tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Radikal Bebas dan Apoptosis
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan
faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimia dalam
makanan dan polutan lain.
Radikal bebas meliputi atom hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul
oksigen (Halliwel 1995). Radikal bebas dapat terbentuk dari proses metabolisme
normal dalam tubuh. Salah satu contohnya yaitu pada proses reduksi molekul
oksigen dalam rangkaian transpor elektron (Siregar 1992). Radikal bebas juga
dapat dihasilkan dari berbagai proses kimia atau enzimatik selama proses
metabolisme tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun anorganik. Radikal
bebas yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif dapat menimbulkan kerusakan
berbagai komponen sel hidup seperti DNA/RNA, lipid, protein, karbohidrat, dan
gugus tiol non protein.
Radikal bebas juga dapat mengakibatkan peroksidasi lipid. Peroksidasi
lipid merupakan reaksi yang terjadi antara asam lemak tak jenuh ganda yang
menyusun membran sel (linoleat, linolenat, dan arakidonat) sehingga terbentuk
radikal lipid peroksida (Murray 2003). Reaksi peroksidasi lipid akan
menghasilkan produk akhir malonaldehida (MDA) yang merupakan senyawa
dealdehida berkarbon tiga yang reaktif. Konsentrasi MDA yang dihasilkan dapat
diukur dengan metode TBA, karena MDA dapat bereaksi dengan asam
tiobarbiturat membentuk produk berwarna merah (Gambar 1) dan diukur pada
panjang gelombang 532 nm (Kikuzaki dan Nakatani 1993).
MDA
TBA
Produk
Gambar 1 Reaksi MDA dan TBA
Molekul radikal bebas dan senyawa turunannya antara lain reactive oxygen
species (ROS) dapat menyerang sel sehingga menimbulkan berbagai kerusakan
pada sistem sel dan kerusakan jaringan syaraf yang tidak dapat diperbaiki lagi
yang disebut apoptosis (Silalahi 2006).
ROS berperan penting dalam menginduksi apoptosis di bawah kondisi
fisiologis dan patologis (Simon et al. 2000, Madeo et al. 2004). Apoptosis, yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu apo (dari) dan ptosis (jatuh), adalah mekanisme
biologi yang merupakan salah satu jenis kematian sel terprogram. Apoptosis
digunakan oleh organisme multisel untuk membuang sel yang sudah tidak
diperlukan oleh tubuh. Apoptosis berbeda dengan nekrosis. Apoptosis pada
umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh,
sedangkan nekrosis adalah kematian sel yang disebabkan oleh kerusakan sel
secara akut (Dash 2007). Contoh nyata dari keuntungan apoptosis adalah
pemisahan jari pada embrio. Apoptosis yang dialami oleh sel-sel yang terletak di
antara jari menyebabkan masing-masing jari menjadi terpisah satu sama lain.
Apoptosis dapat terjadi misalnya ketika sel mengalami kerusakan yang
sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Keputusan untuk melakukan apoptosis berasal
dari sel itu sendiri, dari jaringan yang mengelilinginya, atau dari sel yang berasal
dari sistem imun. Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apoptosis
(misalnya karena mutasi), atau bila inisiatif untuk melakukan apoptosis dihambat
(oleh virus), sel yang rusak dapat terus membelah tanpa terbatas, yang akhirnya
menjadi kanker (Dash 2007).
Seperti halnya sel mamalia, sel khamir juga mengalami apoptosis. S.
