki A. 1997. A bacteriocin
of strain Pediococcus sp. ISK-I isolated from nukadoko, bed of fermented rice
bran. Biosci biotechnol Biochem. 61: 1049-1051.
Kobayashi T, Yamazaki K, Bagenda DK, dan Kawai Y. 2009. Influence of
medium components and growth conditions on pediocin Iz3.13 production by
Pediococcus pentosaceus Iz3.13, isolated from Japanese traditional fermented
seafood. Bul Fish Sci Hokkaido Univ. 60(1):5-12.
Kurniasari N, Sida A, Endang SR, dan Tyas U. 2011. The growth of Pediococcus
acidilactic F-11 in tofu whey. Proceeding the 3rd International Conference of
Indonesian Society for Lactic Acid Bacteria: Better Life with Lactic Acid
Bacteria: Exploring Novel Function of Lactic Acid Baceria. ISBN: 978-97919546. 1-7.
Lacerda ICA, Miranda RL, Borelli BM, Nunes AIC, Nardi RMD, Lachance MA,
Rosa CA. 2006. Lactic acid bacteria and yeasts associated with spontaneous
fermentations during the production of sour cassava starch in Brazil. Int J Food
Microbiol. 105 : 213 – 217.
30
Leroy F dan De Vuyst L. 2004. Lactic acid bacteria as functional starter cultures
for the food fermentation industry [review]. Trends Food Sci Technol.15:67-78.
Liu Y, Ashok S, Seoul E, Bao J, dan Park S. 2013. Comparison of three
Pediococcus strain for lactic acid production from glucose in the presence of
inhibitor generated by acid hydrolysis of lignocellulose biomass. Biotechnol
Bioproc Eng. 18 : 1192-1200.
Manochai P, Phimolshiripol Y, Seesuriyachan P. Response surface optimization
of exopolysaccaride production from sugarcane juice by Lactobacillus confuses
TISTR 1498. Food Appl Biosci.13 (1) : 425 – 438.
Marcon MJ, Vieira A, Santos MA, De Simas K, Amboni KN, dan Amante ER.
2006. The effect of fermentation on cassava starch microstructure. J Food Proc
Eng .29 : 362-372.
Merceier P, Yerushalmi L, Rouleau D, dan Dochain D. 2004. Kinetic of lactic
acid fermentation on glucose and corn by Lactobacillus amylophilus. J Chem
Technol Biotechnol.55 : 111-121.
Mheen T dan Kwon T. 1984.Effect of temperature and salt concentration on
Kimchi fermentation. Korean J Foof Sci Technol.16 (4) : 443 – 450.
Nancib N, Nancib A, Boudjedal A, Benslimane C, Blanchand F, Boudrant S. 2001.
The effect of supplementation by different nitrogen sources on the production
lactic acid from date juice by Lactobacilus casei ssp. rhamnosus. Biosour
Technol. (78) : 149 -153
Naveena. BJ, Altaf M, Bhadrayya K, Reddy SS. 2005. Direct fermentation of
starch to L(+) lactic acid in SSF by Lactobacillus amylophilus GV6 using
wheat bran as support and substrat-medium optimization using RSM.
Bioresour Technol. (96) : 485-490.
Ogunbanwa ST, Sanni AL, Onilude AA. 2004. Effect of bacteriocinogenic
Lactobacillus spp on the shelf life of fufu a traditional fermented cassava
product. World J Microbiol Biotechnol. 20:57-63.
Olaoye OA, Onilude AA, dan Dodd CER. 2008. Identification of Pediococcus spp.
from beef and evaluation of their lactic acid production in varying
concentration of different carbon sources. Adv in Nat Appl Sci. 2(3) : 197-207.
Omemu AM, Mobolaji A, Faniran, Wuraola O. 2011. Assessment of the
antimicrobial activity of lactic acid bacteria isolated from two fermented maize
products- Ogi and Kunnu-zaki. Malays J Microbiol. 7(3)124-128.
Osmanagouglu O, Beyatli Y, dan Gunduz U. Isolation and characterization of
pediocin producing Pediococcus pentosaceus Pep1 from vaccum-packed
sausages. Turkish J Bio. 25 : 133-143.
Palaniraj R dan Nagarajan P. 2012. Kinetic studies in production of lactic acid
from waste potato starch using Lactobacillus casei. J Chem Technol. 4(4) :
1601-1614.
