Kurikulum Pendidikan di Madrasah

advertisement
Kurikulum Pendidikan di Madrasah
Yang
dimaksud
dengan
kurikulum
adalah
sejumlah
mata
pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu
periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya
bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang1 secara
nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dengan kata lain,
kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar
maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga
pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai
kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas.
Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru
dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun
madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan
kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Kurikulum pendidikan madrasah merupakan pengembangan lebih
lanjut dan lebih "standar" (dalam arti dapat digunakan secara
seragam oleh siapa saja) dari kurikulum yang pernah dikenal pada
masa Nabi Saw.. Kurikulum pendidikan pada masa Nabi Saw.
ditentukan secara pribadi oleh beliau sendiri yang bertindak sebagai
perancang pendidikan, konsultan sekaligus guru. Pada saat itu belum
ada
undang-undang
pendidikan
yang
mengatur
segala
bentuk
pengelolaan dan pengembangan pendidikan. Pada masa Khulafa alRasyidun dan Bani Umayyah kurikulum pendidikan ditentukan oleh
para ulama dan khalifah yang memerintah pada masa itu. Sementara
itu pada masa Dinasti Abbasyiah, ketika lembaga pendidikan model
madrasah sudah mulai dikenal, kurikulum dan metode pendidikan
1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung:
Rosdakarya, 1992), h. 53.
diurus oleh ulama, sedangkan khalifah tidak terlalu dominan dalam
menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Ini dilakukan dalam
kerangka penghormatan mereka terhadap otorita lembaga pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan para ulama.,
selain karena mereka disibukkan dengan urusan politik.
Sepanjang
masa
pendidikan
klasik
Islam,
penentuan
pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di
tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima
secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan
mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh
terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus
penolakan atas aliran yang diilhami filsafatYunani terutama pasca alGhazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam
bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi
dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis
dan halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan
dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada kurikulum dan
metode pengajaran saja.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah
dengan konsep awal klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di
madrasah. Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas,
menurutnya, perlu memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan
Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang
ahli kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah, yang
mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar pertengahan abad
ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang
ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu keagamaan; 2) ilmu-ilmu klasik (filsafat
Yunani, filsafat (Timur) Persia dan sebagainya, yang disebut alazua'il).,
dan
3)
ilmu-ilmu
sastra
(adab).
Makdisi, seperti diungkapkan Hasan Asari menulis:
Nilai penting dari interrelasi ketiga kelompok (pengetahuan) ini
paling baik diibaratkan dengan sebuah segitiga sama kaki yang
terbalik. Dua kelompok pertama berada pada posisi dua ujung
dasar segitiga yang telah terbalik ke atas dan kelompok ketiga ada
pada puncak segitiga yang dibalik dari atas ke bawah. Ilmu-ilmu
kelslaman menduduki tempat terhorn.at pada sebelah kanan,
filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut sebelah kiri pada level yang
sama dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih rendah,
dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi.
Ilmu-ilmu keislaman memegang kontrol penuh dan menjadi unsur
penting bagi lembaga-lembaga pendidikan. Naiknya ilmu-ilmu ini
mulai terjadi secara nyata setelah gagalnya gerakan rasionalis
(teologi Muktazilah dan filsafat) dan mencapai puncaknya pada
pertengahan abad ke 5 H/l 1 M. Dalam kelompok mi, hukum Islam
(fiqh) dianggap sebagai satu dari segala cabang pengetahuan dengan
peringkat yang tertinggi, sementara ilmu-ilmu sastra berfungsi
sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yang disebut ilmu-ilmu kuno,
yaitu ilmu-ilmu yang berasal dariYunani ditentang oleh sarjana
Muslim di tengah masyarakat, tetapi memperoleh penghormatan
secara terselebung di kalangan sebagian terpelajar.
Keterangan di atas cukup menggambarkan secara garis besar
kurikulum pendidikan yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama
sangat jelas mendominasi madrasah, seperti juga di lembaga masjid
atau masjid khan. Sejauh pengamatan ahli sejarah pendidikan Islam,
belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum satu madrasah. Hal-
hal
ini
dianggap
sulit
apabila
dihubungkan
dengan
sifat-sifat
madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu
madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan
materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan
pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap
Syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari
ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur'an, hadist, tafsir, fiqih, ushul
fiqih, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok ilmu-ilmu
keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk
mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak
menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu
menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf
di beberapa madrasah, namun posisinya jelas tidak sepenting posisi
mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum
diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak
begitu dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran
tersendiri (khusus).
Di dalam pengembangan kurikulum khususnya pelajaran agama,
madrasah mempunyai satu persoalan yaitu mengenai pelajaran
Kalam. Para ahli menyebutkan bahwa Ilmu Kalam tidak mendapat
tempat
dalam
kurikulum
madrasah.
