pengembangan model inquiry di dalam pendidikan ilmu

advertisement
ANALISIS MITOS DEWARUCI SEBAGAI SUMBER
BELAJAR PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PEMBELAJARAN IPS
Susi Hendriantini Martina
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Abstract
The research is qualitative since the data is text review of Dewaruci in Serat
Cabolek by R.Ng.Yasadipura I, in the research of S. Soebardi, it was
obtained through library research. Thus, the data of library research finding
is analyzed using Levi-Strauss's structural perspective and hermeneutics in
order to reveal the essence of character values in the myth of Dewaruci. To
integrate, further, the values of Myth as learning source of character
education in IPS studying and apply it into the material of IPS, the
researcher uses content analysis. The review of Dewaruci myth as learning
source of character education in IPS studying is conducted by assumption
that there are many events in the world as fictional matter initially, later on;
it fuses with the real world. The fairytales containing real values, in daily
life, transform as inspiration in conducting certain behavior by someone.
Specifically, the concept of character education that is in line with the
teaching concept of IPS is an education involving cultural transfer, wisdom
as well as moral value. Therefore, in future, it will inspire the students to do
noble-minded in developing their good deed, being sensitive of social issue,
and having mental attitude positively to refine a gap as well as skillful in
dealing with each matter bothering their self or, even, the society within.
Keywords: dewaruci myth, character education
PENDAHULUAN
Pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS memiliki peran penting untuk
membangun perilaku siswa sesuai nilai-nilai budaya bangsa. Hal ini telah
dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara setelah
Perang Dunia ke-II yang sering disebut pendidikan nilai dalam ilmu sosial.
Secara terinci pendidikan nilai ini merupakan tanggung jawab formal
sekolah yang dimasukkan ke dalam kurikulum dan tanggung jawab
keluarga dengan memberi kebebasan kepada para orang tua untuk mendidik
anak-anak mereka sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya (Dudung R.
Hidayat, 2011).
Menyadari pentingnya pendidikan karakter, dewasa ini banyak pihak
menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan
karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut di dasarkan
pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan
136
Susi Hendriantini Martina
remaja dalam masyarakat. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal
sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik
melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Bila kita simak pentingnya pendidikan karakter untuk menghadapi
fenomena kehidupan sosial maka dapat disepakati bahwa, tujuan pendidikan
karakter secara garis besar bersinergi dengan tujuan pembelajaran IPS yaitu
membekali siswa yang peka terhadap diri sendiri, sesama dan sukses dalam
lingkungan sosialnya. Penelitian ini menggunakan pengetahuan lokal (local
knowledge) untuk dijadikan sumber belajar pendidikan karakter dalam
pembelajaran IPS. Menurut pendapat Cliffort Geertz dalam bukunya yang
berjudul Local Knowledge (2003:93) menjelaskan bahwa pengetahuan
merupakan suatu dimensi kebudayaan yang lebih dekat dengan aspek
kejiwaan yang disebut dengan nalar awam (common sense). Nalar awam
atau apa yang orang ketahui secara akal sehat akan mengantarkan kepada
suatu kesimpulan yang bermanfaat.
Sejalan dengan Cliffort Geertz, T.Jacob dan Sumijati Atmosudiro dalam
Salam (2007:257-275) mengatakan bahwa pengertian local knowledge
(pengetahuan lokal) dengan local wisdom (kearifan lokal) adalah sama,
dengan alasan bahwa kearifan lokal juga mengandung sisi-sisi yang khas
dalam masyarakat tertentu. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan lokal dan kearifan lokal berasal dari suatu konsep yang sama,
karena kearifan lokal terbentuk dari pengetahuan lokal yang dimiliki oleh
suatu komunitas tertentu untuk menjaga kelangsungan hidupnya secara
terus menerus.
Penelitian ini berusaha memasukkan dimensi budaya ke dalam paradigma
pendidikan, khususnya dalam pendidikan karakter, sehingga warga bangsa
tidak kehilangan jatidiri dan karakternya sebagai pemilik kebudayaan
tertentu (H.A.R.Tilaar,1999). Macam-macam kearifan lokal intangable
(nonbendawi) yang sampai sekarang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat Jawa (khususnya) adalah kesenian wayang kulit, wayang golek
dengan cerita-cerita atau mitos, campursari, kesenian ludruk, ketoprak, dan
lainnya.
Fokus penelitian ini adalah menganalisis mitos Dewaruci untuk dijadikan
sumber belajar pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS. Mitos
Dewaruci, Bimasuci, berasal dari akhir jaman Hindu di pulau Jawa yaitu
jaman Majapahit yang memiliki keistimewaan mengandung ajaran mistik,
keagamaan yang mendalam, moralitas, nilai-nilai ketuhanan dan pendidikan
(edukatif). Cerita ini semula bernama Nawaruci atau Awaruci, sedang jalan
ceritanya berbentuk prosa, menggunakan bahasa Jawa abad pertengahan
yang di pakai pada jaman Majapahit (Mulyono dalam Sarmini, 2002).
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
137
Lebih lanjut Sarmini (2002:87) mengatakan bahwa, secara awam
memahami cerita Dewaruci1 umumnya susah. Ada penggambaran seorang
ksatria dengan kemauannya yang keras mencari jalan sebaik-baiknya akan
membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal. Cerita ini sangat
abstrak, terasa mengawang. Tidak heran jika orang “awam” mendengarnya
akan bergumam: “wah ....itu hanya dongeng”, dan masing-masing memberi
interpretasi dalam bahasa yang berbeda, namun tetap pada struktur yang
sama yaitu berisi petuah-petuah. Petuah ini mampu menjelaskan filosofis
masyarakat Jawa dalam memandang alam, serta bagaimana manusia
memandang dunianya.