Panda SH, Parmanick M, Ray RC. 2007. Lactic acid fermentation of sweet potato
(Ipomoea batatas L.) into pickles. J Food Proc Preserv. 31 (1): 83- 101.
Papagianni M dan Anastasiadou S. 2009. Pediocins: the bacteriocins of
Pediococci, sources, production, properties and application. Microbial cell
factories. 8(3) : 1-16/ doi:10.1186/1475-2859-8-3.
Passos FV, Fleming HP, Ollis DF, Hassan HM, dan Felder RM. 2004. Modelling
the spesific growth rate of Lactobacillus plantarum in cucumber exstract. Appl
Microbiol Biotechnol. (40) : 143-150.
31
Pattnaik P, Grover S, dan Batish VK. 2005. Effect of environmental factors on
production lichien, a chromosomally enconded bacteriocin like compound
produced by Bifidobacterium licheniformis 26 L-10/3RA. Microbiol Res. 160 :
213 – 218.
Pramono YB, Harmayani E, dan Utami T. 2003. Kinetika pertumbuhan
Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus sp. pada media MRS cair. J Teknol
Indust Pangan. 14(1).
Raccach M. 1987. Pediococci and biotechnology. Crit Rev Microbiol. 14 : 291309.
Rathore S, Salmeron I, Pandiella SS. Production of potentially probiotic
beverages using single and mixed cereal substrates fermented with lactic acid
bacteria cultures. J Food Microbiol.30 (1) : 239 – 244.
Ray B. 1995. Pediococcus in fermented foods. Vancouver (USA). Wiley.
Riadi L. 2007. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta (ID) : Graha Ilmu Pr.
Rosyidah E, Meryandini A, Sunarti TC. The use of lactic acid bacteria and
cellulolytic bacteria to improve the chemical properties of corn flour. Makara J
Sci. 17 (3) : 75-80
Salvadago A. 2006. Bacteriocins and Lactic Acid Bacteria : a Minireview. Afr J
Biotechnol. 5(9):678-683.
Seesuriyachan P, Kuntiya A, Hanmoungjai P, techapun C. 2011.
Exopolysaccharide production by Lactobacillus confussus TISTR 1498 using
coconut water as an alternative carbon source: the effect of peptone, yeast
extract and beef extract. SJST : Songklanakarin J Sci Tech. 33 (4) : 379 – 387.
Sharma V dan Mishra HN.2014. Unstructured kinetic modeling of growth and
lactic acid production by Lactobacillus plantarum NCDC 414 during
fermentation of vegetable juices. J Food Sci Technol. 59:1123-1128.
Sordergard A dan Stolt M. 2002. Properties of lactic acid based polymers and
their correlation with composition. Prog Polym Sci. 27:1123-1163.
Stanbury PF dan Whitaker A. 1984.Principles of fermentation technology. (ENG):
Pergamon Pr.
Suhartatik N, Karyantina M, Cahyanto MN, Raharjo S, Rahayu ES. 2014.
Karakteristik fermentatif medium MRS antosianin beras ketan hitam (Oryza
sativa var. glutinosa) menggunakan Pediococcus pentosaceus N11-16.
Agritech. 34(3) : 135-141
Sun Z, Liu HWJ, Zhang JC, Yu T, Gao W, Jiri M, Menghe B, Sun TS, Zhang HP.
2010. Identification and characterization of dominant lactic acid bacteria
isolated from traditional fermented milk in mongolia. Folia Microbiol.55(3) :
270-276.
Thi LN, Champagne CP, Lee BH, Goulet J. 2003. Growth of Lactobacillus
paracasei ssp. Paracasei on tofu whey. Int J Food Microbiol. 89:67-75.
Tripathi M. 2014. Technology for utilization of tofu whey as growth media for
production of probiotics strain and study of antioxidant activities.OMICS
Group Conferences (Accelarating Scientific Discovery).2nd International
Conference on Agricultural and Horticultural Sciences.February 03-05, 2014;
Hyderabad, India.
Tripathi M, Mangaraj K, Giri S, Singh SK, Kulkarni R. 2014. Process
Development for utilization of fermented tofu whey as a sources of tofu
coagulant and antioxidant. Int J Agri Eng. 6(2) : 296-303.
32
Wang DI, Cooney CL, Demain AL, Humprey AE, Lilly MD. 1987. Fermentation
and enzyme technology. New York (USA). John Wiley and Sons.