Sementara,
yang
lain,
berpendapat bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum
madrasah. Untuk soal pertama, George Makdisi menulis bahwa
madrasah bukanlah lembaga
pengajaran
fiqih
(hukum).
pengajaran
Kalam
tetapi
lembaga
Kemenangan
aliran
Asy'ariyah
atas
Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah
Nizhamiyah
dan
madrasah
tersebut
bukanlah
lembaga
resmi
pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al-Mulk
karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum,
dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak
mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar
(professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai
ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru
besar hukum). Di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan
kalam.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen
linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas
dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana
terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini
mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-rs". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung
pernyataannya bahwa madrasah (salah satu kata jadian d-r-s) adalah
lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Justifikasi penerjemahan kata [madrasah] ini menjadi lembaga
pendidika tinggi hukum [college of law] dapat ditemukan dalam arti
teknis kata jadian dari akar kata d-r-s. Istilah untuk hukum adalah
fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars; seorang guru besar
fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak
dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih,..... darrasa
dan tadris, secaraberturut,berarti mengajarkan hukum dan hal-hal
yang berhubungan dengan pengajaran hukum.
Dan akhirnya istilah madrasah nama satu tempat (ism makan)
dimana sebuah dars, yakni satu pelajaran fiqih, adalah merupakan
kegiatan utama dari guru dan murid. .... tidak ada madrasah yang
digunakan untuk tujuan utama yang lain; pengajaran disiplin-disiplin
semacam
ilmu
Qur'an,
hadits,
nahu
dan
sebagainya
hanyalah
[kegiatan] sampingan.
Dengan
menunjukkan
bahwa
Madrasah
Nizhamiyah
tidak
mempunyai guru ilmu kalam (teologi), ditambah dengan argumen
linguistik yang menyimpulkan bahwa madrasah adalah lembaga
pengajaran hukum, adalah wajar kalau kemudian Makdisi menyatakan
bahwa kebangkitan aliran teologi Asy'ariyah tidak ada hubungannya
dengan madrasah, persis sama dengan pendahulunya, masjid. Bagi
Nizham al-Mulk, fungsi madrasah mengajarkan salah dari mazhab
yang empat.
Makdisi membantah Goldziher dalam kaitan soal antara ilmu
kalam dengan madrasah. Goldziher menyebut bahwa madrasah
Nizhamiyyah adalah prototipe lembaga pendidikan yang mengajarkan
ilmu kalam dengan alasan bahwa pembangunan itu atas kemenangan
paham Asy'ariyah terhadap muktazilah dan Hanbaliyah. Goldziher
melihat teologi yang dianut Nizham al-Mulk sebagai kurikulum utama
pengajaran
menurutnya,
di
madrasah
yang
merupakan bagian
ia
bangun,
dari
sarana
dan
madrasah
propaganda
itu,
untuk
meyebarkan paham Asy'ariyah dan menguburkan paham-paham lain.
Pandangan ketiga tidak melihat persoalan ini secara hitam putih
dan menghasilkan posisi relatif di tengah. Beberapa penulis dapat
dikelompokan ke dalam pandangan ini. Berikut ini akan kita kutipkan
dua penulis dan sejarahwan Arab: 'Abd al-Lathif Tibawi dan M. Hasan
Naqib. Tibawi, dalam satu artikel yang dia tulis sebagai respon
terhadap tesis Makdisi, menyatakan bahwa spesialisasi seperti yang
diinginkan oleh Makdisi adalah hal yang tidak mungkin pada abad ke5/11. Seseorang sarjana saat itu, menurut Tibawi, adalah orang yang
menguasai berbagai cabang ilmu agama sekaligus, termasuk dalam hal
ini Ilmu Kalam. Tibawi mengakui tidak adanya bukti langsung tentang
isi kurikulum madrasah; namun katanya: "Satu hal kita ketahui secara
agak pasti, yaitu bahwa madrasah melambangkan teologi ortodoks
atau filsafat spekulatif dan natural, dan bahwa keseluruhan ilmu-ilmu
agama ('ulum al-diri) termasuk cakupan kurikulum madrasah.
Sisi lain dari argumen pandangan ketiga ini bertalian dengan
argumen linguistik yang dilontarkan oleh Maksidi. Mudarris bukan
satu-satunya
istilah
yang
digunakan
pada
masa
klasik
dan
pertengahan digunakan untuk merujuk pada pengajar fiqih di
madrasah. Al-Ghazali menggunakan istilah mu'allim dan ustadz untuk
maksud yang sama. Dars juga tidak selalu berarti pelajaran fiqih
sebagaimana dalam pandangan Maksidi. Al-Ghazali mengutip satu
hadits yaitu kata nadrusu (kata jadian dari d-r-s) digunakan untuk
kajian hadits. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam al-Daris, di
mana al-Nu'aymi memberitakan bahwa Abu al-Khayr mengajar pada
Dar al-Hadits al-Asyrafiyah; dan kalimat yang dia gunakan adalah:
"wa-walla tadris dar al-hadits al-asyrafiyyah". Abu Nuwas bahkan
menggunakan kata dars untuk pelajaran dari seorang mu'allim (guru)
di kuttab.