Sujamto dalam Sarmini (2002) berpendapat yang paling esensial dalam
budaya Jawa adalah Tantularisme. Tantularisme ini menjiwai seluruh aspek
budaya Jawa yang memancar lewat sifat karakteristik seperti religius,
nondoktrin, toleran, akomodatif dan optimistik. Seperti kebudayaan yang
lain kebudayaan Jawa juga tidak terlepas dari simbolisme, yang digunakan
untuk mencapai revitalisasi. Revitalisasi budaya Jawa menurut Sarmini
(2002), dimulai dengan pertanyaan. Apa tujuan hidup? Pertanyaan ini akan
mampu menggiring untuk melahirkan pandangan moral (ethos) dan
pandangan hidup (world view). Ada beberapa aliran kepercayaan
menyatakan bahwa tujuan utama hidup adalah “nggayuh kesempurnaning
urip lair-bathin saiki tumekaning mbesuk”.
Di sinilah realita menunjukkan, sesungguhnya dalam kearifan lokal, dalam
hal ini mitos Dewaruci adalah suatu lakon perjalanan mistik, yaitu suatu
usaha manusia untuk kembali ke asal-usulnya yang hakiki, yang diwakili
oleh Bima. Dalam mitos Dewaruci ini banyak mengandung nilai-nilai
kehidupan yang layak untuk diangkat dan ditumbuhkembangkan kepada
generasi muda melalui proses pendidikan, agar nilai-nilai tersebut dapat
menjadi inspirasi dan teraktualisasikan pada kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Asumsi-asumsi dasar dalam penelitian ini adalah banyak hal di dunia ini
yang awalnya fiksional, namun kemudian menyatu dengan dunia nyata.
Cerita-cerita dongeng yang mengandung nilai-nilai nyata dalam kehidupan
sehari-hari atau kisah-kisah rekaan yang kemudian menjadi inspirasi bagi
seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Peneliti harus mampu
mengungkapkan substansi nilai-nilai mitos Dewaruci yang tampak luar
biasa, aneh dan absurd ke dalam bahasa yang dapat dimengerti siswa.
Pada umumnya masih belum banyak peneliti lain yang menggunakan mitos
Dewaruci untuk dijadikan sumber belajar pendidikan karakter. Mereka
1
menceritakan tokoh Bima dalam mencari Air Kehidupan (Tirtapawitra) dan berusaha
untuk memperoleh hubungan langsung, berdialog, menerima ajaran rahasia, dan
kemudian manunggal dengan sang Adikodrati. Bima dalam perjalanannya menemukan
Air Kehidupan tersebut banyak mengalami tantangan, gangguan, dan hambatan. Namun
dengan keteguhannya, pada akhirnya Bima menemukan Air Kehidupan yang dicarinya
itu melalui pertemuannya dengan Dewaruci.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
138
Susi Hendriantini Martina
hanya membangun makna yang berada di dalam teks itu sendiri, dalam otak
pengarangnya, benak pembacanya, tidak diikuti dengan penggunaan teks itu
sebagai sumber untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang dihadirkan
dalam sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep dalam pembelajaran
IPS (Koentjaraningrat, 1971; Franz Magnis Suseno,1983; Waston, 1997;
Sarmini, 2002; Tirto Suwondo, 2003; Alief Baharrudin, 2007; Rosada,
2007; Abdul Hadi, 2008; Hamid Nasuhi, 2009; Triswinindya Angelir,
2009).
Paradigma yang biasa digunakan untuk menelaah mitos dengan konteks
sosial-budaya yang kaya adalah paradigma fungsional. Dalam hal ini teori
Malinowski dalam Ahimsa-Putra (2001) yang mengatakan bahwa mitos
merupakan sosial charter (piagam sosial) umumnya dapat diterapkan
dengan mudah, sekaligus mampu membuka wawasan baru tentang makna
mitos yang dipelajari. Analisis antropologi perspektif hermeneutik juga
dapat digunakan dalam situasi seperti itu, sebagaimana telah dilakukan oleh
Clifford Geertz dalam studinya mengenai wayang di Jawa (Sarmini, 2002).
Antropologi struktural dan hermeneutik memiliki kesamaan dalam beberapa
asumsi dasarnya, sehingga meskipun berlainan, dua pendekatan ini
sebenarnya bersifat saling mengisi dan saling melengkapi. Namun
antropologi hermeneutik memiliki kelemahan yaitu tingginya subjektivitas
peneliti dalam menafsirkan suatu fenomena, sehingga hampir segala tafsir
dimungkinkan. Kondisi ini memang sangat mungkin terjadi karena dalam
antropologi hermeneutik sebuah tafsir atas suatu fenomena apapun
wujudnya dibangun di atas elemen-elemen tafsir yang umumnya memang
bersifat sangat subjektif, namun tidak disadari kesubjektifannya oleh si
penafsir. Akibatnya sulit bagi kita untuk menemukan tingkat ‘kebenaran’
sebuah tafsir (jika kebenaran semacam ini memang ada).
