BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Kognitif

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Kognitif
2.1.1. Definisi Kognitif
Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau “untuk
mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan
ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga mengacu pada suatu
lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar dan mengingat;
mengatur merencana dan memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan
perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami
lingkungan, dan melakukan perhitungan (National Multiple Sclerosis Society, n.d.).
Menurut Kamus Kedokteran Stedman (2002), kognitif adalah fakultas mental yang
berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar, mengenali,
memahami, menilai, dan membayangkan.
Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya
aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor.
Malah, setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses
encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi
ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian dapat
secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi beberapa
tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang
berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan
penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek
kognitif bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan
pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemrograman dan
eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi kognitif di atas ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih atau gembira), tingkat kewaspadaan dan
tenaga, kesejahteraan fisik dan juga motivasi (Nehlig, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Kognisi sangat sulit untuk diartikan secara definitif karena konsep ini digunakan
secara meluas dalam berbagai konteks (neurokognitif, sains kognitif, psikologi kognitif,
dan sebagainya) yang memberikan beberapa definisi yang khusus tetapi tidak ada satu
pun yang umum.
Oleh sebab itu, secara sederhananya fungsi kognitif ini dapat disimpulkan sebagai
semua proses mental yang digunakan oleh organisme untuk mengatur informasi seperti
memperoleh input dari lingkungan (persepsi), memilih (perhatian), mewakili
(pemahaman) dan menyimpan (memori) informasi dan akhirnya menggunakan
pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik)
(Bostrom & Sandberg, 2009).
2.1.2. Enhancer kognitif
Konsep peningkatan kognitif atau cognitive enhancement dapat didefinisikan sebagai
amplifikasi atau ekstensi dari kapasitas berpikir melalui augmentasi sistem memproses
maklumat interna atau eksterna. Enhancement atau perbaikan merupakan suatu
intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki suatu subsistem dan hal ini bukan
bertujuan untuk membetuli atau mengoreksi suatu kelainan fungsi. Individu yang
meningkatkan fungsi kognitifnya adalah seorang yang memperoleh manfaat dari
intervensi untuk meningkatkan prestasi dari sebagian aspek kognitifnya tanpa
mengobati kelainan patologi yang spesifik (Bostrom & Sandberg, 2009).
Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan fungsi kognitif apakah secara
farmakologi atau nonfarmakologi. Pendekatan nonfarmakologi merupakan intervensi
konvensional yang telah diamalkan sejak ribuan tahun. Hal ini termasuklah proses
edukasi dan latihan di mana tujuan utama bukanlah hanya untuk menguasai suatu
informasi atau ketrampilan yang khusus, bahkan untuk meningkatkan kapasitas umum
fakultas mental seperti konsentrasi, memori, dan pemikiran kritis. Latihan mental yang
lain adalah seperti yoga, seni bela diri, meditasi dan kursus kreativitas.
Universitas Sumatera Utara
Belajar membaca dapat mengubah cara pemrosesan bahasa di otak (Petersson,
2000). Selain itu, lingkungan masa kanak-kanak yang kaya dengan rangsangan mungkin
dapat meningkatkan kognisi melalui neurogenesis dan penambahan jumlah percabangan
dendritik karena hal ini telah terbukti pada hewan (Nillson et al, 1999). Selain itu,
lingkungan yang kaya dengan stimulasi dapat memproteksi otak dari stress dan
neurotoxin (Schneider et al, 2001) sehingga fungsi kognitif dapat meningkat.
Sebenarnya, kognisi individu akan berkurang apabila dipengaruhi oleh masalah
kesehatan. Oleh sebab itu, fungsi kognitif dapat ditingkatkan dengan memperbaiki tidur,
fungsi imun dan kesejahteraan fisik secara umumnya. Sudah tidak dapat dinafikan
bahwa olahraga dapat secara sementara meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya
tergantung pada jenis dan intensitas olahraga (Tomporowski, 2003). Olahraga yang
dilakukan dalam jangka masa yang panjang dapat mempengaruhi kognisi, mungkin
melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors
(Vaynman & Gomez-Pinilla, 2005). Pada masa yang sama, intervensi yang lain adalah
latihan mental dan teknik visualisai yang sering digunakan oleh atlet untuk
meningkatkan kemahiran. Formulir klasik yang digunakan untuk meningkatkan fungsi
kognitif adalah strategi khusus untuk menghafalkan informasi seperti “metode loci” di
mana pemakainya akan membayangkan bagian interior suatu bangunan untuk
diasosiasikan dengan subjek yang hendak dihafalnya. Selain itu, ada berbagai lagi teknik
mental yang digunakan seperti metode speed reading dan peta berpikir (Bostrom &
Sandberg, 2009).