Ketidakpuasan
terhadap
argumen
linguistik
Maksidi
juga
dirasakan oleh Naqib yang, seperti Tibawi, juga meneliti penggunaan
istilah-istilah
tersebut
dalam
literatur
Abad
Pertengahan.
Dia
mengatakan,
Dalam pemahaman kita, tadris adalah satu istilah kabur yang
mencakup pengajaran lebih dari satu bidang kajian, dan istilah ini
tidak selalu dapat disamakan dengan dars, yang oleh Maksidi dibatasi
hanya untuk pengajaran fiqih. Penelitian kita terhadap istilah tadris
tidak membuahkan satu petunjuk umum sehubungan dengan artinya
yang paling tepat.
Tentang hubungan madrasah dengan Kalam, Naqib menyatakan
pandangan berikut:
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi'iyah, jika jaringan
lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf
Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan
stafnya, terutama pada mudarris, dan untuk siapa satu madrasah
dibangun. Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan
Kalam aliran Asy'ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam
konteks kesyafi'iyahan lembaga tersebut,..... kita tidak punya bukti
langsung bahwa para mudarris mengajarkan ilmu kalam di
Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa alJuwaini, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris'),
memang
mengajarkan
kalam
Asy'ariyah
kepada
mahasiswanya,
sejumlah
walaupun
tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di
Madrasah Nizhamiyah [Naisapur]. ...... hanya dalam hubungannya
dengan
wa'izh
muballigh,
pengkhotbah),
berdasarkan
kasus
Madrasah Nizhamiyah Bagdad, kita memiliki bukti nyata bahwa
sang
wa'idh
(juga
beberapa
mudarris)
menyebarkan
kalam
Asy'ariyah di Nizhamiyah.
Pada akhirnya, keberatan pandangan ketiga ini adalah penekanan
yang terlalu ekstrim olek Maksidi pada sisi fiqih dari madrasah dan
hal yang sama pada sisi Kalam oleh Goldziher. Hal ini terjadi pada
Maksidi,
nampaknya,
karena
kecende-rungannya
untuk
terlalu
memusatkan perhatian pada mudarris dan dokumen wakaf yang ada,
dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada staf lain, seperti
qari\ nahwi, pustakawan, dan terutama wa'idh, yang sesungguhnya
juga merupakan bagian penting dari sistem pendidikan di madrasah.
Kenyataan bahwa ia menulis sebagai respon kepada tesis Goldziher,
kemungkinan besar, juga merupakan faktor lain. Goldziher jatuh pada
persoalan yang sama tidak lain adalah karena penelitiannya memang
terfokus pada sejarah perkembangan teologi, dan madrasah ia
singgung tidak lebih dari sekadar justifikasi bagi tesis teologinya
tentang kebangkitan aliran Asy'ariyah.
Tanpa bermaksud menghentikan konflik pendapat tersebut, ada
baiknya
kurikulum
pembicaraan
madrasah
ini
dikembangkan
selanjutnya.
pada
Ilmu-ilmu
perkembangan
agama
memang
mendominasi kurikulum lembaga pendidikan formal. Disiplin-disiplin
yang perlu untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran
rumbuh menjadi inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni
berpidato juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmu-ilmu
agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang
menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang
ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat.
Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek
pendidikan dan pengalaman.
Seperti dalam sistem retorika Yunani, ilmu-ilmu agama mencakup
berbagai disiplin. Di samping itu, tafsir dan hadits didukung pula oleh
logika dan grammatika serta tergantung pula pada pengetahuan
sejarah, geograpi dan kesadaran umum tentang sistem pemerintahan
dan sistem sosial. Ilmu-ilmu agama tidak mungkin diajarkan secara
terpisah, karena itu semakin banyak para pengajar dan ulama
mempertimbangkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu untuk
mendukung kurikulum pengajaran Al-Quran dan Hadits.