Di sisi lain, dalam antropologi struktural ada kecenderungan pada diri si
penelaah untuk menemukan, menggambarkan struktur tertentu yang
diyakini adanya di balik fenomena yang dianalisis. Akibatnya dia sering
agak melupakan tafsir-tafsir simbolik non struktural yang mungkin dapat
diberikan pada elemen-elemen fenomena yang dianalisis. Tidak
mengherankan jika kemudian muncul kesan analisis struktural
terasa‘kering’ hasilnya. Lewat analisis struktural memang kita mampu
menemukan tulang-tulang atau kerangka yang ada di balik fenomena,
namun di lain pihak juga terasa kehilangan‘dagingnya’ (Ahimsa-Putra,
2006:176). Berpijak pada pandangan ini, maka dalam tulisan ini berusaha
menggabungkan antara analisis struktural dengan hermeneutik. Dengan
harapan akan dapat memahami struktur dan tetap memperoleh ‘daging ‘dari
mitos Dewaruci.
Mitos Dewaruci : Analisis Struktural-Hermeneutik
Sebagai langkah awal analisis yang ditunjukkan Levi-Strauss yaitu dengan
memotong-motong kisah Dewaruci dalam beberapa episode. Masing-
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
139
masing episode berisi suatu diskripsi mengenai suatu hal yang dianggap
penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mengikuti jejak ahli bahasa,
maka perlu mendapatkan unit-unit yang disebut mytheme atau ceritheme.
Ceritheme-ceritheme ini kemudian disusun secara sintagmatis dan
paradigmatis. Ceritheme dapat berwujud kata-kata, frase, kalimat, bagian
dari alinea yang menunjukkan makna tertentu dengan ceritheme yang lain.
Ceritheme ini bisa mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, interaksi,
dan sebagainya yang dianggap penting bagi analisis. Dari cara ini akan
ditemukan ceritheme yang mengandung relasi sama dan tidak sama.
Interpretasi atas makna mitos selanjutnya tergantung pada keseluruhan
relasi antar ceritheme yang berhasil diperoleh, serta makna referensial
maupun kontektual dari elemen-elemen yang ada dalam ceritheme tersebut
dengan konteks sosial budaya masyarakat Jawa.
Setelah membaca dan memahami keseluruhan teks, maka mitos dibagi
dalam beberapa episode. Makna masing-masing episode tergantung pada
keseluruhan teks. Oleh karena itu penafsiran makna menurut analisis
struktural hermeneutik pada suatu episode mengacu pada sesuatu yang ada
di luar cerita tanpa memperhatikan posisi episode ini dalam keseluruhan
cerita. Berikut disajikan contoh analisis dan penafsiran strukturalisme LeviStrauss dan hermeneutik pada pembagian ceritheme-ceritheme dalam satu
episode sebagai berikut:
Episode I (Bima diberi tugas mencari air Suci Tirtapawitra)
Jika dibuat rangkaian ceritheme dalam episode Bima diberi tugas mencari
air Suci Tirtapawitra dari tokoh yang dibicarakan, dapat dilihat rangkaian
sebagai berikut,
-
Bima
↨↨
-
Arjuna, Yudistira,
Nakula,Sadewa
Pergi
↨↨
Melarang
Pandawa
€
Pandawa
Keterangan :
→ : transformasi
↨↨: oposisi berpasangan
€ : elemen yang menyatukan
Dari rangkaian ini, diketahui adanya transformasi-transformasi dalam
ceritheme-ceritheme tersebut. Dalam ceritheme tentang tanggapan Pandawa
terhadap Tirtapawitra ini, ditemukan oposisi berpasangan dan elemen yang
menyatukan pasangan tersebut. Bima diperintahkan mencari Tirtapawitra
ini dengan positif yaitu pergi. Sikap Bima ini beroposisi dengan saudaranya
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Susi Hendriantini Martina
140
yaitu melarang, namun dua oposisi ini kembali dipersatukan dengan elemen
yg sama: keluarga Pandawa.
Sikap Bima pergi mencari Tirtapawitra ini, dalam nilai karakter utama
melambangkan ketaatan atau kepatuhan seorang murid pada gurunya.
Sedangkan sikap saudara Pandawa melarang Bima, mencerminkan sikap
kebersamaan dari sebuah keluarga besar, yang harus dipikul sesuai budaya
masyarakat Jawa. Sikap melarang itu muncul, karena kesadarannya akan
bahaya yang dihadapi. Tentunya bahaya itu tidak hanya dirasakan oleh
individu yang melakukan, namun juga oleh keluarga lain.
Dari rangkaian ceritheme yang ada, untuk memudahkan pemahaman mitos
Dewaruci, secara singkat dari episode ke-1 sampai ke-5 dapat dilukiskan
struktur yang ada di balik penceritaan mitos sebagai berikut:
Tabel 1. Struktur di balik kisah
Keadaan
Yang
menjadi
guru
ngastina &
ngamarta
1.Bima
diberi
tugas
mencari
air suci
Tirtapawitra
2.perjalanan
Bima di
hutanTikbr
asara
3.Bima
mena
nyakan
kembali
letak
Tirtapawitr
a
4.Bima ke
samo dera
5.Bima
bertemu
Dewaruci
Akhir cerita
Druna
Bima
Ngastina
Druna
memihak
Guru
memberi
perintah
Siswa
melaksana
kan
perintah
-Tidak
ber hak
atas
kerajaan.