Yeh YC, Tae-Shik H, Sabliov CM, Martin Y. 2007. Effects of Chinese wolfberry
(Lycium chinese P. Mill) leaf hydrosylates on the growth of Pediococcus
acidilactici. Biores Technol. 99 : 1383 – 1393.
Yuliana N. 2008. Kinetika pertumbuhan bakteri asam laktat isolat T5 yang berasal
dari tempoyak. J Tek Indust Hasil Pertanian.13(2) : 108-116.
Yun JS,Wee YJ dan Ryu HW. 2003. Production of optically pure L(+)- lactic acid
from various carbohydrates by fermentation of Enterococcus faecalis RKY1.
Enzyme Microb Technol. 33:426-423.
Yuwono SD dan Kokugan T. 2009. Effect of temperature on L lactic acid
fermentation from fresh cassava roots in tofu liquid waste by Streptococcus
bovis. Jpn J Food Eng. 8(1) : 29-33.
Yuwono SD dan Hadi S. 2008.Production of lactic acid from onggok and tofu
liquid waste with concentrate maguro waste supplement by Streptococcus
bovis. Aus J Basic Appl Sci. 2(4):939-942.
Zhang ZY, Jin Bo, Kelly JM. Production of lactic acid and byproducts from waste
potato starch by Rhizophus arrhizus: role of nitrogen source. World J
Microbiol Biotechnol. 23 : 229–236.
33
Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kimia whey tahu
Derajat Keasaman (pH) (AOAC 1995)
Sebanyak 10 mL whey tahu dipipet lalu ditempatkan dalam gelas piala 50
mL kemudian diukur keasamannya menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi.
Kadar Air (Metode oven, AOAC 1995)
Sejumlah sampel ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang
telah dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 menit. Sampel
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 3 jam. cawan yang berisi sampel
dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan, dan ditimbang. Pengeringan
dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan
kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. Penetapan kadar air
berdasarkan perhitumgan :
(
)
(
)
(
)
(
)
Keterangan : a : berat awal sampel
b : berat sampel kering
bb : berat basah
bk : berat kering
Kadar Abu (Metode tanur, AOAC 1995)
Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin
dipanaskan dahulu dengan oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. 10 g sampel ditimbang (setelah diuapkan di atas penangas) dan
dimasukkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan
diabukan dalam tanur 550 oC sampai berwarna putih dan berat konstan. Setelah itu
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Penetapan kadar abu berdasarkan
perhitungan :
(
)
(
)
(
)
(
)
Kadar Protein (Metode Kjeldahl, AOAC 1995)
Whey sebanyak 10 mL dimasukkan dalam labu Kjeldahl 50 ml, kemudian
ditambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi
selama 30 menit sampai cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan, pindahkan
dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH pekat sampai warna coklat
kehitaman, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125
34
mL yang telah berisi 5 mL larutan H3BO3 dan indikator (campuran 2 bagian metil
merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0.2% dalam alkohol).
Kemudian dititrasi dengan Hcl 0.01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi
abu-abu. Untuk blanko penetapannya sama seperti sampel. Kadar N dihitung
dengan persamaan :
( )
(
)
Kadar Protein = 0.28 × 6,25 = 1.75%
Kadar Lemak (Metode Babcock. AOAC 1995)
Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode botol Babcock
karena sampel berbentuk cair. Whey tahu sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam
botol Babcock dan ditambah dengan H2SO4 pekat kemudian dikocok sampai
terbentuk larutan yang homogen. Selanjutnya larutan disentrifugasi selama 10-15
menit. Setelah itu ditambahkan air panas sampai larutan dalam botol Babcock
naik hingga leher botol. Selanjutnya disentrifugasi kembali selama 5 menit,
kemudian tambahkan lagi air panas hingga lemak cair terletak dalam kolom pada
leher botol Babcock yang berskala, lalu sentrifugasi kembali. Setelah itu
tempatkan botol Babcock ke dalam air hangat (55-60 °C) selama 5 menit.
Keringkan botol dan ukur kolom lemak dari bawah sampai miniskus. Kadar lemak
dinyatakan dalam persen berat. Selanjutnya, penetapan kadar lemak berdasarkan
perhitungan:
( )
Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)
Sejumlah kecil sampel ditambahkan 100 mL larutan H2SO4 1.25%,
selanjutnya dipanaskan selama 30 menit dengan suhu 105 oC, disaring dan dibilas
dengan air mendidih. Residu didestruksi kembali dengan menggunakan NaOH
1.25% dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas cairan
disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tidak berabu (Whatman
nomor 41) yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas
saring berturut-turut dibilas dengan H2SO4 1.25%, air panas, dan etanol 96%.