Pada intinya, fiqih mendapat tempat dalam sistem ini sebagai
satu bidang kajian khusus dalam mazhab tertentu, dan ilmu-ilmu
agama yang lain berfungsi sebagai prasyarat. Di mesjid, mesjid khan,
akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh seorang syaikh
dalam satu silabus tertentu yang disebut ta'liqah Mated yang
terkandung dalam ta'liqah menjadi latar belakang informasi yang
dibutuhkan dalam debat lisan bentuk lain dari kurikulum pengajaran
madrasah. Debat lisan bersifat formal tergantung pada aturan-aturan
logika dan retorika di saat seseorang mempertahankan tesis dalam hal
ini, satu pandangan hukum menghadapi seorang penantang yang akan
mencoba membatalkan argumentasi dan logikanya. Ta'liqah tidak
terbatas pada satu bidang saja, fiqih misalnya, bidang-bidang lainnya
juga
menggunakan
bentuk
ini.
Selanjutnya, cakupan kurikulum lembaga pendidikan Islam pada
abad ke-10 M dapat dilihat dari berbagai sumber. Salah satunya
adalah kitab Al-Fihrist (Indeks) oleh Ibn Al-Nadim pada tahun 988 M.
Sumber
kedua
persaudaraan
pendidikan
adalah
sufi
di
pendidikannya
karya-karya
yang
dunia
secara
Ikhwan
mengabdikan
Islam,
yang
menyeluruh
diri
Al-Shafa,
pada
peningkatan
mengembangkan
dalam
sebuah
program
serangkaian
risalah.
Pendekatan mereka melalui ensiklopedik pendidikan, yang berasal
dari Basrah pada paruh kedua abad ke-10 M, muncul dalam bentuk
kompilasi
yang
sebagian
Islam.Topik-topikyang
besar
tercakup
dipakai
dalam
di
dunia
pendidikan
ensiklopedia
pengajaran
tersebut adalah:
Disiplin Umum: tulis-baca, arti kata dan grammatika, ilmu hitung,
sastra (sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu
sulap, kimia, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersil,
pertanian dan peternakan dan biografi serta kisah-kisah.
Ilmu-ilmu Agama: Ilmu al-Qur'an. tafsir, hadis, fiqih, dzikir,
zuhud, tasawuf dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu berhitung, geometri,
astronomi,
musik,
aritmatika,
hukum
geometri,
ilmu
alam,
antropologi, zat, bentuk, ruang, elemen, gerakan, kosmologi, produksi,
peleburan, metereologi, menerologi, esensi alam dan manifestasinya,
botani,
zoologi,
anatomi
dan
antropologi,
persepsi
inderawi,
embriologi, manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa
(evolusi psikologis): tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa
(pilologi), psikologi (pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya),
teologi; doktrin teologi, doktrin esoteris Islam, susunan alam spritual,
serta ilmu alam ghaib.
Kurikulum ini dianggap sebagai kurikulum madrasah tinggi,
karena sudah mengenalkan begitu banyak pelajaran umum. Tetapi,
studi ilmu-ilmu asing itu tidak semua diajarkan mendetail pada
tingkat madrasah umum atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang
diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus
di lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan
pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan
didalami.
Secara
umum
pertumbuhan
dan
bentuk
kurikulum
perkembangan
madrasah
pendidikan
pada
Islam
masa
klasik
menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject Curriculum,
Correlated
Curriculum
dan
Integrated
Curriculum.
Ketiganya
disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode
tertentu.
Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang
diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan pelajaran yang
lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara
mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut
terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya
terdapat pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lainalin. Kemudian pelajaran non-agama seperti fisika, biologi, ilmu
berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada
masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam
klasik.
Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran
yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya,
materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan
dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada
masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan
sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan
yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu
dalam bentuk unit. Kurikulum ini dilaksanakan dalam pengajaran
unit,
yaitu satu unit mempunyai tujuan
yang
bermakna
bagi
mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran
retorika (dakwah) pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada
perkembangan madrasah selanjutnya.
b. Metode Pengajaran di Madrasah
Jenis metode pengajaran yang diberikan di madrasah antara lain:
hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan
dari masa Rasulullah terutama ketika beliau memberikan pelajaran alQur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang
dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru
mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu
menjelaskan maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai
metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran,
membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan
maksud pelajaran yang diberikan itu.
Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah
pada masa pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi
setidaknya, metode induktif, deduktif, analogi, bercerita dan metode
kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat terlupakan dalam
pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode
tanya-jawab
yang
biasanya
dilakukan
dalam
sebuah
ta
'liqah
(perdebatan). Metode ini dilakukan pada pelajaran yang menuntut
penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam berbagai pelajaran,
sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di
Mesir dan Syria (1220 H/1805 M).
Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada
masa klasik Islam tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi
dipengaruhi langsung oleh tujuan pendidikan di madrasah itu sendiri.
Karena itu di bawah ini akan dibahas sepintas lalu tujuan-tujuan
pendidikan
institusional,
yang
dikembangkan
tujuan
kurikuler,
di
madrasah,
maupun
tujuan
baik
tujuan
instruksional.
Download