Reportase Pelatihan “Man Robbuka” Hari Pertama

advertisement
Reportase Pelatihan “Man Robbuka” Hari Pertama
Assalamu’alaikum, Akang Teteh HI’ers! Kali ini saya akan melaporkan cuplikan dari
kegiatan Pelatihan “Man Robbuka” yang diadakan di Gedung Serba Guna Universitas
Widyatama, tanggal 26 Juli 2012. Kegiatan ini akan dilaksanakan dalam 3 (tiga) sesi
yang berlangsung hingga hari Minggu tanggal 28 Juli 2012. Jadi buat yang belum
sempat hadir di acara pelatihan hari pertama, pada saat tulisan ini dibuat, masih
ada dua hari lagi nih, buat bersilaturahmi dan mengunduh ilmu dalam acara
pelatihan ini.
Acara ini dimulai pada saat ba’da Ashar, sekitar pukul 15.45 WIB, dengan Kang
Dicky Zainal Arifin, Guru Utama kita sebagai penyampai materi. Pada awal acara,
Kang Dicky sedikit memaparkan bahwa materi yang akan beliau sampaikan adalah
materi pengenalan tentang “siapakah Tuhanmu?” dalam versi yang sangat
dipersingkat, karena agar semua materi dapat dipahami secara menyeluruh,
diperlukan waktu lebih dari 3 hari. Masih menurut beliau, karena materi yang beliau
sampaikan diharapkan dapat mengubah paradigma berpikir tentang ketauhidan dan
bagaimana ritual ibadah diinterpretasikan dalam psikis dan keseharian kita sebagai
umat Islam. Kesadaran dan proses berpikir menjadi sangat penting karena umat
islam akan sulit dipecah belah dan diadu domba apabila seluruh umatnya sadar akan
hakikat diri mereka dan mampu berpikir menggunakan akal sebagai mahluk Allah
yang
sempurna.
Kang Dicky memulai sesi pertama dengan mengungkapkan tujuan penciptaan jin
dan manusia dengan menampilkan cuplikan terjemahan surat Adz-Dzariyat ayat 56
yang menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah
kepada Allah SWT. Konteks dari ibadah ini sering menyempit maknanya, sebatas
ritual yang dijabarkan dalam rukun islam, padahal konteks yang lebih luas adalah
bagaimana mengaplikasikan pengertian dari ritual ibadah-ibadah tersebut dalam
setiap tingkah laku kita sehari-hari.
Perbuatan yang akan kita lakukan dimulai dari niat. Niat menentukan motivasi dan
sikap mental kita dalam melakukan segala sesuatu. Dalam ajaran Islam kita
dibiasakan untuk mengucapkan “Bismillah” atau “Dengan nama Allah” sebelum
melakukan
keseharian
kita.
Kang
Dicky
mengambil
contoh
dalam
ritual Thaharah atau bersuci atau berwudhu sebelum melakukan ritual ibadah shalat.
Wudhu adalah bersuci yang disucikan adalah anggota wudhu dimulai dari telapak
tangan hingga telapak kaki. Melakukan wudhu harus disertai dengan pengertian
bahwa tindakan membasuh anggota wudhu dengan air atau debu adalah ikrar kita
kepada Sang Maha Pencipta. Kang Dicky memusatkan perhatian pada pengertian
bagian awal dari wudhu sebagai contoh, yaitu membasuh kedua telapak tangan. Ia
memaparkan bahwa tindakan tersebut harus disertai pengertian bahwa sebagai
individu, kita mengikrarkan diri kita untuk mensucikan apapun yang dilakukan oleh
kedua telapak tangan kita dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
perintah Allah. Artinya, dengan berwudhu, kita harus menyadari bahwa ada aturan
Illahiah yang mengatur tindakan kedua telapak tangan kita selama hidup di dunia.