Kertas saring dan isinya dikeringkan sampai bobot konstan, selanjutnya ditimbang
(A). kertas saring dan sampel selanjutnya dibakar dalam tanur 600 oC selama 30
menit, dan ditimbang (B).
Bobot serat kasar = W – WO
W = A - (bobot kertas saring + cawan)
WO = B – (bobot kertas saring + cawan)
( )
35
Kadar karbohidrat by difference ( AOAC 1995)
Karbohidrat dikelompokkan menjadi karbohidrat yang dapat dicerna dan
karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Karbohidrat yang dapat dicerna adalah
karbohidrat yang dapat dipecah enzim α-amilase di dalam system pencernaan
manusia dan menghasilkan energi. Analisis karbohidrat digestible adalah
penentuan total karbohidrat dengan metode by difference. Perhitungan kandungan
kandungan karbohidrat dilakukan dengan cara pengurangan 100% dengan
presentasi kandungan air, protein, lemak, abu.
Kadar karbohidrat ( % bb) = 100% - (P + A + KA + L+ S)
Keterangan : P = kadar protein kasar
KA = kadar air
A = abu
L = kadar lemak kasar
S = kadar serat kasar
Analisis Total C-organik (Metode Oksidasi Chromat-Sulfat / Titrimetri)
Sampel sebanyak 0.25 g ditambah dengan 10 mL K2Cr2O7 1N dan 20 mL
H2SO4, kemudian dibiarkan hingga dingin. Setelah itu tambahkan 250 mL
aquades. Tambahkan 6-7 tetes indikator feroin 0.025 N. lakukan titrasi dengan
FeSO40.5 N hingga warna berubah menjadi merah anggur. Kadar C organik yang
terkandung dihitung dengan rumus :
(
)
Keterangan : Me = N×V
F = 1.33
Analisis Total Gula (Metode Fenol-H2SO4 Dubois et al. 1956)
Penentuan total gula dilakukan menggunakan metode fenol H2SO4 (Dubois
et al. 1989). Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva
standar glukosa yang digunakan. Pembuatan kurva standar adalah sebagai berikut:
250 µL larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60
ppm glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 250 µL larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 1.25 mL H2SO4
pekat ditambahkan dengan cepat dan dikocok kemudian didiamkankan hingga
dingin. Selanjutnya absorbansinya diukur pada panjang gelombang 490 nm.
Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar hanya 250 µL larutan
glukosa diganti dengan 250 µL sampel.
36
Absorbansi (OD 490 nm)
0.7
0.6
0.5
0.4
y = 8.4171x + 0.1101
R² = 0.9944
0.3
0.2
0.1
0
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
Konsentrasi glukosa (mg/mL)
Lampiran 2. Prosedur analisis formulasi media untuk starter industri
Perhitungan Jumlah Bakteri
Perhitungan jumlah koloni bakteri dilakukan dengan metode hitungan
cawan menggunakan Quebec colony counter. Media starter perlakuan yang telah
diujikan diambil sebanyak 1 mL untuk kemudian dilarutkan dengan 9 mL larutan
NaCl. Kemudian di vortex hingga homogen. Hasil ini disebut pengenceran 10-1.
Hasil pengenceran tersebut diambil sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan dalam
tabung reaksi yang berisi 9 mL NaCl, lalu divortex sampai homogen. Hasil
pengenceran ini disebut pengenceran 10-2, begitu seterusnya sampai pengenceran
10-9. Dari pengenceran 10-9 diambil 100 µL sampel dan disebar pada cawan petri
yang berisi MRS Agar. Inokulum diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC.
kemudian dilakukan penghitungan dengan menggunakan Quebec colony counter.
Cawan yang dihitung adalah yang memiliki koloni 30 sampai 300. Hasil
perhitungan koloni bakteri asam laktat dikalikan 10 kemudian dihitung total
koloni BAL dengan rumus :
Jumlah bakteri = jumlah koloni x FP x volume sampel
Pembentukan total asam (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 5 mL ditera hingga 50 mL. Sampel tersebut selanjutnya
diberi indikator fenolftalin dan dititrasi dengan NaOH 0.1 N yang sudah
distandarisasi. Total asam pada sampel diketahui dengan melihat volume NaOH
yang terpakai. Nilai total asam yang diperoleh dinyatakan dalam satuan mg/mL.