cerevisiae yang mutan pada gen cdc48 menunjukkan tanda apoptosis, antara lain
pelepasan fosfatidil serin pada membran sitoplasma bagian luar, fragmentasi
DNA, dan kondensasi kromatin. Khamir yang mengalami apoptosis akan
memperlihatkan karakteristik morfologis berupa pengerutan sel yaitu ukuran sel
menjadi lebih kecil (petite), sitoplasma dan organel lebih padat. Kondensasi
kromatin terlihat dari terjadinya agregasi kromatin di pinggir nukleus di bawah
membran inti, membentuk massa berbatas jelas dengan berbagai bentuk dan
ukuran kemudian inti dapat pecah menjadi beberapa bagian. Pembentukan badan
apoptosis terjadi ketika sel membentuk gelembung sitoplasma kemudian terbagi
menjadi gelembung kecil terbungkus membran sitoplasma disebut badan
apoptosis, berisi organel dan sitoplasma serta fragmen nukleus. Fagositosis badan
apoptosis oleh sel didekatnya, baik oleh sel parenkim maupun oleh makrofag
(Ligr et al. 1998). Berdasarkan hal tersebut S. cerevisiae dapat digunakan sebagai
organisme model untuk studi apoptosis (Madeo et al. 2002)
Sinyal apoptosis dapat berasal dari luar maupun dari dalam sel (Gambar
2). Dari luar sel, sinyal apoptosis dibawa oleh Sel T, yaitu protein Fas atau sinyal
kematian lainnya misalnya protein Tumor Necrosis Factor τ (TNF). Bila proteinprotein tersebut berikatan dengan masing-masing reseptornya, maka proses
apoptosis dimulai. Sinyal apoptosis tersebut ditangkap oleh death domain yang
teraktivasi oleh kehadiran Fas dan TNF. Sebelum dilanjutkan, apoptosis
diyakinkan kembali untuk diteruskan atau dihambat melalui mekanisme seleksi
oleh protein Flice/caspase-8 inhibitory protein (FLIP). Ekspresi yang berlebihan
dari FLIP, akan menyebabkan proses apoptosis terhenti. FLIP inilah sebagai
penyeleksi awal dan memastikan apakah sel layak mati atau tidak. Model
penghambatan apoptosis melalui mekanisme FLIP terjadi pada apoptosis
ekstrinsik yaitu mekanisme apoptosis dengan sinyal kematian berasal dari luar sel.
Bila ekspresi FLIP rendah, maka sinyal kematian akan diteruskan oleh mediator
apoptosis selanjutnya yaitu caspase-8 (Shi et al. 2003).
Apoptosis Ekstrinsik
Luar Sel
Apoptosis Intrinsik
Dalam Sel
Sel T (Fas
& TNF)
Sitoplasma
Bax
(Bcl-2)
Apaf-1
TNF
Fas
Death Domain
Sitokrom C
FLIP
FLIP
Caspase 9
Caspase 8
Memotong
histon
Caspase 3
Memotong
histon
Gambar 2 Jalur Apoptosis (Shi et al. 2003)
Caspase 3
Lingkungan sekitar dapat mempengaruhi kondisi sel. Beberapa protein
dapat terekspresi pada kondisi lingkungan yang ekstrem. Protein Bax, yang
merupakan anggota keluarga protein Bcl-2, merupakan protein pembawa sinyal
apoptosis dari dalam sel. Ekspresi yang berlebihan dari Bax dalam sitoplasma,
dapat menyebabkan membran mitokondria berlubang. Mitokondria adalah organ
sel yang berfungsi sebagai tempat pembangkit energi sel. Rusaknya membran
mitokondria menyebabkan sel kehilangan energi dan salah satu protein terpenting
di dalamnya, yaitu sitokrom C lepas menuju sitoplasma. Sebelum Bax masuk ke
membran mitokondria, kerja protein tersebut harus sesuai dengan protein Bcl-2
terlebih dahulu.
Bila tidak sesuai, maka ekspresi protein Bcl-2 akan meningkat dan
mendesak keberadaan protein Bax sehingga apoptosis tidak terjadi. Kehadiran
sitokrom C di dalam sitoplasma dapat menyebabkan teraktivasinya protein Apaf1, yang nantinya bersama-sama dengan caspase-9 akan melanjutkan perjalan
akhir dari sinyal kematian. Mekanisme tersebut merupakan bagian dari jalur
apoptosis intrinsik, yang dilihat dari asal sinyal kematian yaitu dari dalam sel.
Perjalanan akhir sinyal apoptosis, akan dieksekusi oleh salah satu anggota
keluarga protein caspase, yaitu caspase-3. Bila sinyal apoptosis sudah mencapai
caspase-3, maka kepastian dari apoptosis sudah final. Caspase-3 akan memotongmotong protein histon yang berfungsi mengikat rangkaian DNA, menjadi
beberapa bagian (Shi et al. 2003).