Gembira
Ngamar
ta
Druna
tidak
memiha
k
Bertanya
Bertahan
hidup
-Manusia
menerima
wejangan.
Memperole
h
tirtapawitra
Masih
hidup
Dewaruci
-Berhak
atas
kera
jaan.
- sedih
Bertahan
hidup
Menjawa
b
Raksasa
- Menyerang
- Mati
Menganj
urkan
berangka
t
Melaran
g
berangk
at
- Menyerang
- Mati
- Dewa
- Memberi wejangan
Memberi tirtapawitra
Sedih
Senang
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
141
Urutan episode ini menunjukkan tahap-tahap perjalanan Bima dalam
mencari tirtapawitra. Dalam struktur tersebut terlihat bahwa keberadaan
tokoh Bima tidak bisa dilepaskan dari peran guru Druna, raksasa penggoda,
keluarga Ngastina, saudara Pandawa (Ngamarta) serta Dewaruci atau dewa
Katik atau Dewa Bajang. Penafsiran perintah guru Druna kepada Bima
terdapat oposisi yang saling berlawanan, disatu sisi Bima menafsirkan
perintah guru Druna sebagai sesuatu yang baik dan yang harus
dilaksanakan. Bagi Bima merasa yakin bahwa Tirtapawitra itu ada dan
dapat ditemukan sebagai syarat mencapai kesempurnaan hidup. Disisi lain
Durjudana (Ngastina) memahami perintah guru Druna itu hanya tipu
muslihat semata-mata sebagai sarana untuk melenyapkan Bima.
Berdasarkan uraian diatas posisi tokoh guru Druna, Bima dan Durjudana,
dan Pandawa (Ngamarta) dan Ngastina berdasarkan segitiga biner dan
konsonan-vokal oleh Levi-Strauss adalah sebagai berikut, skema 1) :
Skema1)
Druna
skema 2)
Druna
.
.
.
.
Ngamarta (-) ...................(+)Ngastina
Bima (+)......................(-)
Durjudana
.
.
.
.
(-)
(-)
Keterangan: (-) tidak memihak
Keterangan: (-) ditafsirkan
bermaksud negatif
(+) memihak
(+) ditafsirkan bermaksud positif
Pada skema 2 jika dilihat dari penafsiran perintah untuk mencari air
Tirtaprawita. Bima dan Durjudana, Pandawa dan Ngastina menempati kutub
struktur sedangkan Druna anti struktur, dapat dikatakan bahwa Druna
berada pada posisi diantara Ngamarta dan Ngastina.
Substansi nilai-nilai karakter yang terdapat pada mitos Dewaruci
Berdasarkan analisis struktural-hermeneutik di atas penulis memaparkan
substansi nilai-nilai yang ada pada Mitos Dewaruci dengan menggunakan
referensial/kontektual struktur berpikir masyarakat Jawa dalam mencapai
kesempurnaan hidup dengan menggunakan etika budaya Jawa. Geertz
dalam memandang kebudayaan mengatakan, tidak saja dipandang dari
sudut etik tetapi juga emik. Jadi budaya dalam hal ini merupakan
pengetahuan dan gagasan yang dipakai sebagai pedoman atau pengarah bagi
manusia sebagai anggota masyarakat sosial dalam bersikap dan bertingkah
laku. Berbicara mengenai etika, menurut Franz Magnis Suseno (1996), etika
berarti filsafat mengenai bidang moral. Etika merupakan ilmu untuk
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Susi Hendriantini Martina
142
merefleksi sistematika mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan
istilah-istilah moral. Berdasarkan pendapat Magnis Suseno tersebut, yang
dimaksud etika dalam tulisan ini adalah keseluruhan norma dan penilaian
yang dipergunakan oleh masyarakat untuk menentukan bagaimana
seharusnya warga masyarakat membawa diri sehingga diperoleh keselarasan
sosial. Untuk menganalisis etika budaya Jawa yang dilambangkan pada
cerita Dewaruci dalam tulisan ini akan ditinjau secara singkat dari episode
pertama berikut ini.
Pada peristiwa episode pertama walaupun resi Durna dan Durjudana
memiliki rasa benci pada Bima dan keluarga Pandawa perilaku Bima
menunjukkan “prinsip hormat”. Yaitu tidak punya rasa benci pada gurunya
yang memihak Durjudana, tetapi justru dihormati Bima dengan menjunjung
tinggi tugas yang diberikan padanya.
Unsur-unsur atau indikator yang terdapat pada Prinsip hormat dikaitkan
dengan budaya Jawa adalah: (1) kesadaran akan kedudukan sosial masingmasing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa dalam menyapa
orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga, dan hampir
selalu terungkap segi yunior-senior, seperti sebutan mbak, kang, simbah,
pak, mbok/bu, mbakyu, mbah cilik dan beberapa istilah lain. (2) tingkat
kehormatan orang Jawa tergantung pula pada struktur bahasa Jawa itu
sendiri, siapa lawan bicara, sehingga ada tiga tingkatan bahasa, krama
inggil, krama, dan ngoko (3) kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap
hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui
pendidikan dalam keluarga yaitu, tiga perasaan yang dipelajari oleh anak
Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin, dan
sungkan.