2.1.3. Nootropik
Nootropik yang juga dikenal sebagai obat pintar merupakan obat, suplemen, dan
makanan yang dikatakan mampu meningkatkan fungsi kognitif seperti memori,
kecerdasan, motivasi, perhatian dan konsentrasi. Konsumsi obat pintar ini mempunyai
efek fisiologis langsung terhadap otak seperti mengubah bioavailabilitas suplai
neurokimiawi otak (neurotransmitter, enzim, dan hormon), selain meningkatkan
aktivitas neuronal, dan menstimulasi pelepasan neuromodulator (Bostrom & Sandberg,
2009).
Universitas Sumatera Utara
Intervensi farmakologi untuk meningkatkan fungsi kognitif sudah lama digunakan
oleh masyarakat. Obat stimulans seperti nikotin dan kafein dikonsumsi untuk
meningkatkan perhatian dan memori di samping mengurangkan kelelahan. Selain itu,
ekstrak herba seperti Ginko Biloba adalah sangat populer, dengan penjualan herba ini
sahaja menghasilkan keuntungan ratusan juta dollar setiap tahun di Amerika Serikat
(Bostrom & Sandberg, 2009).
Dewasa ini, penggunaan obat pintar ini semakin meluas digunakan di dalam lingkup
akademik seperti Adderall, Ritalin dan Modafinil (Provigil) serta obat penambah
kecerdasan lainnya, untuk meningkatkan produktivitas. Kira-kira 7% mahasiswa di AS
mengonsumsi stimulans ”nonmedik” sekurang-kurangnya sekali, berdasarkan satu studi
pada tahun 2005 yang melibatkan 11 000 siswa (Szalavitz, 2009).
Pada tahun 2008, satu survei yang melibatkan 2,087 pelajar perguruan tinggi telah
melaporkan penggunaan methylphenidate (di bawah nama dagang Ritalin dan Concerta)
secara nonmedik sebanyak 5,3%. Satu penelitian yang lain turut menemukan 6,9%
pelajar perguruan tinggi mengonsumsi stimulan termasuk Ritalin dan Adderal bukan
untuk tujuan medis (Goodman, 2010). Jelasnya, penggunaan nootropik adalah sangat
sering untuk tujuan akademik.
Kafein merupakan stimulans yang paling meluas digunakan oleh golongan akademik
karena murah dan mudah didapatkan. Menurut McIlvain (2008), penelitian yang
dilakukan oleh Pele (1989) menemukan bahwa obat yang sering digunakan oleh
mahasiswa di Benin City, Nigeria adalah kafein di mana 95% pelajar dilaporkan
menggunakan kafein di tempat sosial. Penelitian ini didukung oleh Egdochuku dan
Akrele (2007). Mereka melaporkan bahwa mahasiswa Nigeria paling sering
menyalahgunakan kafein berbanding stimulans yang lain. Kafein juga merupakan obat
pilihan mahasiswa kedokteran dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian oleh Lee K-H et al (2009), konsumsi kafein untuk tujuan
akademik meningkat apabila mahasiswa kedokteran melanjutkan kuliah dari tahun
pertama hingga tahun ketiga. Ternyata, kafein adalah obat stimulans yang paling sering
dikonsumsi untuk tujuan akademik karena lebih praktis dan dipercaya mempunyai efek
nootropik yang signifikan.