Apoptosis terjadi jika monitor internal mendeteksi adanya kerusakan atau
disfungsi dan memberi signal untuk memulai serangkaian proses (cascade) yang
akhirnya mengaktifkan caspases dan endonuklease untuk membunuh sel kanker.
Salah satu fungsi apoptosis adalah mencegah kanker dengan cara mengeliminasi
sel-sel preneoplastik dan neoplastik (pertambahan baru yang tidak normal).
Pada hampir semua proses kematian sel, signal cascade terjadi melalui
bantuan ROS sebagai molekul pembawa isyarat. Antioksidan bersifat meredam
atau menetralkan radikal bebas dan ROS, dengan demikian antioksidan bersifat
menghambat apoptosis. Antioksidan seperti tokoferol yang tedapat dalam
kompartemen lipida sel, atau N-asetilsistein (suatu peredam radikal bebas yang
berada di dalam fase air sitosol), akan memicu pertumbuhan kanker. Sebaliknya,
dengan meniadakan antioksidan dalam makanan mungkin akan menginduksi
apoptosis sehingga akan menekan pertumbuhan kanker (Zeisel 2004).
Kondisi yang mengakibatkan sel mengalami stress, misalnya kelaparan,
atau kerusakan DNA akibat racun atau paparan terhadap ultraviolet atau radiasi
(misalnya radiasi gamma atau sinar X), dapat menyebabkan sel memulai proses
apoptosis. Pada organisme dewasa, jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan
harus bersifat konstan pada kisaran tertentu. Sel darah dan kulit selalu diperbarui
dengan pembelahan diri sel-sel progenitornya, tetapi pembelahan diri tersebut
harus dikompensasikan dengan kematian sel yang tua. Diperkirakan 50-70 milyar
sel mati setiap harinya karena apoptosis pada manusia dewasa. Dalam satu tahun,
jumlah pembelahan sel dan kematian yang terjadi pada tubuh seseorang mencapai
kurang lebih sama dengan berat badan orang tersebut (Thompson 1995).
Kematian sel terprogram merupakan bagian penting pada perkembangan jaringan
tumbuhan dan metazoa (organisme multisel). Sel yang mengalami apoptosis
mengkerut dan inti selnya mengecil, sehingga sel tersebut dapat dengan mudah
difagositosis. Proses fagositosis memungkinkan komponen-komponen sel yang
tersisa digunakan kembali oleh makrofag atau sel-sel yang berada di sekitarnya
(Jalal 1999).
Saccharomyces cerevisiae sebagai Model Apoptosis
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme uniseluler eukariot
yang secara tradisional telah dianggap baik dan secara luas digunakan sebagai
model organisme untuk mempelajari fisiologi sel manusia dan penyakit manusia.
Ada
beberapa
contoh
penyakit
yang
kondisi
dan
prosesnya
relevan dengan kesehatan manusia dan dipelajari pada khamir, diantaranya
adalah: kanker, metabolisme DNA, apoptosis, penyakit jantung, kolesterol,
diabetes, penyakit yang terkait dengan kerusakan mitokondria,infeksi retroviral
dan penyakit prion, serta sejumlah besar penyakit neuodegenarive seperti
parkinson, Alzheimer, Huntington dan penyakit Batten’s (Petranovic dan Nielsen,
2008).
Penelitian terbaru telah mengembangkan khamir sebagai model untuk
mempelajari mekanisme regulasi apoptosis (Mazzoni et al. 2005). Khamir yang
telah dimutasi pada gen siklus pembelahan sel (cdc48) menunjukkan karakteristik
morfologi dan ciri molekuler yang merupakan indikator apoptosis yaitu
perpindahan fosfatidilserin ke membran sitoplasma bagian luar, kerusakan DNA,
kondensasi kromatin, fragmentasi DNA, dan morfologi sel abnormal dengan
sejumlah tunas kecil yang disebut badan apoptosis (Ligr et al. 1998).