Dalam aplikasi berwudhu, kita tidak boleh “abas” atau “asal basah” dalam
melakukan wudhu, tapi kita harus paham makna-makna dari tindakan bersuci
tersebut, juga lama atau tidaknya kita berwudhu bukanlah inti dari kegiatan
tersebut. Dengan kerangka berpikir seperti itu, lantas ritual-ritual ibadah, khususnya shalat,
tidak hanya menjadi rangkaian jurus dan mantra saja, tapi dipahami dan diaplikasikan dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Kang Dicky kemudian kembali membahas bacaan “Bismillah” sebagai niat kita
dalam melaksanakan ibadah dan ritual ibadah. Penerjemahan dari “Bismillah”
sendiri ternyata ada dua, yaitu “dengan nama Allah” dan “dengan atas nama Allah.”
Terjemahan pertama bermakna bahwa apapun yang kita lakukan diniatkan dengan
motivasi mengharapkan keridhoan dari Allah SWT semata, sedangkan makna yang
kedua menyatakan bahwa kita sebagai insan atau individu adalah perwakilan dari
Allah di planet bumi. Pemaknaan pertama yang menjadi fokus adalah ikrar bahwa
tiada Illah-Illah lain yang menjadi pengharapan kita, sedangkan fokus dari
pemaknaan kedua adalah kita menjadi manifestasi atau perwujudan dari perintahperintah Allah sebagai wakil Allah SWT.
Kang Dicky memberi contoh bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk menjadi
seorang Wirausahawan yang berpenghasilan, bukan pegawai yang digaji karena kita
sudah kita dibiasakan untuk bekerja karena Allah bukan karena uang atau gelar.
Melakukan pekerjaan karena Allah memerlukan proses berpikir, tidak hanya
menerima gaji saja tanpa memedulikan halal atau haramnya uang yang kita
dapatkan. Dalam Sistem ekonomi syariah dikenal istilah bagi hasil, yaitu hubungan
diantara pekerja dengan pemberi kerja adalah rekanan, bukan atasan dan bawahan.
Dalam sistem usaha syariah, setiap individu yang terlibat memiliki tanggung jawab
yang sama terhadap bidang usahanya dan mendapatkan hak yang sesuai dengan
penghasilan yang didapatkan oleh perusahaan, sebaliknya dengan sistem usaha
konvensional yang memiliki sistem pembukuan tertutup, pegawai hanya akan gaji,
tanpa mengetahui bila perusahaannya untung atau rugi. Dalam konteks usaha
syariah, titik perhatiannya adalah rasa memiliki usaha sebagai sarana ibadah kepada
Allah SWT, bukan bekerja atau menyelesaikan pekerjaan dengan tujuan
mendapatkan gaji semata. Dua motivasi yang berbeda tersebut menimbulkan
dampak yang berbeda, di satu pihak bila niat kita bekerja adalah beribadah untuk
Allah, maka motivasi kita adalah melakukan yang terbaik, sedangkan bila niat kita
untuk mendapatkan uang maka motivasi yang terbentuk adalah mendapatkan yang
terbanyak, bahkan dengan cara apapun.
Sebelum melanjutkan materi, kang Dicky mengajak hadirin untuk melakukan
simulasi. Kang Dicky mengawali dengan menyinggung perbuatan berghibah atau
menyebar fitnah. Secara naluriah, manusia mudah tertarik dengan berita kejelekan
orang lain, berbanding terbalik dengan kabar kebaikan atau kontribusi yang
dilakukan oleh orang lain tanpa menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut.
Kang Dicky mengajak hadirin untuk menulis kata “keburukan” pada secarik kertas
untuk dikumpulkan secara estafet pada orang paling kanan di barisan terdepan baik
itu shaf ikhwan maupun shaf akhwat. dari puluhan peserta yang hadir, terkumpul
puluhan kertas pula pada peserta ikwan dan akhwat tersebut. Simulasi tersebut
menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang singkat, bagi keburukan yang
disebarkan kepada banyak individu untuk menjadi catatan amalan yang harus
dipertanggung-jawabkan nanti di hari penghisaban. Ibaratnya satu orang yang
menyebar keburukan, maka semakin banyak orang-orang yang mengetahui kabar
keburukan tersebut, semakin banyak pula dosa yang menjadi tanggung jawab si
penyebar kabar begitu pula sebaliknya.