2.2. Kafein
Kafein adalah zat psikoaktif yang paling meluas dikonsumsi sehingga
kadang-
kadang dianggap sebagai obat yang disalahgunakan. Konsumsi kafein diperkirakan
sebanyak 76 mg/hari per orang, sehingga ada yang melebihi 230 mg/hari di Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia. Penggunaan kafein yang tersebar luas ini telah
menjadikannya sebagai fokus kepada banyak penelitian dalam dekade ini (Peeling &
Dawson,2007).
2.2.1. Sejarah Istilah Kafein
Sejarah zat ini kembali ke sekitar tahun 4700 SM ketika teh sangat populer di China.
Kafein pertama kali di isolasi di Jerman pada tahun 1820 oleh Runge. Selain itu, zat ini
juga dilaporkan telah disolasi oleh Robiquete pada tahun 1823 dan Pelletier pada tahun
1826. Terdapat banyak istilah lain yang merujuk kepada kafein seperti “cofeina”(1823).
“guaranin” dan “coffein”(1826), dan pada tahun 1827, istilah “thein” digunakan oleh
Oudry. Pada tahun 1838 dan akhirnya tahun 1840, zat yang berbeda namanya ini baru
disadari sebenarnya adalah sama dan istilah “caffeine” meluas digunakan. Istilah ini
mula diperkenalkan oleh Pelletier yang telah mengisolasi zat ini dari kopi dan memberi
nama “cafeine”. Oleh sebab itu, kafein secara historisnya mempunyai asosiasi yang
sangat eksklusif dengan kopi (Mcilvain, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Sifat Kafein
Gambar 2.1. Struktur kimia kafein
Kafein merupakan sejenis alkaloid heterosiklik dalam golongan methylxanthine, yang
menurut definisi berarti senyawa organik yang mengandung nirogen dengan struktur
dua-cincin atau dual-siklik. Molekul ini secara alami terjadi dalam banyak jenis tanaman
sebagi metabolik sekunder. Fungsinya dalam tumbuhan adalah sebagai antibiotik dan
antijamur selain dapat menyebabkan paralisis dan kematian kepada serangga (Allsbrook,
2008). Zat ini dihasilkan secara eksklusif dalam daun, kacang-kacangan dan buah-buahan
lebih dari 60 tanaman, termasuk daun teh biasa (Camellia sinensis), kopi (Coffea
arabica), kacang koko (Theobroma cacao),kacang kola (Cola acuminata) dan berbagai
macam berry (Reinhardt, 2009).
Zat ini dalam bentuk murni muncul sebagai bedak kristal putih yang pahit dan tidak
berbau. Rumus kimianya adalah
C8H10N4O2 dan memiliki nama kimia 1,3,7-
trimethylxanthine. Nama IUPAC untuk kafein adalah 1,3,7-trimethyl-1H-purine2,6(3H,7H)-dione, 3,7-dihydro-1,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6-dione.
Beberapa sifat fisik kafein adalah:
Titik didih: 178 C
Titik lebur: 238 C
Kepadatan: 1,2 g / cm ^ 3
pH: 6.9
Berat molekul: 194,19 g / mol
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein
Kafein terkandung dalam sejumlah sumber makanan yang dikonsumsi di seluruh dunia
yaitu, teh, kopi, minuman coklat, bar coklat, dan minuman ringan. Rentang kandungan
kafein untuk berbagai jenis makanan ini adalah 40-180 mg/150 ml untuk kopi, 24-50
mg/150 ml untuk teh, 15-29 mg/180 ml untuk kola, 2 sampai 7 mg/150 ml untuk koko,
dan 1 sampai 36 mg/28 g untuk coklat. Konsumsi kopi dari semua sumber diestimasikan
sebanyak 70 sampai 76 mg/orang/hari di seluruh dunia tetapi mencapai 210 sampai 238
mg/hari di AS dan Kanada serta melebihi 400 mg/orang/hari di Swedia dan Finlandia, di
mana 80 hingga 100% sumber kafein adalah dari kopi sahaja. Di Ingris, konsumsinya
adalah setinggi Swedia dan Finlandia tetapi 55% didapatkan dari teh, 43% dari kopi, dan
2% dari kola (Fredholm et al, 1999). Konsumsi kafein terintegrasi dengan sangat baik
dalam kebudayaan sosial seperti waktu rehat kopi di Amerika Serikat, budaya minum teh
di Inggris dan mengunyah kacang kola di Nigeria (Strain & Griffith, 1995). Selain itu, pada
anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun, konsumsi harian kafein adalah dalam rentang 0,5
sampai 1,8 mg/kg dengan minuman ringan mewakili 26 hingga 55%, makanan dan
minuman bercoklat sebanyak 17 hingga 40%, teh 6 hingga 34% dan kopi sebanyak 0
hingga 22% dari keseluruhan asupan kafein (Fredholm et al, 1999). Hal ini membuktikan
betapa meluasnya penggunaan kafein di seluruh dunia.