Sel khamir yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam divisi
Thallophyta, subdivisi Ascomycotina, kelas Eumycetes, subkelas Ascomycetes,
ordo Eucomycetes, famili Saccharomycetaceae, subfamily Saccharomycetoideae,
genus Saccharomyces, dan spesies Saccharomyces cerevisiae (Gambar 3). Suhu
optimum untuk pertumbuhan sel S. cerevisiae berkisar antara 25-35oC, suhu
minimum berkisar 0-0.5oC dan suhu maksimum pertumbuhan sel khamir ini
berada pada 33.5-47oC (Patarau 1982). Khamir
merupakan organisme
kemoorganotrof karena menggunakan senyawa organik sebagai sumber energi
dan tidak membutuhkan cahaya untuk tumbuh. Sumber utama karbonnya adalah
heksosa seperti glukosa dan fruktosa atau disakarida seperti sukrosa dan maltosa
(Patarau 1982). Khamir dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerobik
(tersedianya oksigen), namun beberapa khamir dapat juga tumbuh pada kondisi
anaerobik (tidak tersedia oksigen).
Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan proses
fermentasi pada kondisi anaerobik karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir
akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi
yang dihasilkan pada resprasi jauh lebih besar dibandingkan pada proses
fermentasi. Pada kondisi aerobik, sebagian besar organisme akan melewati siklus
krebs dan transport elektron untuk menghasilkan ATP. Pada eukariota seperti
khamir, proses ini terjadi pada mitokondria, sedangkan pada prokariota terjadi di
sitoplasma (Bradford et al. 1979).
Gambar 3 Saccharomyces cerevisiae
Keberadaan oksigen akan menghambat jalur fermentasi di dalam sel
khamir sehingga sumber karbon yang ada akan digunakan melalui jalur respirasi.
Fenomena ini sering disebut sebagai Pasteur effect (Walker 1998). Berdasarkan
Pasteur effect, produksi etanol oleh khamir terjadi pada kondisi anaerob. Namun
ternyata Pasteur effect pada sel khamir diamati pada sel yang telah memasuki
fase stasioner (resting), sedangkan produksi alkohol terjadi ketika sel berada pada
fase pertumbuhan (fase log) (Alexander & Jeffries 1990). Hal inilah yang
membuat Pasteur effect diduga bukan fenomena yang terjadi saat produksi etanol
oleh Saccharomyces cerevisiae.
Pada tahun 1948, Swanson dan Clifton pertama kali menunjukkan bahwa
fenomena tersebut terjadi pada sel Saccharomyces cerevisiae yang sedang
tumbuh dan menghasilkan etanol sebagai produk fermentasi selama terdapat
glukosa dalam jumlah tertentu di dalam medium pertumbuhannya (Alexander &
Jeffries 1990). Fenomena tersebut adalah Crabtree effect (de Dekken 1966).
Crabtree effect pada khamir dapat diamati ketika medium pertumbuhan
mengandung glukosa dalam konsentrasi yang tinggai (diatas 5 mM) (Walker
1998).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alexander dan Jeffries (1990),
yang menumbuhkan S. cerevisiae dalam medium yang mengandung glukosa,
menunjukkan bahwa saat konsentrasi sel rendah, jalur metabolisme yang
digunakan adalah respirasi, sedangkan ketika konsentrasi sel telah mencapai suatu
angka kritis, fermentasi etanol terjadi. Dari hasil tersebut diduga pada konsentrasi
sel yang rendah, enzim-enzim respirasi masih mencukupi untuk melakukan jalur
respirasi, namun saat konsentrasi sel bertambah, konsentrasi enzim tidak
bertambah sebab ditekan sintesisnya oleh glukosa, sehingga jalur respirasi terhenti
dan digantikan oleh fermentasi. Selain represi terhadap sintesis enzim, konsentrasi
gula yang tinggi juga akan mengganggu struktur mitokondria khamir, sebagai
contoh hilangnya membran dalam dan kristae. Namun struktur tersebut akan
kembali normal saat jalur respirasi menggantikan fermentasi etanol (Walker
1998). Perubahan struktur tersebut akan menghambat siklus Krebs dan fosforilasi
oksidatif yang berlangsung di mitokondria.