Pada episode kedua sampai kelima pada mitos Dewaruci ini terdapat
substansi nilai-nilai karakter sebagai berikut:
Episode
1
Substansi - prinsip
nilaihormat.
nilai
karakter
- Prinsip
mitos
Dewaruci kerukunan
Tabel 2. Substansi nilai-nilai karakter
2
3
4
moral
- Sangkan - Kewajiban moral
keadilan. paraning bekerja
keras
dumadi
(rame ing gawe)
- Kejujura
n
dan
kesetiaan
(sepi ing
pamrih)
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
5
Menyesuaikan
diri
dengan
memenuhi
kewajiban
yang
ditentukan
oleh
lingkungan.
- Berpikir
dengan
bijaksana
Mitos Dewaruci
143
Mengintegrasikan nilai-nilai mitos Dewaruci sebagai sumber belajar
pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS.
Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah
pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya
nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta
didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di
dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian,
kegiatan pembelajaran selain menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk
menjadikan
peserta
didik
mengenal,
menyadari/peduli,
dan
menginternalisasi nilai-nilai menjadikannya perilaku.
Penelitian ini menggunakan teori perkembangan moral Piaget dan
Kohlberg, yang memandang pendidikan karakter dari segi pendidikan
moral, moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti: tata cara,
kebiasaan dan adat, sedangkan perilaku moral berarti perilaku yg sesuai
dengan kode moral kelompok sosial, dan perilaku moral yang dikendalikan
konsep-konsep moral. Dalam teori psikoanalisisnya Piaget dan Kohlberg
mengatakan, bahwa perkembangan moral berkorelasi dengan
perkembangan kecerdasan individu, sehingga seharusnya bila
perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka
perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan.
Dari pendapat Piaget dan Kohlberg tersebut penulis berasumsi bahwa
dengan membelajarkan nilai-nilai mitos Dewaruci kepada peserta didik
dengan mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran IPS, untuk mencapai
kematangan moral peserta didik akan berkembang selaras dengan
kecerdasan, karena nilai-nilai mitos merupakan perilaku yang sesuai kode
moral kelompok sosial dan perilaku moral yang dikendalikan konsepkonsep moral. Seperti yang telah dibahas di atas bahwa mitos Dewaruci
memiliki substansi nilai-nilai etika, yakni keseluruhan norma dan penilaian
yang dipergunakan oleh masyarakat untuk menentukan bagaimana
seharusnya warga masyarakat membawa diri sehingga diperoleh keselarasan
sosial.
Menurut Piaget dalam Hergenhahn dan Matthew (2009:325), perkembangan
moral adalah proses internalisasi norma-norma masyarakat dan kematangan
organic-biologik. Seseorang telah mengembangkan aspek moral bila telah
menginternalisasikan aturan-aturan dan kaidah-kaidah kehidupan di dalam
masyarakat, dan dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang terus
menerus, atau dengan kata lain telah menetap.
Menurut teori psikoanalisa ini, perkembangan moral dipandang sebagai
proses internalisasi norma-norma masyarakat dan sebagai kematangan dari
sudut organic-biologik. Dengan demikian proses pengintegrasian nilai-nilai
mitos Dewaruci yang mengandung nilai-nilai etika budaya Jawa dapat
dipakai sebagai sumber belajar pendidikan karakter mata pelajaran IPS yang
dapat diterapkan pada tahap-tahap kematangan dari sudut organic-biologik.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Susi Hendriantini Martina
144
Menurut teori Piaget tentang perkembangan moral, pada tahap operasional
formal, yaitu moralitas dengan analisis (> 12th) pada peserta didik usia di
atas 12 tahun : anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk
memecahkan masalah, anak bernalar atas dasar hipotesis dan dalil, melihat
masalah dari berbagai sudut pandang. Usia di atas 12 tahun yang
dimaksudkan disini termasuk peserta didik yang duduk minimal di bangku
SMP. Tulisan ini ditujukan pada objek penelitian kajian mata pembelajaran
IPS yang dipilih adalah tingkat SMP.
Nilai-nilai karakter utama di SMP teridentifikasi sebanyak duapuluh butir
karakter yang terbagi menjadi lima kategori, idealnya semua nilai-nilai
tersebut terinternalisasi pada peserta didik melalui proses pembelajaran,
karena jumlahnya besar, memfasilitasi internalisasi semua nilai tersebut
secara formal/eksplisit menjadi sangat berat. Di bawah ini disajikan contoh
tabel nilai-nilai karakter yang ditargetkan terinternalisasi di sekolah dan
nilai-nilai karakter yang sesuai dalam pembelajaran IPS serta substansi
nilai-nilai mitos Dewaruci adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Integrasi nilai-nilai karakter mitos Dewaruci sebagai sumber
belajar pendidikan karater dalam pembelajaaran IPS kelas
VII SMP
No.
1.
2.
Nilai
karakter
Utama
Nilaikarakte
r dalam
hubunganny
a dgTuhan
Nilai
karakter
dalam
hubunganny
a dengan
diri sendiri
Turunan nilainilai karakter
utama
Hasil
analisis nilai²
karakter
untuk
SK/KD
pemb. IPS
SMP
nilai-nilai
karakter
mitos DR
sebagai
sumber
belajar dlm
pemb. IPS
Sangkan para
ning dumadi
SK/KD/TEM
A
Kegiatan
pembelajaran
afektif
Metode
internalisasi
nilai-nilai
karakter
a. jujur
b. kerja
keras
c. berjiwa
wira usaha
d. Berpikir
logis,
kritis,
kreatif,
dan
inovatif
a. kejujuran
dan
kesetiaan
(sepi ing
pamrih)
b. kewajiban
moral
bekerjakeras (rame
ing gawe)
c. berpikir
bijaksana
d.mencari
ilmu (jatining
jejer ing
SK
1,KD1.2,2.1
tema:keseraka
han menyebab
kan
eksploitasi
alam. Melalui
penugasanklp
k
mengumpulka
n berbagai
data ttg
kehdpmasy.