Rumus nilai total asam tertitrasi sebagai berikut :
37
Perhitungan rasio C/N media fermentasi pada berbagai konsentrasi glukosa
- Asumsi bahwa 1g glukosa akan terhidrolisis sempurna
- Konsentrasi N dalam WT adalah 2.8 g/L
- Fraksi masa C dalam glukosa C6H12O6 = 72/180 = 0.4
Konsentrasi
glukosa (%)
1
2
5
10
Total C (g/L)
Total N (g/L)
72/180 × 10 = 4
72/180 × 20 = 8
72/180 × 50 = 20
72/180 × 100 = 40
Rasio C/N
1.43
2.85
7.14
14.28
2.8 g/ L
Perhitungan parameter kinetika
Contoh perhitungan nilai parameter kinetika pertumbuhan pada media WT
+ glukosa 5% skala 1L
Ln N (log.CFU/mL)
1. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (μm)
Laju pertumbuhan spesifik maksimum (μm) diperoleh dengan
mengalurkan Ln N terhadap wkatu (t) pada waktu eksponensial sel, nilai µmax
merupakan slope dari persamaan yang diperoleh seperti pada gambar di bawah
ini :
25
20
15
y = 0.9062x + 14.943
R² = 0.9722
10
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu Inkubasi (Jam)
Ln N (log CFU/mL)
2. Perhitungan perolehan/yield biomassa terhadap substrat (YX/S)
Nilai Yx/s diperoleh dengan mengalurkan Ln N terhadap substrat
(s) pada waktu eksponensial sel, nilai Yx/s merupakan slope dari
persamaan yang diperoleh seperti pada gambar di bawah ini :
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 0.327x - 0.863
R² = 0.943
0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Konsentrasi Substrat (mg/mL)
38
3. Perhitungan perolehan/yield produk asam laktat terhadap substrat
(YP/S)
Nilai Total Asam
(mg/mL)
Nilai Yp/s diperoleh dengan mengalurkan nilai total asam tertitrasi
(p) terhadap substrat (s) pada waktu eksponensial sel, nilai Yp/s
merupakan slope dari persamaan yang diperoleh seperti pada gambar di
bawah ini :
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
y = 0.052x - 0.014
R² = 0.882
0
5
10
15
20
25
Konsentrasi Substrat (mg/mL)
4. Efisiensi Penggunaan Substrat
Efiseinsi penggunaan substrat didapatkan dengan rumus, sebagai
berikut :
% penggunaan substrat =
39
Lampiran 3. Analisis Statistik
a.
Analisis statistik pemilihan sumber karbon
Tabel 6. Hasil Uji Lanjut Duncan pada tiga media dengan sumber karbon berbeda
Substrat
WT
WT+glukosa
WT+sukrosa
Jumlah koloni
(log CFU/mL)
7.80a
8.65c
8.12b
Rata-rata*
pH
4.78b
4.40a
4.85b
Total Asam
(mg/mL)
1.33a
2.22b
2.34b
Total Gula
(mg/mL)
3.90a
8.25b
12.8c
Keterangan : data yang ditampilkan berupa data rata-rata seluruh jam pengamatan hasil tiga kali
ulangan
Jumlah koloni
Nilai pH
Nilai total asam
Nilai total gula
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
1.092
.002
1.094
.352
.019
.371
117.547
.018
117.565
1.814
.360
2.174
Derajat
bebas
2
6
8
2
6
8
2
6
8
2
6
8
Kuadrat
Tengah
.546
.000
Nilai F
Sign.
2101.146
.000
.176
.003
54.969
.000
58.774
.003
19316.882
.000
.907
.060
15.122
.005
Simpulan dari uji ANOVA di atas diketahui bahwa perlakuan variasi sumber
karbon (glukosa dan sukrosa) berpengaruh signifikan terhadap semua respon
jumlah total BAL, nilai pH, nilai total asam, dan nilai total gula dengan nilai
signifikansi lebih kecil dari α 5%.