Inaktivasi katabolit terjadi ketika glukosa menonaktifkan enzim kunci
dalam jalur respirasi, contohnya fruktosa 1,6-bifosfatase (FBPase). Inaktivasi
terjadi pertama-tama melalui proses fosforilasi enzim, kemudian diikuti dengan
pencernaan protein enzim di dalam vakuola Mekanisme inaktivasi FBPase pada S.
cerevisiae dimulai dengan peningkatan konsentrasi cAMP dan FBPase di dalam
sel oleh glukosa. Kenaikan kedua molekul tersebut akan memicu cAMPdependent protein kinase untuk melakukan fosforilasi terhadap FBPase (Walker
1998).
Mekanisme terakhir yang menjelaskan Crabtree effect pada khamir adalah
keterbatasan kapasitas respirasi khamir yang diusulkan oleh Bardford & Hall
(1979). Mereka berpendapat bahwa khamir-khamir yang mampu melakukan
fermentasi aerob memiliki keterbatasan kapasitas respirasi. Ketika glukosa
terdapat dalam konsentrasi tinggi, glikolisis akan berjalan dengan cepat sehingga
menghasilkan piruvat dalam jumlah yang tinggi. Namun keterbatasan khamir
tersebut untuk menggunakan piruvat dalam jalur respirasi selanjutnya (Siklus
Krebs dan fosforilasi oksidatif) menyebabkan piruvat yang tersisa diubah secara
fermentatif menjadi etanol. Kebalikannya, khamir yang tidak melakukan
fermentasi aerob dianggap memiliki kapasitas respirasi yang tidak terbatas
sehingga mampu menggunakan seluruh piruvat yang dihasilkan dari glikolisis
walaupun jumlah glukosa di medium tinggi (Alexander & Jeffries 1990).
Ada beberapa hal yang menyebabkan S. cerevisiae baik untuk dijadikan
organisme model yang ideal. Pertama, S. cerevisiae adalah mikroorganisme
uniseluler yang dapat tumbuh dengan cepat dalam jumlah yang besar dan dalam
media yang relatif murah. Kedua, S. cerevisiae dapat mengekspresikan gen
heterolog secara baik dari episomal plasmid atau dari integrasi kromosom dan
relatif mudah untuk disisipkan, dihapus atau dimutasi apapun urutan genomnya
karena kehadirannya yang sangat efisien pada jalur rekombinasi homolog. Selain
itu, Kromosom III dari S. cerevisiae merupakan kromosom lengkap pertama dari
beberapa organisme yang telah diurutkan, dan pada tahun 1996 S. cerevisiae
menjadi organisme eukariot pertama yang seluruh genom telah lengkap
(Petranovic dan Nielsen, 2008). Pada Saccharomyces cerevisiae telah dideteksi
kematian sel, dengan ciri khas apoptosis seperti fragmentasi DNA, eksternalisasi
fosfatidilserin dan kondensasi kromatin, dalam galur yang membawa mutasi
dalam gen CDC48 AAA-ATPase (Madeo et al. 1997).
Menurut dan Ribeiro et al. 2006, kerusakan DNA pada sel khamir yang
mengalami apoptosis dapat diinduksi antara lain oleh hidrogen peroksida, asam
asetat dan tekanan hiperosmotik. Paparan dosis rendah asam asetat dapat
meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan menginduksi apoptosis
pada sel khamir sehingga ROS merupakan regulator kunci dari apoptosis sel
khamir (Madeo et al. 1999 dan Ludovico et al. 2001).
Menurut Granot et al. (2003) terdapat kesamaan fenomena apoptosis
antara sel khamir dan sel mamalia dan terjadinya apoptosis dipicu dan dikontrol
oleh serangkaian sinyal sel yang dapat berasal dari luar maupun dalam sel. Granot
dan Snyder (1991) melaporkan bahwa glukosa 2 % dapat menginduksi positif
apoptosis pada sel khamir. Glukosa dapat menyebabkan kematian sel khamir
dalam beberapa jam tanpa penambahan nutrisi lain untuk mendukung
pertumbuhannya. Glukosa dapat memicu kematian sel yang ditandai dengan
produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang cepat, degradasi RNA dan DNA,
kerusakan membran, fragmentasi dan penyusutan inti sel (Granot et al. 2003).