Lmb
s.Brantas,
Penugasan
kelompok
diskusi
dilema
moral dan
presentasi
a. Religius
a. Jujur
b. Bertanggung
jwb
c. Bergaya hdp
sehat
d. Disiplin
e. Kerja keras
f. Percaya diri
g. Berjiwa wira
usaha
h. Berpikir
logis,
kritis,kreatif,
inovatif
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
145
i. Mandiri
j. Ingin tahu
k. Cinta ilmu
3.
4.
5.
Nilai
a.Sadar akan
karakter
hak kewa jiban
dalam
diri&orang
hubunganny lain
a dengan
b.Patuh pada
sesama
aturan-aturan
sosial
c.Menghargai
karya &
prestasi orang
lain
d.Santun
e.Demokratis
Nilai
Peduli sosial
karakter
dan lingkungan
dalam
hubunganny
a dengan
lingkungan
Nilai
kebangsaan
a. Nasionalis
b. Menghargai
keberagaman
Pangeran/
manunggaling
kawula gusti)
siswa dpt
berpi kir
bijaksana
mengatasi
kerusakan
a. prinsip
hormat
Peduli sosial
dan
lingkungan
a. Nasionalis
b.
Menghargai
Menyesuaikan
diri dg
memenuhi ke
wajiban yg
ditentu
kan oleh
lingkung
a. moral
keadilan
b.prinsip
kerukunan
SK1, KD
1.1,6.1 tema :
keserakahan
menyebabkan
eksplitasi
alam
SK2,KD2-3,
pembentuka
n
kepribadian
keberagaman
Contoh penerapan substansi nilai-nilai karakter mitos Dewaruci pada
SK/KD pembelajaran IPS sebagaimana tertera pada tabel adalah sebagai
berikut :
Pengintegrasian nilai-nilai karakter mitos Dewaruci pada Standar
Kompetensi 1 mengilustrasikan penerapannya pada pembelajaran IPS
terpadu dengan kegiatan pembelajaran menyeluruh meliputi aspek kognitif,
afektif dan psikomotor.Untuk memfasilitasi pembelajaran nilai-nilai
karakter mitos Dewaruci sebagai sumber belajar pendidikan karakter pada
mata pelajaran IPS, penulis menggunakan strategi yang berorientasi pada
pendekatan kognitif, dimana pembelajaran diarahkan pada peningkatan
perkembangan moral peserta didik; dan strategi yang berorientasi pada
pendekatan komprehenship. Pendekatan kognitif ini diperkenalkan oleh
Kohlberg. Pendekatan ini menggunakan metode diskusi dilema moral,
adalah diskusi dengan memanfaatkan ceritera-ceritera, atau issue-issue yang
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Presentasi
kepedulian
memberikan
alternatif
tindakan unt
mengatasi
kerusakan s.
Diskusi inte
raksi sosial
yg Positif
dan
negatif
146
Susi Hendriantini Martina
sangat dilematis (rumit), peserta diskusi/peserta didik diminta untuk
menanggapi issue yang dilemmatis. Dengan mencermati tanggapan peserta
didik seorang guru/pendidik dapat menempatkan posisi pandangan peserta
didik tersebut ke dalam tingkatan/tahapan perkembangan moral. Kemudian
siswa dilibatkan pada diskusi berikutnya untuk pencapaian tingkat/tahapan
perkembangan moral yang lebih tinggi.
Dalam satu kelompok diskusi dilemma moral, sangat dimungkinkan peserta
diskusi mempunyai pandangan-pandangan yang menggambarkan
tingkat/tahapan perkembangan yang bervariasi. Bisa saja tingkat
perkembangan moral peserta diskusi berbeda-beda. Ada yang tinggi, ada
pula yang rendah tingkat perkembangan moralnya. Untuk meningkatkan
tingkat perkembangan moral peserta diskusi yang masih rendah, maka
peserta diskusi tersebut digabungkan dengan peserta diskusi yang tingkat
perkembangan moralnya sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi,
tujuannya adalah agar yang tingkat perkembangan moralnya masih rendah
dapat terangkat/ditingkatkan kearah tingkatan/tahapan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut peneliti menggunakan Value Clarification Tehnique (VCT),
menurut Djahiri (1985), adalah teknik pengungkapan nilai. Melalui VCT
peserta didik dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis
rasional melalui pengujian kebenaran, kebaikan, kelayakan, keadilan, dan
ketepatannya. Di atas sudah dipaparkan bahwa pendidikan karakter, pada
dasarnya adalah pendidikan nilai, nilai-nilailah yang akan menentukan
karakter seseorang. Dalam karangka untuk mengarahkan pada pencapaian
nilai-nilai/tingkatan perkembangan moral yang lebih tinggi, maka nilai-nilai
yang sudah ada pada diri peserta didik perlu
diungkap, dengan
terungkapnya niliai-nilai yang ada pada diri peserta didik, maka seorang
pendidik karakter dapat mengetahui kedudukan peserta didik diantara yang
lain. dan membawanya kearah tingkatan nilai-nilai/perkembangan moral
yang lebih tinggi.