Hasil uji lanjut Duncan
Jumlah total BAL
Perlakuan
whey tahu
Whey + Sukrosa 1%
Whey+ Glukosa 1%
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
C
7.8084
8.1247
8.6529
1.000
1.000
1.000
40
Nilai pH
Perlakuan
Whey+Glukosa 1%
Whey tahu
Whey + Sukrosa 1%
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
4.4033
4.7833
4.8533
1.000
.180
Nilai Total Asam
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan
whey tahu
Whey + Sukrosa 1%
Whey+Glukosa 1%
Sig.
N
3
3
3
A
1.3333
1.000
B
2.2200
2.3400
.570
Nilai Total Gula
Perlakuan
whey tahu
Whey+Glukosa 1%
Whey + Sukrosa 1%
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
C
3.9602
8.2571
12.8114
1.000
1.000
1.000
41
b. Analisis statistik penentuan konsentasi sumber karbon
Tabel 7. Hasil Uji Lanjut Duncan pada media perlakuan dan kontrol
Rata-rata*
Jumlah koloni
pH
(log CFU/mL)
4.80c
7.80a
4.39b
8.75c
Substrat
WT
WT+glukosa 1%
Total Asam
(mg/mL)
1.56a
Total Gula
(mg/mL)
2.93a
2.40b
7.12b
WT+glukosa 2%
8.79c
4.43b
2.46b
8.25c
WT+glukosa 5%
10.14d
4.22a
1.46d
17.9d
WT+glukosa 10%
8.50b
4.47b
2.82c
38.25f
MRS
10.75e
4.22a
8.9d
20.23e
Keterangan : data yang ditampilkan berupa data rata-rata seluruh jam pengamatan hasil tiga kali
ulangan
Jumlah koloni
Nilai pH
Nilai total asam
Nilai total gula
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
18.072
.007
18.079
.764
.043
.807
2478.230
.960
2479.190
111.339
.113
111.453
Derajat
bebas
5
12
17
5
12
17
5
12
17
5
12
17
Kuadrat
Tengah
3.614
.001
Nilai F
Sign.
6507.907
.000
.153
.004
42.631
.000
495.646
.080
6194.851
.000
22.268
.009
2356.390
.000
Simpulan dari uji ANOVA di atas diketahui bahwa perlakuan konsentrasi sumber
karbon (glukosa) berpengaruh signifikan terhadap semua respon jumlah total BAL,
nilai pH, nilai total asam, dan nilai total gula dengan nilai signifikansi lebih kecil
dari α 5%.
42
Hasil uji lanjut Duncan
Jumlah BAL
Perlakuan
Kontrol Negatif (Whey tahu)
Whey Tahu + Glukosa 10%
Whey Tahu + Glukosa 1%
Whey Tahu + Glukosa 2%
Whey Tahu + Glukosa 5%
Kontrolpositif (MRS)
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
A
7.8084
Subset for alpha = 0.05
B
C
D
8.5039
8.7532
8.7916
10.1354
1.000
1.000
.069
10.7481
1.000
1.000
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa setiap perlakuan berbeda
signifikan dengan kontrol (WT dan MRS), namun antara media WT + glukosa 1%
dan 2% jumlah BAL tidak berbeda signifikan.
pH
Perlakuan
Kontrol positif (MRS)
Whey Tahu + Glukosa 5%
Whey Tahu + Glukosa 1%
Whey Tahu + Glukosa 2%
Whey Tahu + Glukosa 10%
Kontrol Negatif (Whey tahu)
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
E
Subset for alpha = 0.05
A
B
C
4.2200
4.2267
4.3900
4.4300
4.4767
4.8367
.894
.117
1.000
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa nilai pH pada media MRS
tidak berbeda signifikan dengan nilai pH pada media WT+glukosa 5%, namun
berbeda signifikan dengan perlakuan lainnya. Nilai pH pada media WT + glukosa
1%, 2%, dan 10% tidak berbeda signifikan. Sementara nilai pH pada media WT
berbeda signifikan dengan semua perlakuan.
43
Total gula
Perlakuan
WT
WT + Glukosa 1%
WT + Glukosa 2%
WT + Glukosa 5%
MRS
WT +Glukosa 10%
Sig.
Subset for alpha = 0.05
B
C
D
E
N
A
F
3 2.9306
3
7.1284
3
8.2571
3
17.9003
3
20.2368
3
38.2559
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa setiap variasi konsentrasi
berbeda signifikan baik antar perlakuan maupun dengan kontrol.