Saccharomyces cerevisiae mempunyai sekitar 14.000 kb DNA kromosom
(85 % dari DNA total) yang terdistribusi ke dalam 16 kromosom yang berbeda
dan telah dikarakterisasi secara genetik. Selain itu Saccharomyces cerevisiae
mempunyai dua unsur genetik yang lain, yaitu DNA mitokondria dan DNA
plasmid 2m. Beberapa galur mengandung unsur ketiga yang disebut plasmid
pembunuh (killer plasmid) (Watson et al. 1987).
Setiap sel haploid ragi mempunyai sekitar 10 - 15 mitokondria yang
terdistribusi sepanjang sitoplasma (± 10% dari massa sel). Mitokondria ini
mempunyai unsur genetik tersendiri (DNA mitokondria) (Watson et al. 1987).
DNA mitokondria Saccharomyces cerevisiae berbentuk sirkuler dan peta
restriksinya telah diketahui. Ukuran DNA mitokondria ini sekitar 75-80 kb
bergantung pada jenis galurnya. DNA mitokondria ini berada dalam 40-50 kopi
per sel dan sekitar 10% dari DNA total sel ragi (Guthrie et al. 1991). Perbedaan
antara DNA kromosom dengan DNA mitokondria di antaranya adalah dalam
DNA mitokondria tidak ditemukan aktivitas proofreading, sehingga menyebabkan
laju mutasi di mitokondria lebih tinggi dibandingkan dalam gen kromosom.
Protein yang dikode oleh DNA mitokondria disintesis dalam bagian mitokondria
yang disebut mitoribosom. Perbedaan lain dalam sistem genetik mitokondria
adalah bahwa kodon UGA tidak dibaca sebagai kodon terminasi melainkan
dikode untuk asam amino triptofan (Watson et al. 1987).
Mitokondria
merupakan
organela
yang
berperan
penting
dalam
metabolisme respirasi untuk menghasilkan ATP. Kerusakan pada fungsi DNA
mitokondria menyebabkan mutan tidak dapat melakukan respirasi dan akibatnya
tidak lagi dipengaruhi oleh Efek Pasteur, misalnya supresi oksigen selama
glikolisis (Hutter et al. 1998). Peristiwa ini diduga menyebabkan laju fermentasi
etanol menjadi lebih tinggi. Mutasi pada DNA mitokondria akan menghasilkan
mutan yang disebut mutan petit. Hutter et al. (1998) telah melaporkan bahwa
mutan petite mampu meningkatkan kadar etanol 30 - 40% dibanding tipe liarnya.
Dalam penelitian tersebut digunakan Saccharomyces cerevisiae galur ATCC.
Antioksidan Asal Tanaman Obat
Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata.
Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan
jantung dan kanker. Untuk mencegah atau mengurangi penyakit kronis karena
radikal bebas diperlukan antioksidan.
Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun dari beberapa tanaman yang
sering digunakan dalam pengobatan kardiovaskular dan memiliki potensi sebagai
antioksidan. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid walaupun dalam konsenterasi
yang sedikit (Sampels, 2005). Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan
melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat
terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat
menimbulkan stres oksidatif (Simpson, 2006). Antioksidan dapat diartikan
sebagai senyawa pemberi elektron yang diperlukan oleh radikal bebas dalam
rangka menstabilkan dirinya. Dengan demikian, antioksidan dapat menghentikan
pembentukan radikal bebas, mengurangi radikal bebas, dan memperbaiki
kerusakan yang ditimbulkannya (Irawan 2006).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan terbagi menjadi tiga, yaitu:
antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer berperan untuk
mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan primer terdiri atas
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Ketiganya ini
dapat mengubah radikal superoksida menjadi air. Antioksidan sekunder berperan
mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi radikal. Antioksidan sekunder
terdiri atas vitamin C, vitamin B, vitamin E, β-karoten, dan lain-lain. Antioksidan
tersier terdiri atas enzim perbaikan DNA, metionin sulfoksida reduktase dan lainlain (Murray 1999).