Kontekstual nilai-nilai karakter mitos Dewaruci dalam pembelajaran
IPS
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran
yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan
kehidupan nyata, dan motivasi siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Berikut
diuraikan pembelajaran kontekstual nilai-nilai karakter :
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
147
Tabel 4. Pembelajaran kontekstual nilai-nilai karakter
No
1.
2.
3.
Substansi
nilai-nilai
Turunan/indikator
karakter
Kontekstual nilai-nilai karakter mitos
nilai-nilai karakter mitos
dlm
Dewaruci dalam pembelajaran IPS
Dewaruci
pembelaja
ran IPS
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada a. ingat (eling) akan Allah, mawas
upaya
menjadikan
dirinya
diri,
sebagai orang yang selalu dapat ikhlas yaitu kesediaan untuk
dipercaya dalam perkataan,
melepas individualitas sendiri,
tindakan, dan pekerjaan, baik
sikap rila (kesediaan untuk
terhadap diri dan pihak lain
melepaskan hak milik).
b. orang yang jujur akan bersikap adil,
sikap sederhana (prasojo), andhap
asor yaitu menganggap diri lebih
rendah daripada orang lain dan
tepa selira.
Kerja
Perilaku yang menunjukkan a. sikap dan keberanian untuk tidak
keras
upaya sungguh-sungguh dalam
menelan begitu saja aturan-aturan
mengatasi berbagai hambatan
dan
norma-norma
sebagai
guna
menyelesaikan
tugas
kewajiban mo
(belajar/pekerjaan)
dengan
ral
dan
bersedia
untuk
sebaik-baiknya.
mempertahan
kan kebenaran walau dicela pihak
lain.
b. manusia harus mengendalikan hawa
nafsu
dan
keluar
menjadi
pemenang.
Untuk
bisa
mengendalikan hawa nafsu harus
bekerja keras dengan belajar,
mencari pengalaman-pengalaman
dalam
hidup
bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta
beribadah dengan ketabahan.
Berpikir
Berpikir dan melakukan sesuatu Orang harus bersikap sepi ing
logis,
secara kenyataan atau logika pamrih. yaitu kebiasaan-kebiasaan
kritis,
untuk menghasilkan cara atau berpikir dengan mempertimbangkan
kreatif,
hasil baru dan termutakhir dari perasaan (rasa) yang ada pada hati
dan
apa yang telah dimiliki.
nurani sehingga apa yang dipikirkan
inovatif
akan menghasilkan kebijaksanaan
hidup sesuai norma-norma yang
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Susi Hendriantini Martina
148
4.
Peduli
sosial dan
lingkunga
n
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di
sekitarnya,
dan
mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan
alam yang sudah terjadi dan
selalu ingin memberi bantuan
bagi orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan.
.
5.
Nasionalis Cara berfikir, bersikap dan
berbuat yang menunjukkan
kesetiaan,
kepedulian,
dan
penghargaan
yang
tinggi
terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsanya.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
berlaku di masyarakat, bangsa dan
negara.
a. Kewajiban setiap orang adalah
pemeliharaan masyarakat ‘rame
ing gawe’, yaitu melakukan
kewajiban-kewajiban bekerja keras
untuk diri sendiri, keluarga,
masyarakat
dan
kemanusiaan/kesejahteraan dunia.
b. Melakukan kebiasaan gotongroyong dengan spontan (layat),
melakukan proyek-proyek tertentu
demi kepenti
ngan seluruh kampung (gugur
gunung), memenuhi undangan
pesta merupakan kewajiban sosial
yaitu setiap tamu diharapkan
memberikan sejumlah uang/barang
dan jasa kepada tuan rumah
(njurung).
a.kekuasaan merupakan legitimasi
adikodrati, wahyu Illahi yang tidak
saja berupa pertanggung jawaban
moral
tetapi harus dapat
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat.
b.tingkat
kehormatan tergantung
kedudukan senior-yunior dalam
berbicara menggunakan struktur
bahasa dalam tiga tingkatan krama
inggil, krama, dan ngoko.
c. kefasihan dalam mempergunakan
sikap-sikap hormat yang tepat
melalui tiga perasaan dalam
situasi-situasi yang menuntut sikap
hormat, yaitu wedi, isin, dan
sungkan.
Mitos Dewaruci
6.
149
Menghar
Sikap
memberikan
respek/ 1) mencerminkan sikap kebersamaan
gai kebe hormat
terhadap
berbagai
antar anggota masyarakat.
ragaman
macam hal baik yang berbentuk 2) menunjukkan sikap menjunjung
fisik, sifat, adat, budaya, suku,
tinggi perintah gurunya.
dan agama.
3) Menghilangkan
tanda-tanda
ketegang
an antar pribadi dalam masyarakat
sehingga hubungan sosial tetap
selaras.
4) Mewujudkan ketentraman saling
me lindungi.
5) rembug desa, untuk membiasakan
kerukunan dalam pengambilan
kepu
tusan
dengan
saling
bermusyawarah.