Kemudian, kang Dicky mengajak untuk mengulas fenomena gelar yang terjadi di
kehidupan sehari-hari dan dalam bidang akademik. Gelar merupakan sebuah
kebanggan yang dicapai ketika berhasil melaksanakan sesuatu agar sesuatu yang
telah kita capai tersebut mendapat pengakuan dari orang lain. Kang Dicky
menyinggung mengenai gelar “Haji” dan gelar “Sarjana.” Gelar Haji merupakan
pengakuan yang diberikan masyarakat atau diri sendiri bahwa individu tersebut
telah melakukan ibadah Haji dengan motif menunjukkan bahwa orang tersebut,
semata-mata, telah melakukan ritual ibadah Haji dengan susah payah, sedangkan
gelar Sarjana merupakan gelar yang didapatkan setelah individu menuntaskan
kewajibannya melakukan rangkaian akademik di perguruan tinggi. Ritual Ibadah
tersebut dan rangkaian pembelajaran di perguruan tinggi telah beralih fungsi
menjadi alat kepentingan pribadi, bukan didasari “dengan nama Allah.” Dengan
tujuan tersebut, kepentingan yang muncul adalah mendapatkan kebanggan dari
gelar tersebut bagi individu, bukan tindakan nyata individu tersebut bagi umat baik
itu dari ibadah yang telah dilaksanakannya atau ilmu yang dimiliki dari proses
akademis tersebut.
Selanjutnya, Kang Dicky menegaskan perbedaan antara penceramah dengan ulama.
Penceramah adalah orang yang seseorang (yang berprofesi) melakukan ceramah,
sedangkan ulama adalah seorang ilmuan yang meneliti hakikat ilmu pengetahuan.
Penceramah bukan ilmuan, karena penceramah hanya menyampaikan kabar,
sedangkan ilmuan melakukan penelitian untuk memahami bidang ilmu tertentu.
Manusia cenderung belajar dari contoh, bukan hanya dari pembicaraan saja,
sehingga tanggung jawab seorang ulama lebih besar daripada seorang penceramah,
karena dia harus bisa mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmu atau
memberikan kontribusi dari ilmu pengetahuan yang telah dipahaminya, tidak hanya
sekedar mengabari saja. Walaupun begitu, siapapun tidak berhak melabeli seseorang
itu kafir atau bukan hanya dengan pemahamannya saja, karena didalam QS. AnNahl ayat 125 disebutkan bahwa hanya Allah-lah yang paling mengetahui siapa saja
orang yang tersesat di jalan-Nya sehingga tidak ada satu manusia pun yang berhak
melakukan itu, bila ada yang bertindak seperti itu, maka secara tidak langsung dia
sudah bermain menjadi Tuhan.
Menjelang akhir acara, kang Dicky menunjukkan kutipan yang beliau katakan
sebagai prinsip, yaitu “hidup adalah NYATA, sedangkan MIMPI adalah bagi yang
tidur.” Islam mengajarkan manusia untuk selalu bertindak dan tidak terjebak pada
teori saja, karena Allah telah memerintahkan kita untuk selalu berbuat baik, dimulai
dari diri kita sendiri. Kang Dicky mengingatkan bahwa tubuh manusia itu sudah
lengkap dan dilengkapi dengan sensor-sensor yang bisa mengetahui perubahan
alam. Adzan adalah penanda waktu shalat, namun perubahan alam yang terkait
dengan waktu shalat itu bisa kita rasakan bila kita mau mengenalinya.
Reporter: Ruby Ruhuddien
Download