Vitamin C dan E dapat mencegah penyakit jantung. Vitamin C berperan
dalam pembentukan kolagen dan merupakan faktor positif untuk mencegah
serangan jantung koroner. Kekurangan vitamin C menyebabkan kerusalan
susunan sel arteri sehingga dapat terisi kolesterol dan menyebabkan aterosklerosis
atau proses pengapuran dan penimbunan elemen kolesterol. Sedangkan vitamin E
merupakan antioksidan yang berperan mencegah terjadinya proses oksidasi dalam
tubuh, di mana kolesterol LDL yang menembus dinding arteri dapat menyumbat
pembuluh darah setelah mengalami oksidasi (Jishage et al. 2005). Vitamin E
dapat ditemukan di minyak nabati (minyak kedelai, minyak jagung dan minyak
biji bunga matahari), kacang-kacangan, biji-bijian dan padi-padian. Pada
penelitian ini digunakan vitamin E sebagai standar antioksidannya.
Gambar 4 Struktur alfa Tokoferol (Vitamin E)
Vitamin E (tokoferol) merupakan suatu komponen lipid yang esensial
terdiri dari selaput-selaput biologi yang saling berhubungan dengan radikal
peroxyl yang berfungsi dalam mencegah perkembangan lipid peroksida (Jishage
et al. 2005). Tokoferol pertama kali ditemukan tahun 1922 sebagai salah satu
faktor anti ketidak suburan (anti-infertilitas). Lebih lanjut dijelaskan oleh (DuttaRoy, 1994) vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri atas
campuran dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d),
pada manusia a-tokoferol merupakan vitamin E yang paling penting untuk
aktifitas biologi tubuh. Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai
grup metil pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidakjenuhan rantai
cabang (Gambar 4). Menurut (Dutta-Roy, 1994) a-tokoferol merupakan bentuk
vitamin E yang paling aktif, berdasarkan penelitian pada rodentia dan anak ayam.
Suplemen a-tokoferol juga mampu melindungi peningkatan konsentrasi total
kolesterol plasma dan mengurangi kolesterol pada plak arteri kelinci (Schwenke
2002).
Pada penelitian ini digunakan tiga ekstrak tanaman yaitu : Salam (Eugenia
polyantha Wight. ), Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), dan Jambu Biji
(Psidium guajava). Tanaman ini banyak ditemukan di daerah Bogor dan
sekitarnya. Tanaman ini telah digunakan dalam pengobatan kardiovaskular dan
berpotensi sebagai antioksidan.
Salam (Eugenia polyantha Wight. )
Tanaman
ini
memiliki
klasifikasi
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas
sebagai
berikut:
Dicotyledonae, ordo
Myrtales, familia Myrtaceae, genus Eugenia dan spesies Eugenia polyantha Wight
(Gambar 5).
Gambar 5 Daun Salam (Eugenia polyantha Wight )
Salam tumbuh liar di hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan
dan sekitar rumah. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian 1800 m di atas permukaan laut. Pohon bertajuk
rimbun, tinggi mencapai 25 m, berakar tunggang, batang bulat, permukaan licin.
Daun salam merupakan daun majemuk, menyirip genap, permukaan licin.
Daunnya memiliki tepi yang rata, ujung meruncing, pangkal runcing. Panjang
daun berkisar antara 10-14 cm, lebar 4-8 cm, tangkai panjang ± 1 cm, letaknya
berhadapan, bertangkai yang panjangnya 0,5-1 cm. Helaian daun bentuknya
lonjong sampai elips atau bundar telur sungsang, pertulangan menyirip,
permukaan atas licin berwarna hijau tua dan permukaan bawah warnanya hijau
muda (Deptan 2003). Kandungan kimia daun dan kulit batang Eugenia polyantha
mengandung saponin, minyak Atsiri (0,05 %), Sitral dan Eugenol, Tanin dan
Flavonoida, di samping itu daunnya juga mengandung alkaloida dan polifenol,
sedangkan kulit batangnya juga mengandung tanin (Wijayakusumah et al. 1996).