2.2.4. Farmakologi Kafein
Absorbsi kafein di salur pencernaan adalah sangat cepat dan mencapai 99% pada
manusia sekitar 45 menit setelah diingesi. Penyerapannya tidak sempurna apabila
diambil sebagai kopi dengan 90% kafein dalam secangkir kopi akan diabsorbsi dalam
waktu 20 menit setelah diminum, dengan efeknya bermula dalam satu jam dan bertahan
selama 3 hingga 4 jam.
Konsentrasi plasma memuncak setelah 40 hingga 60 menit dengan waktu paruh
kira-kira 6 jam ( 3 sampai 7 jam) pada dewasa sehat.
Universitas Sumatera Utara
Bagaimanapun, waktu paruhnya berkurang pada individu yang merokok dan
meningkat sehingga 2 kali lipat pada wanita hamil atau yang menggunakan kontrasepsi
oral dalam jangka waktu panjang (Lee K-H et al, 2009). Kafein bersifat hidrofobik
sehingga dapat melewati semua membran biologis seperti sawar darah otak dan
plasenta (Fredholm et al, 1999).
Zat ini dimetabolisir secara demethylation dan oxidation. Jalur metabolisme mayor
akan menghasilkan paraxanthine (1,7-dimethylxanthine), dan metabolit urin yang utama
adalah l-methylxanthine, 1-methyluric acid, dan aceylated uracyl derivative. Jalur
degradasi yang minor melibatkan pembentukan dan metabolime theophylline dan
theobromine. Kadar eliminasi methylxanthine bervariasi di antara individu karena
pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga perbedaan yang mencapai empat kali lipat
adalah tidak mengherankan. Metabolisme zat ini juga dipengaruhi oleh agen lain atau
penyakit khusus. Misalnya, merokok dan kontrasepsi oral menyebabkan peningkatan
yang kecil tapi nyata terhadap eliminasi methylxanthine. Waktu paruh theophylline
dapat meningkat dengan signifikan pada penderita sirosis hati, payah jantung, atau
edema paru akut, dengan nilai melebihi 60 jam pernah dilaporkan (Chawla & Suleman,
2008).
2.2.4. Mekanisme Kerja
Efek fisiologis kafein yang beraneka ragam mungkin disebabkan oleh tiga mekanisme
kerjanya, (1) mobilisasi kalsium intrasellular, (2) peningkatan akumulasi nukleotida siklik
karena hambatan phosphodiesterase., dan (3) antagonisme reseptor adenosine (Nehlig,
1999).
Mobilisasi kalsium intasellular dan inhibisi phosphodiesterase khusus hanya berlaku
pada konsentrasi kafein yang sangat tinggi dan tidak fisiologis. Oleh sebab itu,
mekanisme kerja yang paling relevan adalah antagonisme reseptor adenosine.
Adenosine berfungsi untuk mengurangkan kadar ledakan neuron selain menghambat
transimisi sinaptik dan pelepasan meurotransmitter.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat empat reseptor adenosine yang dikenal: A1, A2(A dan B) dan A3. Reseptor
A1 dan A2 merupakan subtipe utama yang terlibat dengan efek kafein karena dapat
berikatan dengan kafein pada dosis kecil, A2B pula berikatan pada dosis yang tinggi dan
A3 tidak sensitif terhadap kafein.