SIMPULAN
Akhirnya berdasarkan hasil studi ini ada tiga hal yang bersifat epistemologis
(subjektif) yaitu : (1) makna nilai-nilai yang terdapat pada mitos Dewaruci
menunjukkan struktur berpikir masyarakat Jawa yang terlihat pada etika
atau aturan tingkah laku, dan norma-norma yang berlaku di lingkungan
masyarakat. Menurut saya cerita dalam mitos Dewaruci menunjukkan
makna simbolik yang cukup akrab dengan cara berpikir masyarakat
pendukungnya; (2) untuk mengintegrasikan nilai-nilai mitos Dewaruci
sebagai sumber belajar pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS
berimplikasi dengan etika budaya Jawa yang telah begitu akrab dan terbiasa
ditanamkan pada anak-anak atau peserta didik sejak dini di lingkungan
keluarga, sehingga memudahkan untuk memfasilitasi kesadaran pentingnya
nilai-nilai karakter dalam pembelajaran IPS; (3) untuk mengaplikasikan
nilai-nilai mitos Dewaruci ke dalam pendidikan karakter pembelajaran IPS
di sekolah diperlukan strategi pembelajaran karakter, dalam penelitian ini
disarankan untuk diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran, melalui
cara, pola, metode, atau upaya yang dilakukan oleh pendidik (fasilitator)
dengan memberi kemudahan-kemudahan agar peserta didik mudah belajar
mengembangkan karakter baik, atau karakter baiknya sendiri.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
150
Susi Hendriantini Martina
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Hedi Shri. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan
Karya Sastra. Jogjakarta: Glang Press.
Baharrudin, Alief. 2007. Metode Transfer Nilai-nilai Keislaman Dalam
Cerita Wayang Kulit Ditinjau Dari Pendidikan Akhlak (studi
Tentang Lakon Dewaruci). Jurnal Pendidikan Dasar, Vol 5,
No.1, http://garuda.dikti.go.id: 27 Desember, 2010.
Berkowitz, M.W., Battistich, V.A., Bier, M.C. 2008. “What Works in
Character Education: What Is Known and What Needs to Be
Known”. Handbook of Moral and Character Education. Pages
414-431. New York: Tailor andFrancis.
Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal. Esai-esai Lanjutan Antropologi
Interpretatif. Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi.
Hadi, Abdul. 2008. Teks dalam naskah Perpustakaan Museum Leiden ,
nomor Cod. Or.1795. Didaftar dalam katalog Vreede CCXXVII
(Vol. II, hal. 314 – 500).
Hatta, Mohammad. 2009. Tanggung jawab Moril Kaum Inteligensia, Jurnal
Sejarah Indonesia, Vol. 1 No.2, Surabaya : Masyarakat Sejarah
Indonesia Jawa Timur.
Kardiman, Yuyus. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui
Situs-situs Kewarganegaraan: Studi Fenomenologi terhadap
Pelatihan Manajemen Qalbu, Pelatihan Emotional Spiritual
Quotient dan Majelis Taklim di Bandung (tesis), Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama : Jakarta.
Koentjaraningrat, DR. 1958. Metode² Anthropologi Dalam Penjelidikan²
Masjarakat Dan Kebudajaan Di Indonesia (Sebuah Ichtisar), p.t.
Djakarta : Universitas.
................................. . 2009. Pengantar Ilmu Anthropologi, Jakarta : Rineka
Cipta.
Levi-Strauss, Claude. 2009. Antropologi Struktural, Bantul : Kreasi
Wacana.
Magnis, Frans Suseno.1983. Etika Jawa (sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijakan Hidup Jawa). Jakarta : PT Gramedia.
-------------------------------1997. Tiga Belas Tokoh Etika. Yogyakarta :
Kanisius.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi untuk Membangun
Bangsa. Jakarta : Star Energy (Kakap) Ltd.
Mustaji. 2009. Pengaruh Sosial Dan Pendidikan Sosial Di Era Globalisasi.
Jurnal Sejarah Indonesia, Vol. 1 No.2, Surabaya : Masyarakat
Sejarah Indonesia Jawa Timur.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Mitos Dewaruci
151
Nasuhi, Hamid 2009. Serat Dewaruci (Tasawuf Jawa Yasadipura I), Jakarta
: Ushul press.
Prijohoetomo. 1934. Nawaruci. Bij J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij
N.V. Groningen-Den Haag- Batavia.
Rahmat, Hidayat Dudung. 2011. Pendidikan Nilai dalam Tradisi
Masyarakat Eropa Barat, Jurnal Pend._Bahasa_Arab
file.upi.edu/Direktori/FPBS Generated: 21 Januari, 2012, 04:45
Rosada. 2007. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS
untuk Pengamalan Nilai Moral Siswa SMPI dan SMP VI di
Mataram, Vol 4, No.4, http://garuda.dikti.go.id: 31 October, 2010.
Sarmini. 2002. Makna Mitos Dewarutji Sebuah Analisis StrukturalHermeneutik, jurnal Prasasti No. 47 th. XII. Surabaya: FPBS
UNESA.
Soebardi. S. Dr. 2004. Serat Cabolek (Kuasa, Agama, Pembebasan)
Pengadilan K.H. A. Mutamakin & Fenmena Shaikh Siti Jenar.
Bandung : Nuansa.
Suwondo, Tirto. 2003. Pemahaman Pola Pikir Jawa Melalui Mitos Dewi
Sri : Study Struktural-Antropologi Menurut Levi-Strauss. : Tesis
Program Pasca Sarjana UGM.
Waston. 1997. Filsafat Ketuhanan dalam Serat Dewaruci karangan
Yasadipura I : Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:135-151
Download