Daun salam adalah jenis rempah daun yang biasa digunakan untuk
berbagai masakan. Namun dibalik itu daun salam juga memiliki khasiat untuk
menyembuhkan berbagai macam penyakit. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa ektrak daun salam memiliki khasiat sebagai antioksidan (Wong et al.
2006, Lelono et al. 2009). Khasiat lain dari daun salam adalah dapat menurunkan
kadar asam urat darah mencit jantan yang diinduksi dengan potasium oksonat
(Ariyanti 2007).
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Jati Belanda merupakan jenis tanaman kayu keras tropis dari divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dycotyledone, ordo Steruliaceae,
genus Guazuma, spesies Guazuma ulmifolia Lamk (Gambar 6). Jati Belanda
ditemukan di Karibia, Asia Tenggara, Meksiko, Amerika Tengah dan Kolumbia,
Ekuador, Peru, Bolivia, Paraguay, Argentina, dan Brasil. Tanaman ini telah
dibudidayakan di India selama lebih dari 100 tahun. Jati Belanda merupakan
tanaman pohon, tinggi lebih kurang 10 meter. Batang keras, bulat, berkayu,
bercabang, warna hijau keputih-putihan. Daun tunggal, permukaan kasar, tepi
bergerigi, ujung daun runcing, pangkal berlekuk, pertulangan menyirip, panjang
10-16 cm, lebar 3-6 cm, warna hijau (Deptan 2003).
Gambar 6 Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Hasil pemeriksaan pendahuluan terhadap komposisi daun Jati Belanda
menunjukkan adanya kandungan flavonoid, asam fenolat, tanin, steroid,
triterpenoid, karotenoid dan kandungan lendir yang cukup tinggi yaitu 8,08%
(Andriani 2004). Daun jati belanda mengandung zat lendir yang merupakan serat
(fiber) bersifat lubricating atau melicinkan sehingga dapat menghambat
penyerapan lemak, glukosa, kolesterol yang terdapat dalam makanan dan
memperlancar buang air besar. Kandungan tanin bekerja sebagai astrigen yaitu zat
yang akan mengendapkan protein yang terdapat pada mukus yang melapisi bagian
dalam usus sehingga lapisan ini sukar ditembus dan akan mengurangi penyerapan
lemak. Penelitian Raharjo 2004 menyatakan bahwa ekstrak etanol daun jati
belanda dapat menghambat aktivitas enzim lipase serum Rattus norvegicus.
Jambu Biji (Psidium guajava)
Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa
Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah,
menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga
saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji
termasuk dalam kerajaan Plantae, divisio Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
Ordo Myrtales, familia Myrtaceae, genus Psidium dan spesies Psidium guajava
(Gambar 7).
Daun jambu biji memiliki daun tunggal, bulat telur, ujung tumpul, pangkal
membulat, tepi rata, berhadapan, panjang 6-14 cm, lebar 3-6 cm dan pertulangan
berwarna hijau. (Deptan 2003). Daun jambu biji banyak mengandung polifenol,
tannin, saponin, minyak atsiri, asam ursolat, asam psidolat, asam oleanolat, dan
vitamin C (Alviani 2007).
Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah
berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Buah jambu biji dikenal
mengandung banyak vitamin C yang berperan sebagai antioksidan. Daun jambu
biji umumnya berkhasiatnya sebagai anti diare. Disamping itu, jambu biji
mempunyai khasiat sebagai anti inflamasi, anti mutagenik, anti mikroba dan
analgesik (Ojewole 2006). Minyak atsiri daun jambu biji memiliki khasiat anti
kanker kuat secara in vitro (Chen et al. 2007). Beberepa senyawa kimia yang
terkandung dalam jambu biji antara lain, polifenol, karoten, flavonoid dan tannin
mempunyai aktivitas antioksidan yang berkhasiat dalam mengobati berbagai
penyakit (Indariani 2006).
Gambar 7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava)
Download