Reseptor A1 banyak terdistribusi di seluruh otak dengan densitas yang tinggi di
hipokampus, korteks dan serebelum manakala A2 banyak terdapat di striatum, nukleus
akumbens, tuberkulum olfaktorius dan amygdala serta mempunyai ekspresi yang lemah
di globus pallidus dan nukleus traktus solitarius. Tidak seperti A1, reseptor A2
berpasangan dengan G protein stimulatorik dan berhubungan dengan receptor D2
dopamin. Administrasi A2 agonis akan mengurangkan afinitas ikatan dopamin di
reseptor D2 yang terletak di membran striatal (Chawla & Suleman, 2008).
Selain memberi efek terhadap tidur dan kewaspadaan melalui aktivasi neuron
kolinergik mesopontin oleh antagonisme receptor A1 (Dixit, Vaney & Tandon, 2006),
kafein juga berinteraksi dengan sistem dopamin untuk memberikan efeknya terhadap
perilaku. Hal ini dicapai melalui penghambatan reseptor adenosine A2 sehingga kafein
dapat mempotensiasi neurotansmisi dopamin, dengan demikian dapat memodulasi
reward system. Selain itu, konsumsi kafein, toleransi dan ketergantungan mempunyai
komponen genetika berdasarkan beberapa penelitian yang melaporkan adanya
hubungan antara polimorfisme gen A2A dengan sensisitivitas terhadap efek kafein
(Temple, 2010). Antagonisme reseptor adenosin mungkin dapat mempengaruhi proses
kognisi antara lainnya dengan mengaktivasi reseptor D1 dan D2. Penelitian yang
dilakukan pada monyet telah membuktikan bahwa aktivasi reseptor D1 dan D2 dapat
meningkatkan prestasi tugas yang menggunakan memori kerja (Dixit, Vaney & Tandon,
2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Efek Fisiologis Kafein
Seperti yang telah dijelaskan, mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat
reseptor adenosine yang secara normalnya berikatan dengan adenosine, juga
merupakan sejenis alkaloid heterosiklik.
Adenosin merupakan neurotransmitter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel
terutama sel saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosine berikatan dengan kafein,
efek yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulans kafein (Allsbrook,
2008). Walaupun mekanisme utama kafein adalah antagonisme reseptor adenosine, hal
ini akan menjurus ke efek sekunder dari berbagai jenis
neurotransmitter seperti
norepinefrin, dopamine, asetilkolin, glutamate dan GABA sehingga akan mempengaruhi
fungsi fisiologis tubuh yang berbeda. Efek fisiologis kafein termasuklah peningkatan
denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, peningkatan sistem renin, tremor, kejang dan
urticaria.
Selain itu, dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner, nyeri kepala, gangguan tidur
dan peningkatan suhu tubuh (McIlvain, 2008). Kafein juga dapat meningkatkan proses
lipolisis, mengurangkan glikogenolisis dan meningkatkan glukosa darah serta konsumsi
oksigen. Hal yang menjadi fokus utama di sini adalah dampak kafein terhadap sistem
saraf pusat sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan fungsi kognitif.
2.2.6. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek neurologik kafein terhadap sistem
saraf pusat. Bukti dari Magnetic Imaging Resonance (MRI) menunjukkan aliran darah
serebral berbanding lurus dengan asupan kafein. Konsumsi akut 400 mg kafein dapat
secara signifikan meningkatkan aliran darah di arteri serebralis anterior dan media. Hal
ini dibuktikan melalui pulsed transcranial Doppler sonography.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, kafein secara akut dapat meningkatkan efisiensi kerja jaringan neuron di
kortek serebral manusia. Sebagai contoh, 20 menit setelah konsumsi 100 mg kafein
sambil mengerjakan tugas yang menggunakan memori kerja, subyek memperlihatkan
pada MRI bahwa adanya peningkatan aktivitas neuronal di jaringan daerah otak yang
berhubungan dengan aspek perhatian dari fungsi kognitif. Dengan demikian, kafein
dapat meningkatkan ’energi mental’ sehingga peningkatan kewaspadaan dan tingkat
konsentrasi ini berupaya untuk meningkatkan fungsi kognitif secara keseluruhannya
(Glade, 2010).