Total asam
Perlakuan
WT
WT + Glukosa 1%
WT + Glukosa 2%
WT + Glukosa 10%
WT + Glukosa 5%
MRS
Sig.
N
3
3
3
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
C
1.5600
2.4000
2.4600
2.4900
2.8200
1.000
.302
1.000
D
8.9400
1.000
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa semua perlakuan berbeda
signifikan dengan nilai total asam pada media WT dan MRS. Nilai total asam
pada media WT + glukosa 5% berbeda signifikan dengan semua perlakuan,
namun antar media WT + glukosa 1%, 2% dan 5% tidak berbeda signifikan.
44
c. Analisis statistik peningkatan skala produksi
Tabel 8. Hasil Uji Lanjut Duncan pada tiga skala media yang diujikan
Skala
produksi
150 mL
Jumlah koloni
(Log/CFU/mL)
10.05a,b
Rata-rata*
pH
4.22a
Total Asam
(mg/mL)
2.73a
Total Gula
(mg/mL)
16.51a
500 mL
10.04b
4.30b
2.76a
18.09b
1L
10.01a
4.28b
2.76a
17.97b
Keterangan : data yang ditampilkan berupa data rata-rata seluruh jam pengamatan hasil tiga kali
ulangan
Jumlah koloni
Nilai pH
Nilai total gula
Nilai total asam
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Variasi
Galat
Total
Jumlah
Kuadrat
.009
.003
.012
.016
.015
.031
4.671
1.826
6.496
.002
.065
.067
Derajat
bebas
2
6
8
2
6
8
2
6
8
2
6
8
Kuadrat
Tengah
.005
.001
Nilai F
Sign.
8.240
.019
.008
.002
3.319
.107
2.335
.304
7.675
.022
.001
.011
.083
.921
Simpulan dari uji ANOVA di atas diketahui bahwa peningkatan skala produksi
berpengaruh signifikan terhadap respon jumlah total BAL dan nilai total asam,
namun tidak berpengaruh signifikan terhadan nilai pH dan nilai total gula dengan
nilai signifikansi lebih kecil dari α 5%.
45
Hasil uji lanjut Duncan
Nilai pH
Perlakuan
Skala 150 mL
Skala 1L
Skala 500 mL
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
4.2267
4.2867
4.3000
1.000
.514
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa jumlah BAL pada skala
produksi 1L dan 500 mL tidak berbeda signifikan namun berbeda signifikan
dengan jumlah BAL pada skala 150 mL.
Jumlah BAL
Perlakuan
Skala 1L
Skala 150 mL
Skala 500 mL
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
10.0094
10.0581
10.0581
10.1139
.275
.218
Hasil uji lanjut Duncan di atas menunjukkan bahwa nilai pH pada media skala 150
mL tidak berbeda signifikan dengan nilai pH pada skala 1L dan 500 mL ,
sementara antar skala 1L dan 500 mL saling berbeda signifikan.
Total gula
Perlakuan
Skala 150 mL
Skala 1L
Skala 500 mL
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
B
16.5142
17.9795
18.0983
1.000
.801
Hasil uji lanjut Duncan di atas diketahui bahwa nilai total gula pada skala 150 mL
berbeda signifikan dengan skala produksi 500 mL dan 1L, namun antara skala 1L
dan 500 mL tidak berbeda signifikan.
46
total asam
Perlakuan
Skala 150 mL
Skala 500 mL
Skala 1L
Sig.
N
3
3
3
Subset for alpha = 0.05
A
2.7300
2.7600
2.7600
.743
Hasil uji Duncan diketahui bahwa nilai total asam pada ketiga skala produksi
tidak berbeda signifikan.
47
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 19 Januari 1988 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayah Mutiyan (Alm) dan ibu Sri
Hartini. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Candimas,
Sekolah Menengah Pertama di SLTP N 29 Palembang, dan Sekolah Menengah
Atas di SMA N 1 Natar, Lampung Selatan. Penulis melanjutkan ke jenjang
sarjana di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lampung. Pada tahun 2012 penulis diterima di Program Studi
Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi),
penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Starter Bakteri Asam
Laktat Menggunakan Substrat Whey Tahu” dibawah bimbingan Prof Dr Anja
Meryandini MS dan Dr Ir Titi Candra Sunarti MSi. Artikel penelitian ini telah
dikirimkan ke jurnal nasional Teknologi Industri Pertanian yang terakreditasi
DIKTI dengan judul yang sama.
Download