2.2.7. Kafein dan Fungsi Kognitif
Penelitian menunjukkan bahwa pelepasan katekolamin norepinefrin (NE) di sistem saraf
pusat yang optimum dapat secara signifikan meningkatkan perhatian, pembelajaran dan
kewaspadaan. Menurut Berkowitz et al, zat kafein berperan dalam peningkatan
pelepasan NE di sistem saraf pusat (Peeling & Dawson, 2007) dan hal ini mungkin
merupakan salah satu mekanisme kafein dalam mempengaruhi fungsi kognitif selain
aktivasi reseptor dopamine di otak.
Banyak penelitian telah dijalankan untuk membuktikan efek neurologik kafein.
Konsumsi bolus tunggal kafein sekecil 30 sampai 50 mg dapat merangsang kewaspadaan
dengan bermakna dan dapat meningkatkan konsentrasi untuk sekurang-kurangnya 20
menit (Lieberman et al, 1987). Rentang dosis sekecil ini terkandung dalam satu kaleng
minuman ringan dan obat analgesik dan ternyata dapat memberikan efek stimulans.
Di samping itu, dibandingkan dengan plasebo, konsumsi 100 mg kafein 1 jam
sebelum mengikuti kuliah universitas selama 75 menit secara signifikan meningkatkan
konsentrasi, kewaspadaan, perhatian, dan keterjagaan mental (Peeling & Dawson,
2007). Selain itu, menurut Frewer dan Lader (1991), dosis kafein sedang (250mg) adalah
efektif untuk meningkatkan prestasi kerja yang memerlukan perhatian. Namun
demikian, pada dosis yang terlalu tinggi (500mg), terjadi overstimulasi tingkat
keterjagaan mental subyek sehingga prestasi mulai menurun (Peeling & Dawson, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, diduga konsumsi kafein pada dosis sedang dapat meningkatkan
proses kognisi yang penting untuk proses pembelajaran. Malah menurut laporan
definitif tahun 2001 (Caffeine for the Sustainment of Mental Test Performance.
Formulations for Military Operations), Institute of Medicine Food and Nutrition Board
Committee on Military Nutrition Research telah menyimpulkan bahwa konsumsi kafein
pada dosis 150 mg dapat meningkatkan prestasi kognitif dan efek ini berlangsung untuk
selama 10 jam setelah konsumsi.
Selain efek kafein yang jelas terhadap kewaspadaan, perhatian dan keterjagaan
mental, kafein mungkin mempunyai dampak terhadap aspek memori dari aspek kognitif.
Riedel et al (1995) menunjukkan bahwa supplemen kafein 250 mg dapat
meningkatkan prestasi pada tugas belajar kata. Riedal dan kawan-kawan mengusulkan
bahwa kafein merangsang stimulasi kolinergik pada sistem saraf pusat, akhirnya
mengurangkan efek pelemahan skopolamin terhadap daya ingat jangka pendek dan
jangka panjang. Oleh sebab itu, adalah masuk akal untuk diusulkan bahwa perbaikan
memori yang diinduksi kafein dapat meningkatkan kemampuan pelajar untuk mengingat
dam mengasosiasi materi kuliah sewaktu pembelajaran di dalam kelas. Namun
demikian, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa kafein hanya dapat bekerja
sebagai enhancer kognitif yang signifikan jika terdapat disfungsi kolinergik seperti pada
pasien Alzheimer (Johnson-Kozlow et al, 2002). Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa efek
kafein lebih bermakna hanya terhadap terhadap pasien yang berusia lanjut yang telah
mengalami penurun fungsi kognitif secara alami karena usia (Nehlig, 2010).
Dengan demikian, terdapat banyak penelitian dan laporan yang telah dihasilkan
berhubungan dengan efek dan dosis kafein terhadap fungsi fisiologis dan kognitif, yang
semuanya dapat memberi impak terhadap edukasi dan pembelajaran. Meskipun
demikian, tidak banyak penelitian sebelumnya yang menyelidiki efek konsumsi kafein
terhadap fungsi kognitif mahasiswa sedangkan kafein adalah sangat popular dalam
kalangan mahasiswa untuk tujuan akademik.
Universitas Sumatera Utara
Download